ANALISIS PENERAPAN ETIKA BISNIS DI PT. ASTRA INTERNASIONAL, TBK

Download Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar ... Transparency International (TI) – Berlin tahun 1997 menempatk...

0 downloads 374 Views 617KB Size
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Contoh kasus Enron merupakan bukti nyata dalam bisnis yang memiliki konsep tujuan menghalalkan segala cara demi keuntungan semata. Selain itu, kebangkrutan Lehman Brothers yang terjadi akhir-akhir ini dan sempat menggoyangkan perekonomian Amerika Serikat, bahkan perekonomian dunia juga merupakan salah satu bukti nyata konsep tujuan menghalalkan segala cara demi keuntungan semata. Lebih mengejutkan lagi, kebangkrutan ini bukan disebabkan oleh ekonomi dunia yang sedang melemah, melainkan kesalahan fatal dalam sistem akuntansi mereka dan akibat konsep KKN yang dilakukan kedua perusahaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa walaupun kedua perusahaan tersebut telah menerapkan etika bisnis perusahaan sejak dulu, tetapi jika telah disalahgunakan hanya untuk kekayaan pribadi, perusahaan yang telah berdiri lama pun dapat hancur seketika akibat pelanggaran etika bisnis. Perkembangan pesat teknologi setelah perang dunia kedua memacu dunia bisnis di negara-negara kapitalis menjadi semakin dinamis. Tetapi sayangnya kurang disertai dengan pemikiran dan kesadaran moral para pelakunya, sehingga menimbulkan skandal-skandal bisnis yang merugikan masyarakat. Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada

22

setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini, pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesarbesarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara (organisasi.org, 2008). Oleh karena itu, sejak tahun 1970-an, etika dalam dunia bisnis menjadi semakin sering dibicarakan dan dituntut realisasinya. Sejalan dengan itu, etika bisnis sebagai bidang studi sendiri mulai berkembang di Amerika Serikat, kemudian merambat ke Eropa Barat dan beberapa tahun belakangan ini mulai masuk ke Indonesia. Fenomena lain yang sangat berpengaruh terhadap berkembangnya etika bisnis adalah runtuhnya sistem ekonomi komunis di Eropa Timur sekitar tahun 1990-an. Hal ini membawa implikasi pada pesatnya arus globalisasi ekonomi kapitalistis, sehingga setiap negara menjadi semakin sulit menghindar dari pengaruh eksternal pada perekonomiannya. Pasar menjadi semakin global dan interaksi bisnis semakin luas jangkauannya hingga ke pelosok. Tentu saja hal ini menjadikan aktivitas bisnis

semakin besar pengaruhnya pada berbagai

segi kehidupan

manusia. Bisnis menjadi semakin berperan sebagai agen perubahan kebudayaan manusia. Tetapi bersamaan dengan itu, persoalan moralitas dalam dunia bisnis sendiri menjadi persoalan yang mengglobal. Dalam kerangka perubahan

23

kebudayaan itu, suatu bangsa yang tidak mampu berperan dalam dunia bisnis global bisa jatuh menjadi korban arus globalisasi. Dilain pihak, bangsa yang ingin sukses berperan dalam dunia bisnis, harus mampu menghadapi perubahan kebudayaan yang dapat menampung etika dalam dunia bisnis yang mengglobal. Perhatian Indonesia terhadap bisnis yang etis sendiri mulai gencar sejak tahun 1990-an dengan keluarnya pendapat pejabat daerah, akademisi, dan pelaku bisnis yang intinya menghimbau pelaku-pelaku bisnis agar mementingkan etika di bidang bisnis. Meskipun demikian, kerap kali masih ditemukan sikap mendua terhadap etika bisnis. Disatu pihak dihimbau untuk diutamakan, dilain pihak etika bisnis diliputi kecurigaan bahkan sinisme (Endro, 1999). Sikap sinis tersebut dapat dimengerti

jika mengingat kasus korupsi yang sempat membudaya di

Indonesia, walaupun telah ada perangkat hukum yang sifatnya memaksa bagi pelanggarnya. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing seperti Political and Economic Risk Consultance Ltd (PERC) - Hongkong dan Transparency International (TI) – Berlin tahun 1997 menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi dalam kasus pelanggaran korupsi. Hingga tahun 2007 pun, Indonesia masih termasuk Negara terkorup dari 180 negara oleh 13 Badan Survei Internasional mengenai Korupsi. Hal ini dibuktikan dengan Nilai indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya sebesar 2,3. Nol mengindikasikan persepsi terhadap korupsi tinggi. Nilai ini jauh tertinggal dengan Malaysia (5,1) dan Singapura (9,3) (Masayok, 2007). Walaupun sudah pernah berbagai lembaga dibentuk untuk mengawasi dan menanggulangi korupsi, seperti Tim Pemberantas Korupsi (TPK), semuanya belum mampu mengurangi kasus-kasus pelanggaran korupsi. Bahkan kasus praduga KKN kembali terjadi pada tahun 2008 ini yaitu

24

ketika anak perusahaan Bank Indonesia, Indover Bank yang berkedudukan di Belanda dibekukan operasinya mulai 7 Oktober 2008 akibat mengalami kesulitan likuiditas yang menyebabkan penurunan secara drastis money market line dan diindikasikan adanya kasus korupsi dalam lembaga keuangan tersebut (kompas.co.id, 2008). Pelanggaran etika bisnis di Indonesia pun dapat terlihat pada kasus Lumpur Lapindo. Penyebab terjadinya kasus ini murni akibat kesalahan manusia dan kasus Lumpur Lapindo ini telah dibuktikan oleh 80 ahli geologi dunia. Hanya sebanyak 3 orang ahli geologi dunia yang mengatakan bahwa kasus tersebut terjadi akibat gempa yang terjadi di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Sesuai dengan fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis yang baik harus memiliki etika dan tanggungjawab sosial. Nantinya, jika sebuah perusahaan memiliki etika dan tanggungjawab sosial yang baik, bukan hanya lingkungan makro dan mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan itu sendiri. Prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha

25

terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan di bidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Menurut Susanto (2007), terdapat tiga faktor utama yang memungkinkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan. Pertama, terciptanya budaya perusahaan secara baik. Kedua, terbangunnya suatu berdasarkan saling percaya (trust-based

kondisi organisasi

organization). Ketiga, terbentuknya

manajemen hubungan antar pegawai (employee relationship management). “…Corporate culture selalu menekankan bottom up, menggali segala sesuatu mulai dari bawah, bukan dari atas ke bawah. Dengan demikian, semua orang harus ditanya apa yang sebenarnya mereka inginkan. Corporate culture itu seperti bongkahan es, yang tampak hanyalah yang di atas berupa simbol-simbol seperti logo, cara berpakaian. Padahal yang harus dibangun adalah yang di bawah, yang tidak kelihatan, yaitu nilai-nilai baru. Manusia itu berkomunikasi secara simbolik, simbol sebagai identitas…” (Rhenald dalam Edratna ,2006) Keraf (1998) menjelaskan bahwa sesungguhnya banyak perusahaan besar telah mengambil langkah yang tepat ke arah penerapan prinsip-prinsip etika bisnis, kendati prinsip yang dianut bisa beragam. Pertama-tama membangun apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture). Budaya perusahaan ini pertama kali mulai dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Visi ini kemudian diberlakukan bagi perusahaannya, yang berarti visi ini kemudian menjadi sikap dan perilaku organisasi dari perusahaan tersebut baik ke luar maupun ke dalam. Selanjutnya terbangunlah sebuah etos bisnis, sebuah

26

kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun secara terus menerus dievaluasi dalam konteks penyegaran di perusahaan tersebut. Etos inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut perusahaan. Berkembang tidaknya sebuah etos bisnis ditentukan oleh gaya kepemimpinan dalam perusahaan tersebut. Pemimpin perusahaan memulai langkah ini karena mereka menjadi panutan bagi karyawannya. Selain itu, etika bisnis harus dilaksanakan secara

transparan.

Pemimpin

perusahaan

seyogyanya

bisa

memisahkan

perusahaan dengan milik sendiri. Dalam operasinya, perusahaan mengikuti aturan berdagang yang diatur oleh tata cara undang-undang. Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG (Good Corporate Governance) diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan jika tidak ingin mengalami hal sama dengan kasus Enron maupun Lehman Brothers. Asas GCG yaitu transparency and disclosure, accountability, responsibility, independency, serta fairness diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan. Indonesia terdiri dari beragam jenis perusahaan, diantaranya kelompok industri (industrial) sebagai kelompok produsen, seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, konstruksi, jasa profesional dan kelompok perdagangan (comercial) yang meliputi sektor pemasaran, transportasi dan financial sebagai kelompok perantara, tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata (Endro, 1999). Penerapan etika bisnis perusahaan pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyataan

27

atau sekedar “lips-service” belaka. Hal ini memang disebabkan enforcement dari pemerintah yang belum tampak secara jelas. Seharusnya Indonesia lebih awal menggerakkan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Oleh karena itu, menarik untuk dianalisis sejauh mana nilai-nilai etika bisnis telah diterapkan oleh perusahaan. Selama lima tahun berturut-turut SWA bersama Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) menggelar survei Corporate Governance Perception Index (CGPI). Melalui survei ini, dapat diketahui bagaimana penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, GCG). Sayangnya, sejauh ini baru perusahaan-perusahaan publik saja yang menjadikan GCG sebagai bagian dari budaya perusahaan dan menerapkannya secara konsisten (www.swa.co.id, 2008). Menurut hasil penelitiannya, PT Astra Internasional Tbk (AI) merupakan salah satu perusahaan publik yang telah menerapkan tata kelola perusahaannya. Astra Internasional telah berdiri sejak tahun 1957 dan telah menerapkan tata kelola perusahaan sejak tahun 1987. Dengan pengalamannya selama kurang lebih 50 tahun dan penerapan etika bisnis perusahaan selama 21 tahun, maka menjadi pertimbangan yang menarik untuk lebih meneliti AI dilihat dari etika bisnis yang telah diterapkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan gambaran bagi perusahaan agar kasus Enron maupun Lehman Brother tidak terjadi di PT Astra Internasional, Tbk. 1.2 Perumusan Masalah Dari berbagai hal yang melatarbelakangi penulisan ini serta sesuai dengan yang dikemukakan oleh Susanto (2007), maka dapat ditarik rumusan masalah yang menarik untuk dikembangkan menjadi suatu kerangka penulisan ilmiah, yaitu:

28

a. bagaimana karakteristik karyawan di Astra Internasional (AI) dan karyawan outsourcing? b. bagaimana penerapan etika bisnis AI, khususnya dilihat dari prinsip-prinsip GCG

yaitu

accountability,

responsibility,

fairness,

independency,

transparency and disclosure serta etika dalam bekerja? c. bagaimana manajemen hubungan antar karyawan mengenai pemahaman terhadap nilai-nilai etika bisnis perusahaan, khususnya antara staff dan manajer AI serta karyawan outsourcing yang bekerja di AI? d. bagaimana pemahaman karyawan AI (staff dan manajer AI) serta karyawan outsourcing terhadap budaya perusahaan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada tinjauan terhadap latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. menganalisis karakteristik karyawan, baik AI maupun outsourcing yang diharapkan dapat memperkuat pemahaman responden terhadap etika bisnis b. menelaah penerapan etika bisnis AI terutama dari segi prinsip-prinsip GCG serta etika dalam bekerja c. menganalisis manajemen hubungan antar pegawai mengenai pemahaman terhadap nilai-nilai etika bisnis perusahaan, khususnya antara staff dan manajer AI serta karyawan outsourcing yang bekerja di AI d. menganalisis pemahaman karyawan terhadap budaya perusahaan, baik karyawan AI maupun karyawan outsourcing 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan dan informasi:

29

a. bagi perusahaan, diharapkan sebagai masukan sehingga dapat membantu perusahaan terutama dalam penerapan etika bisnis perusahaan b. bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pemahaman mengenai ilmu etika bisnis dan lebih memahami pentingnya perusahaan yang telah menerapkan etika bisnis. c. bagi pihak lainya, misalnya institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi studi lanjutan dan dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan bahan rujukan bagi pihak yang berkepentingan 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di PT Astra Internasional Tbk (AI) yang berada di Jakarta. Penelitian ini mewawancarai karyawan AI, baik staff maupun manajer pada tiga departemen, yaitu departemen Public Relation (Purel), departemen Human Research Development (HRD), dan departemen Legal. Pengambilan tiga departemen ini berdasarkan keeratan hubungan antara etika bisnis perusahaan dengan

perusahaan

Astra.

Contohnya,

Purel

adalah

departemen

yang

mengenalkan etika bisnis perusahaan kepada pihak eksternal perusahaan, HRD adalah departemen perusahaan yang mengenalkan etika bisnis perusahaan kepada pihak internal perusahaan, dan departemen Legal adalah departemen yang bertanggung jawab terhadap semua peraturan yang diterapkan di perusahaan.

30

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB