AIDS 1. PENGERTIAN HUMAN

Download jarang terjadi pada penderita yang tidak terinfeksi HIV. Kondisi ini dipertegas oleh Depkes RI (2003) yang mengartikan AIDS sebagai suatu g...

0 downloads 307 Views 57KB Size
BAB II TINJAUAN PUSATAKA

A. HIV/AIDS 1. Pengertian Human Immuno-deficiency Virus (HIV), menurut Depkes RI (2003) didefinisikan sebagai virus penyebab AIDS. Sedangkan Smeltzer (2003) menegaskan bahwa HIV diartikan sebagai retrovirus yang termasuk golongan asam ribonukleat (RNA) yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa sifat genetic yang diartikan sebagai Human T-cell Lymphorropic Virus tipe III (HTLV III). Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan oleh Smeltzer (2001) sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV. Gunung (2002) juga menyatakan bahwa AIDS pada orang dewasa atau remaja umur 13 tahun atau lebih adalah terdapatnya satu dari 26 keadaan yang menunjukkn imunosupresi berat yang berhubungan dengan infeksi HIV, seperti Pneumocystis Carini pneumonia (PCP), suatu infeksi paru yang sangat jarang terjadi pada penderita yang tidak terinfeksi HIV. Kondisi ini dipertegas oleh Depkes RI (2003) yang mengartikan AIDS sebagai suatu gejala berkurangnya kemampuan pertahan diri yang disebabkan masuknya virus HIV kedalam tubuh seseorang.

2. Perjalanan Infeksi Sesudah virus HIV memasuki tubuh sseorang, maka tubuh itu terinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T CDS dan makrofag) HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Pada stadium awal orang terinfeksi virus HIV pada 12 minggu pertama akan mengalami masa “periode jendela” artinya bila dilakukan test HIV belum terbentuk antibodi sehingga hasilnya masih negatif, tetapi orang tersebut sudah dapat 7

menularkan keorang lain (Dinkes, 2004). Gejala infeksi HIV tampaknya mirip dengan banyak gejala penyakit umum lainya, seperti pembengkakan kelenjar, mudah lelah, kehilangan berat badan, demam , diare. Berbeda orang berbeda pula gejalanya (Spiritia, 2004). Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang ini sangat mudah menularkan infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan laboratorium serum antibodi HIV. Sesudah suatu jangka waktu, yang bervariasi dari orang keorang, virus memperbanyak diri (replikasi) secara cepat dan diikuti dengan perusakan limposit CD4 dan sel kekebalan lainya sehingga terjadilah sindrom kekurangan

daya

kekebalan

tubuh

yang

progresif

(progressive

immonedeficiency syndrome). Progresifitas tergantung pada beberapa faktor seperti : usia kurang dari 5 tahun atau diatas 40 tahun menjadi sangat cepat, infeksi lainya, dan adanya faktor genetik. Faktor progesifitas paling memperburuk keadaan adalah orang yang telah terjangkit HIV dalam kondisi sedang terinfeksi penyakit lain. Jika orang tersebut tidak sedang berperang melawan infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem immunya terstimulasi (Depkes RI, 2003). Secara ringkas perjalanan HIV/AIDS dapat digambarkan dalam tahapan yaitu diawali timbulnya Infeksi virus dalam waktu 2-3 minggu yang disebut Sindrome retroviral akut yaitu penyebaran virus, secara klinis pada tahapan ini tidak tampak ditandai Gejala menghilang + serokonversi. Infeksi kronis HIV-asimtomatik terjadi dan tampak gejala klinis setelah sekitar 8 tahun yang kemudian terjadi infeksi HIV/AIDS, dan dalam waktu 1 sampai 2 tahun dapat mengakibatkan Kematian. (Smeltzer, 2003 & Depkes RI, 2003)

3. Klasifikasi Klinis a. Klasifikasi Klinis pada orang dewasa dan remaja Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS. Salah satunya menurut CDA (Smeltzer, 2003 & Depkes RI, 2003). 1. Kategori Klinis A Kategori Klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala. Limfadenopati generalisata

yang

menetap

(Parsistent

Generalized

lymadenopaty/PGL). 2. Kategori Klinis B Kategori Klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja dan orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling kurang satu dari beberapa Kriteria berikut: keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan yang diperantarakan sel (cell mediated immunity) atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya : Angiomatosis basilaris, kandidiasis orofaringeal, kandidiasis vulbovaginal, dysplasia leher rahim, demam 38,5oC atau diare lebih dari satu bulan, oral hairy leukoplakia, herpes zoster, purpura idiopatik trombositopenia, listeriosis, penyakt radang panggul, neuropati perifer. 3. Kategori C Kategori C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS, misalnya ; kandidiasis bronki, trakea, dan paru, kandidiasis esophagus, kanker leher rahim, coccidiodomycosis menyebar atau paru, kriptokokosis diluar paru, retinitis virus sitomegolo, enselopati yang berhubungan dengan HIV, herpes simpleks, ulkus kronis, bronchitis, esofagitis, pneumonia, histoplasmosis, intestinal kronis lebih dari satu bulan, sarcoma Kaposi, limfoma burkit, limfoma imunoblastik, limfoma primer diotak mycobacterium avium complex (MAC) tersebar atau diluar paru, mycobacteriumtuberculosis dimana

saja, pneumonia pneumocystis carinii, pneumonia

berulang,

leukoensefalopati multifocal progresif, septicemia salmonella yang berulang, toksoplasmosis diotak (Depkes RI, 2003). b. Manifestasi Klinis spesifik pada wanita. Kandidiasis vagina yang persistem atau rekuren dapat menjadi tanda pertama yang menunjukkan infeksi HIV pada wanita. Ulkus genetalia yang terjadi dimasa lalu atau sekarang merupakan faktor resiko bagi penularan infeksi HIV. Wanita dengan infeksi HIV lebih rentan terhadap ulkus genetalia serta kondiloma akuminata (vernereal warts), dan akan mengalami peningkatan frekuensi serta kekambuhan kedua penyakit tersebut. Penyakit menular seksual yang ulserasif seperti sifilis dan herpes akan tampak lebih berat pada wanita ini. Human papilomavirus (HPV) menyebabkan kondiloma akuminata dan merupakan factor resiko terjadinya neoplasma intra-epitel seviks, yaitu prekusor kanker serviks. Wanita pengidap HIV akan sepuluh kali lebih cepat mengalami amenore atau perdarahan pervaginam. Antara hasil sediaan hapus papanicoloau yang abnormal dan hasil HIV-seropositif terdapat kaitan erat. Wanita HIV-seropositif dengan karsinoma serviks akan ditemukan dengan stadium penyakit yang lebih lanjut dan menderita penyakit yang lebih persisten serta rekuren dengan interval yang lebih singkat untuk terjadinya kekambuhan dan kematian bila dibanding dengan wanita yang tidak menderita infeksi HIV (Smeltzer,2003). 4. Penularan Jalur penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi hepatitis B. Beberapa cara penularan HIV, antara lain : kontak seksual, suntikan intra vena, darah dan produk darah, dan ibu keanak (Depkes RI,2003). a. Kontak seksual penularan melalui hubungan heteroseksual ataupun homoseksual adalah cara

paling dominan dari semua cara penularan. Pada hubungan

heteroseksual atau homoseksual berarti terjadi kontak seksual dengan

penetrasi vaginal, anal, ataupun oral antara dua individu. Kontak ini akan meningkatkan kemungkinan trauma pada mukosa rektum ataupun vagina dan selanjutnya memperbesar peluang untuk terkena virus HIV lewat skret tubuh. Peningkatan frekuensi praktik dan hubungan dengan pasangan bergantian juga turut menyebarkan penyakit ini. Tingkatan resiko penularan HIV juga tergantung dari jumlah virus yang keluar dan masuk kedalam pintu masuk tubuh seeorang. b. Suntikan Intra vena penularan infeksi melalui suntikan intra vena terjadi kontak langsung darah dengan jarum dan spuit yang terkontaminasi. Meski jumlah darah dalam spuit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama alat peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan resiko penularan. Penularan cara ini

banyak dialami oleh para

pengguna narkoba. c. Darah dan produk darah Penularan darah dapat terjadi jika pada pasien yang menerima transfusi darah dan penderita HIV. Namun demikian resiko yang berkaitan dengan transfusi kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang secara sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat faktor pembekuan, pemanasan, dan cara-cara inaktivasi virus yang semakin efektif. d. Ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak ditularkan dari ibunya saat dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir. Resiko penularan tanpa intervensi, sangat bervariasi disatu negara dengan negara lain dan umumnya diperkirakan antara 25-40% dinegara berkembang. 5. Perawatan Upaya penanganan medis meliput beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignasi, penghentian replikasi virus lewat preparat antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui penguatan preparat

imunomodulator. Perawat suportif merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien, efek tersebut mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan, imobilitas dan perubahan status mental (Smeltzer, 2003). 6. Pengendalian Infeksi Dalam pengendalian infeksi penerapan kewaspadaan universal merupakan hal yang sangat besar dalam asuhan keperawatan bagi setiap pasien yang tertular HIV ataupun yang belum tertular. Pada pasien yang sudah tertular infeksi HIV, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah ruang perawatan, peralatan, tenaga, pembersihan, makanan, pemulangan, dan pemberian obat. Pada orang yang belum tertular HIV disarankan untuk melakukan seks yang aman dengan tidak ganti-ganti pasangan, ataupun memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang dicurigai terkena HIV (Smeltzer, 2003).

B. Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam Penggunaan Kondom 1. Pengertian Sikap manusia, atau untuk singkatnya kita sebut sikap, telah banyak didefinisikan oleh para ahli. Menurut Louis Thurstone (1928) menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan (Pustaka Pelajar,1995). Definisi ini diperjelas oleh Notoatmodjo bahwa sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo, 1995). Pekerja seks komersial (PSK) sampai saat ini tidak diakui sebagai salah satu pekerjaan oleh Depnaker, sehingga mengecualikannya dari peraturan-peraturan ketenagakerjaan, kenyataan ini dikarenakan PSK tidaklah dapat diakui dalam konsep definisi. Depkes RI (2002) lebih memilih para PSK diartikan wanita penjaja seks, para wanita penjaja seks ini melakukan hubungan seks dengan para pelanggan seks diluar pernikahan.

Kondom menurut Wiknjosastro (2005) mempunyai salah satu fungsi sebagai alat perlindungan terhadap penyakit menular seks (Wikipedia, 2010). Dari beberapa pernyataan diatas dapt disimpulkan bahwa sikap pekerja seks komersial (PSK) dalam penggunaan kondom merupakan reaksi yang masih tertutup dari para wanita penjaja seks terhadap suatu stimulus dalam hal ini penggunaan kondom untuk menghindari penularan penyakit akibat seks (Notoatmodjo, 2003 & Wikipedia, 2010). 2. Struktur Sikap PSK Struktur sikap diglongkan oleh Azwar (2008) dalam tiga komponen sikap, yaitu : komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif (Azwar Syarifudin, 1995). a. Komponen Kognitif Komponen Kognitif ini berisi kepercayaan PSK mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar terhadap kondom. Apabila PSK telah mempolakan dalam fikiran bahwa kondom merupakan suatu alat yang positif maka kondom akan mereka gunakan. Demikian pula sebaliknya, para PSK tidak akan menggunakan kondom jika mereka yakin alat tersebut tidak bermanfaat. Sekali kepercayaan PSK terhadap kondom telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar pengetahuan PSK mengenai apa yang diharapkan dari kondom (Winkjosastro,2005). b. Komponen Afektif Komponen afektif menyangkut masalah emosional PSK terhadap kondom, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki PSK terhadap kondom (Winkjosastro, 2005). c. Komponen Konatif Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri PSK berkaitan dengan penggunaan kondom. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku PSK. Konsistensi antara kepercayaan sebagai komponen kognitif, perasaan

sebagai komponen afektif, dengan tendensi perilaku sebagai komponen konatif seperti itulah yang menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang mencerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap PSK (Winkjosastro, 2005). 3. Tingkatan Sikap Sikap menurut Notoatmodjo (2003), terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu : menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuting), dan bertanggung jawab (responsible) (Notoatmodjo, 2003). a. Menerima Menerima diartikan bahwa PSK mau dan memperhatikan apa itu kondom. Kondisi ini terlihat pada sikap PSK dalam kesediaan dan perhatiannya terhadap kondom (Azwar,1995, Winkjosastro,2005). b. Merespon Pada tingkatan ini PSK, memberikan jawaban apabila ditanya, mau menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks dengan para pelanggan seks. Karena dengan suatu usaha menjawab pertanyaan dan menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks berarti PSK menerima ide untuk menggunakan kondom (Winkjosastro, 2005). c. Menghargai PSK dalam tingkatan menghargai, mereka akan mengajak atau mendiskusikan tentang kondom (Depkes, 2002). d. Bertanggung Jawab Bertanggung Jawab atas segala resiko yang telah dipilih PSK, merupakan sikap PSK yang paling tinggi, Mereka akan menaggung resiko penularan AIDS jika tidak menggunakan kondom. 4. Pengubahan Sikap Pemahaman mengenai mekanisme perubahan sikap sangat diperlukan karena sebagai manusia PSK kadang-kadang dapat berperan sebagai agen perubah dan kadang-kadang PSK berperan sebagai subyek perubahan (Depkes, 2002).

a.

Strategi Persuasi Strategi Persuasi ini merupakan pengubahan sikap PSK dalam penggunaan kondom, dengan memasukkan ide, fikiran, pendapat, dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan komunikatif (Depkes,2002).

b.

Pendekatan Tradisional Pendekatan Tradisional untuk pengubahan sikap perlu adanya stimulus terhadap PSK tentang kondom, sehingga mereka akan memperhatikan, memahami, dan menerima. Setelah itu diharapkan PSK akan merespon dengan perubahan sikap mereka untuk menggunakan kondom (Depkes,2002).

c.

Pendekatan Kognitif Perspektif ini memusatkan perhatian PSK pada analisa respon kognitif, yaitu suatu usaha untuk memahami pertama apa yang difikirkan PSK sewaktu mereka dihadapkan pada kegunaan kondom, dan kedua bagaimana fikiran PSK serta proses kognitif yang berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh mana perubahan itu terjadi (Depkes,2002).

d.

Pendekatan Belajar Pesan Pendekatan belajar pesan mengatakan bahwa proses yang paling dasar dalam pengubahan sikap adalah atensi, pemahaman, penerimaan, dan retensi. Oleh karena itu pada pendekatan ini PSK diharapkan ada atensi, pemahaman, penerimaan, dan retensi terhadap kondom, sehingga para PSK biasa menggunakanya untuk mencegah HIV/AIDS (Depkes,2002).

C. Kondom untuk mencegah HIV/AIDS 1. Pengertian Kondom

adalah bentuk alat kontrasepsi yang pertama kali

ditemukan, yang pada awalnya dianggap sebagai perlindungan terhadap penyakit menular seksual daripada sebagai pencegah kehamilan, kondom pertama kali dibuat oleh dokter Condom atas perintah Raja Charles II

sebagai alat kontrasepsi dan dibuat dengan bahan kulit binatang, tetapi pada perkembanganya kondom dari kulit binatang dirasa kurang berhasil disamping biaya pembuatanya cukup mahal keberhasilanya masih rendah sebagai alat kontrasepsi (manuaba, 1998) dan dengan perkembangan tekhnologi saat ini kondom sudah dapat ditemukan dengan berbagai macam bentuk dari tiap merk. 2. Kondom sebagai alat pencegahan HIV/AIDS. Kondom sudah dikenal sejak jaman Mesir Kuno, dan awal tujuan utama dibuat kondom adalah untuk mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi hubungan seks yang pada waktu itu sudah ada beberapa penyakit infeksi yang dapat ditularkan melalui hubungan seks. Sejak ditemukanya penyakit AIDS yang disebabkan oleh virus Human Immunodefiency Virus (HIV) Kondom menjadi alat kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah penularan penyakit tersebut, karena sistem kerjanya yang menampung sperma sehingga sperma tidak dapat masuk kedalam rahim sehingga apabila salah satu pasanganya terinfeksi HIV virus tidak dapat menginfeksi pasanganya (Manuaba, 1998).

D. Kerangka Teori Skema 1. Kerangka Teori Penalitian

HIV/AIDS

Penggunaan Kondom

-Pengalaman penggunaan Kondom -Pengetahuan PSK -Sikap PSK -Kedisiplinan

Skema 1. Kerangka Teori Penelitian