3 Persamaan Gelombang Schrodinger - Darpublic

prinsip ketidakpastian Heisenberg. Operator Momentum dan Operator Energi. Kita akan mencoba menelusuri operator-...

95 downloads 526 Views 237KB Size
Darpublic

www.darpublic.com

Persamaan Gelombang Schrödinger Sudaryatno Sudirham Schrödinger menyatakan bahwa perilaku elektron, termasuk tingkat-tingkat energi elektron yang diskrit dalam atom, mengikuti suatu persamaan diferensial untuk gelombang, yang kemudian dikenal sebagai persamaan Schrödinger. Daniel D. Pollock membahas hal ini agak mendalam dalam bukunya, namun ada satu langkah yang dihilangkan dalam mengintroduksi operator momentum maupun energi. Di sini kita akan mencoba menelusurinya dalam pembahasan yang agak terurai namun tetap sederhana. Fungsi Hamilton Jika gelombang dapat mewakili elektron maka energi gelombang dan energi partikel elektron yang diwakilinya haruslah sama. Sebagai partikel, satu elektron mempunyai energi total yang terdiri dari energi potensial dan energi kinetik. Seperti kita ketahui, energi potensial merupakan fungsi posisi x (dengan referensi koordinat tertentu) dan kita sebut Ep(x), sedangkan energi kinetik adalah Ek = ½mv2 dengan m adalah massa elektron dan v adalah kecepatannya. Energi total elektron sebagai partikel menjadi E = Ep + Ek E=

mv 2 + E p ( x) 2

E=

atau

p2 + E p ( x) 2m

(1)

di mana p = mv adalah momentum elektron. Suatu fungsi yang menyatakan energi total suatu partikel dapat didefinisikan, dengan momentum p dan pososi x sebagai peubah. Fungsi tersebut adalah H ( p, x) =

p2 + E p ( x) ≡ E 2m

(2)

H(p,x) adalah sebuah fungsi yang disebut fungsi Hamilton (dari William Rowan Hamilton 1805 – 1865; matematikawan Irlandia), dengan p dan x adalah peubah-peubah bebas. Turunan parsial fungsi ini terhadap p dan x masing-masing adalah ∂H ( p, x) p = ∂p m

dan

∂H ( p, x) dE p ( x) = ∂x dx

(3)

Peubah dalam fungsi Hamilton, yaitu p dan x, menyatakan momentum dan posisi dalam relasi fisika¸ maka kita peroleh ∂H ( p, x) p dx = = ve = ∂p m dt −

dan

∂E p ( x) ∂H ( p, x) dv dp =− = F ( x) = m = ∂x ∂x dt dt

(4.a) (4.b)

Jadi turunan H(p,x) terhadap p memberikan turunan x terhadap t dan turunan H(p,x) terhadap x memberikan turunan p terhadap t; dan kita pahami bahwa p di sini adalah momentum, suatu besaran fisis dan bukan lagi sebuah peubah-bebas dalam fungsi Hamilton. Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

1/12

Darpublic

www.darpublic.com

Dalam relasi fisika, dx / dt = v adalah kecepatan, dan dp / dt = F adalah gaya. Dengan demikian maka fungsi Hamilton, yang menetapkan hubungan antara peubah-peubah bebas p dan x untuk memperoleh E, dapat kita gunakan untuk menggantikan hubungan-hubungan fisik mengenai momentum, kecepatan, dan gaya yang biasa kita nyatakan sebagai p = mv ; v=

dx p = ; dt m

F =m

d 2x

=m

2

dt

dv dp = dt dt

Fungsi Hamilton dalam Mekanika Kuantum Dalam mekanika kuantum, elektron dinyatakan sebagai gelombang. Jika fungsi Hamilton dapat diterapkan untuk elektron sebagai partikel, maka ia harus dapat diterapkan pula untuk elektron sebagai gelombang. Hal ini akan kita lihat sebagai berikut. • Peubah p pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator momentum agar jika dioperasikan terhadap suatu fungsi gelombang dapat menyatakan momentum elektron yang tidak lagi dipandang sebagai partikel melainkan sebagai gelombang. • E pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator energi yang jika beroperasi pada fungsi gelombang dari elektron akan memberikan energi elektron. • Peubah x yang akan menentukan posisi elektron sebagai partikel, akan terkait dengan posisi elektron sebagai gelombang sehingga peubah ini tidak berubah pada fungsi gelombang dari elektron. Dalam kaitan ini perlu kita ingat bahwa jika elektron kita pandang sebagai partikel maka momentum dan posisi mempunyai nilai-nilai yang akurat. Jika elektron kita pandang sebagai gelombang, maka kita dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg. Operator Momentum dan Operator Energi. Kita akan mencoba menelusuri operatoroperator yang diperlukan tersebut di atas dengan memperhatikan bentuk fungsi gelombang komposit yang mewakili elektron, yaitu (lihat pembahasan tentang elektron sebagai gelombang)  u= 



∑ e j[(∆ω )t −(∆k ) x]  A0 e j (ω t −k x) n

n

0

0



n

Jika fungsi ini kita turunkan terhadap t kita peroleh ∂u  = ∂t 







∑ j∆ωn e j[(∆ω )t −(∆k ) x]  A0 e j (ω t −k x) + ∑ e j[(∆ω )t −(∆k ) x]  jω0 A0 e j (ω t −k x) n

n

0

0



n

n



n

0

0



n

yang dapat disederhanakan menjadi  ∆ω ∂u = jω 0  n ∂t  ω 0



∑ e j[(∆ω )t −(∆k ) x]  A0 e j (ω t −k x) n

n

n

0

0

(5.a)



Dalam selang sempit ∆k maka ω n / ω 0 ≈ 1 ; dan jika ruas kiri dan kanan (5.a) dikalikan dengan h dan mengingat bahwa energi E = hω maka kita akan memperoleh h

∂ u = j (hω 0 )u = jEu atau ∂t

− jh

∂ u = Eu ∂t

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

(5.b)

2/12

Darpublic

www.darpublic.com

E adalah energi total elektron. Akan tetapi jika kita melihat (5.b) sebagai suatu persamaan matematik maka kita dapat mengatakan bahwa E merupakan sebuah operator yang beroperasi pada fungsi gelombang u dan E ≡ − jh

∂ ∂t

(5.c)

Apabila u kita turunkan terhadap x. ∂u  = ∂x 







∑ (− j∆k n )e j[(∆ω )t −(∆k ) x]  A0 e j (ω t −k x ) + ∑ e j[(∆ω )t −( ∆k ) x] (− jk 0 ) A0 e j (ω t −k x ) n

n

0

n



n

k = − jk 0  n  k 0

0



n

0

0



n



∑ e j[(∆ω )t −(∆k ) x ]  A0 e j (ω t −k x) n

n

0

0



n

Untuk k n / k 0 ≈ 1 , dan jika ruas kiri dan kanan kita kalikan dengan h akan kita peroleh h

∂ u = − j (hk 0 )u = − jpu atau ∂x

jh

∂ u = pu ∂x

(5.d)

Seperti halnya untuk E pada (5.b), p pada (5.d) kita pandang sebagai operator p ≡ jh

∂ ∂x

(5.e)

Dengan demikian kita mendapatkan operator untuk E pada (5.c) dan p pada (5.e). Jika fungsi gelombang kita sebut Ψ dan mengoperasikan H(p,x) pada fungsi gelombang ini, maka H ( p, x)Ψ = EΨ atau

 p2  + E p ( x )  Ψ = EΨ ;   2 m 

Dengan memasukkan operator p akan kita peroleh  1   ∂  ∂   2m  − jh ∂x  − jh ∂x  + E p ( x)  Ψ = EΨ atau      −

h2 ∂ 2Ψ + E p ( x ) Ψ = EΨ 2m ∂x 2

(6)

Inilah persamaan Schrödinger untuk satu dimensi. Untuk tiga dimensi, persamaan Schrödinger itu akan menjadi −

h2 2 ∇ Ψ + E p ( x, y, z )Ψ = EΨ 2m

(7)

Persamaan Schrödinger Bebas-Waktu Aplikasi persamaan Schrödinger dalam banyak hal akan berkaitan dengan energi potensial, yaitu besaran yang merupakan fungsi posisi dan bukan merupakan fungsi waktu. Perhatian kita tidak tertuju pada keberadaan elektron dari waktu ke waktu, melainkan tertuju pada kemungkinan dia berada dalam selang waktu yang cukup panjang. Jadi jika faktor waktu dapat dipisahkan dari fungsi gelombang, maka hal itu akan menyederhanakan persoalan. Kita tinjau kasus satu dimensi dan menuliskan persamaan gelombang sebagai

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

3/12

Darpublic

www.darpublic.com

Ψ ( x, t ) = ψ ( x) T (t ) . Jika persamaan gelombang ini kita masukkan ke persamaan (6) dan kedua ruas kita bagi dengan ψ( x)T (t ) kita memperoleh



h 2 1 ∂ 2 ψ ( x) 1 ∂T (t ) + E p ( x ) = − jh 2 2m ψ( x) ∂x T (t ) ∂t

(8)

Ruas kiri dari (8) merupakan fungsi x saja sedangkan ruas kanan merupakan fungsi t saja. Karena kedua ruas merupakan fungsi dengan peubah yang berbeda maka kedua ruas harus sama dengan suatu nilai konstan khusus, yang biasa disebut eigenvalue. Kita lihat lebih dahulu ruas kanan, yang akan memberikan persamaan Schrödinger satu dimensi yang tergantung waktu: − jh

1 ∂ T (t ) = a = konstan T (t ) ∂t

(8.a)

Mengingat bentuk gelombang yang mewakili elektron adalah (5) u = S ( x, t ) A0 e j ( ω0t − k 0 x ) = S ( x, t ) A0 e jω0t e − jk 0 x

sedangkan S ( x, t ) adalah S ( x, t ) =

∑ e j (∆ω )t e − j (∆k ) x n

n

n

maka kita dapat mengambil bentuk T(t) sebagai T (t ) = B(t )e jωt untuk kita masukkan ke (8.a), dan kita akan memperoleh a = − jh = − jh

1 B (t )e jωt

∂B (t )e jωt ∂t

jωB (t )e jωt B ( t ) e j ωt

(8.b)

= hω = E

Jadi konstanta a pada (8.a) adalah energi total elektron, E. Jika hal ini benar, maka ruas kiri (8) juga harus sama dengan E, sehingga dapat kita tuliskan sebagai −

h 2 1 ∂ 2 ψ ( x) + E p ( x) = E 2m ψ( x) ∂x 2

(

atau

)

h 2 ∂ 2 ψ( x) + E − E p ( x) ψ( x) = 0 2m ∂x 2

(9)

Inilah persamaan Schrödinger satu dimensi yang bebas-waktu. Untuk tiga dimensi persamaan (9) menjadi

(

)

h2 2 ∇ Ψ + E − E p ( x, y , z ) Ψ = 0 2m

(3.9.a)

Perlu kita sadari bahwa adanya persamaan Schrödinger bebas-waktu bukanlah berarti bahwa elektron atau partikel yang ingin kita pelajari dengan mengaplikasikan persamaan ini adalah partikel yang bebas-waktu. Partikel tersebut memiliki kecepatan gerak, dan kecepatan adalah turunan terhadap waktu dari posisi. Oleh karena itu dalam memberi arti pada penurunan matematis dari persamaan Schrödinger bebas-waktu, dalam hal-hal tertentu kita perlu mempertimbangkan faktor waktu, sesuai dengan logika. Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

4/12

Darpublic

www.darpublic.com

Dengan persamaan Schrödinger bebas-waktu (9) atau (9.a) fungsi gelombang yang dilibatkan dalam persamaan ini juga fungsi gelombang bebas-waktu, Ψ(x). Dari bentuk gelombang komposit untuk elektron (5) u = S ( x, t ) A0 e j ( ω0t − k 0 x ) dengan S ( x, t ) =

∑ e j (∆ω )t e − j (∆k ) x n

n

n

kita dapat mengambil bentuk Ψ(x) sebagai Ψ ( x) = A( x)e − jkx , dengan A(x) adalah selubung paket gelombang, untuk mencari solusi persamaan Schrödinger. Persamaan Schrödinger adalah persamaan gelombang dan yang kita maksudkan adalah gelombang sebagai representasi elektron sebagi partikel. Mencari solusi persamaan Schrödinger adalah untuk memperoleh fungsi gelombang yang selanjutnya digunakan untuk melihat bagaimana perilaku atau keadaan elektron. Hubungan antara momentum p dan energi E dengan besaran-besaran gelombang (k, ω, f, λ) adalah p = hk = h

2π h = λ λ

E = hω = hf

Fungsi Gelombang Persamaan Schrödinger adalah persamaan diferensial parsial dengan Ψ adalah fungsi gelombang, dengan pengertian bahwa Ψ * Ψ dx dy dz

(10)

adalah probabilitas keberadaan elektron dalam volume dx dy dz di sekitar titik (x, y, z); Ψ * adalah konjugat dari Ψ . Jadi persamaan Schrödinger tidak menentukan posisi elektron melainkan memberikan probabilitas bahwa ia akan ditemukan di sekitar posisi tertentu. Kita juga tidak dapat mengatakan secara pasti bagaimana elektron bergerak sebagai fungsi waktu karena posisi dan momentum elektron dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg. Dalam kasus satu dimensi dengan bentuk gelombang Ψ ( x) =

2 sin( x∆k/2) sin( x∆k/2) A0 e − jkx dan Ψ * ( x) = ∆kA0 e + jkx x ( x∆k/2)  sin( x∆k / 2)  Ψ * Ψ = A02   x  

maka

2

(11)

Apa yang berada dalam tanda kurung pada (11) adalah selubung paket gelombang yang merupakan fungsi x sedangkan A0 memiliki nilai konstan. Jadi selubung paket gelombang itulah yang menentukan probabilitas keberadaan elektron. Persyaratan Fungsi Gelombang Fungsi gelombang Ψ (x ) hasil solusi persamaan Schrödinger harus memenuhi beberapa persyaratan agar ia mempunyai arti fisis. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. • Elektron sebagai suatu yang nyata harus ada di suatu tempat. Oleh karena itu fungsi gelombang (untuk satu dimensi) harus memenuhi



∫−∞Ψ

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

*

Ψdx = 1 .

5/12

Darpublic • •

• •

www.darpublic.com

Fungsi gelombang Ψ (x ) , harus kontinyu sebab jika tidak-kontinyu hal itu dapat ditafsirkan sebagai rusaknya elektron, suatu hal yang tidak dapat diterima. Turunan fungsi gelombang terhadap posisi, dΨ / dx , juga harus kontinyu. Kita telah melihat bahwa turunan fungsi gelombang terhadap posisi terkait dengan momentum elektron sebagai gelombang. Oleh karena itu persyaratan ini dapat diartikan sebagai persayaratan kekontinyuan momentum. Fungsi gelombang harus bernilai tunggal dan terbatas sebab jika tidak, akan berarti ada lebih dari satu kemungkinan keberadaan elektron. Fungsi gelombang tidak boleh sama dengan nol di semua posisi sebab kemungkinan keberadaan elektron haruslah nyata, betapapun kecilnya.

Aplikasi Persamaan Schrödinger - Tinjauan Satu Dimensi Elektron Berada Dalam Sumur Potensial yang Dalam. Pembahasan masalah ini dilakukan oleh Daniel D. Pollock dalam buku jilid pertamanya. Di sini kita akan mencoba memahaminya melalui pendekatan yang lebih sederhana. Sumur potensial adalah daerah yang tidak mendapat pengaruh potensial sedangkan daerah sekitarnya mendapat pengaruh potensial. Hal ini berarti bahwa elektron, selama ia berada dalam sumur potensial, merupakan elektron-bebas. Kita katakan bahwa elektron terjebak di sumur potensial, dan kita anggap bahwa dinding potensial sangat tinggi menuju ∞, atau kita katakan sumur potensial sangat dalam. Gb.2. menggambarkan keadaan ini secara dua dimensi. Daerah I dan daerah III adalah daerah-daerah dengan V = ∞, sedangkan di daerah II, yaitu antara 0 dan L, V = 0. Kita katakan bahwa lebar sumur potensial ini adalah L. I

II

III

Ep=∞ ψ1

Ep=0 ψ2

Ep=∞ ψ3

0 x L Gb.3.2. Elektron dalam sumur potensial (daerah II).

Pada sumur potensial yang dalam, daerah I dan III adalah daerah dimana kemungkinan keberadaan elektron bisa dianggap nol, ψ 1 ( x) = 0 dan ψ 3 ( x ) = 0 . Persamaan Schrödinger untuk daerah II adalah, di mana V(x) = 0, menjadi h 2 ∂ 2ψ ( x ) + Eψ( x) = 0 2m ∂x 2

(12)

Solusi persamaan Schrödinger satu dimensi ini bisa kita duga berbentuk ψ ( x) = Be sx . Jika kita masukkan solusi dugaan ini ke (12) akan kita dapatkan

h2 2 s + E = 0 yang memberikan dua 2m

nilai s : s=±j

2mE h

2

= ± j α , dengan α =

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

2mE h2

6/12

Darpublic

www.darpublic.com

Hal ini berarti bahwa ada dua solusi; jumlah kedua solusi juga merupakan solusi. lain adalah bilangan gelombang, k, dengan nilai k= α=

2mE

α tidak

(13)

h2

sehingga jumlah dua solusi dapat kita tuliskan sebagai ψ 2 ( x ) = B1e − jk 2 x + B 2 e jk 2 x

(14)

Persyaratan kekontinyuan di x = 0 mengharuskan ψ 2 (0) = B1 + B 2 = ψ 1 (0) = 0 → B1 = − B 2

dan persyaratan kekontinyuan di L mengharuskan ψ 2 ( L ) = B1e − jk 2 L + B 2 e jk 2 L = ψ 3 (0) = 0 , sehingga

(

)

 − e − jk2 L + e jk2 L   ψ 2 ( L) = B2 − e − jk2 L + e jk2 L = 2 jB2    (15) 2 j   = 2 jB2 sin(k 2 L) = 0 nπ (dengan n bilangan bulat), sehingga Persamaan (15) mengharuskan k 2 L = nπ atau k 2 = L

fungsi gelombang di daerah II menjadi  − e − jk 2 x + e jk 2 x ψ 2 ( x ) = 2 jB 2   2j 

  = 2 jB 2 sin nπ x  L 

(16)

Probabilitas keberadaan elektron di daerah II ini adalah sebanding dengan ψ *2 ( x)ψ 2 ( x) = 4 B22 sin 2

nπ nπ x = K sin 2 L L

(17)

Untuk n = 1, fungsi ini bernilai nol di x = 0 dan x = L , dan maksimum di x = L/ 2 . Untuk n = 2, nilai nol terjadi di x = 0, L/2, dan L. Untuk n = 3, nilai nol terjadi di x = 0, L/3, 2L/3, dan L; dan seterusnya, seperti terlihat pada Gb.3. Selain di x = 0, jumlah titik simpul gelombang, yaitu titik di mana fungsinya bernilai nol, sama dengan nilai n. 4

ψ*ψ

ψ*ψ

ψ 00 0 a). n =1

4

ψ

3

00 L b). n =2

ψ *ψ ψ

3

00 L c). n =3

3

Gb.3.3. Probabilitas keberadaan electron dalam sumur potensial. Karena di daerah II V = 0, maka k 2 = 2mE / h 2 atau E = h 2 k 22 / 2m . Dengan memasukkan nilai k2 kita peroleh energi elektron: Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

7/12

Darpublic

www.darpublic.com E=

n2π2h 2 2mL2

=

h 2  nπ    2m  L 

2

(18)

Kita lihat di sini bahwa energi elektron mempunyai nilai-nilai tertentu yang diskrit, yang ditentukan oleh bilangan bulat n. Nilai diskrit ini terjadi karena pembatasan yang harus dialami oleh ψ2, yaitu bahwa ia harus berada dalam sumur potensial. Ia harus bernilai nol di batas-batas dinding potensial dan hal itu akan terjadi bila lebar sumur potensial L sama dengan bilangan bulat kali setengah panjang gelombang. Tingkat energi untuk n = 1 kita sebut tingkat energi yang pertama; tingkat energi yang kedua pada n = 2; tingkat energi yang ketiga pada n = 3 dan seterusnya. Jika kita kaitkan dengan bentuk gelombangnya, dapat kita katakan bahwa tingkat-tingkat energi tersebut sesuai dengan jumlah titik simpul gelombang. Dengan demikian maka diskritisasi energi elektron terjadi secara wajar melalui pemecahan persamaan Schödinger. Hal ini berbeda dari pendekatan Bohr yang harus membuat postulat mengenai momentum sudut yang harus diskrit agar kuantisasi energi terjadi. Persamaan (18) memperlihatkan bahwa selisih energi antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya, misalnya antara n = 1 dan n = 2, berbanding terbalik dengan kwadrat lebar sumur potensial. Makin lebar sumur ini, makin kecil selisih energi tersebut, artinya tingkat-tingkat energi semakin rapat. Untuk L sama dengan satu satuan misalnya, selisih energi untuk n=2 dan n=1 adalah E 2 − E 1 = 3 h 2 / 8 m dan jika L sepuluh kali lebih lebar maka selisih ini menjadi E 2 − E1 = 0,03 h 2 / 8 m . (lihat Gb.4). Jadi makin besar L maka perbedaan nilai tingkat-tingkat energi akan semakin kecil dan untuk L yang lebar maka tingkat-tingkat energi tersebut akan akan sangat rapat sehingga mendekati kontinyu. n=3 V n=2 n=1 0

L

0

L′

Gb.4. Pengaruh lebar sumur pada tingkat energi. Elektron Di Dalam Sumur Potensial Dangkal. Kita tidak akan membahas hal ini secara rinci akan tetapi dengan pengertian yang kita peroleh pada pembahasan mengenai elektron yang bertemu dengan dinding potensial kita akan mengerti kondisi berikut ini. Jika V tidak tinggi akan tetapi tetap masih V > E maka fungsi gelombang di luar sumur berupa fungsi eksponensial yang menurun menuju nol. Hal ini diperlihatkan pada Gb.5. Di x = 0 dan x = L amplitudo gelombang tidak lagi nol dan demikian juga probabilitas keberadaan elektronnya. Selain itu penurunan amplitudo akan makin lambat jika sumur potensial makin dangkal. Hal ini berarti bahwa makin dangkal sumur potensial makin besar kemungkinan kita menemukan elektron di luar sumur, seperti diperlihatkan secara berturutturut oleh Gb.5.a, b, dan c. Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

8/12

Darpublic

www.darpublic.com

V ψ*ψ

ψ*ψ

ψ*ψ

E

E

E

0

0

L

0

L

a)

L c)

b)

Gb.5. Pengaruh kedalaman sumur pada probabilitas keberadaan elektron. Dinding Potensial Tipis Antara Dua Sumur Potensial. Situasi yang menarik adalah jika sumur potensial mempunyai dinding yang tidak terlalu tebal, misalnya a. Dengan perkataan lain sumur potensial ini berdekatan dengan sumur lain dan di antara keduanya terdapat dinding potensial yang tipis. Situasi seperti ini diperlihatkan oleh Gb.3.6. Di luar dinding, probabilitas keberadaan elektron tidak nol. Dalam kasus ini kita masih memiliki probabilitas menemukan elektron di sumur lain tersebut walaupun energinya lebih rendah dari dinding potensial. Gejala ini disebut penembusan elektron pada dinding potensial (electron tunneling). a ψ*ψ

0

L

Gb.6. Sumur potensial berdinding tipis.

Elektron Dalam Sumur Potensial Tiga Dimensi Kita akan melihat keadaan yang agak mendekati kenyataan, yaitu elektron yang terjebak dalam sumur potensial tiga dimensi. Sumur ini dibatasi oleh dinding potensial di arah sumbu x, y, z, dan akan lebih tepat jika kita sebut kotak potensial, seperti terlihat pada Gb.7. Elektron terjebak di dalam kotak potensial ini dan kita mengambil nilai V = 0 di dalam kotak dan V = ∞ di luar kotak. z Lz y Lx

Ly

x Gb.7. Sumur tiga dimensi.

Karena V = 0, persamaan Schrödinger tiga dimensi yang bebas-waktu di dalam kotak menjadi Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

9/12

Darpublic

www.darpublic.com h 2  ∂ 2 ψ ∂ 2 ψ ∂ 2 ψ  + + + Eψ = 0 2m  ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 

(19)

dengan ψ adalah fungsi dari x, y, dan z. Kita akan melihat fungsi ini dalam bentuk peubah terpisah ψ( x, y, z ) = X ( x)Y ( y ) Z ( z ) . Hal ini tidak selalu dapat terjadi, akan tetapi kita mengambil langkah ini agar persamaan yang tidak mudah dipecahkan ini menjadi agak sederhana. Jika turunan kedua fungsi ini kita masukkan ke (26) kemudian kedua ruas dibagi dengan ψ ( x, y, z ) , dan dikalikan dengan 2m / h 2 maka akan kita peroleh 1 ∂ 2 X ( x) 1 ∂ 2Y ( y) 1 ∂ 2 Z ( z) 2m E + + =− X ( x) ∂x 2 Y ( y ) ∂y 2 Z ( z ) ∂z 2 h2

(20)

Setiap suku di ruas kiri hanya merupakan fungsi dari satu peubah dan berbeda satu sama lain; jumlah ketiganya sama dengan suatu nilai konstan. Hal ini hanya akan terjadi jika masing-masing suku juga sama dengan suatu nilai konstan. Jadi 1 ∂ 2 X ( x) 2m 1 ∂ 2 Z ( z) 2m 1 ∂ 2Y ( y) 2m ; ; = − E = − 2 Ez = − E x y 2 2 2 2 X ( x) ∂x 2 Z ( z ) Y ( y ) h ∂z h ∂y h

(21)

dengan Ex, Ey, dan Ez adalah nilai-nilai konstan dan E = E x + E y + E z . Salah satu persamaan dari (21) dapat kita tuliskan sebagai ∂ 2 X ( x) ∂x

2

+

2m h2

E x X ( x) = 0

(22)

Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier homogen orde kedua yang telah pernah kita temui pada waktu kita membahas elektron yang terjebak dalam sumur potensial satu dimensi. Dengan cara pemecahan yang serupa, kita dapatkan Ex =

n x2 h 2 8mL2x

;

Ey =

n 2y h 2 8mL2y

Ez =

;

n z2 h 2

(23)

8mL2z

dengan nx, ny, dan nz adalah bilangan-bilangan bulat. Energi total elektron adalah 2 n 2y n2  h 2  n x E = Ex + E y + Ez = + + z  8m  L x L y L z   

(24)

Persamaan (24) menunjukkan bahwa energi elektron ditentukan oleh tiga macam bilangan bulat yang kita sebut bilangan kuantum, yaitu n x , n y , n z . Bentuk fungsi gelombang dalam kotak potensial adalah ψ = K sin

n y πy n x πx n πz sin sin z Lx Ly Lz

(25)

Jika kotak potensial berbentuk kubus, L x = L y = L z = L , maka E = Ex + Ey + Ez =

h2 2

8mL

(n

2 x

+ n 2y + n z2

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

)

( 3.26)

10/12

Darpublic

www.darpublic.com

Pada persamaan (26) terlihat bahwa makin kecil ukuran kotak potensial, makin jauh jarak antara satu tingkat energi dengan tingkat energi berikutnya. Tetapi pada kotak potensial yang besar, tingkat-tingkat energi yang berurutan menjadi sangat berdekatan sehingga mereka dapat dianggap membentuk spektrum tingkat energi yang kontinyu. (lihat Gb.8.). 12E1 11E1 dE

9E1 6E1 3E1 E1 Kotak Potensial kecil

Kotak Potensial besar

Gb.3.8. Tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial. Degenerasi Persamaan (23) menunjukkan bahwa energi tergantung dari (n x2 + n 2y + n z2 ) . Hal ini berarti bahwa semua status yang ditentukan oleh semua nilai nx, ny, dan nz yang memberikan jumlah nilai yang sama akan memberikan nilai energi yang sama pula. Akan tetapi setiap perubahan nilai nx, ny, dan nz akan memberikan fungsi gelombang yang berbeda. Jadi satu tingkat energi mungkin berkaitan dengan beberapa macam fungsi gelombang. Jika hal ini terjadi kita katakan bahwa terjadi degenerasi. Orde degenerasi suatu tingkat energi ditentukan oleh berapa banyak fungsi gelombang yang berbeda untuk tingkat energi tersebut. Contoh untuk enam tingkat energi dari kotak potensial kubus diberikan pada Tabel-1. Tabel-1. Tingkat Energi dan Degenerasi Dalam Kotak Potensial Kubus. [3]. E1 = h 2 / 8mL2

Energi

Kombinasi nx, ny, dan nz

Degenerasi

3 E1

(1,1,1)

1

6 E1

(2,1,1) (1,2,1) (1,1,2)

3

9 E1

(2,2,1) (2,1,2) (1,2,2)

3

11 E1

(3,1,1) (1,3,1) (1,1,3)

3

12 E1

(2,2,2)

1

14 E1

(1,2,3) (3,2,1) (2,3,1) (1,3,2) (2,1,3) (3,1,2)

6

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

11/12

Darpublic

www.darpublic.com Beberapa Konstanta Fisika Kecepatan rambat cahaya Bilangan Avogadro Konstanta gas Konstanta Planck Konstanta Boltzmann Permeabilitas Permitivitas Muatan elektron Massa elektron diam Magneton Bohr

c N0 R h kB µ0 ε0 e m0 µB

3,00 × 10 meter / detik 23 6,02 × 10 molekul / mole o 8,32 joule / (mole)( K) −34 6,63 × 10 joule-detik o 1,38 × 10−23 joule / K −6 1,26 × 10 henry / meter 8,85 × 10−12 farad / meter 1,60 × 10−19 coulomb 9,11 × 10−31 kg 2 9,29 × 10−24 amp-m 8

Pustaka (berurut sesuai pemakaian) 1.

Zbigniew D Jastrzebski, “The Nature And Properties Of Engineering Materials”, John Wiley & Sons, ISBN 0-471-63693-2, 1987.

2.

Daniel D Pollock, “Physical Properties of Materials for Engineers”, Volume I, CRC Press, ISBN 0-8493-6200-6, 1982

3.

William G. Moffatt, George W. Pearsall, John Wulf, “The Structure and Properties of Materials”, Vol. I Structure, John Wiley & Sons, ISBN 0 471 06385, 1979.

4.

Marcelo Alonso, Edward J. Finn, “Fundamental University Physics”, Addison-Wesley, 1972.

5.

Robert M. Rose, Lawrence A. Shepard, John Wulf, “The Structure and Properties of Materials”, Vol. IV Electronic Properties, John Wiley & Sons, ISBN 0 471 06388 6, 1979.

6.

Sudaryatno Sudirham, P. Gomes de Lima, B. Despax, C. Mayoux, “Partial Synthesis of a Discharge-Effects On a Polymer Characterized By Thermal Stimulated Current” makalah, Conf. on Gas Disharge, Oxford, 1985.

7.

Sudaryatno Sudirham, “Réponse Electrique d’un Polyimide Soumis à une Décharge Luminescente dans l’Argon”, Desertasi, UNPT, 1985.

8.

Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Bab-1 dan Lampiran-II, Penerbit ITB 2002, ISBN 979-9299-54-3.

9.

W. Tillar Shugg, “Handbook of Electrical and Electronic Insulating Materials”, IEEE Press, 1995, ISBN 0-7803-1030-6.

10. Daniel D Pollock, “Physical Properties of Materials for Engineers”, Volume III, CRC Press, ISBN 0-8493-6200-2, 1982. 11. Jere H. Brophy, Robert M. Rose, John Wulf, The Structure and Properties of Materials, Vol. II Thermodynamic of Structure, John Wiley & Sons, ISBN 0 471 06386 X, 1979. 12. L. Solymar, D. Walsh, “Lectures on the Electrical Properties of Materials”, Oxford Scie. Publication, ISBN 0-19-856192-X, 1988. 13. Daniel D Pollock, “Physical Properties of Materials for Engineers”, Volume II, CRC Press, ISBN 0-8493-6200-4, 1982. 14. G. Bourne, C. Boussel, J.J. Moine, “Chimie Organique”, Cedic/ Ferdinand Nathan, 1983. 15. Fred W. Billmeyer, Jr, “Textbook of Polymer Science”, John Wiley & Son, 1984.

Sudaryatno Sudirham, “Persamaan Gelombang Schrödinger”

12/12