al-Qur’an
Kajian al-Ghazali atas al-Quran merupakan titik tolak pemahamannya terhadap berbagai cabang pengetahuan keislaman. Hermeneutika al-Quran yang dibangunnya merupakan upayanya dalam “menghidupkan” (ihyâ’) ilmu-ilmu keagamaan, di samping untuk memproyeksikan peran dan nilai alQuran di tengah-tengah masyarakat. Konsepsi alGhazali tentang al-Quran berangkat dari dua pijakan dasar; sebagai seorang teolog Asy’ari dan sebagai sufi gnostik. Al-Ghazali berusaha memahami alQuran dari berbagai dimensinya sesuai dengan karakteristik ayat dan surat. Metodologi penafsirannya menggabungkan keserasian metode riwayat (bi al-ma’tsûr) dengan metode rasional (bi al-ra’y), serta makna lahir (eksoterik) dengan makna batin (esoterik). Hasil penyilangan berbagai metode itu membawa implikasi pengembangan dan pengayaan khazanah penafsiran al-Quran.
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali Oleh Dede Rodin*
Kata Kunci: hermeneutika, ma’tsûr, ra’yu, eksoterik, esoterik, jawâhir, durar
Pendahuluan Semua agama pada hakikatnya terbentuk berdasarkan wahyu dan tafsir terhadap wahyu itu.1 Dalam Islam, wahyu terhimpun dalam al-Quran sebagai manifestasinya yang terpenting, yang memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (hudan) untuk menjadi pedoman hidup manusia dalam menata kehidupannya (Qs. al-Baqarah [2]:185). Dalam Islam, al-Quran menempati posisi sentral dalam membentuk ajaran, pemikiran dan peradaban. Oleh karena itu, sejarah Islam tidak dapat dilepaskan dari keberadaan al-Quran. Penelitian tentang Islam yang mengabaikan faktor al-Quran akan sulit dipertanggungjawabkan validitasnya kecuali hanya menyentuh kulit luarnya saja.2 Dalam kenyataan empirik, tak dapat dipungkiri, bahwa ketika ajaran al-Quran hendak dipahami dan dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang pluralistik, diperlukan keterlibatan pemikiran yang merupakan kreatifitas manusia dalam bentuk penafsiran. Perlunya pemahaman yang tepat terhadap al-Quran menjadikan kedudukan tafsir
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin semakin penting, karena penafsiran merupakan cara untuk menjembatani kesenjangan antara perkembangan kehidupan yang progresif dengan tulisan (Kitab Suci) yang sudah baku. Sejarah agama-agama adalah juga sejarah penafsiran Kitab Suci.3 Selama rentang waktu yang cukup panjang, khazanah intelektual Islam diperkaya oleh berbagai macam perspektif dan metode penafsiran AlQuran.4 Lahirnya berbagai metode dan pendekatan tafsir itu lebih banyak disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.) adalah intelektual Muslim yang pikiran-pikirannya banyak mempengaruhi umat Islam. Meski ia merupakan tokoh pemikir produk abad pertengahan, namun buah pikirannya sampai saat ini masih hidup subur, bahkan tertancap kuat dalam masyarakat Sunni Muslim.5 Ia adalah seorang pemikir yang tidak saja mendalam, tapi juga sangat produktif dengan karya-karyanya yang meliputi bidang kalam, filsafat, tasawuf, fiqh dan politik.6 Dalam peta pemikiran Islam, al-Ghazali adalah salah seorang yang dikenal ahli dalam bidang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf.7 Dengan karya monumentalnya, Tahâfut al-Falâsifah ia berhak menyandang gelar filsuf. Sebagai seorang teolog hampir semua ahli sepakat memasukkan al-Ghazali ke dalam barisan para teolog pendukung Asy’ariyah, meskipun sebagian mereka memberikan penilaian khusus terhadap kerja al-Ghazali sebagai teolog yang unik.8 Dalam bidang tasawuf, al-Ghazali mendapat perhatian yang luar biasa dari berbagai ahli.9 Sedangkan ketokohannya dalam bidang tafsir belum banyak dikenal. Padahal ia telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam diskursus kajian tafsir al-Quran. Ia mempunyai gagasan cerdas dan liberal dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Bahkan, berdasarkan beberapa catatan ia pernah menulis karya tafsir, Yâqût al-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîl yang mencapai 40 jilid. Sayangnya, karya yang sangat berharga ini tidak dapat kita warisi.10 Disamping itu, al-Ghazali juga menulis sebuah kitab mengenai studi al-Quran, Jawâhir al-Qur’ân dan Qânûn al-Ta’wîl11 dan satu bab khusus, Fahm al-Qur’ân wa Tafsîruhu bi al-Ra’y min Ghair al-naql yang tertuang dalam Ihyâ’ Ulûm al-Dîn. Dalam bidang tafsir al-Quran, al-Ghazali mendapat penilaian yang beragam dari para ahli. Al-Dzahabi memandang al-Ghazali sebagai orang yang paling banyak berbicara tentang tafsir ilmiah (al-tafsîr al-ilmy) dan mempopulerkannya di kalangan intelektual Islam.12 Adapun Ignaz Goldziher cenderung memasukkan al-Ghazali ke dalam kelompok tafsir sufi.13 Dengan latar belakang inilah, tulisan ini akan mengkaji tentang hermeneutika al-Quran al-Ghazali.
86
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
BiografiIntelektualAl-Ghazali Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali al-Thusi adalah seorang Persia asli yang lahir pada 450 H./1058 M, di Gazaleh,14 sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan (Iran).15 Ia dilahirkan di tengah keluarga miskin. Ayahnya seorang pemintal wol (al-ghazzâl) yang saleh. Kehidupannya yang sederhana mengantarkan sang ayah untuk menjalani kehidupan sufi. Ketika ajalnya mendekat, ia berwasiat kepada sahabat karibnya, seorang sufi, untuk memelihara dua orang puteranya yang masih kecil dengan sedikit bekal warisan yang ditinggalkannya. Sang sufi pun menerimanya. Namun karena warisannya tidak mencukupi, al-Ghazali dan adiknya pada 1072 M. diserahkan ke sebuah madrasah16 di Thus yang menyediakan beasiswa. Di sinilah awal perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang mempengaruhi perjalanan hidup selanjutnya.17 Pada masa mudanya, al-Ghazali belajar di Khurasan yang ketika itu merupakan pusat ilmu pengetahuan. Ia juga belajar kepada Imam Haramain al-Juwaini, salah seorang guru besar di al-Nidzamiyah. Di madrasah itu ia menekuni ilmu kalam, fiqh, filsafat, tasawuf, logika dan ilmu-ilmu lainnya.18 Berkat al-Juwaini, al-Ghazali kemudian diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidzamiyah pada 484 H dan mencapai kemasyhuran. Dari segi politik, pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir, dominasi dinasti Buwaihi Syi’ah atas kekhalifahan Sunni di Bagdad berakhir. Saat itu, orang-orang Saljuk Turki di bawah pimpinan Thugril Bek menyingkirkan rezim Buwaihi dengan Baghdad –yang masih merupakan pusat dunia Islam- kini berada di bawah kendali politik dan militernya. Cabang lain dinasti Saljuk juga berkuasa di Syiria sejak 1075 M. Karena letaknya yang strategis, wilayah ini selalu menjadi rebutan para penguasa. Ketika al-Ghazali datang ke tempat itu, pemerintahan dipegang Daqqaq Abu Nashr yang memerintah sejak 488 H. Ia berhasil mendirikan beberapa kerajaan Kristen di wilayah itu. Bangsa Saljuk juga merebut beberapa propinsi bagian timur ke dalam kekuasaan Sunni setelah lebih satu abad berada dalam dominasi Syi’ah. Satu-satunya tantangan serius bangsa Saljuk adalah dinasti Fatimiyyah di Mesir. Tetapi Alp Arslan terus mengkoordinasikan diri dan memperluas dominasinya. Dia merampas beberapa wilayah baru di Asia Kecil dari tangan Bizantium dan memaksa penguasa Aleppo melepaskan pengaruhnya. Namun baru pada masa Malik Syah (1072-1092 M), dinasti Saljuk mencapai puncaknya dengan kekuasaannya yang merentang dari Asia Tengah dan perbatasan India hingga Laut Tengah; dari Kaukasus dan Laut Aral sampai Laut Persia
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
87
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
dengan sedikit pengecualian atas Makkah dan Madinah. Setelah itu dinasti Saljuk mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilancarkan kaum Batiniyah. Al-Ghazali hidup dan berprestasi pada kedua fase tersebut, baik pada masa kejayaan maupun kemundurannya menyusul pembunuhan atas Malik Syah pada 1092 M. Pada masa al-Ghazali terjadi disintegrasi politik dan sosial keagamaan. Umat Islam terpecah ke dalam beberapa mazhab fiqh dan kalam, yang dengan sadar menanamkan fanatisme kelompok kepada pengikutnya.19 Penanaman fanatisme mazhab itu banyak melibatkan para ulama. Ini berkaitan dengan status ulama yang memiliki posisi tinggi dalam stratifikasi sosial, di bawah status para penguasa. Dengan peran ulama, penguasa dapat memperoleh legitimasi atas kekuasaannya di mata umat. Sebaliknya, dengan para penguasa, para ulama dapat memperoleh jabatan dan kemuliaan disamping kemewahan hidup.20 Di sisi lain, interdependensi ulama dan penguasa pada masa itu membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu. Peranan Nizham al-Mulk dalam hal ini sangat besar. Ia mengeluarkan anggaran yang besar dari perbendaharaan negara untuk kepentingan pengembangan ilmu. Meskipun, dalam beberapa hal, pengembangan ini banyak diarahkan untuk mengantisipasi pengaruh filsafat dan kalam Mu’tazilah.21 Disamping itu ada kelompok sufi yang hidup eksklusif di zâwiyah (asrama sufi) dengan kehidupannya yang khas. Mereka dipandang kelompok yang tidak menghiraukan dunia.22 Status ini, oleh sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan hidup dan status sosial dengan sarana kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.23 Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa alGhazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural terhadap Islam, seperti unsur-unsur non Islami yang masuk ke dalam pemikiran Islam. Diantara unsur kultural yang paling berpengaruh pada waktu itu adalah filsafat. Filsafat Yunani banyak diserap para teolog, filsafat India diadaptasi kaum sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep imâmah.24 Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan pahamnya, setiap aliran menggunakan filsafat –terutama logika- sebagai alatnya, sehingga semua intelektual harus mempelajari filsafat terlebih dahulu.25 Dalam situasi dan masa seperti itulah, al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir terkemuka dalam sejarah. Sebagaimana diakui dalam otobiografinya, banyak peristiwa dan pengalaman pribadi Al-Ghazali yang mengakibatkan krisis
kepribadiannya. Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim metodologis mutakallimun, filsuf, Batiniyah dan Sufi memberikan andil terhadap krisis pribadinya yang pertama. Krisis ini tampaknya bersifat metodologis karena pada dasarnya merupakan krisis dalam menemukan tempat yang tepat bagi daya-daya kognitif dalam skema total pengetahuan. Secara khusus, krisis ini berkaitan dengan krisis menetapkan hubungan yang tepat antara akal dan intuisi intelektual. Al-Ghazali telah dibingungkan oleh pertentangan antara kehandalan akal sebagaimana dalam kasus mutakallimûn dan para filsuf, di satu pihak, dengan kehandalan pengalaman spiritual sebagaimana kasus para sufi dan Batiniyah, di lain pihak. Al-Ghazali telah mencoba berbagai sumber pengetahuan yang dipergunakan para intelektual waktu itu. Hasilnya, semua itu diragukan kredibilitasnya sebagai sumber pengetahuan yang meyakinkan, termasuk teks-teks al-Quran dan hadis yang diambil pengertian lahirnya, karena masih adanya pertentangan pendapat dengan dalil yang sama.26 Namun, kedua sumber pengetahuan yang masih dipegangnya, yaitu inderawi dan pikiran dharûry (aksiomatis) setelah diuji lagi kredibilitasnya, keduanya pun meragukannya. Dengan tertolaknya kedua sumber pengetahuan tersebut, al-Ghazali merasa tak punya pegangan lagi. Jadilah ia seorang sopist. Krisis spiritual ini berlangsung selama dua bulan. Dalam pengakuannya ia baru terbebas dari krisis tersebut karena nûr yang diberikan Tuhan secara langsung untuk tetap meyakini kebenaran dharûry sebagai dasar pengetahuan yang meyakinkan.27 Dengan berpegang pada kredibilitas pikiran dharûry, al-Ghazali mulai meneliti secara partisipan terhadap empat golongan –mutakallimûn (teolog), filsuf, Batiniyah dan Sufi- dengan metodenya masing-masing untuk memperoleh pengetahuan hakikat segala sesuatu. Selama di Bagdad, al-Ghazali menuntaskan studi mendalamnya mengenai empat kelompok tersebut. Masa ini adalah periode produktif penulisannya. Pada bulan Rajab 488 H./Juli 1095 M, sekitar enam bulan setelah diselesaikannya Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali mengalami krisis pribadi kedua karena sufismenya. Krisis ini jauh lebih parah daripada yang pertama karena menuntut keputusan untuk melepaskan kehidupan menuju kehidupan lain yang secara esensial bertentangan dengan sebelumnya. Krisis ini mempengaruhi kesehatan emosional dan fisiknya. Kondisi fisiknya begitu lemah sampai para dokter putus asa untuk menyembuhkannya. Di saat kemampuannya untuk membuat pilihan hilang, dia menyerahkan segala persoalannya kepada Tuhan dan mohon petunjuk-Nya. Tuhan mengabulkan do’anya. Al-Ghazali sembuh dan merasa mendapat kemudahan untuk dapat meninggalkan jabatan
88
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
89
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin ketinggian status dan kemewahan hidup sebagai hasil karir intelektualnya. Dia merasa mudah untuk memulai kehidupan sebagai seorang sufi guna memenuhi tuntutan jiwanya agar dapat memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.28 Pada bulan Dzulqa’dah 1095 M. al-Ghazali meninggalkan Bagdad. Ia meninggalkan keluarga, jabatan serta kemewahan hidup untuk menjalani kehidupan sufi yang fakir dan zuhud. Setelah 11 tahun menempuh kehidupan asketik, ia telah merasakan apa yang ditawarkan sufisme berupa pengetahuan langsung yang diterima dari Allah.29 Di Bagdad, al-Ghazali tidak dapat sepenuhnya menjalankan kehidupan sufi karena masalah keluarga dan gangguan lain. Ketidakpuasan itu mendorongnya meninggalkan Bagdad untuk kembali ke kota asalnya, Thus, sekitar 1099 M. Periode 11 tahun spiritual alGhazali meyakinkan dirinya bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang secara unik menempuh jalan menuju Tuhan; cara hidup mereka adalah cara hidup yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang tercepat, dan etika mereka adalah yang termurni, bahkan metode mereka adalah yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan sampai ke tingkat matematis.30 Meskipun demikian, dia tetap selektif terhadap pelbagai aliran atau konsepsi sufisme. Al-Ghazali menolak paham hulûl dari al-Hallaj dan ittihâd dari al-Bisthami dengan dalil-dalil rasional.31 Setelah mencapai tingkat spiritualisme yang tinggi, pada 1106 M timbul kesadaran baru untuk keluar dari ‘uzlah dan zâwiyah, karena terjadinya dekadensi moral-religius pada kaum Muslimin, bahkan sampai ke kalangan ulama sehingga diperlukan penanganan serius untuk mengobatinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan Fakhr al-Muluk (putera Nidzam al-Mulk) untuk kembali mengajar di Nizhamiyah.32 Pada 1110 M al-Ghazali kembali ke Thus. Di sana dia mendirikan sebuah madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu keagamaan dan tempat khalwat para sufi di samping rumahnya. Dia tempat itu pula, dia menghabiskan sisa umurnya sebagai pengajar agama dan guru sufi dan banyak mencurahkan diri pada pendalaman ilmu hadis hingga wafat pada 18 Desember 1111 M pada usia 53 tahun.
Hermeneutikaal-Quran Sebagai seorang pemikir Islam, al-Ghazali menjadikan al-Quran sebagai dasar pemikiran dan sumber utama inspirasinya. Kepercayaan kepada kemampuannya untuk mencapai sasaran yang terjauh dan betapa pentingnya pengetahuan serta fungsinya; kesemuanya itu bersumber dari al-Quran. Pandangan al-Ghazali tentang al-Quran sepenuhnya menyatu dengan pribadinya; dengan perkembangan intelektual dan spiritualnya sejak muda sampai akhir hayatnya.
90
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin Dalam bidang studi al-Quran, al-Ghazali menulis beberapa karya, seperti Kitâb Âdâb al-Tilâwah al-Qur’ân yang dimuat dalam karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn,33 Jawâhir al-Qur’ân yang ditulis sekitar tahun 495 H, pada saat al-Ghazali telah mencapai kematangan intelektual dan spiritual.34 Dalam Jawâhir, al-Ghazali membagi inti al-Quran ke dalam ilmu dan amal. Amal mengandung dua sisi; sisi positif yang harus diterapkan dan sisi negatif yang harus ditinggalkan. Dari sini lahir empat puluh prinsip yang disebut dengan Kitâb al-Arbaîn fî Ushûl al-Dîn. Menurut beberapa penelitian, al-Ghazali pernah menulis tafsir al-Quran, Yâqût al-Ta’wîl fî Tafsîr al-Tanzîl yang mencapai 40 jilid. Sayangnya, kitab tafsir yang sangat penting ini tidak dapat kita warisi, sehingga karenanya beberapa orientalis meragukan keberadaannya. Metode sufistik ayat cahaya (Qs. al-Nûr [24]:35) ditulis dalam karya khusus yang ditujukan untuk para sufi, Misykât al-Anwâr. Konsepsi al-Ghazali tentang al-Quran dan tujuan-tujuannya berangkat dari dua pijakan dasar; sebagai teolog Asy’ari dan sebagai sufi gnostik. Pijakan yang pertama berangkat dari konsepsi Asy’ariyah atas teks al-Quran sebagai “sifat” dari sifat-sifat dzat Tuhan, sedangkan yang kedua tampak pada tujuan eksistensi manusia di bumi untuk merealisasikan kebahagiaan di akhirat. Kedua pijakan ini tidak saja merumuskan konsepsi al-Ghazali atas al-Quran, tetapi juga menggambarkan proyek pemikiran yang ditawarkannya seperti terlihat dalam berbagai karyanya untuk “menghidupkan” ilmu-ilmu keagamaan.35 Menurut al-Ghazali, al-Quran adalah sumber kebenaran yang berasal dari sumber segala kebenaran. Karena itu, al-Quran dilihat dari sisi mana pun mengandung nilai kebenaran substansial. Kisah-kisahnya memberikan inspirasi para cendekiawan, hukum-hukum di dalamnya memuat kebijakan tertinggi bagi nilai-nilai kehidupan. Ia laksana cahaya yang menyinari setiap orang dari kesesatan. Ia adalah obat bagi kepuasan dan kedamaian jiwa. Sebaliknya, siapa saja yang mengganti isinya atau mengabaikannya, bencana Allah di dunia dan akhirat akan ditimpakan kepadanya. Karenanya, siapa pun yang mencari pengetahuan di luar alQuran akan tersesat.36 Di sisi lain, al-Ghazali menekankan esensi al-Quran sebagai Kalam Allah dan ilmu-Nya. Sebagai Kalam Allah, al-Quran memuat seluruh makna kalam-Nya, dan Kalam Allah juga berarti ilmu-Nya, “Kalam Allah adalah tunggal; ketunggalannya meliputi seluruh makna kalam. Sebagaimana ilmu-Nya juga tunggal; ketunggalannya meliputi seluruh pengetahuan; tak terlepas dari pengetahuan-Nya sedikit pun apa yang ada di langit dan di bumi.”37
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
91
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
1. Klasifikasi Ilmu dan Ayat al-Quran Konsep ihyâ’ al-Ghazali atas ilmu-ilmu agama mengasumsikan adanya dikotomi pengetahuan menjadi dua; ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Pada sisi lain, hal itu menggambarkan bahwa kecenderungan, paling tidak pada masa al-Ghazali, lebih memihak kepada ilmu-ilmu dunia dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu agama. Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali berasal dari dualitas yang tajam mengenai hubungan duniaakhirat, bahkan ia menjadikan konsepsi ini sebagai batas minimal ilmu pengetahuan yang sepatutnya diketahui oleh “ulama akhirat”. Meski demikian, namun tidak ada salahnya menerima batas minimal kehidupan duniawi selama menjadi jalan menuju akhirat.38 Jika dikotomi dunia-akhirat ini berangkat dari pandangan sufistik, maka menurut al-Ghazali, konsep teks mengandung dikotomi lain yang berangkat dari konsep Asy’ari mengenai kalam Tuhan sebagai sifat dzâtiyyah, bukan sebagai perbuatan. Karena itu, pemisahan antara “sifat qadîmah” yang inheren dengan dzat Tuhan dengan tajalli di dunia dalam bentuk teks al-Quran yang dibaca, menjadi sesuatu yang niscaya. Teks yang dibaca dan ditulis dalam mushaf hanyalah “imitasi” bagi sifat kalam yang qadîm. Ini berarti bahwa bahasa dalam teks tersebut merupakan kulit yang di dalamnya tersimpan kandungan yang imanen dan qadîm. Jika pemikiran Asy’ari sebelum al-Ghazali mengenai konsep kalam Ilahi terbatas pada pembedaan antarsifat yang qadîm dan imitasi pada bacaannya, maka dimensi sufistik pada pemikiran al-Ghazali dapat membantunya dalam mengembangkan konsep tersebut melalui dikotomi zahir-batin. Melalui dikotomi ini dimungkinkan bagi al-Quran adanya zahir dan batin, bukan saja pada sisi makna dan tanda, seperti yang tersebar pada pemikiran sufi, tetapi juga pada sisi struktur dalam narasi dan susunan teks. Yang batin merupakan rahasia, mutiara-mutiara dan hakikat-hakikat yang dikandung teks, sementara yang zahir merupakan kulit dan bahasa yang menampilkan teks pada pemahaman kita. Berdasarkan pesan dan tujuan al-Quran, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu-ilmu al-Quran ke dalam dua kategori; ilmu kulit dan ilmu isi. Untuk lebih memperjelas tentang persoalan ini, perhatikan diagram berikut ini:
92
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
ILMU-ILMU AL-QURAN
ILMU KULIT (Secara Fenomenologis)
1. 2. 3. 4. 5.
Ilmu Makhârij alHurûf (fonologi) Ilmu Bahasa (filologi) Ilmu I`râb Ilmu Qira’at Ilmu Tafsir Zahir
ILMU ISI (Secara Substansial)
ILMU INTI 1. Ilmu Tauhid 2. Ilmu Eskatologi 3. Ilmu Tasawuf
ILMU PELENGKAP Ilmu sejarah Ilmu Kalam Ilmu Fiqh
Sumber: al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, hal. 12-22
Bahasa, menurut al-Ghazali, adalah medium yang dapat mengungkapkan kulit luar teks. Efektifitas bahasa mulai dari tingkat bunyi dan berakhir pada dataran semantik. Antara keduanya terdapat beberapa tingkatan lain. Kesemuanya membentuk ilmu-ilmu yang dikategorikan ilmu-ilmu kulit. Ilmu-ilmu ini diperoleh berdasarkan fenomena al-Quran berupa huruf-huruf dan bunyi yang terdiri dari lima ilmu. Pertama, ilmu makhârij al-hurûf (fonologi); ilmu yang berkaitan dengan cara membaca teks. Kedua, ilmu bahasa al-Quran (filologi); ilmu yang mengkaji katakata dari segala aspeknya. Ketiga, ilmu i‘râb al-Qur’ân. Dari sini muncul ilmu yang keempat, yaitu ilmu qirâ’at dan berakhir pada ilmu tafsir zahir.39 Sistematika ini selain merupakan sistematika menaik dari partikular ke universal dan dari bunyi ke makna, juga merupakan sistematika nilai dari yang terendah menuju ke yang tertinggi. Suatu ilmu semakin dekat ke kulit nilainya semakin kecil, sementara nilainya akan bertambah jika menjauhi kulit dan mendekati isi. Karena itu, ilmu-ilmu ini, meskipun semuanya termasuk dalam dataran kulit, nilainya bertingkat-tingkat. Pada bagian ini, ilmu tafsir zahir adalah yang paling dekat ke isi, sehingga menyebabkan banyak orang mengira ilmu ini merupakan puncak ilmu al-Quran dan merasa puas dengannya.40 Bila bahasa adalah baju (kulit) yang di baliknya terkandung makna batin, maka ilmu bahasa hanya sekedar sarana dan perangkat untuk menembus makna yang lebih dalam. Tujuan keberadaan manusia adalah
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
93
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
merangkul Yang Mutlak dan mengalami fanâ’ dengan-Nya. Fungsi teks berubah menjadi sarana mengungkapkan Yang Mutlak dan sifat-sifatNya. Atas dasar ini, maka makna atau pengertian bukanlah tujuan, tetapi Pengirim Yang Qadim itulah yang merupakan tujuan yang dicapai dengan menguraikan teks. Dengan demikian, kelima ilmu di atas berubah menjadi sarana bagi tujuan-tujuan yang lain. Ulama-ulama bahasa dan ahli qiraat hanya berfungsi sebagai pemelihara dan pentransfer hasil-hasil ilmu mereka pada yang lainnya. Hanya ahli tarekat yang berjalan menuju Allahlah yang mampu menembus penutup dan kulit mutiara dan mengeluarkan mutiara yang tersimpan di baliknya. Merekalah yang mampu mencapai hakekat dan menyelam ke dalam lautan teks untuk mengeluarkan hakekat tersebut. Adapun ilmu isi dibagi dua; ilmu inti (tingkat atas) dan ilmu pelengkap (tingkat bawah). Ilmu inti yang merupakan esensi al-Quran meliputi tiga bagian; ilmu ma’rifatullâh (tauhid), ilmu tharîq al-sulûk ila alLâh (tasawuf), dan ilmu ta‘rîf al-Hâl ‘ind al-Wushûl (eskatologi). Sedangkan ilmu pelengkap (tingkat bawah) berada pada lapisan bawah dari ilmu isi al-Quran. Tetapi, ilmu-ilmu ini dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu dunia berada pada tingkat paling atas. Yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah cerita-cerita dalam al-Quran (ilmu sejarah), ilmu kalam dan ilmu fiqh. Pandangannya bahwa al-Quran telah mengisyaratkan kepada berbagai ilmu pengetahuan telah memberi semangat baru bagi penafsiran ilmiah (al-tafsîr al-ilmy). Karena itu banyak pakar yang memandang al-Ghazali sebagai penggagas al-tafsîr al-’ilmy.41 Konsepsi ini tentu perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menjadikan al-Quran sebagai pijakan dan landasan baik pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu kemanusiaan, sosial maupun kealaman. Dari klasifikasi ilmu pengetahuan dalam al-Quran, al-Ghazali membagi ayat-ayat dan surat-surat al-Quran ke dalam enam kelompok,42 yaitu: (1) Ayat-ayat yang berkarakter tauhid, (2) Ayat-ayat yang berkarakter tasawuf, (3) Ayat-ayat yang berkarakter eskatologis, (4) Ayat-ayat yang berkarakter historis, (5) Ayat-ayat yang berkarakter kalam, dan (6) Ayatayat yang berkarakter fiqh. Keenam kelompok ayat tersebut jika dirinci menjadi sepuluh kelompok, yaitu: (1) Penjelasan dzat Allah, (2) Penjelasan sifat-sifat Allah, (3) Penjelasan perbuatan-perbuatan Allah, (4) Penjelasan hari akhir (eskatologis), (5) Penjelasan jalan lurus (al-shirâth al-mustaqîm) melalui penyucian jiwa, (6) Penjelasan jalan lurus melalui penghiasan diri dengan akhlak baik, (7) Penjelasan kisah kekasih Allah, (8) Penjelasan kisah musuh Allah, (9) Penjelasan argumentasi Allah terhadap orang kafir, dan (10) Penjelasan ketentuan-ketentuan hukum.43
Dengan demikian, klasifikasi ayat-ayat al-Quran menurut al-Ghazali didasarkan pada pembagian terhadap ilmu-ilmu yang di-istinbath-kan dari ayat-ayat tersebut. Klasifikasi ini nampaknya didasarkan pada urutan hirarkis, dimana ayat-ayat yang nilainya tertinggi adalah ayat-ayat yang menunjukkan tentang ma‘rifatullâh, ayat-ayat jawâhir, kemudian diikuti oleh ayat-ayat yang menunjukkan jalan lurus (tasawuf), ayat-ayat durar. Al-Ghazali mempunyai kepentingan yang kuat untuk menjelaskan ayatayat jawâhir dan durar. Hal ini mengingat ayat-ayat tersebut yang muncul dari signifikansinya lantaran dilâlah-nya yang mengacu pada prinsip-prinsip penting dalam sistem epistemologi al-Ghazali. Dalam mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran dan ilmu yang dihasilkan darinya, al-Ghazali menggunakan bahasa yang mempunyai sifat metaforis-personifikatif seperti ketika ia berbicara ilmu-ilmu kulit dan ilmu-ilmu isi. Terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menggunakan tamsil kibrit ahmar (belerang merah), yâqût, durar (mutiara), zabarjud (batu permata), anbar (minyak wangi), ‘ûd (kayu gaharu), tiryaq (obat penawar racun), dan misk. Semua tamsil dan konsepsi ini menunjuk secara langsung kepada hakikat-hakikat al-Quran, sementara isyaratnya pada kandungan duniawi-materinya merupakan isyarat representatif yang tidak langsung, yaitu isyarat-isyarat alegoris dan-metaforis. Al-Ghazali melihat bahwa ayat-ayat al-Quran lebih berhak dengan sebutan-sebutan tersebut daripada benda-benda aktual di alam. Dalam hal ini, norma yang menjadi sandarannya adalah bahwa ruh dan makna hakiki dari kata-kata tersebut teraplikasikan pada ayat-ayat al-Quran dan ilmu yang dihasilkannya. Di sini al-Ghazali berinteraksi dengan bahasa sebagai simbol, bukan sebagai sistem simbol. Maksudnya sebagai sekumpulan kata yang memiliki dua dimensi; dimesi yang hakiki, yaitu makna rûhî malakûti (signified, penanda) dan dimensi luar atau simbol (signifier, yang ditandai), yaitu makna bahasa yang berlaku.44 Dalam konsep ini, yang penting bukan watak teks, karena teks apa pun dapat dita’wil secara simbolik. Sebaliknya, katakata dapat dipergunakan bukan untuk menunjuk pada makna malakûtnya secara langsung. Inilah yang dilakukan al-Ghazali tatkala mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran ke dalam jawâhir, durar, zamrud, dan yang lainnya. Jika pengunggulan sebagian teks ayat atas yang lainnya merupakan hal yang tidak diterima secara umum, maka al-Ghazali memiliki konsep yang berbeda. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat dan surat-surat al-Quran bertingkat-tingkat berdasarkan isinya (kandungannya). Jika para ulama Islam, meskipun berbeda aliran, tidak mampu menggoyahkan dualitas kata dan makna dalam perdebatan mereka mengenai kemu’jizatan al-
94
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
95
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin Quran, maka dualitas kulit-inti (kata-makna) dalam konsep al-Ghazali tidak menghalanginya untuk menjalankan efektifitasnya. Mungkin Anda mengatakan, dalam beberapa catatan ini Anda (alGhazali) mengkonsentrasikan sasaran pada upaya mengunggulkan sebagian al-Quran atas sebagian lainnya, padahal semuanya adalah firman Allah. Bagaimana mungkin sebagiannya berbeda dengan yang lainnya, dan bagaimana mungkin sebagiannya lebih utama dari yang lainnya? Ketahuilah bahwa cahaya hati nurani bila tidak dapat memberi petunjuk kepada Anda dalam membedakan antara ayat kursi dengan ayat mudâyanah (Qs. Al-Baqarah [[2]:282), antara surat al-Ikhlas dengan surat al-Lahab, dan jiwamu yang menyimpang dan hanya taklid semata, maka taklidlah pada sang pembawa risalah, Muhammad saw. Sebab kepadanyalah al-Quran diturunkan. Banyak hadis yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dan pahala yang berlipat ganda dalam membaca surat. Nabi saw bersabda, “Fâtihah al-Kitab merupakan ayat yang paling utama”, “Ayat kursi adalah penghulu al-Quran”, “Yâsîn merupakan jantung al-Quran dan Qul Huwa Allâh Ahad sebanding dengan sepertiga al-Quran”. Hadis-hadis yang berkenaan dengan keutamaan ayat-ayat al-Quran yang secara khusus mengunggulkan beberapa ayat dan surat serta banyaknya pahala bila dibaca tidak terhitung jumlahnya.45 Bagi al-Ghazali dualitas kulit-inti tidak saja diterapkan pada teks dari segi klasifikasi makna-kata, tetapi juga pada klasifikasi internal teks, sebab alasannya bukan panjang pendeknya ayat atau surat, tetapi kandungan yang diekspresikannya. Ayat atau surat yang pendek bisa jadi lebih bernilai dari segi kandungannya daripada ayat atau surat yang panjang. Kandungan yang menjadi tolok ukur itu tidak lain adalah ilmuilmu yang sudah dipaparkan di atas. Atas dasar ini, maka surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Quran secara hakiki bukan metaforis, karena memuat prinsip-prinsip pokok al-Quran, yaitu pengetahuan mengenai Allah, akhirat dan jalan lurus.46 Pandangan al-Ghazali yang bersikukuh mengunggulkan sebagian ayat dan surat atas yang lainnya, berkaitan dengan konsep al-Ghazali tentang wujud (being), kehidupan, tujuan agama, teks dan fungsinya. Konsepsi al-Ghazali tentang teks menjadikan teks berubah menjadi kode khusus yang hanya kaum ârif dan ahli tahqiq yang dapat mengurai simbolsimbolnya (kode). Konsekuensinya, manusia awam hanya puas dengan membaca dan memahami tingkatan lahiriah makna teks. Dan tugas ârif adalah membekali orang awam dengan beberapa mutiara teks yang sedikit. Oleh karena itu, setelah al-Ghazali menjelaskan beberapa ayat dan surat yang memiliki kedudukan khusus dalam teks, berusaha memaparkan ayat-ayat permata (jawâhir) yang menunjuk ma’rifat kepada
96
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin Allah dalam satu untaian, kemudian terkumpul dalam satu untaian lain ayat-ayat mutiara (durar) yang menunjuk kepada jalan lurus. Sisi kelemahan konsepsi ini terletak pada agenda pembalikan segala sesuatu, dimulai dari wujud (being) dan berakhir pada teks. Agenda tersebut mengubah teks menjadi sejumlah misteri yang amat sukar, yang signifikansi dan nilainya bertingkatan. Kemasyhuran dan sambutan penuh generasi setelahnya atas pemikiran al-Ghazali yang mendominasi wacana agama, merupakan persoalan yang perlu dianalisa. Hemat penulis, kemasyhuran ini dapat ditafsirkan melalui dualitas sistem pemikiran yang dilontarkan al-Ghazali, dimana ia menyuguhkan kepada masyarakat awam sarana keselamatan melalui perjalanan menuju akhirat, dan kepada kelompok dominan (para penguasa dan raja) menyuguhkan ideologi Asy’ariyah dengan segala pembenaran dan eklektisisme. Penggunaan kata-kata jawâhir, durar, yâqût untuk menunjukkan bagian-bagian al-Quran, dari sisi ini, dapat dianggap sebagai sarana substitusi (pengganti) bagi ahli ma’rifat di satu pihak, dan bagi kaum awam di lain pihak. Ini merupakan pengantar untuk berinteraksi dengan teks tertulis (mushaf) sebagai “sesuatu” yang berharga dalam dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk melakukan pembacaan. 2.Sumber-sumberPenafsiran Dalam memformulasikan sumber-sumber penafsiran al-Quran, alGhazali tidak menyebut urutannya secara eksplisit. Namun dari beberapa pernyataannya, secara implisit ia menyebutkan empat sumber; yakni ma’tsur, akal, kasyf dan isrâiliyyat. Yang termasuk ke dalam sumber ma’tsûr adalah al-Quran, Hadis, dan perkataan sahabat.47 Bagi al-Ghazali, al-Quran adalah sumber penafsiran yang sangat penting. Dia memandang al-Quran dengan ke-mutawâtirannya diterima secara dharûri yang menjamin kebenarannya sebagai sumber penafsiran. Tetapi dari segi dilâlah (informasi yang dibawakan) belum tentu bisa diterima secara dharûri sehingga juga memberi pengetahuan yang pasti (qath‘i). Bila informasinya tidak mengisyaratkan adanya pengertian alternatif, misalnya lafadznya khusus (khâs), maka dilâlah-nya bisa diterima secara pasti. Tetapi bila mempunyai banyak alternatif, misalnya pernyataannya bersifat umum (‘âm), maka harus diterima dulu kebenaran sementara (zhanni). Bila argumen tersebut dibahas secara rasional baru dapat diterima secara qath‘i. Begitu pula hadis,48 perkataan sahabat dan tabi’in49 bersama-sama dengan al-Quran dipegangi sebagai sumber penafsiran Adapun kredibilitas akal sebagai sumber penafsiran, dibedakan antara akal (1) sebagai potensi berpikir dan pemikiran dharûri yang dekat dengan gharîzah, dan (2) akal dalam pengertian pengetahuan yang dibina oleh
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
97
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin potensi berpikir tersebut, yang disebut dengan ilmu muktasabah. Akal dalam pengertian pertama sama sekali tidak diragukan kredibilitasnya. Sedangkan pada pengertian yang kedua diragukan sehingga perlu diseleksi kebenarannya dengan menggunakan tolok ukur pemikiran dharûri. Suatu sumber yang cukup unik dalam penafsiran al-Ghazali adalah kasyf, yaitu mengetahui secara nyata apa yang ada di balik tabir yang berupa konsep-konsep immaterial dan hakikat segala sesuatu. Sumber ini diterima secara dharûri karena pengalaman orang yang memperoleh mimpi yang benar dan pengalaman batin seseorang yang mendapat tambahan ilmu tidak melalui proses belajar dan menalar merupakan contoh manusia yang memperoleh pengetahuan dengan kekuatan alnubuwwah. Begitu pula, pengalaman batin seorang sufi yang dapat memperoleh kasyf, sehingga dapat menyaksikan hakikat segala sesuatu di lawh mahfûz, juga semacam al-nubuwwah. Semua itu diperoleh dengan penyaksian (musyâhadah) di dalam batin, sedangkan musyâhadah seperti itu termasuk pengetahuan “sensual” internal yang dapat menghasilkan pengetahuan dharûri bagi yang mengalaminya.50 Al-Ghazali juga sering mengutip riwayat-riwayat isrâiliyyat, yaitu sumber-sumber Yahudi dan kristen. Ia mengutip tradisi-tradisi tokoh Ibrahim, Musa, Dawud, Sulaiman, dan tokoh-tokoh lain dalam Perjanjian Lama. Dia sering menunjuk kepada sejarah atau hikayat tentang Dawud yang menyerupai karya sendiri yang sering dirujuknya. 3.MetodologiPenafsiran Bagi al-Ghazali, al-Quran adalah sumber kebenaran dalam berbagai hal. Maka al-Quran harus dipandang dari berbagai sisi, karena ia mempunyai banyak dimensi dan dapat dipahami melalui berbagai bidang.51 Karena itu, ia tidak puas dengan metode penafsiran yang ada. Sebagian orang mengabaikan sisi lahir ayat dan sumber-sumber yang diperoleh secara naql, sehingga penafsiran mereka tidak terkendalikan. Di lain pihak, ada yang berpegang kuat pada sisi lahir dan sumber-sumber naql sehingga al-Quran nampak sebagai dogma-dogma hukum dan agama yang statis.52 Konflik antara keduanya mencuat, bahkan sampai pada taraf saling mengkafirkan. Kondisi inilah yang memunculkan kritik al-Ghazali atas metode tafsir yang berkembang pada masanya. Para mufassir tradisional dalam mempertahankan tafsir bi al-ma’tsûr selalu merujuk kepada hadis, Man fassara al-Qur’ân bira’yihi falyatabawwa’ maq‘adahu min al-nâr, “Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra’yu-nya, maka hendaklah dia menempati tempat di neraka”.53 Hadis ini kerap kali dipahami bahwa al-Quran hanya boleh dipahami dengan periwayatan (ma’tsûr). Menurut al-Ghazali, pandangan tersebut
98
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin sangat fatal karena dalam realitas sejarah penerapan prinsip tersebut sangat sulit dipertahankan. Hadis tersebut bukan berarti melarang seseorang untuk menafsirkan al-Quran dengan akal pikiran (ijtihad). Yang dimaksud adalah menafsirkan al-Quran dengan semata-mata mengikuti hawa nafsu (al-ra’y al-fâsid al-muwâfiq li al-hawâ). Dengan demikian, menafsirkan al-Quran dengan ra’yu yang sahih dan tidak semata-mata mengikuti hawa nafsu adalah sah-sah saja.54 Sebab dengan akal itulah –meski bukan satu-satunya- wahyu al-Quran dapat dipahami. Sanggahan al-Ghazali itu didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, bila tafsir harus diperoleh melalui periwayatan dari Nabi saw saja, maka akan didapati sebagian kecil saja dari ayat al-Quran. Para pendukung pendapat ini seharusnya menolak penafsiran Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan yang lainnya, karena sebagian ucapan itu termasuk penafsiran yang dengan ra’yu yang tidak pernah didengar dari Nabi. Kedua, para sahabat seringkali berbeda pendapat dalam menafsirkan sebagian ayat satu dengan yang lainnya, sehingga tidak logis jika semua penafsiran itu berasal dari Nabi. Ketiga, Nabi saw pernah berdoa untuk Ibn Abbas agar ia diberi pemahaman dan pengetahuan tentang agama dan ta’wil.55 Jika ta’wîl dimaksudkan berasal dari Nabi sebagaimana tanzîl, maka apa makna keistimewaan itu? Keempat, di dalam al-Quran sendiri pemikiran (istinbâth) dipuji Allah (Qs. al-Nisâ’ [4]:83). Maka setiap orang boleh mengambil ketetapan hukum (ijtihad) sesuai dengan kemampuan intelektualitasnya.56 Menurut al-Ghazali tafsîr bi al-ma’tsûr bukan satu-satunya penafsiran yang sah, tetapi merupakan salahsatu metode yang penting dalam memahami al-Quran, karena tafsir ini dapat dijadikan penjaga kekeliruan sebagaimana halnya kedudukan bahasa yang menjadi alat pemahaman. Setelah melihat tafsir sisi lahir, maka terbuka wilayah untuk pemahaman dan istinbâth. Di sini tampak sekali perhatian tafsir batin (esoterik), dimana menurutnya, hakikat-hakikat makna al-Quran hanya akan dicapai oleh mereka yang menempuh perjalanan menuju ma‘rifatullâh sehingga akan tersingkap rahasia-rahasia makna al-Quran melalui penyingkapan tabir (kasyf). Makna batin, menurut al-Ghazali, adalah pemikiran yang mendalam yang dicapai seseorang melalui perenungan, kontemplasi dan kajian mendalam yang tidak bertentangan dengan makna lahir, tetapi merupakan bagian dari tamtsîl dan isyârat. Karena itu, ada ulama yang keberatan dengan metode esoterik al-Ghazali. Ibn Taimiyyah, misalnya, menganggap metode intuitif yang dikembangkan al-Ghazali tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan hadis-hadis Nabi, bukan karena kelemahannya di bidang ini, tetapi karena terpengaruh oleh pemikiran filsafat dan teologi.57 Ibn al-Jawzi termasuk ulama yang sangat keras menentang penafsiran-penafsiran sufistik al-Ghazali meskipun tidak bertentangan dengan aspek lahir.58
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
99
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin Di lain pihak, para filsuf dan mutakallim cenderung menggunakan ra’yu dengan sangat bebas. Akibatnya, mereka seringkali mengabaikan sumber-sumber naqli. Sikap tersebut, menurut al-Ghazali, telah membuka peluang bagi pemahaman yang bebas terhadap al-Quran, disamping subyektifitas pribadi.59 Menurutnya pengertian ra’y pada hadis tersebut bukan dalam arti akal pikiran atau ijtihad, melainkan hawa nafsu yang menjadikan mufassir memaksakan pra konsepsinya untuk menafsirkan ayat sesuai dengan kepentingannya (vested interest) tanpa didasarkan metodologi yang jelas dan dapat diverifikasi kebenarannya secara metodologis. Menurutnya, tidak semua penafsiran bi al-ra’y dilarang. Yang tidak diperkenankan adalah al-ra’y al-fâsid (pikiran yang rusak), yakni menafsirkan al-Quran berdasarkan hawa nafsu semata.60 Karena itu, meski al-Ghazali memberi peluang bagi setiap orang untuk menafsirkan al-Quran sesuai kemampuannya, namun ia juga mensyaratkan beberapa hal bagi mufassir. Dengan demikian, al-Ghazali tampaknya berusaha untuk menggabungkan kedua metode tersebut dalam memahami al-Quran. Baginya, penafsiran al-Quran tidak cukup mengandalkan akal saja dan mengabaikan periwayatan atau sebaliknya. Masing-masing metode tersebut perlu mendapat tempat sesuai dengan porsinya masing-masing. Dalam konteks inilah, al-Ghazali mengkritik dua kelompok yang dianggapnya ekstrem; Hasyawiyah yang berpegang ketat kepada teks dan tidak mau mempergunakan akal dan Mu’tazilah ekstrem serta para filsuf yang sangat ketat berpegang pada akal dan kurang menghargai periwayatan. Sementara itu, ada juga kelompok yang berpandangan bahwa al-Quran hanya bisa dipahami dari sisi zahirnya. Metode eksoterik ini banyak dianut para fuqaha. Pandangan tersebut, menurut al-Ghazali, terlalu picik dan sempit, padahal kemampuan orang dalam memahami al-Quran bertingkat-tingkat.61 Bagi al-Ghazali, al-Quran mengandung makna yang sangat luas bagi mereka yang memiliki kecerdasan khusus (arbâb al-fahm).62 Asumsi ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Ibn Hibban: Inna li al-Qur’ân dzâhiran wa bâthinan wa haddan wa mathla‘an, “Sesungguhnya al-Quran itu mempunyai sisi zahir, batin, hadd dan mathla‘“.63 Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap ayat ada zahir dan batinnya, setiap huruf ada hadd-nya dan setiap hadd ada mathla-nya”. Menurut al-Ghazali, makna zahir berkaitan dengan ‘ilm al-mu‘âmalah (syari’at) dan makna batin berhubungan dengan ‘ilm al-mukâsyafah (hakikat).64 Di pihak lain, ada kelompok yang banyak menggunakan metode esoterik dalam menafsirkan al-Quran, seperti kaum Ta’limiyah (Batiniyah). Al-Ghazali melukiskan mereka sebagai orang-orang yang
100
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin “mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik al-ta`lîmi dan penerima hak istimewa pengetahuan yang diperoleh dari imam yang ma’shûm”.65 Ia juga mengkritik para sufi dan Ikhwan al-Shafa yang cenderung menafsirkan al-Quran dengan metode esoterik saja dan mengabaikan makna lahiriahnya. Lewat penafsiran tersebut, kerapkali mereka membuat kekacauan, kegelisahan dan kerusakan iman serta intelektual umat Islam. Dampak inilah yang dikecam al-Ghazali.66 Untuk itu, ia mengemukakan syarat lain bagi seorang mufassir, yaitu penafsirannya harus sesuai dengan makna lahiriah, tidak boleh menyimpang darinya karena penafsiran isyâri-shûfi hanya sebagai pelengkap dan kesempurnaan pemahaman atas al-Quran, bukan makna satu-satunya dan bukan makna independen.67 Hermeneutika dan metodologi al-Ghazali dalam menafsirkan alQuran didasarkan pada pemahamannya atas tujuan dan maksud al-Quran dan perjalanannya yang panjang dalam mencari kebenaran hakiki. Metode penafsirannya merupakan salah satu upaya al-Ghazali dalam memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengah-tengah masyarakat dalam rangka menempatkan al-Quran sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran tertinggi. Oleh karena itu upayanya melibatkan berbagai disiplin yang dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi. Al-Ghazali berupaya meramu berbagai metode yang berkembang ke dalam corak penafsirannya. Meski ia memberi tempat dan menekankan metode penafsiran rasional (bi al-ra’y), ia juga menekankan dan memperhatikan penafsiran secara riwayat (bi al-ma’tsûr). Demikian halnya, meski ia sangat mengedepankan penafsiran sisi batin (esoterik), dia tidak mengabaikan makna lahirnya (eksoterik). Integralisasi berbagai metode penafsiran tersebut disamping penekanan syarat dan prinsipnya adalah upayanya untuk membuka dinamisasi metode penafsiran yang prospektif, disamping mempertahankan otentisitas nilai al-Quran. 4. Urgensi Tafsir Al-Ghazali dalam Diskursus Tafsir al-Quran Urgensi tafsir al-Ghazali dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap ulama setelahnya. Imam al-Nawawi adalah ulama yang banyak mengutip perkataan al-Ghazali dalam Ihyâ’, bahkan kerapkali dia mengutipnya secara langsung. Dalam al-Tibyân, dia mengutip dari al-Ghazali sembilan masalah dan kajiannya tentang tafsir merupakan ringkasan dari alGhazali.68 Al-Qurthubi juga banyak mengutip dari al-Ghazali –tanpa menyebutkan namanya- dalam penafsiran rasional.69 Mafâtih al-Ghaib – yang dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr- juga banyak menanggapi dan mengaplikasikan asas penafsiran yang diaktualkan al-Ghazali.70 Meski karya besar yang ditulis al-Fakhr al-Razi (w. 606 H./1209 M.) ini tidak sepenuhnya sependapat dengan al-Ghazali, namun karya ini dipenuhi
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
101
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
pembahasan rasional menyangkut filsafat, teologi, ilmu fisika, astronomi dan sebagainya sehingga sebagian ulama menilainya sebagai karya yang memuat berbagai hal kecuali tafsir.71 Jalaluddin al-Suyuthi (849-911 H), dalam al-Itqân dan mukaddimah al-Iklîl fî Istinbâth al-Tanzîl juga menanggapi secara positif, bahkan memperkuat gagasan al-Ghazali dalam upaya penggalian ilmu-ilmu dari kandungan al-Quran seperti Qs. Al-An‘âm [6]:38, al-Nahl [16]:86, dan hadis serta atsar sahabat.72 Dalam al-Itqân ia mengutip dua teks yang dinisbatkan kepada al-Nawawi, padahal al-Nawawi mengutipnya dari al-Ghazali.73 Al-Suyuthi juga mendukung al-Ghazali tentang tafsir esoterik. Menurutnya, makna batin suatu ayat diperoleh melalui ilham yang diberikan Allah kepada para sufi. Mereka sebenarnya tidak menyatakan bahwa makna esoterik itu satu-satunya makna yang paling benar.74 Diantara mufassir modern yang terpengaruh oleh al-Ghazali adalah Muhammad Abduh (1839-1905 M.).75 Abduh sependapat dengan alGhazali bahwa al-Quran adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan tafsir naqli saja tidak cukup untuk memahami Kitabullah. Karenanya, setiap orang boleh memahami al-Quran sesuai dengan intelektualitasnya. Pendapat ini sejalan dengan usaha Abduh untuk membebaskan umat dari taklid. Tetapi dia melarang tafsir bi al-ra’y yang didasarkan pada kepentingan dan tujuan pribadi. Sebagaimana al-Ghazali, Abduh menolak tafsir yang hanya berlandaskan makna lahiriah bahasa tanpa memperhatikan periwayatan (manqûl). Dengan demikian, akal dan naql harus disertakan secara bersama-sama dalam memahami al-Quran dengan tidak mengenyampingkan petunjuk kebahasaan.76 Pengaruh al-Ghazali terlihat dalam masalah-masalah akidah, kalam dan filsafat seperti pada tafsir Qs. al-Lail [92]:17.77 Ketika menafsirkan Qs. al-Baqarah [2]:121, Abduh mengutip pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’ tentang hal-hal yang menghalangi pemahaman al-Quran ketika membacanya.78 Demikian juga usaha al-Ghazali untuk menjaga al-Quran dari serangan berbagai kelompok, seperti kaum Batiniyah, dalam rangka menjaga otentisitas bahasa dan penafsirannya sebagaimana dipahami pada masa turunnya, menelusuri periwayatan untuk mengetahui maknanya. Dengan demikian, al-Ghazali telah bersaham dalam perumusan metode pemahaman al-Quran melalui pemahaman kosa kata al-Quran yang kemudian menjadi ciri analisis semiotik pada masa modern. Hemat penulis, metode penafsiran al-Quran yang dikembangkan alGhazali erat kaitannya dengan program “pengayaan” (enrichment) khazanah metode tafsir al-Quran. Hasil penyilangan berbagai metode mau tidak mau membawa implikasi pemekaran, pengembangan, dan pengayaan khazanah penafsiran al-Quran. Bercermin pada sejarah masa
lampau, sebenarnya al-Ghazali telah memiliki program pengayaan metode dengan keberaniannya mengakomodasi metode esoterik (tasawuf) ke dalam wilayah syari’ah. Aturan-aturan syari’ah kemudian dapat dipahami oleh para pendukung spiritualitas, meskipun untuk ke sana, al-Ghazali terlalu berani menggunakan hadis-hadis dha`îf. Sejatinya, tanpa menggunakan hadis-hadis lemah, kekuatan akal pikiran manusia dapat merekonstruksi makna kedalaman spiritual keagamaan manusia. Tetapi, di sanalah terletak dilema al-Ghazali. Karena dia sudah terlebih dahulu mengambil sikap anti intelektualitas Mu’tazilah dan juga karena khawatir kalau terpeleset ke pangkuan filsafat spekulatif yang pernah dikritiknya, maka dia lebih senang memilih hadis-hadis lemah untuk dijadikan sandaran berpikirnya. Inilah sebabnya mengapa al-Ghazali tidak dikenal sebagai pencetus ijtihad, meskipun dalam merumuskan pemikirannya dia banyak menggunakan ijtihad.
102
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Kesimpulan Penelaahan secara serius terhadap pemikiran al-Ghazali akan mengarahkan kepada suatu kesimpulan bahwa gagasan untuk “menghidupkan” (ihyâ’) ilmu-ilmu keagamaan menampakkan pembaruan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek. Untuk menangkap aspekaspek itu, pertama kali dapat ditelusuri dari posisi al-Quran dalam pemikiran al-Ghazali. Dalam membangun dan mengembangkan pembaruannya, Kitab Suci tersebut dijadikan sebagai rujukan utama. Dalam hal ini, al-Ghazali bersaham dalam memberikan kontribusi dalam diskursus studi al-Quran. Hermeneutika al-Quran yang dibangun al-Ghazali merupakan salah satu upayanya dalam memproyeksikan peran dan nilai al-Quran di tengahtengah masyarakat dalam rangka menempatkan al-Quran sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran tertinggi. Oleh karena itu upayanya melibatkan berbagai disiplin yang dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi. Karena al-Quran memiliki dimensi penafsiran yang sangat luas, alGhazali berupaya meramu berbagai metode yang berkembang ke dalam metodologi penafsirannya. Penafsiran itu dapat dilakukan dari dimensi eksoterik (makna lahir) melalui pendekatan bi al-riwâyah (ma’tsûr) dan bi al-ra’y (ijtihad rasional) maupun dari dimensi esoterik (makna batin) melalui pendekatan irfâni, yaitu dengan menggunakan pendekatan psikognosis melalui intuisi (kasyf). Dengan demikian, ia menggabungkan keserasian makna lahir (eksoterik) dan makna batin (esoterik) serta penafsiran rasional (bi alra’y) yang memperhatikan periwayatan (bi al-ma’tsûr). Ia juga berusaha
103
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin memahami al-Quran dari berbagai dimensinya sesuai dengan karakteristik ayat dan surat. Karena tidak menggunakan satu metode dalam menafsirkan al-Quran, tampak bahwa al-Ghazali adalah mufassir yang sintesis-kreatif. Sintesis, karena al-Ghazali menggunakan dan meramu pelbagai metode penafsiran al-Quran yang muncul pada masanya. Kreatifitas al-Ghazali tampak dalam kemampuannya menggunakan dan meletakkan metode-metode tersebut pada proporsinya. Namun, karena pengetahuan dan pengalaman al-Ghazali yang luas dalam bidang tasawuf yang menjadi piilihan terakhirnya, maka corak sufistik (esoterik) sangat menonjol dalam penafsirannya.[]
Catatan Akhir: *Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 1 G.C. Anawati, “Peninggalan Islam: Filsafat, Teologi dan Tasawuf” dalam H.L. Beck dan N.J.S. Kaptein (ed.), Pandangan Barat terhadap Literatur: Hukum Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1989), h. 45 2 Muhammad Nur Ikhwan, Hermeneutika Al-Quran: Analisis Peta Perkembangan Tafsir Al-Quran Kontemporer, (Yogyakarta, IAIN, 1995), h. 2 3 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, (New York: Columbia University Press, 1958), h. 73 4 Ignaz Goldziher mengasumsikan lima richtungen (kecenderungan/ aliran) dalam penafsiran al-Quran di kalangan umat Islam; (1) Penafsiran tradisi (bi al-ma’tsûr), (2) Penafsiran dogmatis (al-aqîdat), (3) Penafsiran mistis (tashawwuf), (4) Penafsiran sektarian (al-firaq al-dîniyyah), dan (5) Penafsiran modenis (al-tamaddun al-islâmy). Lihat Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmiy, (Lebanon: Dâr Iqra’, 1985) 5 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979, ndedition), h. 245. Philip K. Hitti menggolongkan al-Ghazali sebagai salah seorang yang paling menentukan jalannya sejarah Islam dan bangsabangsa Muslim. Bahkan dalam bidang pemikiran dan peletakan dasardasar ajaran Islam, al-Ghazali ditempatkan pada urutan kedua setelah Rasulullah saw (Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1991), h. 282. 6 Untuk mengetahui karya-karya yang ditulis al-Ghazali, lihat ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mu’allafât al-Ghazâli, (Mesir: al-Majlis al-A`lâ li Ri`âyat al-Funûn wa al-Adâb wa al-`Ulûm al-Ijtimâ`iyyah, 1961) 7 Cryl Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 106
104
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin Harun Nasution menganggapnya sebagai tokoh yang mengembalikan beberapa doktrin tertentu kepada ajaran sang pendiri Asy’ariyah, alBaqilani dan al-Juwaini yang lebih dekat kepada Mu’tazilah. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: (Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972), h. 69). Ibn Khaldun (w. 808 H./1406 M.) menganggap al-Ghazali sebagai teolog pertama yang menggunakan apa yang disebutnya al-tharîqah al-muta’akhkhirîn (metode para teolog mutaakhir) sebagai reaksi atas tharîqah al-mutaqaddimîn (metode para teolog klasik) dalam Asy’ariyah (Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., h. 446). Syed Ameer Ali, seorang modernis India, menilai al-Ghazali telah memberikan idealisme kepada Asy’ariyah yang sebelumnya hanya merupakan semacam teolog formalitas. Lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarahi Adabiyyat-i Delli, 1978), h. 469 9 Ibrahim Madkur memuji al-Ghazali sebagai pahlawan yang berjasa besar bagi pembentukan dan pengembangan tasawuf sunni. Lihat Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhajuhu wa Tathbîquhu, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1976), h. 66). Fazlur Rahman menggambarkan bahwa al-Ghazali tidak hanya membangun Islam ortodoks yang membuat tasawuf sebagai bagian integralnya, tetapi juga adalah seorang pembaru besar tasawuf, yang memurnikan tasawuf dari unsur-unsur non Islami dan menempatkannya untuk melayani agama (Islam) ortodoks. Dengan demikian, ia melambangkan suatu langkah final dalam sejarah perkembangan yang panjang. Melalui pengaruhnya, tasawuf menerima pengakuan konsensus umat Islam (Lihat Fazlur Rahman, Islam, h. 140). Harun Nasution mengakui bahwa al-Ghazalilah yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum syari’ah, setelah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam karena membawa konsep ittihâd al-Bisthami dan hulûl al-Hallaj (Lihat Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1978), h. 78). 10 Abdul Qadir bin Syaikh bin Abdullah al-Idrus, “Kitâb Ta`rîf al-Ahyâ Bifadhâil al-Ihyâ’” dalam Ihyâ `Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 11. Bdk. Abdurahman Badawi, Muallafât…, h. 199. Menurut Syed Nawab Ali, karya tersebut tidak dapat diselamatkan dari tragedi pembakaran perpustakaan Baghdad oleh tentara Mongol-Tartar pada abad ke-6 H./ 13 M. (Lihat Syed Nawab Ali, Some Morals and Religious Teachings of alGhazali, (Lahore: SH. M. Ashraf, 1946), h. 26) 11 Dalam Qânûn al-Ta’wîl, al-Ghazali lebih banyak berbicara tentang kedudukan akal dan naql sebagai sumber pengetahuan. Nampaknya ia lebih cenderung menggunakan keduanya sebagai sumber pengetahuan secara fungsional daripada struktural. Lihat al-Ghazali, Qânûl al-Ta’wîl dalam Majmû‘ât Rasâil, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), h. 583 8
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
105
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1976), h. 476 13 Ignaz Goldziher, Madzâhib…, h. 218-222 14 Menurut sumber yang otentik, sebutan al-Ghazali dinisbatkan kepada kota kelahirannya tersebut . Lihat Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, (New York: Macmillan Publishing Co., 1967), h. 326 15 Abdul Halim Mahmud, Qadiyyat al-Tashawwuf, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.t.), h. 269. 16 Mungkin madrasah yang dimaksud adalah madrasah Nizhamiyyah, karena madrasah tersebut banyak tersebar di berbagai kota (Lihat Kamaluddin Hilmi, al-Salâjiqah fî al-Târîkh wa al-Hadhârah, (Kuwait: Dâr al-Buhûts al-Ilmiyyah, t.t.), h. 375) 17 al-Subki, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, juz 6, (Mesir: Isâ al-Bâb al-Halabi, t.t.), h. 191 18 al-Ghazali, Ihyâ’…, juz 1, h. 7. Bdk. Harun Nasution, Falsafah…, h. 42 19 Mustahafa Jawwad, “`Ashr al-Ghazâli” dalam Mahrajân al-Ghazali bi Dimasq, Abû Hâmid al-Ghazâli fî Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tâsi`ah li Mîlâdihi, (Kairo: al-Majlis al-A`lâ li Ri`âyah al-Funûn wa al-Adâb wa l`Ulûm al-Ijtimâ`iyyah, 1962), h. 495 20 Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fi Nadzr al-Ghazâli, (Mesir: Dâr alMa‘ârif, 1971), h. 15 21 Ibid, h. 15-17 22 Khalid Muadz, “Dimasyq Ayyâm al-Ghazâli” dalam Abû Hâmid…, h. 473-474, 488 23 Zaki Mubarak, al-Akhlâq ‘Ind al-Ghazâli, (Kairo: Dâr al-Kâtib al‘Arabi, 1924), h. 19 24 Abd al-Karim Utsman, Sîrah al-Ghazâli, (Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t), h. 29 25 Ibrahim Madkur, “al-Ghazâli al-Faylasûf” dalam Abû Hâmid…, h. 213 26 Sulaiman Dunya, al-Haqîqah…, h. 25 27 Ibid, h. 333-334 28 Ibid, h. 371-376 29 Ibid, h. 371 30 Ibid, h. 377-378 31 al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), h. 147-148 32 al-Ghazali, al-Maqshad…, h. 386-392 33 Inti pembahasannya dalam rangka menjaga dan mengaktualkan Islam dalam situasi dan kondisi apa pun sepanjang zaman. Karena itu, al-Ghazali
membagi pembahasannya ke dalam empat bab; (1) keutamaan al-Quran dan ahlinya, (2) Etika lahir dalam pembacaan al-Quran, (3) Etika batin dalam pembacaan al-Quran, dan (4) Pemahaman dan penafsiran alQuran. 34 Latar belakang penulisannya dalam dilihat dari dua segi; eksternal dan internal. Segi eksternal berkaitan dengan situasi dan zaman yang melingkupinya; kejayaan negara-negara Muslim yang saling memperebutkan dukungan teologis dari publik. Persaingan itu didasari oleh pemahaman yang berbeda terhadap dogma agama dan pemikirannya. Karena itu setiap ulama berusaha menafsirkan al-Quran sesuai dengan kecenderungannya untuk memperkokoh prinsip-prinsip ideologi yang dianutnya. Segi internal erat kaitannya dengan kondisi al-Ghazali ketika menulis karya tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam pengantar karyanya, “Sungguh aku ingin membangunkan Anda dari tidur, wahai orang yang banyak membaca al-Quran, yang menyibukkan diri untuk mengkajinya sebagai sikap hidup, yang mereguk makna-maknanya yang zahir dan ringkas… Nah, saya ingin memberi petunjuk kepada Anda untuk mempelajari metode mereka yang telah berhasil menjelajahi, menyelami dan mengarungi samudera al-Quran, demi menjalin persaudaraan sambil mengharap berkah do’a Anda.” (Lihat al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 11) 35 Nashr Hamid Abu Zeid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: al-Ha’iah al-‘Ammah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1993), h. 278 36 al-Ghazali, Jawâhir…, h. 11 37 al-Ghazali, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Ushûl, jilid 1, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1322 H), h. 101 38 al-Ghazali, Ihyâ’, juz 1, h. 60, Bdk. al-Ghazali, Jawâhir…, h. 16 39 Ibid, h. 18 40 Ibid, h. 19 41 al-Dzahabi, al-Tafsîr…, juz 2, h. 474 42 Tiga yang pertama merupakan asas pokok al-Quran yang disebut alGhazali sebagai Jawâhir al-Qur’ân (Permata al-Quran), berupa ilmu-ilmu al-Quran. Dan tiga berikutnya merupakan pengembangan dan pelengkap yang diistilahkan dengan Durar al-Qur’ân (Mutiara al-Quran), berupa media amaliahnya. (Lihat al-Ghazali, Jawâhir, h. 11-12) 43 Ibid, h. 17 44 Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signified) yang terkait dengan yang ditandai (signifier). Bagi Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapat dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa, bila mengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian
106
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
12
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
107
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
tertentu. (Lihat Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra, (Yoyakarta: Galangpress, 2001), h. 36) 45 Ibid, h. 29 46 Ibid, h. 35 47 Selain terminologi al-Quran dan Hadis secara langsung, al-Ghazali juga menggunakan terminologi al-sam‘ ketika menyebut Kitab Suci dan Hadis ini. Dalam terminologi al-Ghazali, kata ini berarti wahyu yang diterima Nabi saw dari Allah, baik berupa al-Quran maupun Hadis. Dalam berbagai karyanya, al-Ghazali juga menggunakan terminologi alSyar‘, al-Naql, dan al-Ahbâr untuk al-Quran dan Hadis. 48 Kredibilitas al-Quran dan hadis sebagai sumber penafsiran berpangkal dari kredibilitas Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang diterima secara dharûri (aksiomatis). Tetapi, karena Nabi Muhammad adalah seorang tokoh historis yang sudah berlalu beberapa abad sebelumnya masanya, maka al-Ghazali menggunakan kriteria “berita mutawatir”. Karena itu, al-Quran dan hadis yang diriwayatkan secara mutawatir tidak diragukan sama sekali kredibilitasnya. Adapun hadishadis yang tidak sampai ke derajat mutâwatir diragukan kredibilitasnya. 49 Dalam Ihyâ’, al-Ghazali seringkali mengutip perkataan sahabatsahabat terkemuka, seperti Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan para tabi’in. Tetapi dia seringkali tidak menyebutkan namanya. 50 Al-Ghazali, al-Risâlah al-Laduniyyah…, h. 64 51 al-Ghazali, Ihyâ’…, juz 3, h. 130-135 52 Ibid, juz 3, h. 134 53 Dalam riwayat al-Turmudzi, redaksinya berbunyi, man qâla fi al-Qur’ân bighairi‘ilminfalyatabawwa’maq‘adahûminal-nâr. Lihatal-Turmudzi,Shahîh al-Turmudzi, kitab “Tafsîr al-Qur’ân, hadis no. 2874 dalam CD Room, Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, (Jeddah: Sakhr, 1995) 54 Ibid, juz 1, h. 292 55 Redaksi doa tersebut adalah Allâhumma faqqihhu fi al-dîn wa ‘allimhu al-ta’wîl. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis no. 2274 dalam CD Room, Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, (Jeddah: Sakhr, 1995) 56 al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 342-343 57 Ibn Taimiyyah, Naqd al-Mantiq, (Kairo: Mathba‘ah al-Sunnah alMuhammadiyah, 1951), h. 54 58 Ibn Jawzi, Talbîs Iblîs, (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.), h. 166, 323, dan 333 59 Ibid, h. 342-343 60 Ibid, h. 343 61 al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 343. Bdk, Jawâhir…, h. 13 62 al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 346
Hadis ini dikeluarkan oleh Ibn Hibban dalam Shahîh-nya dari Ibn Mas’ud dan juga diriwayatkan oleh perawi lain dengan redaksi yang berbeda dan sanad yang berlainan. Menurut al-Tustari, makna zhâhir dari segi bacaannya, makna bâthîn dari segi pemahamannya, makna hadd dari segi hukumnya (halal haram), dan makna mathla‘ dari segi perolehan hati yang menangkap maksudnya, yakni pemahaman yang diperoleh dari Allah. Karena itu, makna zhâhir adalah pengetahuan bagi umum, dan makna bâthîn ditujukan kepada kalangan khusus. Lihat al-Tustari…, h. 3. 64 al-Ghazali, , Ihyâ’…, juz 1, h. 120 65 al-Ghazali, al-Munqidz…, h. 65 66 al-Ghazali, Jawâhir…, h. 13 67 Ibid, h. 13 68 al-Nawawi, al-Tibyân fî Adâb Hamalat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr alNafâis, 1987), h. 57-58, 62, 68, 72, 75, 109 69 al-Qurthubi, Fadhâil al-Qur’ân wa Adâb Tilâwatihi, (Kairo: alMaktabah al-Tsaqafiyyah, 1989), h. 44-46. Sikap al-Qurthubi yang tidak mau menyebut nama al-Ghazali –dia hanya menyebut 1 kali nama alGhazali dengan jelas- karena al-Qurthubi memiliki sikap negatif dan keras terhadap al-Ghazali, sampai-sampai dia menyebut beberapa penafsirannya sebagai ilhâd dan membahayakan akidah kaum Muslimin. Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz 4, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1976), h. 196-197 70 Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasibi, al-Ittijâhât fî al-Tafsîr alHadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), h. 251 71 al-Dzahabi, al-Tafsîr…, juz 1, h. 296 72 Ibid, juz 2, h. 477-478 73 Dua masalah itu adalah “berusaha untuk sedih dan menangis” dan “penggabungan antara jahr dan isrâr”. Lihat al-Suyuthi, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979) h. 7 dan 108. Dia juga mengutip dari al-Ghazali yang berkaitan dengan tafsîr bi al-ra’y tanpa menyebutkan namanya. Ibid, juz 2, h.185. 74 Ibid, juz 2, h. 197 75 ‘Abd al-Ghaffâr, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Anshâr, t.t.), h. 28 76 Ibid, h. 42-43 77 Muhammad Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, (Mesir: al-Manar, t.t.), h. 104108 78 Rasyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz 1, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.t.), h. 448
108
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
63
109
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin DAFTAR PUSTAKA Abd al-Ghaffâr, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, Kairo: Dâr al-Anshâr, t.t. Abdul Halim Mahmud, Qadiyyat al-Tashawwuf, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.t. Abd al-Karim Utsman, Sîrah al-Ghazâli, Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t. Abd al-Rahman al-Badawi, Mu’allafât al-Ghazâli, Mesir: al-Majlis al-A‘lâ li Ri‘âyat al-Funûn wa al-Adâb wa al-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1961 CD Room, Mausû‘ât al-Hadîts:Kutub al-Tis‘ah, Jeddah: Sakhr, 1995 al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, Beirut: Dâr al-Kutub alHadîtsah, 1976 Fahd ‘Abd al-Rahmân, Ittijâh al-Tafsîr fî al-Qarn al-Râbi’ al-Asyr, Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah, 1986 Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979 al-Ghazali, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd, Mesir: Maktabah Muhammad Shâbih, 1962 ———, al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970 ———, Majmû‘at Rasâil, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin Ibn Taimiyyah, Naqd al-Mantiq, Kairo: Mathba‘ah al-Sunnah alMuhammadiyah, 1951 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhajuhu wa Tathbîquhu, Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1976 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, New York: Columbia University Preess, 1958 Kamaluddin Hilmi, al-Salâjiqah fî al-Târîkh wa al-Hadhârah, Kuwait: Dâr al-Buhûts al-Ilmiyyah, t.t. Mahrajân al-Ghazali bi Dimasq, Abû Hâmid al-Ghazâli fî Dzikrâ alMi’awiyyah al-Tâsi‘ah li Mîlâdihi, Kairo: al-Majlis al-A‘lâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al-Adâb wa l-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1962 Muhammad Nur Ikhwan, Hermeneutika Al-Quran: Analisis Peta Perkembangan Tafsir Al-Quran Kontemporer, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1995 Nashr Hamid Abu Zeid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir: al-Ha’iah al-‘Ammah al-Mishriyyah li al-Kitâb, 1993 al-Nawawi, al-Tibyân fî Adâb Hamalat al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Nafâis, 1987 Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1991
———, al-Munqidz min al-Dhalâl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
al-Qurthubi, Fadhâil al-Qur’ân wa Adâb Tilâwatihi, Kairo: al-Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1989
———, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997
Rasyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut, Dâr al-Ma’rifah, t.t.
———, Iljâm al-‘Awwâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
al-Subki, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, juz 6, Mesir: Isâ al-Bâb al-Halabi, t.t.
———, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, jilid 1, Mesir: Dâr al-Fikr, 1322 H ———, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Goldziher, Ignaz, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmiy, Lebanon: Dâr Iqra’, 1985 Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972 ———, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978 H.L. Beck dan N.J.S. Kaptein (ed.), Pandangan Barat terhadap Literatur: Hukum Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, Jakarta: INIS, 1989
Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fi Nadzr al-Ghazâli, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1971 al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979 Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-i Adabiyyat-i Delli, 1978 Syed Nawab Ali, Some Morals and Religious Teachings of al-Ghazali, Lahore: SH. M. Ashraf, 1946
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Zaki Mubarak, al-Akhlâq ‘Ind al-Ghazâli, Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabi, 1924
110
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
111
Hermeneutika al-Qur’an al-Ghazali...Dede Rodin
112
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005