ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP

Download ditunjukkan impor beras Indonesia, pemilihan metode peramalan yang terbaik dalam menduga impor beras ... Sebagai salah satu syarat untuk me...

4 downloads 752 Views 560KB Size
ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI

Oleh : Arif Abdul Azziz A14102047

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN ARIF ABDUL AZZIZ. Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras dalam Negeri. Di bawah Bimbingan HARMINI. Komoditi pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras, terutama karena: (1) beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total penduduk di Indonesia; (2) usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21 juta keluarga petani dan: (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dipergunakan untuk membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsa beras dalam konsumsi kalori total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40 persen dalam asupan protein (Harianto, 2000). Meskipun pemenuhan kebutuhan beras nasional diupayakan lewat produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan pasokan beras maka impor harus dilakukan. Namun, impor beras diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal- hal yang patut diperhatikan. Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis sehingga cenderung berfluktuasi dalam hal harga dan kuantitas yang diperdagangkan. Impor yang terlalu besar juga dapat mengakibatkan munculnya pemaksaan politis dari negara eksportir. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan pemerintah. Penelitian ini juga menganalisis kecenderungan impor beras ke depannya melalui analisis pola data yang ditunjukkan impor beras Indonesia, pemilihan metode peramalan yang terbaik dalam menduga impor beras Indonesia serta meramalkan impor beras Indonesia dalam lima periode mendatang. Berdasarkan model ekonometrika yang terbentuk, diketahui bahwa ternyata impor beras secara nyata mempengaruhi harga beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 persen. Pengaruh tersebut adalah negatif dimana jika impor beras meningkat maka harga beras dalam negeri akan menurun, tetapi responnya inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri (taraf nyata 1 persen); nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (taraf nyata 5 persen) dan produksi beras nasional (15 persen). Faktorfaktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga beras impor dan harga terigu. Sedangkan faktor yang mempengaruhi impor beras secara positif adalah harga beras dalam negeri dan kebijakan impor beras dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan tarif impor, impor beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah diterapkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan menerapkan tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya ngurangi volume beras impor yang masuk ke Indonesia. Penelitian ini menerapkan berbagai teknik dalam metode peramalan time series, yaitu model peramalan naive, analisis tren, rata-rata sederhana, rata-rata bergerak sederhana, single exponential smoothing, double exponential smoothing satu parameter dari Brown, double exponential smoothing dua parameter dari

Holt, model Winters’, model dekomposisi dan ARIMA yang ditrapkan pada data time series impor beras periode 2000 hingga 2005. Selain menggunakan metode peramalan time series, penelitian ini juga menggunakan model regresi berganda dalam menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras serta menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri. Hasil penelitian ini antara lain bahwa pola yang ditunjukkan impor beras pada periode 1999 hingga 2005 menunjukkan pola yang stasioner dimana impor beras pada awalnya menurun dan pada tahun 2002 – 2003 impor beras kembali meningkat. Volume impor beras pada tahun 2004 - 2005 kemudian menunjukkan besaran yang kecil dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Model peramalan time series yang paling baik dalam meramalkan impor beras berdasarkan kriteria RMSE adalah model analisis tren kuadratik. Tiga model peramalan dengan besaran RMSE terkecil berturut-turut adalah model tren kuadratik dengan dummy musiman (RMSE = 124.3873), model tren kuadratik tanpa dummy musiman (134.109) dan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4 (134.3137). Hasil ramalan menggunakan model peramalan terbaik memperlihatkan tren yang menurun dan volume impor beras yang masuk menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam lima periode ke depan tidak melakukan impor beras.

ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Arif Abdul Azziz A14102047

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Judul Skripsi

: ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI

Nama

: ARIF ABDUL AZZIZ

NRP

: A14102047

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Harmini, M.Si NIP. 131 688 732

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN

DENGAN

INI

SAYA

MENYATAKAN

BAHWA

SKRIPSI

YANG

BERJUDUL ”ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2006

ARIF ABDUL AZZIZ

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 23 Juli 1984 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Nono Mulyono dan Ibu Eri Nuraeni. Pendidikan formal dimulai di SD Negeri IV Kampung Melati Cirebon dan lulus pada tahun 1996.

Selanjutnya jenjang pendidikan dilanjutkan di SLTP

Negeri 4 Cirebon dan kemudian berlanjut di SMU Negeri 1 Cirebon. Pada tahun 2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Manajemen Agribisnis melalui jalur USMI. Selama kuliah penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Ekonomi Umum selama empat semester berturut-turut dari tahun 2004–2006. Penulis juga ikut aktif di Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) dan sempat aktif di DKM Al-Hurriyah IPB pada tahun 2004.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Beras Dalam Negeri”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Sarjana Pertanian

pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri dan kemudian menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras, termasuk kebijakan pemerintah.

Tujuan lainnya

adalah menganalisis perilaku pola yang dimiliki oleh data impor beras Indonesia dan model peramalan yang paling baik dalam melakukan peramalan untuk data tersebut beserta hasil ramalannya untuk beberapa periode ke depan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu harapan adanya kritik dan masukan yang konstruktif dari para pembaca. Diharapkan melalui hasil penelitian ini, diperoleh informasi tambahan bagi pengambil kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah perberasan nasional.

Bogor, Juni 2005

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu: 1. Ir. Harmini, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatiannya yang sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. M. Firdaus, SP, MS atas kesediannya menjadi Dosen Penguji utama dalam ujian sidang. 3. Ir. Nindyantoro, MS selaku Dosen Penguji wakil departemen dalam ujian sidang. 4. Dr.Ir. Harianto, M.S sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas perhatiannya selama penulis menjalani kuliah. 5. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan doa, perhatian dan kasih sayang yang tak pernah putus. Kakak dan adik, Aimbong dan Gugun yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. 6. Ibu Epi Sulandari dari Divisi Harga Dasar Badan Urusan Logistik yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. 7. Irfandy Aznur, Vid i Vernando, Rizki Firbani, Herry Masdirwan, Yuninda Ulan, Mia Widhi dan Andi Astarina, yang telah membantu menyiapkan keperluan seminar dan ujian sidang penulis. 8. Edi Iskandar yang telah bersedia menjadi pembahas seminar, Renato yang telah meminjamkan laptopnya untuk seminar dan Andrie yang meminjamkan laptop untuk sidang penulis. 9. Zakiah Arifin atas kertas, tinta printer dan pinjaman komputernya yang banyak membantu penulis. 10. Teman-temanku AGB’39 dan rekan-rekan kost Pondok Sahabat, kontrakan Colonist dan Asrama C2 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii DAFTAR TABEL................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar belakang ......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 4 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 7 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 9 2.1 Beras ....................................................................................................... 9 2.2 Produksi Beras ........................................................................................ 9 2.3 Permintaan Beras .................................................................................. 12 2.4 Impor Beras .......................................................................................... 14 2.5 Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional ............................................... 15 2.6 Kebijakan Perberasan Nasional Saat Ini ............................................... 17 2.7 Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................... 19 2.7.1 Penelitian Tentang Beras......................................................... 19 2.7.2 Penelitian Tentang Peramalan................................................. 24 2.7.3 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ................ 26 III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 27 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................ 27 3.1.1 Perdagangan Internasional ....................................................... 27 3.1.2 Peramalan................................................................................. 28 3.1.3 Jenis Peramalan........................................................................ 29 3.1.4 Metode Peramalan Time Series ................................................ 30 3.1.5 Memilih Metode Peramalan Time Series ................................. 32 3.1.6 Model Ekonometrika ................................................................ 33 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 34 IV. METODE PENELITIAN ............................................................................. 38

4.1 Jenis dan Sumber Data........................................................................... 38 4.2 Pengolahan Data .................................................................................... 39 4.3 Analisis dan Interpretasi Data................................................................ 39 4.3.1 Model Ekonometrika.................................................................... 39 4.3.2 Identifikasi Pola Data................................................................... 45 4.3.3 Metode Peramalan Time Series.................................................... 47 4.3.4 Memilih Metode Peramalan Time Series .................................... 61 4.4 Definisi Operasional .............................................................................. 61 4.5 Hipotesis ................................................................................................ 62 V. ANALISIS IMPOR BERAS INDONESIA .................................................. 63 5.1 Pengaruh Impor Beras Terhadap Harga Beras Domestik ...................... 63 5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Beras Indonesia ................... 67 5.3 Eksplorasi Pola Data Impor Beras Indonesia ......................................... 74 5.4 Metode Peramalan Time Series Impor Beras Indonesia ........................ 76 5.5 Memilih Metode Peramalan Impor Beras Indonesia .............................. 84 5.6 Meramalkan Impor Beras Indonesia ...................................................... 85 5.7 Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia .................... 87 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 89 6.1 Kesimpulan............................................................................................. 89 6.2 Saran ....................................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91 LAMPIRAN ......................................................................................................... 94

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. PDB Atas Harga Konstan Tahun 1993 (Milyar Rupiah) .................................... 2 2. Jumlah Tenaga Kerja Subsektor Pangan, Kebun dan Hortikultura di Indonesia Tahun 2000 – 2001 (orang) ................................................................................. 2 3. Produksi Padi (GKG) Menurut Pulau di Indonesia, 2001 – 2005 (000 ton) ........................................................................................................... 10 4. Luasan Panen Padi di Berbagai Pulau di Indonesia, 1996 – 2001 (000 Ha) ............................................................................................................ 11 5. Model ARIMA Terbaik untuk Meramal Masing-Masing Variabel .................. 25 6. Model Box-Jenkins Berdasarkan ACF dan PACF ............................................ 59 7. Nilai Dugaan Model Harga Beras Indonesia ..................................................... 65 8. Nilai Elastisitas Harga Beras Domestik terhadap Impor Beras......................... 66 9. Nilai Dugaan Model Impor Beras Indonesia ..................................................... 70 10. Perbandingan RMSE Model Analisis Tren..................................................... 77 11. Perbandingan RMSE untuk Berbagai Tingkat Ordo (T) Moving Average ..... 79 12. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Multiplikatif ......... 82 13. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Aditif.................... 82 14. Perbandingan RMSE pada Model ARIMA..................................................... 84 15. Nilai RMSE Masing- masing Metode Time Series .......................................... 85 16. Ramalan Volume Impor Beras Indonesia (000 ton) dengan Model Tren Kuadratik Musiman......................................................................................... 86

DAFTAR GAMBAR Nomor

Halaman

1. Mekanisme Perdagangan Internasional.............................................................27 2. Kerangka Pemikiran Operasional......................................................................37 3. Tahapan dalam Metode Box Jenkins ................................................................57 4. Plot Data Impor Beras Indonesia 2000 – 2005 .................................................75

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Output Minitab 14, Model Harga Beras Domestik ........................................ 95 2. Statistik Durbin- h Model Harga Beras Domestik .......................................... 95 3. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Harga Beras Domestik ......... 96 4. Output Minitab 14, Model Dugaan Awal Impor Beras Indonesia ................. 97 5. Output Minitab 14, Model Akhir Impor Beras Indonesia .............................. 98 6. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Impor Beras Indonesia ......... 99 7. Output Minitab 14, Uji Autokorelasi Model Impor Beras Indonesia .......... 100 8. Plot ACF dan PACF Impor Beras Indonesia ............................................... 101 9. Plot ACF dan PACF Ln Impor Beras Indonesia .......................................... 101 10. Output Minitab 14, Model Tentative ARIMA ........................................... 102

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Shortage of food can lead to a civil war (David Nelson dalam Amang dan Sawit, 1999). Pernyataan tersebut hampir menjadi kenyataan di Indonesia pada tahun 1998. Terpuruknya perekonomian nasional, lemahnya daya beli masyarakat dan membumbungnya harga pangan merupakan isu yang disalahkan atas kejadian tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut menegaskan bahwa pangan terkait dengan politik dan stabilitas (Amang dan Sawit,1999). Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu dan hingga nanti pun manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup.

Pangan telah menjadi

kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan. Menurut Timmer dalam Amang dan Sawit (1999), tidak ada negara yang dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan (food security). Kebutuhan pangan manusia terutama dipenuhi lewat bahan makanan yang pokok, yang dihasilkan melalui pertanian dan mengandung banyak karbohidrat serta menempati porsi terbesar dalam diet manusia, seperti padi, jagung, umbiumbian dan gandum.

Komoditi tersebut di dalam perekonomian Indonesia

termasuk ke dalam subsektor pangan. Kontribusi subsektor pangan terhadap produk domestik bruto (PDB) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. PDB Atas Harga Konstan Tahun 2000 (Milyar Rupiah) 2002

2003 x)

2004 xx)

113 019.6

115 925.5

120 139.3

124 578.9

Perkebunan

34 485.2

36 585.6

38 191.6

39 920.2

Peternakan

27 770.1

29 393.5

30 726.9

32 157.6

Perikanan

32 441.0

33 082.3

35 900.1

37 900.0

Kehutanan

17 609.8

17 986.5

18 118.2

18 396.2

Pertanian*)

225 685.7

232 973.4

243 067.1

252 952.9

1 442 984.6

1 506 124.4

1 579 559.0

1 660 578.7

Sektor dan Subsektor

2001

Pangan

GDP

Keterangan:

Sumber Pertanian*) x) xx)

: Statistik Indonesia, 2004 : termasuk Perikanan, Peternakan dan Kehutanan : angka sementara : angka sanga t sementara

Selain kontribusi terhadap PDB, peran subsektor pangan terhadap perekonomian nasional juga bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap oleh subsektor tersebut. Dalam Tabel 2 diperlihatkan bahwa total tenaga kerja di subsektor pangan, kebun dan hortikultura pada tahun 2001 adalah sekitar 33 juta jiwa.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Subsektor Pangan, Kebun dan Hortikultura di Indonesia Tahun 2000 – 2001 (orang) Jenis Kelamin Laki-Laki Wanita Total

2000 21 277 996 59.06 % 14 747 255 40.94 % 36 025 251

2001 20 575 737 60.88 % 13 220 336 39.12 % 33 796 073

Pertumbuhan (2000-2001) -0.03 % -10.35 % -6.19 %

Sumber: Statistik Indonesia, 2004 (diolah)

Komoditi pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras, terutama karena: (1) beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total

penduduk di Indonesia; (2) usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21 juta keluarga petani dan: (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dipergunakan untuk membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsa beras dalam konsumsi kalori total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40 persen dalam asupan protein (Harianto, 2001). Hidup layak dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara berhak atas terpenuhinya pangan yang cukup dengan harga murah (Amang dan Sawit, 1999). Sehubungan dengan hal tersebut, maka menjadi tugas pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan dan kebijakan swasembada beras merupakan kunci bagi pencapaian ketahanan pangan/food security (Kasryno dalam Mulyana, 1998). Mengingat hal di atas, mencapai swasembada beras selalu menjadi prioritas pemerintah dalam kebijakan pembangunan pertaniannya.

Kebijakan

swasembada beras merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian dan dinilai telah berhasil meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani. Konteks ketahanan pangan tidak hanya menyangkut masalah ketersediaan bahan pangan pokok bagi rakyat saja, tetapi meliputi pula bagaimana kepemilikan dan akses terhadap pangan itu oleh setiap anggota masyarakat (Pakpahan dan Pasandaran; Soetrisno dalam Mulyana 1998). Dalam hal keterjangkauan beras ini, pemerintah menghadapi dilema. Dari sisi konsumen, mereka mengharapkan harga beras yang murah.

Terlebih lagi dengan proporsi pengeluaran beras

terhadap pendapatan yang cukup tinggi dan tingkat konsumsi yang merata dengan

jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kenaikan harga pangan (beras) dipandang sebagai komponen utama penyebab inflasi (Mulyana, 1998). Di lain pihak, petani sebagai produsen beras mengharapkan agar harga beras cukup tinggi sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang layak. Tingkat keuntungan yang wajar bagi petani sangat diperlukan karena hal tersebut akan menjadi insentif bagi petani untuk terus melakukan usahatani padi dan mendukung kebijakan swasembada beras.

1.2 Rumusan Masalah Pemenuhan kebutuhan akan beras bisa dipenuhi lewat dua cara, yakni melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak di dalam negeri berharap beras bisa dipenuhi lewat produksi domestik (swasembada), dan impor hanya dilakukan jika produksi padi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras. Menurut Rosegrant et. al. dalam Amang dan Sawit (1999), produksi padi di Indonesia dengan tujuan untuk substitusi impor adalah cukup efisien berdasarkan konsep comparative advantage. Pemenuhan kebutuhan beras dari produksi padi domestik dewasa ini menemui banyak tantangan. Pertama, produktivitas padi secara nasional telah mengalami levelling-off (pelandaian). Kedua, tingginya tingkat konversi lahan mengurangi secara signifikan lahan potensial untuk produksi padi.

Ketiga,

berbagai macam subsidi yang tadinya diberikan oleh pemerintah saat ini telah dicabut sebagian. Keempat, liberalisasi perdagangan mengharuskan pemerintah untuk lebih membuka pasar beras domestik dan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan internasional.

Meskipun, pemenuhan kebutuhan beras nasional diupayakan lewat produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan pasokan beras maka impor harus dilakukan. Dalam kesepakatan GATT, Indonesia harus melakukan impor minimum 70.000 ton jika harga domestik lebih tinggi 90 persen dari harga dunia, dan mengimpor dalam jumlah yang cukup agar harga domestik tidak lebih tinggi 180 persen dari harga dunia (Dawe dalam Mulyana, 1998). Namun, impor beras diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal- hal yang patut diperhatikan. Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis (thin market ) dimana volume beras yang diperdagangkan antar negara sangat sedikit bila dibandingkan dengan total produksinya sehingga ketersediaan beras dan harga yang terjadi sangat fluktuatif (Amang dan Sawit, 1999).

Kedua,

ketergantungan terhadap impor beras memungkinkan munculnya pemaksaan politis dari negara pemasok beras, terutama jika impor beras tersebut bersifat bantuan dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Jepang (Mulyana, 1998). Ketiga, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan beras bukan dari impor memberikan kebanggaan sebagai bangsa yang mandiri dan memberikan efek yang baik bagi ketahanan pangan nasional1 . Hal yang lebih penting adalah bahwa ketergantungan yang terus menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri.. Impor beras diduga akan membuat petani merugi karena akan membuat harga beras turun.

Penurunan harga tersebut dikhawatirkan pada

akhirnya akan membuat petani menghentikan produksi beras dan mengalihkan sumber daya yang dimilikinya untuk produksi komoditi lain. Impor beras yang

1

Siswono Yudo Husodo 2005, Swasembada Versus Impor Beras, Kompas 1 Desember

terlalu besar dalam waktu lama pada akhirnya akan membuat potensi produksi beras nasional menurun drastis dan mengancam ketahanan pangan nasional. Terlebih lagi beras di Indonesia sudah menjadi komoditas politik yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional jika ketersediaan atau pasokannya terganggu (Mulyana, 1998) Dengan dugaan bahwa impor beras akan menurunkan harga beras dalam negeri, maka perlu dikaji apakah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pada saat ini sudah efektif dalam memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi beras dan mengurangi impor.

Perlu dikaji juga faktor- faktor lain yang

mempengaruhi impor beras sehingga dapat dilakukan antisipasi oleh pemerintah dengan melihat kecenderungan faktor-faktor tersebut ke depannya. Hal ini penting di dalam memperkirakan efek dari perubahan faktor- faktor tersebut terhadap impor beras.

Dengan mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut, diharapkan

pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang lebih efektif dalam mengurangi impor beras Indonesia. Kecenderungan

impor

beras

Indonesia

ke

depannya

juga

patut

diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi indikator efektivitas kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam mengurangi impor beras.

Peramalan juga

memberikan informasi yang berharga bagi pemerintah sehingga dapat dilakukan antisipasi berdasarkan ramalan yang dihasilkan. Pertanyaan pene litian yang bisa dirumuskan berdasarkan uraian di atas yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia?

3. Bagaimana pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional? 4. Metode peramalan apa yang terbaik dalam menduga volume impor beras nasional? 5. Bagaimana peramalan dari jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia 3. Menganalisis pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional 4. Memperoleh metode peramalan yang terbaik dalam menduga volume impor beras nasional 5. Meramal jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang Adapun kegunaan penelitian ini antara lain: 1. Bagi pemerintah sebagai informasi tambahan guna melaksanakan kebijakan perberasan nasional, terutama mengenai kebijakan impor beras, stok beras, harga dasar gabah dan harga beras nasional. 2. Sebagai sumber informasi dan referensi untuk menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca. 3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.

1.4 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tidak membahas faktor- faktor penentu impor beras secara mendalam.

Misalnya, jika volume impor beras dipengaruhi oleh besarnya

produksi beras nasional, penelitian ini tidak membahas variabel apa saja yang mempengaruhi produksi beras nasional, begitu pun dengan faktor-faktor lainnya. Penelitian ini juga tidak membahas secara mendalam interaksi antara faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras tersebut. Padahal, interaksi antara permintaan dan penawaran beras akan menentukan harga beras dalam negeri dan harga beras keseimbangan tersebut akan menentukan jumlah beras yang ditawarkan serta jumlah beras yang diminta. Selain itu perlu disadari bahwa data beras yang sesungguhnya diminta untuk konsumsi, benih, pakan maupun yang susut juga tidak tersedia. Data konsumsi beras oleh BPSS didekati dengan menggunakan ketersediaan beras untuk konsumsi (apparent consumption) yang dihitung melalui produksi beras ditambah impor, dikurangi ekspor, perubahan persediaan beras nasional, dan proporsi dari produksi yang tidak digunakan untuk konsumsi (SUSENAS, 2002). Penelitian ini juga tidak memisahkan beras menurut jenis dan kualitasnya. Harga beras domestik yang dipakai adalah harga beras kualitas medium dengan asumsi beras tersebut paling banyak dikonsumsi masyarakat dan perubahan dalam harga beras kualitas medium menjadi indikator perubahan semua harga beras. Karena masalah ketersediaan data, impor beras yang dianalisis dalam penelitian ini hanya beras impor yang terdaftar saja, sedangkan beras impor ilegal tidak diperhitungkan.

Padahal, jumlah beras impor ilegal diperkirakan tidak

sedikit dan cukup mempengaruhi harga beras eceran di pasar domestik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Padi Padi yang bernama latin Oryza Sativa, berdasarkan klasifikasi Gould, dikelo mpokkan ke dalam

sub-famili Oryzoidae, suku Oryzae, genus Oryza.

Genus Oryza memiliki 20 spesies, tetapi yang paling banyak dibudidayakan adalah Oryza Sativa L dan O. Glaberrima Steund di Afrika.

Berdasarkan

penelitian Lu dan Chang (Lu dan Chang dalam Manurung dan Ismunadji, 1988), proses evolusi dari Oryza Sativa berkembang menjadi tiga ras ecogeographic, yakni Sinica (dulu dikenal sebagai Japonica), Indica dan Javanica. Daerah yang cocok untuk tanaman padi bervariasi, mulai dari 53° Lintang Utara hingga 35° – 40° Lintang Selatan, mulai dari daerah pantai hingga ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Di Indonesia, padi ditanam hampir di semua altitude, mulai dari dekat pantai hingga ke dataran tinggi dan pegunungan. Tanaman padi dapat tumbuh subur pada daerah yang beriklim kering, panas dan matahari cerah pada tempat terbuka serta daerah yang bebas naungan dan tidak terlindungi oleh tanaman lain (Taslim dan Fagi, 1988). Umumnya padi yang diusahakan adalah padi sawah (85 – 90 persen) dan sisanya adalah padi gogo.

2.2 Produksi Beras Produksi padi tergantung kepada dua variabel, yakni luas areal dan produktivitas per satuan luas. Produksi padi dalam negeri sampai saat ini masih bergantung pada produksi di Pulau Jawa yang masih memproduksi sekitar 55.06 persen dari total produksi nusantara. Secara lengkap perbandingan produksi padi (gabah kering giling) menurut pulau dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi Padi (GKG) Menurut Pulau di Indonesia, 2001 – 2005 (000 ton) DAERAH Sumatera

2000 11 819 (22.77) Jawa 29 120 (56.11) Bali dan Nusa Tenggara 2 776 (5.35) Kalimantan 3 000 (5.78) Sulawesi 5 065 (9.76) Maluku dan Irian Jaya 117 (0.23) Luar Jawa 22778 (43.89) Indonesia 51 898 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000 –

2001 11 286 (22.37) 28 312 (56.11) 2 695 (5.34) 3 074 (6.09) 4 982 (9.87) 108 (0.22) 22148 (43.89) 50 460 2005

2002 11 542 (22.42) 28 607 (55.56) 2 647 (5.14) 3 169 (6.16) 5 438 (10.56) 85 (0.17) 22 881 (44.44) 51 489

2003 12 136 (23.28) 28 167 (54.03) 2 725 (5.23) 3 357 (6.44) 5 602 (10.74) 149 (0.29) 23 970 (45.97) 52 137

2004 12 665 (23.42) 29 635 (54.79) 2 807 (5.19) 3 656 (6.76) 5 171 (9.56) 151 (0.28) 24 452 (45.21) 54 088

2005+) 12 620 (23.35) 29 763 (55.06) 2 590 (4.79) 3 604 (6.67) 5 296 (9.80) 180 (0.33) 24 292 (44.94) 54 056

Keterangan: +) : angka sementara Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional

Kedua faktor yang berperan dalam produksi beras (luas areal dan produktivitas) sama-sama mengalami kondisi yang mengancam pertumbuhan produksi yang tinggi. Dalam hal luas areal, tidak dimungkiri lagi bahwa luas areal usahatani padi di Pulau Jawa selaku produsen utama beras menghadapi tingkat persaingan yang tinggi. Luasan areal lahan yang digunakan untuk usahatani padi di Jawa menunjukkan kecenderungan menurun sebesar 0.31 persen per tahun, sementara luas lahan sawah di luar Jawa menunjukkan kecenderungan naik, meskipun rendah, yakni sebesar 0.65 persen per tahun (Mardianto, 2001). Perbandingan luasan lahan sawah di berbagai pulau di Indonesia disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Luasan Panen Padi di Berbagai pulau di Indonesia, 1996 – 2001 (000 Ha) Pulau 1996 1997 Jawa 5 488 5 380 Sumatera 3 068 2 897 Bali dan Nusa Tenggara 648 632 Kalimantan 1 083 1 070 Sulawesi 1 248 1 137 Maluku dan Irian Jaya 32 22 Indonesia 11 569 11 140 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1996 – 2001

1998 5 752 3 162 651 1 081 1 175 39 11 730

1999 5 768 2 980 642 1 134 1 191 53 11963

2000 5 748 3 021 650 1 075 1 054 40 11608

2001 5 663 2 909 668 1 013 1 153 44 11 424

Menurut Irawan (2005), konversi lahan sawah yang terjadi bersifat kumulatif dan progresif. Konversi lahan bersifat kumulatif berarti bahwa jika terjadi konversi lahan yang menyebabkan hilangnya potensi produksi padi sebesar X1 dan X2 pada dua tahun berturut-turut, maka total potensi produksi yang hilang adalah sebesar X1 ditambah X2. Sedangkan konversi lahan yang bersifat progresif mengandung arti bahwa konversi lahan akan semakin besar setiap tahunnya. Kendala utama dalam produksi beras yaitu sempitnya skala usaha yang dikelola petani. Setidaknya terdapat empat ciri utama yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni: (1) rata-rata penguasaan lahan oleh petani padi hanya 0.3 hektar; (2) sekitar 70 persen petani padi termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah; (3) sekitar 60 persen petani padi adalah net consumer beras dan; (4) rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani padi hanya sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga (Bustaman, 2003). Sementara itu, berkaitan dengan produktivitas padi, adanya fenomena penurunan rendemen beras patut menjadi perhatian.

Berdasarkan data yang

dikutip Amang dan Sawit (2001) rendemen beras telah turun dari 70 persen pada awal tahun 1950-an menjadi hanya sekitar 62 persen pada akhir tahun 1990-an. Penurunan rendemen tersebut harus diperhatikan karena dalam setiap penurunan

rendemen sebesar 1 persen, potensi produksi beras yang hilang mencapai 0.5 juta ton. Penurunan angka rendemen tersebut disebabkan umur mesin yang sudah tua, kehilangan penanganan pascapanen dan penyusutan yang mencapai 2.5 persen. Berita yang menggembirakan sebenarnya, pada tahun 2004 Indonesia bisa kembali berswasembada beras, bahkan produksi beras mencapai 33 juta ton beras yang merupakan pencapaian tertinggi selama Republik ini berdiri. Swasembada tersebut erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang melarang impor beras 2 .

2.3 Permintaan Beras Beras merupakan bahan pangan pokok mayoritas penduduk Indonesia sejak dahulu.

Bahkan penduduk di beberapa daerah yang secara tradisional

makanan pokoknya jagung atau sagu sebagian telah beralih mengkonsumsi beras. Hal ini dikarenakan penyaluran beras ke daerah-daerah yang pada awalnya ditujukan untuk kelompok target anggaran (pegawai negeri sipil dan ABRI), namun kemudian dijual pula oleh para pedagang swasta antar daerah dan antar pulau kepada masyarakat setempat.

Penyebaran sistem usahatani padi yang

menyertai program transmigrasi dan kemudian hasilnya dipasarkan secara lokal diperkirakan berpengaruh pula dalam mengubah selera masyarakat yang awalnya bukan konsumen beras tersebut. Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di setiap propinsi. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi- umbian dan sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah

2

loc.cit.

tangga terhadap beras sangat besar dan sulit diubah (Ariani,2004). Secara agregat tingkat konsumsi beras hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga mengkonsumsi beras. Secara inheren beras mempunyai kelebihan dibandingkan pangan sumber karbohidrat lainnya. Beras mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah diolah dan komposisi zat gizinya lebih baik dibandingkan pangan karbohidrat lainnya. Kelebihan sifat-sifat tersebut, beras juga didukung kemudahan eksternal, antara lain Revolusi Hijau dan berbagai kebijakan untuk memacu peningkatan produksi padi. Pembangunan sarana dan prasarana jalan menyebabkan beras mudah diperoleh di wilayah terpencil sekalipun.

Belum lagi dukungan

pemerintah melalui kebijakan harga dasar dan operasi pasar (kebijakan harga beras murah). Selain itu, terbentuk persepsi bahwa beras memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan jenis pangan sumber karbohidrat lainnya (Ariani, 2004). Menurut Ariani (2004), kebijakan pangan pemerintah yang kurang memperhatikan budaya masing- masing wilayah tela h merusak budaya makan setempat. Pemerintah telah menggiring budaya makan lokal ke budaya makan nasional melalui “berasisasi”, kemudian juga memberi kesempatan untuk terciptanya budaya makan global berupa aneka mi melalui kebijakan gandum dan olahannya. Berdasarkan data Susenas 1993 – 1999, konsumsi beras per kapita di wilayah pedesaan turun dari 125.6 kg pada tahun 1990 menjadi 111.8 kg pada tahun 1999. Sementara penurunan yang lebih nyata terjadi di wilayah perkotaan, dari 120.7 kg tahun 1990 menjadi 96 kg pada tahun 1999. Penurunan ini terjadi hampir di semua propinsi, terutama yang tingkat konsumsi berasnya tinggi.

Diperkirakan secara nasional tingkat

konsumsi beras per kapita di masa

mendatang akan terus menurun (Erwidodo dan Pribadi, 2004). Menurut Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan, maka proporsi bahan pangan pokok berpati dalam rumah tangga akan semakin berkurang dan beralih ke pangan yang berkalori lebih mahal. Dalam Erwidodo dan Pribadi (2004), meskipun volumenya kecil, penggunaan beras untuk bahan baku industri pengolahan terus meningkat. Permintaan beras untuk bahan baku industri meningkat pesat dalam kurun waktu 1990-1995, yaitu dari 7.8 persen tahun 1990 menjadi 15.6 persen pada tahun 1995. Tepung beras dan produk olahannya seperti bihun merupakan produk olahan beras yang mempunyai prospek permintaan pasar yang cukup cerah.

2.4 Impor beras Indonesia merupakan negara pengimpor beras yang pada tahun 1998 mengimpor sekitar 31% dari total beras yang terdapat dalam perdagangan dunia (Dawe, 1997 dan Tsuiji, 1998 dalam Amang dan Sawit, 1999). Pasar beras internasional memiliki keunikan dibandingkan pasar internasional untuk komoditas pertanian lainnya. Karakteristik unik dalam pasar beras internasional antara lain: 1. Sembilan puluh persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, berbeda dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum yang diproduksi oleh banyak negara di dunia. 2. Pasar beras internasional sangat tipis, yakni hanya sekitar empat persen dari total produksi, berbeda dengan gandum, jagung dan kedelai yang masing-

masing mencapai 20 persen, 15 persen dan 30 persen dari total produksi dunia. 3. Pasar yang tipis menyebabkan harga beras dunia relatif tidak stabil, terutama jika Indonesia sebagai negara besar melakukan impor beras, maka harga beras internasional akan meningkat. Data antara tahun 1954 – 1994 menunjukkan bahwa harga beras tertinggi mencapai US$ 600/ton dan terendah mencapai US$ 200/ton. 4. Sebanyak 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh enam negara, yakni Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, Cina dan Myanmar. 5. Indonesia merupakan net importir beras.

Pada tahun 1998 Indonesia

mengimpor 31 persen dari total beras dalam pasar internasional. 6. Di sebagian negara Asia, beras merupakan wage goods dan political goods. Pemerintahan akan labil jika harga beras tidak stabil dan sulit diperoleh. Saat ini, terjadi distorsi pada pasar beras dunia.

Hal itu diakibatkan

kebijakan protektif negara-negara importir dan kebijakan subsidi domestik di negara-negara importir. Dengan kata lain, harga beras di pasar dunia “terdepresi”, tidak mencerminkan biaya produksi dan nilai ekonomis yang sebenarnya (Erwidodo, 2004).

2.5 Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional Pemerintah pada zaman Orde Baru menyediakan kredit dengan bunga rendah serta pupuk kimia, bibit unggul dan pestisida dengan harga yang disubsidi oleh pemerintah.

Harga gabah/padi petani juga dilindungi melalui penerapan

harga dasar gabah dan Bulog diberi tugas untuk membeli gabah petani sesuai

dengan harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Setiap tahun sebelum masa tanam musim hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit unggul dan harga dasar gabah untuk memberikan insentif bagi petani menerapkan teknologi maju (SBP Bimas, 1997). Melalui kebijakan HDG tersebut, kelebihan produksi pada saat panen dibeli oleh Bulog pada tingkat harga yang telah ditetapkan untuk stok gudang Bulog sehingga bisa dipakai pada saat harga beras melonjak. Di sisi lain, untuk melindungi konsumen beras, terutama masyarakat miskin di perkotaan, ketika harga yang terjadi di pasar terlalu tinggi maka diadakan operasi pasar. Dengan operasi pasar tersebut, pemerintah sebenarnya menambah penawaran sehingga peningkatan harga yang terjadi tidak sampai memberatkan konsumen. Semenjak tahun 1999 kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) sudah tidak lagi efektif.

Hal ini dikarenakan unsur- unsur penopang kebijakan tersebut

dihilangkan satu per satu (Amang dan Sawit, 1999).

Unsur-unsur penopang

kebijakan HDG antara lain: 1. Insulasi pasar beras domestik dari pasar internasional dihilangkan dengan dicabutnya monopoli beras yang selama itu dimiliki Bulog, disubstitusi oleh kebijakan tarif impor beras sebesar 30 persen yang tidak efektif karena adanya penyelundupan atau under invoice dokumen impor. 2. Captive market bagi beras Bulog, yang berupa catu beras bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah dihilangkan, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan kemampuan Bulog untuk menyerap kelebihan pasar menjadi terbatas.

3. Dana KLBI yang dapat dimanfaatkan Bulog dan koperasi untuk pembelian gabah/beras petani dihapuskan sehingga Bulog harus mendanai operasinya dengan dana komersial. Hal tersebut membatasi kemampuan kedua institusi dalam melaksanakan pengadaan pangan dari produksi domestik 4. Berbagai subsidi input dihilangkan.

Kebijakan ini meningkatkan biaya

usahatani, sehingga petani mengharapkan harga gabah yang tinggi. Hal yang membuat kebijakan HDG semakin sulit diterapkan dengan baik adalah bahwa tingkat HDG yang ditetapkan tidak berdasarkan rasionalitas ekonomi dan tidak mempertimbangkan dinamika pasar internasional, padahal ekonomi beras sudah diliberalisasikan. Pada tahun 1999, pemerintah membuka ekonomi perberasan Indonesia terhadap pasar global. Impor beras yang sebelumnya dimonopoli Bulog dapat dilakukan oleh pihak swasta secara bebas. Bahkan selama tahun 1999 – 2000 beras tidak dikenai bea masuk. Kebijakan ini dapat diterima karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis yang kebetulan bersamaan dengan penurunan produksi beras nasional yang nyata karena dampak kemarau panjang (El Nino) dan devaluasi mata uang sehingga harga beras dalam negeri pada saat itu naik hingga 2 – 3 kali lipat.

2.6 Kebijakan Perberasan Nasional Saat Ini Kebijakan pembangunan ekono mi beras terakhir dituangkan dalam Inpres No. 9 tahun 2002. Isi kebijakan tersebut antara lain: 1. Memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional.

2. Memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. 3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah. 4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen. 5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan penyaluran beras dan atau bahan pangan lain bagi kelompok masyarakat miskin atau rawan pangan. Terdapat perubahan paradigma dalam Inpres No. 9 tahun 2002 bila dibandingkan dengan berbagai Inpres yang terkait dengan ekonomi beras yang dikeluarkan sebelumnya. Secara rinci perubahan paradigma tersebut adalah: 1. Sistem ekonomi beras nasional dilihat sebagai suatu sistem agribisnis beras sehingga kebijakan harga beras hanyalah merupakan salah satu komponen dari paket kebijakan ekonomi beras secara komprehens if. 2. Kebijakan harga dasar gabah (HDG, floor price policy) diganti dengan kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HPP, procurement price policy). Dalam kebijakan ini, ditetapkan harga gabah yang dibeli oleh pemerintah pada titik pengadaan (gudang Bulog) dengan kualitas tertentu. 3. Kebijakan perberasan dikembangkan dengan menganut pendekatan ekonomi pasar terkelola (managed market mechanism), dalam upaya melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Artinya, selama pasar dapat berfungsi dengan baik dan efisien, maka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perberasan mengacu pada ekonomi pasar, tetapi jika terjadi sebaliknya, maka pemerintah akan melakukan intervensi.

Kebijakan perberasan nasional ini pada dasarnya mencakup lima instrumen kebijakan, yakni peningkatan produksi, diversifikasi, kebijakan harga, kebijakan impor dan distribusi beras untuk keluarga miskin (Raskin).

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu 2.7.1 Penelitian Tentang Beras Bustaman (2003) melakukan analisis mengenai integrasi pasar beras di Indonesia. Bustaman (2003) mengungkapkan bahwa pasar beras antar propinsi di Indonesia saling terintegrasi satu sama lain, artinya perubahan yang terjadi pada suatu pasar propinsi tertentu akan ditrasnmisikan ke pasar beras di propinsi lainnya. Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa kinerja pemasaran komoditi beras domestik secara keseluruhan efisien. Selain menganalisis integrasi pasar secara horizontal, Bustaman (2003) juga melakukan analisis integrasi pasar secara vertikal pada masing- masing pasar beras tersebut. Hasilnya adalah bahwa dalam jangka panjang, pasar produsen dan pasar konsumen seluruhnya terintegrasi dengan baik sedangkan dalam jangka pendek hanya pasar beras di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat serta Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak terintegrasi dengan baik. Dalam penelitian tersebut, Bustaman (2003) menemukan bahwa besaran transmisi perubahan harga di produsen terhadap harga konsumen lebih tinggi dibandingkan sebaliknya. Petani cenderung kurang memiliki informasi sehingga posisi tawar petani rendah. Bustaman (2003) juga menganalisis mengenai integrasi pasar beras domestik terhadap pasar beras internasional. Dia mengungkapkan bahwa setelah

tahun 1998, pasar beras domestik terintegrasi dengan pasar beras internasional. Hal tersebut dikarenakan mulai tahun 1998, atas desakan IMF pemerintah menghapuskan monopoli impor beras yang sebelumnya dimiliki Bulog. Namun derajat integrasi tersebut masih lemah karena meskipun liberalisasi perdagangan beras telah diberlakukan, pemerintah masih menerapkan tarif dan ijin impor beras. Menurut Simbolon (2005) yang menganalisis integrasi pasar domestik beras dengan pasar beras dunia dan adanya pengaruh tarif impor, tarif impor akan meningkatkan harga beras domestik, tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menurunkan volume impor beras yang masuk ke Indonesia. Tidak adanya tarif impor akan berpengaruh terhadap pembentukan harga beras dimana hal tersebut akan menurunkan harga beras domestik. Dampak kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan terhadap permintaaan dan penawaran beras di Indonesia dianalisis oleh Sitepu (2002). Sitepu (2002) menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Kesimpulan akhir yang didapatnya adalah bahwa kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan tersebut tidak efisien dan tidak tepat untuk dilaksanakan karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil dibandingkan kerugian yang diterima produsen sehingga total net surplus menurun. Kebijakan tersebut merugikan petani kecil dan memperburuk distribusi pendapatan. Jumlah impor beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh harga impor (taraf nyata 10 persen), produksi beras Indonesia (taraf nyata 20 persen), stok beras awal tahun (taraf nyata 5 persen), jumlah penduduk (taraf nyata 10 persen) dan tren waktu (taraf nyata 20 persen). Sedangkan pengaruh dari GDP dan impor beras tahun lalu tidak berbeda nyata dari nol.

Penelitian sebelumnya tentang permintaan dan penawaran beras dilakukan oleh Hutauruk (1996), yang menganalisis mengenai dampak kebijakan harga dasar padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Model yang digunakan adalah model ekonometrika untuk permintaan, penawaran dan harga.

Metode yang digunakan oleh Hutauruk (1996) untuk

mendapatkan model tersebut adalah 3SLS (three stages least squares). Berdasarkan hasil analisis, impor beras tidak responsif terhadap perubahan harga beras impor ataupun nilai tukar, tetapi responsif terhadap perubahan harga beras, produksi dan permintaan beras dalam negeri. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan harga dasar gabah, baik secara individu maupun serentak dengan harga pupuk akan berdampak pada peningkatan produksi beras total, penurunan permintaan beras domestik, penurunan impor, dan peningk atan stok yang dilepas. Sedang kebijakan peningkatan harga pupuk akan mengurangi produksi tanpa mempengaruhi permintaan beras domestik. Selain Sitepu (2002) dan Hutauruk (1996), Andy Mulyana (1998) juga merumuskan model ekonometrika mengenai pasar beras domestik dalam disertasinya yang berjudul “Keragaan Penawaran

dan Permintaan Beras

Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi.” Dalam analisisnya, produksi domestik disegregasikan ke dalam lima wilayah, yaitu Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan sisa Wilayah Indonesia sedangkan analisis permintaan dilakukan secara agregat nasional. Model impor beras yang digunakan Mulyana (1998) menyertakan variabel harga beras domestik, harga beras impor, total produksi beras, stok beras awal

tahun, nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS, bunga pinjaman Bulog dan impor beras tahun lalu sebagai variabel independen. Berdasarkan model impor yang terbentuk, diperoleh hasil bahwa impor beras responsif terhadap perubahan stok beras awal tahun, produksi beras, tren waktu dan impor beras tahun lalu, tetapi tidak responsif terhadap harga beras dan harga impor. Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa Bulog telah berhasil melakukan stabilisasi lewat mekanisme pengelolaan stok, pengadaan dan operasi pasar beras, disertai dengan elastisnya intervensi harga konsumen terhadap harga impor dan produksi, serta relatif stabilnya harga gabah dan beras di pasar domestik menunjukkan bahwa pasar beras diproteksi secara ketat.

Selain itu, pada

kenyataannya negara-negara importir dan eksportir beras utama sangat protektif terhadap pasar beras domestik masing- masing negara dan peran Indonesia sebagai stabilisator

dan

destabilisator

pasar

beras

dunia

relatif

lebih

besar.

Ketidakstabilan pasar beras dunia, biaya impor yang besar pada krisis ekonomi dan potensi peningkatan produksi di luar Jawa dan Bali melalui pengembangan teknologi produksi dan pasca panen merupakan justifikasi bagi upaya swasembada beras pada masa mendatang. Berdasarkan hasil simulasi, kebijakan yang sama tidak selalu direspon dengan arah yang sama di tiap-tiap wilayah.

Kombinasi antara liberalisasi

perdagangan dan penghapusan peran Bulog akan lebih menurunkan produksi dan konsumsi beras dan swasembada beras tidak tercapai dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum siap dalam meliberalisasikan pasar berasnya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan tersebut, Indonesia tidak bisa

lagi mencapai swasembada absolut, tetapi akan menjadi net eksportir beras pada tahun 2013. Farihah (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras serta Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia”. Farihah (2005) menggunakan data BPS dan data modifikasi. Data produksi modifikasi didapat dengan mengurangkan jumlah impor dari jumlah konsumsi, sedangkan data konsumsi modifikasi didapat dengan menjumlahkan produksi dan impor Dari hasil plot data diketahui bahwa dalam data produksi dan konsumsi beras terdapat unsur trend yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Untuk kedua variabel tersebut, metode peramalan yang paling akurat adalah ARIMA. Dalam hasil peramalannya, Farihah (2005) menduga bahwa selama enam tahun ke depan, produksi dan konsumsi beras nasional sama-sama menga lami peningkatan. Berdasarkan peramalan menggunakan data BPS, Indonesia dapat kembali mencapai swasembada beras dan akan terjadi surplus produksi. Namun, jika menggunakan data produksi dan konsumsi modifikasi, sawasembada beras masih belum dapat tercapai. Tiga skenario yang disimulasikan sebagai upaya pencapaian swasembada beras yaitu: 1. Peningkatan Produktivitas.

Rata-rata peningkatan produktivitas yang harus

dicapai yaitu sebesar 0,1678 ton/ha/tahun. 2. Peningkatan Luas Panen. Rata-rata peningkatan luas panen yang harus dicapai yaitu sebesar 492 854,5 ha/tahun.

3. Peningkatan produktivitas yang diikuti peningkatan luas areal.

Diperlukan

rata-rata peningkatan produktivitas sebesar 0,081 ton/ha/tahun dan rata-rata peningkatan luas panen seluas 201 503,67 ha/tahun untuk dapat mencapai swasembada.

2.7.2 Penelitian Tentang Peramalan Penelitian yang memakai metode yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu peramalan diambil tiga buah sebagai pembanding, yaitu penelitian Suhendratmo (2004), Purwanto (2004), dan Mutiarani (2005) Suhendratmo (2004) menganalisis fluktuasi volume gula impor dan harga gula impor serta memprediksi volume impor gula pasir dan harga gula pasir domestik pada masa yang akan datang. Melalui plot data diperoleh bahwa volume gula impor menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya harga gula impor memiliki trend meningkat. Model terbaik dalam analisisnya (dengan kriteria MSE) yaitu ARIMA (1,1,1) untuk volume gula pasir impor dan ARIMA (1,1,2) untuk harga gula pasir domestik. Purwanto melakukan analisis peramalan produksi dan produktivitas tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) di Sumatera dan Jawa. Metode peramalan yang dipakainya adalah ARIMA, dengan kriteria penetapan model dengan menggunakan kriteria MSE terkecil. Penelitian Purwanto (2004) menemukan bahwa pola data yang ditunjukkan, baik produksi maupun produktivitas, di Jawa maupun di Sumatera, untuk ketiga komoditi tersebut tidak stasioner, melainkan memperlihatkan adanya unsur trend meningkat, kecuali trend kedelai pada tahun 1999 – 2002 (Jawa) dan

pada tahun 1995 – 2002 (Sumatera) yang memperlihatkan trend menurun. Model peramalan yang terbaik untuk meramalkan masing- masing variabel diperlihatkan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Model ARIMA Terbaik untuk Meramal Masing-Masing Variabel Variabel Produksi Padi Produksi Jagung Produksi Kedelai Produktivitas Padi Produktivitas Jagung Produktivitas Kedelai

Jawa ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 2, 1,) ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 1,)

Sumatera ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 1, 2,) ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (0, 2, 1,)

Penelitian yang dilakukan oleh Mutiaratri (2005) membahas mengenai peramalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi impor gandum di Indonesia. Volume impor gandum Indonesia diketahui memiliki tren yang semakin meningkat. Metode peramalan yang paling akurat di dalam menduga volume impor gandum adalah dengan metode Box-Jenkins, yaitu dengan model ARIMA (1,2,0). Model tersebut kemudian digunakan untuk meramalkan impor gandum untuk lima periode (tahun) ke depan. Hasil ramalan menunjukkan bahwa selama lima tahun ke depan, impor gandum di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari nilai ramalan impor gandum pada tahun 2008 yang mencapai 6.7691 juta ton, yang bila dibandingkan dengan nilai impor pada tahun 2003 yang berada pada angka 3,48 juta ton meningkat hampir dua kali lipat. Selain melakukan peramalan volume impor gandum, Mutiaratri (2005) juga menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor gandum. Model yang paling baik dalam memenuhi kriteria ekonometrika (tidak terdapat multikolinier, autokorelasi dan heteroskedastisitas) adalah sebagai berikut:

Variabel yang berpengaruh nyata terhadap volume impor gandum adalah produksi terigu dan dummy kebijakan impor gandum (a = 15 persen) dimana dengan semakin meningkatnya produksi terigu, maka impor gandum semakin besar. Kebijakan perdagangan gandum dan terigu yang ditetapkan pemerintah, yaitu peningkatan tarif terigu dan penurunan tarif impor gandum terbukti akan meningkatkan impor gandum.

2.7.3 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengaitkan antara pengaruh impor beras terhadap harga beras domestik untuk kemudian dikaji faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras (termasuk kebijakan pemerintah) dan peramalan impor beras dalam lima periode ke depan.

Penelitian yang

dilakukan oleh Hutauruk (1996), Mulyana (1998), dan Sitepu (2002) lebih banyak menggambarkan tentang keragaan penawaran dan permintaan beras di Indonesia. Penelitian Simbolon (2005) juga hanya mengkaji efek penetapan kebijakan tarif terhadap harga beras domestik dan impor beras. Penelitian ini berfokus pada impor beras, bukan pada keragaan permintaan-penawaran beras nasional, dan kebijakan tarif ditambah dengan proyeksi impor dalam beberapa periode mendatang. Selain itu, analisis efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri serta faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras dikaji dengan menggunakan model regresi berganda dengan persamaan tunggal.

Sementara penelitian

Hutauruk (1996), Mulyana (1998), dan Sitepu (2002) menggunakan persamaan simultan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Perdagangan Internasional Ball dan McCulloch (2000) menyatakan bahwa perdagangan internasional muncul karena adanya perbedaan harga relatif antar negara. Perbedaan ini berasal dari perbedaan biaya produksi, yang diakibatkan oleh: 1. Perbedaan atas karunia Tuhan pada faktor produksi 2. Perbedaan dalam teknologi yang digunakan, yang dapat menentukan intensitas faktor produksi yang diperlukan. 3. Perbedaan dalam efisiensi permintaan faktor produksi 4. Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap negara lain Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 1: Px/Py P1 P2

Px/Py

Sx

S

Px/Py

K

Sx Ekspor

L

M

L’

M’

P3

Impor Negara B

Dx X

K’

D

Dx X

X Perdagangan

Negara A

Gambar 1. Mekanisme Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore (1994)

Kurva pada Gambar 1 memperlihatkan adanya perdagangan internasional, negara A akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik K’ berdasarkan harga relatif komoditi (Px/Py) sebesar P3 , sedangkan negara B akan berproduksi dan berkonsumsi di titik K pada harga relatif komoditi X di P1 . Setelah hubungan

perdagangan berlangsung di antara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berada di antara P1 dan P3 . Apabila harga relatif di negara A lebih besar dari P3 , maka negara A akan memasok lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestiknya. Kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke negara B. Di lain pihak jika harga relatif yang berlaku di negara B lebih kecil dari P1 , maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan akan melebihi penawaran domestiknya.

Hal ini mendorong negara B untuk

mengimpor komoditi X dari negara A. Impor adalah aliran masuk barang dan jasa ke pasar sebuah negara untuk dipakai (Smith dan Blakeslee dalam Mahardika, 2003). Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi suatu negara untuk mengimpor suatu komoditi antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi substitusi serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Selain faktor- faktor tersebut, fungsi impor juga dipengaruhi oleh faktor- faktor dari dalam negeri seperti biaya transportasi, tarif dan selera konsumen

3.1.2 Peramalan Peramalan adalah kegiatan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang (Assauri, 1984). Peramalan terutama diperlukan karena peramalan merupakan alat bantu yang penting dalam perencanaan (Makridakis, McGee dan Wheelwright,1999). Dapat dikatakan bahwa peramalan merupakan dasar untuk penyusunan rencana. Efektif tidaknya suatu rencana yang

disusun sangat ditentukan oleh kemampuan para penyusunnya untuk meramalkan situasi dan kondisi pada saat rencana tersebut dilaksanakan (Assauri,1984). Keputusan yang baik adalah keputusan yang didasarkan atas pertimbangan apa yang akan terjadi pada masa yang akan terjadi pada saat keputusan tersebut dilaksanakan. Apabila ramalan yang dibuat kurang tepat maka keputusan ya ng diambil menjadi tidak tepat (Assauri,1984).

3.1.3 Jenis Peramalan Menurut Assauri (1984), umumnya peramalan dapat dibedakan dari beberapa segi tergantung dari cara melihatnya. Jika dilihat dari jangka waktu ramalan yang disusun, maka peramalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Peramalan jangka panjang, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun. 2. Peramalan jangka pendek, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan dalam jangka waktu kurang dari satu setengah tahun. Berdasarkan sifat ramalan yang telah disusun, maka peramalan dibedakan atas dua macam, yaitu: 1. Peramalan kualitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada masa lalu. Hasil peramalan tersebut ditentukan berdasarkan pemikiran yang bersifat intuisi, judgement atau pendapat, dan pengetahuan serta pengalaman dari penyusunnya. Biasanya peramalan secara kualitatif ini didasarkan atas hasil penyelidikan, seperti Delphi, analogi dan pene litian morfologis, atau didasarkan atas ciri-ciri normatif seperti decision trees.

2. Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif masa lalu. Dengan metode yang berbeda akan diperoleh hasil peramalan yang berbeda, adapun yang perlu diperhatikan dari penggunaan metode- metode tersebut, adalah baik tidaknya metode yang dipergunakan. Metode yang baik adalah metode yang memberikan nilai- nilai perbedaan atau penyimpangan yang sekecil mungkin. Menurut Makridakis, McGee dan Wheelwright (1999), peramalan kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi sebagai berikut: a. Adanya informasi tentang keadaan yang lain; b. Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan dalam bentuk data; c. Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa yang akan datang. Selanjutnya metode peramalan kuantitatif dapat dibedakan atas metode peramalan time series dan metode kausal.

Metode peramalan time series

merupakan metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu, yang merupakan deret waktu. Sedangkan metode kausal yaitu metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhinya.

3.1.4 Metode Peramalan Time Series Metode peramalan time series tidak berusaha menemukan hubungan sebab akibat ataupun faktor yang berpengaruh pada perilaku suatu sistem. Alasannya adalah bahwa sistem tersebut mungkin tidak dimengerti, sulit diukur dan tujuan

utamanya bukanlah mengetahui bagaimana suatu hal terjadi, melainkan untuk meramalkan apa yang akan terjadi (Makridakis, McGee dan Wheelwright, 1999). Metode peramalan dengan menggunakan analisa deret waktu terdiri atas: 1. Metode tren. Metode proyeksi tren berusaha menemukan persamaan garis dasar melalui metode regresi dengan waktu sebagai variabel eksogennya, sehingga dengan dasar persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal- hal yang diteliti untuk untuk masa depan.

Untuk peramalan jangka pendek maupun peramalan jangka panjang,

ketepatan metode peramalan ini sangat baik. 2. Metode smoothing. Metode

smoothing

digunakan

untuk

mengurangi

ketidakteraturan

musiman dari data yang lalu, dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data yang lalu. Ketepatan dari peramalan dengan metode ini akan terdapat pada peramalan jangka pendek, sedangkan ketepatannya untuk peramalan jangka panjang sangat kurang. 3. Metode Box-Jenkins (ARIMA). Metode ini menggunakan dasar deret waktu dengan model matematis, agar kesalahan yang terjadi dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu penggunaan model ini membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya.

Metode ini

sangat baik ketepatannya dalam peramalan jangka pendek, sedangkan untuk peramalan jangka panjang ketepatannya kurang baik.

3.1.5 Memilih Metode Peramalan Time Series Ada enam faktor utama yang dijadikan pertimbangan dalam memilih metode peramalan yang akan digunakan, yaitu: 1. Horizon waktu Aspek dalam horizon waktu yang penting untuk dijadikan pertimbangan adalah cakupan waktu di masa yang akan datang.

Terdapat perbedaan dari

masing- masing metode peramalan dalam ketepatannya memproyeksi suatu variabel. Suatu metode mungkin ketepatannya tinggi untuk jangka pendek, tetapi kurang dalam jangka panjang. 2. Pola data Masing- masing

metode

peramalan

berbeda

kemampuannya

untuk

mengidentifikasi pola-pola data, maka perlu ada penyesuaian antara pola data yang telah diperkirakan terlebih dahulu dengan teknik dan metode peramalan yang akan digunakan. 3. Jenis dari model Banyak metode peramalan telah menganggap adanya beberapa model dari keadaan yang diramalkan. Model- model ini merupakan suatu deret dimana waktu digambarkan sebagai unsur yang penting untuk menentukan perubahan-perubahan dalam pola, yang mungkin secara sistematik dapat dijelaskan dengan analisa regresi atau korelasi.

Model yang lain adalah model kausal, yang

menggambarkan bahwa ramalan yang dilakukan sangat tergantung pada terjadinya sejumlah peristiwa lain, atau sifatnya merupakan campuran dari modelmodel yang telah disebutkan di atas. Masing- masing model memiliki kemampuan yang berbeda dalam analisa keadaan untuk pengambilan keputusan.

4. Biaya Umumnya ada empat unsur biaya yang tercakup dalam penggunaan suatu prosedur ramalan, yaitu biaya pengembangan, biaya penyimpanan data, biaya operasi pelaksanaan dan kesempatan dalam penggunaan teknik-teknik dan metode lainnya.

Adanya perbedaan yang nyata dalam jumlah biaya, mempunyai

pengaruh atas dapat menarik atau tidaknya penggunaan metode tertentu untuk suatu keadaan yang dihadapi. 5. Ketepatan. Tingkat ketepatan yang dibutuhkan sangat erat kaitannya dengan tingkat perincian yang dibutuhkan dalam suatu peramalan.

Dalam beberapa kasus,

penyimpangan 20 persen masih dapat diterima sedangkan dalam kasus yang lain, penyimpangan 5 persen sudah cukup berbahaya. 6. Kemudahan dalam Penerapan Satu prinsip umum dalam penggunaan metode ilmiah dari peramalan untuk manajemen dan analisis adalah metode- metode tersebut dapat dimengerti dan mudah diterapkan dalam pengambilan keputusan dan analisa.

Seorang

pengambil keputusan akan cenderung menggunakan metode yang dia ketahui dan mudah untuk dipergunakan.

3.1.6 Model Ekonometrika Model merupakan suatu penjelasan dan penyederhanaan dari fenomena aktual. Sebuah model ekonomi merupakan penjelasan dari keseluruhan atau sebagian fenomena ekonomi dengan mengabaikan sebagian aspek yang dianggap kurang penting (Koutsouyiannis, 1977).

Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing- masing variabel penjelas terhadap peubah endogen khususnya yang menyangkut tanda dan besaran dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Model yang baik haruslah memenuhi kriteria secara ekonomi, kriteri statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2 ) serta nyata secara statistik sedangkan kriteria ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan

seperti

unbiasedness,

consistency,

sufficiency,

efficiency

(Koutsouyiannis, 1977).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Beras memiliki peran yang besar bagi bangsa Indonesia, utamanya adalah sebagai bahan pangan utama, sumber utama karbohidrat dan protein serta sebagai mata pencaharian bagi sebagian besar warga Indonesia. Besarnya peran beras menggambarkan bahwa beras merupakan komoditas strategis sekaligus komoditas politis. Pertumbuhan penduduk (sebagai salah satu penyebab peningkatan permintaan terhadap beras) yang tinggi di Indonesia menyebabkan permintaan beras tumbuh dengan laju yang cukup tinggi.

Di lain pihak, pertumbuhan

produksi beras hanya sebesar 0.67 persen per tahun. Selain itu, banyak hambatan yang dihadapi produksi beras nasional, di antaranya adalah tingkat rendemen yang terus berkurang dan kompetisi dalam penggunaan lahan. Laju pertumbuhan permintaan akan beras yang tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan produksi beras yang cukup, akan menyebabkan terjadinya

kekurangan pasokan beras dalam negeri dan untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan impor beras. Sejak September 1998, impor beras tidak lagi menjadi monopoli Bulog, meskipun pada tahun 2000 kemudian ditetapkan tarif impor beras sebesar 30 persen. Dengan demikian, keran impor beras semakin terbuka lebar. Permasalahan yang dihadapi dalam mengimpor beras yakni adanya efek negatif dimana impor beras diduga akan menurunkan harga beras dalam negeri dan akhirnya akan menurunkan produksi beras nasional. Kuat dugaan adanya korelasi langsung antara impor beras, harga gabah dan produksi gabah. Makin banyak impor, harga gabah menurun dan produksi menurun3 . Selain itu perlu dilihat apakah kebijakan yang diterapkan pemerintah sudah efektif dalam menurunkan impor beras serta melihat kecenderungan impor beras dalam beberapa periode mendatang. Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bertujuan: (1) menguji pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri; (2) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia; (3) mengetahui pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional; (4) memilih metode peramalan yang terbaik dalam menduga volume impor beras nasional; dan (5) meramal jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang. Dalam penelitian ini akan diuji hipotesa yang menyatakan bahwa harga beras/gabah dalam negeri akan mengalami penurunan jika dilakukan impor beras. Hipotesa tersebut diuji dengan membuat model regresi.

3

loc.cit

Variabel yang

dimasukkan ke dalam model harga beras adalah impor beras dan harga beras periode sebelumnya. Menurut Smith dan Blakeslee dalam Mahardika (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi suatu negara untuk mengimpor suatu komoditi antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi substitusi serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Model dugaan awalnya adalah impor beras dipengaruhi oleh produksi beras periode sebelumnya, kebijakan pemerintah, harga beras dalam negeri, stok beras Bulog awal periode, harga beras impor, nilai tukar rupiah, harga terigu dan konsumsi beras nasional. Pendugaan pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap impor beras dilakukan dengan membentuk model ekonometrika dan dilakukan estimasi parameter dengan OLS (Ordinary Least Squares). Setelah diduga, model diuji dengan uji-F, uji t- hitung, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinier. Dalam usaha mengetahui pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional, data volume impor digambar ke dalam grafik menurut waktu. Sebagai tambahan,

dilakukan

pula

identifikasi

pola

data

dengan

menggunakan

korrelogram. Hasil dari identifikasi pola data kemudian akan digunakan untuk membantu menjawab tujuan penelitian ya ng kedua. Metode peramalan yang akan dicoba akan ditetapkan berdasarkan pola data yang terlihat. Selanjutnya, metode peramalan yang terbaik akan digunakan untuk meramalkan volume impor beras dalam lima kuartal mendatang.

Diharapkan melalui penelitian ini, pembuat kebijakan impor beras mendapatkan masukan yang berarti mengenai jumlah impor yang diperlukan dalam beberapa periode mendatang dan faktor- faktor yang mempengaruhi impor dan beras untuk kemudian dapat menentukan kebijakan yang akan diambil. Efek Negatif Impor Beras Efektivitas Kebijakan Pemerintah Kesenderungan Impor Beras

Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras: Produksi beras domestik Konsumsi beras domestik Harga beras domestik Harga beras dunia Nilai tukar rupiah Kebijakan pemerintah Harga terigu Stok beras Bulog GDP

Model Ekonometrika

Impor Beras

Harga Beras Domestik

Identifikasi Pola Data Impor Beras

Pengaruh Volume Impor Beras terhadap Harga Beras Dalam Negeri

Memilih Metode Peramalan Time Series Terakurat

Model ekonometrika

Peramalan Impor Beras

Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait, yaitu Biro Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Bank Indonesia. Data yang diperlukan antara lain volume impor beras (baik oleh Bulog maupun oleh importir lainnya), produksi beras dalam negeri, harga beras dalam negeri, harga terigu, harga beras dunia, jumlah stok beras yang dimiliki Bulog, dan nilai tukar rupiah.

Sebagai tambahan, diperlukan pula data mengenai

kebijakan pemerintah mengenai impor beras, indeks harga konsumen dan indeks harga perdagangan besar. Untuk menduga pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri, digunakan data triwulan dari tahun 1999 – 2005. Sedangkan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras digunakan data empat bulanan dari tahun 1999 – 2004 dan dalam meramalkan impor beras, data yang digunakan yaitu data tiga bulanan dari tahun 2000 – 2005. Pada model impor beras, digunakan data empat bulanan karena data produksi beras (sebagai faktor yang dianggap paling mempengaruhi impor beras) yang digunakan adalah data empat bulanan. Sebenarnya data produksi bulanan juga bisa diperoleh, tetapi kurang menggambarkan efek musiman dalam produksi beras mengingat beras dapat dipanen tiga kali setahun sehingga yang diambil adalah data empat bulanan.

Peramalan impor beras menggunakan data tiga bulanan periode 2000 – 2005 karena data tahun 1999 tidak relevan untuk dipakai dalam peramalan. Hal ini dikarenakan kebijakan yang diterapkan pada tahun 1999 dan tahun-tahun berikutnya berbeda.

4.2 Pengolahan Data Data yang diperoleh yaitu berupa data kuantitatif. Data kuantitatif yang telah didapatkan kemudian diolah menggunakan program QSB+3.0, Microsoft Excel, dan MINITAB 14 . Sedangkan data yang bersifat kualitatif akan dijelaskan secara deskriptif.

4.3 Analisis dan Interpretasi Data 4.3.1 Model Ekonometrika 4.3.1.1 Spesifikasi Model Spesifikasi model meliputi penentuan peubah penjelas yang terkandung dalam model, tanda, dan besar koefisien parameter fungsi dan bentuk matematis model. Spesifikasi model dilakukan untuk menjelaskan hubungan antar variabel dalam bentuk matematika sehingga fenomena ekonomi dapat dieksplorasi secara empiris. Analisis pengaruh volume impor beras terhadap harga beras dalam negeri dilakukan dengan membentuk model sebagai berikut: LnHBRt = a 0 + a 1 LnQIMt-1 + a 2 LnHBRt-1 Besaran pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri, dianalisis dengan menggunakan konsep elastisitas untuk mengetahui seberapa

jauh perubahan harga beras dalam negeri akibat adanya perubahan dalam jumlah beras yang diimpor (dalam persen), baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Elastisitas jangka pendek diukur dengan koefisien regresi yang didapat ada model dugaan, sedangkan elastisitas jangka panjang diukur dengan menggunakan rumus a 1 / (1 – a 2 ). Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap volume impor beras adalah poduksi beras dalam negeri, konsumsi beras dalam negeri, stok beras Bulog pada awal periode, harga beras dalam negeri periode yang lalu, nilai tukar riil, harga terigu, harga beras impor dan kebijakan pemerintah.

Kebijakan

pemerintah diikutsertakan dalam model sebagai dummy variable, dimana kebijakan bernilai satu ketika tarif impor tidak dikenakan (tahun 1999) dan bernilai nol ketika impor beras sudah dikenakan tarif impor (tahun 2000 – 2004). Variabel GDP dikeluarkan dari model karena data yang tidak tersedia (GDP hanya ada dalam triwulan) sehingga model dugaan awalnya diformulasikan sebagai berikut: QIMt = ß0 + ß1 QBRt-1 + ß2KBJt + ß3 HBRt + ß4 STK t-1 + ß5 HIMt + ß6 NTRt + ß7 HTRt + ß8 QDTt Dimana : QIMt

= impor beras Indonesia (ribu ton)

QBRt-1

= produksi beras Indonesia periode sebelumnya (juta ton)

KBJt

= kebijakan tarif impor beras

HBRt

= harga beras (Rp/kg)

STK t-1

= stok beras Bulog awal periode (juta ton)

HIMt

= harga beras impor (US $/ton)

NTRt

= nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp/$)

HTRt

= harga terigu (Rp/kg)

QDTt

= konsumsi beras (juta ton)

Model yang dibentuk harus dinilai kelayakannya baik secara statistik maupun secara ekonometrik. Secara statistik, model dinilai dengan uji-F, uji thitung, serta koefisien determinasi (R2 ). Secara ekonometrik, dilakukan pengujian apakah model yang dibentuk melanggar asumsi dasar seperti multikolinieritas, homoskedastisitas dan autokorelasi.

4.3.1.2 Uji Statistik terhadap Model 1. Uji F Untuk menge tahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka pada model dilakukan uji F. Mekanisme yang digunakan untuk pengujian: Hipotesis:

H0 : ß1 = ß2 = … = ßi = 0 variabel

(tidak ada pengaruh nyata variabel-

dalam persamaan)

H1 : Minimal ada satu nilai parameter dugaan (ßi) yang signifikan Untuk

i = 1,2,3,…,k ß = dugaan parameter

Statistik uji : F hitung =

Dimana:

SSR / (k-1) SSE/ (n-k)

, dengan derajat bebas = (k-1), (n-k)

SSR = jumlah kuadrat regresi SSE = jumlah kuadrat error k

= jumlah parameter

n

= jumlah pengamatan

Kriteria uji: §

F-hitung < F-tabel : terima H0 , artinya variabel eksogen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat kepercayaan tertentu.

§

F-hitung > F-tabel : tolak H0 , artinya variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat kepercayaan tertentu.

2. Uji t Selain dilakukan uji variabel eksogen secara bersama-sama, dilakukan pula uji parsial (uji t). Uji t bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Mekanisme uji statistik t adalah sebagai berikut: Hipotesis: H0 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen. H1 = perubahan suatu variabel secara individu berpengaruh

nyata

terhadap perubahan variabel endogen. Statistik uji: t-hitung = ßi / S (ßi ), dengan derajat bebas = n – k Dimana:

ßi

= koefisien parameter dugaan

S(ßi)

= standar deviasi parameter dugaan

k

= jumlah parameter

n

= jumlah pengamatan

Kriteria uji: §

|t-hitung| < t- tabel : terima Ho , artinya variabel eksogen yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata a.

§

|t-hitung| > t-tabel : tolak Ho , artinya variabel eksogen yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata a.

3. Uji Goodness of Fit Derajat ketepatan (goodness of fit) diukur dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2 ), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman impor beras dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah terpilih. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut: R2 = 1−

SSE SST

Keterangan: SSE = jumlah kuadrat error SST = jumlah kuadrat total Apabila nilai dari R2 semakin mendekati 1, berarti semakin besar keragaman impor beras yang dapat diterangkan oleh model yang telah dibentuk.

4.3.1.3 Pengujian terhadap Asumsi 1. Uji Autokorelasi Penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier karena metode ini menghasilkan kesimpulan yang pasti sedangkan pada metode uji Durbin Watson terdapat daerah dimana tidak ada kesimpulan yang bisa diambil. Langkah- langkah dalam uji Lagrange Multiplier: Hipotesis:

H0 : ? = 0, tidak terdapat autokorelasi dalam model H1 ; ? ? 0, terdapat autokorelasi di dalam model

Statistik uji: Regresikan µt terhadap intersep, seluruh Xi dan µt-1 , hitung: LM = (n − 1) R 2

Kriteria uji: §

Tolak H0 jika LM > ?2 1(a), artinya terdapat autokorelasi di dalam model

§

Terima H0 jika LM < ?2 1(a), yang menunjukkan bahwa di dalam model tidak terdapat autokorelasi Untuk menguji model yang menggunakan lag variabel dependent dipakai

uji durbin- h. Langkah- langkah dalam menerapkan uji tersebut adalah: Hipotesis:

H0 : ? = 0, tidak terdapat autokorelasi dalam model H1 ; ? ? 0, terdapat autokorelasi di dalam model

Statistik uji:

ρˆ =

∑ µˆ µˆ ∑ µˆ t

t −1 2 t

atau ρˆ = ( 2 − d ) 2

 n' Kemudian hitung h = ρˆ  2 1 − n' s β

  

1/ 2

Dimana n’= n – 1 dan s β2 adalah ragam dari ß lag dependent variabel Kriteria uji: Tolak H0 jika h < -z* atau h > z*, artinya terdapat autokorelasi di dalam model, dimana z* adalah titik pada distribusi normal sedemikian rupa sehingga area di sebelah kanan z* adalah seluas a/2 pada tabel distribusi normal. 2. Uji Multikolinier Multikolinieritas dalam model dapat diidentifikasi dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF variabel independennya lebih besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Nilai VIF dapat dihitung dengan rumus: VIF Xi =

1 1 − R2χ i

Dimana: R 2 χ i = koefisien determinasi dari model dimana Xi adalah fungsi dari variabel lainnya. 3. Uji Heteroskedastisitas Uji terhadap ada tidaknya heteroskedastisitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji Breusch-Pagan. Langkah-langkah dalam uji: Hipotesis: H0

: a2 = a3 = a4 = a5 = a6 = a7 a8 = a9 = 0, tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model

H1

: salah satu a ? 0, terdapat heteroskedastisitas di dalam model

Statistik uji: Persamaan bantu dibentuk dengan meregresikan error terhadap variabel X yang diperkirakan memiliki hubungan yang erat dengan error: ε t2 = a 1 + a 2 X2 + a 3 X3 + ... a p Xp

Hitung LM = nR2 , Dimana:

n = jumlah observasi persamaan bantu R2 = unadjusted R2 persamaan bantu

Kriteria uji: §

Tolak H0 jika LM > ?2 p-1(a), maka di dala m model terdapat heteroskedastisitas

§

Terima H0 jika LM < ?2 p-1(a), yang menunjukkan bahwa residualnya homoskedastis

4.3.2 Identifikasi Pola Data Terdapat empat komponen pola data, yakni tren, musiman, siklus dan iregular.

Tren yaitu merupakan komponen jangka panjang yang mendasari

penurunan atau peningkatan data time series. Musiman (season) merupakan fluktuasi nilai yang terjadi kurang dari satu tahun dan berulang pada tahun-tahun berikutnya. Siklus (cycle) merupakan komponen pola data berupa fluktuasi yang terjadi lebih dari satu tahun di sekitar garis tren. Sedangkan iregular (random) merupakan komponen yang polanya acak dan tidak terdefinisi. Pengidentifikasian pola data dilakukan dengan menelaah plot/grafik variabel tersebut terhadap waktu dan korrelogram. Dengan memplot data historis terhadap waktu dalam grafik, maka pola data bisa diidentifikasi dengan jelas. Cara lain adalah menggunakan korrelogram. autokorelasi dari variabel yang diamati.

Korrelogram merupakan peta

Autokorelasi merupakan korelasi di

antara variabel itu sendiri dengan selang satu atau beberapa periode ke belakang (lag). Autokorelasi lag ke-k didefinisikan sebagai berikut:

rk =

n ∑ (Yt − Y )(Y t − k − Y )

t = k +1

n ∑ (Y t − Y ) 2 t =1

§

Jika didapat rk untuk setiap selang mendekati nol, berarti tidak ada komponen tren.

§

Jika didapat rk yang berbeda nyata dari nol pada selang awal dan secara bertahap menurun mendekati nol maka data tersebut memiliki pola tren.

§

Jika didapat rk yang berbeda nyata dari nol pada selang waktu musiman atau kelipatan selang waktu musiman maka data tersebut memiliki pola musiman.

4.3.3 Metode Peramalan Time Series 4.3.3.1 Model Naive Model ini menggunakan nilai periode saat ini untuk meramalkan nilai dari variabel tersebut pada periode berikutnya. Model yang dipakai adalah Yt+1 = Yt Dimana:

Yt+1

= nilai ramalan Y satu periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

Peramalan menggunakan model naive berguna jika nilai variabel cenderung konstan dari waktu ke waktu. Model ini kurang baik digunakan dalam meramal variabel yang diramal memiliki komponen tren dalam pola datanya.

4.3.3.2 Model Tren Peramalan model tren menggambarkan hubungan dari variabel yang diramalkan terhadap waktu.

Bentuk fungsional model tersebut bergantung

terhadap pola data yang dimiliki variabel yang diamati.

Model tren linier

mengasumsikan adanya perubahan yang konstan dari volume impor beras di setiap periodenya. Apabila impor beras di Indonesia mengalami fluktuasi yang meningkat, maka analisis tren yang sesuai adalah tren kuadratik. Tipe exponential growth sesuai digunakan jika impor beras meningkat dengan laju yang semakin bertambah. Persamaan yang akan dibentuk adalah sebagai berikut: a. Bentuk linier, Yˆt = a + bt b. Bentuk kuadratik, Yˆt = a + b1t + bt 2 c. Bentuk eksponensial, Yˆt = ae bt yang dilinierkan menjadi ln Yˆt = ln a + bt

Dimana:

Yˆt

= nilai dugaan Y pada periode ke-t

a

= intersep

b

= dugaan tren

t

= periode ke-t

4.3.3.3 Model Smoothing Metode peramalan kuantitatif dengan menggunakan model pemulusan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Model Rata-rata Sederhana Model rata-rata sederhana adalah mengambil rata-rata dari semua data dalam kelompok data masa lalu sebagai ramalan untuk periode berikutnya:  n  Yˆt + 1 = Y =  ∑ Yt  n  t =1  Dimana:

Yt+1

= nilai ramalan Y satu periode ke depan

Y

= rata-rata Y

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

n

= jumlah data

Model perataan sederhana akan menghasilkan ramalan yang baik hanya jika proses yang mendasari nilai pengamatan bersifat stasioner. 2. Metode Rata-rata Bergerak Sederhana Dalam metode ini, digunakan nilai ordo (T) yang menyatakan banyaknya observasi pada setiap proses perata-rataan. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick (1994), dalam memilih tongkat ordo T, digunakan metode coba-coba (trial and

error) dan ordo yang dipilih adalah tingkat ordo yang memberikan residual yang paling kecil. Model yang digunakan adalah: Yt + Yt − 1 + ... + Yt − T Yˆt + 1 = T

Dimana:

+1

Yt+1

= nilai ramalan Y satu periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

T

= ordo moving average

3. Model Penghalusan Eksponensial Tunggal Model ini memberikan bobot yang menurun secara eksponensial terhadap nilai pengamatan yang lebih tua. Model pemulusan eksponensial tunggal cocok untuk data yang stasioner, termasuk data volume impor beras di dalam penelitian ini. Bentuk umum yang digunakan adalah: Yˆt + 1 = αYt + (1 − α )Yˆt

Dimana:

Yt+1

= nilai ramalan Y satu periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

a

= konstanta pemulusan (ditentukan dengan cara coba-coba)

Yˆt

= nilai dugaan Y pada periode ke-t

4. Model Penghalusan Eksponensial Ganda Ada dua versi pemulusan eksponensial ganda yang sering digunakan, yaitu pemulusan eksponensial ganda dengan satu parameter (metode Brown) dan pemulusan eksponensial ganda dengan dua parameter (metode Holt). Model Linier Satu Parameter dari Brown Pendekatan ini juga memberikan bobot yang semakin menurun pada observasi masa lalu. Persamaan yang digunakan adalah:

Y t + m = at + bt ( m ) S ′ = αYt + (1 − α ) S ′t − 1 S ′′ = αS ′t + (1 − α ) S ′′t − 1 αt = S ′t + ( S ′t − S ′′t) = 2S ′t − S ′′t bt =

Dimana :

α ( S ′t − S ′′t) 1−α

Yt+m

= nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

a

= konstanta pemulusan

S’

= pemulusan pertama periode ke-t

S”

= pemulusan kedua periode ke-t

at

= dugaan intersep

bt

= dugaan tren

Model Dua Parameter dari Holt Holt memuluskan nilai tren dengan parameter yang berbeda dari parameter yang digunakan pada deret asli. Ramalan dari pemulusan eksponensial linear Holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan dan tiga persamaan:

St = αYt + (1 − α )( St − 1 + bt − 1), bt = γ ( St − St − 1) + (1 − γ )bt − 1, Yt + m = St + btm Dimana :

Yt+m

= nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

St

= nilai pemulusan

bt

= dugaan tren

a

= konstanta pemulusan

γ

= konstanta pemulusan untuk dugaan tren

5. Model Winters Multiplikatif Model Winters didasarkan atas tiga persamaan pemulusan, yaitu satu untuk unsur stasioner, satu untuk tren dan satu untuk musiman sehingga model ini dapat digunakan terhadap data yang memiliki pola data musiman. Persamaan dasar untuk model Winters adalah sebagai berikut: a. Pemulusan Keseluruhan: at = α

Yt + (1 − α )( at − 1 + bt − 1) St − l

b. Pemulusan Trend :

bt = β (at − at − 1) + (1 − β )bt − 1

c. Pemulusan Musiman:

Snt = γ

d. Ramalan:

Yˆt + m = ( at + btm) Snt − l + m

Dimana:

Yt + (1 − γ ) Snt − l at

Yt+m

= nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

at

= nilai pemulusan

bt

= dugaan tren

Snt

= dugaan musiman pada periode t

a

= konstanta pemulusan

ß

= konstanta pemulusan untuk dugaan tren

γ

= konstanta pemulusan untuk dugaan musiman

l

= ordo musiman

m

= jumlah periode ke depan yang akan diramalkan.

6. Model Winters Aditif Model ini digunakan jika variasi dari komponen musiman tetap. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Pemulusan Keseluruhan: at = α (Yt − Snt − l + (1 − α )( at − 1 + bt − 1)

b. Pemulusan Tren:

bt = β (at − at − 1) + (1 − β )bt − 1

c. Pemulusan Musiman:

Snt = γ (Yt − at) + (1 − γ ) Snt − l

d. Ramalan:

Yˆt + m = ( at + btm ) + Snt − l + m

Dimana:

Yt+m

= nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt

= nilai aktual Y pada periode t

at

= nilai pemulusan

bt

= dugaan tren

Snt

= dugaan musiman pada periode t

a

= konstanta pemulusan

ß

= konstanta pemulusan untuk dugaan tren

γ

= konstanta pemulusan untuk dugaan musiman

l

= ordo musiman

m

= jumlah periode ke depan yang akan diramalkan.

4.3.3.4 Model Dekomposisi Model dekomposisi memungkinkan kita memisahkan berbagai pola yang ada dalam data time series yang dimiliki. Bentuk fungsional yang dapat digunakan ada dua, yakni bentuk aditif dan multiplikatif.

Bentuk aditif digunakan jika

variasi komponen musiman tetap sedangkan bentuk multiplikatif digunakan jika variasi komponen musiman membesar secara proporsional terhadap tren. 1. Model Dekomposisi Multiplikatif Yt = Trt * Clt * Snt * Et Prosedur pemisahan masing- masing komponen pola data dilakukan sebagai berikut:

a. Dapatkan indeks musiman •

Hitung centre moving average, dengan panjang average = L (L = banyaknya periode dalam satu tahun)



Jika letaknya tidak tepat pada periode tertentu, centre-kan dengan panjang average dua



Hasilnya berupa Trx * Clx (data time series yang sudah hilang komponen musiman dan error)



Dapatkan kembali komponen Snx * Ex , yakni: Snx * Ex =



Yx Trx * Clx

Hitung indeks musiman dengan menghilangkan error dari Snx * Ex , yaitu dengan cara menghitung rata-rata tiap musim



Seharusnya, jumlah indeks musiman = L, jika tidak, lakukan koreksi, yakni dengan mengalikan masing- masing indeks tersebut dengan L/jumlah indeks musiman



Hasilnya disebut indeks musiman terkoreksi, yakni Sn1 , Sn2 , … SnL

b. Dapatkan dugaan tren •

Hitung deseasonalized data (Dx ), yakni D x =



Dapatkan

model

tren

yang

sesuai,

Yx Snx

dengan

menggunakan

deseasonalized data (Dx ) tersebut sebagai peubah tidak bebas (Y) •

Model tren yang didapat digunakan untuk menghitung dugaan tren untuk setiap periode x (Trx )

2. Model Dekomposisi Aditif Yt = Trt + Clt + Snt + Et Prosedur pemisahan masing- masing komponen pola data dilakukan sebagai berikut: a. Dapatkan indeks musiman •

Hitung centre moving average, dengan panjang average = L (L = banyaknya periode dalam satu tahun)



Jika letaknya tidak tepat pada periode tertentu, centre-kan



Hasilnya berupa Trx + Clx (data time series yang sudah hilang komponen mus iman dan error)



Dapatkan kembali komponen Snx + Ex , yakni: Snx + Ex = Yx – (Trx + Clx )



Hitung indeks musiman dengan menghilangkan error dari Snx + Ex , yaitu dengan cara menghitung rata-rata tiap musim



Seharusnya jumlah indeks musiman = 0, jika tidak, hitung Faktor Koreksi (FK) =

jumlahmean( Sn) , kemudian indeks musiman L

terkoreksi adalah Mean – FK b. Dapatkan dugaan tren •

Hitung deseasonalized data (Dx ), yakni Dx = Yx – Snx



Dapatkan

model

tren

yang

sesuai,

dengan

menggunakan

deseasonalized data (Dx ) tersebut sebagai peubah tidak bebas (Y) •

Model tren yang didapat digunakan untuk menghitung dugaan trend untuk setiap periode x (Trx )

4.3.3.5 Metode Box-Jenkins ARIMA Assauri (1984) menyebutkan bahwa metode ini mengasumsikan bahwa nilai deret data dihasilkan oleh proses stochastic (random) dengan bentuk yang dapat dijelaskan.

Model ARIMA dalam banyak kasus memberikan model

peramalan yang paling akurat untuk set data manapun. Metode ini menawarkan pendekatan yang lebih sistematis dala m membangun, menganalisa dan meramal model time series. Hanya saja, tidak ada prosedur otomatis dalam meng-update model ketika data baru dimasukkan-modelnya harus diduga dari awal lagi. Model ARIMA terdiri atas autoregressive model, moving average model dan Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) model. 1. Model Autoregressive (AR) Model AR adalah persamaan dimana jika series stasioner adalah fungsi linier dari nilai- nilai lampaunya yang berurutan. Secara umum model ini dapat ditulis sebagai berikut: Yt = b0 + b1 Yt-1 + b2 Yt-2 + … + bp Yt-p + e1 Yt

= series yang stasioner

Yt-1 , Yt-2 … Yt-p = nilai lampau series yang bersangkutan bo , b1 , … bp

= konstanta dan koefisien model

et

= kesalahan peramalan yang dihasilkan proses random (whitenoise), diasumsikan mengikuti sebaran bebas dan normal dengan rata-rata nol

Tingkat dari model (nilai p) ditunjukkan oleh banyaknya nilai lampau yang diikutsertakan dalam model. Sebagai contoh, AR (1) merupakan model

Autoregressive tingkat satu yang menggunakan satu nilai lampau terakhir dalam model. 2. Model Moving Average (MA) Jika series yang stasioner merupakan fungsi linier dari kesalahan peramalan sekarang dan masa lalu yang berurutan maka persamaan itu dinamakan moving average model (MA).

Bentuk umum model ini dapat ditulis sebagai

berikut: Yt = a0 + et – a1 et-1 – a2 et-2 - … - aqet-q Yt

= nilai series yang stasioner

et

= kesalahan peramalan yang dihasilkan oleh proses random (whitenoise) yang diasumsikan mengikuti sebaran bebas dan normal dengan rata-rata nol.

et-1 , et-2 , … et-q = kesalahan peramalan masa lalu a0 , a1 , a2 , … aq = konstanta dan koefisien model, mengikuti konvensi diberikan tanda negatif Tingkat model MA ini (nilai q) ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan masa lampau yang digunakan dalam model. Jika dalam model digunakan dua kesalahan peramalan pada masa lampau maka dinamakan model moving average tingkat dua, ditulis MA (2). 3. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Model ARIMA adalah gabungan dari model AR dan model MA. Pada model ini series stasioner adalah fungsi dari nilai lampaunya dan nilai sekarang seta kesalahan lampaunya. Bentuk umum model ini adalah: Yt = b0 + b1 Yt-1 + … + bp Yt-p + et – a1 et-1 – … - aqet-q

Secara

umum

notasi

model

ARIMA

yang

diperluas

dengan

memperhatikan unsur musiman adalah sebagai berikut: ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam setahun Tahapan dalam Metode Box-Jenkins (ARIMA) Metode ARIMA dapat digunakan melalui tiga tahap yang dapat digambarkan melalui skema berikut ini: Rumuskan kelompok modelmodel yang umum Tahap 1 Identifikasi Model

Tahap 2 Estimasi dan Pengujian Model

Penetapan model untuk sementara Penaksiran parameter pada model sementara

Tidak Memadai

Pemeriksaan diagnostik (Apakah model memadai?) Ya

Tahap 3 Penerapan Model

Gunakan model untuk peramalan

Gambar 3. Tahapan dalam Metode Box Jenkins Keterangan : Garis putus-putus membatasi antara satu tahap dan tahap berikutnya. Sumber :.Makridakis,McGee dan Wheelwrigth, 1999.

1. Tahap Identifikasi Pada tahap identifikasi, variabel yang akan diramalkan terlebih dahulu diuji kestasioneran datanya. Kestasioneran data dapat diuji dengan cara plot data dan menghitung autocorrelation function (ACF). Melalui plot data, dilihat secara visual apakah data memiliki kecenderungan semakin meningkat, semakin menurun, atau terdapat fluktuasi musiman. Sedangkan dari nilai ACF, jika nilai

ACF mendekati nol pada lag kedua atau ketiga, maka data tersebut stasioner. Jika data yang diamati memiliki pola musiman, pada plot ACF akan terlihat nilai ACF yang signifikan pada kelipatan musimannya. Dalam prakteknya, banyak deret data Yt merupakan data non-stasioner. Deret data tersebut dapat dijadikan stasioner dengan melakukan proses differencing. Jumlah berapa kali dilakukan proses differencing (d) menunjukkan tingkat diferensiasi model. Misalkan Yt non-stasioner, setelah kemudian dibuat diferensiasi tingkat satu.

Zt = ? Yt = Yt – Yt-1 , ternyata diperoleh nilai Zt

stasioner, maka Zt dapat dikatakan first order homogenous dan Yt dikatakan nonstasioner tingkat satu. Untuk pola data yang mengandung unsur musiman, secara khusus dapat digunakan model seasonal ARIMA. Unsur musiman dapat dihilangkan dengan seasonal differencing. Jika datanya merupakan data tiga bulanan maka bentuk seasonal difference-nya adalah: Zt = Yt – Yt-4 = (1 – B)4 Yt Setelah data menjadi stasioner, langkah yang selanjutnya dilakukan adalah menentukan model tentative.

Untuk menentukan model tentative, diperlukan

analisis perilaku dari ACF dan PACF. Pola perilaku ACF dan PACF bisa berpola cut off dan dies down. Pertama, ACF dan PACF dari data time series bisa berpola cut off. Pola cut off adalah pola ketika garis ACF dan PACF signifikan pada lag pertama dan/atau kedua tetapi kemudian tidak ada garis ACF dan PACF yang signifikan pada lag berikutnya. Untuk pola cut off, perbedaan antar AC dan PAC yang

signifikan dengan AC dan PAC yang tidak signifikan adalah besar sehingga garis AC dan PAC terlihat terpotong (cut off). Kedua, ACF dan PACF dikatakan memiliki perilaku dies down jika kedua fungsi tersebut tidak terpotong, melainkan menurun secara bertahap. Bentuk penurunannya bisa tanpa ataupun dengan osilasi ataupun berbentuk gelombang sinus. Penentuan apakah suatu data time series dimodelkan dengan AR, MA atau ARIMA tergantung pola ACF dan PACF. Model AR digunakan jika plot ACFnya dies down sementara PACF-nya cut off. Model MA digunakan jika plot ACFnya cut off dan plot PACF-nya dies down. Sedangkan jika kedua plot ACF dan PACF sama-sama dies down, maka model yang digunakan adalah model ARIMA. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Model Box-Jenkins Berdasarkan ACF dan PACF Model ACF Autoregressive Dies down Yt = b0 + b1 Yt-1 + b2 Yt-2 + … +bp Yt-p + e1

PACF Cut off pada lag p

Moving Average Yt = a0 + et – a1et-1 – a2 et-2 - … - aq et-q

Dies down

Cut off pada lag q

ARIMA Dies down Yt =b0 +b1 Yt-1 +…+bp Yt-p +et –a1et-1–…-aqet-q

Dies down

Sumber: Bowerman dan O’Connell (1993)

2. Tahap Estimasi dan Pengujian Model Dalam melakukan estimasi, penelitian ini menggunakan bantuan komputer, yakni software MINITAB versi 14.

Setelah dilakukan estimasi

koefisien, baik koefisien autoregressive maupun moving average masing- masing diuji signifikansinya dengan menggunakan uji t.

Selain signifikansi koefisien, terdapat beberapa hal lainnya yang diuji dalam tahapan diagnostic checking, antara lain: 1. Kondisi stationarity, autoregressive.

bisa

dilihat

dari

jumlah

seluruh

koefisien

Jumlah koefisien autoregressive harus kurang dari |1|.

Jika model yang digunakan adalah model moving average, maka tidak ada kondisi stationarity yang harus dipenuhi. 2. Kondisi invertibility, yang menyatakan bahwa jumlah dari koefisien moving average harus kurang dari |1|. Jika model yang digunakan adalah autoregressive, maka tidak ada kondisi invertibility yang harus dipenuhi. 3. Iterasi harus konvergen, artinya estimasi yang dilakukan efisien dan tidak ada lagi estimator yang menghasilkan SSE yang lebih kecil.

Hal ini

ditunjukkan dalam output MINITAB 14 dengan kata-kata ”relative change in each estimate less than 0.001”. 4. Error dari model harus bersifat random. Hal ini terlihat dari modified Box Pierce (Ljung-Box-Pierce) Q statistic. Jika Q > ?2 dengan m = p-q derajat bebas maka model tidak akurat.

Statistik Q dapat dihitung dengan m

2

r menggunakan rumus Qm = n( n + 2)∑ k atau dengan melihat p-value k =1 n − k dari statistik Q dimana jika p-value kurang dari a (5 persen) maka error yang dihasilkan berarti tidak bersifat acak dan model tidak cukup baik. 3. Tahap Penerapan Model Model yang telah memenuhi semua syarat pada diagnostic checking dapat digunakan untuk meramalkan variabel, tentu saja jika menurut kriteria pemilihan model, model ARIMA lebih baik dibandingkan dengan model lainnya. Selain model tentative, model ARIMA yang lain juga patut untuk dicoba. Jika ternyata

model ARIMA selain model tentative memiliki RMSE lebih kecil, maka model itulah yang akan dipilih.

4.3.4 Memilih Metode Peramalan Time Series Penelitian ini menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) sebagai kriteria dalam membandingkan ketepatan dari moetode peramalan yang

digunakan, dimana RMSE dirumuskan sebagai :

RMSE =

∑e

t

2

n

Pendekatan ini memberikan bobot yang lebih besar untuk error yang besar dengan mengkuadratkan masng- masing error. Hal ini penting karena model yang memberikan error yang moderat lebih disukai dibandingkan dengan model yang memberikan error yang kecil, tetapi pada beberapa periode t memberikan error yang sangat besar (Hanke dan Reitsch, 1992). RMSE lebih dipilih daripada MSE karena satuan RMSE lebih bisa dibaca secara intuitif dibandingkan dengan MSE.

4.4 Definisi Operasional Beberapa variabel yang perlu didefinisikan secara operasional dalam penelitian ini antara lain: §

Beras impor, adalah beras yang didatangkan dari luar negeri secara legal yang termasuk ke dalam klasifikasi SITC 042 (ribu ton)

§

Harga beras dalam negeri yang diambil merupakan harga beras eceran kualitas medium di kota-kota besar di Indonesia (Rp/kg)

§

Harga beras impor yang diambil merupakan rata-rata empat bulan dari nilai impor beras (CIF) dibagi dengan jumlah impor beras (US$/ton)

§

Produksi beras, didapat dari produksi padi nasional (GKG) yang dikalikan dengan suatu faktor konversi (0.625) (juta ton)

§

Permintaan beras jumlah total beras yang diminta baik untuk industri maupun untuk kebutuhan rumah tangga (juta ton)

§

Nilai tukar rupiah yang diambil adalah rata-rata empat bulanan dari nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang telah dideflasi (Rp/US$)

§

Dummy kebijakan, KBJ bernilai 1 ketika impor beras dilakukan secara bebas tanpa tarif (tahun 1999), 0: ketika tarif diterapkan (tahun 2000 – 2004)

§

Harga terigu yang diambil merupakan rata-rata harga terigu empat bulanan yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)

§

Stok beras Bulog awal periode merupakan stok beras Bulog pada akhir periode sebelumnya (juta ton)

4.5 Hipotesis 1. Lag volume impor beras berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik dan semakin besar volume impor beras pada suatu periode maka harga beras domestik pada periode berikutnya akan semakin rendah. 2. Volume impor beras dipengaruhi oleh harga beras impor, harga beras domestik, produksi domestik, permintaan beras domestik, nilai tukar rupiah, PDB Indonesia, stok beras Bulog dan kebijakan pemerintah dengan tanda yang diharapkan untuk variabel harga terigu, harga beras domestik, permintaan beras domestik, dan dummy kebijakan pemerintah adalah positif sementara untuk variabel harga beras impor, produksi domestik, nilai tukar riil dan stok beras Bulog diharapkan bertanda negatif

V. ANALISIS IMPOR BERAS INDONESIA

5.1 Pengaruh Impor Beras Terhadap Harga Beras Domestik 5.1.1 Spesifikasi Model Model yang dirumuskan dalam upaya menerangkan pengaruh volume impor beras terhadap harga beras dalam negeri adalah model regresi berganda, dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS).

Model dibentuk

dengan memasukkan dua variabel, yakni impor beras periode sebelumnya serta harga beras periode sebelumnya. Model hasil dugaan diperoleh sebagai berikut: LnHBR = 0.424 – 0.0102 LnLagQIM + 0.963 LnLagHBR Dimana:

HBR

= harga beras domestik (Rp/kg)

lagQIM

= volume impor beras periode sebelumnya (ribu ton)

lagHBR

= harga beras periode sebelumnya (Rp/kg)

5.1.2 Pengujian Asumsi OLS 1. Uji Autokorelasi Pengujian terhadap ada tidaknya autokorelasi tidak bisa dilakukan dengan uji Lagrange Multiplier karena pada model terdapat lag dependent variable, yaitu lag HBR.

Uji dilakukan dengan statistik Durbin- h dan menghasilkan nilai h

sebesar -0,79242 (Lampiran 2). Nilai mutlak statistik Durbin- h lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai kritisnya yaitu sebesar 1.645 untuk taraf nyata 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model dugaan tidak terdapat masalah autokorelasi.

2. Uji Multikolinier Multikolinieritas dalam model dapat diidentifikasi dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF variabel independennya lebih besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Dengan berpedoman pada hasil output regresi dengan MINITAB 14 (Lampiran 1), terlihat bahwa ternyata nilai VIF dari kedua variabel (impor beras periode sebelumnya dan harga beras periode sebelumnya) lebih kecil dari 10 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinieritas di dalam model dugaan. 3. Uji Heteroskedastisitas Asumsi homoskedastisitas yang menyatakan bahwa variasi dari setiap residua l adalah sama (konstan) atau menyebar secara homogen, diuji menggunakan uji Breusch-Pagan.

Uji ini menggunakan auxiliary regression

dimana variabel independen diregresikan terhadap kuadrat dari residual. Dengan menghitung statistik LM = nR2 , didapat besaran LM (Lampiran 3) adalah 2.295. Nilai tersebut adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai distribusi chi-square untuk derajat bebas 2 pada taraf nyata 5 persen yaitu sebesar 5.99146. Hasil uji tersebut menunj ukkan bahwa di dalam model tidak terdapat heteroskedastisitas.

5.1.3 Uji Statistik Terhadap Model 1. Uji F Uji F digunakan untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Dari hasil output MINITAB 14 diperoleh nilai F hitung sebesar 118.10. Terlihat dari nilai p-value pada tabel

ANOVA yang bernilai 0.000 (Lampiran 1) atau lebih kecil dibandingkan a 5 persen yang berarti bahwa nilai F hitung yang didapat adalah signifikan bahkan untuk a = 5 persen.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan, variabel impor beras periode sebelumnya dan harga beras periode sebelumnya secara signifikan berpengaruh terhadap harga beras domestik. 2. Uji t Uji t digunakan dalam menguji apakah variabel volume impor beras periode sebelumnya serta variabel harga beras periode sebelumnya secara individu mempengaruhi harga beras domestik. Statistik uji t dan p-value kedua variabel tersebut ditunjukkan dalam Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa variabel impor beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 15 persen sedangkan variabel harga beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 1 persen.

Tabel 7. Nilai Dugaan Model Harga Beras Indonesia Variabel

Koefisien

SE Koefisien

Konstanta

0.4235

0.4325

Lag Impor Beras

-0.010167

Lag Harga Beras

0.96295

T

P

0.98

0.337

0.008443

-1.20

0.240

0.08371

11.50

0.000

3. Goodness of Fit Goodness of fit bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman harga beras domestik dapat diterangkan oleh variabel impor beras periode sebelumnya serta harga beras periode sebelumnya. Koefisien determinasi sebesar 88.6 persen menunjukkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam model dugaan dapat menerangkan variasi/keragaman harga beras sebesar 88.6

persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 11.4 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model (Lampiran 1).

5.1.4 Interpretasi Model Dugaan Harga Beras Indonesia Pada model dugaan harga beras domestik, ternyata diketahui bahwa variabel impor beras periode sebelumnya secara nyata mempengaruhi harga beras domestik dengan taraf kepercayaan 85 persen. Pengaruh impor beras periode sebelumnya terhadap harga beras dalam negeri adalah negatif, yang berarti bahwa dengan semakin meningkatnya impor beras Indonesia periode sebelumnya, maka harga beras dalam negeri akan semakin menurun.

Berdasarkan penelitian

terdahulu, penawaran beras Indonesia berasal dari produksi beras, perubahan stok beras Bulog dan impor.

Dengan demikian, peningkatan jumlah impor berarti

meningkatkan penawaran. Jika diasumsikan permintaan tetap, maka peningkatan penawaran tersebut menyebabkan jumlah keseimbangan meningkat dan harga keseimbangan turun.

Tabel 8. Nilai Elastisitas Harga Beras Domestik terhadap Impor Beras Elastisitas

Besaran

Jangka Pendek

-0.010167

Jangka Panjang

- 0.274413

Nilai elastisitas harga terhadap impor jangka pendek adalah sebesar – 0.010167 sedangkan elastisitas jangka panjangnya adalah sebesar – 0.2744. Nilai kedua elastisitas tersebut menunjukkan bahwa jika impor beras periode sebelumnya meningkat sebesar 10 persen, maka dalam jangka pendek harga beras

dalam negeri rata-rata akan turun sebesar 0.10167 persen sedangkan dalam jangka panjang harga beras dalam negeri akan turun sebesar 2.744 persen. Berdasarkan hasil yang didapat melalui model harga beras yang terbentuk, diketahui bahwa adanya impor beras memang akan menurunkan harga beras domestik. Penurunan harga beras tersebut menyebabkan harga gabah juga ikut menurun sehingga keuntungan yang didapat dari usahatani padi menurun. Penurunan keuntungan tersebut dalam jangka panjang dapat menyebabkan petani meninggalkan usahatani padi sehingga produksi beras dikhawatirkan semakin menurun. Karena itu, diusahakan agar impor beras tidak terlalu besar dengan menerapkan kebijakan perdagangan yang akan menurunkan impor beras.

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Beras Indonesia Efektivitas kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah dianalisis dengan membentuk model ekonometrika. Selain kebijakan perdagangan, faktorfaktor lain yang mempengaruhi besaran impor beras juga perlu diketahui sehingga bisa diupayakan antisipasi jika kemudian faktor-faktor tersebut nantinya akan menyebabkan peningkatan impor beras.

5.2.1 Spesifikasi Model Model yang dirumuskan dalam upaya menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras adalah model regresi berganda, dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS).

Faktor- faktor yang diduga

mempengaruhi impor beras yaitu nilai tukar riil, harga komoditas substitusi (dalam hal ini terigu), harga beras impor, harga beras domestik, kebijakan

pemerintah, stok beras Bulog awal periode, konsumsi beras dan produksi beras domestik periode sebelumnya. Model hasil dugaan diperoleh sebagai berikut: QIM = 12528 – 0.567 NTR – 3.70 HTR – 2.88 HIM + 1453 KBJ + 1.97 HBR –

96 STK – 1024 QDT – 11.0 LQBR

Ternyata pada model dugaan awal, terdapat multikolinier sehingga model perlu diduga ulang (Lampiran 4). Dengan penyesuaian variabel independennya dimana variabel stok beras Bulog dan konsumsi beras Indonesia dihilangkan, diperoleh model yang memenuhi semua asumsi OLS. Model tersebut adalah: QIM = 2749 – 4.19 HTR + 1364 KBJ + 3.50 HBR – 11.1 QBRt-1 – 0.410 NTR – 3.23 HIM Dimana: QIMt

= impor beras Indonesia (ribu ton)

HIMt

= harga beras impor (US $/ton)

NTRt

= nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp/$)

HTRt

= harga terigu (Rp/kg)

HBRt

= harga beras (Rp/kg)

KBJt

= kebijakan tarif impor beras (1 ketika tanpa tarif, 0 lainnya)

QBRt-1

= produksi beras Indonesia periode sebelumnya (juta ton)

5.2.2 Uji Terhadap Asumsi OLS Model akhir yang didapat telah memenuhi asumsi-asumsi OLS sebagai berikut: 1. Uji Autokorelasi Uji untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dalam model dugaan dilakukan dengan menggunakan uji LM.

Berdasarkan hasil uji LM pada

Lampiran 7, didapat bahwa besaran LM adalah 1.785. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai chi-square dengan derajat bebas 1 dan taraf nyata 5 persen, yaitu sebesar 3.84146. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam model akhir yang didapat, asumsi serial indepedence dapat dipenuhi. 2. Variabel independen yang saling bebas Penelitian ini menggunakan indikator VIF dalam melakukan uji terhadap ada tidaknya multikolinier pada model. Berdasarkan hasil output Minitab 14 pada Lampiran 5, terlihat bahwa nilai VIF dari semua variabel lebih kecil dari 10, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model akhir yang didapat, tidak terdapat masalah multikolinieritas yang berarti bahwa variabel independen yang ada saling bebas satu sama lain. 3. Homoskedastisitas Asumsi homoskedastisitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan uji Breusch-Pagan. Uji tersebut menggunakan LM sebagai statistik ujinya. Nilai LM yang diperoleh adalah sebesar 7.686 (Lampiran 6). Nilai statistik uji tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai chi-square dengan derajat bebas 6 dan taraf nyata 5 persen yaitu sebesar 12.5916. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada model akhir yang diperoleh asumsi homoskedastisitas dapat dipenuhi.

5.2.3 Uji Statistik Terhadap Model 4. Uji F Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka pada model dilakukan uji statistik F. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah

variabel eksogen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Dari hasil output MINITAB 14 pada Lampiran 5, diperoleh nilai F hitung sebesar 41.5. Pada Tabel ANOVA di Lampiran 5 terlihat bahwa p-value dari F-hitung adalah sebesar 0.000 yang berarti lebih kecil dari a 5 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, variabel- variabel independen yang terdapat di dalam model secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah beras yang akan diimpor oleh Indonesia. 5. Uji t Variabel-variabel independent yang disertakan dalam model selain diuji secara bersama-sama, juga diuji secara terpisah dengan menggunakan uji t. Uji t bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hasil t- hitung dan p-value yang didapat melalui software Minitab 14 ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Dugaan Model Impor Beras Indonesia Variabel

Koefisien

SE Koefisien

2 749

1090

2.52

0.028

Harga Terigu

- 4.189

1.502

-2.79

0.018

Dummy Kebijakan Pemerintah

1 363.6

223.4

6.10

0.000

3.504

1.157

3.03

0.011

Produksi Beras Periode Sebelumnya

-11.066

8.663

-1.28

0.228

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar

-0.4102

0.1589

-2.58

0.026

-3.231

1.141

-2.83

0.016

Konstanta

Harga Beras Dalam Negeri

Harga Beras Impor Indonesia

T

P

Berdasarkan Tabel 9, variabel harga terigu, kebijakan pemerintah, harga beras dalam negeri dan harga beras impor Indonesia signifikan pada taraf nyata 1 persen. Sementara variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar AS signifikan pada

taraf nyata 5 persen dan variabel produksi beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 15 persen. 6. Goodness of Fit Derajat ketepatan (goodness of fit) diukur dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2 ), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman impor beras dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah terpilih. Koefisien determinasi sebesar 93.5 persen (Lampiran 5) menunjukkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam model dugaan dapat menerangkan variasi/keragaman impor beras sebesar 93.5 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 6.5 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

5.2.4 Interpretasi Model Dugaan Impor Beras Indonesia Model impor beras yang telah diperoleh cukup layak untuk digunakan dalam menjelaskan perilaku impor beras Indonesia. Karena nilai t- hitung dari masing- masing variabel lebih besar dari nilai kritisnya, berarti seluruh variabel yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap variabel impor beras Indonesia. Nilai R-square adjusted sebesar 93.5 persen juga menunjukkan bahwa model yang dibentuk secara memuaskan dapat menjelaskan keragaman dalam data. Interpretasi terhadap model dugaan adalah sebagai berikut: 1. Impor beras Indonesia juga secara signifikan dipengaruhi oleh produksi beras nasional periode sebelumnya dengan taraf nyata 15 persen.

Hasil yang

didapat dalam penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan hubungan negatif antara produksi dan impor beras. Model akhir impor beras Indonesia menunjukkan adanya hubungan negatif antara produksi beras

nasional dengan impor beras dimana dengan peningkatan produksi sebesar satu juta ton, maka impor beras akan menurun sebesar 11 ribu ton. 2. Volume impor beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh perubahan kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah. Dummy kebijakan yang digunakan dalam model adalah dummy dua kategori dimana variabel tersebut bernilai 1 ketika impor beras tidak dikenakan tarif (tahun 1999) dan bernilai 0 ketika tarif impor beras sudah diberlakukan (tahun 2000 – 2004). Dengan ditetapkannya tarif impor beras, maka impor beras rata-rata menurun sebesar 1 363.6 ribu ton dibandingkan jika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan tarif impor.

Dengan dikenakannya tarif, harga beras impor akan menjadi

semakin mahal sehingga importir beras (impor sudah bukan monopoli Bulog) mengurangi impor yang dilakukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan tarif impor cukup efektif di dalam upaya menurunkan imor beras. 3. Hubungan antara harga beras dalam negeri dan impor beras Indonesia, berdasarkan data time series 1999 – 2004 merupakan hubungan positif dan pengaruh harga beras dalam negeri tersebut nyata pengaruhnya terhadap impor beras Indonesia (a 1 persen).

Hal tersebut sesuai dengan hipotesis awal

dimana dengan semakin tingginya harga beras domestik, maka impor beras akan semakin meningkat. Jika harga beras meningkat sebesar Rp 100,-/kg maka impor beras akan meningkat rata-rata sebesar 350.4 ribu ton. Kebijakan pemerintah mengenai harga beras adalah menjaga agar harga beras tidak terlalu tinggi dan memberatkan masyarakat.

Ketika harga beras menjadi

terlalu tinggi, pemerintah melakukan operasi pasar dengan mengeluarkan stok

berasnya yang disimpan di gudang Bulog. Bila stok beras pemerintah dirasa kurang pemerintah lebih memilih untuk melakukan impor beras dalam memenuhi stok berasnya 4 .

Apalagi sejak tahun 1998 harga beras domestik

selalu berada di atas paritas impornya sehingga menjadikan pemenuhan stok melalui impor menjadi pilihan yang lebih murah dibandingkan mencukupi stok dari dalam negeri (Kasryno, 2004). 4. Impor beras Indonesia juga dipengaruhi secara nyata oleh harga beras impor dengan tanda koefisien negatif (a 1 persen). Tanda koefisien yang negatif menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya harga beras impor, maka impor beras Indonesia akan mengalami penurunan. Jika harga beras impor meningkat sebesar US $ 1/ton maka impor beras rata-rata turun sebesar 3.231 ribu ton. Hasil tersebut sesuai dengan dugaan awal dimana hubungan yang diharapkan antara harga dan volume beras impor adalah negatif. Importir beras mendapat keuntungan dengan mengambil margin antara harga beras impor dan harga beras dalam negeri. Harga beras impor yang ringgi membuat margin yang bisa dinikmati importir beras berkurang sehingga volume impor beras Indonesia menurun. 5. Harga terigu sebagai komoditas substitusi untuk beras juga berpengaruh nyata (a 1 persen) terhadap impor beras Indonesia dan keduanya memiliki hubungan negatif. Hasil yang didapat berlawanan dengan hipotesis awal bahwa jika terigu merupakan komoditas substitusi beras, maka dengan semakin meningkatnya harga terigu, maka konsumsi akan beras akan naik dan hal ini mendorong peningkatan impor. Hubungan yang negatif tersebut berarti terigu

4

Jonathan Lassa.2005. Ketahanan Pangan Indonesia, Kompas 29 November

bukanlah komoditas substitusi bagi beras.

Hal tersebut juga bisa berarti

bahwa beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia tidak memiliki

komoditas

substitusi

(Ariani,

2004).

Walaupun

sudah

mengkonsumsi mie ataupun roti (produk olahan terigu), masyarakat di Indonesia tetap memakan nasi (produk olahan beras) dan posisi mie dan roti adalah sebagai pelengkap (komoditas komplemen) nasi/beras. Jika harga terigu naik sebesar Rp 100,-/kg maka impor beras akan turun sebesar 418 ribu ton. 6. Faktor lain yang juga mempengaruhi impor beras adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan taraf nyata 5 persen. Jika nilai tukar melemah (naik Rp 1,-/US $), maka impor beras Indonesia akan menurun sebesar 0.4102 ribu ton. Hal ini sesuai dengan teori makroekonomi dimana nilai tukar yang melemah menyebabkan harga barang impor menjadi relatif lebih mahal sehingga jumlah barang yang diimpor berkurang. Nilai tukar yang melemah membuat pembiayaan yang harus dilakukan dalam mengimpor beras (baik oleh pemerintah maupun swasta) semakin besar.

5.3 Eksplorasi Pola Data Impor Beras Indonesia Setelah mengetahui efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri dan faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras Indonesia, perlu dilakukan upaya untuk mengetahui kecenderungan impor beras Indonesia ke depannya. Upaya tersebut dilakukan salah satunya adalah dengan peramalan time series. Langkah pertama dalam peramalan time series adalah dengan menganalisis pola data yang ditunjukkan impor beras Indonesia pada periode-periode sebelumnya.

Untuk mengetahui pola data impor beras, dapat dilakukan dengan memplotkan data impor beras terhadap waktu/periode.

Data yang digunakan

adalah data impor beras tiga bulanan dari tahun 2000 hingga 2005. Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa data impor beras Indonesia pada periode 2000 – 2005 memperlihatkan fluktuasi yang cukup besar dan tidak memiliki pola tren, melainkan berubah di sekitar nilai tengahnya (stasioner). Stasioneritas data juga terlihat dari nilai ACF yang tidak signifikan dari lag ketiga (Lampiran 8).

700 600 500 400 300 200 100 0 20 00 a 20 00 c 20 01 a 20 01 c 20 02 a 20 02 c 20 03 a 20 03 c 20 04 a 20 04 c 20 05 a 20 05 c

ribu ton

Impor Beras Indonesia 2000 - 2005

Periode

Gambar 4. Plot Data Impor Beras Indonesia 2000 – 2005 Sumber: Buletin Statistik Impor, 2000 – 2005 (diolah)

Mulai tahun 2000, impor beras dikenakan tarif impor sebesar Rp 430,-/kg dan pada tahun–tahun berikutnya, bentuk tarif yang dikenakan adalah tarif progresif sebesar 30 persen dimana besaran tarif impor mengikuti harga beras impor. Impor beras sejak tahun 1999 sudah tidak dimonopoli oleh pemerintah (Bulog). Pada awalnya, impor beras masih besar terpengaruh produksi pada periode sbelumnya dan mencapai angka 1 juta ton. Kemudian pada tahun 2001 impor

beras menurun. Namun impor beras pada tahun 2002 dan 2003, meningkat lagi. Hal ini berkenaan dengan kekeringan yang melanda pada tahun 2002. Sejak tahun 2004, impor beras kembali mengalami penurunan. Hal ini berkaitan dengan produksi beras yang sudah membaik, juga karena harga beras impor mengalami peningkatan karena turunnya produksi beras dunia pada periode sebelumnya (Kasryno, 2004; Husodo, 2005). Selain itu, penurunan tersebut juga berkaitan dengan adanya pelarangan impor beras selama satu bulan menjelang panen raya, selama panen raya dan dua bulan setelah panen raya oleh pemerintah melalui SK No 9/MPP/Kep/1/2004. Selain fluktuasi tahunan, impor beras juga memiliki fluktuasi musiman. Hampir setiap tahun, pada kuartal ketiga impor beras mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan produksi beras yang mencapai puncaknya pada musim tanam pertama. Karena efek produksi terhadap impor beras tidak berlangsung dalam periode yang sama, penurunan impor beras sebagai akibat peningkatan produksi baru terjadi pada kuartal ketiga setiap tahunnya. Peningkatan impor pada kuartal pertama dan kedua juga disebabkan oleh fluktuasi musiman produksi beras.

5.4 Metode Peramalan Time Series Impor Beras Indonesia Berdasarkan identifikasi pola di atas, diketahui bahwa impor beras memiliki pola data yang stasioner. Dengan demikian, metode peramalan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain model naive, analisis trend, rata-rata bergerak sederhana, pemulusan eksponensial tunggal, pemulusan eksponensial ganda satu parameter dari Brown dan model pemulusan eksponensial ganda dua parameter dari Holt, model Winter’s, model dekomposisi, serta model ARIMA.

5.4.1 Model Naive Model naive mengasumsikan bahwa nilai suatu variabel pada periode mendatang sama dengan nilai variabel tersebut pada periode saat ini

Model

peramalan model naive adalah sebagai berikut: Yt+1 = Yt RMSE yang didapat dari peramalan menggunakan model naive adalah sebesar 187.5988.

5.4.2 Model Analisis Tren Model analisis tren yang digunakan meliputi beberapa tipe fungsional, yaitu tren linier, kuadratik dan exponential growth.

Dengan menggunakan

software MINITAB 14, didapatkan bentuk model untuk setiap tipe dalam menganalisis tren impor beras di Indonesia (Tabel 10). Model analisis tren yang memiliki RMSE terkecil adalah model tren kuadratik. Model inilah yang nanti akan dibandingkan dengan model peramalan yang lain.

Tabel 10. Perbandingan RMSE Model Analisis Tren Tipe Fungsional Linier

Model Yt = 393.176 – 13.6025t

RMSE 2

Kuadratik Logaritma Natural

Yt = 263.745 + 17.4609t – 1.29431t Yt = 6,48 - 0,631 Lnt

Linier Musiman

Yt = 360 + 72,1 D1 + 64,6 D2 - 41,1 D3 12,9 t Yt = 206 + 93,7 D1 + 84,9 D2 - 19,5 D3 + 20,2 t - 1,38 t2 Yt = 6,60 - 0,124 D1 - 0,016 D2 - 0,388 D3 - 0,621 Lnt

Kuadratik Musiman Ln Musiman

143.405 134.109 176.594 135.3542 124.3783 171.2753

5.4.3 Model Rata-Rata Sederhana Model rata-rata sederhana adalah mengambil rata-rata dari semua data dalam kelompok data masa lalu sebagai ramalan untuk periode berikutnya. Model ini lebih cocok digunakan jika data yang digunakan bersifat stasioner. T

Y = ∑ Yi T = YT

+1

i =1

RMSE yang dihasilkan lewat model ini (berdasarkan output dari QSB dan Microsoft Excel) adalah sebesar 184.1199.

5.4.4 Model Rata-Rata Bergerak Sederhana Model ini menentukan sejak awal berapa jumlah nilai pengamatan masa lalu yang akan dimasukkan untuk menghitung nilai tengah. Nilai ordo (T) yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat, berdasarkan bahwa data impor beras yang dianalisis adalah data tiga bulanan. Selain empat, ordo yang diterapkan adalah dua, tiga, lima, enam, tujuh dan delapan. Dari output hasil pengolahan dengan software Minitab 14, Tabel 11 menampilkan RMSE dari masing- masing ordo yang dipilih. Dari ketujuh tingkat ordo tersebut, yang memiliki paling kecil adalah tingkat ordo tiga.

Dengan

demikian, model rata-rata bergerak dengan tingkat ordo tiga yang akan dibandingkan dengan model peramalan lainnya. adalah:

Y + Y22 + Y21 Yˆ24 = 23 T

Model akhir yang didapat

Tabel 11. Perbandingan RMSE untuk Berbagai Tingkat Ordo (T) Moving Average Tingkat Ordo yang Digunakan

RMSE

2

158.3411

3

147.0378

4

156.4903

5

168.166

6

176.2827

7

181.3279

8

187.5988

5.4.5 Model Pemulusan Eksponensial Tunggal Model pemulusan eksponensial adalah model yang secara terus- menerus merevisi/meng-up-date estimasi atau peramalan dengan memperhitungkan perubahan terkini atau fluktuasi di dalam data. Berdasarkan software MINITAB 14, model yang dibentuk lewat metode ini adalah: Y24 = 0.524040 Y23 + 0.47596 Y23 dengan RMSE yang dihasilkan lewat model ini adalah sebesar 147.1095, pembobot a sebesar 0.524040 dengan nilai Y23 adalah sebesar 40.466 ribu ton.

5.4.6 Model Pemulusan Eksponensial Ganda Model ini digunakan ketika parameter regresi ß (dalam analisis tren) berubah secara perlahan seiring berjalannya waktu, dimana dalam keadaan tersebut, persamaan regresi biasa (yang tidak direvisi) kurang cocok untuk digunakan.

1. Satu Parameter dari Brown Model ini menggunakan satu konstanta pemulusan. Melalui software QSB + 3.0, diperoleh model sebagai berikut: Y23+m = 18.60866 – 21.3768 (m) dengan konstanta pemulusan a sebesar 0.21965, S23 sebesar 94.55388, S23 (2) sebesar 170.4991 dan RMSE sebesar 156.7127. 2. Dua Parameter dari Holt Pemulusan eksponensial ganda (dua parameter dari Holt) adalah sebuah pendekatan pemulusan untuk peramalan time series yang menggunakan dua konstanta pemulusan.

Model peramalan impor beras yang didapat dengan

software MINITAB 14 adalah: Y23+m = 28.503 – 25.7105 (m) dengan konstanta pemulusan a sebesar 0.560250, ? sebesar 0.007995 dan RMSE sebesar 150.6244.

5.4.7 Model Winters’ Model Winters’ adalah pendekatan pemulusan eksponensial untuk menangani data yang memiliki pola musiman. 1. Multiplikatif Dalam model Winter’s multiplikatif, diasumsikan bahwa terdapat perubahan tren linier secara perlahan dan perubahan pola musiman secara perlahan yang menunjukkan variasi musiman yang semakin meningkat. Model yang didapat dengan software MINITAB 14 adalah sebagai berikut:

Y23 +m = [44.296 – 39.5180 (m)] Snt-L+m

Dimana:

Sn20 = 0.90034 Sn21 = 1.25832 Sn22 = 1.17372 Sn23 = 0.66762

dengan nilai a adalah 0.64 dan nilai ß serta ? bernilai 0. RMSE yang dihasilkan metode Winters’ multiplikatif yaitu sebesar 138.0388. 2. Aditif Dalam model Winter’s multiplikatif, diasumsikan bahwa terdapat perubahan tren linier secara perlahan dan perubahan pola musiman secara perlahan yang menunjukkan variasi musiman yang konstan sepanjang waktu. Model yang didapat dengan software MINITAB 14 adalah sebagai berikut: Dimana:

Y23+m = [57.671 – 39.5180 (m)] Snt-L+m Sn20 = -24.9273 Sn21 = 46.4559 Sn22 = 39.7053 Sn23 = -65.3884

dengan nilai a adalah 0.64 dan nilai ß serta ? bernilai 0. RMSE yang didapat menggunakan metode Winter’s aditif adalah sebesar 138.223.

5.4.8 Model Dekomposisi Model dekomposisi memungkinkan kita memisahkan berbagai pola yang terdapat dalam data time series. Model dekomposisi multiplikatif digunakan jika data time series menunjukkan variasi musiman yang semakin meningkat atau

semakin menurun. Sedangkan model dekomposisi aditif digunakan dalam memodelkan data time series yang memiliki variasi musiman konstan. 1. Multiplikatif Bentuk fungsional yang diperoleh melalui pemodelan dekomposisi dari data ln impor beras adalah sebagai berikut: Yt = 389.685 – 12.7337t

Tabel 12. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Multiplikatif Periode 1 2 3 4

Index 1.24711 0.99882 0.58078 1.17329

dengan RMSE yang didapatkan adalah sebesar 139.5235. 2. Aditif Dari pengolahan MINITAB 14 diperoleh ha sil sebagai berikut: Yt = 383,525 – 12.7752t dengan RMSE yang diperoleh melalui metode ini adalah sebesar 136.8448. Tabel 13. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Aditif Periode 1 2 3 4

Index 56.2751 20.6247 -83.2667 6.3669

5.4.10 ARIMA Metode ARIMA di dalam penggunaannya memerlukan data yang bersifat stasioner. Pada tahap identifikasi pola data sebelumnya, diketahui bahwa data impor beras yang telah ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural bersifat

stasioner. Dengan data yang sudah bersifat stasioner, proses meramalkan impor beras dengan metode ARIMA dimulai dengan menentukan model tentative. Model tentative ditentukan berdasarkan plot ACF dan PACF (Lampiran 9). Berdasarkan plot ACF, terlihat bahwa plot ACF menurun secara perlahan mendekati nol (dies down) dimana nilai autocorrelation yang signifikan adalah pada lag pertama saja. Sedangkan pada plot PACF, terlihat bahwa plot PACF terpotong (cut off) pada lag kedua. Dengan demikian, model tentative mempunyai nilai ordo p sebesar 1, ordo q sebesar 0 dan ordo d sebesar 0 (data tidak didifferencing) sehingga didapatkan model tentative ARIMA (1,0,0). Model tentative yang diperoleh (Lampiran 10) kemudian diperiksa kelayakannya dengan menggunakan proses diagnostic checking sebagai berikut: 1. Hasil output menunjukkan pada proses iterasi ke-8 kondisi konvergensi sudah tercapai. Hal ini terlihat dari pernyataan ”relative change in each estimate less than 0.001”. 2. Berdasarkan hasil output, terlihat bahwa koefisien Autoregressive (AR) adalah sebesar 0.7751 (kurang dari 1), begitu juga dengan koefisien Moving average (tidak ada koefisien MA). Hal ini menunjukkan bahwa model memenuhi syarat stasioneritas dan invertibilitas. 3. Dari plot ACF dan PACF residual, terlihat bahwa nilai AC dan PAC dari residual tidak ada yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa proses ARIMA menghasilkan error random/tidak berpola.

Hal tersebut juga

terlihat dari nilai P-value Chi Square Statistic pada lag ke-12 yang lebih besar dari a.

4.

Dari hasil output ARIMA (1,0,0), terlihat bahwa nilai p-value koefisien kurang dari a.

5. RMSE yang dihasilkan oleh model tentative adalah sebesar 144.4209 . Model tentative yang didapat sudah memenuhi semua kriteria kelayakan model, tetapi agar model yang didapat benar-benar merupakan model yang memiliki ketepatan paling baik (RMSE paling rendah) maka model ARIMA yang lain tetap harus diduga harus diduga. Dari hasil pendugaan, model ARIMA yang juga memenuhi kriteria diagnostic checking adalah ARIMA (0, 0, 2) dan ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4 . Besaran RMSE dari model ARIMA yang memenuhi kriteria diagnostic checking ditampilkan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, maka model ARIMA yang paling tepat dalam menduga impor beras adalah ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4

Tabel 14. Perbandingan RMSE pada Model ARIMA Model ARIMA

RMSE

(1, 0, 0)

144.4209

(0, 0, 2)

144.2299

(1, 0, 0)(0, 0,1) 4 (0, 0, 1)(0, 0, 1)

4

134.3137 137.9383

5.5 Memilih Metode Peramalan Impor Beras Indonesia Untuk memperoleh hasil peramalan yang akurat, maka dilakukan perbandingan terhadap nilai Root Mean Squared Error (RMSE) masing- masing model time series. Dengan menggunakan software Microsoft Excel diperoleh nilai RMSE setiap model seperti ditampilkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Nilai RMSE Masing- masing Metode Time Series No 1

METODE PERAMALAN

RMSE

Naive

187.5988

2

Analisis Tren (Kuadratik Musiman)

124.3783

3

Simple Average

184.1199

4

Simple Moving Average (Ordo = 3)

145.8084

5

Pemulusan Eksponensial Tunggal

147.1095

6

Metode Brown

156.7127

7

Metode Holt

150.6244

8

Winters’ Multiplikatif

138.0388

9

Winters’ Aditif

138.223

10

Dekomposisi Multiplikatif

139.5235

11

Dekomposisi Aditif

136.8448

12

ARIMA (1, 0, 0)(0, 0,1)

4

134.3137

Dari Tabel 15 diketahui bahwa model yang memberikan RMSE terkecil adalah analisis tren kuadratik. Analisis tren kuadratik ternyata paling cocok untuk data impor beras, padahal data impor beras bersifat stasioner. Hal ini dikarenakan tren meningkat dari variabel t kemudian diimbangi dengan variabel t2 sehingga walaupun namanya adalah analisis tren, analisis tersebut cocok untuk data yang stasioner.

5.4 Meramalkan Impor Beras Indonesia Model umum yang digunakan dalam meramalkan impor beras Indonesia adalah: Yt = 206 + 93,7 D1 + 84,9 D2 - 19,5 D3 + 20,2 t - 1,38 t2 Nilai peramalan impor beras Indonesia untuk sembilan periode ke depan (dua tahun) ditunjukkan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Ramalan Volume Impor Beras Indonesia (000 ton) dengan Model Tren Kuadratik Musiman Periode Oktober-Desember 2005

Nilai Ramalan

Januari-Maret 2006

-104.491 -58.238

April-Juni 2006

-117.191

Juli-September 2006

-274.482

Oktober-Desember 2006

-310.621

Berdasarkan hasil ramalan model tren kuadratik musiman, diketahui bahwa impor beras Indonesia dalam lima periode ke depan memperlihatkan tren yang terus menurun dan besarannya bahkan menunjukkan angka negatif. Hasil ramalan tersebut menunjukkan bahwa impor beras dalam lima periode mendatang cenderung menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah, yakni tarif impor beras serta kebijakan pelarangan impor pada saat panen raya terbukti efektif dalam menurunkan impor beras yang masuk ke Indonesia. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Farihah (2005) dimana menurut hasil ramalannya berdasarkan data BPS, dalam enam tahun ke depan Indonesia sudah bisa mencapai swasembada beras. Menurut Husodo (2005), juga dikatakan, bahwa produksi beras Indonesia pada tahun 2004 sudah mencukupi kebutuhan konsumsi Indonesia dan terdapat surplus produksi sebesar 2.6 juta ton beras. Berdasarkan data yang diambil dari BPS, pada tahun 2005 produksi beras juga masih lebih besar dibandingkan konsumsi beras sehingga sebenarnya impor beras tidak diperlukan karena tidak ada kekurangan pasokan beras di masyarakat.

5.5 Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia Berdasarkan kedua model serta ramalan yang dihasilkan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa impor beras sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, produksi beras dalam negeri dan harga beras dalam negeri. Dalam upaya pemerintah untuk menurunkan impor beras, harus diupayakan seperangkat kebijakan perberasan dalam hal harga dan produksi beras sedemikian sehingga dapat menurunkan impor beras. Kebijakan tarif impor, masih dapat diterapkan mengingat beras termasuk dalam kategori barang yang sensitif . Kebijakan tersebut terbukti efektif dalam mengurangi impor beras.

Hasil tersebut didapat berbeda dengan hasil yang

diperoleh Simbolon (2005) dimana tarif impor beras akhirnya hanya akan meningkatkan harga beras dalam negeri tetapi tidak mampu menurunkan impor beras. Perbedaan tersebut bisa terjadi, salah satunya dikarenakan adanya perbedaan metode analisis yang digunakan.

Simbolon (2005) menganalisis

pengaruh tarif impor tersebut terhadap harga beras dalam negeri dimana hasilnya adalah tarif impor tersebut akhirnya meningkatkan harga beras dalam negeri. Peningkatan harga beras dalam negeri ini tidak mampu menurunkan impor beras. Penelitian ini memang tidak menganalisis pengaruh tarif terhadap harga beras dalam negeri. Namun model yang didapat menyatakan bahwa kenaikan dalam harga beras dalam negeri akhirnya akan meningkatkan impor beras dan hal ini konsisten dengan hasil Simbolon (2005). Persoalan perbedaan hasil adalah bahwa Simbolon (2005) mengaitkan tarif impor dan harga beras domestik lebih dahulu, baru kemudian dihubungkan dengan impor beras.

Seperti didapat dalam hasil eksplorasi pola data impor beras dan model impor beras yang dibentuk, produksi beras akan mempengaruhi impor beras dan fluktuasi musiman dari produksi beras juga berakibat pada fluktuasi musiman impor beras.

Hanya saja terdapat tenggang waktu pengaruh produksi beras

terhadap impor beras tersebut. Karena impor beras sangat dipengaruhi oleh produksi beras domestik, pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan yang akan mendukung peningkatan produksi beras domestik, terutama dengan prioritas pemenuhan kebutuhan beras dari produksi dalam negeri.

Selama ini, pemerintah/Bulog lebih banyak

mengandalkan pemenuhan stok berasnya dari impor, karena beras impor lebih murah5 .

Peningkatan produksi beras, akan meningkatkan penawaran beras

nasional sehingga harga yang terjadi di pasar tidak terlalu tinggi dan dengan demikian impor juga akan menurun. Berdasarkan hasil penelitian Farihah (2005), produksi beras Indonesia diperkirakan terus meningkat dan swasembada beras akan dapat tercapai dalam enam tahun ke depan. Berkaitan dengan harga beras dalam negeri, diupayakan agar harga yang terjadi di pasar tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Harga beras yang tinggi akan memberatkan masyarakat miskin di perkotaan dan menyebabkan impor beras meningkat. Sementara harga beras yang terlalu rendah menyebabkan insentif petani untuk berproduksi menurun dan dalam jangka panjang akan berdampak kepada penurunan produksi beras.

5

loc.cit

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan Impor beras Indonesia periode sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga beras dalam negeri dengan pengaruh negatif.

Artinya semakin besar

volume beras impor yang masuk, maka harga beras dalam negeri akan semakin turun.

Respon harga beras terhadap impor beras periode sebelumnya adalah

inelastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Impor beras Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga terigu, kebijakan pemerintah, harga beras dalam negeri dan harga beras impor Indonesia pada taraf nyata 1 persen; variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada taraf nyata 5 persen dan variabel produksi beras periode sebelumnya pada taraf nyata 15 persen. Pengaruh variabel harga terigu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga beras impor terhadap impor beras Indonesia adalah negatif sedangkan kebijakan perdagangan dan harga beras dalam negeri berpengaruh positif terhadap impor beras Indonesia. Penerapan tarif impor beras sejak tahun 2000 efektif dalam menurunkan besaran impor beras Indonesia.

Impor beras pada saat impor beras dapat

dilakukan tanda dikenakan tarif (1999) rata-rata lebih besar 1 453 ribu ton daripada ketika impor beras sudah dikenakan tarif impor (2000 – 2005). Berdasarkan plot data impor beras Indonesia, diketahui bahwa data impor beras Indonesia periode 2000 – 2005 tidak memiliki komponen tren dan bervariasi di sekitar nilai tengahnya (stasioner).

Impor beras juga memiliki fluktuasi

musiman yang mengikuti fluktuasi musiman produksi beras dalam negeri.

Kriteria yang digunakan dalam memilih model peramalan time series terbaik adalah dengan Root Mean Square Error (RMSE). Model peramalan time series yang terbaik dalam meramalkan impor beras Indonesia berturut-turut adalah model tren kuadratik dengan dummy musiman, model tren kuadratik tanpa dummy musiman, dan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4 . Hasil ramalan impor beras Indonesia dengan model tren kuadratik dengan dummy musiman menunjukkan bahwa dalam lima periode mendatang, beras impor yang masuk cenderung menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah, yakni tarif impor beras serta kebijakan pelarangan impor pada saat panen raya terbukti efektif dalam menurunkan impor beras yang masuk ke Indonesia.

6.2 Saran Kebijakan pemerintah dalam menetapkan tarif impor beras sebesar 30 persen sudah efektif dalam menurunkan impor beras Indonesia.

Kebijakan

tersebut sebaiknya tidak dihapuskan mengingat efek negatif impor terhadap pencapaian swasembada beras Indonesia. Pemerintah

sebaiknya

tidak

menerapkan

kebijakan

yang

akan

meningkatkan harga beras dalam negeri dan lebih berfokus kepada upaya peningkatan produksi beras nasional. Meskipun model regresi yang dibentuk sudah cukup baik, namun masih sederhana di dalam menerangkan perilaku impor beras Indonesia. Analisis faktorfaktor yang mempengaruhi impor serta pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri lebih baik dilakukan dengan menggunakan satu model saja.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, S.1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Setdal Bimas, Departemen Pertanian Indonesia Amang, B. dan M. H. Sawit.1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Penerbit Institut pertanian Bogor: Bogor Ariani, M.2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Assauri, S.1984.Teknik dan Metoda Peramalan, Penerapannya dalam Ekonomi dan Dunia Usaha. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta Badan Pusat Statistik.2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta Ball, D. A. dan W. McCulloch.1998.Bisnis Internasional, Buku Satu (Terjemahan). Salemba Empat: Jakarta Bowerman, Bruce L. dan Richard T. O;Connell.1993. Forecasting and Time Series: An Applied Aproach. Third Edition. Duxbury Press, California Bustaman, A. D.2003. Analisis Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Erwidodo.2004. Analisis Harga Dasar Pembelian Gabah dan Tarif Impor Beras. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Erwidodo dan Ning Pribadi.2004. Permintaan dan Produksi Beras nasional: Surplus atau Defisit? Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Farihah, S. S.2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras Serta Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Gaynor, P. E. dan R. C. Kirckpatrick.1994. Introduction to Time-series Modelling and Forecasting in Business and Economics. McGraw-Hill, Inc.: Singapura. Hanke, J. E. dan A. G. Reitsch. 1992. Business Forecasting, Fourth Edition. Allyn And Bacon, Washington. Harianto.2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga

Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Hutauruk, J.1996.Analisis Dampak kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor Kasryno, F.2004. Dinamika Ekonomi Beras Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Koutsoyiannis, A.1977. Theory of Econometrics Methods. Second Edition. Mcmillan Education Ltd, london Lipsey, R. G. et. al.1995.Pengantar Mikroekonomi, Edisi Kesepuluh Jilid Satu (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta Mahardhika, P. Y.2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian, Bogor. Makridakis, S. et. al.1999.Metode dan Aplikasi Peramalan, Edisi Kedua Jilid Satu (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta Manurung, S.O. dan M. Ismunadji.1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Di dalam Ismunadji, M., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor Mulyana, A.1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor Natawidjaja, R. S.2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Nicholson, Walter.2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya, Edisi Kedelapan (Terjemahan). Penerbit Erlangga: Jakarta Pakpahan, A dan E. Pasandaran.1990. Keamanan Pangan: Tantangan dan Peluangnya. Majalah Prisma, 2: 60 – 74 Pappas, J. L. dan M. Hirschey.1995.Ekonomi Manajerial,Edisi Keenam (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta Rachman, B. dan S. K. Dermoredjo.2004. Dinamika Harga dan Perdagangan Beras. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta Rosegran, M. W. Et al.1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crops. International Food Policy Research and Centre for Agroeconomic Research, Bogor

Salvatore, D.1997.Ekonomi Internasional, Edisi kelima (Terjemahan).Penerbit Erlangga: Jakarta Sawit, M. H.1998. Risiko Ketahanan Pangan dalam Masa Krisis. Harian Republika, 20 Juli 1998: hal. 4. Simatupang, P. dan N. Syafaat.1999. Analisis Anjloknya Harga Komoditas Pertanian Selama Semester I-1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Simbolon, J. S. C.2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Sitepu, R. K.2002.Dampak Kebijakan Ekonomidan Liberalisasi Perdagangan terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor Soetrisno, N.1993. Anatomi Persoalan dan Sistem Pangan. Antisipasi terhadap PJPT-II. Majalah Prisma, 5: 3 – 12 Sudaryanto, T.2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi dan Konversi Lahan. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Suhendratmo.2004. Analisis Peramalan dan Hubungan antara Impor dan Harga Gula Pasir di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Suprapto, Ato.1994.Menyimak Hasil Sensus Pertanian 1993: Implikasinya terhadap Pembangunan Pertanian. Warta Pertanian, X (123): 17 – 20 Surono, Sulastri.2001. Perkembangan produksi dan Kebutuhan Impor Beras serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Taslim, Haerudin dan A. M. Fagi.1988. Ragam Budidaya Padi. Di dalam Ismunadji, M., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor Tsuiji, Hiroshi.1995. Characteristics of and the Conflicts in the International Rice Market: A Case Against the Free Trade Postulate. Offprint the National Resource Economic Review No. 1

Lampiran 1. Output Minitab 14, Model Harga Beras Indonesia Regression Analysis: ln Harga versus ln Lag Harga; ln Lag Impor The regression equation is ln Harga = 0,424 + 0,963 ln Lag Harga - 0,0102 ln Lag Impor

Predictor Constant ln Lag Impor ln Lag Harga

Coef 0,4235 -0,010167 0,96295

S = 0,0355670

R-Sq = 90,4%

SE Coef 0,4325 0,008443 0,08371

T 0,98 -1,20 11,50

P 0,337 0,240 0,000

VIF 2,1 2,1

R-Sq(adj) = 89,7%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total

Source ln Lag Harga ln Lag Impor

DF 2 25 27

DF 1 1

SS 0,29879 0,03163 0,33041

MS 0,14939 0,00127

F 118,10

P 0,000

Seq SS 0,29695 0,00183

Unusual Observations

Obs 26 27

ln Lag Harga 6,25 6,37

ln Harga 6,36920 6,34155

Fit 6,26253 6,38543

SE Fit 0,01172 0,02087

Residual 0,10667 -0,04387

St Resid 3,18R -1,52 X

R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 2,06866

Lampiran 2. Statistik Durbin-h Model Harga Beras Domestik

ρˆ = ( 2 − d ) * 2 = (2 – 2.06866)* 2 = - 0. 13732 26   h = −0.13732  1 − 26 * 0.007007 

1/ 2

= - 0.79242

Lampiran 3. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Harga Beras Domestik Regression Analysis: ErrorSquared versus ln Lag Harga; ln Lag Impor The regression equation is ErrorSquared = - 2478 + 1181 ln Lag Harga - 242 ln Lag Impor

Predictor Constant ln Lag Harga ln Lag Impor S = 705,275

Coef SE Coef T -2478 8577 -0,29 1181 1660 0,71 -242,0 167,4 -1,45 R-Sq = 8,5% R-Sq(adj)

P VIF 0,775 0,483 2,1 0,161 2,1 = 1,1%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total

Source ln Lag Harga ln Lag Impor

DF 2 25 27

DF 1 1

SS 1150511 12435313 13585824

MS 575255 497413

F 1,16

P 0,331

Seq SS 111467 1039043

Unusual Observations

Obs 26 27

ln Lag Harga 6,25 6,37

ErrorSquared 3487 648

Fit 615 966

SE Fit 232 414

Residual 2871 -318

St Resid 4,31R -0,56 X

R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 2,30285

Statistik Uji Lagrange Multiplier: nR2 = 27*(0.085) = 2.295

Lampiran 4. Output Minitab 14, Model Dugaan Awal Impor Beras Indonesia Regression Analysis: impor versus ntr; htr; ... The regression equation is impor = 12528 - 0,567 ntr - 3,70 htr - 2,88 cif + 1453 kbj2 + 1,97 HBR 96 STK - 1024 QDT - 11,0 lagprod

Predictor Constant ntr htr cif kbj2 HBR STK QDT lagprod

Coef

SE Coef

T

P

VIF

12528 -0,5665 -3,703 -2,879 1452,6 1,965 -96,3 -1024 -10,982

13130 0,2719 1,745 1,328 365,1 2,521 206,8 1383 9,679

0,95 -2,08 -2,12 -2,17 3,98 0,78 -0,47 -0,74 -1,13

0,365 0,067 0,063 0,058 0,003 0,456 0,652 0,478 0,286

5,5 4,3 2,4 16,4 23,8 8,1 12,9 1,2

S = 142,405

R-Sq = 96,0%

R-Sq(adj) = 92,5%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total

Source ntr htr cif kbj2 HBR STK QDT lagprod

DF 1 1 1 1 1 1 1 1

DF 8 9 17

SS 4401447 182513 4583960

MS 550181 20279

F 27,13

P 0,000

Seq SS 78440 1517994 3153 2566962 194715 4077 10000 26106

Unusual Observations Obs 16

ntr 1575

impor 106,4

Fit 339,7

SE Fit 89,9

Residual -233,3

St Resid -2,11R

R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,54410

Lampiran 5. Output Minitab 14, Model Akhir Impor Beras Indonesia Regression Analysis: impor versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif

The regression equation is impor = 2749 - 4,19 htr + 1364 kbj2 + 3,50 HBR - 11,1 lagprod - 0,410 ntr - 3,23 cif Predictor Constant htr kbj2 HBR lagprod ntr cif

Coef

SE Coef

T

P

VIF

2749 -4,189 1363,6 3,504 -11,066 -0,4102 -3,231

1090 1,502 223,4 1,157 8,663 0,1589 1,141

2,52 -2,79 6,10 3,03 -1,28 -2,58 -2,83

0,028 0,018 0,000 0,011 0,228 0,026 0,016

3,7 7,1 5,8 1,1 2,1 2,1

S = 132,778

R-Sq = 95,8%

R-Sq(adj) = 93,5%

Analysis of Variance Source DF SS Regression 6 4390029 Residual Error 11 193931 Total 17 4583960 Source DF Seq SS htr 1 1596327 kbj2 1 2442804 HBR 1 119967 lagprod 1 11564 ntr 1 78046 cif 1 141322

MS 731672 17630

F 41,50

P 0,000

Unusual Observations Obs 13 16

htr 665 646

impor 728,6 106,4

Fit 487,9 356,5

SE Fit 74,9 73,8

Residual 240,7 -250,1

St Resid 2,19R -2,27R

R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,35781

Lampiran 6. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Impor Beras Indonesia Regression Analysis: SquaredE versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif The regression equation is SquaredE = 111939 + 99 htr + 8343 kbj2 - 114 HBR - 2807 lagprod - 14,6 ntr - 182 cif

Predictor Constant htr kbj2 HBR lagprod ntr cif

Coef 111939 98,8 8343 -114,5 -2807 -14,61 -181,7

S = 18725,4

SE Coef 153657 211,9 31505 163,1 1222 22,41 160,9

R-Sq = 42,7%

T 0,73 0,47 0,26 -0,70 -2,30 -0,65 -1,13

P 0,482 0,650 0,796 0,498 0,042 0,528 0,283

VIF 3,7 7,1 5,8 1,1 2,1 2,1

R-Sq(adj) = 11,4%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total

Source htr kbj2 HBR lagprod ntr cif

DF 1 1 1 1 1 1

DF 6 11 17

SS 2868997659 3857053213 6726050871

MS 478166276 350641201

F 1,36

P 0,310

Seq SS 203825778 231384279 316341708 1597976899 72646406 446822589

Unusual Observations Obs 16

htr 646

SquaredE 62542

Fit 29300

SE Fit 10409

Residual 33242

St Resid 2,14R

R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2,76490

Statistik Uji Lagrange Multiplier: nR2 = 18*(0.427) = 7.686

Lampiran 7. Output Minitab 14, Uji Autokorelasi Model Impor Beras Indonesia Regression Analysis: RESI2 versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif; lag The regression equation is RESI2 = 57 - 0,31 htr - 18 kbj2 + 0,17 HBR + 0,35 lagprod - 0,009 ntr + 0,29 cif + 0,343 lag

Predictor Constant htr kbj2 HBR lagprod ntr cif lag

Coef 57 -0,307 -17,8 0,169 0,351 -0,0086 0,286 0,3431

S = 138,835

SE Coef 1644 2,321 246,1 1,221 9,323 0,1673 1,248 0,3331

R-Sq = 10,5%

T 0,03 -0,13 -0,07 0,14 0,04 -0,05 0,23 1,03

P 0,973 0,898 0,944 0,893 0,971 0,960 0,824 0,330

VIF 2,7 5,5 4,4 1,1 2,0 1,5 1,1

R-Sq(adj) = 0,0%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total

Source htr kbj2 HBR lagprod ntr cif lag

DF 1 1 1 1 1 1 1

DF 7 9 16

SS 20453 173477 193930

MS 2922 19275

F 0,15

P 0,989

Seq SS 2 0 0 0 0 0 20451

Unusual Observations Obs 12 15

htr 665 646

RESI2 240,7 -250,1

Fit 15,3 -15,5

SE Fit 81,3 78,9

Residual 225,4 -234,6

St Resid 2,00R -2,05R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 1,71960

Statistik Uji Lagrange Multiplier: (n – 1)R2 = 17*(0.105) = 1.785

Lampiran 8. ACF dan PACF Impor Beras Indonesia A u t o c o r r e l a t i o n F u n c t i o n fo r i m p o r ( t r i w u l a n ) ( w i th 5 % s i g n i f i c a n ce li m it s f o r t h e a u to c o r r e l a ti o n s ) 1, 0 0, 8

Autocorre lat ion

0, 6 0, 4 0, 2 0, 0 -0, 2 -0, 4 -0, 6 -0, 8 -1, 0 2

4

6

8

10 La g

12

14

16

18

20

P a rtia l A u to c o rr e la tio n F u n c tio n f o r im p o r (tr iw u la n ) ( w i th 5 % s i g n i f i c a n c e l im i ts fo r t h e p a r t ia l a u to c o r r e l a ti o n s ) 1, 0

Pa rt ia l Aut ocorre lat ion

0, 8 0, 6 0, 4 0, 2 0, 0 -0, 2 -0, 4 -0, 6 -0, 8 -1, 0 1

2

3

4

5

6

7

8 La g

9

10

11

12

13

14

15

Lampiran 9. ACF dan PACF Ln Impor Beras Indonesia Au to c or r el atio n F un c tio n fo r l ni mp o r (w ith 5 % s ig nif ic an ce lim it s f o r t h e au to c orr ela tio ns ) 1, 0 0, 8

A utocorrelation

0, 6 0, 4 0, 2 0, 0 -0, 2 -0, 4 -0, 6 -0, 8 -1, 0 2

4

6

8

10 La g

12

14

16

18

20

18

20

P ar tia l Au to c o rr el ati on F un c tio n f or l n imp o r (w ith 5% s ig nif ic an c e lim its fo r t h e pa rt ia l au to c orr ela tio ns ) 1, 0

Par tia l A utocor relation

0, 8 0, 6 0, 4 0, 2 0, 0 -0, 2 -0, 4 -0, 6 -0, 8 -1, 0 2

4

6

8

10 La g

12

14

16

Lampiran 10. Output Minitab 14, Model Tentative ARIMA ARIMA Model: lnimpor Estimates at each iteration Iteration 0 1 2 3 4 5 6 7 8

SSE 18,1145 14,6142 11,9968 10,2595 9,3971 9,2932 9,2902 9,2900 9,2900

Parameters 0,100 17,086 0,250 14,226 0,400 11,368 0,550 8,512 0,700 5,661 0,764 4,453 0,772 4,290 0,775 4,252 0,775 4,242

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef T P AR 1 0,7751 0,1478 5,25 0,000 Constant 4,2421 0,1381 30,71 0,000 Mean 18,8600 0,6141 Number of observations: 23 Residuals: SS = 9,11825 (backforecasts excluded) MS = 0,43420 DF = 21

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value

12 8,1 10 0,624

24 * * *

36 * * *

48 * * *