ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI TEKNIS USAHATANI

Download Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut. Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014. Luqman Addinirwan. NIM H...

0 downloads 442 Views 1MB Size
ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI TEKNIS USAHATANI UBI KAYU DESA GALUGA KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR

LUQMAN ADDINIRWAN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Kayu Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Luqman Addinirwan NIM H34100089

ABSTRAK LUQMAN ADDINIRWAN. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Kayu Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARIANTO Ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia karena relatif mudah dibudidayakan dan juga mengandung karbohidrat yang dapat digunakan sebagai pengganti beras. Desa Galuga dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu sentra produksi ubi kayu terbesar di Kabupaten Bogor. Tujun penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan, tingkat pendapatan, serta efisiensi treknis usahatani ubi kayu di Desa Galuga. Keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif, pendapatan usahatani menggunakan rasio R/C, serta efisiensi teknis dengan metode OLS (Ordinary Least Square) dan MLE (Maximum Like-lihood Estimated). Hasil analisis keragaan usahatani dalam hal budidayanya masih perlu dibenahi pada tahap persiapan lahan, penanaman, dan pemupukan. Pendapatan petani atas biaya tunai dan total bernilai positif. Rasio R/C atas biaya tunai sebesar 12.35 dan atas biaya total 1.67. Sehingga dapat dikatakan usahatani ubi kayu di Desa Galuga menguntungkan. Kemudian rata-rata efisiensi teknis petani sebesar 65.5 persen. Oleh karena itu, usahatani ubi kayu di Desa Galuga dapat dikatakan masih kurang efisien. Kata kunci: Efisiensi Teknis, Frontier,MLE, Rasio R/C.

ABSTRACT LUQMAN ADDINIRWAN. The Revenue Analysis and Technical Efficiency of Cassava Farming in Galuga Village, Cibungbulang District, Bogor Regency. Supervised by HARIANTO. Cassava is one of the important food crops in Indonesia because it is relatively easily cultivated and also contain carbohydrates that can be used as a substitute for rice. Galuga village selected for the study because it is one of the largest cassava production center in Bogor Regency. The purpose of this study are to determine the Performance, level of income, as well as the technical efficiency of cassava farming in the Galuga village. The performance farming analyzed descriptively, farming income using the ratio of R/C, and technical efficiency using OLS (Ordinary Least Square) and MLE (Maximum Like-lihood Estimated). The analysis result of the performance farming in terms of cultivation farming still needs to be addressed at the stage of land preparation, planting, and fertilizing. Farmers' income over cash and total costs are positive. The ratio of R/C on cash cost is 12.35 and the total cost is 1.67. So it can be said that cassava farming in Galuga village is profitable. Then the average technical efficiency of farmers is 65.5 percent. Therefore, cassava farming in the Galuga village can be said is less efficient. Keywords: Frontier, MLE, R/C Ratio, Technical Efficiency.

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI TEKNIS USAHATANI UBI KAYU DESA GALUGA KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR

LUQMAN ADDINIRWAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah usahatani, dengan judul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Kayu Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MS dan juga Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga dan teman seperjuangan, seperti Andina Dyah Rahmadhani Aditya, Pui, Bagas, Budiman, Nastiti, Tika, Pendi, Novita, Rivo, Dillah, Yoga, Fairus, Ivan, Bintang, Fauzi, Dica, serta semua pihak yang turut membantu atas segala doa, semangat, dorongan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014 Luqman Addinirwan

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumuan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

5

Gambaran Umum Komoditas Ubi Kayu

5

Studi Empiris Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani

6

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN

7 7 14 15

Lokasi dan Waktu Penelitian

15

Jenis dan Sumber Data

16

Metode Pengumpulan Data

16

Metode Pengolahan dan Analisis Data

16

Definisi Operasional

22

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

24

Profil Desa Galuga

24

Karakteristik Petani Responden

24

HASIL DAN PEMBAHASAN

29

Keragaan Usahatani Ubi Kayu

29

Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Kayu

36

Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)

40

Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Kayu

40

SIMPULAN DAN SARAN

47

Simpulan

47

Saran

47

DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

50

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL 1 2

Laju perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu Provinsi Jawa Barat terhadap Indonesia tahun 2011-2013 Produksi ubi kayu di lima kabupaten sentra ubi kayu Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2011 Sebaran jenis kelamin petani responden di Desa Galuga tahun 2013 Sebaran umur petani responden di Desa Galuga tahun 2013 Sebaran tingkat pendidikan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 Sebaran luas lahan garapan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 Sebaran status kepemilikan lahan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 Sebaran status usahatani petani responden di Desa Galuga tahun 2013 Keikutsertaan petani responden dalam kelompok tani di Desa Galuga tahun 2013 Karakteristik petani responden di Desa Galuga berdasarkan pengalaman berusahatani tahun 2013 Penyusutan peralatan per hektar per periode panen usahatani ubi kayu di Desa Galuga tahun 2013 Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode panen di Desa Galuga tahun 2013 Rata-rata penerimaan usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode panen di Desa Galuga tahun 2013 Rata-rata pengeluaran usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode panen di Desa Galuga tahun 2013 Rata-rata pendapatan usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode di Desa Galuga tahun 2013 Pendugaan model fungsi produksi dengan metode OLS Pendugaan model fungsi produksi dengan metode MLE Sebaran efisiensi teknis petani responden Pendugaan parameter maximum–likelihood model inefisiensi teknis usahatani ubi kayu Desa Galuga

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

2 3 25 25 26 26 27 28 28 29 35 36 37 38 39 41 42 44 44

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4

Kurva fungsi produksi stochastic frontier Kurva fungsi produksi klasik Kerangka pemikiran operasional usahatani ubi kayu Desa Galuga Bibit ubi kayu varietas cimanggu

11 12 14 30

5 Pembuatan bedengan ubi kayu 6 Proses penanaman ubi kayu 7 Pemupukan sistem melingkar

31 32 32

DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4

Contoh perhitungan pendapatan usahatani ubi kayu Hasil output minitab fungsi produksi model 1 Hasil output minitab fungsi produksi model 2 Hasil output frontier 4.1 Usahatani Ubi Kayu

51 52 53 54

PENDAHULUAN Latar Belakang Ubi kayu merupakan salah satu komoditas subsektor tanaman pangan yang penting di Indonesia setelah padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, yaitu sebagai bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan sumber karbohidrat dan untuk substitusi beras. Ubi kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan dan bahan baku industri baik hulu maupun hilir. Disamping itu, komoditas tersebut merupakan tanaman dengan daya adaptasi yang luas, sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan petani beserta keluarganya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2012). Usahatani ubi kayu bersifat labor intensif, dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 135 hari kerja setara pria (HKP) per hektar per tahun (Zakaria 2000). Sesungguhnya sektor pertanian, termasuk subsektor tanaman pangan seperti ubi kayu memiliki potensi untuk ditingkatkan. Hal ini dapat diwujudkan apabila para pelaku ekonomi berhasil mengatasi permasalahan, yaitu produktivitas yang rendah, usahatani yang belum efisien, pengaruh konversi lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana, serta sistem kredit yang kurang baik. Selain itu, faktor-faktor yang menyebabkan pencemaran air serta penurunan kualitas tanah tentunya harus diminimalisir dampaknya. Persoalan di atas dapat ditanggulangi dengan adanya revitalisasi pertanian yang menyangkut empat langkah pokok diantaranya adalah pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktivitas, daya saing, dan nilai tambah. Bidang pengamanan ketahanan pangan masih menghadapi masalah tingginya ketergantungan masyarakat akan beras, termasuk di Jawa Barat. Dalam hal ini Kementrian Pertanian Republik Indonesia membuat rencana strategis dalam upaya peningkatan produksi ubi kayu pada tahun 2014 yaitu sebesar 2 578 134 ton. (Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2009). Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan produksi ubi kayu terbesar di Indonesia mampu memberikan peran signifikan terhadap produksi ubi kayu nasional. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat sangat mendukung usaha dalam peningkatan produksi ubi kayu. Hal ini diimplementasikan melalui rencana strategis tahun 2013-2018, antara lain: peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian, peningkatan kinerja sumber daya dan kelembagaan pertanian, peningkatan kuantitas pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta pengembangan usaha dan sarana prasarana pengolahan serta pemasaran produk pertanian (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2013). Kebijakan tersebut juga dibarengi dengan adanya kebijakan Kementerian Pertanian dalam upaya perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian yang mencakup: Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT); Jaringan Irigasi Desa (JIDES); Tata Air Mikro (TAM); Jalan Usaha Tani (JUT), Jalan Produksi, konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS), embung, sawah, sumur, dam parit, dan konservasi lahan (Kementrian Pertanian Republik Indonesia 2009). Adapun perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu Provinsi Jawa Barat terhadap nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

2 Tabel 1 Laju perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu Provinsi Jawa Barat terhadap Indonesia tahun 2011-2013 Uraian

Luas Panen (Ha) - Jawa Barat - Indonesia Produktivitas (Ku/Ha) - Jawa Barat - Indonesia Produksi (Ton) - Jawa Barat - Indonesia

2011

2013b

2012

Laju pertumbuhan rata-rata tahun 20112013 (%)

103 244.00 1 184 696.00

100 159.00 1 129 688.00

99 635.00 1 13 7210.00

(1.76) (2.65)

119.41 202.96

212.77 214.02

220.26 224.18

40.85 5.10

2 058 785.00 24 044 025.00

2 131 123.00 24 177 372.00

2 194 525.00 25 494 507.00

3.25 3.00

Sumber: Badan Pusat Statistik 2014 (diolah).; bAngka sementara1

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 pada Tabel 1, luas panen ubi kayu di Jawa Barat pada tahun 2011-2013 rata-rata mengalami penurunan sebesar 1.76 persen dibandingkan dengan Indonesia yang mencapai 2.65 persen. Hal ini dikarenakan banyak lahan ubi kayu yang dialihfungsikan ke sektor lain. Meskipun demikian produksi ubi kayu Jawa Barat mengalami peningkatan tiap tahunnya rata-rata 3.25 persen dibanding dengan Indonesia yang hanya 3.00 persen. Jumlah produksi yang terus meningkat dikarenakan produktivitasnya yang juga mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan rata-rata produktivitas ubi kayu di Jawa Barat sangat signifikan yaitu 40.85 persen, padahal produktivitas nasional hanya tumbuh sebesar 5.10 persen. Hal ini menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah produksi ubi kayu yang sangat potensial. Beberapa daerah penghasil ubi kayu terbesar di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 2. Bila dilihat pada Tabel 2, Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra ubi kayu di Jawa Barat produksinya tahun 2010-2011 menurun sebesar 1.07 persen. Berbeda dengan di Sukabumi yang produksinya mengalami peningkatan sebesar 24.05 persen walaupun produksinya lebih kecil dibanding Kabupaten Garut yang merupkan sentra ubi kayu terbesar di Jawa Barat, yaitu mencapai 534 217 ton pada tahun 2011. Oleh karena itu, peningkatan produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor perlu ditingkatkan guna mendongkrak produksi ubi kayu nasional. Daerah penghasil ubi kayu terbesar di Kabupaten Bogor tahun 2012 terletak di Kecamatan Cibungbulang. Luas panen ubi kayu di Kecamatan Cibungbulang pada tahun 2012 sebesar 941 hektar dengan produksi sebesar 19 813 ton dan produktivitas 210.55 ku/ha. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan produksi pada tahun 2011 yang hanya 8 720 ton dengan luas panen 421 hektar dan produktivitas 207.13 ku/ha. Peningkatan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu pada tahun 2012 menjadikan Kecamatan Cibungbulang sebagai sentra 1

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laju perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu provinsi Jawa Barat terhadap Indonesia tahun 2011-2013 [internet]. [diunduh tanggal 20 Maret 2014]. Tersedia pada: www.bps.go.id

3 ubi kayu terbesar dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2013). Tabel 2 Produksi ubi kayu di lima kabupaten sentra ubi kayu Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2011 Produksi (Ton) Laju pertumbuhan No. Kabupaten/kota tahun 2010-2011 (%) 2010 2011 1. Garut 470 001 534 217 13.66 2. Tasikmalaya 335 298 309 541 (7.68) 3. Sumedang 152 525 179 753 17.85 4. Sukabumi 135 137 167 636 24.05 5. Bogor 169 112 167 295 (1.07) Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2012 (diolah)2

Kecamatan Cibungbulang sebagai sentra ubi kayu terbesar di Kabupaten Bogor mampu menghasilkan produktivitas sebesar 210.55 ku/ha pada tahun 2012 (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2013). Bila dibandingkan dengan produktivitas rata-rata ubi kayu nasional pada tahun 2012 sebesar 214.02 ku/ha, tentunya masih dibawah rata-rata nasional (Badan Pusat Statistik 2014). Hal ini menjadikan usahatani ubi kayu di Kabupaten Bogor masih perlu ditingkatkan agar mampu bersaing dengan produktivitas nasional. Desa Galuga merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar diantara 15 Desa yang ada di Kecamatan Cibungbuang. Produki ubi kayu di Desa galuga sebesar 1 985.6 ton dengan luas panen 68 hektar dan produktivitasnya mencapai 29.2 ton/ha (Program Pengembangan Kecamatan Cibungbulang 2013). Tingginya produktivitas di Desa Galuga tentu jauh lebih besar bila dibandingkan dengan produktivitas ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 2011 sebesar 216.76 ku/ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012) dan produktivitas nasional tahun 2012 sebesar 214.02 ku/ha (Badan Pusat Statistik 2014). Hal ini membuktikan bahwa Desa Galuga berpotensi besar untuk kegiatan budidaya ubi kayu. Produktivitas ubi kayu yang tinggi di Desa Galuga menandakan minat petani yang tinggi dalam mengusahakan usahatani ubi kayu. Minat petani yang tinggi dalam budidaya ubi kayu perlu dibarengi dengan adanya efisiensi dalam usahataninya. Tingkat efisiensi yang tinggi dalam usahatani dapat mempengaruhi tingkat pendapatan, pengeluaran, serta penerimaan usahatani. Sehingga petani menjadi sejahtera dan mampu meningkatkan perekonomian nasional.

Perumuan Masalah Desa Galuga merupakan sentra produksi ubi kayu di Kecamatan Cibungbulang. Tingginya produktivitas ubi kayu di Desa Galuga mampu melampaui produktivitas ubi kayu Kabupaten Bogor bahkan nasional. Tetapi hal 2

[BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2012. Produksi ubi kayu di lima kabupaten sentra ubi kayu Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2011 [internet]. [diunduh tanggal 20 Maret 2014]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id/

4 tersebut masih membuat petani kurang bergairah untuk mengusahakan usahatani ubi kayu dikarenakan harga jual di tingkat petani yang masih rendah. Produktivitas yang tinggi masih kurang bisa dimaanfaatkan dengan baik oleh petani sebagai suatu peluang melakukan usahatani ubi kayu. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kepastian harga jual ditingkat petani. Harga jual di tingkat petani ditentukan oleh tengkulak. Rata-rata harga pembelian oleh tengkulak sebesar Rp1 000/kg. Bukan hanya itu, luas kepemilikan lahan yang rata-rata dimiliki petani belum mencukupi untuk dikatakan layak diusahakan. Ditambah lagi, produksi yang kurang menentu menjadikan petani sulit mendapatkan kepastian yang didapatkan. Fluktuasi produksi usahatani ubi kayu dipicu oleh masalah yang beragam. Masalah tersebut, diantaranya: tingkat penguasaan teknologi yang belum memadai, tingkat pendidikan petani yang rendah, serta belum optimalnya penggunaan faktor-faktor produksi. Efisiensi dalam penggunaan faktor-faktor produksi seperti penggunaan lahan, jumlah bibit, pupuk kandang, pupuk N, P, K, dan tenaga kerja perlu ditingkatkan lagi. Sehingga petani harus mengeluarkan biaya lebih untuk input produksinya. Oleh karena itu, dengan adanya analisis tingkat pendapatan dan efisiensi teknis usahatani ubi kayu dapat mengetahui biaya produksi yang dikeluarkan dan tingkat efisiensinya. Hasil dari penelitian tersebut diharapkan dapat membantu petani dalam proses pengembangan usahatani ubi kayu. Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dipaparkan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah keragaan usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana tingkat efisiensi teknis dalam penggunaan faktor-faktor produksi usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Mengidentifikasi keragaan usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis tingkat efisiensi teknis dalam penggunaan faktor-faktor produksi usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1. Memberikan informasi kepada petani dalam mengusahakan usahatani ubi kayu menjadi lebih baik, sehingga bisa meningkatkan pendapatannya. 2. Bagi penulis, penelitian ini dapat memperdalam teori yang telah dipelajari bila dibandingkan fakta di lapangan. 3. Penelitian ini dapat membantu pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang tepat sasaran di masa mendatang. 4. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi atau sumber informasi dalam penilitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dengan judul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Kayu Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor ini dilakukan untuk mengetahui pendapatan petani dan efisiensi teknis produksi ubi kayu. Petani responden yang dijadikan objek penelitian adalah petani ubi kayu yang melakukan usahataninya pada periode musim tanam 2013. Metode yang digunakan dalam pengambilan data keragaan usahatani yaitu secara kualitatif berdasarkan fakta di lapangan. Sedangkan data kuantitatif digunakan untuk menganalisis pendapatan usahatani dan efisiensi teknis terhadap penggunaaan faktor-faktor produksi serta kelayakannya.

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Komoditas Ubi Kayu Usahatani ubi kayu relatif mudah bila dibandingkan dengan jenis tanaman pangan lainnya. Terdapat pedoman usahatani ubi kayu yang harus dipenuhi agar usahatani ubi kayu berjalan dengan baik. Ubi kayu dapat tumbuh di daerah mana saja, tetapi akan maksimal pada daerah beriklim tropis dengan suhu anatara 180350 C dan kelembaban udara 65 persen. Curah hujan yang dibutuhkan agar mampu berproduksi optimum adalah 760-1015 mm per tahun (Suharno et al. 1999) Sebelum melakukan penanaman perlu dipersiapkan bibit terlebih dahulu. Bibit yang cocok untuk usahatani ubi kayu adalah stek batang bagian tengah yang berumur 8-12 bulan dengan panjang 20-25 cm dan mata tunas minimal 10 mata. Kemudian stek diperlakukan dengan menggunakan insektisida maupun fungisida terlebih dahulu agar terhindar dari hama dan penyakit tanaman. Penanaman dalam usahatani ubi kayu ada dua metode, yaitu teknik monokultur dan tumpangsari. Teknik monokultur biasa digunakan dalam usahatani komersil yang terbatas modal dengan jarak tanam 1m x 1m. Sedangkan teknik tumpangsari jarak tanamnya baris ganda 0.5m x 0.5m x 4m yang diselanya berjarak empat meter dapat ditanami dengan jagung, padi gogo, maupun kedelai.

6 Awal penanaman ubi kayu paling baik adalah pada saat musim hujan I pada tahun tersebut. Dalam kegiatan usahatani ubi kayu kegiatan pemeliharaan meliputi pemupukan dengan dosis 100 kg urea + 50 kg KCl + 100 kg SP pada umur satu bulan dan 100 kg urea + 50 kg KCl pada umur tiga bulan. Kegiatan selanjutnya adalah penyulaman yang dilakukan paling lambat satu minggu setelah tanam. Kemudian kegiatan penyiangan dilakukan pada awal musim tanam atau 5-10 minggu setelah tanam dan pembumbunan saat umur 2-4 bulan. Kegiatan pemeliharaaan yang penting adalah pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila terjadi serangan. Hama yang biasa dijumpai pada tanaman ubi kayu adalah hama tungau merah yang muncul pada musim kemarau. Pemberantasan terhadap hama ini dilakukan dengan cara fumigasi menggunakan larutan belerang dicampur dengan larutan sabun. Untuk penyakit yang biasa dijumpai adalah Xanthomonas manihotis (jenis bakteri), gejala serangan: daun mengalami bercak-bercak seperti terkena air panas. Pemberantasan dilakukan dengan menggunakan bakterisida dan penyakit bercak daun (Cercospora henningsii) yang sering dijumpai menyerang daun yang sudah tua. Panen pada ubi kayu tergantung pada varietas yang digunakan. Pada varietas genjah dilakukan pada umur 6-8 bulan sedangkan ubi kayu varietas berumur dalam dipanen pada umur 9-12 bulan.

Studi Empiris Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan topik “Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor”. Adapun penelitian yang terkait adalah sebagai berikut: Herdiman (2010) meneliti tentang “Analisis Pendapatan Usahatani Jambu kristal di Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor.” Dalam penelitiannya Herdiman mengidentifikasi bagaimanakah keragaan usahatani jambu kristal di Desa Gunung Malang, pendapatan usahataninya, serta keuntungan parsial yang didapatkan petani jambu Kristal dengan sistem organik. Hasil analisis biaya usahatani menunjukkan bahwa total biaya usahatani jambu kristal per hektar sebesar Rp8 912 701.59, yang terdiri dari biaya tunai sebesar Rp6 125 225.40 dan biaya diperhitungkan sebesar Rp2 787 476.19. Dari struktur biaya yang dikeluarkan petani responden dapat dilihat bahwa dalam budidaya jambu kristal ini petani telah menjadikan jambu kristal sebagai usahatani komersial dimana petani lebih banyak menggunakan faktor produksi yang yang didapatkan secara tunai. Hasil analisis penerimaan usahatani menunjukkan total penerimaan usahatani petani responden di Desa Gunung Malang untuk lahan seluas satu hektar selama satu musim tanam sebesar Rp15 902 603.17, sehingga pendapatan usahatani dari budidaya jambu kristal tersebut sebesar Rp9 777 377.78 atas biaya tunai dan Rp6 989 901.59 atas biaya total. Dari hasil analisis pendapatan usahatani juga didapatkan kesimpulan bahwa kegiatan usahatani jambu kristal petani responden di Desa Gunung Malang layak untuk dijalankan karena menghasilkan nilai R/C yang cukup tinggi yaitu 2.60 untuk R/C atas biaya tunai, dan R/C atas biaya total sebesar 1.78. Hasil perhitungan dan analisis anggaran keuntungan parsial menunjukkan bahwa

7 usahatani dengan upaya substitusi dengan pupuk kandang layak untuk dijalankan karena menghasilkan keuntungan tambahan meskipun keuntungan yang diperoleh tidak begitu besar yaitu Rp184 634.13. Amri (2011) melakukan penelitian “Analisis Efisiensi produksi dan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Penelitian tersebut mempunyai tiga tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pertama adalah untuk mengetahui pedoman usahatani ubi kayu di Desa Pasirlaja. Tujuan kedua yaitu untuk mengetahui pendapatan petani ubi kayu. Kemudian yang ketiga bertujuan menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Hasil yang dikemukakan Amri dalam penelitiannya yaitu petani ubi kayu di Desa Pasirlaja masih belum menggunakan pedoman usahatani ubi kayu yang benar. Hal itu dikarenakan petani masih belum menggunakan pupuk dan pola tanam yang sesuai pedoman. Adapun R/C rasio atas biaya tunai usahatani ubi kayu di Desa Pasirlaja sebesar 2.80 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1.59. Kemudian penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani ubi kayu di Desa Pasirlaja masih belum optimum. Kurang optimumnya ditunjukkan oleh nilai rasio NPM-BKM yang tidak sama dengan satu. Arya (2012) dalam penelitiannya tentang “Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Caisin: Pendekatan Stochastic Production Frontier (Kasus di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)” menyatakan bahwa unsur produksi yang berkorelasi positif dan nyata adalah lahan, benih, pupuk kandang, obat-obatan, dan tenaga kerja. Sedangkan yang berkorelasi negatif dan nyata adalah unsur N. Pada penelitian tersebut diketahui efisiensi teknis deri petani responden sebesar 70 persen dari produksi maksimum. Sisa 30 persen masih belum efisien, sehingga usahatani caisin di Desa Ciaruteun Ilir bisa dikatakan cukup efisien dan masih bisa ditingkatkan sebesar 30 persen lagi. Puspitasari (2013) melakukan penelitian tentang “Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Paprika Hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat”. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa penggunaan benih dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi paprika hidroponik per satuan lahan. Sedangkan faktor produksi seperti nutrisi, insektisida, dan fungisida tidak berpengaruh nyata dalam peningkatan produksi paprika hidroponik. Tingkat efisiensi teknis usahatani paprika hidroponik yang diteliti Puspitasari (2013) sebesar 89.9 persen dari produktivitas maksimum dan 10.1 persen sisanya masih belum efisien. Hal ini menunjukkan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu tingkat efisiensi teknisnya sudah tinggi.

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Usahatani Ilmu usahatani dapat dianggap sebagai ilmu terapan, yang sangat tergantung kepada struktur pertanian suatu wilayah, cara-cara beternak serta kondisi sosial

8 ekonominya. Walaupun ilmu usahatani adalah suaru art, tetapi tentu menggunakan teori-teori yang bersifat universal, misalnya prinsip-prinsip ekonomi, teori marjinal, anggaran, dan analisa-analisa lain untuk menggunakan sumberdaya yang tersedia. Atas dasar pengertian diatas maka usahatani dapat diartikan sebagai ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian. Karena sifatnya adalah manajemen maka dapat pula diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada suatu usaha pertanian untuk mencapai tujuan yang telah disepakati oleh manajer atau keluarga petani tersebut (Prawirokusumo 1990). Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Menurut Suratiyah (2011), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Konsep Pendapatan Usahatani Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Penerimaan yang diperhitungkan adalah peneriman yang mencakup nilai produk yang dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan atau berada di gudang pada akhir tahun. Penerimaan total usahatani merupakan total dari penerimaan tunai usahatani ditambah dengan penerimaan yang diperhitungkan (Soekartawi et al. 2011). Pengeluaran tidak tetap (variable cost) didefinisikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk tanaman tertentu dan jumlahnya berubah kira-kira sebanding dengan besarnya produksi tanaman tersebut. Pengeluaran tetap (fixed cost) adalah pengeluaran usahatani yang jumlahnya tetap tidak bergantung kepada besarnya produksi. Komponen pengeluaran tetap antara lain: pajak tanah, pajak air, penyusutan alat, pemeliharaan traktor, biaya kredit atau pinjaman. Penyusutan merupakan penurunan nilai inventaris yang disebabkan oleh pemakaian selama tahun pembukuan. Nilai penyusutan dapat dihitung dengan metode garis lurus. Suratiyah (2011) menjelaskan bahwa metode garis lurus yaitu suatu metode dimana biaya penyusutan yang dikeluarkan setiap tahunnya sama hingga habis umur ekonomis dari alat tersebut. Metode tersebut diasumsikan dengan nilai sisa dianggap nol. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran yang diperhitungkan didefinisikan sebagai pengeluaran yang tidak benar-benar dikeluarkan oleh petani dalam menjalankan usahataninya, namun ikut diperhitungkan. Biaya tidak tunai dari biaya tetap antara lain biaya sewa lahan milik sendiri, penyusutan alat-alat pertanian, bunga kredit bank dan sebagainya, sedangkan biaya tidak tunai dari biaya variabel antara lain biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga dalam pengolahan tanah dan pemanenan. Sehingga pengeluaran total merupakan jumlah

9 dari pengeluaran tunai usahatani dan pengeluaran yang diperhitungkan (Soekartawi et al. 2011). Selisih antara penerimaan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahataani (net farm income). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan kedalam usahatani. Oleh karena itu, pendapatan bersih usahatani merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk penampilan beberapa usahatani. Karena bunga modal tidak dihitung sebagai pengeluaran, maka pembandingan tidak dikacaukan oleh perbedaan tingkat hutang. Bagaimanapun juga, pendapatan bersih usahatani merupakan langkah antara untuk menghitung ukuran-ukuran keuntungan lainnya yang mampu memberikan penjelasan lebih banyak (Soekartawi et al. 2011). Menurut Soeharjo dan Patong (1973) metode yang paling cocok menganalisis keuntungan usahatani adalah dengan menggunakan R/C ratio. Dimana R/C ratio menunjukkan besar penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran per satuan biaya. Apabila nilai R/C < 1, maka tiap unit biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan yang diperoleh. Kemudian nilai R/C > 1, menunjukkan penerimaan yang lebih besar dari unit biaya yang dikeluarkan. Sedangkan apabila nilai R/C = 1, maka terjadi titik impas antara tiap unit biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diterima. Konsep Fungsi Produksi Fungsi produksi menurut Mubyarto (1994) didefinisikan sebagai suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi ini dituliskan seperti berikut: dimana: Y X1....Xn

: hasil produksi fisik : faktor-faktor produksi

Dalam produksi pertanian digunakan lebih dari satu faktor produksi. Agar dapat menggambarkan fungsi produksi dan menganalisis peranan masing-masing faktor produksi, maka dari sejumlah faktor-faktor produksi itu salah satu faktor produksi kita anggap variabel (berubah-ubah). Sedangkan faktor produksi lainnya dianggap konstan. Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti kaidah kenaikan hasil yang berkurang (law of diminishing returns). Artinya setiap tambahan unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut. Kemudian suatu ketika sejumlah unit tambahan masukan akan menghasilkan produksi yang terus berkurang (Soekartawi et al. 2011). Produktivitas suatu produksi dapat diukur dengan menggunakan produk marjinal (PM) dan produk rata-rata (PR). Produk marjinal adalah tambahan satu satuan produksi atau hasil (output), yang diperoleh dengan penambahan satu satuan input. Sedangkan produk rata-rata yaitu perbandingan antara output total

10 dengan input produksi (Mochtar 2004). Adapun PM dan PR digambarkan sebagai berikut: ⁄ ⁄ keterangan: dY : perubahan jumlah output yang diproduksi dXi : perubahan jumlah input ke-i yang digunakan Y : jumlah output Xi : jumlah input ke-i Kosep Fungsi Produksi Stochastic Frontier Menurut Doll dan Orazem (1984) fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi frontier dapat diturunkan dengan penggabungan titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Sehingga dapat mewakili kombinasi input yang paling efisien secara teknis. Sejak dikembangkannya Stochastic Frontier Production Function (SFPF) oleh Aigner et al. (1977) dan Meeusen and van den Broeck (1977), evaluasi terhadap efisiensi suatu usaha secara individual dan industri menjadi populer untuk meningkatkan ketersediaan data dan kemampuan komputer untuk menganalisisnya. Ekonometrik, merupakan pendekatan untuk mengestimasi SPFP khususnya menentukan fungsi parameter produksi pada seluruh unit ekonomi dan komponen stochastic dari dua bagian error. Coelli et al. (2005) menyatakan bahwa fungsi stochastic frontier memiliki dua error term, yaitu random effects (vi) dan inefisiensi teknis (ui). Secara matematis dituliskan sebagai berikut:

dimana: Yi Xi β Vi Ui

: produksi yang dihasilkan pada waktu ke-i : vektor input yang digunakan pada waktu ke-i : vektor parameter yang akan diestimasi : variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal ( Vi ~ N (0, σ v2) ) : variabel acak non negatif, diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis, berkaitan dengan faktor-faktor internal, dan sebaran Ui bersifat setengah normal ( Ui ~ |N (0, σ v2)| )

Jika dalam suatu input yang digunakan untuk menggantikan input eksisting yang sebelumnya telah digunakan, maka efisiensi input dapat digambarkan dalam Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, Sepanjang garis cembung (determinant production) menunjukkan titik-titik efisien. Bila dalam analisis menunjukkan penggunaan input Xi dan Xj menghasilkan produk yang berada di atas garis frontier ( Vi ); dan di bawah garis frontier menunjukkan bahwa kedua input belum berada pada titik efisiensi produksi. Ada variabel lain yang tidak teramati atau tidak tercantum dalam fungsi sehingga menggambarkan perbedaan tersebut. Sejauh mana bisa

11 diketahui tingkat efisiensi produksi salah satunya dengan metode Stochastic Frontier Production Function (Battese 1991).

Gambar 1 Kurva fungsi produksi stochastic frontier3 Konsep Elastisitas Produksi Konsep elastisitas produksi digunakan untuk mengukur sampai berapa besar tingkat perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang diproduksi sebagai akibat perubahan dari salah satu faktor yang mempengaruhinya (Firdaus 2009). Elastisitas produksi dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi. Dalam persamaan matematis, elastisitas produksi digambarkan sebagai berikut:

dimana: Ep dY dXi Y Xi PM PR

3

: elastisitas produksi : perubahan output : perubahan input ke-i : jumlah output : jumlah input ke-i : produksi marjinal : produksi rata-rata

Battese. 1991. Kurva Fungsi Produksi Stochastic Frontier [internet]. [diunduh tanggal 15 April 2014]. Tersedia pada: http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=552:a dopsi-teknologi-dan-efisiensi-usaha-ternak-&catid=53:artikel&Itemid=49

12 Seperti halnya elastisitas permintaan dan penawaran, elastisitas produksi juga mempunyai lima jenis elastisitas, yaitu: 1) Inelastis (Ep < 1) 2) Elastis (Ep > 1) 3) Elastisitas uniter (Ep = 1) 4) Inelastis sempurna (Ep = 0) 5) Elastis sempurna (Ep = ~) Menurut Doll dan Orazem (1984) nilai elastisitas berdasarkan fungsi produksi klasik terbagi menjadi tiga daerah seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Kurva fungsi produksi klasik4 Daerah produksi I menggambarkan nilai Produk Marjinal (PM) lebih besar dari Produk rata-rata (PR). Nilai elastisitas produksi lebih dari satu, yang berarti bahwa penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum masih belum tercapai, karena produksi masih dapat diperbesar dengan menggunakan faktor produksi dalam jumlah yang lebih banyak. Oleh karena itu daerah produksi satu disebut daerah irrasional. Pada daerah II, Produk Marginal menurun lebih kecil dari Produk Rata-rata, namun besarnya masih lebih besar dari nol. Nilai elastisitas produksi pada daerah ini bernilai antara nol dan satu. Hal ini berarti setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol. Penggunaan faktor produksi pada tingkat tertentu 4

Doll dan Orazem. 1984. Kurva fungsi produksi klasik [internet]. [diunduh tanggal 4 April 2014]. Tersedia pada: http://dianmiracle.wordpress.com/2011/11/

13 dalam daerah ini akan dicapai keuntungan maksimum. Daerah ini disebut daerah yang rasional. Pada Daerah III, Produk Marjinal bernilai negatif. Daerah ini mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol, artinya setiap penambahan faktorfaktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah produksi ini mencerminkan pemakaian faktor-faktor produksi yang tidak efisien. Daerah ini disebut daerah irrasional. Konsep Efisiensi Skala Produksi Ilmu ekonomi produksi mempelajari konsep efisiensi skala produksi. Konsep tersebut digunakan untuk menentukan kenaikan hasil produksi dengan laju yang menaik, konstan, atau bahkan menurun. Jika laju kenaikan produksi menaik, maka peristiwa tersebut disebut efisiensi skala produksi yang menaik (increasing return to scale). Apabila efisiensi skala kenaikan hasil produksi hanya sebanding dengan hasil sebelumnya berarti efisiensi skala produksi adalah tetap (constant return to scale). Sedangkan kenaikan hasil produksi menurun dari sebelumnya disebut efisiensi skala produksi yang menurun (decreasing return to scale). (Mubyarto 1994) Konsep Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Usahatani yang efisien adalah usahatani yang dapat memaksimumkan laba. Maksimisasi laba pada produksi usahatani dapat tercapi apabila petani berproduksi di daerah II (1). Daerah II disebut daerah rasional, yaitu daerah dimana manajer harus memilih input untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal. Menurut Doll dan Orazem (1984), keuntungan maksimum merupakan turunan pertama dari fungsi produksi terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol. Secara matematis digambarkan sebagai berikut:

Keterangan: π : pendapatan usahatani Xi : jumlah pemakaian faktor produksi ke-i Py : harga per unit output Y : hasil produksi Pxi : harga pembelian faktor produksi ke-i Pada saat dY/dXi, maka dapat digantikan sebagai produk marjinal faktor produksi ke-i (PMxi), seperti persamaan dibawah ini: Ketika mengacu pada prinsip keseimbangan marjinal, (Py.PMxi) harus sama dengan (Pxi) agar tercapainya keuntungan maksimum. Dimana (Py.PMxi) sisebut nilai produk marjinal (NPM) dan (Pxi) sebagai biaya korbanan marjinal (BKM). Secara umum, keuntungan maksimum dapat dirumuskan seperti berikut:

14 Keterangan: NPMxi BKMxi

: nilai produk marjinal faktor produksi ke-i : biaya korbanan marjinal faktor produksi ke-i

Rasio antara NPM dan BKM yang lebih dari satu, akan menyebabkan tambahan penerimaan lebih besar dari tambahan biaya, sehingga petani harus menambah jumlah input agar sama dengan satu. Sedangkan saat rasio NPM dan BKM kurang dari satu, maka penambahan biaya akan lebih besar dibanding dengan tambahan penerimaan, sehingga petani harus mengurangi input agar sama dengan satu. Konsep Inefisiensi Produksi Terdapat dua pendekatan alternatif untuk menguji sumber-sumber inefisiensi. Pertama ialah dengan prosedur dua tahap. Tahap pertama terkait dengan pendugaan terhadap skor efisiensi (efek inefisiensi) bagi individu perusahaan. Tahap kedua, pendugaan terhadap regresi inefisiensi dugaan dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Pendekatan kedua adalah efek inefisiensi dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelaskan inefisiensi dalam proses produksi. (Coelli 2005) Menurut Coelli (2005) dalam mengukur inefisiensi teknis digunakan variabel Ui yang diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (μ , σ 2). Nilai parameter distribusi (μ ) efek inefisiensi teknis dapat diperoleh dari: dimana δ adalah parameter skalar yang dicari, Zi merupakan variabel penjelas, dan Wi adalah variabel acak.

Kerangka Pemikiran Operasional Ubi kayu merupakan komoditas sub sektor tanaman pangan yang sudah banyak dikenal masyarakat dan berpotensi untuk dikembangkan. Selain sebagai bahan baku pangan pengganti beras, ubi kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Jumlah penawaran yang terus meningkat memaksa petani untuk meningkatkan produktivitas dan produksinya. Desa Galuga merupakan desa penghasil ubi kayu terbesar di Kecamatan Cibungbulang, dimana Kecamatan Cibungbulang merupakan sentra terbesar di Kabupaten Bogor. Dengan produktivitas yang besar melebihi produktivitas ratarata nasional, usahatani ubi kayu di Desa Galuga belum dimaksimalkan. Hal ini dikarenakan belum efisiennya penggunaan fakor-faktor produksi usahatani seperti luas lahan, jumlah bibit, pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, pupuk K dan tenaga kerja. Analisis keragaan usahatani ubi kayu di Desa Galuga perlu dilakukan. Hal ini untuk mengetahui gambaran umum usahatani ubi kayu. Analisis pendapatan usahatani diperlukan untuk mengidentifikasi penerimaan dan biaya yang dikeluarkan petani, agar dapat diketahui pendapatan usahatani serta efisiensi produksi ubi kayu di Desa Galuga. Adapun metode pengukuran tingkat kelayakan usahatani dilakukan dengan menggunakan R/C ratio. R/C ratio juga dapat

15 digunakan sebagai alat perencanaan di masa mendatang. Pencarian model produksi usahatani ubi kayu digunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Kemudian digunakan fungsi produksi stochastic frontier untuk menduga efisiensi dan inefisiensi produksinya. Sehingga dapat diberikan rekomendasi usahatani ubi kayu yang efisien di Desa Galuga. 1. Produktivitas ubi kayu Desa Galuga tinggi 2. Faktor-faktor produksi usahatani yang berpengaruh: luas lahan, jumlah bibit, pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, pupuk K dan tenaga kerja 3. Faktor inefisiensi: umur petani, pendidikan formal, umur bibit, pengalaman berusahatani, umur panen, status kepemilikan lahan, keikutsertaan dalam kelompok tani dan status usahatani Usahatani Ubi Kayu Desa Galuga

Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis: Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Analisis R/C Ratio

Rekomendasi Usahatani Ubi Kayu Desa Galuga Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional usahatani ubi kayu Desa Galuga

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian dipilih di Kabupaten Bogor karena merupakan salah satu daerah penghasil ubi kayu terbesar di Jawa Barat dan Desa Galuga adalah penghasil ubi kayu terbesar di Kabupaten Bogor. Adapun pengambilan data dilakukan bulan April 2014.

16 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder, baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dengan wawancara petani ubi kayu menggunakan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya serta pengamatan langsung usahatani responden. Data yang diperoleh dari hasil wawancara merupakan data hasil usahatani pada periode musim tanam 2013. Data sekunder diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan komoditas ubi kayu dan juga penelitian yang relevan dengan usahatani. Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari beberapa instansi yaitu : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, BP4K Kabupaten Bogor, dan lembaga lain yang terkait dengan penelitian ini serta media elektronik (internet). Kedua data ini kemudian diolah agar dapat tercapai tujuan dari penelitian ini.

Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan cara menentuan responden yang dipilih berdasarkan informasi yang diperoleh dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) Kecamatan Cibungbulan. Kemudian menuju petani selanjutnya berdasarkan rekomendasi dari petani sebelumnya. Penelitian dilakukan melalui wawancara langsung kepada petani ubi kayu dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan melakukan pengamatan langsung pada kegiatan usahatani responden di lokasi penelitian. Jumlah petani responden yang digunakan sebagai sampel sebanyak 40 orang petani yang masih aktif melakukan kegiatan usahatani ubi kayu di Desa Galuga. Penentuan responden sebanyak 40 orang dilakukan untuk memenuhi aturan umum secara statistik yaitu lebih dari atau sama dengan 30 orang karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti. Jumlah tersebut dianggap mewakili keragaman usahatani ubi kayu di Desa Galuga.

Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis kualitatif dan kuantitatif berdasarkan data primer dan sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis kualitatif diuraikan secara deskriptif untuk mengetahui gambaran mengenai aktivitas usahatani ubi kayu dan penggunaan input produksi dalam usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C analysis), pendugaan model produksi usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas serta fungsi produksi stochastic frontier untuk mengetahui efisiensi dan inefisiensi produksi ubi kayu. Data primer yang telah diperoleh dari hasil wawancara dengan petani

17 responden diolah dengan bantuan kalkulator dan komputer (program Microsoft Excel, Minitab 15, dan Frontier 4.1). Hasil pengolahan data primer disajikan dalam bentuk tabel yang kemudian diinterpretasikan dalam bentuk pembahasan. Analisis Keragaan Usahatani Keragaan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai usahatani di suatu daerah. Keragaan usahatani dapat dilihat dengan cara mengidentifikasi teknik budidaya dan output yang dihasilkan, serta penggunaan faktor-faktor produksi dari usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh petani responden. Analisis sistem usahatani melihat keterkaitan antar subsistem dari subsistem hulu hingga subsistem penunjang dalam usahatani (Nasution 2010). Sistem usahatani merupakan subsistem dari sistem agribisnis yang melakukan proses produksi. Sistem usahatani ubi kayu meliputi kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman (seperti penyiangan, pembumbunan, serta pengendalian hama dan penyakit), dan pemanenan. Sedangkan input produksi yang digunakan dalam suatu usahatani yaitu lahan, bibit, pupuk kimia, pupuk kandang, obat-obatan (pestisida cair dan pestisida padat), tenaga kerja (dalam dan luar keluarga), dan peralatan usahatani serta modal. Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara seluruh penerimaan usahatani dan pengeluaran usahatani (biaya) dalam satu musim tanam. Analisis pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani ubi kayu. Penerimaan usahatani merupakan nilai produk dari usahatani, yaitu hasil perkalian antara total produksi dengan harga produk pada suatu periode tertentu. Penerimaan usahatani ubi kayu terdiri dari penerimaan tunai dan tidak tunai. Pengeluaran atau biaya total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis dipakai di dalam produksi. Pengeluaran usahatani mencakup biaya tunai dan biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Biaya tunai pada usahatani ubi kayu antara lain biaya bibit, pupuk kimia, pupuk kandang, obat-obatan (pestisida cair dan pestisida padat), sewa lahan, pajak lahan, dan upah tenaga kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Biaya tidak tunai pada usahatani ubi kayu terdiri dari biaya sewa lahan milik sendiri, upah tenaga kerja dalam keluarga, dan penyusutan alat-alat pertanian bagi petani yang memliki alat-alat pertanian. Secara lebih rinci, perhitungan pendapatan usahatani ubi kayu dapat dilihat pada Lampiran 1. Penerimaan, total biaya, dan pendapatan dapat diformulasikan sebagai berikut: TR = Py.Y TC = Biaya Tunai + Biaya Tidak Tunai Π atas Biaya Tunai = TR – Biaya Tunai Π atas Biaya Total = TR – TC

18 Keterangan: TR : Penerimaan total usahatani (Rp) Py : Harga jual produk per unit (Rp/kg) Y : Total hasil produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani (kg) TC : Pengeluaran total usahatani (Rp) Π : Pendapatan usahatani (Rp) Menurut Suratiyah (2011), perhitungan penyusutan alat-alat pertanian pada dasarnya bertolak pada harga pembelian sampai dengan alat tersebut dapat memberikan manfaat. Biaya penyusutan perlu diperhitungkan karena usahatani ubi kayu menggunakan peralatan pertanian dalam aktivitasnya. Biaya penyusutan alat-alat yang digunakan dalam usahatani ubi kayu dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. Metode ini digunakan dengan asumsi nilai sisa dianggap nol. Nilai penyusutan diformulasikan sebagai berikut:

Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) digunakan sebagai alat untuk mengukur perbandingan penerimaan dan biaya usahatani. Analisis ini dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pendapatan usahatani dan kelayakan usahatani. Penerimaan usahatani merupakan nilai produk dari usahatani, yaitu hasil perkalian antara total produksi dengan harga produk pada suatu periode tertentu. Sebaliknya, biaya total usahatani merupakan pengeluaran usahatani atau nilai penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi usahatani. Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) dapat diperhitungkan atas biaya tunai dan biaya total. R/C atas biaya tunai diperoleh dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Sedangkan R/C atas biaya total diperoleh dengan cara membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total yang dikeluarkan dalam satu periode tertentu. Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) usahatani dapat diformulasikan sebagai berikut: ⁄ ⁄ Secara teoritis, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R/C-nya. Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasil analisis R/C yaitu: 1) Jika nilai R/C > 1, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan usahatani menguntungkan dan layak untuk diusahakan (setiap biaya yang dikeluarkan untuk usahatani ubi kayu akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari

19 biaya yang dikeluarkan). Makin tinggi nilai R/C, maka makin tinggi pula total penerimaan yang diperoleh. 2) Jika nilai R/C = 1, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan usahatani berada pada titik impas, yaitu tidak menghasilkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian (jumlah biaya yang dikeluarkan untuk usahatani ubi kayu akan menghasilkan penerimaan yang sama dengan biaya yang dikeluarkan). 3) Jika nilai R/C < 1, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan usahatani tidak memberikan keuntungan, sehingga tidak layak untuk diusahakan (setiap biaya yang dikeluarkan untuk usahatani ubi kayu akan menghasilkan penerimaan yang lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk menduga faktor-faktor produksi yang mempengaruhi tingkat efisiensi dan inefisiensi usahatani ubi kayu. Kandungan pupuk phonska (SNI 02-2803-2000) adalah Nitrogen (N) sebanyak 15 persen, Fosfat (P2O5) sebesar 15 persen, Kalium (K2O) sebesar 15 persen, Sulfur (S) sebanyak 10 persen dan kadar air maksimal 2 persen5. Sehingga pupuk N, P dan K diperhitungkan berdasarkan persentasi masing-masing pupuk. Model penduganya adalah sebagai berikut:

dimana: Y : produksi total ubi kayu (Kg) X1 : luas lahan garapan (m2) X2 : jumlah bibit (Stek) X3 : jumlah pupuk kandang (Kg) X4 : jumlah pupuk N anorganik (Kg) X5 : jumlah pupuk P anorganik (Kg) X6 : jumlah pupuk K anorganik (Kg) X7 : jumlah tenaga kerja (HOK) β0 : intersep βi : koefisien parameter penduga; dimana = 1,2,…,5 (Vi-Ui) : error term (Ui = efek inefisiensi teknis dalam model) 0< β i<1 (diminishing return) Adapun hipotesis awal dari koefisien (β i) masing-masing independen adalah β 1, β 2, β 3, β 4 β 5, β 6, β 7 > 0. Sehingga semakin besar jumlahnya, maka akan semakin meningkatkan produksi ubi kayu. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Produksi Variabel yang digunakan untuk menduga efek inefisiensi dalam penelitian ini, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong setengah normal (μ i, σ 2). 5

Petrokimia Gresik. 2012. Kandungan pupuk NPK Phonska [internet]. [diunduh tanggal 17 juni 2014]. Tersedia pada: http://www.petrokimia-gresik.com/Pupuk/Phonska.NPK.

20 Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani ubi kayu serta hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Umur petani (Z1), semakin tua umur petani diduga akan menyebabkan tingginya tingkat inefisiensi karena semakin lemah kondisi fisiknya. 2. Pendidikan formal (Z2), semakin tinggi pendidikan formal petani diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi karena akan mempengaruhi pengetahuan tentang usahataninya. 3. Umur bibit (Z3), semakin tua umur bibit yang digunakan diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi karena umur bibit yang tua akan memperkecil tingkat kematian pada tanaman. 4. Pengalaman berusahatani (Z4), semakin lama pengalaman petani dalam usahatani ubi kayu diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi karena petani lebih berpengalaman untuk mengatasi permasalahan dalam usahatani ubi kayu. 5. Umur panen (Z5), semakin lama umur panen dalam usahatani ubi kayu diduga akan memperkecil tingkat efisiensi karena semakin lama masa panen, maka bobot umbi akan meningkat. 6. Dummy status kepemilikan lahan (Z6), status lahan diduga akan mempengaruhi keseriusan petani dalam mengusahakan usahataninya. Petani dengan lahan sewa dan sakap akan lebih serius, sehingga dianggap bernilai satu dan nilai nol untuk petani lahan sendiri karena dianggap kurang serius. 7. Dummy keikutsertaan dalam kelompok tani (Z7), diduga berpengaruh terhadap inefisiensi teknis. Nilai satu utuk petani yang ikut kelompok tani dan nol bila petani tidak ikut kelompok tani. Keikutsertaan kelompok tani diduga dapat memberikan informasi yang lebih banyak dari penyuluh dibanding petani yang bukan anggota kelompok tani. 8. Dummy status usahatani (Z8), diduga mempengaruhi efek inefisiensi teknis karena mempengaruhi curahan waktu untuk usahatani ubi kayu. Nilai satu untuk petani dengan status usahatani ubi kayu sebagai pekerjaan utama dan nol untuk petani dengan status usahatani sampingan. Curahan waktu untuk status usahatani utama lebih banyak dibanding status usahatani sampingan. Adapun parameter dari efek inefisiensi teknis tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

Efek inefisiensi dan fungsi stochastic frontier didapatkan dari program Frontier 4.1. Hasil dari program akan memberikan perkiraan varians dari parameter dalam bentuk: ⁄ Nilai dari γ berkisar diantara angka nol dan satu. Nilai kritis menentukan penerimaan hipotesis. Adapun efisiensi teknis petani ke-I adalah nilai harapan dari (-Ui) yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

21 Pada persamaan diatas, TEi merupakan efisiensi teknis petani ke-i dan Yi adalah fungsi output deterministic (tanpa error term). Nilai efisiensi berbanding terbalik dengan efek inefisiensi yang juga berkisar anatara nol dan satu. Nilai efisiensi hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah input dan output tertentu (cross section data) dan bukan untuk input yang bersifat logaritmik (panel data). Pengujian Hipotesis Hasil output efek efisiensi teknis frontier dilakukan melalui pengujian hipotesa untuk mengetahui apakah terdapat inefisiensi di dalam model dengan nilai LR test galat satu sisi. Sedangkan uji-t untuk menduga apakah koefisien masing-masing parameter bebas (δ i) yang digunakan secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas (μ i). 1) Hipotesa Pertama H0 : γ , δ 0, δ 1, δ 2, δ 3, …. , δ 7 = 0 H1 : γ , δ 0, δ 1, δ 2, δ 3, …. , δ 7 > 0 Hipotesis nol berarti bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model. Akan tetapi apabila hipotesis tersebut diterima, maka model fungsi produksi sudah cukup mewakili data empiris sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square, dengan persamaan: . LR = -2 {ln[L(H0) / L(H1)]} Dimana L(H0) dan L(H1) adalah nilai dari fungsi likelihood dibawah hipotessa H0 dan H1. Kriteria uji: LR galat satu sisi > χ 2 restriksi (Tabel Kodde dan Palm) maka tolak H0 LR galat satu sisi < χ 2 restriksi (Tabel Kodde dan Palm) maka terima H0 Tabel chi-square Kodde dan Palm adalah tabel upper and lower bound dari nilai kritis untuk uji bersama persamaan dan pertidaksamaan restriksi. 2) Hipotesis Kedua H0 : δ 1 = 0 H1 : δ 1 ≠ 0 Berdasarkan hipotesis kedua, hipotesis nol berarti koefisien dari masingmasing variabel di dalam model efek inefisiensi sama dengan nol. Apabila variabel penjelas dalam model efek inefisiensi tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat inefisiensi dalam proses produksi maka hipotesis tersebut diterima. Pengujian yang digunakan adalah:

22 Ktiteria uji: |t-hitung| > t-tabel t(α , n-k-1): Tolak H0 |t-hitung| < t-tabel t(α , n-k-1): Terima H0 dimana: k : jumlah variabel bebas n : jumlah responden S(δ i) : simpangan baku koefisien efek inefisiensi

Definisi Operasional Beberapa variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi usahatani dan menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani ubi kayu antara lain: 1) Petani pemilik adalah petani yang memiliki lahan dan mengusahakan lahannya sendiri. Petani pemilik menggunakan seluruh lahannya untuk kegiatan usahatani ubi kayu. 2) Petani penggarap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain dalam melakukan kegiatan usahatani ubi kayu. 3) Umur ubi kayu adalah jumlah bulan atau waktu antara tanam dan panen. 4) Jarak tanam adalah jauhnya perbedaan dari satu ubi kayu ke ubi kayu disekitarnya pada saat ditanam (cm). 5) Pupuk adalah zat tambahan yang digunakan petani untuk meningkatkan kesuburan tanaman ubi kayu (Urea, TSP, KCl, Phonska, dan pupuk kandang). 6) Pestisida adalah zat kimia yang digunakan oleh petani untuk menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang tanaman ubi kayu. Pestisida yang digunakan berupa pestisida cair dan pestisida padat. 7) Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi dalam satu musim tanam (mulai dari pengolahan lahan hingga panen), baik yang berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Dalam teknis perhitungan, digunakan konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku. Tenaga kerja wanita dikonversi ke dalam HKP dengan angka konversi yang diperoleh dari hasil pembagian antara rata-rata upah tenaga kerja wanita dengan rata-rata upah tenaga kerja pria. 8) Produksi total adalah total produksi pada sebidang tanah dengan luasan lahan tertentu dalam satu musim tanam, yang diukur dalam satuan kilogram umbi ubi kayu. 9) Panen ubi kayu dilakukan sekitar umur 6-9 bulan setelah tanam. 10) Biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. 11) Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan petani untuk membeli pupuk TSP, pupuk urea, pupuk phonska, pupuk kandang, benih, obat-obatan, biaya untuk membayar pajak lahan, sewa lahan, dan upah tenaga kerja luar keluarga. 12) Biaya yang diperhitungkan adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang tunai atau pengeluaran untuk pemakaian input milik sendiri (penyusutan alat-alat pertanian bagi petani yang memliki alat-alat

23 pertanian), sewa lahan milik sendiri, dan pembayaran upah tenaga kerja dalam keluarga. 13) Metode perhitungan penyusutan usahatani ubi kayu menggunakan metode garis lurus dengan asumsi nilai sisa adalah nol. 14) Penerimaan usahatani merupakan nilai dari penjualan produksi total yang dihasilkan. Hasil penjualan diperoleh dari perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dengan tingkat harga output. 15) Pendapatan usahatani merupakan selisih antara total penerimaan dan total biaya usahatani. Perhitungan pendapatan usahatani dilakukan atas biaya tunai dan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai usahatani, sedangkan pendapatan atas biaya total merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total usahatani. 16) R/C yaitu perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya usahatani. 17) Harga jual ubi kayu adalah harga yang diterima petani pada saat panen di daerah penelitian dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram. Dalam rangka menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani ubi kayu, variabel-variabel yang diamati adalah: 1) Luas lahan (X1) adalah luas lahan garapan yang diusahakan petani. Satuannya meter persegi (m2). 2) Jumlah bibit (X2) adalah jumlah batang bibit yang digunakan dalam satu musim tanam ubi kayu. Satuannya adalah stek. 3) Pupuk Kandang per hektar (X3) adalah jumlah kilogram pupuk kandang yang digunakan dalam satu musim tanam per hektar. 4) Pupuk N anorganik (X4) adalah 45 persen pupuk urea dan 15 persen dari pupuk phonska yang digunakan dalam satu musim tanam. 5) Jumlah pupuk P anorganik (X5) adalah 36 persen pupuk TSP dan 15 persen dari pupuk phonska yang digunakan dalam satu musim tanam. 6) Jumlah pupuk K anorganik (X6) adalah 60 persen pupuk KCl dan 15 persen dari pupuk phonska yang digunakan dalam satu musim tanam. 7) Tenaga kerja (X7) adalah jumlah hari orang kerja yang digunakan dalam satu musim tanam. Satuan yang digunakan adalah hari orang kerja (HOK). Perhitungan HOK untuk pria sebesar 1, dan untuk wanita sebesar 0.8. Jam kerja petani di Desa Galuga selama 5 jam. Oleh karena itu, untuk 1 HOK pria dihitung dengan cara mengalikan antara jumlah jam kerja pria dengan 0.71 (5 jam dibagi 7 jam), sedangkan untuk menghitung HOK wanita, dilakukan dengan cara mengalikan antara jumlah jam kerja wanita dengan 0.8, kemudian dikalikan kembali dengan 0.71. 8) Umur petani (Z1) adalah umur petani saat musim tanam ubi kayu. Satuannya adalah tahun. 9) Pendidikan formal (Z2) adalah lamanya pendidikan formal seperti SD, SMP, maupun SMA yang diselesaikan petani. Satuan pengukurannya adalah tahun. 10) Umur bibit (Z3) adalah umur dari bibit yang ditanam. Satuan pengukurannya adalah hari. 11) Pengalaman berusahatani (Z4) adalah lamanya petani dalam mengusahakan usahatani ubi kayu. Satuan pengukurannya adalah tahun. 12) Umur panen (Z5) adalah lamanya petani dalam memanen ubi kayu. Satuaannya adalah bulan.

24 13) Status kepemilikan lahan (Z6) adalah status lahan yang digunakan dalam berusahatani (berupa dummy). Satu untuk lahan sewa dan sakap serta nol untuk lahan milik sendiri. 14) Keikutsertaan dalam kelompok tani (Z7) berupa dummy. Nilai satu untuk petani yang tergabung dalam kelompok tani dan nol untuk petani yang bukan anggota kelompok tani. 15) Status Usahatani (Z8) berupa dummy. Nilai satu untuk petani yang berusahatani ubi kayu sebagai pekerjaan utama dan nol untuk petani yang berusahatani ubi kayu sebagai pekerjaan sampingan.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Desa Galuga Desa Galuga merupakan salah satu Desa di wilayah Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Luas wilayah Desa Galuga yaitu 170.5 hektar yang terbagi dalam 4 dusun, 6 Rukun Warga (RW) serta 13 Rukun Tetangga (RT). Adapun batas wilayah Desa Galuga adalah sebagai berikut: 1) Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cijujung 2) Sebelah timur berbatasan dengan Desa Dukuh 3) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cemplang 4) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Leuwiliang Pemanfaatan lahan di Desa Galuga sebagaian besar digunakan untuk lahan pertanian. Sebesar 32.25 hektar untuk pemukiman dan pekarangan, 108 hektar berupa sawah, 1.2 hektar untuk jalan, 4 hektar untuk pemakaman, 0.02 hektar untuk kantor Desa, 25 hektar digunakan untuk perkebunan, dan sisanya untuk sarana umum lainnya (Profil Desa Galuga 2013). Jarak kantor Desa Galuga dengan kantor Kecamatan Cibungbulang adalah tiga kilometer dan jarak kantor Desa Galuga dengan Kabupaten Bogor adalah 50 kilometer. Sedangkan jarak kantor Desa Galuga dengan Provinsi Jawa Barat adalah 140 kilometer dan jarak kantor Desa Galuga dengan Ibukota Negara adalah 80 kilometer.

Karakteristik Petani Responden Petani responden yang digunakan dalam penelitian ini merupakan petani yang pernah mengusahakan usahatani ubi kayu di Desa Galuga. Adapun responden sejumlah 40 orang. Masing-masing responden memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, status kepemilikan lahan, status usahatani, keikutsertaan dalam kelompok tani, serta pengalaman usahatani. Perbedaan karakteristik responden tersebut akan mempengaruhi tingkat produksi ubi kayu. Jenis Kelamin Jenis kelamin petani responden berpengaruh terhadap usahatani ubi kayu Desa Galuga. Petani laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan petani perempuan.

25 Sehingga bisa berpengaruh dalam mengusahakan usahataninya. Sebaran jenis kelamin petani ubi kayu di Desa Galuga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran jenis kelamin petani responden di Desa Galuga tahun 2013 No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Laki-laki 33 82.50 2. Perempuan 7 17.50 Jumlah 40 100.00 Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat sebaran responden petani ubi kayu lakilaki sebesar 82.50 persen dan petani perempuan sebanyak 17.50 persen. Jumlah petani laki-laki lebih mendominasi dibandingkan dengan petani perempuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar perempuan di Desa Galuga hanya bekerja sebagai buruh tani atau ibu rumah tangga, bukan sebagi pelaku usahatani. Umur Petani responden pada penelitian ini memiliki umur yang beragam. Umur petani berkisar antara 35–78 tahun. Sehingga dapat dikelompokkan berdasarkan sebaran umur petani responden di Desa Galuga tahun 2013 seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran umur petani responden di Desa Galuga tahun 2013 No. Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. 31 – 40 8 20.00 2. 41 – 50 9 22.50 3. 51 – 60 15 37.50 4. > 61 8 20.00 Jumlah 40 100.00 Pada Tabel 4 terlihat bahwa persentase umur petani responden tertinggi yaitu berkisar antara 51–60 tahun sebesar 37.50 persen. Persentase umur terendah sebesar 20.00 persen berada pada kisaran umur 31–40 tahun dan >61 tahun. Kemudian 22.50 persen umur responden berada pada kisaran 41–50 tahun. Ratarata petani responden yang mengusahakan usahatani ubi kayu termasuk dalam golongan tua karena umurnya lebih dari 50 tahun. Usia produktif yang termasuk golongan muda relatif lebih sedikit yaitu hanya 20.00 persen yang mengusahakan usahatani ubi kayu. Hal ini dikarenakan sebagian besar golongan berusia muda di Desa Galuga lebih memilih bekerja sebagai wiraswasta maupun berdagang dibandingkan menjadi petani. Petani dengan usia yang lebiih muda diharapkan memiliki tenaga yang lebih kuat dibandingkan dengan petani berusia tua. Tetapi sebagian besar petani ubbi kayu Desa Galuga didominasi petani dengan usia yang sudah tidah produktif lagi. Sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap produksi ubi kayu. Tingkat Pendidikan Pendidikan petani di Desa Galuga relatif masih rendah. Sebagian besar petani hanya mampu menyelesaikan pendidikan setingkat SD yaitu sebesar 32.50 persen. Bahkan 20.00 persen petani belum pernah bersekolah dan 30.00 persen tidak tamat SD. Petani responden yang mampu menyelesaikan pendidikan

26 setingkat SMP dan SMA masing-masing hanya sebesar 7.50 persen. Kemudian hanya terdapat 2.50 persen yang berpendidikan tinggi dengan menyelesaikan jenjang pendidikan perguruan tinggi. Sebaran tingkat pendidikan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran tingkat pendidikan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Tidak Sekolah 8 20.00 2. Tidak Tamat SD 12 30.00 3. Tamat SD 13 32.50 4. Tamat SMP 3 7.50 5. Tamat SMA 3 7.50 6. Tamat Perguruan Tinggi 1 2.50 Jumlah 40 100.00 Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan petani dalam berusahatani. Petani responden di Desa Galuga sebagian besar berpendidikan rendah. Sebanyak 82.50 persen petani belum mengenyam pendidikan SMP dan hanya 17.50 persen yang berpendidikan setara SMP atau diatasnya. Sebagian besar petani yang berpendidikan rendah umumnya umurnya sudah tua. Pada saat masa mudanya petani belum begitu mementingkan pendidikan. Disamping itu, masalah finansial juga menjadi salah satu penyebab petani tidak mampu sekolah. Usahatani ubi kayu di Desa Galuga sebagian besar diusahakan oleh petani dengan pendidikan rendah. Semakin tingginya pendidikan suatu petani diharapkan dapat memberikan peran dalam peningkatan produksi. Tetapi berdasarkan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa petani didominasi oleh petani berpendidikan rendah. Sehingga diduga akan mengurangi tingkat efisiensi usahatani ubi kayu di Desa Galuga. Luas Lahan Garapan Luas lahan yang digarap petani di Desa Galuga bervariasi. Luasan lahan paling sempit yang digarap petani yaitu 0.01 hektar dan yang paling luas yaitu 2 hektar. Sebaran luas lahan garapan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran luas lahan garapan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 No. Luas Lahan (hektar) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. 0.01 – 0.1 27 67.50 2. 0.11 – 0.2 5 12.50 3. 0.21 – 0.3 1 2.50 4. 0.31 – 0.4 0 0 5. 0.41 – 0.5 4 10.00 6. > 0.5 3 7.50 Jumlah 40 100.00 Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa lahan yang diusahakan petani ubi kayu di Desa Galuga masih sempit. Sebanyak 67.50 persen petani masih mengusahakan usahatani ubi kayu di atas lahan 0.01–0.1 hektar. Petani yang

27 mengusahakan usahatani ubi kayu dengan luas lahan lebih dari 0.5 hektar hanya sebesar 7.50 persen. Hal ini berarti petani di Desa Galuga dapat dikatakan sebagai petani gurem. Petani gurem adalah petani yang mengusahakan usahatani dengan luas lahan kurang dari 0.5 hektar. Luasan lahan garapan dapat berpengaruh terhadap produksi ubi kayu. Semakin besar luas lahan, dapat meningkatkan pendapatan petani. Karena semakin besar peluang untuk meningkatkan penerimaannya. Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan terbagi menjadi tiga yaitu milik, sewa dan sakap. Lahan milik yaitu lahan yang dimiliki sendiri oleh petani, sehingga petani berkewajiban membayar pajak setiap tahunnya. Lahan sewa merupan lahan yang disewa petani dari pemilik lahan. Rata-rata sewa lahan di Desa Galuga berkisar antara Rp5 000 000 sampai dengan Rp7 000 000 untuk satu hektar per tahun. Harga sewa tersebut tergantung dengan lokasi dan kesuburan tanahnya. Sedangkan lahan sakap yaitu lahan yang diusahakan petani dengan cara bagi hasil dengan pemilik lahan. Besaran bagi hasil tergantung dengan pejanjian di awal ataupun secara suka rela. Sebaran status kepemilikan lahan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 dapat terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran status kepemilikan lahan petani responden di Desa Galuga tahun 2013 No. Status Kepemilikan Lahan Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Lahan Milik Sendiri 27 67.50 2. Lahan Sewa 8 20.00 3. Sakap 5 12.50 Jumlah 40 100.00 Berdasarkan Tabel 7, status kepemilikan lahan garapan di Desa Galuga sebanyak 67.50 persen dimiliki sendiri oleh petani. Lahan garapan yang statusnya sewa dan sakap masing-masing sebesar 20.00 persen dan 12.50 persen. Petani yang mengusahakan usahatani dengan status lahan sewa dan sakap akan lebih serius menggarap lahannya dibanding petani dengan lahan milik. Hal ini dikarenakan petani dengan lahan sewa dan sakap harus memberikan balas jasa kepada pemilik lahan. Sedangkan petani lahan milik hanya membayar pajak yang relatif kecil tiap tahunnya bila dibandingkan biaya yang dikeluarkan petani lahan sewa dan sakap. Status lahan yang digarap petani sebagian besar milik sendiri. Petani yang mengusahakan usahatani ubi kayu dengan lahan sewa maupun sakap diduga lebih efisien, karena memperhitungkan biaya. Berbeda dengan petani lahan milik sendiri yang kurang memperhitungkan biaya yang diperhitungkan terhadap lahan. Sehingga rata-rata petani dengan lahan milik memiliki pendapatan tunai lebih baik dibandingkan petani dengan lahan sewa maupun sakap. Status Usahatani Status usahatani mempengaruhi lamanya curahan waktu petani dalam mengusahakan usahataninya. Petani ada yang berusahatani sebagai pekerjaan

28 utama dan ada yang sebagai pekerjaan sampingan. Sebaran status usahatani petani responden di Desa Galuga tahun 2013 tersaji dalam Tabel 8. Tabel 8 Sebaran status usahatani petani responden di Desa Galuga tahun 2013 No. Status Usahatani Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Utama 22 55.00 2. Sampingan 18 45.00 Jumlah 40 100.00 Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa petani dengan status usahatani sebagai pekerjaan utama sebanyak 55.00 persen dan sebagai pekerjaan sampingan sebesar 45.00 persen. Lebih dari 50 persen petani responden di Desa Galuga menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian utama. Hal ini berarti curahan waktu yang diluangkan petani cukup lama dalam tiap harinya untuk berusahatani. Sehingga usahatani yang diusahakan bisa lebih baik bila dibandingkan petani dengan status sebagai pekerjaan sampingan. Adapun petani dengan status sampingan kebanyakan mengusahakan usahatani ubi kayu untuk mengisi lahan pekarangan yang kosong. Disamping itu, usahatani ubi kayu tidak perlu perawatan yang intensif bila dibandingkan komoditas lainnya. Keikutsetaan dalam Kelompok Tani Kelompok tani merupakan wadah bagi petani untuk saling bertukar informasi. Bukan hanya itu, kelompok tani juga sebagai tempat untuk mendapatkan bantuan dan pelatihan dari penyuluh lapang. Petani yang tergabung dalam kelompok tani bisa mendapatkan pengetahuan dan keuntungan bila dibandingkan petani biasa. Petani di Desa Galuga 22.50 persen tergabung dalam kelompok tani. Sebagian besar sisanya yaitu 77.50 persen memilih tidak ikut dalam kelompok tani (Tabel 9). Tabel 9 Keikutsertaan petani responden dalam kelompok tani di Desa Galuga tahun 2013 No. Keikutsertaan dalam Kelompok Tani Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Ya 9 22.50 2. Tidak 31 77.50 Jumlah 40 100.00 Petani di Desa Galuga sebagian besar tidak tergabung dalam kelompok tani. Hal yang menjadi penyebab kurangnya minat petani untuk berkelompok adalah kurangnya manfaat yang diperoleh. Seharusnya kelompok tani dijadikan wadah untuk bertukar informasi dan memperkuat kelembagaan. Tetapi pada kenyataannya petani yang berkelompok hanya untuk mencari bantuan saja. Sehingga peran kelompok tani masih kurang dalam pelaksanaannya di lapangan. Pengalaman Usahatani Pengalaman petani dalam mengusahakan usahataninya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu usahatani. Petani yang berpengalaman dalam usahatani komoditas ubi kayu seharusnya dapat lebih

29 mampu meningkatkan berpengalaman.

produktivitas

dibandingkan

petani

yang

kurang

Tabel 10 Karakteristik petani responden di Desa Galuga berdasarkan pengalaman berusahatani tahun 2013 No. Pengalaman Usahatani (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. 1 – 10 17 42.50 2. 11 – 20 9 22.50 3. 21 – 30 6 15.00 4. 31 – 40 6 15.00 5. > 40 2 5.00 Jumlah 40 100.00 Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa persentase terbesar petani (42.50 persen) di Desa Galuga memiliki pengalaman antara 1–10 tahun dalam berusahatani ubi kayu. Hanya 5.00 persen saja yang memiliki pengalaman lebih dari 40 tahun. Kemudian 22.50 persen berpengalaman antara 11–20 tahun serta masing-masing 15.00 persen petani memiliki pengalaman antara 21–30 persen dan 31–40 persen. Petani di Desa Galuga relatif sebagian besar masih memiliki pengalaman yang minimal dalam usahatani ubi kayu. Hal tersebut dikarenakan ubi kayu bukan merupakan komoditas pokok yang banyak diusahakan dibandingkan dengan padi. Petani dengan pengalaman yang sudah lama biasanya umurnya sudah tua dan mengusahakan usahatani ubi kayu secara konvensional. Sehingga petani kurang memperhatikan produktivitasnya. Petani dengan pengalaman lebih lama diharapkan dapat melakukan usahatani ubi kayu dengan produktivitas lebih maksimal. Tetapi pada kenyataannya, petani dengan pengalaman lebih lama masih menerapkan usahatani yang tradisional berdasarkan pengalamannya. Sehingga diperlukan petani dengan pengalaman yang mampu mengimplementasikan teknologi dan dapat mengikuti perkembangan zaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Ubi Kayu Keragaan usahatani dianalisis untuk mengetahui gambaran usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Keragaan usahatani dapat dilihat melalui teknik budidaya yang digunakan petani, input yang digunakan, output yang dihasilkan, serta faktor-faktor produksi lainnya yang bersangkutan dengan usahatani ubi kayu. Bibit Penggunaan bibit pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga bervariasi seperti bibit cimanggu, mentega, dan parelek. Sebagian besar bibit ubi kayu yang dominan digunakan adalah bibit ubi kayu varietas cimanggu dan mentega. Bibit

30 parelek hanya digunakan satu petani responden saja. Petani responden yang menggunakan bibit varietas cimanggu (Gambar 4) sebanyak 42.50 persen dan sebanyak 55.00 persen lainnya menggunakan varietas mentega.

Gambar 4 Bibit ubi kayu varietas cimanggu Bibit yang digunakan petani ubi kayu di Desa Galuga sebagian besar didapatkan dari tetangga, simpanan bibit pada musim tanam sebelumnya serta sebagian kecil hasil beli. Rata-rata kebutuhan bibit per hektar pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga adalah sebanyak 13 520 stek. Harga stek pada tingkat petani berkisar antara Rp50 – Rp100 per steknya. Sebelum melakukan penanaman biasanya petani memotong stek terlebih dahulu dengan ukuran 20 cm – 25 cm. Stek yang digunakan merupakan keturunan pertama sampai dengan ketiga dari indukan. Sebagian besar petani membiarkan bibit ubi kayu semalam sebelum ditanam. Hal ini dimaksudkan agar getah dari stek bisa keluar terlebih dahulu. Kemudian ada pula petani yang mencelupkan batang stek kedalam larutan urea untuk merangsang pertumbuhan akarnya sebelum ditanam. Persiapan Lahan Sebelum melakukan penanaman bibit ubi kayu, terlebih dahulu petani melakukan persiapan lahan. Persiapan yang dilakukan antara lain pembersihan lahan, pengolahan lahan, pembuatan guludan atau bedengan, pemberian kapur, dan penggunaan mulsa jerami. Pada awal kegiatan petani membersihkan lahan dari rumput liar yang ada disekitar lahan. Selanjutnya lahan diolah dengan menggunakan garpu ataupun linggis agar tanahnya gembur. Setelah tanah dirasa sudah gembur, petani membuat guludan menggunakan cangkul dengan rata-rata tinggi 35 cm, lebar 50-80 cm, dan panjang disesuaikan dengan petakan lahan masing-masing. Jarak antara guludan satu dengan lainnya rata-rata 80 cm. Petani memerlukan waktu rata-rata enam hari dengan masing-masing lima jam setiap harinya untuk satu hektar lahan dalam mengolah lahannya. Pada pengolahan lahan ada yang membuat guludan bersamaan dengan peggemburan lahan, tetapi ada pula yang digemburkan kemudian dibiarkan beberapa hari dan baru dibuat guludan.

31 Kegiatan selanjutnya petani memberikan kapur tanah. Pemberian lapur dimaksudkan agar kadar pH tanah sesuai dengan tingkat keasaman yang diinginkan. Kapur yang digunakan didapatkan petani dari batuan kapur disekitar daerah Galuga dan juga dari kios seperti kapur dolomit. Kemudian pada tahap penggunaan mulsa jerami pada lahan usahatani ubi kayu, petani responden keseluruhan tidak melakukannya. Hal tersebut dikarenakan tanaman ubi kayu sudah bisa tumbuh tanpa mulsa jerami bila dibandingkan dengan tanaman seperti padi. Setelah keseluruhan kegiatan tersebut lahan siap untuk ditanami bibit ubi kayu.

Gambar 5 Pembuatan bedengan ubi kayu Lahan yang digunakan pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga keseluruhan adalah lahan tadah hujan. Tidak ada yang berupa lahan irigasi. Hal ini dikarenakan bentang alam Desa Galuga yang berupa perbukitan. Penggunaan lahan ada yang berupa pekarangan rumah, lahan tegalan milik sendiri, lahan sewa, dan juga lahan sakap (bagi hasil). Lahan sewa rata-rata per hektar per periode tanam sebesar Rp4 832 961.31 dan untuk lahan milik rata-rata diperhitungkan sebesar Rp4 299 203.59 dengan pajak per hektar per periode tanam sebesar Rp125 772.59. Penanaman Kegiatan usahatani selanjutnya penanaman bibit. Bibit yang akan ditanam terlebih dahulu dicelupkan kedalam larutan urea agar mampu merangsang pertumbuhan akar. Bibit ditanam dengan cara ditancapkan langsung dengan mata tunas menghadap keatas. Jarak tanam yang digunakan dalam usahatani ubi kayu di desa Galuga rata-rata 80 cm x 100 cm dan jarak antar barisan sebesar 100 cm. Penggunaan jarak tanam yang renggang bertujuan untuk memberikan ruang bagi pertumbuhan umbi. Ketika penanaman ada petani responden yang menggunakan furadan disamping tanaman agar menghindari dari penyakit jamur. Jarak tanam yang digunakan petani responden rata-rata kurang sesuai anjuran penyuluh. Seharusnya penanaman ubi kayu secara monokultur menggunakan jarak tanam 100 cm x 100 cm, tetapi petani menggunakan jarak tanam 80 cm x 100 cm. Sehingga kurang memberikan ruang yang maksimal untuk pertumbuhan umbi.

32

Gambar 6 Proses penanaman ubi kayu Bibit yang digunakan petani rata-rata sudah mencapai umur delapan bulan. Semakin tua umur bibit akan semakin baik pertumbuhannya. Kebutuhan bibit untuk satu hektar lahan rata-rata sebanyak 13 520 stek. Penanaman bibit pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga dilakukan petani pada pagi hari saat awal musim penghujan atau sekitar bulan Januari sampai bulan Februari. Rata-rata dalam satu tahun petani hanya menanam ubi kayu satu kali saja. Pemupukan Kegiatan pemupukan dilakukan dengan cara pembuatan alur pupuk disamping tanaman terlebih dahulu. Kemudian pupuk ditaruh disepanjang alur. Tetapi ada pula petani yang melakukan pemupukan dengan cara menebar pupuk disekeliling tanaman membentuk lingkaran. Umumnya pupuk yang digunakan petani antara lain pupuk kandang, Urea, TSP, KCl, dan NPK Phonska. Harga pupuk di tingkat petani responden bervariasi satu dengan lainnya tergantung banyaknya jumlah pembelian. Semakin banyak jumlah yang dibeli, harganya akan semakin rendah. Pupuk kandang rata-rata harganya sebesar Rp300/Kg dan untuk pupuk urea sebesar Rp2 268/Kg. Harga rata-rata pupuk TSP dan KCl di tingkat petani sebesar Rp2 417/Kg dan Rp2 475/Kg. Kemudian untuk pupuk NPK Phonska rata-rata sebesar Rp2 143/Kg.

Gambar 7 Pemupukan sistem melingkar

33 Jumlah kebutuhan pupuk untuk setiap hektar lahan garapan petani bervariasi. Rata-rata untuk satu hektar lahan petani membutuhkan pupuk kandang sebanyak 3 475 Kg dan untuk pupuk urea sejumlah 364 Kg. Pupuk TSP dan KCl rata-rata petani membutuhkan sebanyak 242 Kg dan 304 Kg untuk setiap hektarnya. Kemudian kebutuhan pupuk NPK Phonska rata-rata sebesar 276 Kg per hektar. Proses dalam aplikasi pemupukan dilakukan sebanyak satu sampai tiga kali dalam satu periode panen. Pemupukan pertama dilakukan pada saat bersamaan dengan pengolahan lahan ataupun saat 1 Bulan Setelah Tanam (BST). Aplikasi kedua dilakukan pada saat 3 BST dan yang ketiga pada 5 BST. Banyaknya jumlah pupuk dan aplikasi pemupukan dapat mempengaruhi kesuburan tanah dan hasil panen yang didapatkan. Pemupukan di Desa Galuga belum tepat dosis dan tepat waktu. Pemupukan seharusnya dilakukan dengan dosis 100 kg urea + 50 kg KCl + 100 kg SP pada umur satu bulan dan 100 kg urea + 50 kg KCl pada umur tiga bulan. Pemeliharaan dan Perawatan Kegiatan pemeliharaan dan perawatan terdiri dari kegiatan pengairan, penyulaman, penyiangan, pembongkaran dan pembumbunan, serta pembalikan batang. Pengairan pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga bergantung pada air hujan. Hal tersebut dikarenakan sistem irigasi di Desa belum terbentuk mengingat kendala seperti bentang alam yang berupa perbukitan dan konversi lahan ke tempat pembuangan sampah. Sehingga keseluruhan lahan di Desa Galuga dapat dikatakan lahan tadah hujan. Penyulaman dilakukan pada saat 7 Hari Setelah Tanam (HST). Dimana bibit yang afkir atau tidak tumbuh dicabut dan diganti dengan bibit baru. Banyaknya bibit yang harus disediakan petani rata-rata sebanyak 2.4 persen tiap hektarnya. Kemudian pada saat daun sudah mulai tumbuh, pada setiap tanaman hanya disisakan dua pangkal saja yang saling berhadapan. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah perawatan dan pada saat pemanenan. Penyiangan pada kegiatan perawatan usahatani sangat penting. Lahan yang lebih sering disiangi akan berproduksi maksimal dibanding dengan lahan yang jarang disiangi. Hal tersebut karena unsur hara yang diserap tanaman akan lebih maksimal bila dibanding lahan yang haranya diserap gulma. penyiangan pada usahatani ubi kayu rata-rata dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali yaitu pada saat 2 BST, 4 BST, dan 6 BST. Alat yang digunakan petani saat penyiangan yaitu kored. Proses penyiangan sebagian besar dilakukan oleh tenaga kerja perempuan dibanding laki-laki. Pembumbunan dilakukan saat guludan atau bedengan mulai turun dikarenakan hujan. Proses pembumbunan hanya dilakukan sekali saja yaitu pada saat tiga sampai empat BST. Alat yang digunakan berupa cangkul yang biasanya dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki. Kemudian kegiatan pembalikan batang tidak dilakukan keseluruhan petani responden. Hal tersebut karena hampir keseluruhan petani fokus pada produksi umbinya. Penanganan Hama dan Penyakit Kegiatan usahatani ubi kayu tidak terlepas dari gangguan hama dan penyakit tanaman. Hama dan penyakit yang dijumpai petani responden yaitu hama wereng,

34 ulat, engkuk, dan penyakit putih daun. Sebagian besar petani tidak melakukan tindakan penanggulangan hama dan penyakit. Adapun sebagian petani yang melakukan penanggulangan menggunakan pestisida seperti furadan dan obat cair yang didapatkan di kios pertanian sekitar Desa. Obat tersebut kemudian dienceran dengan air dan dimasukkan dalam sprayer dan disemprotkan ke tanaman. Ratarata tanaman terserang hama dan penyakit pada saat awal penanaman karena masih rentan yaitu pada saat mendekati 1 BST. Kebutuhan obat per hektarnya sebanyak 6 Kg dengan harga Rp 5 063/Kg. Petani ubi kayu di Desa Galuga rata-rata kurang memperhatikan pengaruh serangan hama. Hama dan penyakit yang menyerang tanaman ubi kayu dibiarkan saja oleh petani. Hal itu dikarenakan hama dan penyakit yang menyerang tanaman ubi kayu akan hilang dengan sendirinya. Padahal pada saat terserang hama, tanaman akan berproduksi kurang optimal. Sehingga produksi ubi kayu tidak bisa maksimal. Panen dan Pasca Panen Kegiatan pemanenan pada komoditas ubi kayu dilakukan pada umbi dan daunnya. Umbi dipanen dengan cara dicabut langsung batangnya, sedangkan pada daun hanya dicabut pangkal batang daunnya saja. Ubi kayu mulai dapat dipanen umbinya pada saat 6 BST. Rata-rata petani melakukan pemanenan pada saat umbi berumur 8 BST. Semakin panjang waktu panennya, maka jumlah produksi umbinya akan semakin besar. Sedangkan pemanenan daun rata-rata dilakukan pada saat 40 HST. Sebagian besar tenaga kerja yang melakukan pemanenan adalah laki-laki. Umbi hasil panen yang didapatkan petani rata-rata 21 580/ha dengan harga rata-rata yang diterima petani sebesar Rp1 000/Kg. Produksi daun rata-rata yang dihasilkan petani sebesar 2 354 ikat/ha dengan harga rata-rata Rp 1 575/ikat di tingkat petani. Petani menjual hasil panennya langsung ke tengkulak dengan cara didatangi langsung. Pemanenan sebagian besar dilakukan oleh tenaga kerja dari tengkulak. Pembeli yang dominan berasal dari dalam Kecamatan Cibungbulang dan sebagian kecil dari luar Kecamatan. Petani menjual keseluruhan hasil panennya pada saat itu pula. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko. Penanganan pasca panen ubi kayu terdiri dari sortasi, grading, dan penyimpanan. Pada penanganan pasca panen usahatani ubi kayu di Desa Galuga tidak dilakukan sortasi maupun grading. Keseluruhan hasil produksi diangkut sekaligus. Penyimpanan umbi dilakukan untuk dikonsumsi sebagian kecil dari total produksi. Kemudian penyimbanan batang untuk proses tanam musim selanjutnya. Penyusutan Peralatan Peralatan merupakan suatu instrumen yang membantu mempermudah pekerjaan petani. Peralatan yang digunakan dalam usahatani ubi kayu di Desa Galuga antara lain cangkul, kored , garpu, sprayer, linggis, serta parang atau golok. Masing-masing peralatan mempunyai fungsi masing-masing seperti cangkul digunakan dalam pembuatan guludan dan pembumbunan. Kored digunakan dalam penyiangan dan sprayer untuk penyemprot hama. Garpu dan linggis mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk mengolah lahan supaya gembur, sedangkan parang atau golok untuk memotong bibit dan umbi.

35 Kegunaan peralatan mempunyai umur ekonomis serta umur teknis masingmasing. Umur teknis adalah umur peralatan selama masih bisa digunakan dengan baik, sedangkan umur teknis merupakan umur alat sampai tidak bisa digunkan lagi. Satu peralatan sejenis bisa mempunyai umur teknis yang berbeda-beda tergantung dari kualitannya. Sehingga harus dibedakan antara satu dan lainnya untuk mengetahui nilai penyusutannya. Nilai sisa pada penyusutan peralatan diasumsikan bernilai nol. Penyusutan peralatan dalam usahatani ubi kayu Desa Galuga per hektar per periode tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Penyusutan peralatan per hektar per periode panen usahatani ubi kayu di Desa Galuga tahun 2013 Umur Nilai Penyusutan Jenis Harga per No Jumlah Teknis per Periode Peralatan Satuan (Rp) (Th) (Rp/ha) 1 Cangkul 2 47 375.00 9 36 939.57 2 Kored 2 20 694.44 4 36 306.04 3 Garpu 1 59 705.88 8 26 186.79 4 Sprayer 1 141 666.67 8 62 134.50 5 Linggis 1 20 000.00 5 14 035.09 6 Parang/Golok 1 50 000.00 8 21 929.82 Total Penyusutan 197 531.81 Penggunaan Tenaga Kerja Tenaga kerja manusia digunakan pada setiap tahapan usahatani ubi kayu Desa Galuga mulai dari pembibitan sampe pasca panen. Tenaga kerja dibagi menjadi dua, yaitu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Petani melakukan kegiatan setiap harinya selama 5 jam atau dari pagi sampai siang. Satuan dari tenaga kerja yang digunakan adalah Hari Orang Kerja (HOK), dimana 1 HOK diasumsikan sama dengan 7 jam kerja. Tenaga kerja perempuan dianggap berkemampuan 0.8 dari tenaga kerja laki-laki. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani ubi kayu Desa Galuga dapat dilihat pada Tabel 12. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga lebih banyak berasal dari dalam keluarga bila dibandingkan dengan luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga rata-rata tiap petani responden berjumlah 119.13 HOK/ha dan 20.65 HOK/ha untuk penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usahatani ubi kayu Desa Galuga lebih banyak dikerjakan keluarga dibandingkan harus dikerjakan oleh buruh tani. Upah yang diberikan pada tiap tahapan usahatani ubi kayu sama, yaitu Rp43 816/HOK. Tenaga kerja yang digunakan pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga paling banyak dibutuhkan pada tahap pengolahan lahan dan paling sedikit pada tahap pasca panen. Kebutuhan tenaga kerja usahatani ubi kayu di Desa Galuga sebagian besar didominasi oleh tenaga kerja laki-laki dibandingkan dengan tenaga kerja perempuan. Hal tersebut dikarenakan usahatani ubi kayu membutuhkan tenaga yang kuat saat pengolahannya. Sedangkan tenaga kerja wanita sebagian besar dibutuhkan saat proses penyiangan.

36 Tabel 12 Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode panen di Desa Galuga tahun 2013 HOK / Ha No Aktivitas TKDK TKLK L P L P 1 Pembibitan 4.06 0.24 0.16 0 2 Pengolahan Lahan 48.55 8.10 13.06 0 3 Penanaman 6.48 2.10 1.08 0 4 Penyulaman 1.73 0.07 0.13 0 5 Penyiangan 15.32 8.86 0.84 1.76 6 Pembongkaran 4.51 0.55 0.57 0 7 Pemupukan 9.32 2.40 1.57 0.17 8 Pengendalian HPT 0.07 0 0.12 0 9 Panen 0.02 4.80 1.16 0 10 Pasca Panen 0.77 1.24 0.04 0 Jumlah 119.13 20.65

Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Kayu Pendapatan usahatani dijadikan sebagai suatu tolok ukur dalam menentukan keberhasilan usaha. Semakin tinggi pendapatan petani, maka kegiatan usahatani tersebut akan semakin menguntungkan. Pendapatan usahatani diukur dari total penerimaan usahatani dikurangi dengan pengeluaran usahatani. Penerimaan usahatani didapatkan dari hasil kali antara output yang dihasilkan dengan harga per satuannya. Pengeluaran usahatani didapatkan dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan petani baik tetap maupun variabel. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua macam yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan hasil dari penerimaan yang benarbenar diterima petani dikurangi dengan biaya tetap dan variabel yang dikeluarkan petani. Sedangkan pendapatan atas biaya total yaitu penerimaal total termasuk yang dikonsumsi maupun disimpan dikurangi dengan keseluruhan pengeluaran termasuk biaya yang diperhitungkan meskipun tidak dikeluarkan petani. Penerimaan Usahatani Ubi Kayu Penerimaan usahatani terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai usahatani ubi kayu merupakan penerimaan uang yang didapatkan dari hasil jual umbi dan daun. Sedangkan penerimaan non tunai dihitung dari umbi yang dikonsumsi sendiri maupun diberikan ke tetangga. Jumlah produksi per hektar dan juga harga jual umbi maupun daun akan mempengaruhi tingkat penerimaan petani. Semakin tinggi produksi maupun harga jual, maka penerimaan petani akan semakin besar. Harga rata-rata umbi yang dijual di tingkat petani sebesar Rp1 000/Kg. Petani kurang mempunyai daya tawar karena harga jual berdasarkan harga yang ditetapkan oleh tengkulak. Daun yang dijual petani dipatok dengan harga rata-rata Rp1 575/ikat. Jumlah produksi rata-rata untuk daun ubi kayu per satu hektar lahan

37 petani responden sebanyak 2 354.17 ikat. Sedangkan untuk produksi umbi yang dijual sebanyak 21 027.59 Kg/ha dan 553.14 Kg/ha yang digunakan petani untuk konsumsi sendiri maupun tetangga. Rata-rata penerimaan usahatani ubi kayu petani responden Desa Galuga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Rata-rata penerimaan usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode panen di Desa Galuga tahun 2013 Komponen Harga No Satuan Jumlah Total (Rp) Penerimaan (Rp) A Penerimaan Tunai 1. Umbi yang dijual Kg 21 027.59 1 000.00 20 990 086.96 2. Daun yang dijual Ikat 2 354.17 1 575.00 3 708 333.33 Total Penerimaan Tunai 24 698 420.29 B Penerimaan Non Tunai 1. Umbi yang dikonsumsi sendiri Kg 553.14 1 000.00 5 531 36.90 Total Penerimaam Non Tunai 55 3136.90 Penerimaan Total 25 251 557.19 Produktivitas lahan di Desa galuga untuk usahatani ubi kayu tahun 2013 masih rendah. Hal tersebut terlihat dari produktivitasnya sebesar 21 580.72 Kg/ha. Bila dibandingkan dengan produktivitas di Jawa Barat maupun nasional tahun 2013, produktivitas ubi kayu di Desa Galuga masih lebih rendah. Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat sebesar 22 026 Kg/ha dan untuk produktivitas ubi kayu nasional mencapai 22 418 Kg/ha. Sehingga produktivitas usahatani ubi kayu di Desa Galuga harus ditingkatkan lagi agar setidaknya sama dengan Jawa Barat bahkan nasional. Pengeluaran Usahatani Ubi Kayu Pengeluaran uasahatani terdiri dari pengeluaran tunai dan pengeluaran non tunai. Pengeluaran tunai merupakan pengeluaran yang dikeluarkan atas biaya dalam proses usahatani. Sedangkan pengeluaran non tunai yaitu biaya yang tidak dikeluarkan berupa uang tetapi diperhitungkan, seperti lahan milik ataupun aset. Pengeluaran tunai usahatani ubi kayu di Desa Galuga meliputi biaya bibit beli, pupuk, pestisida, kapur, sewa lahan, pajak lahan, dan TKLK. Persentase pengeluaran terbesar ada pada biaya pupuk (kandang, Phonska, Urea, TSP, dan KCl) yaitu sebesar 34.95 pesen. Kemudian yang kedua adalah biaya TKLK sebesar 25.68 persen dilanjutkan biaya sewa lahan 20.17 persen. Persentase terkecil pada pengeluaran tunai ada pada biaya kapur yaitu 0.17 persen (Tabel 15). Hal tersebut dikarenakan penggunaan kapur pada usahatani ubi kayu jarang dilakukan. Hanya pada lahan-lahan yang pHnya kurang baik saja. Jadi, tidak keseluruhan petani menggunakannya. Pengeluaran non tunai pada usahatani ubi kayu Desa Galuga terdiri dari biaya bibit milik sendiri atau tetangga, penyusutan peralatan, biaya lahan sendiri, serta TKDK. Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) memilik persentase paling tinggi dalam struktur biaya non tunai yaitu sebesar 57.91 persen (Tabel 15). Jumlah tersebut lebih dari setengah dari total keseluruhan pengeluaran non tunai

38 usahatani ubi kayu. Hal tersebut dikarenakan petani lebih memanfaatkan TKDK daripada harus dikerjakan buruh tani. Rata-rata pengeluaran usahatani ubi kayu per hektar per periode tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 14. Pengeluaran non tunai terbesar kedua dikeluarkan untuk biaya lahan sendiri yaitu 29.44 persen. Kemudian ketiga yaitu biaya bibit milik atau tetangga sebesar 10.16 persen dan selanjutnya penyusutan peralatan memiliki porsi paling kecil yaitu 2.22 persen. Total dari pengeluaran non tunai usahatani ubi kayu Desa Galuga sebesar Rp9 856 628.92. Tabel 14 Rata-rata pengeluaran usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode panen di Desa Galuga tahun 2013 Uraian A. Biaya Tunai 1. Bibit beli 2. Pupuk 3. Pestisida 4. Kapur 5. Biaya sewa lahan 6. Biaya pajak lahan 7. Biaya sakap lahan 8. TKLK Total biaya tunai B. Biaya Diperhitungkan 1. Bibit milik/tetangga 2. Penyusutan peralatan 3. Biaya lahan sendiri 4. TKDK Total biaya diperhitungkan Biaya Total

Nilai (Rp)

%

131 250.00 1 674 663.17 119 270.83 8 333.33 966 592.26 84 896.50 576 250.00 1 230 559.10 4 791 815.20

2.74 34.95 2.49 0.17 20.17 1.77 12.03 25.68 100.00

1 001 813.90 218 788.75 2 901 962.43 5 708 751.34 9 856 628.92 14 648 444.12

10.16 2.22 29.44 57.91 100.00

Pengeluaran total usahatani ubi kayu sebesar Rp14 648 444.12. Hasil tersebut didapatkan dari penjumlahan antara pengeluaran tunai sebesar Rp4 791 815.20 dengan pengeluaran non tunai sebesar Rp9 856 628.92. Bila dibandingkan pengeluaran tunai justru lebih kecil daripada pengeluaran non tunai. Hal itu mengindikasikan bahwa petani masih mengandalkan input-input yang dimilikinya dibandingkan dengan input dari hasil membeli. Pendapatan Usahatani Ubi Kayu Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dan pengeluaran usahatani. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih dari penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai. Pendapatan atas biaya total merupakan hasil dari penerimaan total dikurangi dengan pengeluaran total. Suatu usahatani dikatakan menguntungkan bila pendapatan usahataninya bernilai positif.

39 Rata-rata penerimaan tunai usahatani ubi kayu petani responden Desa Galuga sebesar Rp24 698 420.29 dan penerimaan total sebesar Rp25 251 557.19. Pengeluaran tunai usahatani ubi kayu sebesar Rp4 791 815.20, sedangkan pengeluaran totalnya sebesar Rp4 791 815.20. Pendapatan tunai rata-rata petani responden per hektarnya sebesar Rp 19 906 605.09 dan pendapatan totalnya sebesar Rp10 603 113.08. Pendapatan atas biaya tunai jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total. Hal tersebut disebabkan tingginya biaya yang diperhitungkan dalam usahatani ubi kayu. Sehingga biaya totalnya semakin tinggi dan mempengaruhi pendapatan total. Rata-rata pendapatan per hektar per periode petani responden Desa Galuga tahun 2013 lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata pendapatan usahatani ubi kayu petani responden per hektar per periode di Desa Galuga tahun 2013 A. B. C. D. E. F. G. H. I. J.

Komponen Penerimaan Tunai Penerimaan Non Tunai Penerimaan Total (A+B) Biaya Tunai Biaya Diperhitungkan Biaya Total (D+E) Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-D) Pendapatan Atas Biaya Total (C-F) R/C Atas Biaya Tunai (A/D) R/C Atas Biaya Total (C/F)

Satuan Rp/Ha Rp/Ha Rp/Ha Rp/Ha Rp/Ha Rp/Ha Rp/Ha Rp/Ha

Jumlah 24 698 420.29 553 136.90 25 251 557.19 4 791 815.20 9 856 628.92 14 648 444.12 19 906 605.09 10 603 113.08 12.35 1.67

Pendapatan petani ubi kayu di Desa Galuga berbeda-beda satu dengan lainnya. Rata-rata pendapatan atas biaya tunai per hektarnya sebesar Rp19 906 605.09 dan Rp10 603 113.08 untuk pendapatan atas biaya total. Berdasarkan hasil tersebut, petani responden masih bisa melakukan usahatani ubi kayu untuk musim tanam selanjutnya karena nilai dari pendapatan bisa menutupi biaya usahatani. Sehingga bisa dikatakan usahatani ubi kayu di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor menguntungkan. Pendapatan yang tinggi baik atas biaya tunai maupun atas biaya total belum tentu mencukupi kehidupan petani. Apabila dengan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp19 906 605.09 dibagi dengan masa tanam selama delapan bulan, maka hanya didapatkan rata-rata Rp2 488 325.6 tiap bulannya. Kemudian pendapatan atas biaya total sebesar Rp10 603 113.08 dibagi delapan bulan musim tanam, didapatkan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1 325 389.1 setiap bulannya. Besarnya pendapatan petani dirasa kurang menguntungkan, karena tidak mencukupi apabila harus digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekarang ini. Petani apabila ingin menghasilkan pendapatan rata-rata yang tinggi setiap bulannya, maka petani harus mengusahakan usahataninya dengan luas lahan garapan yang luas. Hal tersebut dapat dilakukan apabila petani mampu mendapatkan pembiayaan usahatani. Pembiayaan usahatani ubi kayu dapat dicari melalui kredit bank maupun lembaga pembiayaan lainnya. Sehingga petani dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan berkehidupan sejahtera.

40 Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) digunakan untuk mengetahui perbandingan antara penerimaan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut untuk menduga suatu usahatani dikatakan menguntungkan atau merugikan. Sehingga dapat dianalisis untuk layak diusahakan atau tidak. Nilai dari R/C atas biaya tunai usahatani ubi kayu Desa Galuga sebesar 12.35. Artinya setiap Rp1 000.00 biaya yang dikeluarkan petani dalam usahatani ubi kayu, akan memperoleh penerimaan sebesar Rp12 350.00. Sedangkan R/C atas biaya total didapatkan sebesar 1.67. Berarti bahwa setiap usahatani ubi kayu yang diusahakan petani dengan mengeluarkan biaya Rp1 000.00, akan menerima penerimaan sebesar Rp1 670.00. Nilai R/C atas biaya tunai lebih besar bila dibandingkan dengan R/C atas biaya total. Hal tersebut dikarenakan tingginya biaya TKDK dan lahan milik sendiri yang diperhitungkan. Berdasarkan uraian diatas, usahatani ubi kayu di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor menguntungkan dan layak untuk diusahakan karena nilai R/C >1.

Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Kayu Model yang digunakan dalam mengestimasi fungsi produksi usahatani ubi kayu Desa Galuga adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Setelah model terbentuk, maka dilanjutkan dengan pendekatan Stochastic Production Frontier. Pendekatan Stochastic Frontier menggunakan metode penduga berupa Maximum Likelihood Estimated (MLE). Metode MLE digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi produksi dan tingkat efisiensi teknis usahatani ubi kayu di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Metode MLE menggunakan pendekatan dua tahap. Tahap pertama yaitu dengan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menduga parameter input produksi serta mendeteksi adannya autokorelasi, heterokedastisitas, dan multikolerasi. Kemudian tahapan kedua menggunakan metode MLE untuk mengestimasi keseluruhan parameter penduga, intersep, dan varians kedua komponen error. Variabel independen awal yang diduga berpengaruh terhadap produksi ubi kayu ada tujuh variabel, yaitu luas lahan (X1), jumlah bibit (X2), pupuk kandang (X3), pupuk N anorganik (X4), pupuk P anorganik (X5), pupuk K anorganik (X6), dan tenaga kerja (X7). Berdasarkan hasil analisi OLS terdapat empat variabel yang koefisien regresinya bernilai negatif, yaitu jumlah bibit, pupuk kandang, pupuk N, dan pupuk P (Lampiran 2). Nilai negatif diduga karena jumlah bibit yang ditanam petani tidak sesuai dengan luas lahannya. Sedangkan jumlah pupuk kandang, N, dan P diduga jumlah penggunaannya kurang karena tidak semua petani melakukan aplikasi pemupukan. Koefisien yang bernilai negatif pada metode OLS harus dihilangkan karena asumsi MLE tidak diperbolehkan adanya nilai koefisien yang negatif. Selain itu, nilai negatif perlu dihilangkan agar sesuai asumsi fungsi Cobb-Douglas yaitu law of diminishing return pada setiap input. Sehingga informasi yang diperoleh dapat digunakan agar setiap penambahan input dapat meningkatkan outputnya (Coelli et

41 al. 2005). Oleh karena itu hanya tiga variabel saja yang digunakan, yaitu luas lahan, pupuk K, dan tenaga kerja. Kemudian selanjutnya dalam output frontier nilai beta 1 adalah luas lahan (X1), beta 2 adalah pupuk K anorganik (X2), dan beta 3 adalah tenaga kerja (X3). Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pendugaan parameter fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode OLS menunjukkan kinerja rata-rata (best fit) dari proses produksi petani pada tingkat teknologi yang ada. Hasil estimasi model fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode OLS dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil pendugaan dengan metode OLS terhadap tiga variabel tidak menunjukkan adanya autokorelasi maupun multikolinearitas pada model yang terbentuk. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson dan VIF. Nilai Durbin-Watson masih berada di kisaran 2 dan nilai VIF semuanya kurang dari dari 10 (Lampiran 3). Tabel 16 Pendugaan model fungsi produksi dengan metode OLS Variabel Parameter Dugaan t-rasio Intersep (X0) 2.1109* 4.32 Luas lahan (X1) 0.6030* 6.08 Pupuk K (X2) 0.0276* 1.78 Tenaga Kerja (X3) 0.5760* 3.80 R-Sq 90.8 F-hitung 118.77 Log-likelihood OLS -22.00 Keterangan: *) nyata pada α = 10%

Berdasarkan Tabel 16, dapat terlihat nilai koefisien determinasi dan juga Fhitung sebesar 90.8 dan 118.77. Nilai koefisien determinasi sebesar 90.8 persen menunjukkan bahwa 90.8 persen keragaman produksi ubi kayu dapat dijelaskan oleh model dugaan yang terbentuk. Sedangkan sisanya sebesar 9.2 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Nilai F-hitung sebesar 118.77, secara statistik dapat digunakan untuk memprediksi produksi ubi kayu dan signifikan pada taraf nyata 10 persen karena nilai F-hitung > F-tabel. Tiga variabel yang ada di Tabel 16, semuanya berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu, yaitu variabel luas lahan (X1), pupuk K (X2), dan tenaga kerja (X3). Hasil pendugaan tahap kedua yaitu pendugaan model fungsi produksi dengan metode MLE. Pendugaan MLE menggambarkan kinerja terbaik dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada. Pendugaan model fungsi produksi stochastic frontier dengan menggunakan metode MLE disajikan dalam Tabel 17. Menurut Coelli (2005) untuk menduga model yang baik, digunakan inditator berupa signifikansi variabel terhadap produksi minimal satu. Nilai sigma-squared (σ 2) harus mendekati nol dan nilai gamma (γ ) mendekati angka satu. Kemudian LR test > LR tabel dan nilai log-likelihood MLE harus lebih besar dari log-likelihood OLS. Sehingga model dapat dikatakan baik dan dapat digunakan untuk pendugaan efisiensi teknisnya.

42 Tabel 17 Pendugaan model fungsi produksi dengan metode MLE Variabel Parameter Dugaan t-rasio Intersep (β 0) 3.3765* 13.89 Luas lahan (β 1) 0.3849* 7.14 Pupuk K (β 2) 0.0189* 2.71 Tenaga Kerja (β 3) 0.8846* 10.76 Sigma-squared (σ 2) 0.6922* Gamma (γ ) 0.9920* LR test of the one-sided error 16.38* Log-likelihood MLE -13.81 Keterangan: *) nyata pada α = 10%

Pada Tabel 17 dapat dilihat nilai log-likelihood MLE (-13.81) lebih besar dari nilai log-likelihood OLS (-22.00), berarti bahwa fungsi produksi dengan metode MLE ini baik dan dapat digunakan. Nilai sigma-squared (σ 2) sebesar 0.6922 menunjukkan error term (ui) inefisiensi terdistribusi normal karena relatif kecil menuju nol. Nilai gamma (γ ) sebesar 0.9920 mengindikasikan bahwa 99.20 persen dari error term yang terdapat dalam fungsi produksi disebabkan oleh inefisiensi teknis, sisanya sebesar 0.80 persen disebabkan oleh variabel kesalahan acak seperti cuaca, hama, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberadaan inefisiensi teknis dapat ditunjukkan dalam model fungsi produksi stochastic frontier. LR test > LR tabel, maka terima H0. Artinya, setiap variabel yang digunakan dalam proses produksi memiliki pengaruh terhadap tingkat efisiensi teknis petani. Model yang terbentuk dapat dilihat pada persamaan dibawah ini: Ln Y = 3.3765 + 0.3849 ln X1 + 0.0189 ln X2 + 0.8846 ln X3 + Vi - Ui Intepretasi Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Berdasarkan hasil perhitungan fungsi produksi stochastic frontier CobbDouglas dengan metode MLE, didapatkan hasil bahwa faktor luas lahan, pupuk K, dan tenaga kerja berkorelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu. Berikut intepretasi dari model fungsi produksi stochastic frontier yang terbentuk: 1.

Luas Lahan Penggunaan luas lahan garapan pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu pada α = 10 persen. Nilai elastisitas luas lahan terhadap produksi sebesar 0.3849 menunjukkan bahwa penambahan luas lahan sebesar satu persen, akan meningkatkan produksi sebesar 0.3849 persen, cateris paribus. Hal ini memungkinkan bahwa luas lahan masih bisa ditambah agar produksi semakin besar. Luas lahan memegang pengaruh penting terhadap produksi. Rata-rata penggunaan luas lahan garapan petani di Desa Galuga sebesar 0.19 hektar atau sebesar 1 900 m2. Semakin besar luas garapan petani, maka akan menghasilkan produksi yang besar pula. Dengan demikian, meskipun luas lahan hanya ditingkatkan dalam jumlah kecil, maka akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi ubi kayu. Peningkatan luas lahan garapan bisa dilakukan

43 dengan cara pemanfaatan lahan pekarangan rumah dan kebun yang jarang diurus petani. 2.

Pupuk K Faktor produksi pupuk K memiliki nilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu pada taraf α = 10 persen. Nilai elastisitas pupuk K sebesar 0.0189 menunjukkan bahwa setiap peningkatan jumlah pupuk K sebesar satu persen, maka akan meningkatkan produksi ubi kayu sebesar 0.0189 persen, cateris paribus. Jumlah pupuk kalium pada usahatani ubi kayu masih bisa ditingkatkan agar dapat meningkatkan produksi. Kalium sebagai unsur hara bagi tanaman merupakan nutrisi untuk pertumbuhan umbi. Sehingga penggunaan pupuk K dapat meningkatkan produksi ubi kayu. Rata-rata penggunaan pupuk K untuk satu hektar lahan tiap responden adalah sebesar 39.8 Kg. Jumlah tersebut berasal dari pupuk KCl maupun proporsi dari unsuk K pada pupuk NPK phonska yang digunakan petani. Masih ada sebagian petani yang masih belum menggunakan pupuk K sehingga produksinya relatif rendah. Sehingga perlu ditingkatkan jumlah penggunaan pupuk K, baik menggunakan pupuk NPK maupun KCl agar produksi ubi kayu dapat meningkat. 3.

Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga memiliki pengaruh nyata dan bernilai positif pada taraf α = 10 persen terhadap produksi ubi kayu. Nilai elastisitas tenaga kerja sebesar 0.8846 menunjukkan bahwa setiap peningkatan tenaga kerja sebesar satu persen, maka dapat meningkatkan produksi ubi kayu sebesar 0.8846 persen, cateris paribus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tenaga kerja masih dapat ditambah lagi guna meningkatkan jumlah produksi. Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga sebesar 139.78 HOK/ha. Jumlah tersebut merupakan total tenaga kerja, baik tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga. Jumlah tenaga kerja masih bisa ditingkatkan untuk menambah produksi. Peningakatan dapat dilakukan dengan cara penambahan jam kerja maupun jumlah tenaga kerja. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tenaga kerja adalah kualitas tenaga kerja itu sendiri, bukan semata-mata hanya kuantitasnya saja. Sehingga, produksi ubi kayu secara maksimum dapat dicapai. Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis secara simultan dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Sebaran efisiensi teknis dari usahatani ubi kayu di Desa Galuga ditampilkan pada Tabel 18. Apabila dilihat dari sebarannya, efisiensi teknis petani responden ada pada kisaran 0.133 samapai 0.965. Tingkat efisiensi teknis petani dikatakan cukup efisien biala nilainya lebih besar dari 0.7. Sebanyak 47.50 persen petani memiliki efisiensi teknis diatas 0.7. Sedangkan petani yang memiliki efisiensi teknis dibawah 0.7 sebanyak 52.50 persen. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani masih kurang efisien, karena lebih dari setengah responden masih belum efisien.

44 Tabel 18 Sebaran efisiensi teknis petani responden Kelompok Efisiensi Teknis Jumlah Petani Persentase (%) TE < 0.5 9 22.50 0.5 < TE < 0.6 6 15.00 0.6 < TE < 0.7 6 15.00 0.7 < TE < 0.8 8 20.00 0.8 < TE < 0.9 3 7.50 TE > 0.9 8 20.00 Total 40 100.00 Rata-rata TE 0.655 Minimum TE 0.130 Maksimum TE 0.965 Nilai rata-rata efisiensi teknis yang dicapai petani responden sebesar 0.655 atau 65.5 persen dari produksi maksimum. Artinya, petani ubi kayu di lokasi penelitian belum cukup efisien, tetapi masih terdapat peluang sebesar 34.5 persen lagi untuk mencapai produksi maksimum. Tingkat efisiensi teknis yang masih cukup rendah menunjukkan bahwa petani belum menerapkan sistem manajerial usahatani ubi kayu secara baik. Di sisi lain, tingkat efisiensi teknis yang lebih rendah memberikan peluang untuk peningkatan produksi lebih lebar lagi yaitu 34.5 persen. Salah satu cara untuk peningkatan produksi yang signifikan adalah dengan penerapan inovasi dan penggunaan teknologi yang tepat guna. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Tingkat efisiensi teknis yang dicapai petani selain terkait penggunaan input produksi, juga terkait dengan sumber-sumber inefisiensi teknis. Sumber inefisiensi teknis yang berpengaruh adalah umur petani, pendidikan formal, umur bibit, pengalaman berusahatani, umur panen, status kepemilikan lahan, keikutsertaan dalam kelompok tani, dan status usahatani. Pendugaan efek inefisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19

Pendugaan parameter maximum–likelihood model inefisiensi teknis usahatani ubi kayu Desa Galuga Variabel Koefisien t-rasio Intersep 2.2479 0.6881 Umur petani -0.0210 -0.4513 Pendidikan formal 0.0317 0.3550 Umur bibit -1.8845* -0.7952 Pengalaman berusahatani 0.0333* 0.7555 Umur panen 1.5450* 0.7235 Status kepemilikan lahan (dummy) 0.5636 0.5861 Keikutsertaan dalam kelompok tani (dummy) 0.0499 0.0845 Status usahatani (dummy) 0.1898 0.2917 Keterangan: *) nyata pada α = 25%

Penggunaan nilai alpha sebesar 25 persen memang cukup tinggi. Seharusnya nilai alpha pada penelitian sosial maksimal sebesar 20 persen. Nilai

45 alpha yang tinggi, dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan. Tetapi model yang dikatakan baik, minimal harus ada satu yang berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu. Sehingga untuk memenuhi asumsi tersebut digunakanlah alpha sebesar 25 persen karena pada alpha kurang dari 25 persen belum ada variabel yang berpengaruh terhadap produksi ubi kayu. Hasil pendugaan dengan metode MLE, diketahui terdapat tiga variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi kayu. Variabel yang berkorelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah pengalaman berusahatani dan umur panen. Sementara variabel yang berkorelasi negatif dan berpengaruh nyata adalah umur bibit. Sedangkan keenam variabel lainnya tidak berpengaruh signifikan terhatap efek inefisiensi teknis. Berikut intepretasi masing-masing koefisien sumber-sumber inefisiensi teknis yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi kayu: 1.

Umur Petani Variabel umur petani dalam model efek inefisiensi tidak berpengaruh signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi kayu. Hal ini diduga karena sebagian besar umur petani responden sebesar 37.50 persen berada pada kisaran 51 – 60 tahun. Berarti rata-rata umur petani responden relatif cukup tua. Sehingga menjadi salah satu penyebabnya petani dengan umur tua masih menerapkan usahatani ubi kayu secara konvensional. 2.

Pendidikan Formal Pendidikan formal diukur dari jumlah waktu (tahun) yang ditempuh petani responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pendidikan formal petani dalam model efek inefisiensi teknis berkorelasi positif, tetapi tidak berpangaruh nyata terhadap efek inefisiensi teknis. Hal ini diduga karena inefisiensi teknis di lokasi penelitian bukan berasal dari pendidikan formal, melainkan pendidikan non formal. Sehingga cara untuk mengurangi efek inefisiensi perlu dilakukan pemberian pendidikan non formal, seperti penyuluhan, pelatihan, dan pembimbingan dari dinas terkait. 3.

Umur Bibit Umur bibit sangat penting dalam menentukan efisiensi usahatani. Hasil analisis menunjukkan umur bibit berhubungan negatif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis pada taraf α = 25 persen. Nilai koefisien berarti bahwa semakin tua umur bibit, maka akan menurunkan inefisiensi teknis. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, dimana bibit yang semakin tua akan semakin efisien secara teknis. Rata-rata petani menggunakan bibit dengan umur delapan BST. Penggunaan bibit yang lebih muda akan berisiko terhadap serangan hama dan penyakit. Sehingga petani lebih menggunakan bibit yang lebih tua untuk menghindari terjadinya kematian dini dan mengurangi tingkat penyulaman. 4.

Pengalaman Berusahatani Pengalaman berusahatani dihitung sejak pertama kali petani melakukan usahatani ubi kayu. Variabel pengalaman usahatani berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi teknis. Nilai koefisien yang positif

46 menggambarkan bahwa setiap bertambahnya pengalaman usahatani petani responden, maka akan meningkatkan inefisiensi teknis. Hasil ini bertolak belakang dengan hipotesis awal bahwa pengalaman usahatani yang lama akan meningkatkan efisiensi teknisnya. Lamanya pengalaman usahatani ubi kayu petani responden tergolong masih rendah. Sebanyak 42.50 persen petani baru memiliki pengalaman antara 1 – 40 tahun dan hanya sebesar 5.00 persen saja yang berpengalaman lebih dari 40 tahun. Korelasi positif terhadap efek inefisiensi teknis diduga karena pengalaman usahatani diturunkan secara turun-temurun dari keluarga. Sehingga masih dilakukan secara konvensional berdasarkan pengalaman orang tua dan tetangga. 5.

Umur Panen Umur panen memiliki korelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis pada taraf α = 25 persen. Nilai koefisien yang positif berarti bahwa setiap peningkatan umur panen ubi kayu, akan meningkatkan efek inefisiensi teknis. Dengan kata lain, semakin tua umur panen ubi kayu, maka efisiensi teknis akan semakin rendah. Rata-rata petani responden memanen ubi kayu saat berumur delapan BST. Semakin lama masa tanam diduga produksi umbi akan semakin besar, tetapi hal ini justru berkorelasi negatif terhadap efisiensi teknisnya. Hal ini dikarenakan semakin lama masa panen, maka akan menambah biaya produksi sehingga akan semakin tidak efisien. 6.

Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan diukur dengan menggunakan dummy. Bagi petani dengan lahan sewa dan sakap diberi nilai 1, sedangkan petani dengan lahan milik diberi nilai nol. Variabel status kepemilikan lahan bernilai positif, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi teknis usahatani ubi kayu di lokasi penelitian. Hal ini diduga karena petani di lokasi penelitian kurang menggunakan lahan secara maksimal. Lahan usahatani ubi kayu sebagian besar berupa pekarangan yang masih bersatu dengan rumah petani responden dan belum diusahakan dengan skala yang besar di lahan khusus usahatani yang terpisah. Sehingga pemanfaatan status kepemilikan lahan tidak mempengaruhi tingkat efisiensinya. 7.

Keikutsertaan dalam Kelompok Tani Keikutsertaan dalam kelompok tani pada model efek inefisiensi teknis dibuat dalam bentuk dummy. Petani yang ikut dalam kelompok tani diberi nilai 1, sedangkan petani yang tidak ikut kelompok diberi nilai 0. Variabel keikutsertaan dalam kelompok tani berkorelasi positif dengan efek inefisiensi, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi kayu. Hal tersebut diduga karena kelompok tani kurang memberi peran yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Dimana kelompok tani hanya digunakan sebagai kedok dalam mencari dana bantuan tanpa ada kegiatan berkelompok tani. 8.

Status Usahatani Status usahatani dalam usahatani ubi kayu di lokasi penelitian diukur dengan dummy. Petani yang menjadikan usahatani ubi kayu sebagai pekerjaan

47 utama diberi nilai 1, sedangkan nilai nol untuk petani yang menjadikan usahatani ubi kayu sebagai pekerjaan sampingan. Variabel status usahatani bernilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi. Hal tersebuut diduga karena kemampuan petani status utama dan sampingan hampir setara. Meskipun petani dengan status usahatani sebagai pekerjaan utama memiliki curahan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan petani yang menjadikan usahatani ubi kayu sebagai pekerjaan sampingan. Sehingga variabel status usahatani tidak berpengaruh terhadap efek inefisiensi teknisnya.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Teknik budidaya usahatani ubi kayu di Desa Galuga belum sepenuhnya dilakukan dengan baik pada tahapan persiapan lahan, penanaman, dan juga aplikasi pemupukan. Kemudian penggunaan teknologi pada usahatani ubi kayu di Desa Galuga masih tergolong konvensional dan status usahataninya masih bersifat sampingan. 2. Hasil analisis pendapatan usahatani ubi kayu menunjukkan pendapatan atas biaya tunai maupun biaya total bernilai positif dan nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total lebih besar dari satu. Sehingga usahatani ubi kayu di Desa Galuga dapat dikatakan menguntungkan, dengan syarat diusahakan pada lahan yang luas agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga petani. Mengingat masa panen ubi kayu yang mencapai delapan bulan. 3. Rata-rata tingkat efisiensi teknis usahatani ubi kayu yang diusahakan petani sebesar 65.5 persen dari produksi maksimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu di Desa Galuga belum efisien. Sehingga masih ada peluang sebesar 34.5 persen untuk mencapai efisiensi produksi maksimum. Input produksi yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, pupuk K anorganik, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah umur bibit, pengalaman berusahatani dan umur panen.

Saran Mengacu pada simpulan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Petani seharusnya memperbaiki teknik budidaya pada tahapan persipan lahan, penggunaan jarak tanam yang tepat saat penanaman sistem monokultur, dan juga aplikasi pemupukan yang tepat waktu dan tepat dosis. Sehingga dapat dicapai produksi ubi kayu maksimum. 2. Petani harus meningkatkan produksinya dengan cara memaksimalkan penggunaan input produksi dengan baik dan menerapan sistem agribisnis secara terpadu. Hal tersebut dilakukan guna meningkatkan efisiensi teknis

48

3.

usahatani ubi kayu. Mengingat efisiensi teknis di lokasi penelitian masih cukup rendah. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis untuk mendapatkan analisis efisiensi yang komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA Aigner DJ, CK Lovell, and P. Schmidt. “Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models.” Journal of Econometrics 6 (1997): 21-37. Amri AN. 2011. Analisis efisiensi produksi dan pendapatan usahatani ubi kayu (Studi kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arya P. 2012. Analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani caisin: Pendekatan stochastic production frontier (Kasus di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Battese G.E. 1991. Frontier Production Function and Technical Efficiency : A Survey of empirical Applications in Agricultural Economic. Annual Conference of the Australian Agricultural Economics Society. University of New England, Armidale, 11-14 Februari 1991. [BPS Jabar] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2012. Produki ubi kayu di lima Kabupaten sentra ubi kayu Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2011 [internet]. [diunduh tanggal 20 Maret 2014]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id/ [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laju perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu provinsi Jawa Barat terhadap Indonesia tahun 20112013 [internet]. [diunduh tanggal 20 Maret 2014]. Tersedia pada: www.bps.go.id Coelli TJ, Rao DSP, O’Donnel CJ, Battese GE. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. New York(US): Springer Science and Business Media, Inc. [Disperhut] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2013. Kabupaten Bogor dalam Angka 2013. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor. [Dipertajabarprov] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2012. Petunjuk Pelaksanaan Pengolahan Ubi Kayu. Bandung (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. . 2013. Rencana Strategis Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Doll PJ dan Orazem F. 1984. Production Economic Theory with Application Second Edition. Canada: John Wiley and Sons, Inc. Firdaus M. 2009. Manajemen Agribisnis. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Herdiman F. 2010. Analisis pendapatan usahatani jambu kristal di Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

49 [Kementan] Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Meeusen W and van den Broeck. “Efficiency Estimation from Cobb-Douglass Production Function with Composed Error.” International Economic Review 18 (1977): 435-44. Mochtar D. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): LP3ES. Nasution PH. 2010. Analisis usahatani jamur tiram putih (Kasus di komunitas petani jamur ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Petrokimia Gresik. 2012. Kandungan pupuk NPK Phonska [internet]. [diunduh tanggal 17 juni 2014]. Tersedia pada: http://www.petrokimiagresik.com/Pupuk/Phonska.NPK. [PPK] Program Pengembangan Kecamatan Cibungbulang. 2013. Kecamatan Cibungbulang dalam Angka 2013. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor. Prawirokusumo, Soeharto. 1990. Ilmu Usahatani. Yogyakarta (ID): BPFE. Puspitasari D. 2013. Analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soeharjo dan Patong. 1973. Ilmu Usahatani. Bogor (ID): IPB Press. Soekartawi, Soeharjo, John dilton, Brian Hardaker. 2011. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID) : UI Press. Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budidaya Ubi Kayu. Kendari (ID): Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Suratiyah K. 2011. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Westby A. 2002. Cassava utilization, storage and small-scale processing. Di dalam Hillocks RJ,Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York (US): CABI Publishing. hlm 281300. Zakaria, W. A. 2000. Analisis Permintaan dan Penawaran Ubi Kayu di Provinsi Lampung [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

50

LAMPIRAN

51

Lampiran 1 Contoh perhitungan pendapatan usahatani ubi kayu No Komponen A. Penerimaan 1. Penerimaan tunai 2. Penerimaan tidak tunai B. Biaya tunai 1. Benih 2. Pupuk TSP 3. Pupuk Urea 4. Pupuk KCl 5. Pupuk kandang 6. Obat-obatan 7. Tenaga kerja luar keluarga 8. Pajak lahan Total biaya tunai C. Biaya yang diperhitungkan 1. Penyusutan alat pertanian 2. Tenaga kerja keluarga 3. Sewa lahan Total biaya yang diperhitungkan D. Total biaya (B+C) E. Pendapatan atas biaya tunai (A-B) F. Pendapatan atas biaya total (A-D) G. R/C atas biaya tunai (A/B) H. R/C atas biaya total (A/D)

Jumlah

Harga per unit

Total

52 Lampiran 2 Hasil output minitab fungsi produksi model 1 Regression Analysis: Ln Y versus Ln X1, Ln X2, ... The regression equation is Ln Y = 2.32 + 0.779 Ln X1 - 0.230 Ln X2 - 0.0116 Ln X3 - 0.0165 Ln X4 - 0.0066 Ln X5 + 0.0496 Ln X6 + 0.675 Ln X7 Predictor Constant Ln X1 Ln X2 Ln X3 Ln X4 Ln X5 Ln X6 Ln X7

Coef 2.3206 0.7794 -0.2300 -0.01162 -0.01651 -0.00658 0.04959 0.6750

S = 0.441711

SE Coef 0.6501 0.1640 0.1693 0.01041 0.01954 0.02245 0.02025 0.1667

R-Sq = 91.9%

PRESS = 12.5615

T 3.57 4.75 -1.36 -1.12 -0.84 -0.29 2.45 4.05

P 0.001 0.000 0.184 0.273 0.405 0.771 0.020 0.000

VIF 8.849 9.088 1.191 2.899 3.588 2.640 4.573

R-Sq(adj) = 90.1%

R-Sq(pred) = 83.62%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Ln X1 Ln X2 Ln X3 Ln X4 Ln X5 Ln X6 Ln X7

DF 1 1 1 1 1 1 1

DF 7 32 39

SS 70.443 6.243 76.686

MS 10.063 0.195

F 51.58

P 0.000

SE Fit 0.2680 0.2931

Residual -0.9609 0.9470

Seq SS 64.442 0.388 0.026 0.229 0.001 2.158 3.200

Unusual Observations Obs 12 37

Ln X1 5.30 6.21

Ln Y 5.2983 7.6009

Fit 6.2592 6.6539

St Resid -2.74R 2.87R

R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.79388

53 Lampiran 3 Hasil output minitab fungsi produksi model 2 Regression Analysis: Ln Y versus Ln X1, Ln X6, Ln X7 The regression equation is Ln Y = 2.11 + 0.603 Ln X1 + 0.0276 Ln X6 + 0.576 Ln X7 Predictor Constant Ln X1 Ln X6 Ln X7

Coef 2.1109 0.60295 0.02764 0.5760

S = 0.442132

SE Coef 0.4891 0.09913 0.01554 0.1517

R-Sq = 90.8%

PRESS = 9.09095

T 4.32 6.08 1.78 3.80

P 0.000 0.000 0.084 0.001

VIF 3.227 1.552 3.780

R-Sq(adj) = 90.1%

R-Sq(pred) = 88.15%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Ln X1 Ln X6 Ln X7

DF 1 1 1

DF 3 36 39

SS 69.649 7.037 76.686

MS 23.216 0.195

F 118.77

P 0.000

SE Fit 0.1780

Residual -1.2939

Seq SS 64.442 2.389 2.818

Unusual Observations Obs 12

Ln X1 5.30

Ln Y 5.2983

Fit 6.5922

St Resid -3.20R

R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.88526

54 Lampiran 4 Hasil output frontier 4.1 Usahatani Ubi Kayu Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = prod-dta.txt Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error beta 0 0.21109238E+01 0.48914961E+00 beta 1 0.60294573E+00 0.99129199E-01 beta 2 0.27636650E-01 0.15543708E-01 beta 3 0.57597933E+00 0.15169119E+00 sigma-squared 0.19548071E+00 log likelihood function = -0.22004459E+02

t-ratio 0.43154974E+01 0.60824231E+01 0.17779960E+01 0.37970519E+01

the estimates after the grid search were : beta 0 0.25170156E+01 beta 1 0.60294573E+00 beta 2 0.27636650E-01 beta 3 0.57597933E+00 delta 0 0.00000000E+00 delta 1 0.00000000E+00 delta 2 0.00000000E+00 delta 3 0.00000000E+00 delta 4 0.00000000E+00 delta 5 0.00000000E+00 delta 6 0.00000000E+00 delta 7 0.00000000E+00 delta 8 0.00000000E+00 sigma-squared 0.34084313E+00 gamma 0.76000000E+00 iteration =

0 func evals =

20 llf = -0.21184399E+02

0.25170156E+01 0.60294573E+00 0.27636650E-01 0.57597933E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.34084313E+00 0.76000000E+00

gradient step iteration = 5 func evals =

44 llf = -0.19196931E+02

0.25220082E+01 0.59390067E+00 0.28671511E-01 0.58286978E+00 0.16674319E-02 -0.17127263E-01 0.26809784E-01-0.91499432E-02 0.38073848E-01 0.18118071E-02 -0.37595877E-02 0.11805335E-02-0.10210063E-02 0.34381836E+00 0.75948765E+00 iteration = 10 func evals = 190 llf = -0.15635955E+02 0.33148175E+01 0.40469024E+00 0.20698553E-01 0.85138461E+00 0.19915726E+00 -0.14482843E-01-0.46678705E-02-0.66181603E+00 0.22005880E-01 0.70982255E+00

55 -0.26799036E+00 0.15478332E-01-0.12360392E+00 0.41731344E+00 0.98504976E+00 iteration = 15 func evals = 225 llf = -0.14103595E+02 0.33462029E+01 0.39406944E+00 0.17543588E-01 0.87217953E+00 0.93043570E+00 -0.12870386E-01 0.31341960E-01-0.13800883E+01 0.26364290E-01 0.12553331E+01 0.19815155E+00 0.42672085E-01 0.23863156E-02 0.46005508E+00 0.99052065E+00 iteration = 20 func evals = 310 llf = -0.13822984E+02 0.33686042E+01 0.38782682E+00 0.18945532E-01 0.88054604E+00 0.21841324E+01 -0.21114749E-01 0.25718582E-01-0.17946541E+01 0.30688208E-01 0.14934182E+01 0.49950843E+00 0.68670844E-01 0.17110699E+00 0.62817563E+00 0.99159152E+00 iteration = 25 func evals = 415 llf = -0.13813050E+02 0.33759156E+01 0.38513013E+00 0.18877521E-01 0.88418865E+00 0.22397302E+01 -0.20696177E-01 0.31350908E-01-0.18540159E+01 0.32834103E-01 0.15168744E+01 0.55731700E+00 0.49477883E-01 0.18761886E+00 0.68444013E+00 0.99196502E+00 iteration = 30 func evals = 524 llf = -0.13812927E+02 0.33765154E+01 0.38484386E+00 0.18896089E-01 0.88463343E+00 0.22479935E+01 -0.21016006E-01 0.31768577E-01-0.18843788E+01 0.33268363E-01 0.15448006E+01 0.56366169E+00 0.50034821E-01 0.18966327E+00 0.69220900E+00 0.99202581E+00 iteration = 33 func evals = 567 llf = -0.13812927E+02 0.33764617E+01 0.38485197E+00 0.18894895E-01 0.88463340E+00 0.22478941E+01 -0.21013954E-01 0.31746268E-01-0.18845098E+01 0.33258402E-01 0.15449754E+01 0.56362380E+00 0.49935204E-01 0.18984731E+00 0.69215802E+00 0.99202589E+00

the final mle estimates are : coefficient beta 0 0.33764617E+01 beta 1 0.38485197E+00 beta 2 0.18894895E-01 beta 3 0.88463340E+00 delta 0 0.22478941E+01 delta 1 -0.21013954E-01 delta 2 0.31746268E-01 delta 3 -0.18845098E+01 delta 4 0.33258402E-01 delta 5 0.15449754E+01 delta 6 0.56362380E+00 delta 7 0.49935204E-01 delta 8 0.18984731E+00 sigma-squared 0.69215802E+00 gamma 0.99202589E+00

standard-error 0.24313757E+00 0.53931469E-01 0.69774912E-02 0.82219118E-01 0.32669224E+01 0.46560803E-01 0.89419610E-01 0.23698545E+01 0.44023312E-01 0.21354330E+01 0.96172471E+00 0.59111637E+00 0.65080834E+00 0.69282889E+00 0.99312461E-02

log likelihood function = -0.13812927E+02 LR test of the one-sided error = 0.16383064E+02 with number of restrictions = * [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 33 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 40 number of time periods = 1

t-ratio 0.13887042E+02 0.71359445E+01 0.27079784E+01 0.10759461E+02 0.68807697E+00 -0.45132285E+00 0.35502579E+00 -0.79520065E+00 0.75547251E+00 0.72349513E+00 0.58605524E+00 0.84476098E-01 0.29171001E+00 0.99903169E+00 0.99889368E+02

56 total number of observations = 40 thus there are: 0 obsns not in the panel covariance matrix : 0.59115880E-01 -0.11051401E-01 0.63118210E-03 0.63244785E-02 0.18073496E+00 -0.15586366E-02 0.25458656E-02 -0.78437291E-01 0.20535366E-02 0.40079005E-01 0.52510208E-01 0.17393281E-01 0.43263079E-02 0.57906728E-01 0.27776573E-03 -0.11051401E-01 0.29086034E-02 -0.57976891E-04 -0.33499335E-02 -0.43410473E-01 0.55382265E-03 -0.81131480E-03 0.39823474E-01 -0.64680943E-03 -0.29647697E-01 -0.19014115E-01 -0.43609339E-02 -0.33799321E-02 -0.18825435E-01 -0.11599775E-03 0.63118210E-03 -0.57976891E-04 0.48685384E-04 -0.80263373E-04 0.55030782E-02 -0.79616144E-04 0.14236233E-04 -0.43362995E-03 0.66383171E-04 -0.33217640E-03 0.13222782E-02 0.27727085E-04 0.55994278E-03 0.10717433E-02 -0.78873758E-05 0.63244785E-02 -0.33499335E-02 -0.80263373E-04 0.67599833E-02 0.36186092E-01 -0.77755631E-03 0.94132924E-03 -0.49293047E-01 0.73094113E-03 0.40106352E-01 0.27541584E-01 0.41440918E-02 0.70630610E-02 0.22413464E-01 0.25486416E-03 0.18073496E+00 -0.43410473E-01 0.55030782E-02 0.36186092E-01 0.10672782E+02 -0.10210574E+00 -0.46127428E-01 -0.19758540E+01 0.68240089E-01 0.82966569E+00 0.20764740E+01 -0.38425041E+00 0.68194548E+00 0.69056122E+00 0.29698309E-02 -0.15586366E-02 0.55382265E-03 -0.79616144E-04 -0.77755631E-03 -0.10210574E+00 0.21679083E-02 0.13837858E-02 0.27546580E-01 -0.14901146E-02 -0.22301847E-01 -0.20296130E-01 0.10152981E-02 -0.18407956E-02 -0.11008132E-01 -0.53950217E-04 0.25458656E-02 -0.81131480E-03 0.14236233E-04 0.94132924E-03 -0.46127428E-01 0.13837858E-02 0.79958666E-02 -0.74092054E-01 0.78776719E-03 0.56242425E-01 0.22927309E-01 -0.49585601E-02 0.10861855E-01 0.25870907E-01 0.22784811E-03 -0.78437291E-01 0.39823474E-01 -0.43362995E-03 -0.49293047E-01 -0.19758540E+01 0.27546580E-01 -0.74092054E-01 0.56162102E+01 -0.47366293E-01 -0.49732678E+01 -0.11878914E+01 -0.34018310E-01 -0.37669129E+00 -0.13268549E+01 -0.79421843E-02 0.20535366E-02 -0.64680943E-03 0.66383171E-04 0.73094113E-03 0.68240089E-01 -0.14901146E-02 0.78776719E-03 -0.47366293E-01 0.19380520E-02 0.37905307E-01 0.24223695E-01 -0.62296807E-02 0.21880940E-03 0.18509251E-01 0.12729341E-03 0.40079005E-01 -0.29647697E-01 -0.33217640E-03 0.40106352E-01 0.82966569E+00 -0.22301847E-01 0.56242425E-01 -0.49732678E+01 0.37905307E-01 0.45600741E+01 0.83473918E+00 0.90176090E-01 0.22361268E+00 0.11024656E+01 0.64754129E-02 0.52510208E-01 -0.19014115E-01 0.13222782E-02 0.27541584E-01 0.20764740E+01 -0.20296130E-01 0.22927309E-01 -0.11878914E+01 0.24223695E-01 0.83473918E+00 0.92491442E+00 -0.15333188E+00 0.18635153E+00 0.41355336E+00 0.30810015E-02 0.17393281E-01 -0.43609339E-02 0.27727085E-04 0.41440918E-02 -0.38425041E+00 0.10152981E-02 -0.49585601E-02 -0.34018310E-01 -0.62296807E-02 0.90176090E-01 -0.15333188E+00 0.34941856E+00 -0.84473094E-01 0.14478401E-01 0.27337024E-04 0.43263079E-02 -0.33799321E-02 0.55994278E-03 0.70630610E-02 0.68194548E+00 -0.18407956E-02 0.10861855E-01 -0.37669129E+00 0.21880940E-03 0.22361268E+00 0.18635153E+00 -0.84473094E-01 0.42355149E+00 0.14279779E+00 0.12449796E-02 0.57906728E-01 -0.18825435E-01 0.10717433E-02 0.22413464E-01 0.69056122E+00 -0.11008132E-01 0.25870907E-01 -0.13268549E+01 0.18509251E-01 0.11024656E+01 0.41355336E+00 0.14478401E-01 0.14279779E+00 0.48001188E+00 0.35714970E-02 0.27776573E-03 -0.11599775E-03 -0.78873758E-05 0.25486416E-03 0.29698309E-02 -0.53950217E-04 0.22784811E-03 -0.79421843E-02 0.12729341E-03 0.64754129E-02 0.30810015E-02 0.27337024E-04 0.12449796E-02 0.35714970E-02 0.98629648E-04

57 technical efficiency estimates : firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

year 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

eff.-est. 0.66630887E+00 0.67844593E+00 0.89653829E+00 0.79209801E+00 0.90904500E+00 0.45797351E+00 0.20893969E+00 0.93580186E+00 0.74398154E+00 0.90236503E+00 0.72023454E+00 0.12969930E+00 0.96500811E+00 0.95697677E+00 0.78815427E+00 0.90266002E+00 0.68059203E+00 0.49435399E+00 0.31030514E+00 0.33173182E+00 0.35410175E+00 0.72268777E+00 0.74731729E+00 0.55983321E+00 0.59058653E+00 0.31915732E+00 0.70270883E+00 0.85783593E+00 0.67078977E+00 0.54755908E+00 0.52695119E+00 0.51244104E+00 0.85562842E+00 0.64697129E+00 0.73051007E+00 0.50919582E+00 0.94078803E+00 0.90886585E+00 0.40888996E+00 0.60940849E+00

mean efficiency = 0.65483603E+00

58

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 31 Oktober 1992 dari pasangan Moelyono dan Tasri’ah. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakak penulis bernama Arie Wahyu Chrisdiantoro, adik pertama bernama Amirul Hafidz Pradini dan adik paling bungsu bernama Ahmad Farid Adwinnuari. Penulis lulus dari SMAN 2 Rembang pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program Mayor Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selain itu penulis juga mengambil program Minor Agronomi dan Hortikultura di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa BIDIK MISI dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penulis aktif di kegiatan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Rembang bernama Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB). Penulis mengikuti beberapa kepanitian seperti Kadiv Logstran Agri Ta’jil 2011, staf Logstran Agribisnis Festival 2012, Kadiv Danship Canvasing IPB di Rembang 2013, dan sebagainya. Selain hal diatas penulis juga aktif di berbagai bidang olahraga seperti pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Taekwondo IPB periode 2012-2013 dan 2013-2014. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah meraih medali emas di ajang Sportakuler FEM IPB 2013 cabang Aerobik dan Juara I turnamen futsal antar OMDA JATIM CUP 2012 serta peserta di berbagai macam lomba cabang olahraga di IPB. Penulis juga aktif berkecimpung dalam organisasi diluar kampus, seperti Asosiasi Pengusaha Singkong Indonesia (APSINDO) dan juga anggota Koperasi Singkong Indonesia (KOPSINDO). Penulis juga berpengalaman dalam kegiatan pendampingan program penyuluhan masyarakat transmigrasi di wilayah Kotabaru dari KEMENAKERTRANS RI dan juga sebagai pelaksana tender pengadaan bantuan stimulan peternakan sapi dari PT. Langlang Buana tahun 2014.