ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL TERHADAP RISIKO SISTEMATIS

Download Dengan menggunakan variabel ROA, ROE,. BV, DPR, DER, dan Required rate of return terhadap Beta atau risiko. (sistematis). Hasil pengujian r...

0 downloads 280 Views 796KB Size
ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL TERHADAP RISIKO SISTEMATIS (BETA) PADA SAHAM LQ 45 YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2006-2008

SISCA RACHMAWATI Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro ABSTRACT In investing, or investing in the stock market, of course there are risks that must be faced by the investors and the need to consider existing information for analysis. In portfolio theory, there are two types of risks associated with stocks, namely systematic risk and unsystematic risk. In this essay focuses on the systematic risk of stock (stock beta) and perform analysis, such as leverage analysis and financial analysis. Analysis of leverage is planning the company's net profit is determined by two factors, namely business risk associated with operating leverage and financial risk associated with financial leverage, so it can find and measure the performance or condition of the company. in this study using a variable sales growth, debt to equity ratio and return on assets as a tool to analyze the effect of beta stocks, using a sample of 17 companies whose shares are classified in LQ 45 stocks listed on the BEI. To test the influence of the used method of multiple linear regression. Processing and analysis of data using multiple linear regression analysis with SPSS 17.0. The results of this study showed that sales growth of financial ratios, debt to equity ratio and return on assets simultaneously affect the systematic risk (Beta). Partial variable sales growth and return on assets has a negative regression coefficient and has significant influence on systematic risk (Beta). While the partial variable debt to equity ratio has a negative regression coefficient and has no significant effect on systematic risk (Beta). Based on testing the coefficient of determination indicates that the value of determination of 0.351 Adjusted R2 obtained. This means that 35.1 percent of shares Beta can be explained by the variable sales growth, debt to equity ratio and return on assets. The remaining 64.9 percent stake Beta can be explained by other variables or other factors that have not been included in this study. Keywords : systematic risk, operatings risk, financial risk and corporate fundamentals.

PENDAHULUAN Dampak dari krisis keuangan dunia tersebut mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga berdampak pada industri besar yang terancam bangkrut, penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah penggangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Faktor yang dianggap berpengaruh terhadap tingkat harga, tingkat pengembalian (return), dan risiko sistematis (Beta), baik secara langsung maupun tidak langsung adalah penjualan, profitabilitas, dan akhirnya berdampak pada biaya modal. Dalam penelitian ini mengambil beberapa variabel-variabel rasio keuangan yang digunakan sebagai wakil (proxy) dalam menjelaskan hubungan faktor fundamental perusahaan terhadap risiko sistematis (Beta), antara lain sales growth, ROA, dan DER. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini apakah faktor fundamental sales growth, return on asset, dan debt to equity ratio baik secara simultan dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap risiko sistematis (Beta) pada saham LQ 45 yang terdaftar di BEI periode 2006-2008? Sedangkan tujuannya adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh faktor fundamental sales growth, return on asset, dan debt to equity ratio baik secara simultan dan parsial terhadap risiko sistematis (Beta) pada saham LQ 45 yang terdaftar di BEI periode 2006-2008. Dalam melakukan analisis fundamental seorang investor harus memperhatikan tingkat risiko pasar saham. Dalam mengukur tingkat risiko dilakukan menggunakan Beta (β). Jenis risiko relevan dalam mengukur Beta adalah risiko sistematis, karena risiko ini tidak dapat didiversifikasikan dan mencerminkan tingkat sensitivitas perubahan saham terhadap indeks pasar. Dengan demikian semakin tinggi Beta, maka semakin tinggi risiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan karena diversifikasi (Jogiyanto, 2003). Dalam penelitian ini untuk mengelola risiko sistematis perusahaan dilakukan dengan melihat tingkat penjualan dan meminimalkan variabilitas penjualan melalui tingkat leverage ekonomi. Hamada (1972), Mandelker, dan Rhee (1984) menunjukkan bahwa risiko operasional dapat digunakan sebagai wakil dalam risiko keuangan melalui penggunaan masing-masing degree operatings leverage (DOL) dan degree leverage keuangan (DFL). Dengan demikian risiko operasional berhubungan dengan risiko keuangan. Dengan demikian suatu perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian diakibatkan adanya ketidakpastian pasar. Hal ini membuktikan bahwa kondisi ketidakpastian pasar berpengaruh dalam mengukur tingkat risiko sistematis perusahaan. Berdasarkan hasil uraian diatas dalam latar belakang permasalahan dan hasil penelitian terdahulu yang lebih bervariasi, sulit untuk mendeteksi seberapa besar kemampuan variabel bebas dari faktor fundamental dalam menjelaskan pengaruh tingkat risiko sistematis (Beta). Hal tersebut memberikan peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut, oleh karena itu pada penelitian ini peneliti mengambil judul “ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL PERUSAHAAN TERHADAP RISIKO SISTEMATIS (BETA) PADA

SAHAM LQ 45 YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2006-2008”. Telaah Pustaka Menurut Tandelilin (2001) bahwa investasi merupakan komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lain yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa datang. Saham merupakan salah satu jenis sekuritas yang cukup populer diperjualbelikan di pasar modal, yang menunjukkan sebagai tanda bukti pengambilan bagian saham dan bagian peserta dalam suatu perusahaan (Riyanto, 1999: 240). Membeli suatu saham berarti mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan membeli instrumen investasi derivatif lain (Husnan, 1998: 99). Pengertian risiko investasi menurut Van Horne dan Wachowich, Jr (2005) bahwa risiko sebagai variabilitas return terhadap return yang diharapkan. Menurut Riyanto (1995) apabila ditinjau dalam teori portofolio, risiko dinyatakan sebagai kemungkinan keuntungan yang diterima menyimpang dari yang diharapkan, yaitu menyimpang lebih besar maupun lebih kecil. Semakin besar penyimpangan keuntungan yang sesungguhnya dengan keuntungan yang diharapkan, maka semakin besar tingkat risiko yang harus ditanggung. Hal ini dikarenakan salah satu tujuan investor dalam berinvestasi adalah memaksimalkan return, tanpa melupakan faktor risiko investasi yang harus ditanggung (Sartono, 2001: 139). Pembagian risiko total investasi dalam sekuritas dibedakan menjadi dua jenis, yaitu risiko sistematis (systematic risk) dan risiko tidak sistematis (unsystematic risk). Hubungan antara risiko dan keuntungan yang diharapkan dari investasi merupakan hubungan searah dan linier. Artinya antara keuntungan yang diharapkan dari investasi dan risiko mempunyai hubungan yang positif. Semakin besar keuntungan yang diharapkan, maka semakin besar pula tingkat risiko yang ditanggung oleh investor, demikian pula sebaliknya. Hubungan positif ini hanya berlaku untuk return ekspektasi atau keuntungan yang diharapkan atau exante return (before the fact) yaitu untuk return yang belum terjadi. Kepekaan tingkat keuntungan saham terhadap perubahan-perubahan kondisi pasar yang sedang terjadi saat itu disebut sebagai Beta saham. Dengan adanya karakteristik yang berbeda dari masing-masing perusahaan (unique risk) menyebabkan masingmasing saham memiliki kepekaan yang berbeda terhadap perubahan pasar. Menurut Jogiyanto (2003) Beta merupakan pengukur volatilitas return sekuritas atau return portofolio terhadap pasar. Dengan demikian Beta merupakan pengukur risiko sistematis dari sekuritas atau portofolio relatif terhadap pasar. Dalam penelitian ini untuk mengukur besar kecilnya Beta menggunakan model single index model. Menurut Sharpe (1963) dalam Lawrence, Mishra, and Prakash (2004) bahwa model indeks tunggal menunjukkan tingkat pengembalian yang diharapkan pada saham biasa selama periode waktu tertentu adalah fungsi linier dari tingkat pengembalian yang diharapkan pada portofolio pasar global. Metode ini dilakukan dengan teknik regresi, yaitu dengan mengestimasi Beta suatu sekuritas menggunakan return sekuritas sebagai variabel independen dan return pasar sebagai variabel dependen (Jogiyanto, 2003).

Menurut Jogiyanto (2003) untuk mengukur Beta dalam metode indeks tunggal secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Ri = αi + βi . RM + ei …………………………………………….. (2.1) Untuk menghitung besar nilai return pasar dengan menggunakan indikator indeks harga saham gabungan (IHSG) adalah dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Rm = IHSGt – IHSGt-1 ……………………………………… (2.2) IHSGt-1 Untuk menghitung besar nilai return saham dengan menggunakan indikator harga saham penutupan adalah dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Ri = Pt – Pt-1 ......................................................................................................... (2.3) Pt-1 Dalam mengelola risiko sistematis suatu perusahaan, maka terdapat suatu hubungan yang menggambarkan keterkaitan dimensi risiko operasional dan risiko keuangan. Menurut Hawawini dan Viallet (1999) risiko keuangan dicerminkan melalui hubungan antara laba setelah pajak (EAT) dengan laba sebelum pajak (EBIT). Sedangkan risiko operasional dicerminkan melalui hubungan antara laba sebelum pajak (EBIT) dengan penjualan. Variabilitas penjualan ini diakibatkan oleh kondisi ketidakpastian pasar. Mandelker dan Rhee (1984) menunjukkan bahwa dalam pengukuran baik risiko operasional dan risiko keuangan dapat diukur melalui penggunaan masing-masing degree operatings leverage (DOL) dan degree financial leverage (DFL). Dalam analisis sekuritas untuk menilai potensi keuntungan ada dua aliran, yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. Analisis fundamental bertolak dari anggapan bahwa setiap investor adalah makhluk rasional. Analisis fundamental menitikberatkan pada analisis rasio keuangan. Dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan investasi, maka analisis rasio ini bertujuan untuk menilai efektivitas keputusan yang diambil perusahaan dalam rangka menjalankan aktivitas usahanya. Menurut Sartono (2001) analisis rasio keuangan pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, dan rasio profitabilitas. Sedangkan menurut Ross Westerfield (2008) rasio keuangan dikelompokkan dalam lima jenis, meliputi rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio solvabilitas, rasio profitabilitas, dan rasio nilai pasar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis kinerja peusahaan yang diukur dengan rasio-rasio keuangan serta bagaimana pengaruhnya terhadap risiko sistematis (Beta). Secara umum rasio-rasio keuangan yang mempengaruhi Beta saham perusahaan adalah : Financial Leverage Dalam mengelola suatu tingkat risiko keuangan berhubungan dengan financial leverage. Menurut Van Horne dan Wachowicz, Jr. (2005) financial leverage adalah adanya kemungkinan tambahan keuntungan bersih yang disebabkan oleh adanya biaya tetap yang dibayarkan dalam bentuk bunga dalam suatu struktur modal perusahaan. Jadi financial leverage melibatkan adanya penggunaan biaya tetap. Apabila perusahaan dalam struktur modal menggunakan hutang dan saham preferen, maka perusahaan tersebut harus mengeluarkan biaya

tetap yang harus dibayarkan (deviden saham preferen dan bunga). Penggunaan hutang ini menimbulkan financial leverage karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tetap berupa biaya bunga yang dibayarkan secara berkala tanpa mempertimbangkan berapa besar keuntungan yang akan diterima perusahaan. Dalam penggunaan financial leverage dapat diukur dengan menggunakan degree financial leverage (DFL). Dalam penggunaan leverage mempunyai pengaruh yang baik dan buruk. Apabila leverage tinggi, maka akan meningkatkan laba atau keuntungan bersih yang diharapkan perusahaan, namun akan memperbesar tingkat risiko perusahaan tersebut. Perusahaan yang menggunakan dana dengan biaya tetap dikatakan menghasilkan leverage yang mengguntungkan (favorable financial leverage) atau efek yang positif, apabila pendapatan yang diterima dari penggunaan dana lebih besar daripada biaya tetap dari penggunaan dana tersebut. Sebaliknya apabila perusahaan yang menggunakan dana dengan biaya tetap dikatakan menghasilkan leverage yang merugikan (unfavorable financial leverage) atau efek yang negatif, apabila perusahaan tidak dapat memperoleh pendapatan dari penggunaan dana tersebut sebanyak biaya tetap yang harus dibayar (Riyanto, 1995: 375). Dengan demikian penggunaan financial leverage menunjukkan penggunaan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap dengan harapan dapat memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada biaya tetapnya, sehingga meningkatkan keuntungan bagi para investor. Financial leverage yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan banyak menggunakan hutang dalam struktur modal. Hutang yang semakin besar membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya bunga yang besar setiap tahun, sehingga akan meningkatkan degree financial leverage. Ketika laba operasional perusahaan berfluktuasi dengan tingginya degree financial leverage akan menyebabkan laba bersih berfluktuasi pula. Semakin tinggi fluktuasi laba bersih menyebabkan kondisi ketidakpastian pendapatan yang diterima para investor, sehingga menyebabkan tingkat risiko yang harus ditanggung investor semakin tinggi. Dalam penelitian yang digunakan sebagai wakil (proxy) yang mencerminkan financial leverage adalah Debt to Equity Ratio (DER). Debt to equity ratio menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Sartono, 2001: 120). Semakin tinggi debt to equity ratio, maka risiko yang ditanggung investor semakin tinggi. Debt to equity ratio yang tinggi menunjukkan proporsi modal sendiri yang rendah untuk membiayai aktiva. Dengan demikian debt to equity ratio memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tidak tertagihnya suatu hutang. Semakin tinggi debt to equity ratio, maka laba perusahaan lebih banyak terserap untuk memenuhi kewajibannya sehingga dana untuk investor menjadi semakin kecil (Muljadi, 2003). Namun pada umumnya seorang kreditor lebih menyukai debt to equity ratio yang kecil. Semakin kecil rasio ini berarti makin besar jumlah aktiva yang didanai oleh pemilik perusahaan dan makin besar penyangga risiko kreditor.

Operating Leverage Risiko operasional suatu perusahaan berhubungan dengan operasional leverage. Menurut Van Horne dan Wachowicz, Jr. (2005) operating leverage adalah penggunaan suatu aktiva yang mengakibatkan perusahaan membayar biaya tetap. Penggunaan aktiva tetap ini menimbulkan biaya operasional tetap yang harus dibayar perusahaan yang besarnya tidak berubah, meskipun terjadi perubahan aktivitas operasi perusahaan. Penggunaan aktiva tetap dalam perusahaan diharapkan dapat meningkatkan skala produksi perusahaan tersebut dan perubahan penjualan yang mengakibatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar. Atau dengan penggunaan biaya tetap perubahan persentase dalam laba yang disebabkan oleh perubahan dalam volume adalah lebih besar daripada perubahan persentase dalam volume (Husnan, 1989: 227). Dalam penggunaan financial leverage dapat diukur dengan menggunakan degree operating leverage (DOL). Faktor yang dapat meningkatkan risiko bisnis, antara lain variabilitas atau ketidakpastian biaya penjualan dan produksi. DOL perusahaan akan memperbesar dampak ketidakpastian biaya penjualan dan produksi pada variabilitas laba operasional. Operating leverage yang tinggi menunjukkan variabilitas laba sebelum bunga dan pajak yang semakin besar akan mengakibatkan tingginya tingkat risiko. Tingkat penjualan yang berfluktuasi akan menyebabkan kondisi ketidakpastian laba operasional perusahaan. Dengan demikian semakin tinggi operating leverage, maka semakin befluktuasi laba operasional yang diterima perusahaan terhadap tingkat penjualan yang dicapai perusahaan, sehingga menyebabkan tingginya tingkat risiko yang harus ditanggung oleh investor. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai wakil (proxy) yang mencerminkan financial leverage adalah Sales Growth dan Return on Asset. Sales Growth Sales growth menunjukkan perbandingan total penjualan periode t dikurangi total penjualan periode (t-1) dibagi total penjualan periode (t-1). Menurut Munawir (2002) tingkat pertumbuhan berkaitan dengan penjualan, pendapatan bersih, dan laba per lembar saham. Sedangkan menurut Simamora (2000) penjualan (sales) menggambarkan suatu ukuran dari kenaikan aktiva (biasanya dalam bentuk peningkatan kas dan piutang dagang) disebabkan penjualan produk atau persediaan barang dagangan. Dengan demikian pertumbuhan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penjualan (sales) dan aset. Pertumbuhan dan potensinya merupakan dasar pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investasi suatu sekuritas. Keputusan investasi mempengaruhi nilai perusahaan (kemakmuran pemilik perusahaan). Keputusan investasi yang baik adalah memberikan keuntungan yang positif dan meningkatkan nilai perusahaan (harga saham) atau menurunkan biaya modal (keputusan investasi dianggap konstan) (Husnan, 1989: 247). Hal tersebut menunjukkan apabila penjualan (sales) meningkat (faktor lain dianggap konstan atau cateris paribus) maka keuntungan akan meningkat, sehingga deviden berpotensi meningkat dan tingkat risiko meningkat, demikian pula sebaliknya. Tingkat pertumbuhan penjualan maksimum yang dapat dicapai suatu perusahaan tanpa mengeluarkan saham baru dan tanpa mengubah kebijakan

operasi (operating profit margin dan capital turn over yang sama) maupun kebijakan pendanaan (debt equity ratio dan deviden payout yang sama). Return on Asset Rasio profitabilitas adalah rasio yang mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi (Munawir, 2002). ROA mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan. Semakin besar rasio return on asset menunjukkan kinerja perusahaan yang baik karena mencerminkan tingkat keuntungan (return) yang tinggi, sehingga menyebabkan tingkat risiko menjadi tinggi. Keuntungan yang tinggi mencerminkan semakin efisien perputaran aset atau semakin tinggi profit margin yang diperoleh perusahaan (Said dan Chandra, 2005). Dengan demikian semakin tinggi ROA menyebabkan harga saham cenderung tinggi karena perusahaan mampu memperoleh keuntungan yang tinggi. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Modligiani dan Miller (MM) yang mengemukakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh keuntungan yang diperoleh dan semakin tingginya profit margin. Menurut Said dan Chandra (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi keuntungan, maka semakin kecil hutang. Apabila ROA meningkat, maka deviden meningkat dan ekspektasi meningkat pula. Hal tersebut menyebabkan tingkat risiko menjadi tinggi. Tingkat profitabilitas yang tinggi mencerminkan kinerja perusahaan yang baik, sehingga menciptakan nilai perusahaan yang tinggi. Oleh karena itu para investor lebih tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut dan menyebabkan harga saham cenderung tinggi. Demikian pula sebaliknya. Penelitian Terdahulu Annissa Yunita Uli (2000) dalam analisis tentang pengaruh faktor fundamental terhadap Beta saham pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di BEI periode 1996-1999. Dengan menggunakan variabel ROA, ROE, BV, DPR, DER, dan Required rate of return terhadap Beta atau risiko (sistematis). Hasil pengujian regresi secara parsial hanya BV yang mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta atau risiko (sistematis). Sedangkan secara parsial variabel yang mempunyai koefisien regresi negatif dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta atau risiko (sistematis) adalah ROA, ROE, DPR, DER, dan Required rate of return. Sedangkan secara simultan variabel ROA, ROE, BV, DPR, DER, dan Required rate of return terdapat pengaruh terhadap risiko sistematis (Beta). Faishol (2004) tentang pengaruh asset size, asset growth, leverage, dan liquidity terhadap risiko investasi saham LQ 45 di BEI periode 1998-2003. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan terdapat pengaruh asset size, asset growth, leverage, dan liquidity terhadap risiko saham pada kelompok LQ 45 di BEI. Secara parsial asset size, asset growth, dan liquidity memiliki koefisien regresi negatif dan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap risiko saham pada kelompok LQ 45 di BEI. Sedangkan secara parsial leverage memiliki

koefisien regresi positif dan memiliki pengaruh signifikan terhadap risiko saham pada kelompok LQ 45 di BEI. Indriastuti (2001) dalam analisis tentang pengaruh faktor fundamental terhadap Beta saham pada perusahaan BEI periode sebelum dan selama krisis. Faktor fundamental tersebut, yaitu financial leverage, liquidity, asset growth, dan asset size. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan pada periode sebelum krisis, financial leverage, liquidity, asset growth, dan asset size terdapat pengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial variabel liquidity, financial leverage, dan asset growth mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangkan secara parsial asset size mempunyai koefisien regresi negatif dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Pada periode selama krisis, secara simultan financial leverage, liquidity, asset growth, dan asset size tidak berpengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial variabel financial leverage dan asset growth mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangkan secara parsial variabel liquidity dan asset size mempunyai koefisien regresi negatif dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Natarsyah (2000) dalam analisis tentang pengaruh faktor-faktor fundamental terhadap Beta saham pada perusahaan barang konsumsi di BEI periode 1990-1997, yakni asset growth, financial leverage, asset size, profitability, dan book value. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel asset growth, financial leverage, size, profitability, dan book value secara simultan terdapat pengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial variabel yang mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan adalah return on asset, debt to equity ratio, dan book value terhadap Beta saham. Sedangkan secara parsial variabel asset growth dan asset size mempunyai koefisien regresi negatif dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Rena Mainingrum (2004) dalam analisis tentang pengaruh asset growth, debt to equity ratio, return on equity, dan earning per share terhadap Beta saham pada perusahaan jasa di BEI periode 2000-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum koreksi, baik secara simultan dan parsial asset growth, debt to equity ratio, return on equity, dan earning per share tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham dan mempunyai koefisien regresi negatif. Sedangkan sesudah koreksi, baik secara simultan dan parsial asset growth, debt to equity ratio, return on equity, dan earning per share mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham dan mempunyai koefisien regresi positif. Setiawan (2003) dalam analisis tentang pengaruh faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi risiko sistematis pada perusahaan manufaktur di BEI periode sebelum krisis dan selama krisis. Faktor-faktor fundamental tersebut adalah asset growth, leverage, likuiditas, total asset turn over, dan return on invesment. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode sebelum krisis, asset growth, leverage, likuiditas, total asset turn over, dan return on investment secara simultan terdapat pengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial variabel total asset turn over dan return on investment mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangkan secara

parsial variabel asset growth, leverage, dan likuiditas mempunyai koefisien regresi negatif dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Pada periode selama krisis secara simultan asset growth, leverage, likuiditas, total asset turn over, dan return on investment tidak terdapat pengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial leverage mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangkan secara parsial variabel asset growth, likuiditas, total asset turn over, dan return on investment mempunyai koefisien regresi negatif dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sugiarto (2002) dalam analisis tentang pengaruh faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi Beta saham manufaktur di BEI periode 1998-2001. Faktorfaktor tersebut adalah earning variability, asset growth, dan accounting beta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan variabel variability, asset growth, dan accounting beta terdapat pengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial hanya accounting beta yang mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangan secara parsial variabel earning variability dan asset growth mempunyai koefisien regresi negatif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Susilawati (2001) meneliti pengaruh faktor fundamental perusahaan terhadap Beta saham pada perusahaan manufaktur di BEI periode 1992-2002. Faktor-faktor fundamental yang digunakan, antara lain financial leverage, operating leverage, dan asset growth. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan financial leverage, operating leverage, dan asset growth terdapat pengaruh terhadap Beta saham. Secara parsial financial leverage mempunyai koefisien regresi positif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangkan secara parsial variabel operating leverage dan asset growth berkoefisien regresi negatif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Kerangka Pemikiran Penelitian Pengaruh sales growth terhadap Beta saham Menurut Munawir (2002) tingkat pertumbuhan berkaitan dengan penjualan, pendapatan bersih, dan laba per lembar saham. Sedangkan menurut Simamora (2000) penjualan (sales) menggambarkan suatu ukuran dari kenaikan aktiva. Dengan demikian pertumbuhan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penjualan (sales) dan aset. Pertumbuhan dan potensinya merupakan dasar pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investasi suatu sekuritas. Keputusan investasi mempengaruhi nilai perusahaan (kemakmuran pemilik perusahaan). Eputusan investasi yang baik adalah memberikan keuntungan yang positif dan meningkatkan nilai perusahaan (harga saham) atau menurunkan biaya modal (keputusan investasi dianggap konstan). Apabila penjualan (sales) meningkat (faktor lain dianggap konstan atau cateris paribus) maka keuntungan akan meningkat, sehingga deviden berpotensi meningkat dan tingkat risiko sistematis (Beta) meningkat. Pertumbuhan aset berhubungan dengan penjualan dan aktiva. Hal ini dipertegas oleh pernyataan

Hamid, dkk. (1994) apabila pertumbuhan aset meningkat, maka tingkat risiko sistematis (Beta) meningkat, demikian pula sebaliknya. H1: sales growth mempunyai pengaruh positif terhadap risiko sistematis (Beta) Pengaruh debt to equity ratio terhadap Beta saham Debt to equity ratio menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Sartono, 2001). Semakin tinggi debt to equity ratio, maka laba perusahaan akan lebih banyak terserap untuk memenuhi kewajibannya sehingga dana untuk investor menjadi semakin kecil (Muljadi, 2003). Kredit yang diperoleh dari perbankan akan meningkatkan rasio hutang terhadap modal sendiri (debt to equity ratio) dan tingkat risiko menjadi tinggi. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Munawir (2002) bahwa kondisi kesulitan keuangan yang dirasakan oleh perusahaan bahkan berdampak pada kebangkrutan, mengakibatkan hutang meningkat, sehingga menyebabkan tingkat risiko menjadi tinggi. Ramchand dan Sethipakdi (2000) menyatakan bahwa rasio leverage sebagai rasio modal pinjaman terhadap nilai pasar ekuitas. Hubungan antara hutang-ekuitas terhadap risiko sistematis (Beta) adalah positif. Penggunaan hutang dalam pembiayaan perusahaan akan meningkatkan variabilitas laba untuk para pemegang saham, serta tingkat risiko sistematis (Beta) meningkat. Pada umumnya perusahaan besar akan mempunyai hutang yang besar pula, hal ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dana dalam operasional perusahaan. Untuk menghindari kondisi kebangkrutan tersebut, maka aliran kas dari masing-masing perusahaan semakin ditingkatkan. H2: debt to equity ratio mempunyai pengaruh positif terhadap risiko sistematis (Beta) Pengaruh return on asset terhadap Beta saham Return on Asset mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan (Sartono, 2001: 123). Return on Asset menunjukkan perbandingan antara laba setelah pajak dengan total aktiva. Modligiani dan Miller (MM) mengemukakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh keuntungan (return) yang diperoleh dan semakin tingginya profit margin. Dengan demikian semakin besar ratio on asset menunjukkan kinerja perusahaan yang baik, karena mencerminkan tingkat keuntungan (return) yang tinggi. Badhani (1997) menganalisis hubungan antara return atas aktiva terhadap risiko sistematis adalah positif. Menurut Badhani (1997) bahwa ROA sebagai rasio laba operasi total yang disesuaikan. ROA berhubungan dengan tingkat deviden yang dibayar, persepsi pemegang saham, dan investor. Apabila ROA meningkat, maka deviden dan tingkat pengembalian (return) yang diharapkan

akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian hal tersebut mengakibatkan tingkat risiko sistematis (Beta) meningkat. H3: return on asset mempunyai pengaruh positif terhadap risiko sistematis (Beta)

METODE PENELITIAN Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Variabel Terikat (variabel dependen) Variabel terikat sebagai variabel Y adalah risiko sistematis (Beta). Indikator yang digunakan dalam menghitung Beta saham adalah dengan menggunakan Model Indeks Tunggal (Single Index Model). Persamaan regresi yang digunakan untuk memperoleh koefisien regresi return saham terhadap return pasar (Jogiyanto, 2003) adalah sebagai berikut : Ri = αi + βi (Rm) + ei …………………………………………… (3.1) Keterangan: Ri : return sekuritas ke-i. αi : nilai espektasi dari return sekuritas yang independen terhadap return pasar. βi : koefisien Beta yang mengukur Ri akibat perubahan Rm. Rm : tingkat return dari indeks pasar juga merupakan suatu variabel acak. ei : kesalahan residu, merupakan variabel acak dengan nilai espektasi sama dengan nol atau E (ei= 0). Persamaan yang digunakan dalam menghitung return pasar adalah dengan menggunakan indeks harga saham gabungan (Jogiyanto, 2003) adalah sebagai berikut : Rm = IHSGt – IHSGt-1 ……………………………………… (3.2) IHSGt-1 Keterangan: Rm : return indeks pasar saham pada periode ke-t. IHSGt : IHSG pada periode ke-t (periode saat ini). IHSGt-1 : IHSG pada periode ket-1 (periode yang lalu). Persamaan yang digunakan dalam menghitung return saham (Jogiyanto, 2003), adalah sebagai berikut: Rit = Pt - Pt-1 ………………………………………………… (3.3) Pt-1 Keterangan: Rit : return saham I pada periode ke-t. Pt : harga saham penutupan pada periode ke-t (periode saat ini). Pt-1 : harga saham penutupan pada periode ket-1 (periode yang lalu). Variabel Bebas (variabel independen) Variabel bebas sebagai variabel X terdiri dari :

1)

Sales Growth Penjualan (sales) menggambarkan suatu ukuran dari kenaikan aktiva (biasanya dalam bentuk peningkatan kas dan piutang dagang) disebabkan penjualan produk atau persediaan barang dagangan Simamora (2000). Dengan demikian pertumbuhan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penjualan (sales) dan aset. Pertumbuhan dan potensinya merupakan dasar pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investasi suatu sekuritas. Keputusan investasi yang baik adalah memberikan keuntungan yang positif dan meningkatkan nilai perusahaan (harga saham) atau menurunkan biaya modal (keputusan investasi dianggap konstan) (Husnan, 1989). Apabila penjualan (sales) meningkat (faktor lain dianggap konstan atau cateris paribus) maka keuntungan akan meningkat, sehingga deviden berpotensi meningkat dan tingkat risiko meningkat.

2)

Debt to Equity Ratio Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Sartono, 2001). Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat pengelolaan sumber dana perusahaan (Dwi dan Rifka, 2008). Dengan demikian debt to equity ratio dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tidak tertagihnya suatu hutang. Semakin tinggi debt to equity ratio, maka risiko yang ditanggung investor semakin tinggi. Debt to equity ratio yang tinggi menunjukkan proporsi modal sendiri yang rendah untuk membiayai aktiva.

3)

Return on Asset (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan (Sartono, 2001). Semakin besar rasio return on asset menunjukkan kinerja perusahaan yang baik karena mencerminkan tingkat keuntungan (return) yang tinggi, sehingga menyebabkan tingkat risiko menjadi tinggi.

Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini berjumlah 45 perusahaan yang sahamnya tergolong dalam indeks LQ 45 yang terdaftar di BEI periode 2006-2008. Pemilihan populasi ini didasarkan pertimbangan pada saham yang berkategori likuid. Likuiditas suatu saham diartikan bahwa saham tersebut selalu aktif diperdagangkan. Namun tidak semua populasi menjadi obyek penelitian, sehingga perlu dilakukan pengambilan sampel. Adapun teknik penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling.

Beberapa kriteria-kriteria dalam pengambilan sampel, adalah sebagai berikut : 1. Perusahaan yang dijadikan sampel adalah perusahaan yang sahamnya masuk dalam indeks LQ 45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2006-2008. 2. Perusahaan yang dijadikan sampel adalah perusahaan paling aktif yang secara tiga tahun berturut-turut selama periode 2006-2008 masuk sebagai anggota LQ 45. 3. Perusahaan yang dijadikan sampel telah menerbitkan laporan keuangan selama periode 2006-2008. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut diperoleh sampel sebanyak 17 perusahaan. Perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 3.2 sebagai berikut : Tabel 3.2 Data Sampel Perusahaan NO. KODE NAMA PERUSAHAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12. 13. 14. 15. 16. 17.

ANTM AALI ASII UNSP BNBR BUMI ENRG INKP INDF ISAT INCO KIJA MEDC PGAS PTBA TLKM UNTR

PT. ANEKA TAMBANG TBK. PT. ASTRA AGRO LESTARI TBK. PT. ASTRA INTERNASIONAL TBK. PT. BAKRIE SUMATRA PLANTATION TBK. PT. BAKRIE AND BROTHRES TBK. PT. BUMI RESOURCES TBK. PT. ENERGI MEGA PERSADA TBK. PT. INDAH KIAT PULP & PAPER TBK. PT. INDOFOOD SUKSES MAKMUR TBK. PT. INDOSAT TBK. PT. INTERNATIONAL NICKEL INDONESIA TBK. PT. KAWASAN INDUSTRI JABABEKA TBK. PT. MEDCO ENERGI INTERNATIONAL TBK. PT. GAS NEGARA TBK. PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM TBK. PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA TBK. PT. UNITED TRACTOR TBK.

Sumber Data : Indonesia Capital Market Directory (ICMD).

Jenis dan Sumber Data Jenis Data Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif dengan menggunakan data cross section dan time series. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa laporan historis harga saham dan laporan keuangan perusahaan yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. Data tersebut diambil dari : a) Indonesian Capital Market Directory (ICMD) periode Januari 2006 Desember 2008. b) IDX Daily Report periode Januari 2006 - Desember 2008, dengan menggunakan tujuh periode pengamatan, yakni (Agustus 2005 – Januari

2006), (Februari 2006 – Juli 2006), (Agustus 2006 – Januari 2007), (Februari 2007 – Juli 2007), (Agustus 2007 – Januari 2008), (Februari 2008 – Juli 2008), (Agustus 2008 – Januari 2009). Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dengan studi pustaka, menggunakan teknik dokumentasi, yaitu dengan cara mencatat atau mendokumentasikan data yang berkaitan dengan penelitian yang tercantum dalam Indonesian Capital Market Directory (ICMD) dan IDX pada perusahaan yang sahamnya masuk dalam anggota LQ 45 dan terdaftar di BEI selama periode 2006-2008. Metode Analisis Metode analisis dalam memprediksi Beta saham dilakukan dengan metode analisis regresi berganda (multiple regression) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Analisis regresi berganda bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara faktor fundamental perusahaan (variabel independen) dengan Beta saham (variabel dependen) dengan menggunakan data cross seaction dan time series. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, maka sebelum melakukan analisis regresi berganda dalam penelitisn ini akan dilakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu (Ghozali, 2007). Pengujian Asumsi Klasik Metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square dapat dijadikan sebagai alat estimasi yang tidak bias apabila telah memenuhi persyaratan Best Linier Unbiased Estimation (BLUE). Kondisi ini akan terjadi apabila beberapa uji asumsi klasik terpenuhi, antara lain : 1. Tidak terdapat autokorelasi atau tidak adanya hubungan antara masingmasing residual observasi. 2. Data dalam penelitian ini telah didistribusikan secara normal. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi variabel penggangu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah model dengan distribusi normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak, maka dapat dilakukan analisis grafik normal probability plot atau dengan histogram yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal (Ghozali, 2007). Adapun dasar yang dijadikan pengambilan keputusan adalah : 1) Apabila data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal. Dengan demikian model regresi memenuhi uji asumsi normalitas. 2) Apabila data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya tidak menunjukkan pola distribusi normal. Dengan demikian model regresi tidak memenuhi uji asumsi normalitas. Dalam penelitian ini selain menggunakan grafik pengujian normalitas dilakukan dengan melakukan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji ini adalah metode

yang umum digunakan untuk menguji normalitas data. Uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan membuat hipotesis :  ρ < 0,05 berarti variabel tersebut tidak berdistribusi normal.  ρ > 0,05 berarti variabel tersebut berdistribusi normal. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas (Ghozali, 2007). Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Adapun cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas menggunakan program SPSS dengan melihat grafik Scatter Plot antara nilai prediksi variabel terikat ZPRED dengan residualnya SRESID (Ghozali, 2007), dengan dasar analisis sebagai berikut :  Apabila terdapat pola, seperti titik-titik membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, menyebar, kemudian menyempit), maka terjadi heteroskedastisitas.  Apabila tidak terdapat pola yang jelas, seperti titik-titik menyebar diatas dan dibawah nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas adalah suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan linier yang sempurna antara beberapa atau semua variabel independen. Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas (variabel independen). Apabila variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak orthogonal. Variabel orthogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel bebas adalah sama dengan nol (Ghozali, 2007). Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas, dasar analisis yang digunakan sebagai berikut :  Apabila nilai R 2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel bebas banyak yang tidak signifikan sehingga akan mempengaruhi variabel terikat. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisis matrik korelasi variabel bebas. Apabila antar variabel bebas ada korelasi yang cukup tinggi (di atas 0,90), maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.  Dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan bahwa setiap variabel bebas tertentu dapat dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Atau bahwa setiap variabel bebas menjadi variabel terikat dan diregresi terhadap variabel bebas lainnya. Nilai tolerance yang rendah sama dengan VIF tinggi (VIF = 1/ tolerance) dan koloneritas yang tinggi. Nilai cut-off yang umum dipakai adalah nilai tolerance 10% atau sama dengan nilai VIF > 10, artinya nilai tolerance tidak lebih kurang dari 10% dan nilai VIF tidak lebih dari 10 (Ghozali, 2007).

Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model regresi linier ada korelasi antara pengganggu periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelum). Jika ada korelasi, maka dinamakan ada autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan uji Durbin-Watson (DW test). Uji Durbin-Watson hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi diantara variabel bebas (Santoso, 2000). Pengujian tersebut dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Merumuskan Hipotesis. H0 : tidak ada autokorelasi (ρ = 0) HA: ada autokorelasi (ρ ≠ 0) 2. Menentukan nilai dhitung atau nilai Durbin-Watson test untuk setiap sampel perusahaan. 3. Dari jumlah observasi (n) dan jumlah variabel independen (k) ditentukan nilai batas atas (dU) dan nilai batas bawah (dL) dari tabel. 4. Mengambil keputusan dengan kriteria sebagai berikut :  DWhitung < dL, maka terdapat autokorelasi positif.  dL ≤ DWhitung ≤ dU, maka tidak dapat disimpulkan.  dU < DWhitung < (4 – dU), maka tidak terdapat autokorelasi.  (4 – dU) ≤ DWhitung ≤ (4 – dL), maka tidak dapat disimpulkan.  DWhitung > (4 – dL), maka terdapat autokorelasi negatif. Analisis Regresi Analisis regresi berganda bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas (variabel independen) dengan variabel terikat (variabel dependen). Dalam penelitian ini analisis regresi berganda digunakan untuk menguji pengaruh faktor-faktor fundamental, yaitu asset growth, debt to equity ratio, dan return on asset terhadap risiko sistematis (Beta) saham pada saham LQ 45 di BEI periode 2006-2008. Persamaan regresi dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut : Beta (Y) = β + β SG + β DER + β ROA + e 0

1

Keterangan: Risiko Sistematis (Y) SG, DER, ROA β0

2

3

β ,β,β

: variabel terikat. : variabel bebas. : konstanta titik potong garis regresi dengan sumbu Y. : slope atau kemiringan garis regresi, yaitu

e

seberapa jauh kenaikan atau penurunan komponen deterministik dari Y sebagai akibat variabel bebas. : error.

1

2

3

Teknik Analisis Data Analisis Koefisien Determinasi ( R 2 ) Koefisiensi determinasi ( R 2 ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel bebas. Nilai koefisiensi determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai koefisiensi determinasi yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel terikat sangat terbatas, dan sebaliknya. Nilai yang mendekati satu berarti variabelvariabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel terikat (Ghozali, 2007). R2 = (r2) x 100% Keterangan : R : koefisien determinasi. r : koefisien korelasi. Pengujian Hipotesis Uji Statistik t (uji parsial) Uji statistik t atau uji persial bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel bebas secara individual dalam menjelaskan variabel terikat (Ghozali, 2007). Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji adalah uji parameter koefisien regresi (β 1) sama dengan nol, atau H0 = β1 = 0 Artinya, suatu variabel bebas bukan merupakan penjelasan yang signifikan terhadap variabel terikat. Hipotesis alternatifnya (HA) parameter suatu variabel tidak sama dengan nol, atau HA = β1 ≠ 0 Artinya, suatu variabel bebas X1 merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat. Dengan α = 5%, maka untuk menentukan apakah pengaruhnya signifikan atau tidak dilakukan analisis melalui peluang alatnya (ρ) dengan kriteria sebagai berikut :  ρ > 0,005, maka dikatakan tidak signifikan atau H0 diterima.  0,005 > ρ > 0,01, maka dinyatakan signifikan atau H0 ditolak.  ρ < 0,01, maka dinyatakan sangat signifikan atau H0 ditolak. Uji Statistik F (uji simultan) Uji statistik F atau uji simultan bertujuan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersamasama terhadap variabel terikat (Ghozali, 2007). Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji adalah apakah semua parameter dalam model sama dengan nol, atau H0 : β1 = β2 = ….. = bk = 0 Artinya, semua variabel bebas bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat. Hipotesis alternatifnya (HA) tidak semua parameter secara simultan sama dengan nol, atau Ha : b1 ≠ b 2 ≠ ….. ≠ bk > 0 Artinya, semua variabel bebas secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Obyek Penelitian Berdasarkan spesifikasi data yang diamati, obyek dalam penelitian ini adalah perusahaan listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2006-2008 dan mengeluarkan laporan keuangan selama periode penelitian tersebut. Populasi yang digunakan adalah saham yang tergolong dalam indeks LQ 45. Pemilihan populasi ini didasarkan pertimbangan pada saham yang berkategori likuid. Total sampel perusahaan yang digunakan sebanyak 17 perusahaan, dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria bahwa sampel yang terpilih yaitu jenis saham kategori LQ 45 yang secara tiga tahun berturut-turut masuk sebagai anggota LQ 45. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yang diperoleh dengan metode studi pustaka dan dokumentasi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari ICMD (Indonesian Capital Market Directory) dan IDX selama periode 2006-2008. Statistik Deskriptif Uji statistik deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran atau deskripsi dari suatu data yang dilihat dari jumlah sampel, nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata (mean), dan standar deviasi dari masing-masing variabel. Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N Beta Saham Sales Growth DER ROA Valid N (listwise)

Minimum 50 51 51 51 50

-.2130 -.2422 .1761 -.0351

Maximum .8050 5.8258 8.1458 .6216

Mean .531820 .388465 1.599971 .112081

Std. Deviation .2745463 .8368897 1.5396763 .1192548

Berdasarkan data pada Tabel 4.1, maka dapat dijelaskan statistik deskriptif data penelitian sebagai berikut : Dari data sales growth tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, nilai maksimum 5,8258 persen dimiliki oleh PT. Kawasan Industri Jababeka Tbk. Sedangkan nilai minimum pada variabel sales growth adalah -0,2422 persen dimiliki oleh PT. Kawasan Industri Jababeka Tbk. Nilai rata-rata selama periode penelitian sebesar 0,3885 persen. Standar deviasi untuk sales growth adalah 0,8369. Dari data debt to equity ratio 2005 sampai dengan tahun 2007, nilai maksimum adalah 8,1458 persen dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada Tbk. Sedangkan nilai minimum pada variabel debt to equity ratio adalah 0,1761 persen dimiliki oleh PT. Kawasan Industri Jababeka Tbk. Nilai rata-rata selama periode

penelitian sebesar 1,5910 persen. Standar deviasi untuk debt to equity ratio adalah 1,540. Dari data return on asset tahun 2005 sampai dengan 2007, nilai maksimum 0,6216 persen dimiliki oleh PT. International Nickel Indonesia Tbk. Sedangkan nilai minimum pada variabel return on asset adalah -0,0351 persen dimiliki oleh PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. Nilai rata-rata selama periode penelitian sebesar 0,1121 persen. Standar deviasi untuk return on asset adalah 0,1193. Dari data Beta saham tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, nilai maksimum 0,8050 persen dimiliki oleh PT. Medco Energi International Tbk. Dan PT. Gas Negara Tbk. Sedangkan nilai minimum pada variabel Beta saham adalah -0,2130 persen dimiliki oleh PT. Astra Agro Lestari Tbk. Nilai rata-rata selama periode penelitian sebesar 0,5318 persen. Standar deviasi untuk Beta saham adalah 0,2745. Analisis Data Uji Asumsi Klasik Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model regresi linier berganda. Syarat model regresi yang baik haruslah memenuhi beberapa asumsi dan tidak adanya masalah dalam uji asumsi klasik tersebut. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak, maka dapat dilakukan analisis grafik atau dengan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya (Ghozali, 2007). Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 menunjukkan hasil dari pengujian normalitas dengan menggunakan histogram dan normal probability plot, yaitu dengan menggunakan sampel sebanyak 49 buah sebagai berikut : Gambar 4.1 Uji Normalitas dengan Histogram

Gambar 4.2 Uji Normalitas dengan Normal Probability Plot

Dengan melihat tampilan histogram maupun grafik normal probability plot dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan memenuhi uji normalitas karena data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal. Uji kedua dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Berikut ini Tabel 4.2 menggambarkan hasil pengujian normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov sebagai berikut : Tabel 4.2 Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal a,,b Parameters

Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

49 .0000000 .19910355 .089 .073 -.089 .624 .831

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Tabel 4.2 menyatakan bahwa pengujian Kolmogorov-Smirnov di atas memperlihatkan besar nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,624 dan nilai signifikansi Z sebesar 0,831 lebih besar dari 0,05, artinya variabel tersebut berdistribusi normal. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pangamatan yang lainnya tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2007). Berikut ini Gambar 4.5 menunjukkan hasil pengujian heteroskedastisitas dengan scatter plot sebagai berikut :

Gambar 4.5 Uji Heteroskedastisitas dengan Scatter Plot

Berdasarkan Gambar 4.5 di atas dengan menggunakan scatter plot terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas adalah suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui adanya suatu hubungan linier yang sempurna antara beberapa atau semua variabel independen. Uji multikolinearitas ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas, model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas (Ghozali, 2007). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dalam regresi ini, dapat dilihat dalam Tabel 4.4 sebagai berikut : Tabel 4.4 Uji Multikolineritas a

Coefficients

Collinearity Statistics Model

Tolerance

VIF

1(Constant) Sales Growth

.988

1.012

DER

.874

1.145

ROA

.871

1.149

a. Dependent Variable: Beta Saham

Hasil pengujian pada Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa persamaan regresi terbebas dari multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada nilai VIF tidak ada satu pun variabel bebas yang lebih besar dari 10 dan nilai tolerance yang lebih besar dari 0,1 berarti tidak ada masalah multikolinearitas pada variabel dependen maupun variabel independen. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode (t-1). Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada autokorelasi.

Penginterpretasian ouput SPSS untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi adalah dengan melihat besarnya nilai Durbin-Watson (DW). Berikut ini Tabel 4.5 menggambarkan hasil pengujian autokorelasi sebagai berikut : Tabel. 4.5 Uji Autokorelasi dengan Durbin-Watson b

Model Summary Model

R

1

.626

Adjusted R Square

R Square a

.392

Std. Error of the Estimate

.351

.2056333

Durbin-Watson 1.780

a. Predictors: (Constant), ROA, Sales Growth, DER b. Dependent Variable: Beta Saham

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa nilai Durbin-Watson pada hasil uji autokorelasi sebesar 1,780. Nilai dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 0,05, jumlah sampel (n) 49 dan jumlah variabel independen 3 (k=3). Oleh karena itu nilai DW 1,780 lebih besar dari batas atas (dU) yaitu 1,696 dan kurang dari (4-dU) yaitu 2,304 Sesuai kriteria dU < DW < (4-dU), maka dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini tidak terdapat autokorelasi. Analisis Regresi Linier Berganda Dari hasil pengujian terhadap asumsi klasik, diperoleh model regresi yang baik, yakni tidak terdapat masalah dalam melakukan pengujian asumsi terhadap normalitas, heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Selanjutya dilakukan pengujian model regresi untuk mengetahui hubungan tiap-tiap variabel, baik melalui koefisien determinasi, secara simultan maupun parsial. Tabel 4.6 menunjukkan hasil pengujian model regresi linier sebagai berikut : Tabel 4.6 Tabel Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1

B (Constant)

Std. Error

.762

.060

Sales Growth

-.076

.035

DER

-.030

ROA

-1.241

Standardized Coefficients Beta

Collinearity Statistics t

Sig.

Tolerance

VIF

12.618

.000

-.253

-2.164

.036

.988

1.012

.020

-.181

-1.451

.154

.874

1.145

.262

-.590

-4.732

.000

.871

1.149

a. Dependent Variable: Beta Saham

Persamaan regresi dapat ditulis sebagai berikut : Y = 0,762 – 0,076SG – 0,030DER - 1,241ROA ..………………... (4.7) Dari persamaan diatas diketahui : a. Koefisien konstanta berdasarkan hasil regresi adalah 0,762 dengan nilai positif, ini dapat diartikan bahwa Beta saham akan bernilai 0,762, apabila variabel independen sama dengan nol. b. Koefisien regresi sales growth diperoleh sebesar -0,076. Hal ini menyatakan bahwa setiap penurunan sebesar satu satuan sales growth (X1), maka Beta saham akan mengalami penurunan sebesar -0,076 satuan.

c. Koefisien regresi debt to equity ratio diperoleh sebesar -0,030. Hal ini menyatakan bahwa setiap penurunan sebesar satu satuan debt to equity ratio (X2), maka Beta saham akan mengalami penurunan sebesar -0,030 satuan. d. Koefisien regresi return on asset diperoleh sebesar -1,241. Hal ini menyatakan bahwa setiap penurunan sebesar satu satuan return on asset (X3), maka Beta saham akan mengalami penurunan sebesar -1,241 satuan. Pengujian Hipotesis Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) dimaksudkan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R2 akan meningkat pada setiap penambahan satu variabel tanpa memperhatikan signifikansi variabel independen. Dalam penelitian ini digunakan adjusted R2 karena nilai tersebut dapat naik turun bila suatu variabel independen ditambahkan ke dalam model. Tabel Tabel 4.7 menunjukkan hasil pengujian model regresi linier dengan koefisien determinasi sebagai berikut : Tabel 4.7 Koefisien Determinasi b

Model Summary Model

R

R Square a

Adjusted R Square

1 .626 .392 a. Predictors: (Constant), ROA, Sales Growth, DER b. Dependent Variable: Beta Saham

.351

Std. Error of the Estimate .2056333

Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai R Square sebesar 0,392 artinya terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen sebesar 39,2 persen. Sedangkan untuk nilai determinasi Adjusted R2 diperoleh sebesar 0,351. Hal ini berarti bahwa 35,1 persen Beta saham dapat dijelaskan oleh variabel sales growth, debt to equity ratio, dan return on asset. Sedangkan sisanya 64,9 persen Beta saham dapat dijelaskan oleh variabel lain atau faktor-faktor lain yang belum dimasukkan dalam penelitian ini. Uji Statistik t (uji parsial) Untuk menentukan pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan uji t. Pengaruh secara parsial dapat dilihat dalam Tabel 4.6 di atas. Hasil pengujian hipotesis tersebut, adalah sebagai berikut: a) H1 : Sales Growth berpengaruh negatif terhadap Beta saham Dari hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel sales growth memiliki nilai t sebesar -2,164 dengan signifikansi sebesar 0,036. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian variabel sales growth mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Oleh karena itu hipotesis pertama (H1) diterima. b) H2 : Debt to Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap Beta saham Dari hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel debt to equity ratio memiliki nilai t sebesar -1,451 dengan signifikansi sebesar 0,154. Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05. Dengan demikian

variabel debt to equity ratio tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Oleh karena itu hipotesis kedua (H2) ditolak. c) H3 : Return on Asset berpengaruh negatif terhadap Beta saham Dari hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel return on asset memiliki nilai t sebesar -4,732 dengan signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian variabel return on asset mempunyai pengaruh signifikan terhadap Beta saham. Oleh karena itu hipotesis ketiga (H3) diterima. Uji Statistik F (uji simultan) Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersamasama atau simultan terhadap variabel terikat. Tabel 4.8 menunjukkan hasil pengujian model regresi linier secara simultan sebagai berikut: Tabel 4.8 Tabel Hasil Uji Simultan ANOVA Model 1Regression

Sum of Squares

b

df

Mean Square

1.225

3

.408

Residual

1.903

45

.042

Total

3.127

48

F 9.653

Sig. .000

a

a. Predictors: (Constant), ROA, Sales Growth, DER b. Dependent Variable: Beta Saham

Hasil pengujian signifikansi model regresi tersebut diperoleh nilai F sebesar 9,653 dengan signifikansi 0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 mengindikasikan bahwa Beta saham dapat dijelaskan oleh variabel sales growth, debt to equity ratio, dan return on asset secara bersama-sama. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan mengenai pengaruh variabel sales growth, debt to equity ratio, dan return on asset terhadap Beta saham, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1) Dari hasil pengujian hipotesis pertama (H1) menunjukkan bahwa variabel sales growth (X1) berpengaruh signifikan terhadap Beta saham dengan koefisien korelasi negatif. Pertumbuhan dengan koefisien korelasi negatif menunjukkan bahwa terdapat peluang pertumbuhan didanai dengan modal sendiri (retained earning) dari biaya modal terendah (retained earning) dikenal sebagai pecking order hypothesis (Said dan Chandra, 2005). Secara umum pertumbuhan mencerminkan gambaran positif karena menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh nilai tertentu. Pertumbuhan dan potensinya merupakan dasar pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investasi suatu sekuritas. Sedangkan keputusan investasi yang baik adalah memberikan keuntungan yang positif dan meningkatkan nilai perusahaan (harga saham) atau menurunkan biaya modal (keputusan investasi dianggap konstan). Dengan demikian apabila penjualan (sales) meningkat (faktor lain dianggap konstan atau cateris

2)

3)

paribus) maka keuntungan akan meningkat, sehingga deviden berpotensi meningkat dan tingkat risiko meningkat. Dari hasil pengujian hipotesis kedua (H2) menunjukkan bahwa debt to equity ratio (X2) tidak berpengaruh signifikan terhadap Beta saham. Leverage dengan koefisien negatif terjadi ketika perusahaan tidak memiliki hasil sebanyak biaya pendanaan tetapnya. Kehadiran hutang dalam struktur modal perusahaan berdampak pada risiko yang ditanggung investor. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin kecil DER, maka semakin baik posisi perusahaan. Sedangkan DER yang tinggi menunjukkan proporsi modal sendiri yang rendah untuk membiayai aktiva. Dengan demikian apabila perekonomian memburuk dengan proporsi leverage yang rendah menyebabkan keuntungan tinggi dan tingkat risiko kecil, dan apabila perekonomian baik dengan proporsi leverage yang rendah menyebabkan keuntungan menurun dan tingkat risiko kecil. Sebaliknya apabila perekonomian memburuk dengan proporsi leverage yang tinggi menyebabkan keuntungan menurun dan tingkat risiko tinggi, dan apabila perekonomian baik dengan proporsi leverage yang tinggi menyebabkan keuntungan meningkat dan tingkat risiko tinggi. Dari hasil pengujian hipotesis ketiga (H3) menunjukkan bahwa return on asset (X3) berpengaruh signifikan terhadap Beta saham dengan koefisien korelasi negatif. Return on asset dengan koefisien korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi keuntungan yang diperoleh belum tentu efisien perputaran asetnya atau profit margin yang diperoleh perusahaan rendah. ROA dapat digunakan sebagai indikator aset perusahaan yang mempunyai pengaruh dominan terhadap harga saham. ROA berhubungan dengan tingkat deviden yang dibayar, persepsi pemegang saham, dan investasi. Dengan demikian semakin tinggi ROA menyebabkan harga saham cenderung tinggi karena perusahaan mampu memperoleh keuntungan yang tinggi. Apabila ROA meningkat, maka deviden meningkat dan ekspektasi meningkat pula, sehingga menyebabkan tingkat risiko menjadi tinggi. Tingkat profitabilitas yang tinggi mencerminkan kinerja perusahaan yang baik, sehingga nilai perusahaan tinggi. Oleh karena itu para investor lebih tertarik untuk berinvestasi dan menyebabkan harga saham cenderung tinggi, demikian pula sebaliknya. Namun tidak menutup kemungkinan saham yang memiliki kinerja baik sewaktu-waktu harga saham dapat mengalami penurunan yang disebabkan oleh keadaan pasar yang berlaku pada saat itu.

Keterbatasan Penelitian Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan model regresi linier berganda, maka penelitian ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti berikutnya agar mendapatkan hasil yang lebih baik. 1) Hasil pengujian dengan menggunakan model regresi linier berganda dari ketiga variabel bebas yang termasuk dalam variabel fundamental dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa variabel sales growth dan return on asset merupakan faktor fundamental yang berpengaruh signifikan terhadap Beta saham. Sedangkan variabel debt to equity ratio merupakan faktor fundamental yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Beta saham. Diharapkan pada penelitian berikutnya menggunakan variabel-variabel lain yang lebih komprehensif sebagai faktor fundamental dengan menggunakan alat uji analisis yang berbeda, sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih signifikan atau akurat dalam memprediksi risiko sistematis (Beta) di masa yang akan datang. 2) Berdasarkan pengujian statistik yang dilakukan pada penelitian ini kemampuan prediksi dari tiga variabel bebas, meliputi sales growth, debt to equity ratio, dan return on asset dapat digunakan untuk menjelaskan risiko sistematis (Beta) adalah sebesar 35,1 persen, sedangkan sisanya 64,9 persen model dijelaskan oleh faktor lain diluar model yang berpengaruh tetapi belum dimasukkan dalam analisis ini. Diharapkan pada penelitian berikutnya menggunakan variabel-variabel lain yang lebih komprehensif dengan menggunakan alat uji analisis yang berbeda, sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih signifikan atau akurat dalam memprediksi risiko sistematis (Beta) di masa yang akan datang. 3) Penelitian ini hanya menggunakan faktor fundamental saja sebagai variabel independen, disamping itu faktor teknikal juga sering berpengaruh terhadap risiko sistematis (Beta). Diharapkan pada penelitian berikutnya ditambahkan faktor teknikal, seperti tingkat inflasi, tingkat bunga, atau perubahan kurs sebagai variabel independen dengan menggunakan alat uji analisis yang berbeda, sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih signifikan atau akurat dalam memprediksi Beta saham di masa yang akan datang. Saran Di bawah ini peneliti akan memberikan saran yang terkait dalam penelitian yang dilakukan, antara lain : Saran bagi Manajemen Perusahaan Berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel debt to equity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap Beta saham. Dengan demikian perusahaan hendaknya dapat mengelola seluruh aktiva yang dimiliki dengan baik, sehingga diharapkan tidak terjadi hutang. Karena tingkat hutang yang tinggi menyebabkan tingkat keuntungan yang diterima kurang maksimal. Apabila perusahaan dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan baik, maka tingkat keuntungan yang diterima maksimal. Hasil keuntungan tersebut dapat digunakan dengan efektif untuk menutup hutang yang tinggi dan dapat digunakan bagi perusahaan dalam membagikan deviden dengan jumlah yang tinggi pada para investor. Dengan demikian diharapkan hasil keuntungan dapat dinikmati oleh seluruh perusahaan dan seluruh investor. Saran bagi Penelitian Selanjutnya 1) Tahun amatan, sampel perusahaan, dan variabel independen sebaiknya ditambahkan, karena dengan tahun amatan, sampel, dan variabel independen yang lebih banyak diharapkan dapat memberikan pengaruh

yang lebih tepat dalam melakukan analisis pengaruh faktor-faktor fundamental perusahaan terhadap Beta saham. 2) Sebaiknya pada penelitian selanjutnya menggunakan model atau alat uji yang berbeda. Hal ini perlu dilakukan sebagai bahan perbandingan. Selain itu dapat pula digunakan jenis data yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA A. Muljadi, Bambang. 2000. Analisis Faktor-Faktor Fundamental yang Mempengaruhi Beta Pasar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi, Vol.1, No.1 November 2001 Ananstasia, et. Al. 2003. Analisis Faktor Fundamental dan Risiko Sistematik terhadap Harga Saham Properti di BEJ. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.5, No.2, p.123-132 Ang, Robert. 1997. The Intelligent Guide to Indonesian Capital Market. Edisi Indonesia. Mediasoft Budiarti, Endah. 1996. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beta Saham di BEJ periode Juli 1992 - Desember 1994. Thesis UGM. Tidak dipublikasikan Brigham, Eugene F. dan J.F. Houston. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Edisi 10. Jakarta : Salemba Empat Darsono dan Ashari. 2005. Pedoman Praktis Memahami Laporan Keuangan. Yogyakarta : ANDI Yogyakarta Dajan, Anto. 1986. Pengantar Metode Statistik. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta : Indo Gujarati, Damodar N. 1995. Basic Econometrics, Third Edition. Singapore: McGraw-Hill Book Co Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Dipoegoro, Semarang Harian Kompas. 2008 Harian Bisnis Indonesia. 2008 Hartono, Jogiyanto. 2003. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta Husnan, Suad. 1998. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi Ketiga. Yogyakarta : UPP AMP YKPN Husnan, Suad. 1990. Manajemen Keuangan. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Husnan, Suad. 1989. Pembelanjaan Perusahaan. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Horne, James. C. V dan John M. Wachowicz. 1997. Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan. Edisi 9. Jakarta : Salemba Empat Imanda, F dan Mohammad Nasir. 2006. Analisis Persamaan Simultan Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Risiko, Kebijakan Hutang, dan Kebijakan Dividen dalam Perspektif Teori Keagenan. Simposium Nasional Akuntansi IX

Indonesian Capital Market Directory, Tahun 2005, 2006, 2007, 2008 Indriastuti, Dorothea R. 2001. Analisis Pengaruh Fundamental terhadap Beta Saham (Studi Kasus di Bursa Efek Jakarta: Perbandingan Periode Sebelum dan Selama Krisis). Prespektif, Vol.6, No.1, Juni, p.11-25 J. Fabozzi. Frank. 1999. Manajemen Investasi. Edisi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Jogiyanto Hartono. 1998. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. BPFE UGM: Yogyakarta Kelana, Asnawi dan Wijaya Candra. 2005. Riset Keuangan dan Pengujianpengujian Empiris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kennedy J.S.P. 2003. Analisis Pengaruh dari Return on Asset, Return on Equity, Earning per Share. Profit Margin, Asset Turn Over, Rasio Leverage dan Debt to Equity Ratio terhadap Return Saham (Studi terhadap sahamsaham yang termasuk dalam LQ-45 di BEJ Tahun 2001). Tesis tidak dipublikasikan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta Mainingrum, Rena. 2004. Pengaruh Asset Growth, Debt to Equity Ratio, Return on Equity, dan Earning per Share terhadap Beta Saham pada Perusahaan Jasa di BEJ Periode 2000-2002. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.4, No.1 April 2005, p.21-35 Munawir, S. 2002. Analisis Informasi Keuangan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta Natarsyah, Syahib. 2000. Analisis Pengaruh Beberapa Faktor Fundamental dan Risiko Sistematik terhadap Harga Saham (Kasus Industri Barang Konsumsi yang Go-Publik di Pasar Modal Indonesia). Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.15, No.3, p.294-312 Retnaningdiah. 1998. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Ekuitas (Periode Januari 1993 - Desember 1995). Thesis UGM. Tidak dipublikasikan Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. BPFE : Yogyakarta Santoso, Singgih. 2000. Mengolah Data Statistik Secara Professional. Elek Media Komputer : Jakarta Sartono, R. Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi. Edisi 4. Yogyakarta : BPFE UGM Sharpe, William F. Alexander, Gorden, J. Bailey Jeffrey V. 1997. Investasi. Edisi Indonesia. Jakarta : Prenhallindo Silalahi, D. 1991. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Saham (Studi pada Pasar Modal Indoensia). Tesis tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya Setiawan, Doddy. 2003. Analisis Faktor-Faktor Fundamental yang Mempengaruhi Risiko Sistematis Sebelum dan Selama Krisis Moneter. Simposium Nasional Akuntansi IV, p.565-573 Sudarmanto, R. Gunawan. 2005. Analisis Regresi Linier Ganda dengan SPSS. Yogyakarta : Graha Ilmu SU., Martono dan Harjito Agus. 2008. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: EKONOSIA Yogyakarta Standar Akuntansi Keuangan. 1999. IAI. Jakarta : Salemba Empat

Soegiarto, Dwi. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beta Saham Manufaktur di BEJ (Studi Kasus pada Basic Industri). Thesis UNS. Tidak Dipublikasikan Tandelilin, Eduardus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta Tandelilin, Eduardus. 1997. “Determinants of Systematic Risk: The Experience of Some Indonesian Common Stock”. Kelola, p.10-115 Tuasikal A. 2001. Penggunaan Informasi Akuntansi untuk Memprediksi Return Saham: Studi terhadap Perusahaan Manufaktur dan NonManufaktur. Simposium Nasional Akuntansi IV. Bandung, p. 762-786 Wayan Nuka Lantara, I. 2001. Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Saham: Studi Empiris di BEJ. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.16, No.2, p.164-176 Weston, E. J. Fred, and Eugene F. Brigham. 1997. Dasar manajemen keuangan. Edisi 9. Jakarta : Erlangga Weston, J.Fred, and Thomas E. Copeland. 1999. Manajemen Keuangan. Jilid 1. Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga Jakarta White G.I., Ashwinpaul C. Sondhi dan Dov Fried. 2003. “The Analysis and Use of Financial Statements”. USA: John Wiley. Pg.119-135 www.wikipedia.com www.finance.com www.kadin.com Yunita Uli, Annissa. 2001. Analisis Pengaruh Faktor Fundamental dan Resiko Sistematik terhadap Harga Saham pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi di BEI