REPRESENTASI IDENTITAS PEREMPUAN PROBOLINGGO DALAM WACANA CERITA RAKYAT PUTRI NILAM SARI Indra Tjahyadi Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Panca Marga Jalan Yos Sudarso Pabean Dringu, Probolinggo 6727Telepon 0335‐422715 Faks. (0335) 427923, Pos‐el:
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkap identitas perempuan Probolinggo yang direpresentasikan dalam wacana cerita rakyat Putri Nilam Sari. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori representasi yang dikembangkan oleh Stuart Hall dan teori wacana yang dikembangkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif berparadigma konstruksionis. Temuan dari penelitian ini, yaitu identitas perempuan Probolinggo direpresentasikan sebagai identitas yang bermakna tidak stabil, tidak tunggal, dan bernilai relatif. Kata kunci:representasi, perempuan, wacana. Abstract: This study aims to reveal the identity of the women represented in the discourse Probolinggo folklore daughter Nilam Sari. The theory used in this study is the representation theory developed by Stuart Hall and the theory of discourse developed by Ernesto Laclau and Chantal Mouffe. The method used in this study is a qualitative research method constructionist paradigm. The findings of this study are identity of Probolinggo woman represented as identity has its meaning was unstable, not singluar, and has relative value. Key words: representation, woman identity, discourse sebagaimana adanya; wanita, dan dengan demikian sebagai jenis paling rendah dari ras manusia .... Maka, muncullah kepercayaan bahwa wanita tidak sempurna, tubuh tanpa kepala, tubuh yang hanya lengkap dengan suami yang memiliki kepala.
PENDAHULUAN Perempuan merupakan wacana yang masih tetap menarik dikaji sampai saat ini,karena masih terdapat pemaknaan yang menempatkan perempuan pada posisi yang sulit dibandingkan laki‐laki. Dalam sistem partriarki, perempuan dimaknai sebagai sosok yang tidak sempurna dan bergantung pada laki‐laki. Sebagaimana yang tampak pada pernyataan El Saadawi (2011: 11) berikut.
Berdasarkan pernyataan El Saadawi tersebut tampak bahwa perempuan, dalam sistem patriarki, diwacanakan sebagai mahluk yang tidak sempurna, lemah, dan memiliki tingkatan rendah dibandingkan laki‐laki. Hal tersebut mengakibatkan perempuan selalu berada posisi marjinal dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam sistem patriarki, perempuan selalu berada dalam ruang penindasan. Penelitian ini bertujuan mengungkap identitas perempuan dalam
Selama berabad‐abad, sebuah sistem telah dibangun bertujuan untuk menghancurkan kemampuan wanita melihat eksploitasi yang mereka alami serta memahami sebab‐sebabnya—sebuah sistem yang memotret keadaan wanita sebagai sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta yang telah menjadikan mereka
5
masyarakat Probolinggo. Menurut Barker (2011:174) identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan manusia yang tidak dapat dilepaskan dari aspek sosial dan kultural. Oleh karena itu, identitas merupakan konstruksi sosial, dan tidak mungkin dikenali di luar representasi kultural. Maka, identitas itu selalu terkait dengan kesamaan dan perbedaan, dengan bentuk‐bentuk representasi. Jadi, berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa usaha untuk mengungkap identitas sebuah objek sama dengan usaha untuk mengungkap hasil‐ hasil representasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menetapkan wacana cerita yang berjudul “Putri Nilam Sari” sebagai objek kajiannya. Cerita tersebut termuat dalam antologi cerita rakyat “Cerita Rakyat dari Probolinggo” karya Deny Wibisono dan Trombol (Gramedia,2005). Pertimbangan yang menjadi dasar pemilihan cerita tersebut sebagai objek kajian dalam penelitian ini adalah dominannya pengartikulasian momen‐ momen dalam wacana berbentuk cerita rakyat tersebut yang merepresentasikan identitas. Oleh karena itu, penelitian ini memusatkan kajiannya pada cerita tersebut. Selain itu, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, penelitian ini memunculkan dua permasalahan, yaitu apakah makna perempuan dalam wacana cerita “Putri Nilam Sari” yang termuat dalam antologi cerita rakyat “Cerita Rakyat dari Probolinggo” karya Deny Wibisono dan Trombol, dan apakah identitas perempuan yang hendak direpresentasikan oleh wacana tersebut.
Hall digunakan sebagai landasan pemahaman konsep representasi. Adapun teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe digunakan sebagai landasan teoretis dalam mengungkap praktik pemroduksian makna wacana pada teks yang dijadikan objek penelitan. Adapun dipilihnya teori wacana tersebut sebagai teori bantu disebabkan adanya kesamaan pendekatan yang dimiliki oleh teori tersebut dengan teori representasi Stuart Hall, yakni konstruksionis. Selain itu, faktor yang mendorong dipilihnya teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebagai landasan untuk mengungkap praktik pemaknaan disebabkan oleh pemahaman Hall tentang produksi dan sirkulasi makna. Menurut Hall (2011:214) pemroduksian dan sirkulasi bahasa dan makna terjadi dalam tataran diskursif, bahkan pendistribusiannya kepada masyarakat juga dalam bentuk diskursif. Oleh karena itu, usaha untuk memahami representasi harus diawali dari pengungkapan makna wacana. Teori Representasi Stuart Hall Teori representasi merupakan teori yang berpandangan bahwa untuk memahami konstruksi kebudayaan, seorang peneliti harus mengungkap setiap representasi yang dihasilkan oleh praktik kebahasaan. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan representasi yang berfungsi sebagai penghubung antara bahasa dan makna dengan kebudayaan (Hall, 1997:15). Oleh karena itu, usaha mengungkap konstruksi sebuah kebudayaan berarti mengungkap praktik kebahasaan dan pemaknaan yang merepresentasinya. Secara definitif, representasi dapat dipahami sebagai penggunaan bahasa untuk menyampaikan, atau melambangkan, makna kepada orang lain. Representasi merupakan bagian esensial dari proses pembentukan dan pertukaran makna antaranggota sebuah kebudayaan. Representasi melibatkan penggunaan bahasa, tanda, dan imaji yang mewakili sesuatu (Hall, 1997:15). Dengan kata lain, representasi merupakan pemroduksian
TEORI Teori yang digunakan sebagai landasan teoretis untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah teori representasi yang dikembangkan oleh Stuart Hall dan teori wacana yang dikembangkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Teori representasi Stuart
6
representasi dapat tercipta. Hal tersebut dapat dilakukan oleh manusia hanya dengan cara melibatkan bahasa. Proses yang melibatkan bahasa merupakan proses kedua dalam sistem representasi. Proses tersebut merupakan proses yang penting. Hal tersebut disebabkan oleh fungsi proses tersebut yang bertujuan untuk mengonstruksi makna. Sebagaimana yang disampaikan Hall (1997:18) berikut.
pengetahuan tentang sebuah kebudayaan dalam pikiran manusia melalui bahasa. Sebagaimana yang disampaikan Hall (1997:17) berikut. Representation is the production of the meaning of the concepts in our mind through language. It is the link between concepts and language which enable to us to refer to either the ‘real’ world of objects, people or events, or indeed to imaginary worlds of fictional objects, people and events.
However, a shared conceptual map is not enough. We must able to represent or exchange meanings and concepts, and we can only do that when we also have access to a shared language. Language is therefore the second system of representation involved in the overall process of constructing meaning. Our shared conceptual map must be translated into a commong language, so that we can so correlate our concepts and ideas with certain written words, spoken sound or visual images. The general term we use for words, sounds, or imagery which carry meaning is signs. These signs stand for or represent concept and conceptual relations between them which we carry around in our heads and together they make up meaning‐ system of our culture.
Dalam teori representasi, proses pemroduksian makna bahasa melibatkan praktik perelasian antara benda, konsep, dan tanda. Adapun proses tersebut terdiri dari dua proses sistem representasi, yaitu: proses yang melibatkan sistem dan proses yang melibatkan bahasa. Tanpa kedua proses tersebut sebuah representasi tidak akan terbangun. Oleh karena itu, usaha untuk menungkap sebuah representasi yang terdapat dalam sebuah kebudayaan harus berangkat dari pengungkapan atas kedua proses tersebut. Proses sistem representasi yang pertama adalah proses yang melibatkan sistem. Dalam proses tersebut, peneliti mengorelasikan objek, masyarakat, dan peristiwa dengan seperangkat konsep atau representasi mental yang terdapat dalam pengetahuan manusia. Hal tersebut bertujuan agar peneliti, atau seseorang yang hendak memahami sebuah kebudayaan, dapat melakukan praktik perujukan antara sesuatu yang berada di dalam pengetahuannya dan sesuatu yang berada di luar pengetahuannya. Pada proses ini praktik pemaknaan bergantung pada hubungan yang tercipta antara benda di dunia objektif dengan sistem konseptual yang bekerja sebagai representasi mental pada pengetahuan manusia (Hall, 1997:17‐ 18). Namun, proses yang melibatkan sistem saja tidak cukup untuk memproduksi representasi dari sebuah kebudayaan. Diperlukan praktik pertukaran makna dan konsep agar sebuah
Dalam keberadaannya, representasi dapat dibangun berdasarkan tiga ragam pendekatan. Tujuan dari ketiga representasi tersebut adalah untuk menjelaskan representasi makna melalui kerja kebahasaan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan reflektif. Pendekatan reflektif merupakan pendekatan mimetik. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pandangan dalam pendekatan tersebut yang memahami bahasa sebagai cerminan kenyataan (Hall, 1997:24). Ragam pendekatan kedua dalam mengungkap representasi adalah pendekatan intensional. Secara sederhana, pendekatan intensional merupakan
7
merupakan teori yang berpandangan bahwa pengetahuan manusia tentang dunia sosial merupakan produk dari praktik kewacanaan. Tanpa praktik kewacaan, dunia sosial tetap akan menjadi dunia yang eksternal bagi pengetahuan manusia. Hal tersebut tampak pada pernyataan Laclau dan Mouffe (1985:108) berikut.
pendekatan yang berpandangan bahwa makna bahasa bergantung pada maksud penulis. Pada pendekatan tersebut, bahasa dipahami sebagai ekspresi individual. Dengan kata lain, dalam pendekatan ini, bahasa dipahami sebagai praktik permainan pribadi (Hall, 1997: 25). Pendekatan konstruksionis merupakan ragam pendekatan ketiga yang terdapat dalam teori representasi. Di antara ragam pendekatan yang terdapat dalam teori tersebut, pendekatan inilah yang dipandang paling representatif digunakan untuk mengungkap praktik pemaknaan dalam sebuah kebudayaan. Menurut Hall (1997:25) bahasa bukanlah semata‐mata cerminan realitas sebab setiap praktik pemaknaan merupakan sesuatu yang khas, yang terikat pada satu kebudayaan. Selain itu, bahasa juga bukan merupakan fakta pribadi, melainkan fakta sosial. Hal tersebut disebabkan oleh adanya faktor konvensional bahasa yang terikat pada kesepakatan masyarakat tertentu. Pendekatan konstruksionis merupakan pendekatan ketiga yang merupakan ragam pendekatan dalam teori representasi. Pendekatan ini berpandangan bahwa usaha manusia untuk memahami dunia yang berada di luar dirinya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa bahasa. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan bahasa yang mengonstruksi makna dunia yang berada di luar diri manusia. Adapun pengonstruksian makna itulah yang mengakibatkan manusia memilki pengetahuan atas dunia yang berada di luar dirinya (Hall, 1997:25). Namun, hal tersebut tidak akan terjadi apabila manusia tidak mampu memproduksi makna bahasa. Oleh karena itu, agar manusia dapat memproduksi pengetahuan atas dunia luar berdasarkan makna yang dikonstruksinya, bahasa haruslah berwatak sosial. Watak tersebut memungkinkan manusia untuk melakukan pemroduksian dan pertukaran pengetahuan (Hall, 1997: 25‐26).
The fact that every object is constituted as an object of discourse has nothing to do with whether there is a world external to thought, or with the realism/idealism opposition. An earthquake or the falling of a brick is an event that certainly exists, in the sense that it occurs here and now, independently of my will. But whether their specificity as objects is constructed in terms of 'natural phenomena' or 'expressions of the wrath of God', depends upon the structuring of a discursive field. What is denied is not that such objects exist externally to thought, but the rather different assertion that they could constitute themselves as objects outside any discursive condition of emergence. Faktor yang mendorong munculnya pemahaman tersebut disebabkan oleh adanya pandangan dalam teori wacana tersebut yang melihat bahwa dunia sosial, tempat objek‐objek wacana berada, bersifat rapuh, terbuka, tidak beresensi dan tidak memiliki kemampuan untuk menjinakkan medan perbedaan‐perbedaan yang terdapat di dalamnya (Laclau dan Mouffe, 2008:137). Oleh karena itu, tanpa wacana, dunia sosial akan tetap merupakan dunia yang tidak terpahami, dunia yang berada di luar pengetahuan manusia. Agar dapat memanfaatkan teori wacana tersebut sebagai landasan teoretis dalam mengungkap permasalahan yang dimunculkan dalam penelitian, perlu dipahami konsep‐konsep yang menyusun teori tersebut. Artikulasi,elemen‐elemen, momen‐momen, formasi kewacanaan, dan wacana merupakan konsep konsep penting
Teori Wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe Teori wacana yang dikembangkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe
8
dalam teori wacana tersebut. Konsep pertama dalam teori tersebut adalah konsep artikulasi. Secara definitif, Laclau dan Mouffe (1985:105) mendefinisikan artikulasi sebagai setiap praktik pembangunan suatu relasi di antara elemen‐elemen sedemikian rupa sehingga identitas elemen‐elemen tersebut termodifikasi sebagai akibat praktik artikulasi tersebut. Sebagai sebuah praktik, artikulasi bukan sebuah nama dari suatu kompleks relasi yang telah ada begitu saja, melainkan sebuah praktik rekomposisi elemen‐ elemen yang mengimpilasikan adanya keterpisahan di antara elemen‐elemen yang diartikulasikan atau yang dikomposisi ulang oleh praktik tersebut (Laclau dan Mouffe, 1985:93).Sebagai praktik rekomposisi elemen‐elemen, artikulasi juga dapat dipahami sebagai praktik reorganisasi (Laclau dan Mouffe, 1985:94). Sebagai praktik reorganisasi, artikulasi mensyaratkan keterlibatan manusia, atau yang dalam kata‐kata Laclau dan Mouffe (1985:94): “organization which we are able to give to ourselves”. Jadi, yang disebut artikulasi adalah sebuah praktik rekomposisi elemen‐elemen yang bertujuan untuk memodifikasi elemen‐ elemen yang mensyaratkan keterlibatan manusia. Konsep kedua yang harus dipahami dalam paradigma teori wacana tersebut adalah konsep elemen‐elemen. Menurut Jorgensen dan Phillips (2007:52) dalam teori wacana tersebut elemen‐elemen dipahami sebagai tanda yang maknanya belum tetap, atau tanda yang memiliki potensi makna ganda. Secara definitif, Laclau dan Mouffe (1985:105) menyatakan bahwa yang dimaksud elemen‐elemen adalah perbedaan yang tidak terartikulasikan secara kewacanaan. Elemen‐elemen merupakan dasar beroperasinya praktik artikulasi(Laclau dan Mouffe, 1985:93). Tanpa elemen‐ elemen sebuah artikulasi tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, setiap relasi yang berbeda akan menghasilkan makna yang berbeda dari elemen‐elemen tersebut.
Momen‐momen merupakan konsep kunci ketiga dari teori wacana tersebut. Laclau dan Mouffe (2008:152) menyatakan bahwa momen‐momen merupakan posisi‐ posisi yang berbeda‐beda ketika elemen‐ elemen terartikulasikan dalam satu wacana. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa momen‐momen terbentuk dari relasi elemen‐elemen. Dengan kata lain, momen‐momen tersusun dari relasi tanda‐tanda. Tentang konsep momen‐momen dalam teori wacana tersebut Jorgensen dan Phillips (2007:49) memaparkan sebagai berikut. Semua tanda yang terdapat dalam suatu wacana merupakan momen‐ momen. Momen‐momen tersebut merupakan mata jaring‐mata jaring dalam jaring lain, yang maknanya ditetapkan karena perbedaannya satu sama lain (“posisinya yang berbeda”) .... semua tanda merupakan momen‐momen yang ada dalam suatu sistem dan makna setiap tanda ditentukan oleh hubungan‐hubungannya dengan tanda‐tanda lain. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa dalam momen‐momen makna terfiksasi secara sepenuhnya. Keberadaan status elemen‐elemen yang merupakan penanda‐penanda mengambang merupakan sebab terjadinya hal tersebut (Laclau dan Mouffe, 2008:167). Ini tampak pada gerak transisi dari elemen‐elemen menuju momen‐momen yang tidak pernah dapat berlangsung sepenuhnya (Laclau dan Mouffe, 2008:163). Oleh karena itu, momen‐momen, atau sistem elemen‐ elemen, selalu bersifat terbuka, rapuh, dan tidak pernah dapat terfiksasi secara mutlak dan tetap. Dengan kata lain, dalam momen‐ momen, senantiasa terdapat batas‐batas parsial yang beraneka ragam, dan tidak menutup kemungkinan, dan saling berantagonisme. Maka, makna yang diproduksi oleh momen‐momen adalah makna bersifat sementara. Konsep penting keempat dalam paradigma teori wacana yang
9
Arum” yang termuat dalam antologi cerita rakyat “Cerita Rakyat dari Probolinggo” karya Deny Wibisono dan Trombol. Ketiga cerita tersebut dipandang sebagai wacana yang merepresentasi identitas perempuan dalam wilayah kebudayaan masyarakat Probolinggo. Adapun analisis dilakukan dengan langkah‐langkah sebagai berikut: 1) menganalisis makna momen‐momen dalam wacana cerita “Putri Nilam Sari” yang termuat dalam antologi cerita rakyat “Cerita Rakyat dari Probolinggo” karya Deny Wibisono dan Trombol, dan 2) menganalisis identitas perempuan yang direpresentasikan oleh makna perempuan yang terdapat dalam cerita “Putri Nilam Sari” yang termuat dalam antologi cerita rakyat “Cerita Rakyat dari Probolinggo” karya Deny Wibisono dan Trombol.
dikembangkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe adalah sebuah konsep yang disebut wacana. Dalam teori tersebut, wacana dipahami bukan sebagai praktik, namun sebagai produk dari sebuah praktik yang disebut artikulasi. Laclau dan Mouffe (2008:152) menyebutkan bahwa wacana adalah totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktik artikulatoris. Dengan kata lain, wacana, dalam paradigma teori wacana Laclau dan Mouffe, dipahami sebagai penetapan makna dalam domain tertentu (Jorgensen dan Phillips, 2007:49). Dalam teori wacana Laclau dan Mouffe, wacana tersusun dari momen‐ momen. Wacana merupakan suatu totalitas tempat setiap tanda ditetapkan sebagai momen melalui hubungannya dengan tanda‐tanda lain. Wacana merupakan pengurangan kemungkinan‐kemungkinan makna, sebab, dalam wacana, semua kemungkinan yang makna lain yang dimiliki oleh tanda‐tanda ditiadakan. Oleh karena itu, wacana, dalam paradigma teori wacana ini, juga dipahami sebagai usaha untuk menghentikan tergelincirnya hubungan antara satu tanda dengan tanda lain sehingga tercipta satu sistem makna yang padu (Jorgensen dan Phillips, 2007:50). Wacana memiliki struktur. Namun, struktur tersebut berbentuk formasi diskursif yang bersifat keteraturan dalam ketersebaran. Hal tersebut tampak pada bentuk ensembel konstruksi wacana. Bentuk tersebut mengakibatkan wacana tidak pernah mampu membentuk makna secara mutlak. Adapun makna wacana sangat bergantung pada relasi tanda‐tanda dalam momen‐momen. Hal tersebut berarti makna tanda bersifat relatif. Oleh karena itu, Laclau dan Mouffe (2008:162) menyatakan bahwa wacana merupakan sebuah totalitas relasional.
HASIL DAN PEMBAHASAN Makna Perempuan dalam Wacana Cerita Rakyat “Putri Nilam Sari” Dalam wacana cerita “Putri Nilam Sari” (Wibisono dan Trombol, 2005:25‐27), perempuan dimaknai sebagai sosok yang berwatak kompleks. Hal tersebut tampak pada terkonstruksinya makna wacana yang tidak tunggal dan tidak stabil. Dalam wacana tersebut, perempuan dimaknai sebagai sosok yang memiliki sifat ambisius, mandiri, tangguh, lemah, dan pemarah. Hal tersebut tampak dari makna yang diproduksi oleh momen‐momen yang mengonstruksi wacana cerita rakyat tersebut. Dalam wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” (Wibisono dan Trombol, 2005:25‐27), perempuan dapat dimaknai sebagai sosok yang memiliki sifat ambisius. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:50) kata “ambisius” berarti sangat berhasrat untuk mencapai sesuatu. Dalam wacana tersebut, makna perempuan perempuan sebagai sosok ambisius tampak pada momen‐momen yang menceritakan keinginan tokoh Putri Nilam Sari untuk menjadi istri kesayangan tokoh Raja Hayam Wuruk. Dalam momen tersebut, elemen Putri Nilam Sari yang berfungsi sebagai penanda perempuan direlasikan dengan
METODE Penelitian ini merupakan penelitian berdesain kualitatif berparadigma konstruksionisme sosial. Data dalam penelitian ini adalah teks berjudul “Putri Nilam Sari”, “Dewi Rengganis”, dan “Ning
10
keberadaan elemen Putri Nilam Sari, yang menandai makna perempuan, yang direlasikan dengan elemen‐elemen ingin selalu diperhatikan Raja Hayam Wuruk mengonstruksikan makna bahwa Putri Nilam Sari adalah sosok perempuan yang selalu ingin menang sendiri. Hal tersebut semakin dipertegas dengan diartikulasikannya momen‐momen Putri Nilam Sari berusaha menarik perhatian Raja Hayam Wuruk. Ia melakukan banyak cara, dan Ia senang sekali sekarang ia bisa menarik perhatian raja sekehendak hatinya. Terartikulasikannya momen‐momen tersebut mengonstruksikan makna perempuan sebagai sosok yang ambisius, sebab ketika ia memiliki hasrat akan sesuatu, ia akan melakukan banyak cara agar hasratnya tersebut tercapai. Namun, untuk memfiksasi makna bahwa wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” mengonstruksikan makna perempuan sebagai sosok yang ambisius saja tidaklah dapat dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh terkonstruksinya makna perempuan yang bermakna perempuan mandiri. Kamus Bahasa Indonesia (2008:982) mengartikan kata “mandiri” sebagai dalam keadaan berdiri sendiri atau tidak bergantung pada orang lain. Dalam cerita tersebut pemaknaan perempuan sebagai sosok yang memiliki sifat mandiri tampak pada pengartikulasian elemen‐elemen yang momen‐momen yang menggambarkan tokoh Putri Nilam Sari sebagai sosok yang dapat melakukan apa yang diinginkannya tanpa perlu bantuan orang lain. Sebagaimana yang tampak pada kutipan berikut.
elemen‐lemen yang mengartikulasikan penanda‐penanda yang memiliki makna hasrat yang kuat. Sebagaimana tampak pada kutipan momen‐momen berikut. Raja Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit mempunyai banyak selir. Pada suatu hari, Raja Hayam Wuruk mencari istri. Istri paling muda itu bernama Putri Nilam Sari. Putri Nilam Sari ingin selalu diperhatikan Raja Hayam Wuruk. Sementara itu, selain sibuk raja juga memperhatikan istri yang lain dan harus mengurus kerajaan. Putri Nilam Sari berusaha menarik perhatian Raja Hayam Wuruk. Ia melakukan banyak cara. Namun, raja selalu adil dalam memberi perhatian pada selir‐ selirnya. Bahkan, kemudian raja kembali mempersunting istri baru. Putri Nilam Sari pun semakin jengkel. .... Ia senang sekali sekarang ia bisa menarik perhatian raja sekehendak hatinya (Wibisono dan Trombol, 2005:25‐26). Putri Nilam Sari adalah elemen penanda subjek objek perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan kata “putri” pada penamaan tokoh tersebut. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:1238) kata”putri” berarti anak perempuan raja‐raja, atau perempuan. Oleh karena itu, pengartikulasian elemen‐ elemen yang berbunyi Putri Nilam Sari membentuk satu momen yang bermakna anak perempuan raja‐raja bernama Nilam Sari, atau perempuan Nilam Sari. Jadi, pengartikulasian tersebut mengonstruksi makna wacana bahwa cerita tersebut merupakan cerita tentang perempuan bernama Putri Nilam Sari. Adapun pemaknaan perempuan sebagai sosok yang ambisius dalam wacana tersebut tampak pada elemen‐elemen yang membentuk momen‐momen Putri Nilam Sari ingin selalu diperhatikan Raja Hayam Wuruk. Pada momen‐momen tersebut,
Diam‐diam, Putri Nilam Sari menemui pertapa sakti di dekat desa Sumberrejo. Kehadiran Putri Nilam Sari disambut hangat oleh pertapa sakti itu. Usai mendengar keinginan Putri Nilam Sari, pertapa sakti itu memberi selendang sakti. Selendang sakti itu dinamai Cinde Puspito. Selendang ini mempunyai kesaktian untuk menarik perhatian orang yang dicintai.
11
Hayam Wuruk. Sebagaimana tampak pada kutipan berikut.
.... Saya akan memenuhi pesan Anda sebaik mungkin. Terima kasih, pertapa sakti, saya mohon diri,” ucap Putri Nilam Sari (Wibisono dan Trombol, 2005:26). Berdasarkan kutipan tersebut kemandirian tokoh Putri Nilam Sari tampak pada ketidakbergantungannya tokoh tersebut kepada orang lain ketika hendak memenuhi hasratnya. Sebagai seorang putri dan istri seorang raja, Putri Nilam Sari bisa saja meminta para pengawal atau pembantunya untuk menemui tokoh Pertapa Sakti. Namun, hal tersebut tidak dilakukannya. Bahkan, Putri Nilam Sari pergi seorang diri menemui pertapa sakti tersebut. Hal tersebut tampak pada pengartikulasian momen‐momen Diamdiam, Putri Nilam Sari menemui pertapa sakti di dekat desa Sumberrejo, dan momen‐ momen Saya akan memenuhi pesan Anda sebaik mungkin. Terima kasih, pertapa sakti, saya mohon diri,” ucap Putri Nilam Sari. Kedua momen‐momen tersebut mengonstruksikan makna perempuan sebagai sosok yang dapat melakukan apa yang diinginkan atau yang diangankannya tanpa harus bergantung pada orang lain. Namun, makna akan berubah lagi ketika tokoh Putri Nilam Sari direlasikan dengan momen‐momen yang lain lagi, yakni momen‐momen yang mengisahkan keunggulan tokoh tersebut dibanding dengan tokoh‐tokoh lain. Oleh karena itu, makna momen‐momen berikutnya yang muncul dalam cerita “Putri Nilam Sari” (Wibisono dan Trombol, 2005: 25‐27) adalah perempuan sebagai sosok yang tangguh. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, 2008: 1622) kata “tangguh” berarti “sukar dikalahkan, kuat, andal, kuat pendirian, tabah dan tahan terhadap penderitaan, dan kukuh”. Ketangguhan Putri Nilam Sari, dalam konteks makna “sukar dikalahkan, kuat”, dalam cerita tersebut tampak pada keunggulan tokoh tersebut dibanding selir‐ selir yang lain. Selain itu, ketangguhan tokoh tersebut juga tampak pada kekuatannya dalam mengontrol tokoh Raja
Ia senang sekali sekarang ia bisa menarik perhatian raja sekehendak hatinya. Esok harinya, Putri Nilam Sari mencoba kesaktian selendang Cinde Puspito. Siang itu, Raja Hayam Wuruk sedang bercengkerama dengan selir lain. Putri Nilam sari mencoba memakai selendang itu. Beberapa saat kemudian, Raja Hayam Wuruk telah berada di hadapannya. Putri Nilam Sari senang sekali. Selendang yang diberikan pertapa sakti itu ternyata sangat ampuh. Pada mulanya, Putri Nilam Sari memenuhi pesan pertapa sakti. Ia selalu memakai selendang pada saat Raja Hayam Wuruk tidak ada urusan penting. Namun, lama‐lama Putri Nilam Sari lupa dengan pesan pertapa. Ia tetap memakai selendang itu meski raja sedang mengurus hal penting kerajaan. Ia melakukan hal itu hingga berulang kali. Akibatnya, Kerajaan Majapahit menjadi kacau (Wibisono dan Trombol, 2008: 26). Watak tangguh tokoh Putri Nilam Sari dalam wacana tersebut tidak hanya diartikulasikan pada momen tersebut saja. Namun, juga terartikulasikan pada momen ketika tokoh tersebut menemui tokoh pertapa sakti sendirian. Pada momen tersebut watak tangguh tokoh Putri Nilam Sari terkonstruksi dalam konteks makna “kuat pendirian”. Meski tanpa satu pun pengawal yang mengiringi, Putri Nilam Sari tetap mengunjungi tokoh pertapa sakti. Sebagaimana yang tampak pada kutipan berikut. Putri Nilam Sari berusaha menarik perhatian Raja Hayam Wuruk. Ia melakukan banyak cara. Namun, raja selalu adil dalam memberi perhatian pada selir‐ selirnya. Bahkan, kemudian raja
12
Kokap, tanpa sengaja Putri Nilam Sari menginjak seekor siput. Kakinya menjadi berdarah karena tertusuk ekor siput itu. Putri Nilam Sari seketika ingat pesan pertapa sakti dulu. Ia menjadi bertambah marah. Terbayang dalam angannya, raja akan menjadi benci terhadapnya. Dengan marah, ia pun mematahkan ekor siput itu sambil mengutuk (Wibisono dan Trombol, 2005:27).
kembali mempersunting istri baru. Putri Nilam Sari pun semakin jengkel. .... Diam‐diam, Putri Nilam Sari menemui pertapa sakti di dekat desa Sumberrejo. Kehadiran Putri Nilam Sari disambut hangat oleh pertapa sakti itu (Wibisono dan Trombol, 2005:25‐26). Namun, tokoh Putri Nilam Sari juga dapat dimaknai sebagai perempuan yang berwatak lemah. Hal tersebut tampak pada momen‐momen yang memproduksi makna Putri Nilam Sari sebagai sosok yang tidak memiliki kekuatan hati tokoh ketika tokoh tersebut mengetahui selendangnya hilang dicuri oleh tokoh Maling Sakti. Pada momen tersebut, ketangguhan dan kemandirian Putri Nilam Sari lenyap, berganti dengan watak tidak kuat atau tidak bertenaga. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut: “Putri Nilam Sari kaget melihat selendang saktinya raib. Ia hanya bisa menangis dan mengeluh pada raja” (Wibisono dan Trombol, 2005:26). Makna perempuan yang terakhir dalam wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” (Wibisono dan Trombol, 2005:25‐27) adalah perempuan sebagai sosok yang memiliki sifat atau watak pemarah. Kamus Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, 2008:988) kata “pemarah” berarti ” orang yang lekas atau mudah marah”. Dalam wacana tersebut, pemaknaan perempuan sebagai sosok yang bermakna pemarah tampak pada momen setelah tokoh Putri Nilam Sari kehilangan selendang saktinya. Kehilangan tersebut mengakibatkan tokoh tersebut mengeluarkan kutukan kepada seekor siput yang diinjaknya. Hal tersebut mengonstruksikan makna tokoh Putri Nilam Sari sebagai tokoh perempuan yang tidak miliki sifat lembut. Sebagaimana yang tampak pada kutipan berikut.
Representasi Identitas Perempuan Probolinggo dalam Wacana Cerita Rakyat “Putri Nilam Sari” Wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” merupakan wacana tulis yang kisah di dalamnya diambil dari cerita rakyat yang beredar dalam kebudayaan masyarakat Probolinggo. Hal tersebut tampak dari judul buku yang memuat wacana tersebut, yakni “Cerita Rakyat dari Probolinggo”. Itu berarti bahwa pemroduksian makna dari setiap wacana cerita rakyat yang termuat dalam buku tersebut harus direlasikan dengan kebudayaan masyarakat Probolinggo. Oleh karena itu, makna wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” dapat dipahami sebagai representasi identitas perempuan dalam konstruksi kebudayaan masyarakat Probolinggo. Masyarakat Probolinggo merupakan masyarakat yang hidup dan tinggal di wilayah geografis bernama Probolinggo. Secara administratif, Probolinggo dibagi menjadi dua wilayah administratif, yakni kota dan kabupaten. Secara umum, masyarakat Probolinggo berbahasa dan berbudaya Jawa dan Madura. Masyarakat probolinggo merupakan masyarakat yang terbuka dalam menerima pengaruh‐pengaruh luar sehingga keterbukaan dan kelenturan ini menjadi celah bagi budaya‐budaya lain seperti Madura, Arab, Cina, dan Melayu untuk masuk ke wilayah Probolinggo. Di Probolinggo kebudayaan Madura berasimilasi dengan kebudayaan Jawa sehingga masyarakat Probolinggo dikenal sebagai masyarakat kebudayaan Pandalungan. Sebagaimana yang tampak
Putri Nilam Sari masih bersedih dengan hilangnya selendang sakti kesayangannya. Ketika melewati Sungai Sumber
13
pemaknaan secara tunggal dan permanen tidak dapat terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya pemersatu yang mutlak dan stabil yang dapat berfungsi menjadi penghenti permanen dari makna wacana. Oleh karena itu, dalam wacana yang formasi kewacanaannya berbentuk ensembel makna senantiasa berada dalam nilai yang relatif, keberadaannya sangat bergantung pada relasi momen‐momen yang mengonstruksinya. Dalam wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” (Wibisono dan Trombol, 2005 25‐27) momen‐momen yang terdapat di dalamnya memiliki makna berbeda‐beda. Hal tersebut mengakibatkan makna perempuan dalam wacana tersebut tersebar. Namun, ketersebaran tersebut bukanlah satu ketersebaran yang tidak teratur. Terdapat keteraturan dalam ketersebaran tersebut. Dalam arti bahwa ketersebaran tersebut secara teratur memposisikan perempuan sebagai subjek yang dimaknai dalam wacana tersebut. Pemosisian subjek yang bersifat relasional tersebut membuat makna subjek terkonstruksi dalam nilai makna yang relatif. Oleh karena itu, makna tunggal dan permanen tidak pernah dapat terbentuk. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa dalam masyarakat Probolinggo, perempuan diindentifikasikan sebagai sosok yang sifatnya tidak pernah stabil. Hal tersebut tampak dari setiap makna yang terdapat dalam wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari”. Makna tersebut merepresentasikan keberadaan perempuan dalam kebudayaan masyarakat Probolinggo. Oleh karena itu, perempuan Probolinggo tidak dapat diidentifikasikan hanya sebagai sosok yang lemah dan memiliki ketergantungan yang besar terhadap laki‐laki. Namun, juga harus diidentifikasikan sebagai sosok yang mandiri, tangguh, dan memiliki ambisi yang kuat dalam memenuhi keinginannya. Pemaparan tersebut merepresentasikan keberadaan identitas perempuan Probolinggo sebagai identitas yang bermakna tidak stabil, tidak tunggal, dan bernilai relatif. Hal tersebut
pada pernyataan Sutarto (http://jalanpintas.blogdetik.com/index.ph p/2011/03/03/sekilas‐tentang‐ masyarakat‐pandalungan‐2/) berikut. Wilayah kebudayaan pandhalungan (pandalungan) merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Secara budaya, yang disebut masyarakat pandalungan adalah masyarakat hibrida, yakni masyarakat berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan. Dalam konteks kawasan tapal kuda Jawa Timur, budaya pandalungan adalah percampuran antara dua budaya dominan, yakni budaya Jawa dan budaya Madura. Pada umumnya orang‐ orang pandalungan bertempat tinggal di daerah perkotaan. Secara administratif, kawasan kebudayaan pandalungan meliputi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Sebagaimana yang telah disampaikan pada sebelumnya bahwa dalam wacana cerita “Putri Nilam Sari” (Wibisono dan Trombol, 2005:25‐27), perempuan Probolinggo dimaknai sebagai sosok yang berwatak kompleks. Hal tersebut tampak pada terkonstruksinya makna wacana yang tidak tunggal dan tidak stabil. Dalam cerita tersebut, momen‐ momen yang mengonstruksi makna wacana cerita rakyat tersebut tidak hanya memproduksi makna perempuan sebagai sosok yang berwatak ambisius saja, namun juga memproduksi makna wacana yang mengosntruksikan perempuan sebagai sosok yang mandiri, tangguh, lemah, dan pemarah. Pengonstruksian tersebut mengakibatkan formasi kewacanaan yang muncul pada wacana cerita rakyat tersebut berbentuk ensembel. Dalam wacana yang memiliki formasi kewacanaan berbentuk ensembel
14
disebabkan oleh keberadaan makna momen‐momen yang berbeda‐beda. Keberbedaan makna momen‐momen tersebut mencegah terkonstruksinya identitas perempuan Probolinggo yang tunggal dan permanen. Oleh karena itu, usaha untuk merepresentasikan identitas perempuan Probolinggo sebagai identitas tunggal yang permanen dan stabil adalah sesuatu yang tidak tepat.
Hall, Stuart. 2011. “Enkoding/Dekoding”. Dalam Stuart Hall, Dorothy Hobson, Andrew Lowe, dan Paul Willis (Eds.). 2011. Budaya, Media, Bahasa: Teks Utama Pencanangan Cultural Studies 1972-1979. Terj. Saleh Rahmana. Jogjakarta: Jalasutra. Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Terj. Imam Suyitno, Lilik Suyitno, dan Suwarna. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
SIMPULAN Berdasarkan analisis atas wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” dapat disimpulkan bahwa wacana tersebut mengonstruksikan makna perempuan sebagai sosok yang miliki sifat ambisius, mandiri, tangguh, lemah, dan pemarah. Hal tersebut tampak pada makna yang diproduksi oleh momen‐momen yang menyusun wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari”. Adapun simpulan berikutnya yang dapat diambil dari analsis atas wacana wacana cerita rakyat “Putri Nilam Sari” bahwa identitas perempuan Probolinggo bukan identitas yang stabil, tunggal, dan permanen. Namun, identitas perempuan Probolinggo merupakan identitas yang tidak stabil, tidak tunggal, dan bernilai relatif.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 1985. Hegemony and Sosialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London dan New York: Verso. _____________________________. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Pos Marxisme dan Gerakan Sosial Baru. Terj. Eko Prasetya Darmawan. Jogjakarta: Resist Book.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarto, Ayu. “Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan”. http://jalanpintas.blogdetik.com/in dex.php/2011/03/03/sekilas‐ tentang‐masyarakat‐pandalungan‐ 2. Diakses pada tanggal 1 Juni 2014.
El Saadawi, Nawal. 2011. Perempuan dalam Budaya Patriarkhi. Terj. Zulhilmiyasri. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications.
Wibisono, Deny dan Trombol. 2005. Cerita Rakyat dari Probolinggo. Jakarta: Grasindo.
15