APLIKASI 5 KRITERIA STANDAR DALAM PEMBUATAN SEDIAAN

Download mikroskopis BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen di Laboratorium BP4. Yogyakarta dan sebagian sputum di lakukan pemeriksaan di Laboratorium. ...

0 downloads 420 Views 283KB Size
1

APLIKASI 5 KRITERIA STANDAR DALAM PEMBUATAN SEDIAAN SPUTUM UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU M. Atik Martsiningsih1, Yodi Mahendradhata2, Ning Rintiswati3 [email protected] [email protected] [email protected] ABSTRACT (BAHASA INGGRIS) ABSTRAK Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dalam konteks diagnosis TB strategi DOTS adalah peranan pemeriksaan sediaan dahak mikroskopis langsung dengan pengecatan Ziehl Neelsen, ini merupakan metode diagnosis standar, paling cepat dan murah. Uji silang sediaan mikroskopis TB di semua UPK DOTS DIY telah dilakukan oleh Laboratorium Rujukan Propinsi, tetapi baru 2 hal yaitu uji kualitas sediaan dan pewarnaan tanpa terinci 5 kriteria standar yang meliputi ukuran, kerataan, ketebalan, kebersihan dan pewarnaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas sediaan sputum, positifitas BTA dan tingkat kesesuaian (kappa) antara hasil pemeriksaan BTA sputum di BP4 Yogyakarta dengan di Laboratorium Rujukan Propinsi yang menggunakan 5 kriteria standar. Penelitian ini menggunakan rancangan uji kesesuaian (kappa) dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 300 sputum, dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen di Laboratorium BP4 Yogyakarta dan sebagian sputum di lakukan pemeriksaan di Laboratorium Rujukan Propinsi dengan metode yang memperhatikan 5 kriteria standar. Hasil uji chi-square kualitas sediaan di BP4 Yogyakarta dengan di Laboratorium Rujukan Propinsi tidak mempunyai hubungan yang bermakna dalam hal ukuran (p=0,981) kerataan (p = 0,788), ketebalan (p= 0-458), kebersihan (p= 0,716) dan pewarnaan (p= 0,293). Peningkatan positifitas adalah 2% (p=0,00), dan milai kappa 0,929 (p = 0,000) ada kesepakatan yang sangat baik. Kualitas sediaan dahak mikroskopis TB dengan penilaian ukuran, kerataan, ketebalan, kebersihan dan pewarnaan tidak terdapat perbedaan yang bermakna, dan terdapat peningkatan positifity rate bila menerapkan 5 kriteria standar dalam pembuatan sediaan sputum dan kekuatan kesepakatan yang sangat baik. Kata kunci : kualitas sediaan, positifitas, nilai kappa

2

PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang telah lama menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat di dunia dan masih merupakan masalah utama kesehatan, terutama di negara –negara berkembang termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 menyatakan “ global emergency” untuk tuberculoisis karena diketahui sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh tuberkulosis. 1 Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal jumlah penderita tuberkulosis (TB). Baru pada tahu 2009 turun ke peringkat ke-5.2

Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007

menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. 3 Sejak tahun 1995 dimulai metode penanggulangan dengan strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse). Strategi DOTS memiliki 5 komponen dalam pelaksanaannya, yang meliputi 1) komitmen politik dengan peningkatan pendanaan yang berkelanjutan. Perundang-undangan, perencanaan, sumber daya manusia, manajemen, pelatihan, 2) diagnosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dengan kualitas yang terjamin, 3) standar pengobatan dengan

3

dukungan pasien dan pengawasan, 4) penyediaan obat yang cukup untuk penderita, 5) monitoring dan evaluasi sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.4 Strategi tersebut dinilai sebagai strategi intervensi yang sangat cost effective dan dianjurkan oleh WHO dan Bank dunia untuk diterapkan secara terpadu pada setiap unit pelayanan kesehatan. Target utama pengendalian TB ini adalah menemukan pasien TB menular BTA (+) sedikitnya 70% pada akhir tahun 2005 dan menyembuhkan pasien TB yang diobati sedikitnya 85%.5 Prioritas pada penemuan pasien TB dengan BTA (+), sehingga laboratorium merupakan kunci utama dalam mendiagnosis pasien TB, ini ditegaskan pada komponen kedua strategi DOTS, yaitu penegakan diagnosis menggunakan pemeriksaan mikroskopis.5 Diagnosis TB Paru dengan menemukan BTA dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan baku emas (Gold Standard). Digunakan untuk penemuan kasus TB paru di lapangan yang dianjurkan oleh WHO terutama di negara berkembang yang merupakan pemeriksaan paling efisien, murah dan mudah hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.5 Laboratorium yang merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peranan penting dalam penanggulangan TB berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien TB paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta

menetapkan

hasil

akhir

pengobatan.

Untuk

mendukung

kinerja

penanggulangan TB diperlukan ketersediaan laboratorium dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh Indonesia.6

4

Kualitas pemeriksaan BTA sangat menentukan ketepatan besarnya kasus TB di masyarakat; hasil positip palsu atau negatip palsu sangat berbahaya karena pengobatan menjadi tidak tepat. Ini berarti pemborosan di samping merugikan penderita, selain itu kualitas data TB menjadi tidak memadai. Petugas laboratorium puskesmas ikut berperan dalam menentukan siapa yang sakit dan siapa yang tidak sakit, siapa yang perlu diperiksa sputumnya dan siapa yang perlu mendapat obat TB karena merekalah yang memeriksa dan menentukan diagnosis serta memeriksa sampel sputum tersangka TB-paru .7 Hasil penelitian Basra ( 2006 )

bahwa jenis-jenis kesalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan

mikroskopis BTA dari laboratorium tingkat bawah adalah negatif palsu tinggi , karena sejumlah faktor teknis yaitu kualitas sediaan, pewarnaan kurang baik, mikroskop jelek , atau pelatihan yang tidak memadai dan faktor-faktor lain seperti beban kerja yang tinggi serta kurangnya motivasi kerja.8 Evaluasi hasil sediaan mikroskopis TB di semua Unit Peleyanan Kesehatan (UPK) DIY telah dilakukan oleh (Balai Laboratorium Kesehatan) BLK Yogyakarta, tetapi tidak ada umpan balik dan baru 2 hal yang dilakukan uji kualitas yaitu kualitas sediaan dan pewarnaan tanpa terinci antara kualitas sputum, ukuran, kerataan, ketebalan, kebersihan sediaan dan latar belakang pengecatan. Evaluasi ini menjadi penting karena hasil sediaan mikroskopis TB sangat mempegaruhi terhadap hasil yang diperoleh, baik dalam penemuan kasus baru maupun bagi penentuan pengobatan selanjutnya. Hasil kualitas sediaan dan pewarnaan yang jelek prosentasenya masih cukup tinggi. maka peneliti tertarik untuk meneliti pembuatan sediaan sputum dengan mengikuti 5 kriteria standar.

5

Berdasarkan permasalahan ini maka tujuan penelitian ini adalah : mengetahui perbedaan hasil kualitas sediaan mikroskopis pemeriksaan BTA sputum, positifitas BTA pada sputum bila pembuatan sediaan sputum mengikuti 5 kriteria standard dan untuk mengetahui tingkat kesesuaian (kappa) antara hasil pemeriksaan BTA sputum di BP4 Yogyakarta dengan hasil pemeriksaan BTA sputum yang menggunakan 5 kriteria standar dalam pembuatan sediaan sputum.

CARA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian uji kesesuain ( kappa ) dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan consecutive sampling yaitu menjaring setiap pasien yang datang ke BP4 Yogyakarta sampai tercapai jumlah yang sesuai dengan besar sample adalah 300 sputum. Sputum penderita yang di diagnosis sebagai suspek TB paru yang termasuk dalam kriteria inklusi yaitu sputum sewaktu yang berkualitas yang kental, purulen. Pengambilan sampel di BP4 Yogyakarta selama 3 bulan (Agustus

– Oktober 2012). Sputum berasal dari BP4 Yogyakarta

dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA dengan metode Ziehl Neelsen di Laboratorium BP4 Yogyakarta dan sebagian sputum dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA di laboratorium rujukan propinsi dengan metode yang lebih memperhatikan 5 kriteria standar yaitu ukuran, kerataan, ketebalan, kebersihan, pewarnaan. Pengolahan data dilakukan dengan analisis menggunakan uji Chi-square untuk melihat perbedaan hasil antara metode dari hasil pembuatan sediaan sputum

6

yang rutinitas dikerjakan BP4 Yogyakarta dibandingkan dengan hasil pembuatan sediaan yang mengikuti 5 standar, dihitung prosentase yang positip dan negatip kemudian

dilanjutkan

penghitungan

prosentase

peningkatan

positifitas

kemaknaanya dengan uji Chi-square dan analisa untuk menghitung besarnya nilai kappa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.

Kualitas sediaan sputum Pengamatan kualitas sediaan terhadap 300 sediaan di BP4 Yogyakarta dan

300 sediaan di laboratorium rujukan menunjukkan hasil seperti tertera pada tabel 1. Sediaan dahak dinilai kualitas baik dan kurang baiknya dengan memperhatikan beberapa hal meliputi ukuran sediaan, kerataan, ketebalan, kualitas pewarnaan dan kebersihan sediaan. Hasil uji Chi-square kualitas sediaan di BP4 Yogyakarta dengan kualitas sediaan di laboratorium rujukan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai p > 0,05 adalah ukuran (p= 0,981) kerataan (p = 0,788), ketebalan (p= 0-458), kebersihan (p= 0,716) dan pewarnaan (p= 0,293).

7

Tabel 1. Perbedaan kualitas sediaan BP4 Yogyakarta dengan Laboratorium Rujukan Hasil BP4 Yogyakarta Hasil Lab Rujukan

Ukuran

Kerataan

Ketebalan

Kebersihan

Pewarnaan

Jumlah

Jumlah

Baik

174 (58%)

293 (98%)

Kurang baik

126 (42%)

7 (2%)

Total

300 (100%)

300 (100%)

Baik

97 (32%)

282 (94%)

Kurang baik

203 (68%)

18 (6%)

Total

300 (100%)

300 (100%)

Baik

90 (30%)

280 (93%)

Kurang baik

210 (70%)

20 (7%)

Total

300 (100%)

300 (100%)

Baik

196 (65%)

284 (95%)

Kurang baik

104 (35%)

16 (5%)

Total

300 (100%)

300 (100%)

Baik

146 (49%)

277 (92%)

Kurang baik

154 (51%)

23 (8%)

Total

300(100%)

300(100%)

p-value 0,981

0,788

0,458

0,716

0,293

2. Hasil mikroskopis BTA Terhadap sputum penderita dilakukan pemeriksaan BTA di BP4 dengan hasil negatif 226 (75,3%), dan di laboratorium rujukan 221 (73,7%). Hasil positif 1 dari BP4 jumlah 43 (14,3 %), setelah dahak yang sama tersebut diperiksa di laboratorium rujukan berjumlah 25 ( 8,3%) hal ini terjdi karena adanya peningkatan gradasi hasil dari positif 1 di BP4 , setelah di periksa di laboratorium rujukan menjadi positif 2 atau positif 3, demikian juga peningkatan gradasi dari

8

positif 2 di BP4 menjadi positif 3 di laboratorium rujukan dan hasil scanty (2-9) di BP4 menjadi positif 1 di laboratorium rujukan (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi pemeriksaan BTA di BP4 Yogyakarta dan Laboratorium Rujukan BP4 Yogyakarta Laboratorium rujukan Pemeriksaan

N

N

Negatif

226 (75,3%)

Positif 1

43 (14,3%)

25

(8,3%)

Positif 2

16 (5,5%)

25

(8,3%)

Positif 3

7

(2,3%)

26

8,7%}

Scanty 2

1

(0,3%)

-

(0%)

Scanty 3

1

(0,3%)

-

(0%)

Scanty 4

3

(1,0%)

1

(0,3%)

Scanty 5

2

(0,7%)

-

(0%)

Scanty 6

1

(0,3%)

1

(0,3)

Scanty 9

-

(0%)

1

(0,3)

Total

300 (100%)

221 (73,7%)

300 (100%)

Pada tabel 3 positifitas di laboratorium BP4 Yogyakarta 24%, sedangkan di laboratorium rujukan 26%. Jadi peningkatan positifitas adalah 2% (tabel 3) dengan angka signifikasi sebesar p = 0,00 peningkatan positifitas yang bermakna secara statistik.

yang berarti

9

Tabel 3. Hasil positifitas mikroskopis BTA Hasil Negatif ( - )

BP4 N 228 ( 76%)

Positif ( + )

72 (24%)

78 (26 %)

Total

300 (100%)

300 (100%)

Chi Square 0,000

Lab Rujukan n 222 (74%)

Nilai kappa 0,92

3. Uji Kesepakatan/kesesuaian Nilai kappa 0,929 dengan angka signifikasi sebesar p = 0,000 yang berarti ada kesepakatan yang sangat baik dan memberikan gambaran statistik yang bermakna p < 0,05 (tabel 3). PEMBAHASAN Indikator yang dipakai dalam sebagai standar pengamatan kualitas sediaan sputum adalah 5 kriteria yaitu yang pertama ukuran 2 cm x 3 cm sebagai ukuran standar nasional olesan sputum di atas permukaan kaca sediaan (slide), kedua kerataan, ketiga ketebalan standar tipis tebalnya pengecatan di atas permukaan kaca sediaan standar tipis tebalnya pengecatan di atas permukaan kaca sediaan, ke empat kebersihan kaca sediaan tidak kotor oleh debu, minyak, lemak, jamur, kelima pewarnaan/latar belakang pewarnaan yang baik harus berwarna biru oleh Methyleen Blue zat warna akhir sebagai cat penutup, standar tipis tebalnya pengecatan di atas permukaan kaca sediaan. Olesan dan pengecatan yang terlalu tipis atau terlalu tebal akan menyebabkan hasil TB tertutup oleh Carbol Fuchsin dan menjadi gelap atau Carbol Fuchsin tidak merata , sehingga hasil sulit diamati dan dapat mengakibatkan false positive atau false negative, akibatnya pengobatan

10

tidak sempurna. Hasil uji Chi-Square kualitas sediaan di BP4 Yogyakarta dengan kualitas sediaan di laboratorium rujukan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai p > 0,05 adalah ukuran (p= 0,981) kerataan (p = 0,788), ketebalan (p= 0-458), kebersihan (p= 0,716) dan pewarnaan (p= 0,293) meskipun prosentase kualitas sediaan di laboratorium rujukan yang baik rata-rata di atas 90% dan di BP4 Yogyakarta rata-rata kualitas sediaan yang baik rata-rata 30-70%. Hal ini kemungkinan disebabkan tenaga mikroskopis sudah berpengalaman 2 – 26 tahun meskipun di BP4 Yogyakarta belum pernah mendapatkan pelatihan tentang metode 6 kriteria stándar dan validitas kualitas tenaga mikroskopis dinyatakan baik karena hasil uji silang per 3 bulan < 5 %. Reagen yang digunakan di BP4 dan laboratorium rujukan sudah menggunakan reagen yang sesuai dengan stándar sehingga kualitas sediaan yang dihasilkan tidak terdapat perbedaan bermakna. Alat yang digunakan di BP4 Yogyakarta menggunakan ose sedang di laboratorium rujukan menggunakan lidi yang ujung tidak rata dan tusuk gigi yang waktu pembuatan sediaan relatif lama. Alat dan waktu yang berbeda ini tidak mempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan dengan 5 kriteria standart tersebut p >0,05. Hasil penelitian Girsang (1999) mutu pemeriksaan slide TB yang baik, yang dilakukan oleh laboran I Puskesmas Bekasi dan Jakarta Timur dan di nilai dengan sistem quality control terhadap latar belakang pengecatan/pewarnaan, kebersihan, ukuran 2 x 3 cm, ketebalan pengecatan dan kerataan pengecatan hanya sebesar < 50 %, dan setelah laboran di Puskesmas mendapat pelatihan,

11

prosentase dari kelima indikator pengamatan meningkat secara significant lebih dari 50%.8 Hasil kualitas sediaan di BP4 Yogyakarta prosentase tidak baik lebih besar dibanding yang baik adalah pada kerataan jumlah 203 (67,7%),ketebalan jumlah 210 (70%) dan pewarnaan jumlah 154 (51,3%). Sesuai dengan penelitian Chiang at al (2005) tentang kualitas preparat mikroskopis sputum di Taiwan, sebanyak 433 slide dievaluasi untuk kualitas sediaan dari

jumlah 433 slide tersebut,

memiliki ukuran yang baik 177 (41%), ketebalan yang baik 194 (45%) dan pewarnaan yang baik 212 (49%). Sesuai Penelitian Addo (2010) tentang peran laboratorium dalam diagnosis TB di Ghana dari dengan hasil

80 tenaga

laboratorium dalam penilaian kualitas sediaan ukuran 49%, kerataan 23%, ketebalan 59%, kebersihan 77 % dan pewarnaan 75 %.9, 10 Pengaruh preparasi sediaan yang kurang baik menyebabkan terjadinya negatif palsu pada pembacaan, dikarenakan ukuran sediaan yang terlalu besar , terlalu kecil, sediaan tidak rata, terkelupas, terlalu tebal terlalu tipis , kualitas dahak kurang baik. Penyebab terjadinya positif palsu dikarenakan sediaan tidak bersih, masih terdapat sisa endapan atau kristal dan artefak, waktu pemanasan yang berlebihan, kurang dekolorisasi.11 Pada metode 5 kriteria standar diharapkan nilai positifitas sediaan akan meningkat dan mudah diamati. Kerataan yang baik dalam pembuatan sediaan dengan gerakan spiral pada sputum akan menyebabkan bakteri terlepas dari sputum, di samping itu kerataan akan memudahkan petugas memeriksa sediaan secara mikroskopis dengan hanya menggeser dari kiri ke kanan tanpa naik turun.

12

Bila tidak rata maka harus menggeser preparat naik turun mencari lapang pandang yang tidak kosong. Ukuran 2 x 3 maka diharapkan petugas akan mendapatkan 150 lapang pandang bila menggeser sediaan dari kiri ke kanan. Bila lebih kecil atau lebih besar maka harus naik turun. Ketebalan yang standar maka sediaan akan lebih mudah teramati karena sel-sel tidak bertumpuk dan adannya BTA positip akan lebih jelas. Dekolorisasi standar maka warna tidak tergganggu oleh sisa cat di samping itu petugas bisa salah menginterprestasikan hasil kristal cat dengan BTA positip. Kenyataan dalam Hasil penelitian ini positifitas Yogyakarta

24%, positifitas laboratorium rujukan

BP4

26%, jadi peningkatan

positifitas adalah 2%, dengan hasil chi square 0,00 yang berarti bermakna secara statistik. Peningkatan yang relatif kecil ini disebabkan tenaga mikroskopis sudah berpengalaman dan seringnya menangani pemeriksaan BTA serta validitas kualitas tenaga mikroskopis dinyatakan baik karena hasil uji silang per 3 bulan < 5 %. Positifitas dapat meningkat lebih tinggi kemungkinan bila dilakukan pada petugas mikroskopis rujukan di puskesmas. Seperti pada penelitian lain yang menunjukkan positifitas meningkat lebih tinggi yaitu penelitian Ang at al (1997) di Filipina, dari jumlah sample 696 di lakukan pemeriksaan BTA di beberapa puskesmas dibandingkan dengan pemeriksaan di laboratorium rujukan hasil SPR di puskesmas 10,0% , hasil posivity rate di laboratorium rujukan 16,6% terjadi peningkatan SPR sebesar 6,6%.

2

Hal ini berbeda dengan penelitian Kalunga (

2011) di Zambia bahwa pembuatan sediaan menggunakan ose tingkat positifitasnya 57,5% dan yang menggunakan tongkat aplikator/lidi tingkat

13

positifitasnya 15,49%. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan positifitas tinggi yaitu 42.01%.12 Berbeda Penelitian Kustono (2006) tentang kualitas pemeriksaan mikroskopis BTA dengan pengecatan Ziehl Neelsen di PRM Kabupaten Sampang ,dibandingkan hasil pengecatan sputum BTA di Instansi Mikrobiologi Klinik RS dr Soetomo Surabaya, dengan jumlah sampel 50 suspek, hasil pemeriksaan di PRM Sampang sebanyak 31 orang penderita BTA positif (62%) dan 19 orang penderita BTA negatif (38%). Hasil di Laboratorium Klinik Rumah Sakit Umum Dr Soetomo Sirabaya 25 BTA positif (50%) dan 25 orang BTA negatif (50%) disebut dengan positif palsu 25,8% , negatif palsu 10,5% dan tingkat kesalahan pemeriksaan mikroskopis BTA 20%.13 Sesuai penelitian Bambang (2005) petugas laboratorium menyatakan bahwa sarana pendukung pemeriksaan TB ada yang kurang khususnya pada reagen, ada yang sudah kadaluwarsa dan adanya jamur pada lensa mikroskop. Kurang optimalnya ketersediaan sarana dan dana bisa berpengaruh pada hasil kegiatan program P2TB yang tampak dari hasil cakupan penemuan penderita TB. Hasil cakupan penemuan penderita TB BTA positif di puskesmas sampel rata-rata masih di bawah target penemuan yang sebesar 50 %. PS Ngaglik II dan PRM Seyegan masih 0 %. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya angka positive rate antara lain ialah terlalu longgarnya pemeriksaan suspek (Puskesmas Seyegan), reagen yang digunakan ada yang encer dan ada yang produk lama tahun 2002, kualitas dahak kurang bagus, dan pembuatan preparat dahak dari PS terlalu tebal di Godean I.

14

Uji kesesuaian dari penelitian ini didapatkan Nilai kappa adalah 0,92 dengan angka signifikasi sebesar p = 0,000 yang berarti ada kesesuaian yang sangat baik antar pemeriksaan BTA di BP4 Yogyakarta dengan laboratorium rujukan, karena petugas laboratorium sudah berpengalaman dalam pemeriksaan mikroskopis BTA dan sudah mempunyai buku panduan pembuatan sediaan dengan 5 kriteria standar. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Deva (2005) bahwa ketersediaan buku panduan berpengaruh terhadap perilaku petugas dalam melakukan pemeriksaan sediaan BTA tetapi sebagai bukan faktor dominan dan sesuai hasil penelitian Hijar (1994) bahwa perilaku petugas berhubungan dengan buku panduan. Nilai kappa yang sangat baik ini menggambarkan bahwa pemeriksaan BTA di BP4 Yogyakarta dengan pemeriksaan BTA di laboratorium rujukan tetap baik untuk dilakukan.11, 14 Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kuszinierz, et al (2001) di Argentina tentang kualitas sediaan mikroskopis BTA antara laboratorium daerah (UPK) dengan laboratorium rujukan dengan hasil nilai kappa 0,98. Penelitian Shargie et al (2005) di Ethiopia tentang pengendalian mutu pemeriksaan BTA sputum, dari 9 laboratorium tingkat daerah dengan laboratorium rujukan hasil nilai kappa 0,97. Penelitian Paramasivan et al (2003) tentang jaminan kualitas 7 dati 8 laboratorium daerah dibandingkan laboratorium rujukan hasil nilai kappa 0,90. Penelitian di Colombia oleh Vieira et al (1993) antara 6 petugas laboratorium mempunyai nilai kappa 0,963. Penelitian Sarin at al (2002) antara laboratorium TB senior dengan laboratorium daerah dengan nilai kappa 0,98. Penelitian Dave (2011) dalam penilaian kemampuan laboratorium rujukan dengan

15

laboratorium tingkat kabupaten dalam pemeriksaan BTA nilai kappa 0,98. Penelitian di Colombia Leon (1993) tentang evaluasi kualitas petugas laboratorium regional dengan laboratorium rujukan nilai kappa 0,96.15, 16, 17, 18, 20, 20

Berbeda dengan penelitian Mfinanga et al (2007) untuk mengetahui nilai kappa dari 13 puskesmas dengan laboratorium rujukan di Tanzania. Sputum pagi 214 sampel di periksa di puskesmas kemudian sampel yang sama diperiksa di laboratorium rujukan baik dahak yan BTA (+) atau (-), dengan hasil nilai kappa 0,5 menunjukan kekuatan kappa sedang.21 Perbedaan hasil positifitas absolut antara BP4 jumlah yang positif 72 dengan laboratorium rujukan yang positif 78, sehingga ada 6 pasien yang tidak diobati akan menjadi sumber penularan dan dapat berakibat kematian. Kualitas pemeriksaan BTA sangat menentukan ketepatan besarnya kasus tuberkulosis di masyarakat, hasil positip palsu atau negatip palsu sangat berbahaya karena pengobatan menjadi tidak tepat. Ini berarti pemborosan di samping merugikan penderita, selain itu kualitas data tuberkulosis menjadi tidak memadai. 7

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa 1.

Kualitas sediaan dahak mikroskopus TB dengan indikator ukuran, kerataan, ketebalan, kebersihan dan pewarnaan antara BP4 Yogyakarta dengan Laboratorium Rujukan Propinsi tidak ada perbedaan yang bermakna .

16

2.

Terdapat peningkatan positifity rate bila menerapkan 5 kriteria standar dalam pembuatan sediaan sputum.

3.

Terdapat kekuatan kesepakatan yang sangat baik antara pembuatan sediaan antara BP4 Yogyakarta dengan Laboratorium Rujukan Propinsi.

Saran : 1.

Petugas mikroskopis BTA tetap mempertahankan kualitas ketrampilannya karena dengan mengikuti tehnik yang sesuai standar dapat meningkatkan positifity rate.

2.

Peningkatkan kualitas hasil pemeriksaan preparat TB perlu dilakukan terus menerus.

3.

Penelitian ini menjadi awal penelitian selanjutnya dengan UPK DOTS yang bervariasi.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada DR. Lucky Herawati, S.KM, M.Sc, Direktur Poltekkes Yogyakarta dan Subroto Tri Widada, SKM, M.Sc , Ketua Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Yogyakarta, Kepala BP4 Yogyakarta, Kepala Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta beserta tenaga laboboratorium yang telah memberikan semua bantuan dan partisipasinya sehingga penelitian ini berjalan dengan baik di lapangan.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. Hisyam,B., Hamidi. Control in Sardjito Hospital: Success of The Directly Observed Treatment short-Course (DOTS) Strategy. Indonesia Journal of Clinical Epidemiology & Biostatistic,1995; vol 8 (3): 1-3 2. DepKes RI. Penjaminan Mutu Eksternal untuk Mikroskopi AFB pada Level Operasional, Kelompok Inti Nasional Pelatihan Mikroskopi TB. Proyek Pengendalian TB-JICA Indonesia, 2010. 3. WHO report . Global Tubercolosis Control, Geneva, 2010. di akses 10 Maret 2011 http://www.who.int/tb/publications/global_report/2010/en/index.html 4. Shargie,E.B., Yassin,M.A., Lindtjorn, B. Quality control of sputum microscopic examinations for acid fast bacilli in southern Ethiopia. thiop.J.Health Dev, 2005;19(2) 5. DepKes RI. Pedoman Nasional Progam Penanggulangan Tuberkulosis. DepKes. Jakarta, 2006. 6. DepKes RI. Pedoman Jejaring Laboratorium TB dan Pemantapan mutu (Quality Assurance) Pemeriksaan Mikroskopis Tuberkulosis DepKes. Jakarta, 2008. 7. Basra, D., Matee, M., McNerney, R. Quality assessment of sputum smears microscopy for detection of acid fast bacilli in peripheral health care facilities in Dar es Salaam, Tanzania. East African Medical Journal 2006; 83: 306-10. 8. Girsang, M. Quality Control Pemeriksaan Mikroskopik TB di Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),Puslitbang Pemberantasan Penyakit,Badan Litbangkes, 1999. 9. Addo, K.K., Yeboh, D., Dzide, M.D., Darko, K.O., Caulely, P., Mensah, L. Diagnosis Of Tuberculosis In Ghana, The Role Of Laboratory Training, National Tuberculosis Control Programme, Ghana Health Service, Korle-Bu, Accra, Ghana, 2010. 10. Chiang ,C.Y., Rieder, H.L., Kim, S.J., Kam, K.M., Dawson, D., et al. Quality of sputum smear microscopy in Taiwan, International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, Paris, France, 2005. 11. Deva, D. Perilaku petugas Mikroskopis TB Paru Puskesmas di kabupaten Bengkulu Selatan, Tesis, 2005. 12. Kalunga, D.C. Comparison of acid-fast bacilli (AFB) positivity rate obtained by applicator stick and the plastic loop in a high TB incidence

18

population of Zambia. Journal of Infectious Diseases and Immunity , 2011;Vol. 3(9), pp. 169-171 13. Kustono. Kualitas pemeriksaan mikroskopis BTA di puspesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) di kabupaten Sampang, Universitas Airlangga Surabaya, 2006. 14. Hijar, A. Sarana, Tenaga dan Tatalaksana Progam P2TB Paru di Puskesmas dan Hubungannya dengan cakupan Progam P2TB di wilayah Kotamadya Jakarta, Tesis, 1995. 15. Dave, P.V., Nilesh, D., Patel, K., Rade, R.N., Solanki, P.G., et al. Assessment of sputum smear microscopy services in Gujarat, India, Indian Journal of Tuberculosis, 2011. 16. Kusznierz, G.F., Latini, Q.A., Sequira, M.D. Quality assessment of smear microscopy for acid-fast bacilli in the Argentine tuberculosis laboratory network, 1983-2001, 2001. 17. Leon, C.I., Guerrero. M.I., Blanco, E.G., Naranjo, N., Camargo, D. Quality of sputum microscopy in the network of tuberculosis bacteriology laboratories in Colombia, Boletin de Oficina Sanitaria Panamericana Pan American Sanitary Bureau , 1993;Volume: 115, Issue: 2, Pages: 103-110 di unduh 12 Januari 18. Paramasivan, C.N., Venkataraman, P., Vasanthan, J.S., Rahman, F., Narayanan, P.R., Quality assurance studies in eight state tuberculosis laboratories in India. Int J Tuberc Lung Dis 2003; 7: 522-527. 19. Shargie,E.B., Yassin,M.A., Lindtjorn, B. Quality control of sputum microscopic examinations for acid fast bacilli in southern Ethiopia. thiop.J.Health Dev, 2005;19(2) 20. Vieira, F.D., Salem, J.I., Netto, A.R. Methodology for characterizing proficiency in interpreting sputum smear microscopy results in the diagnosis of tuberculosis, Colombia, Boeletin de la officinal Sanitaria Panameancana, , 1993; 115(2): 103, di unduh 2 januari 2012, http://www.biomedexperts.com/Abstract.bme/8373533/Quality_of_sputum_m icroscopy_in_the_network_of_tuberculosis_bacteriology_laboratories_in_Col ombia 21. Mfinanga, G.S., Ngadaya, E., Mtandu, R., Mutayoba, B., Basra,D., et al. The quality of sputum smear microscopy diagnosis of pulmonary tuberculosis in Dar es Salaam, Tanzania, Health Research Bulletin Tanzania, , 2007; Vol. 9, No. 3 di unduh 14 juli http://www.bioline.org.br/pdf/rb07028

19