37 PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN MASYARAKAT DI

Download Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam. Volume I No. 1 Nopember 2014. 37. PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN MASYARAKAT DI. KELURAHAN ...

0 downloads 425 Views 266KB Size
Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN MASYARAKAT DI KELURAHAN MACANANG KECAMATAN TANETE RIATTANG BARAT Oleh: Asni Zubair ABSTRACT Division of inheritance practices in society aimed to highlight the behavior displayed when executing the division. This study intends to examine how and why the people doing the division of property inheritance. This study was conducted with a case study supported by the informant interview method to collect the necessary data. Then analyzed with the theories of Islamic inheritance law system and customary inheritance law system to translate the data into something meaningful. The results found that the division of inheritance practices in Macanang society dominated by the influence of society customary inheritance law. It is evident from the cases presented that almost entirely follows the pattern of customary inheritance law. When viewed from the determination of heirs, it generally addressed to the descendants of the heirs. There is only one case involving the heir’s husband as the heirs, as well as large parts of the heirs determined as the Islamic inheritance law. However, if seen from the values that are understood and the time of the division of property carried out are generally according to Islamic inheritance law. The reason of Macanang Muslim communities in the division of the inheritance that they do are quite diverse, namely: to avoid disputes, to clarify the ownership of property status, to completeness of data, to abstain from taking rights of others, to grant heirs, and as a form of worship to Allah. Keywords: Practice, Division of Inheritance, Society, Case Studies.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibatnya bagi ahli waris. AshShabuni menyebutkan bahwa hukum waris yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.1 Hukum waris Islam sering pula dinamakan sebagai farāid

karena bagian masing-

masing ahli waris telah ditentukan oleh syara’.

1

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Warisan Menurut Islam, (Cet II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 39.

37

38

Selain itu, hukum waris Islam juga sering dinamai sebagai ilmu mawāriś karena membicarakan tentang pemindahan harta warisan orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.2 Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dan Muh ̣ammad Muh ̣yiddīn.3 Meskipun aturan kewarisan dalam Islam sudah jelas, namun dalam praktik di masyarakat masih belum tersosialisasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam realitas pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam justru lebih banyak merujuk pada adat kebiasaan mereka. Misalnya orang tua membagi harta kepada anak-anaknya selagi mereka masih hidup yang dianggap sebagai pembagian harta warisan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diajukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana praktik pembagian harta warisan masyarakat muslim di Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat? 2. Apa alasan masyarakat muslim Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat dalam pembagian harta warisan? C. Kerangka Teori 1. Sistem hukum waris Islam Untuk mengetahui apakah praktik pembagian harta warisan yang dilakukan masyarakat muslim Kelurahan Macanang cenderung diwarnai oleh hukum waris Islam atau hukum waris adat, maka diperlukan pengetahuan yang berpautan dengan

2

Lihat Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan Adaptabilitas, Cet. I; (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 261. Dimyati Rusli, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Depertemen Agama RI, 2000). h. 200. 3 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Cet. I; (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 18. Muḥammad Muḥyiddīn ‘Abd al-Ḥamīd, Aḥkām al-Mawārīś fī al-Syarī‘at al-Islāmiyyah ‘alā Mażāhib al-Aimmat al-Arba‘ah, Cet. I; (t.tp: Dār al-Kitāb al-‘Arabiy, 1404 H/ 1974 M), h. 7.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

39

kedua sistem hukum itu. Hal-hal tersebut seperti saat pembagian harta warisan dilakukan, pewaris, ahli waris, dan harta warisan. a. Saat pembagian harta warisan dilakukan Waktu terbukanya pembagian harta warisan menurut sistem hukum Islam adalah apabila seseorang telah meninggal dunia. Keadaan ini disebabkan peristiwa waris dan mewarisi berfungsi menggantikan kedudukan seseorang yang telah meninggal dunia dalam memiliki harta benda. Jika orang yang akan diganti itu masih hidup, maka belum dapat digantikan kedudukannya sebab dirinya masih berkuasa penuh atas kepemilikan hartanya. 4 Sehingga penentuan ahli waris terjadi setelah seseorang sebagai pewaris meninggal dunia baik secara hakiki maupun secara hukmi. Manakala orang tua sebagai bakal pewaris membagikan harta kepada anaknya, maka hal itu bukanlah pembagian harta warisan melainkan pemberian. Sebab, menurut hukum waris Islam pembagian harta warisan itu baru terjadi apabila seseorang telah meninggal dunia. Jika sekiranya pemberian orang tua hanya dilakukan kepada sebagian anak sedangkan yang lainnya tidak, maka pemberian itu dipertimbangkan kembali dan dapat diperhitungkan sebagai bagian harta warisan yang diterimanya.5 Di samping itu ajaran Islam mengamanatkan bahwa apabila orang tua semasa hidupnya memberikan sesuatu kepada anak-anaknya hendaklah berlaku adil dengan menyamakan pemberiannya itu. Hal ini sebagaimana dipetik dari hadis Nabi saw. 6

‫( إﻋﺪﻟﻮﺑﯿﻦ اوﻻدﻛﻢ ﻓﻰ اﻟﻌﻄﯿﺔ‬berlaku adillah di antara anak-anakmu dalam pemberian). b. Pewaris atau yang mewariskan Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan

sesuatu yang dapat dialihkan kepada ahli warisnya.7 Mengenai pewaris secara umum adalah orang tua dan kerabat sebagaimana dipahami dari ayat 7 dari Q.S. An4

Fatchurrahman, Ilmu Waris, Cet. II; (Bandung: PT Al-Maarif, 1981), h. 79.

5 Hal ini seperti yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 211, Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 164. 6

Lihat Muḥammad Muḥsin Khān, Ṣaḥīḥ al-Bukhārīy: The Translation of the Meanings of Ṣaḥīḥ al-Bukhārīy ‘Arabic-English, Volume III (Madīnah al-Munawwarah: Dār al-Fikr, t.t.), h. 458. 7

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005), h. 204.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

40

Nisā’(4) yang menyebutkan bahwa: 





 









 



         Artinya: “Bagi Laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.8

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pewaris itu adalah orang tua dan kerabat yang telah meninggal dunia. Secara jelas dapat dilihat pada ayat-ayat yang berbicara tentang kewarisan misalnya dalam ayat 11, 12, dan 176 surat An-Nisā’. Apabila ayat 11 tersebut dicermati dengan interpretasi logis 9 maka dapat diketahui bahwa kewarisan anak-anak laki-laki atau perempuan, bersama-sama atau secara terpisah baik seorang maupun beberapa orang. Hal ini berarti bahwa pewaris di sini adalah ibu dan ayah. Pengertian anak dan bapak serta ibu dalam ayat 11 ini oleh ulama diperluas kepada cucu, kakek, dan nenek. jadi pewaris itu adalah bapak, ibu, nenek, kakek, anak, dan cucu. Adapun rincian kerabat dalam ayat 12 dan 176 surah An-Nisā’ adalah istri menjadi pewaris bagi suaminya dan suami pewaris bagi istrinya, juga disebutkan bahwa saudara baik laki-laki maupun perempuan menjadi pewaris bagi saudara-saudaranya.10

8

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 78. 9 M. Jandra dan Sukriyanto, “Pelaksanaan Warisan di Kauman Kesultanan Yogyakarta” dalam M. Jandra (editor), Hukum Islam tentang Waris, Asuransi dan Pengadilan, (Cet. I; Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Sunan Kalijaga, 2006), h. 40- 41. 10 Ibid. Selengkapnya baca Amir Syarifuddin, Hukum …, op. cit., h. 67-81.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

41

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

42

c. Ahli waris Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta pewaris karena adanya hubungan yang menyebabkan saling mewaris. Penyebab terjadinya hubungan kewarisan karena adanya hubungan darah, perkawinan, dan memerdekakan budak.11 Untuk hubungan kewarisan karena hubungan darah dipetik antara lain pada Q.S. AnNisā’(4) ayat 7 dan bagian-bagian yang diterima ahli waris nasab terdapat pada ayat 11, 12, dan 176. Untuk hubungan kewarisan sebab perkawinan dan bagian yang diterima oleh ahli waris (suami atau isteri pewaris) dipahami dari Q.S. An-Nisā’(4) ayat 12. Artinya terdapat hubungan saling tolong menolong antara pewaris dan ahli warisnya, sebab tanpa hubungan itu mereka tidak dapat saling mewarisi. Ketentuan ayat 11 Q.S. An-Nisā’(4) merupakan batas maksimal dan minimal secara bersamaan serta merupakan ketentuan global Allah dalam memberikan aturan pembagian harta warisan dalam Islam. Kategori maksimal dan minimal secara bersamaan ini berlaku prinsip saling mendekati atau kecenderungan untuk saling mendekat hingga batas perbandingan yang sebanding antara laki-laki dan perempuan.12 Jika beban ekonomi sepenuhnya ditanggung oleh laki-laki, sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat, maka dalam kondisi ini batasan hukum Allah diterapkan yaitu memberi dua bagian kepada laki-laki dan satu bagian kepada perempuan.

13

Ketika perempuan ikut mencari nafkah bagi keluarga maka

perolehannya bertambah besar mendekati bagian laki-laki sesuai dengan seberapa banyak dia terlibat.14 d. Harta warisan Harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris dan secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Namun tidak semua harta itu menjadi hak ahli waris sebab pelaksanaan pembagian harta warisan itu didahului 11

Muh̩ammad Muh̩yiddīn ‘Abd al-Ḥamīd, op. cit., h. 15 dan 25-26.. Sebagaimana dikutip oleh Musayyaratussolichah dalam Mochamad Sodik, (editor). Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan IISEP-CIDA, 2005), h. 114-116. 13 Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu‘ās ̣irah diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Cet. II; Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), h. 40. 14 Ibid., h. 241. 12

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

43

dengan mengeluarkan hak orang lain dari harta tersebut. Sebagaimana diamanatkan Allah swt. dalam ayat 11 dan 12 surah An-Nisā’.15 Kompilasi hukum Islam pasal 171 huruf e menunjukkan bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.16 2. Sistem hukum waris adat a. Saat pembagian harta dilakukan Menurut Soepomo, warisan adalah ”peraturan-peraturan yang mengatur proses mengoperkan benda dan barang yang tidak berwujud benda dari satu angkatan manusia kepada turunannya”.17 Jadi titik beratnya adalah pengoperan harta kepada keturunan. Selanjutnya Soepomo menyatakan proses peralihan harta ini sudah dapat dimulai ketika pemilik masih hidup dan berlanjut hingga keturunannya.18 Pewarisan secara hibah wasiat dilakukan untuk mewajibkan kepada ahli waris membagi harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris, mencegah perselisihan, dan mengikat sifat-sifat harta tinggalkan. Adakalanya hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui perantara notaris yang disebut testamen.19 Pembagian seperti ini membuat bakal pewaris dapat mengatur peralihan harta benda kepada ahli warisnya. b. Pewaris Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwa pewaris adalah orang yang mempunyai harta kekayaan yang akan diteruskan kepada para ahli warisnya setelah dia meninggal. Dilihat dari sistem kewarisannya, terdapat pewaris kolektif, mayorat, dan individual. Pewaris kolektif apabila meninggalkan harta milik bersama untuk para ahli waris secara bersama-sama. Pewaris mayorat apabila meninggalkan harta

15

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 206-207. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 155-156. 17 R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), h. 67. 18 Ibid. 19 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 271. dan R. Soepomo, op. cit., h. 68. 16

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

44

bersama untuk diteruskan kepada anak tertua. Pewaris individual apabila meninggalkan harta milik untuk dibagikan kepada para ahli warisnya.20 Dalam masyarakat patrilineal, umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris adalah kaum laki-laki, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara laki-laki ayah), sedangkan perempuan bukan pewaris. Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris adalah perempuan, yaitu ibu didampingi mamak kepala waris, adapun ayah (suami) bukan pewaris.21 c. Ahli waris Ahli waris dibedakan dengan waris, waris adalah orang yang mendapat harta warisan, sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan. Ketentuan mengenai siapa yang menjadi ahli waris sangat dipengaruhi oleh bentuk kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Pada masyarakat patrilineal ahli warisnya hanya anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan ahli waris. Pada masyarakat matrilineal anak menjadi ahli waris jika yang meninggal itu ibunya. Dalam masyarakat bilateral, anak laki-laki dan perempuan yang sah adalah ahli waris dari kedua ibu bapaknya.22 Janda bukan ahli waris dari suaminya, tetapi jika anak-anaknya masih kecil dan belum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa atas harta warisan itu adalah janda sampai anak-anaknya dewasa. Apabila anak-anaknya telah dewasa dan harta warisan akan dibagi maka janda boleh mendapatkan bagian seperti bagian anak sebagai waris atau dia ikut anak tertua atau yang disenanginya.23 d. Harta yang dialihkan Harta yang dialihkan tidak saja benda yang berwujud dan bernilai ekonomis tetapi juga yang mendukung nilai-nilai kehormatan adat dan yang bersifat magis religius seperti kedudukan/jabatan adat serta tanggung jawab kekerabatan.24 20 Seperti dikutip oleh C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, (Cet. II; Bandung: PT Refika Aditama, 2012), h. 76. 21 Hilman Hadikusuma seperti dikutip oleh M. Jandra, op. cit., h. 43. 22

Seperti dikutip oleh C. Dewi Wulansari, op. cit., h. 76-77.

23

Ibid. h. 77. Hilman Hadikusuma seperti dikutip oleh M. Jandra, op. cit., h. 48.

24

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

45

Harta yang berwujud benda seperti tanah, rumah, perhiasan, perabot rumah tangga, alat transportasi, senjata, harta bersama orang tua/suami istri, harta bawaan, ternak dan sebagainya. Sedangkan harta yang tidak berwujud seperti jabatan/gelargelar adat, hutang-hutang, perjanjian dan sebagainya.25 E. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan mencari data tentang praktik pembagian harta warisan di masyarakat Kelurahan Macanang. Penelitian hukum yang menggunakan data utama dari data primer (yang diperoleh langsung dari masyarakat) disebut penelitian hukum sosiologis atau empiris. 26 Dengan kata lain pengumpulan data langsung dari sumbernya, yaitu para informan dan nara sumber. Fokus penelitian hukum empiris adalah perilaku (behavior) yang dianut dan berkembang dalam masyarakat. Perilaku itu diterima dan dihargai oleh masyarakat karena tidak dilarang undang-undang (statute law), tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public order), dan moral masyarakat (social ethics).27 Oleh sebab itu, penelitian ini fokus pada perilaku masyarakat Kelurahan Macanang dalam praktik pembagian harta warisan. II. PEMBAHASAN A. Deskripsi Kelurahan Macanang Kelurahan Macanang berbatasan dengan Kelurahan Mattirowalie di Utara, Kelurahan Bulu Tempe di Selatan, Kelurahan Jeppe’e dan Macege di Barat, dan Kelurahan Majang di Timur. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan kurang lebih 3 (tiga) kilometer, dari pusat pemerintahan kota kurang lebih 0,1 kilometer, dari ibukota kabupaten kurang lebih 3 kilometer.28 Jumlah penduduknya kurang lebih 8.934 jiwa dengan 1.903 kepala keluarga yang terdiri dari laki-laki kurang lebih 4.428 jiwa dan perempuan kurang lebih 4.506 jiwa. Kehidupan sosial ekonomi penduduknya dapat dilihat dari jenis pekerjaan 25

C. Dewi Wulansari, op. cit., h. 76. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 10. 27 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), h. 157. 26

28

Buku Monografi Kelurahan Macanang Bulan Agustus tahun 2013

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

46

ataupun mata pencaharian yang didominasi oleh mereka di sektor swasta, baik karyawan maupun wiraswasta atau pedagang. Kemudian disusul pegawai negeri sipil (PNS) dan petani serta buruh tani. Masyarakatnya merupakan pemeluk Agama Islam yang cukup taat. Hal ini ditandai dengan kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini juga ditunjukkan dengan banyaknya tempat ibadah seperti masjid (12 bangunan) dan musholla (11 bangunan) di seluruh lingkungannya. Di samping itu, terdapat lembaga pendidikan agama Islam seperti madrasah ibtidaiyah dan perguruan tinggi agama yakni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. B. Praktik Pembagian Harta Warisan Masyarakat Muslim Kelurahan Macanang Praktik pembagian harta warisan masyarakat muslim diketahui melalui wawancara untuk pengumpulan informasi kepada pihak yang pernah terlibat. Mereka terdiri dari keluarga yang memiliki latar belakang petani, wiraswasta kecil, dan pengusaha jasa tata boga. Terdapat informan menyatakan bahwa pembagian harta warisan yang dilaksanakannya menurut hukum waris Islam. Selain itu terdapat jenis harta warisan dibagi berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah yang dihadiri semua ahli waris. Pembagian jenis harta warisan itu tidak dibagi persis seperti besar furūḍ masingmasing ahli waris. Terdapat pula informan yang membagi harta sebelum dirinya meninggal dunia dengan tujuan agar anak-anaknya tetap hidup rukun bila dia meninggal kelak. Kasus praktik pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut:

Kasus 1 Seorang perempuan meninggal, ahli warisnya terdiri atas seorang anak lakilaki dan anak perempuan. Setelah pembagian harta warisan dilakukan, anak laki-laki tersebut menjual bagiannya kepada anak perempuan (saudarinya) dengan alasan dia membutuhkan uang, lagipula bagiannya tidaklah begitu luas sebab dia anak bungsu. Sedangkan kakak perempuannya mendapat lebih banyak karena anak tertua. Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

47

Sehingga sawah peninggalan seluruhnya dimiliki oleh anak perempuan pewaris. Jika diperhatikan, praktik ini dikenal dalam hukum waris Islam dengan takhāruj karena anak laki-laki pewaris mengundurkan diri dari menerima harta warisan kemudian diberi kompensasi berupa uang oleh ahli waris lain (anak perempuan pewaris). Kasus 2 Seorang laki-laki sebelum meninggal membagikan harta kepada anakanaknya masing-masing diberi satu lokasi persawahan. Pembagian tersebut tertuang di atas surat pembagian yang ditanda tangani oleh setiap anak sebagai tanda persetujuan. Tetapi sawah yang dibagi masih dalam penguasaan orang tua tersebut, artinya wujud dan manfaatnya masih tetap menjadi milik orang tua. Apabila anak ingin turut menikmati hasil sawah itu, maka dia dipersilakan datang ke orang tua. Bagian masing-masing anak baru dapat dikuasai jika kedua orang tua mereka telah meninggal dunia. Hal itu dilakukan dengan alasan agar sepeninggalnya nanti, anakanaknya tetap hidup rukun. Kasus 3 Sekitar tahun 2009, Petta Aji Ica meninggal dunia dengan ahli waris seorang suami dan empat orang anak. Empat orang anak tersebut terdiri atas tiga orang perempuan yaitu Azizah, Jama’ Ahna, dan Dzulqaidah serta seorang laki-laki yaitu Astamuddin. Tiga tahun setelah kepergian almarhumah, suami dan anak-anaknya sepakat untuk membagi harta warisan berupa sawah dan perhiasan (emas dan batu permata). Sawah

dijual seharga Rp. 300 juta, suami almarhumah memperoleh

bagian sebesar ¼ dari harga itu yakni Rp. 75 juta dan sisanya dibagi kepada anakanaknya dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Maka untuk anak laki-laki memperoleh bagian Rp. 90 juta dan tiga orang anak perempuan masing-masing memperoleh bagian Rp. 45 juta. Adapun harta warisan berupa emas dan batu permata dibagi dengan cara musyawarah mufakat di antara ahli waris dengan pertimbangan bahwa sulit untuk menaksir harga batu permata. Selain itu, sebuah rumah yang berbentuk ruko (rumah toko) masih dibiarkan belum terbagi. Pembagian yang dilakukan dalam kasus ini sejalan dengan hukum waris Islam baik dari segi penentuan ahli waris maupun bagian yang diterima. Penentuan Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

48

ahli waris yang terdiri atas suami dan keempat anak almarhumah karena tidak ada lagi ahli waris lain. Bagian yang diterima oleh suami (duda) sebesar ¼ harta warisan sejalan dengan hukum waris Islam sebagaimana yang dipahami dari bunyi firman Allah swt. dalam Q.S. An-Nisā’ (4): 12 sebagai berikut:

          Artinya: jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.29 Adapun bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan sejalan dengan hukum waris Islam sebagaimana yang dipahami dari firman Allah swt. dalam Q.S. An-Nisā’ (4): 11 sebagai berikut:

    







  Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.30 Mereka membagi harta warisan karena merupakan hak ahli waris sehingga tidak ada alasan untuk menunda pembagian. Selain itu, sebagai seorang muslim maka seharusnya harta warisan dibagi sesuai dengan hukum waris Islam sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Sebab, ibadah dipahami bukan hanya ibadah shalat, puasa, haji tetapi seluruh aspek kehidupan. Waktu pembagian harta warisan dilakukan setelah kematian pewaris sesuai dengan asas kewarisan Islam yaitu semata akibat kematian. Asas ini berarti bahwa harta seseorang itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain dengan nama waris selama yang memiliki harta tersebut masih hidup.31

29

Departemen Agama, h. 79.

30

Departemen Agama. h. 78. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 28.

31

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

49

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

50

Kasus 4 Yaya’ telah ditinggal wafat oleh ibu sejak usianya masih belum genap setahun, kemudian ayahnya menikah lagi dengan saudara ibunya (sebut saja Halimah yang kini juga telah wafat-). Dalam rangka menunaikan kewajibannya sebagai ahli waris, Yaya’ mengumpulkan saudara ibu tirinya dan kemenakannya untuk membicarakan pembagian harta warisan ibu tirinya yang juga sekaligus tantenya. Dalam musyawarah tersebut, kemenakan laki-lakinya mengklaim bahwa rumah peninggalan mendiang itu telah diberikan kepadanya, perhiasan yang ada juga diklaim menjadi haknya karena telah membiayai perawatan Halimah. Yaya’ dan kerabat lain tidak mempersoalkannya, sebab meskipun mereka tidak pernah diberitahu tentang hal itu namun mempercayai klaim kemenakan laki-lakinya. Adapun empat petak sawah dibagi dua, dua petak untuk delapan orang saudara pewaris dan dua lainnya untuk Yaya’ dan kemenakannya. Kemudian Yaya’ menyerahkan satu petak kepada kemenakan laki-lakinya agar dibagi dengan adik perempuannya. Yaya’ membagi harta warisan mendiang Halimah seperti itu karena sadar bahwa tidak boleh mengambil hak orang lain walaupun hanya sedikit. Pemahaman seperti ini memang dengan tegas dikemukakan di dalam Al-Quran surah An-Nisā’ ayat 29 yang melarang orang beriman memakan harta orang lain dengan jalan bātīl (tidak benar). Selain itu, masih dalam surah yang sama di ayat 10 ditegaskan bahwa orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.32 Yaya’ juga memberi bagian kepada saudara-saudara pewaris karena pewaris meninggal tidak memiliki anak. Anak suami pewaris dari istri sebelumnya terdiri atas dua orang yang berjenis kelamin perempuan. Meskipun Yaya’ bersaudara bukanlah anak pewaris, tetapi Yaya’ masih kemenakan pewaris. Dalam pengetahuan Yaya’ bahwa saudara pewaris yang masih hidup akan mendapat dua bagian dan 32

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 83 dan 78.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

51

keturunan saudara pewaris yang lebih dahulu meninggal dari pewaris akan mendapat satu bagian. Hal itulah yang menyebabkan dirinya hanya mendapat sepetak sawah sedangkan kepada saudara pewaris diserahkan dua petak sawah. Bila dicermati tampaknya Yaya’ memiliki pengetahuan tentang penggantian kedudukan ahli waris. Sebab, ibu kandungnya yang meninggal lebih dahulu dari pewaris digantikan kedudukannya oleh dirinya dan saudarinya. Bahkan saudarinya yang juga meninggal lebih dahulu dari pewaris digantikan kedudukannya oleh anak laki-laki dan perempuannya. Pewaris pertama adalah ibu dari Yaya’, yakni istri ayahnya yang terdahulu. Namun disaat ibunya meninggal, usia Yaya’ masih 6 (enam) bulan, jadi dirinya belum mengetahui apa yang terjadi. Selanjutnya pewaris kedua adalah ayah Yaya’, akan tetapi waktu itu belum juga dilakukan pembagian harta warisan sebab istrinya masih hidup, sehingga harta peninggalan pewaris beralih kepada jandanya. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan hukum waris Islam yang menghendaki harta warisan pewaris untuk dibagikan kepada ahli warisnya. Keadaan ini dipengaruhi oleh hukum adat masyarakat yang tidak memberi harta warisan secara langsung kepada salah seorang dari suami atau istri yang ditinggal mati. Hal itu sejalan dengan pernyataan Prof. Ratno Lukito bahwa apabila salah seorang dari pasangan suami istri itu meninggal dunia, maka biasanya cenderung untuk tidak membagi harta itu secara langsung tetapi tetap memanfaatkannya untuk membiayai kehidupan rumah tangga. Maka biasanya janda ataupun duda dari pasangan itu yang akan mengambil peran dalam pengaturan harta benda itu. Cara seperti ini yang dipercayai mampu menjaga kedamaian dalam keluarga dan keseimbangan dalam masyarakat secara umum. 33 Pembagian harta warisan baru dilakukan setelah janda juga meninggal dunia sebab jika janda belum meninggal maka dia berhak menikmati harta peninggalan suaminya. Kasus 5 Seorang petani membagi harta kepada tiga orang anaknya, dua orang perempuan yaitu Saniah dan Fitri serta seorang laki-laki bernama Hasbi. Kepada Hasbi dia memberi sawah yang kemudian dijual olehnya. Kepada Saniah dan Fitri 33

Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Cet. I; (Yogyakarta: TERAS, 2008), h. 51-52.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

52

diberi tanah perumahan yang letaknya berdampingan, tetapi tanah pemberian orang tuanya tersebut oleh Saniah masih dimanfaatkan ibu bapaknya karena dia bertugas di daerah lain. Demikian pula halnya dengan Fitri belum menguasai pemberian tersebut karena kedua orang tuanya masih hidup. Kasus 6 Seorang perempuan membagi harta warisan mendiang ayahnya kepada kedua anak perempuannya yaitu Erni dan Ramlah. Kedua anak perempuan tersebut sudah menikah dan telah dikaruniai masing-masing seorang anak. Harta warisan itu berupa tanah perumahan beserta sebuah rumah kayu di atasnya dengan luas sekitar 14x20 meter yang dibagi kepada Erni dan Ramlah. Tanah perumahan itu dibagi kepada keduanya masing-masing dengan luas 7x20 meter, begitupun halnya rumah kayu yang berdiri di atas tanah itu turut dibongkar. Sementara itu perempuan tersebut masih menyimpan sebidang tanah perkebunan untuk kehidupan dirinya (ampi kaale). Erni dan Ramlah memiliki saudara laki-laki bernama Anwar yang telah menguasai sepenuhnya harta warisan ayahnya. Harta tersebut berupa tanah perumahan yang terletak di tepi jalan raya seluas kurang lebih 7x30 meter. Oleh karena itu ibu mereka berpesan agar Anwar tidak lagi berusaha untuk mendapatkan hak dari harta yang dibagi kepada kedua saudara perempuannya. Pembagian

harta

yang

dilakukan

kepada

Erni

dan

Ramlah

jika

memperhatikan asal harta, tampak bahwa sebenarnya harta itu milik ibu yang membaginya. Jadi pembagian dilakukan sebelum yang memiliki harta itu meninggal dunia. Inilah yang di dalam hukum waris adat disebutkan sebagai pengoperan harta dari satu generasi kepada generasi berikut. Harta itu berasal dari ayah perempuan yang membaginya, disaat anak-anaknya telah berumah tangga maka gilirannya untuk mengoperkan harta kepada keturunannya. Sedangkan yang diserahkan kepada Anwar berasal dari harta warisan ayahnya. Jika ditinjau dari waktu pengalihan harta kepada Anwar, maka peralihan itu dapat disebut sebagai peristiwa pewarisan karena dilakukan setelah kematian ayahnya.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

53

C. Alasan Masyarakat Muslim Kelurahan Macanang dalam Pembagian Harta Warisan 1. Untuk menghindari perselisihan Harta warisan dibagi dengan alasan bahwa dirinya sebagai orang tua masih hidup sehingga tindakannya dapat meminimalisir kemungkinan terjadi perselisihan di kemudian hari. Oleh karena itu bakal pewaris merasa lebih tenang setelah membagi harta kepada anak-anaknya. Hal ini sebagamana yang dipahami dari keterangan salah seorang informan bernama Ra’na yang membagi tanah perumahan kepada anaknya sebagai berikut: ”sedding tuoku mopa na’, kubagenganni makkeda aro ndo’ purano uwareng taccipuemu, ikomani bawang, ko engka pale dalle’mu ebbu tono bola apa’ igana missengngi iyako matena’ matu”.34 Terjemahan bebasnya bahwa selagi masih hidup saya bagikan, itu nak saya sudah memberikan (harta) kepadamu masing-masing setengah bagian, terserah pada kalian, jika ada rezeki kalian, buatlah rumah. Sebab siapa yang tahu jika saya sudah meninggal nanti. 2. Untuk memperjelas status kepemilikan Mereka membagi harta adalah untuk memperjelas status kepemilikan harta warisan yang ada. Hal itu bertujuan memudahkan apabila hendak digunakan oleh ahli waris jika membutuhkannya. Selain itu, hal yang terpenting adalah menghindari timbulnya sengketa maka perlu dicakkaari (diperjelas kepemilikannya). Sebab, harta warisan yang dibiarkan tidak terbagi dapat memunculkan peluang dikuasai oleh orang tertentu atau malah harta itu tidak terurus sehingga tidak bermanfaat optimal bagi ahli waris. Bahkan jika semakin lama harta itu dibiarkan tanpa status kepemilikan dapat membuat semakin banyak orang yang berspekulasi mengklaim sebagai pemiliknya. 3. Untuk kelengkapan data Ada pula yang melaksanakan pembagian harta ketika petugas dari kantor agraria melakukan pengukuran tanah masyarakat untuk kelengkapan data. Di saat petugas agraria mempertanyakan status kepemilikan tanah persawahan maupun tanah perumahan, serta tanah perkebunan yang sedang diukurnya maka orang yang 34

Ra’na, warga masyarakat Macanang, wawancara tanggal 29 September 2013 di Macanang Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat. Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

54

mendampingi menyebutkan nama pemiliknya. Hal seperti ini dapat dipahami dari penuturan seorang informan bernama Pattola sebagai berikut: “maggaci’ gaci’ka na’ namancaji tongeng, saba’ makkadai petugas’e maeloi gare rikiring lao Jakarta”35 Terjemahan bebasnya, awalnya saya cuma mengandai-andai nak tetapi menjadi kenyataan karena petugas mengatakan bahwa data itu akan dikirim ke Jakarta. 4. Menjauhkan diri dari mengambil hak orang lain Nurcaya membagi harta warisan kepada saudara dan kemenakan karena sadar bahwa tidak boleh mengambil hak orang lain walaupun hanya sedikit. “Mitauka’ kasi’ iyya’ malai anunna tauwe ndi’”. 36 (Saya takut mengambil kepunyaan orang dik). Dari kalimat ini dipahami bahwa dia tidak ingin mengambil hak orang lain karena takut kepada siksa dan murka Allah swt. Pemahaman seperti ini memang tegas dikemukakan di dalam Al-Quran surah An-Nisā’ ayat 29 yang melarang orang beriman memakan harta orang lain dengan jalan bātiḷ (tidak benar). Selain itu, masih dalam surah yang sama di ayat 10 ditegaskan bahwa orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).37 Hal ini merupakan salah satu hikmah dan nilai universal yang terkandung dalam hukum waris Islam, yakni kejujuran untuk menyerahkan hak orang lain yang berada dalam kekuasaan seseorang. Di samping itu, budaya masyarakat yang masih kental dengan darah Bugisnya sangat memperhatikan konsep siri’ dalam kehidupannya. Maka termasuk ke dalam nilai siri’ untuk tidak melakukan perbuatan tercela dengan mengambil hak orang lain, sebab hal itu akan menghilangkan harga diri pelaku.

35

Pattola, masyarakat Kelurahan Macanang, wawancara tanggal 2 Oktober 2013 di Macanang Kelurahan Macanang. 36

Nurcaya, masyarakat Kelurahan Macanang, wawancara tanggal 23 Oktober 2013 di jln. M.T. Haryono, Pabbacue Kelurahan Macanang. 37 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 83 dan 78.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

55

5. Untuk memberikan hak ahli waris dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Pembagian

harta

warisan

yang

dilandasi

keinginan

untuk

segera

menyerahkan hak ahli waris. Oleh karena harta tersebut memang telah menjadi hak ahli waris sejak kematian pewarisnya, sehingga tidak ada alasan untuk menunda pembagian. Seorang muslim seharusnya membagi harta warisan sesuai dengan hukum waris Islam sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Sebab, ibadah dipahami bukan hanya shalat, puasa, haji tetapi seluruh aspek kehidupan adalah dalam rangka beribadah kepada-Nya.38 Dalam hukum waris Islam memang terdapat unsur ibadah (ta’abbudi) karena dilaksanakan berdasarkan hukum agama, dengan kata lain mentaati hukum-hukum Allah swt. yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis.

III. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Praktik

pembagian harta warisan masyarakat Kelurahan

Macanang

didominasi oleh pengaruh hukum waris adat masyarakatnya. Hal ini dibuktikan dari jumlah 11 kasus yang dikemukakan sebanyak 7 kasus yang pembagian hartanya dipengaruhi oleh hukum adat masyarakat. Pembagian harta dilakukan ketika pemiliknya masih hidup dan hanya diberikan kepada anak-anaknya. Begitu pula dengan besar bagiannya disamakan antara lakilaki dan perempuan, kalaupun ada laki-laki yang mendapat bagian lebih banyak disebabkan oleh keserakahan. Sedangkan 3 kasus lain dominan dipengaruhi oleh hukum waris Islam yaitu pada kasus 5, 6, dan 7. 2. Alasan masyarakat muslim Kelurahan Macanang dalam pembagian harta warisan yang mereka lakukan cukup beragam, yaitu: a. untuk menghindari perselisihan, b. untuk memperjelas status kepemilikan, c. untuk kelengkapan

38

Sebagaimana diungkapkan oleh Haji Andi Mandapi, masyarakat Kelurahan Macanang, wawancara tanggal 17 Oktober 2013 di jalan Ahmad Yani/Coppoleang Kelurahan Macanang. Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

56

data, d. untuk menjauhkan diri dari mengambil hak orang lain, dan e. untuk memberikan hak ahli waris dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. B. Saran Dari kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut diajukan beberapa saran: 1. Apabila dilakukan ceramah agama maka tidak hanya diutamakan pada masalah tertentu saja tetapi juga memasukkan hukum kewarisan Islam. 2. Olehnya itu perlu dilakukan sosialisasi hukum waris Islam secara berkelanjutan khususnya tentang orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan yang tidak, bagian masing-masing ahli waris serta tata cara pembagian harta warisan. 3. Untuk memotivasi masyarakat melaksanakan hukum waris Islam, maka sosialisasi tidak hanya terpaku pada aspek-aspek ahli waris dan bagiannya, tetapi penting untuk memperkenalkan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA ‘Abd. al-Ḥamīd, Muh ̣ammad Muh ̣yiddīn. Aḥkām al-Mawārīś fī al-Syarī‘at alIslāmiyyah ‘alā Mażāhib al-aimmat al-arba‘ah. Cet. I; t.tp: Dār al-Kitāb al‘Arabiy, 1404 H/ 1974 M. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan Adaptabilitas, Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Warisan Menurut Islam, Cet II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris, Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.

Buku Monografi Kelurahan Macanang Bulan Agustus tahun 2013. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014

57

Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005. Fatchurrahman. Ilmu Waris, Cet. II; Bandung: PT Al-Maarif, 1981. Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia, Cet. III; Bandung: PT Alumni, 2010. Jandra, M. dan Sukriyanto, “Pelaksanaan Warisan di Kauman Kesultanan Yogyakarta” dalam M. Jandra (editor), Hukum Islam tentang Waris, Asuransi dan Pengadilan, Cei. I; Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Sunan Kalijaga, 2006. Khān, Muh ̣ammad Muh ̣sin. S ̣aḥīḥ al-Bukhārīy: The Translation of the Meanings of S ̣aḥīḥ al-Bukhārīy ‘Arabic-English, Volume III Madīnah al-Munawwarah: Dār al-Fikr, t.t. Kontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cet. VIII; Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990. Lukito, Ratno. Tradisi Hukum Indonesia, Cet. I; Yogyakarta: TERAS, 2008. Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004. Rofiq, Ahmad . Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000. Rusli, Dimyati. Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Depertemen Agama RI, 2000. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris, Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Sodik, Mochamad (editor). Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan IISEP-CIDA, 2005. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Syahrur, Muhammad . al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu‘ās ̣irah diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Cet. II; Yogyakarta: elSAQ Press, 2007. Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. ______. Hukum Kewarisan Islam, Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005. Wulansari, C. Dewi. Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, Cet. II; Bandung: PT Refika Aditama, 2012.

Al-Risalah - Jurnal Hukum Keluarga Islam

Volume I No. 1 Nopember 2014