Date: 10/09/2005
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
Disusun oleh : Evyta A.R HTU
UTH
KAMMI ADALAH WADAH PERJUANGAN PERMANEN YANG AKAN MELAHIRKAN PEMIMPIN MASA DEPAN YANG TANGGUH DALAM UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT ISLAMI DI INDONESIA
Sekapur Sirih “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. As-Saff : 4) “Katakanlah : ‘Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orangorang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan.” (Al-An’am : 135) Ba’da tahmid dan shalawat. Sebuah tulisan yang sederhana dari penulis dengan berbagai sumber yang ada telah mampu dirampungkan. Dilatarbelakangi oleh tergeraknya sebuah kesadaran akan pentingnya peranan suatu kelompok yang bernama “pemuda” , maka penulis berusaha memaparkan beberapa aspek yang ada dalam sebuah gerakan mahasiswa. Negeri manapun tak terlepas dari pemudanya. Sebuah proses kebangkitan dari keterpurukan selalu mengedepankan pemuda dalam setiap sejarahnya. Antara idealitas dan realitas yang terjadi dalam setiap gerakan mahasiswa di negeri Indonesia ini menjadikan kita sebagai agen peubah dan kontrol sosial perlu untuk mengkaji ulang dan mengevaluasi berbagai agenda dan sejarah yang telah diukir oleh gerakan mahasiswa. Realitas yang terjadi di lapangan terkadang cukup jauh keluar dari idealisme sebagai suatu gerakan mahasiswa. Sebuah perenungan untuk gerakan mahasiswa yang ada agar menjadi sebuah pemikiran baru untuk selalu komitmen pada korelasi antara idealitas dan relitasnya. Akhir kata, semoga tulisan sederhana ini menjadi bermanfaat di tangantangan para pemuda. Menyadarkan kembali sesuatu yang “telah hilang” dari pergerakan tersebut. Tak ada gading yang tak retak. Berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan agar kiranya menjadi sebuah bahan pemikiran untuk disempurnakan.
Medan, 10 September 2005 Evyta A. R
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
1
Mukaddimah Pembicaraan tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya. Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
2
Alasan utama mengapa penulis menempatkan gerakan mahasiswa dalam tulisan ini adalah tidak lain karena peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari berbagai tirani dan segala bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya yang senantiasa mengusung panji-panji keadilan, kejujuran, ketegasan dan keberanian.
selalu hadir dengan
Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor
pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya. Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakanpemihakan tersebut tidak pada tempatnya. Pada
mahasiswa
kita
mendapatkan
potensi-potensi
yang
dapat
dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama
didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan
semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas. Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
3
ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak. Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang dapat membius semangat juang lebih radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Berbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjatasenjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional, lebih punya keahlian dan efektif. Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni prorakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif layaknya bola salju, semakin lama semakin besar. Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksiaksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
4
Bab I Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia dari Masa ke Masa Sejarah Indonesia modern sering dipahami sebagai sebuah proses perjuangan panjang dari sebuah keluarga. Sebagai sebuah proses perjuangan panjang, sejarah modern Indonesia biasanya dianalogikan sebagai sebuah garis atau jalan, yang sudah barang tentu tidak harus dibayangkan lurus, dan pembentukannya dimungkinkan oleh keberadaan sejumlah titik atau tonggak. Titik-titik atau tonggak-tonggak yang merupakan penanda penting dari garis atau jalan adalah “angkatan-angkatan”. Dari awal sejarah modern Indonesia yang berlangsung sejak tahun-tahun pertama abad 20 hingga tahun kini dikenal atau dipahami terdapat empat angkatan. Masing-masing dengan karakteristiknya dan masing-masing mempunyai peran pentingnya sendiri dalam proses perjuangan : angkatan 1908, angkatan 1928, angkatan 45, dan angkatan 66. Antara tahun 50 dan 60 perguruan tinggi di Indonesia mengalami peledakan jumlah mahasiswa. Bila tahun 1946-1947 terdaftar 387 mahasiswa maka di tahun 1965 ada sekitar 280 ribu mahasiswa. Sebuah keterangan yang pada gilirannya akan memudahkan seseorang untuk memahami bahwa antara akhir tahun 1940-an hingga tahun 1950-an muncul berbagai organisasi massa (ormas) mahasiswa. Diawali dengan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (5 Februari 1947), Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) (25 Mei 1947), yang lain misalnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) (23 Maret 1954), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) (1956). Meskipun terdapat sebuah catatan penting di sini, kemunculan ormas-ormas tersebut tidaklah terjadi begitu saja atau semata-mata karena jumlah. Suatu hubungan tertentu dengan partai politik tertentu, baik karena seideologi maupun bersifat onderbouw, misalnya HMI dengan Masyumi, PMKI dengan Parkindo, GMNI dengan PNI, CGMI dengan PKI, dapat diidentifikasi. Melihat perjuangan anak-anak muda dalam konteks angkatan, dan bukanlah dalan konteks mahasiswa, jelas bukan tanpa problematik. Angkatan adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan pemuda, sementara pemuda, sebagai sebuah kategori, merupakan turunan konsepsi generasi, suatu konsep yang
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
5
menurut seorang penulis selalu dihubungkan dengan usia muda antara 15 sampai dengan 30 tahun. Dalam konsepsi pemuda seperti ini mahasiswa jelas hanya salah satu bagian atau unsur pembentuk. Akan tetapi, sementara pemuda dalam konteks “angkatan” adalah sebuah kekuatan sosial yang sangat penting, tidak demikian realitas mereka yang dikategorikan sebagai pemuda oleh rezim orde baru. Di bawah rezim orde baru, pemuda tidak lagi berada baik dalam batas-batas pengertian obyektifnya, misalnya mengacu pada batas usia tertentu maupun signifikansi sosiologi dan histrotisnya. Suatu arti baru dari pemuda sebaliknya mulai muncul. Di bawah orde baru, pemuda bukan hanya mempunyai konotasi dengan pembangunan, sebuah slogan orde baru . Lewat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang didirikan Juli 1973, merupakan kategori sosial yang sepenuhnya dapat kontrol. Lebih jauh, adalah lewat mesin politik KNPI inilah tampak bahwa proses mahasiswa di-pemuda-kan. Jauh sebelum gerakan reformasi dimulai, kesangsian terhadap sejarah orde baru yang dibangun tahun 1966 itu mulai timbul, sehingga banyak disoroti, timbul banyak kecurigaan, karena banyak sisi-sisi gelap dan berbagai peristiwa janggal yang mengganggu ketenangan akal sehat masyarakat. Tetapi munculnya interpretasi lain sejarah politik tahun 1960-an khususnya gerakan 30 September 1965, di luar sejarah resmi versi rezim orde baru yang sedang berkuasa saat itu cenderung dilarang, karena dianggap memutarbalikkan fakta, menyesatkan dan memojokkan pemerintah. Eksistensi orde baru memang dibangun di atas puing sejarah 1965, mengungkit sejarah dasawarsa itu berarti mengungkit keberadaan orde baru, sehingga selalu dianggap subversi. Di sini tidak hanya pemerintah dan militer yang punya klaim tetapi gerakan mahasiswa angkatan 1966 juga punya klaim besar atas sejarah ini, dengan dalih telah menyelamatkan republik dari cengkeraman PKI.
Gerakan Mahasiswa Angkatan ‘66 Sistem politik nasional yang melatar belakangi gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966 perlu dibeberkan kembali agar bisa menempatkan gerakan mahasiswa era tersebut secara proporsional. Dengan pemaparan semacam itu akan kelihatan di mana gerakan mahasiswa itu bersifat otentik sebagai cetusan dari
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
6
tanggung jawab moral mereka terhadap keadaan, yang kemudian membentuk moral force untuk mengontrol kekuasaan. Dan di mana gerakan mahasiswa terjebak secara sadar atau tidak ke dalam permainan politik pihak lain, apakah itu militer, Soekarno, partai-partai politik dan terutama PKI. Hal itu saat ini menjadi persoalan krusial yang menyelubungi gerakan mahasiswa tahun 1966. Politik Indonesia pasca kemerdekaan diwarnai oleh sengitnya persaingan antara Soekarno dengan militer. Sebagai presiden dan proklamator Soekarno memang memiliki kekuasaan secara de facto maupun de jure.Begitu pula militer, sebagai angkatan perang mengklaim punya hak atas kekuasaan mengingat jasa mereka terhadap terbentuknya republik ini. Karena itu militer menuntut hak-hak istimewa dalam politik sehingga memiliki burgain politik yang kuat baik di hadapan Soekarno maupun di hadapan partai politik. Ketidakstabilan kekuasaan politik yang dipegang partai-partai politik membuat tentara sangat risau, apalagi saat itu negara diguncang oleh berbagai pemberontakan daerah. Maka atas desakan militer pada tahun 1957 Soekarno mengumumkan diberlakukannya Undang-Undang darurat. Hal itu memungkinkan militer bisa berbuat banyak hal tanpa dibatasi kewenangannya. Sejak dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Soekarno, Indonesia yang seharusnya sebagai negara demokrasi pembagian kekuasaannya terdiri atas tiga lembaga, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi dalam demokrasi terpimpin ini pembagian kekuasaan hanya ada antara Presiden Soekarno dan militer. Lalu terbentuklah partai-partai besar seperti PMI, NU, dan PKI. Kemudian situasi politik internasional semakin memanas dan mempengaruhi situasi politik nasional sehingga Soekarno semakin menggandeng PKI yang menjadi kekuatan politik yang sangat efektif. Kondisi Indonesia yang semakin parah akibat adanya program pemerintah yang menyita perhatian seluruh masyarakat dan biaya yang sangat besar di antaranya adalah pembebasan Irian Barat 1962 dari kolonial Belanda, konfrontasi dengan Malaysia, dan perekonomian yang merosot dengan kebijakan yang semakin memberatkan rakyat sehingga menyebabkan inflasi dan ketegangan politik yang semakin jauh. Akhirnya meletuslah Gerakan 30 September 1965. Mengambil momentum ini mahasiswa kembali bergerak memanfaatkan situasi
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
7
untuk mengkritik keadaan. Kemudian terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang akhirnya tersebar ke mana-mana untuk melakukan koreksi terhadap rezim yang ada. Mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan secara spontan, lalu dirumuskan dalam sebuah konsep sederhana yaitu Tritura yang isinya menuntut pembubaran PKI, Retool kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang. Dideklarasikan pada 10 Juni 1966 tepat hari kebangkitan mahasiswa Indonesia. Berbagai aksi dilakukan dalam rangka merubah keadaan tersebut. Mahasiswa mendapat dukungan dari militer yang dipimpin oleh Soeharto yang tentu saja bukanlah sebuah keikhlasan militer itu sendiri tetapi sebagai bagian dari struggle power (pertarungan kekuasaan) yang tidak disadari mahasiswa sendiri. Pada tanggal 16 Februari 1966, Soekarno melakukan reshufle kabinet dwikora dengan orang-orang yang punya cacat dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas. Lalu terjadilah aksi oleh KAMI beserta Kesatuan Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) dengan tuntutan segera melaksanakan Tritura. Bentrokan terjadi dan mengakibatkan gugurnya Arief Rahman Hakim yang semakin membuat gerakan mereka solid. Ketika KAMI dilarang 4 April 1966 mahasiswa membentuk Laskar Arief Rahman Hakim yang terdiri dari 42 universitas dan perguruan tinggi di Jakarta. Militer pun semakin memberikan dukungannya dan akhirnya terjadilah aksi besar-besaran oleh mahasiswa. Kondisi keamanan yang semakin buruk dan atas skenario yang diciptakan militer, serta mahasiswa yang semakin menekan pemerintah untuk segera melakukan perubahan, akhirnya Soekarno mengadakan sidang kabinet. Setelah mengalami desakan dan tekanan dari berbagai pihak akhirnya Soekarno melimpahkan kekuasaan keamanan negara kepada militer yang saat itu dipimpin oleh Pangkostrad Soeharto. Militer mengambil alih pemerintahan dari Soekarno melalui Supersemar .PKI pun dibubarkan dan mahasiswa merasa telah berhasil dalam berbagai perjuangannya. Dengan demikian, sejak saat itu gerakan mahasiswa telah nyaris berhenti. Semuanya telah jatuh dan diserahkan kepada penguasa militer. Dengan penuh kenangan dan heroisme perjuangan kembali ke kampus membawa mitos kemenangan dan mengabadikan perjuangan mereka dalam sebuah monumen,
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
8
angkatan 66 dan sebagainya. Angkatan 66 dimunculkan sebagai mitos dan dijadikan rujukan sejarah bagi gerakan mahasiswa yang berhasil memperjuangkan idealismenya. Selama Orde Baru berkuasa yang dipimpin oleh Soeharto, angkatan 66 mendapatkan fasilitas dan peran yang cukup memadai. Ketika dikukuhkannya Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer dan sekaligus sosial politik, gerakan mahasiswa sepenuhnya terserap dalam kekuasaan militer dengan Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin untuk mobilisasi massa. Gerakan mahasiswa angkatan 66 memang monumental dalam mobilisasi mahasiswa, tetapi kemurnian gerakan mereka telah masuk ke dalam setting politik yang dibangun militer sehingga ketika berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah orde baru tidak membuat mahasiswa bangkit untuk merubahnya melainkan semakin mengikuti kehendak penguasa pada saat itu.
Gerakan Mahasiswa 1970-1993 Peristiwa Malari tahun 1974 merupakan puncak perpecahan antara mahasiswa dengan penguasa Orba. Kritik dan protes terhadap hasil pembangunan semakin gencar dilakukan mahasiswa. Berbagai konsep dan intrik dilakukan penguasa Orba kepada rakyat umumnya baik dalam hal pembangunan maupun Pemilu yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat dan ketidakbebasan demokrasi Indonesia. Diprakarsai oleh mahasiswa ITB dan dilatarbelakangi oleh Pemilu yang hanya digunakan untuk membodohi rakyat, akhirnya mahasiswa membentuk Gerakan Anti Kebodohan (GAK). Berbagai universitas di Jawa seperti ITB, UGM, UI, dan lain-lain memanfaatkan momentum peringatan Tritura dengan melakukan aksi mengusung wacana “Matinya Demokrasi” atas pemerintah Orba yang pada saat itu tokoh mahasiswa selaku ketua Dewan Mahasiswa (DM) adalah Hery Akhmadi dan Lukman Hakim. Penguasa Orba mengatakan bahwa secara sistematis melalui DM, mahasiswa telah melawan hukum dan konstitusi, menggunakan diskusi untuk membangun opini untuk mengganti kepemimpinan nasional. Kedatangan DM seIndonesia ke MPR menyatakan ketidakpercayaan kepada lembaga tersebut pada tanggal 7 Januari 1978 dianggap merendahkan pemerintah. ABRI turun tangan, hampir sebagian surat kabar yang secara tidak seimbang menyiarkan kegiatan
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
9
mahasiswa itu dilarang terbit. Sejumlah kampus diduduki militer dan membekukan DM semua universitas pada tanggal 21 Januari 1978. Pada tanggal 19 April 1978, menteri P dan K mengeluarkan SK tentang Netralisasi Kehidupan Kampus (NKK) dengan dibentuknya Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang segenap kegiatan kampus dipimpin oleh pimpinan perguruan tinggi. Pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) secara intensif mengakibatkan ketatnya kewajiban mahasiswa menyelesaikan beban studinya dan ketatnya pembinaan non akademik menyebabkan keterbatasan untuk melakukan aktivitas politik moral. NKK/BKK
terbukti
ampuh
menghancurkan
infrastruktur
fungsi
mahasiswa. Berubahnya orientasi mahasiswa terhadap pekerjaan menyebabkan pasifnya gerakan mahasiswa terhadap sosial politik bangsa. NKK/BKK juga menimbulkan fenomena militerisasi kampus yang memungkinkannya pengawasan ABRI dan badan-badan intelijen di dalam universitas dan kehidupan mahasiswa. Pada akhir 80-an mahasiswa yang berkiprah di luar kampus mulai mengangkat tema-tema kerakyatan. Sebagai konsekuensi dari pilihan “bersama rakyat” maka sebagian mahasiswa aktivis 80-an harus berhadapan dengan OB dalam bentuk penangkapan, pengadilan, tuduhan subvertif, dan lain-lain. Walaupun demikian, organisasi mahasiswa semakin banyak terbentuk meskipn masih taraf manajemen yang belum memadai. Kecenderungan melakukan aliansi atau koalisi sangat tinggi tahun 1989-1990, hal ini dikarenakan gerakan mahasiswa kurang solid dan lebih condong kepada ideologi masing-masing. Serangkaian aksi periode 1989-1993 tidak hanya sebatas test case, tetapi sekaligus untuk mencari wacana baru mengenai gerakan itu sendiri. Gerakan mahasiswa mulai membangun jaringan dan membentuk konsep yang lebih baik seperti dengan kaum buruh, tani, kaum miskin dan lain sebagainya yang akhirnya mampu menciptakan sebuah kekuatan yang meliputi semua lapisan masyarakat yang harus diorganisir sebagai kekuatan peubah.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
10
Gerakan Mahasiswa ’98 dan Perjuangan Reformasi Rezim orde baru yang berkuasa hampir selama 32 tahun dengan segala program hanya bisa menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat dan mandulnya demokrasi hingga timbul krisis ekonomi yang besar-besaran serta pemilu 1997 yang tidak lagi bersifat luber semakin memperburuk kondisi bangsa sehingga semakin memperbesar semangat mahasiswa untuk melakukan perubahan terhadap rezim Soeharto. Era tahun 90-an dapat dikatakan sebagai renaisans bagi gerakan mahasiswa.
Menurut
Eep
Saefullah
Fatah,
ada
beberapa
hal
yang
melatarbelakangi bergairahnya kembali gerakan mahasiswa yang sebelumnya lama dalam keadaan tiarap akibat represi rezim. Hal tersebut dikarenakan : 1. Ekses dari karakter pendidikan yang tertutup dan kurang dialogis. 2. Ekses dari politik pembangunan Orde Baru 3. Kegelisahan mahasiswa melihat kehendak stabilisasi politik dan ekonomi Orba yang begitu kuat dan menuntut biaya sosial yang besar Ketiga faktor di atas mendorong munculnya berbagai kelompok studi, kelompok aksi, dan berbagai LSM yang digerakkan oleh pemuda pro demokrasi. Hal lain yang menjadi karakteristik gerakan mahasiswa ’98 adalah sifatnya yang berawal dari aksi. Berbeda dengan fase-fase sebelumnya, di mana gerakan mahasiswa Indonesia diwarnai oleh berbagai ormas kemahasiswaan, gerakan mahasiswa 98 ini diwarnai dengan munculnya kelompok-kelompok aksi yang memiliki beragam basis ideologi dan pengorganisasian gerakan. Dalam sejarah politik Indonesia, gerakan mahasiswa tahun 1997/1998 adalah yang paling menonjol dalam menentang kekuasaan presiden Soeharto. Bermula menuntut demokratisasi, penegakan HAM, pelaksanaan reformasi total, hingga meningkat pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan Presiden. Dari penghujung 1997 sampai Mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang demonstrasi dari berbagai elemen atau kelompok mahasiswa di berbagai kota besar. Bentuk dan pola aksinya pun beragam, seperti demonstrasi, mimbar bebas, dialog, audiensi, petisi, seminar, pawai, dan sebagainya. Salah satu unsur gerakan mahasiswa yang muncul di tahun 1998 dan dikategorikan sebagai kelompok aksi yang menggunakan terminologi Haynes adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
11
Indonesia (KAMMI) yang lahir pada tanggal 29 Maret 1998. KAMMI melakukan gebrakan aksi perdananya yaitu “Rapat Umum Mahasiswa dan Rakyat Indonesia” yang mampu memobilisasi massa sebanyak 20 ribu orang, dilaksanakan di luar kampus, berlangsung secara tertib dan aman, isu utamanya adalah reformasi total. Aksi-aksi
berikutnya
digulir
oleh
KAMMI
dan
berbagai
organisasi
kemahasiswaan lainnya. Akhirnya, setelah berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan gerakangerakan mahasiswa hingga menimbulkan korban jiwa yang cukup besar, serta kondisi keamanan dan kehidupan negara yang sudah carut-marut, pada tanggal 21 Mei 1998 dalam pidatonya di Istana Negara, presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden Republik Indonesia. Masa transisi demokrasi Indonesia pun baru dimulai untuk menata kembali kehidupan bangsa. Era reformasi yang didengungkan mahasiswa akan segera dimulai. Semangat untuk terus memperjuangkan reformasi total tetap dimiliki oleh gerakan mahasiswa umumnya dan KAMMI khususnya. Semangat dan idealisme semacam inilah yang membuat KAMMI terus bergerak mendobrak rezim Habibie, lalu rezim Gus Dur, bahkan rezim Megawati dengan tuntutan yang tetap sama, reformasi.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
12
Bab II Idealisme Sebuah Gerakan Mahasiswa Secara umum gerakan mahasiswa sampai saat ini tetap berada di garis depan dalam setiap gerakan pembebasan tanah air di seluruh dunia menentang kezaliman, dan juga merupakan markas utama yang melahirkan tokoh-tokoh pemikiran dan revolusi di banyak negara. Demikian pula, gerakan mahasiswa adalah target sasaran musuh-musuhnya, karena ia adalah kumpulan para cendikiawan ummat, para aktivis, orang-orang yang berpikir terbuka, paling siap berkorban dan terakhir paling siap melakukan perubahan-perubahan yang jika belum terjadi di usia mereka pasti akan terjadi di masa depan. Berangkat dari sejarah yang terjadi pada gerakan mahasiswa sejak dulu hingga sekarang, sebuah idealitas memiliki pengaruh yang sangat besar untuk mewujudkan suatu perubahan. Mahasiswa sebagai komponen menengah dalam masyarakat memiliki sebuah idealitas yang cukup untuk mengakomodir terjadinya sebuah perubahan. Gerakan mahasiswa adalah sebagai sebuah gerakan moral demi menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh rakyat. Gerakan mahasiswa muncul sebagai curahan perasaan rakyat yang mendambakan perubahan untuk kemajuan. Generasi muda harus memupuk kekuatan diri sebagai suatu gerakan moral dan senantiasa tampil sebagai alat koreksi dan sosial kontrol terhadap penyelewengan, ketidakadilan, korupsi dan penindasan. Karena itu mereka berusaha tetap bersih, bebas dari ekses-ekses, dan mampu menggalang persatuan dan kesatuan pendapat serta mental di antara sesamanya dan mampu melahirkan kesatuan dalam tindakan.
Idealisme Sebuah Gerakan Mahasiswa Islam Tak dapat dipungkiri, Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim sudah sewajarnya memiliki distribusi pemuda dan mahasiswa muslim yang besar pula. Sejarah mengatakan kepada masyarakat, bahwa hampir sebagian besar perjuangan di kancah politik dan sosial sejak awal kemerdekaan dan hingga saat ini tidak terlepas dari peran mahasiswa islam yang tergabung dalam berbagai gerakan mahasiswa dengan landasan ideologi yang beragam pula. Maka sebuah
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
13
gerakan mahasiswa islam tentu tidak terlepas dari idealitas religius. Selain dari peranan politik mereka sebagai pelopor dari komunitas orang yang dirampas haknya, gerakan mahasiswa islam juga mempunyai kepentingan moral dan sosial masyarakat dan bangsa. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, di antara pola aktivitas baru mahasiswa pasca NKK/BKK adalah merebaknya aktivitas keislaman berbasis masjid kampus. Aktivitas keislaman berbasis masjid kampus ini dalam perjalanan dan perkembangannya berhasil mengimbangi dan menggeser peran yang selama ini didominasi oleh ormas islam kemahasiswaan yang terlibat dan kemudian beralih aktivitasnya ke bentuk baru ini. Ada dua faktor yang mempengaruhi pola baru aktivitas keislaman mahasiswa, yaitu pertama adalah munculnya kelompok anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengamalkan islam, sebagai respon dari tekanan politik pemerintahan orba terhadap umat islam. Dan kedua adalah adanya sebuah ruang publik yang relatif lapang, yang bernama masjid atau mushalla kampus, tempat di mana idealisme kaum muda islam itu mengalami persemaian ideal dan pengecambahan secara cepat. Secara normatif falam ajaran islam, pemuda dianggap memiliki peran sangat penting untuk memobilisasi kesadaran masyarakatnya. Dalam catatan sejarah, bagian terbesar dari kelompok pertama yang menerima ajaran islam terdiri dari para pemuda. Dari sudut ini dapat dilihat betapa kehadiran pemuda sebagai penggerak perubahan di dalam masyarakat merupakan hal yang sangat mendasar dalam islam. Hal ini tidak hanya sekedar sebuah tuntutan yang sematamata bersifat sosiologis, melainkan lebih dari itu memiliki landasan ideologis yang sangat kuat. Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya. Keempat rukun ini, iman, ikhlas, semangat, dan amal merupakan karakter yang melekat kuat pada diri pemuda, karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan itu adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat itu adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
14
pemuda. Oleh karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Menurut Hasan Al-Bana, dalam setiap kebangkitan, pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Di dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya. “...Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”(QS. Al-Kahfi : 13) Berbicara tentang gerakan mahasiswa islam tidak terlepas dari sebuah Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Mata rantai perjalanan sejarah yang panjang dan dinamis, serta saling keterkaitan antara satu fase dengan lainnya menjadikan LDK sebagai unsur kekuatan besar dakwah islam di Indonesia. Dakwah berupaya merubah pikiran, perasaan, dan tingkah laku manusia dari jahiliyah kepada islam, atau dari yang kurang islami menjadi lebih islami, sehingga terbentuk tatanan masyarakat islami. Berkenaan dengan mahasiswa dan kampus, secara struktural sosial masyarakat, keduanya dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang mempunyai peran penting dalam perubahan sosial dan kepemimpinan masyarakat. LDK berperan sebagai gerakan mahasiswa islam yang berfungsi sebagai wahana untuk mencetak mahasiswa muslim sebagai kader islam yang tangguh dan agen perubahan sosial.
KAMMI Sebagai Gerakan Mahasiswa Islam KAMMI sebagai sebuah gerakan mahasiswa yang cukup memberikan kontribusi besar dalam era reformasi, memiliki berbagai idealisme yang berpusat pada satu kesatuan pemahaman islam sebagai landasan pergerakannya. Dalam perspektif KAMMI, akar persoalan bangsa Indonesia adalah hancurnya moralitas (agama) yang menjadi dasar bagi semua sikap perilaku anggota masyarakat dan pada pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan. Berdasarkan atas hal ini, KAMMI memiliki dua konsep yaitu perubahan sosok-sosok pemimpin baru yang handal dan bermoral, dan perubahan moralitas dan budaya masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal. Sebagai gerakan modern, KAMMI meletakkan konsep tersebut dalam tingkatan mikro. KAMMI mendisain sistem organisasinya dengan sebuah idealisme prinsip organisasi
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
15
modern yang rasional dan profesional. Pada saat yang bersamaan, KAMMI juga menempatkan dasar-dasar moralitas dalam perilaku dan budaya organisasinya melalui sistem alur kaderisasi yang komprehensif dan kontiniu. Proses kaderisasi KAMMI yang tercermin dalam konsep Tauhid dan konsep Al-Haq wal-Bathil yaitu dengan menanamkan keyakinan dan keberpihakan yang teguh terhadap kebenaran dan pengingkaran dan permusuhan yang konsisten terhadap kebathilan. Nilai ini menumbuhkan satu sikap kepribadian dasar pada aktivis KAMMI untuk senantiasa mengkritisi kondisi kebenaran dan kebathilan dari perspektif keTuhanan (Ilahiyah) dan bukan aspek-aspek yang sifatnya simbolik belaka. Dalam menjalankan agenda-agenda perubahannya, KAMMI juga mengedepankan prinsip perbaikan, yaitu “kritis dalam sikap, moderat dalam cara”. Berangkat dari berbagai landasan dan idealisme di atas, maka seluruh agenda-agenda dan program-program KAMMI tidak terlepas dari langkah untuk mencapai perubahan yang lebih baik.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
16
Bab III Realitas yang Terjadi Dalam Gerakan Mahasiswa Pada paparan sebelumnya telah dibahas tentang berbagai idealisme dalam sebuah gerakan mahasiswa beserta komponen mahasiswa di dalamnya. Dengan rujukan idealisme tersebut, sebuah gerakan mahasiswa dapat diketahui realitasnya apakah sebuah gerakan itu sesuai dengan apa yang menjadi landasan ideologinya atau hanya menjadi sebuah alat dari pihak-pihak tertentu dalam memenuhi kepentingan individu dan golongan. Terkadang sebuah idealitas harus teracuhkan dalam kerja-kerja nyata di lapangan. Dalam aplikasi dan solusi yang ditawarkan secara tak sadar telah keluar dari konsep dasar sebuah pergerakan mahasiswa. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru, bahkan pada angkatan 66 sudah terbukti bahwa gerakan mahasiswa akhirnya menjadi sebuah mitos sejarah belaka yang diakibatkan karena berbagai kepentingan dan keinginan yang melenakan dari pihak-pihak yang turut andil dalam pergerakannya. Zaman yang berubah cepat, kaum muda Islam di Indonesia sebagai yang terbesar, diminta untuk mengambil tindakan-tindakan yang bertendensi ke masa yang akan datang. Setiap kita terutama pemuda an mahasiswa diminta untuk melibatkan diri dalam suatu kelompok entitas, apakah kita sebagai entitas bangsa atau sebagai entitas kesadaran. Kesemuanya itu menandakan adanya suatu persimpangan yang rumit dan juga suatu pertaruhan yang melibatkan tidak hanya satu generasi saja dari bangsa ini, akan tetapi juga melibatkan mereka yang belum lahir dalam kehidupan bangsa ini. Dalam posisi ini, ketika gerakan mahasiswa memposisikan diri sebagai pelaku dan bukan penonton, persoalannya bukanlah semata-mata optimisme atau pesimisme. Lebih dari itu, mahasiswa harus mampu berfikir apa yang harus dilakukan dan seberapa besar energi dan amunisi yang harus disiapkan. Sudah saatnya pula gerakan mahasiswa menegaskan kembali untuk tidak terlarut dalam romantisme sejarah, meskipun dengan tetap mengakui bahwa mereka adalah “anak-anak yang tumbuh di bawah asuhan sejarah”. Disini, tugas gerakan mahasiswa bukan sekedar menuju pada suatu benua makna, akan tetapi menerka-
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
17
nerka maknanya, menaksir terkaan-terkaan itu dan menarik kesimpulan dan terkaan terbaik. Sebagai suatu gerakan mahasiswa, realitas yang terjadi saat ini biasanya adalah sebuah pergeseran nilai-nilai idealisme yang sejak awal diusung oleh mereka—mereka yang menyebut dirinya sebagi agen peubah. Bahkan lebih buruk lagi, sebuah analisis yang dilakukan, reformasi jangan sampai mati, untuk itu perlu peran gerakan mahasiswa yang ada sebagai bentuk kontrol sosial menjadi wadah bagi terciptanya reformasi tersebut dalam tatanan mikro. Maka, dalam hal aplikatif tidak hanya sekedar pemikiran sebelah pihak saja, tetapi perlu proses aplikatif dalam tatanan yang lebih real dan sesuai dengan tuntutan zaman. Kalau beberapa tokoh mengatakan “No action, talk only”, mungkin ada benarnya pada sebagian gerakan mahasiswa. Berbagai diskusi yang dilakukan dalam setiap elemen mahasiswa belum mampu merumuskan suatu konsep bersama yang solid untuk melakukan sebuah perubahan yang lebih berarti. Aksi-aksi yang dilakukan tidak hanya sekedar perhelatan tradisi pengulangan sejarah atas wacana yang ada di dalam masyarakat, tetapi juga mampu menimbulkan efek yang cukup kuat bagi terciptanya suatu solusi dalam rangka perbaikan. Mulai saat ini mahasiswa harus menyadari bahwa perlawanan lewat aksiaksi demonstrasi jalanan saja tidaklah cukup, karena ia “hanya” berfungsi untuk mereduksi kedzaliman, dan belum cukup tepat untuk disebut solusi. Lebih dari itu, pemuda harus menyadari bahwa mereka, minimal, memiliki empat agenda. Pertama mempersiapkan para tekno-birokrat, kedua mempersiapkan para ‘intelektual organik’. Ketiga mempersiapkan kader-kader ‘pemimpin politik’ dan keempat mempersiapkan para pengusaha. Agenda ini harus dijalankan secara serius untuk mengobati “cacat bawaan” kepemimpinan dan personal yang ada pada bangsa ini. bijaksana. Permasalahan yang menyibukkan masyarakat di Indonesia, juga internasional, sesungguhnya terjadi di wilayah internal. Berbagai konflik antar gerakan dan kelompok tertentu sudah bermetamorfosa kepada konflik antar gerakan lain khususnya mahasiswa. Dalam gelombang perubahan ini, saatnya sekarang para pemuda dalam arti mahasiswa secara khusus diberi ruang untuk memainkan peranan yang menentukan. Kaum muda adalah mereka yang dipihaki
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
18
oleh waktu, dan karena itu melawan kebangkitan pemuda berarti mengkhianati proses hidup yag telah ditetapkan Allah Swt. Tentunya dalam konteks ini kita teringat sebuah tulisan yang dibuat oleh Jane Foster, Kumi Naidoo, dan Marcus Akhuta-Brown, judulnya “Youth Empowerment and Civil Society”. Tulisan yang termuat dalam buku Civil Society at the Millenium (1999) ini menggariskan pentingnya pemuda dalam proses perubahan politik melalui civil society dimanamana. society”. Negara ini terus-menerus melakukan keterpurukan terhadap masa depan generasi berikutnya. Kegagalan ini membuat sindrom pemalasan sosial (social loafing) yang terjadi terus menerus tanpa henti. Semua orang berbicara atas nama rakyat tetapi hakekatnya mereka lebih senang bekerja sendiri untuk memenuhi ambisi politik mereka daripada bekerjasama dengan elemen bangsa yang lain untuk kebutuhan bangsa yang lebih besar. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai kondisi pada saat ini bukan dalam kondisi yang ideal. Masalah yang timbul bukan masalah hitam dan putih untuk bisa dibedakan secara jelas. Tetapi masalah yang timbul adalah di antara abu-abu dan sedikit abu-abu. Kecerdasan dan kejernihan pikiran dibutuhkan dalam mengambil keputusan karena Islam mempunyai manhaj berfikir sendiri. Maka gerakan mahasiswa harus mampu mewujudkan sebuah solusi yang bijak sesuai dengan idelisme yang diusung dari beragam masa perjuangan Indonesia. Proses perbaikan umat (ishlahul ummah) diperlukan dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia karena hanya melalui perbaikan itulah konflik dan persaingan bisa menjadi rahmat bagi umat. Perbaikan ini memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sehingga diperlukan keberanian dan sikap tegas dalam mengambil keputusan untuk memulai memasuki babak baru perbaikan.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
19
Khatimah Pemuda merupakan tonggak sejarah masa lalu dan masa depan sebuah peradaban. Jika pemuda sebuah peradaban baik, maka baiklah peradaban itu, dan sebaliknya. Yang paling bijak bagi gerakan kaum muda dengan kondisi ketidakmenentuan seperti saat ini adalah mencegah agar gerakan pemuda tidak terjebak dan larut hanya dengan problem kekinian yang kompleks, bahkan nyaris tak terpecahkan. Gerakan kaum muda haruslah bernafas panjang, berfikir jauh ke depan, dan justru tidak meninggalkan fokus utamanya yakni meyiapkan generasi pengganti yang akan memimpin perubahan. Pola kaderisasi yang matang akan menjamin kesetaraan kualitas personal yang dihasilkan. Keyakinan ideologis, ruh perjuangan, dan jati diri hendaknya selalu menjadi ciri khas dari pemuda. Kematangan ini meliputi pemahaman politik, life skill, manajerial, leadership, dan wawasan. Selain tentu saja aqidah, ibadah, akhlak, fikrah, dan manhaj. Terutama bagi sebuah gerakan mahasiswa islam yang mengusung panji-panji islam. Lalu pemikiran yang menampilkan secara tegas pokok-pokok pikiran yang menjadi ideologi gerakan. Dari sinilah ideide fundamentalis dapat digariskan secara tegas. Akhirul kalam, kita adalah pemuda, maka berdirilah tegak sebagai pemuda layaknya, kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Wallahu’alam.
Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya Kami akan tunjukan kepada mereka jalan Kami dan sesungguhnya Allah SWT beserta orangorang yang berbuat kebaikan. (Al-Ankabut : 69)
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
20
Daftar Pustaka Al-Banna, Hasan. 1998. “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin”. Era Intermedia. Solo. Anonim. 2000. “Gerakan Mahasiswa Sebagai Gerakan Pemberdayaan Dan T
T
Identitas”.http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi20/20berita_4.ht HTU
ml. Jakarta. UTH
Bontas P, Bramastyo. 2005. “Transformasi Kaum Muda Indonesia”. http://kammi.or.id/lihat.php?d=materi&do=view&id=929. Jakarta. THU
UTH
Departemen Agama RI. 2004. “Al-Qur’an dan Terjemahannya”. PT Syamil Cipta Media. Jakarta. Sidiq, Mahfudz. 2003. “KAMMI dan Pergulatan Reformasi”. Era Intermedia. Solo. Thahan, Musthafa Muhammad. 2002. “Risalah Pergerakan Pemuda Islam”. Visi Publishing. Jakarta. T
T
Widjojo, Muridan S..1999. “Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa 1998”. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas
21