APLIKASI HORMONE PROGESTERONE DAN ESTROGEN PADA BETINA INDUK

Download Suatu penelitian tentang aplikasi hormon gonadotropin untuk meningkatkan fertilitas ternak betina yang mengalami ... untuk meningkatkan kes...

0 downloads 397 Views 53KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

APLIKASI HORMONE PROGESTERONE DAN ESTROGEN PADA BETINA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POSTPARTUM YANG DIGEMBALAKAN DI TIMOR BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR (Applications of Hormone Progesterone and Estrogen in Post-Partum Anestrus Bali Cows at Grazing Area in West Timor, East Nusa Tenggara) AMIRUDIN POHAN1 dan C. TALIB2 1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, Jl. Timor Raya Km. 32, Naibonat, Kupang 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran, Kav, E-59, Bogor 16151

ABSTRACT A study on application of gonadotropin hormone to increase the fertility of Bali cows that experienced postpartum anestrus has been done at farm level activities in Year 2008. This research aims to improve fertility of postpartum anestrus Bali cows in graze land that have experienced more than three months. A total of 30 head of cows that do not experience estrous returned more than 90 days postpartum are used as research material. Average Condition Score of cows (SKT) is in between 2 – 3 out of 5 scales. The cows are classified into three treatment groups. Each treatment consisted of 10 repetitions. One group were given progesterone injections of 62.5 mg once, two treatments are given two x 46.87 mg and the treatment of three given 62.5 mg of progesterone combined with estrogen as much as 1.0 mg. Observations are conducted on percentage of estrus onset, duration of estrus, and pregnancy based on the duration of anestrus. The research results show that the overall onset of estrus after treatment varied from one to five days, with the highest percentage of simultaneity estrus (37.5%) appeared more than 2nd to third day after treatment. Onset of estrus, the fastest in the treatment of one-time injection of 62.5 mg of progesterone and oestradiol benzoate injection of 1.0 mg of 11.1% occurred between the first and third day after treatment. Oldest onset of estrus occurred at 62.5 mg of progesterone at the same time giving the fourth to fifth day of 70%. The 100% of estrus occurred at 62.5 mg and the results of other treatment given around 90%. Overall conception rates are still low at 35.7% but a high pregnancy rate of 75%. Key Words: Progesteron, Estrogen, Fertility, Pregnancy Rate ABSTRAK Suatu penelitian tentang aplikasi hormon gonadotropin untuk meningkatkan fertilitas ternak betina yang mengalami anestrus postpartum telah dilakukan di tingkat petani pada Tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kesuburan induk ternak sapi Bali pada peternakan rakyat yang telah mengalami anestrus lebih dari tiga bulan sesudah melahirkan. Sebanyak 30 ekor ternak sapi betina yang tidak mengalami estrus kembali setelah lebih dari 90 hari melahirkan digunakan sebagai materi penelitian. Rata - rata Skor Kondisi Ternak (SKT) antara 2 – 3. Ternak - ternak tersebut dikelompokkan dalam 3 kelompok perlakuan. Masingmasing perlakuan terdiri dari 10 ulangan. Kelompok satu diberikan progesteron sebanyak 62,5 mg satu kali penyuntikan, perlakuan dua diberikan 2 x 46,87 mg dan perlakuan tiga diberikan progesteron 62,5 mg dikombinasikan dengan estrogen sebanyak 1,0 mg. Pengamatan yang dilakukan meliputi onset dan persentase estrus, lama estrus, dan angka kebuntingan berdasarkan lama anestrus. Hasil yang dapat dilaporkan bahwa secara keseluruhan onset estrus setelah perlakuan bervariasi mulai dari satu sampai lima hari, dengan persentase keserentakan estrus tertinggi (37,5%) muncul lebih dari hari kedua sampai hari ketiga setelah perlakuan. Onset estrus tercepat terjadi pada perlakuan pemberian satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron dan penyuntikan 1,0 mg oestradiol benzoat yaitu 11,1% muncul antara hari ke satu dan ketiga setelah perlakuan. Onset estrus terlama terjadi pada pemberian sekaligus 62,5 mg progesteron yaitu hari keempat sampai kelima sebesar 70%. Persentase estrus 100% terjadi pada perlakuan pemberian 62,5 mg dan perlakuan lainnya sebesar 90%. Secara keseluruhan angka konsepsi masih rendah yaitu 35,7% akan tetapi angka kebuntingan cukup tinggi yaitu 75%. Kata Kunci: Progesteron, Estrogen, Fertilitas, Angka Kebuntingan

18

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

PENDAHULUAN Sapi Bali (Bos sundaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) adalah plasma nutfah asli Indonesia, yang dalam keadaan liar terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon dan Baluran, dan merupakan ternak sapi hasil domestikasi masyarakat Indonesia. Sapi Bali merupakan bangsa sapi yang dominan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan telah terbukti mampu beradaptasi dengan ekosistem di NTT terutama di Pulau Timor yang memiliki bulan kering antara 7 – 8 bulan dalam setahun (Dinas Peternakan NTT, 2009). Dampak dari panjangnya bulan kering adalah kekurangan pakan pada periode tersebut, terutama pada induk sapi Bali setelah melahirkan yang dapat mengakibatkan penundaan estrus dari 5 sampai 18 bulan (TOELIHERE et al., 1990; WIRDAHAYATI, 2010). Kegagalan birahi atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada induk sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi induk sesudah partus atau inseminasi/perkawinan secara berulang tanpa terjadi konsepsi. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor utama yang dapat menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi pakan yang buruk, maka hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama kegagalan reproduksi sapi potong, khususnya yang terjadi pada sistem pemeliharaan penggembalaan atau ekstensif yang kekurangan pakan. TOELIHERE (1997) menyatakan bahwa hipofungsi ovarium pada sapi periode postpartum disebabkan oleh kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal sehingga terjadi anestrus atau birahi tenang (silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Pada keadaan hipofungsi, ovarium berukuran normal namun permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal yang artinya tidak ada folikel dominant yang siap untuk ovulasi. Kondisi semacam ini menandakan bahwa pada ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel apalagi corpus luteum. Untuk mengatasi kondisi ovarium seperti ini maka dapat dilakukan melalui penyuntikan hormon gonadotropin (PEMAYUN, 2009). Namun penggunaan preparat ini tidak ekonomis untuk ternak

potong yang digembalakan karena memerlukan biaya yang relatif mahal sehingga sebagai penggantinya dapat dipakai hormon progesteron. Dasar fisiologik dari penggunaan progesteron adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap hipothalamus yang bersifat sementara dan setelah efek hambatan hilang, maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya disebut dengan LH surge. Dengan demikian akan terjadi proses pertumbuhan dan pematangan folikel menjadi follikel de graaf sehingga terjadi ovulasi. Cara terapi penanganan anestrus postpartum mengikuti mekanisme seperti di atas telah dicoba oleh MCDOUGALL dan COMPTON (2005) dengan menggunakan berbagai hormones dan dikatakan bahwa cara yang paling efektif untuk menangani kasus hipofungsi ovary pada sapi perah, yaitu pemberian FSH yang diikuti dengan pemberian LH. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu penelitian untuk memperpendek masa anestrus postpartum yang sering dialami oleh sapi-sapi Bali betina yang digembalakan pada padang rumput alam di Timor Barat, NTT terutama pada musim kemarau. Penanganan secara hormonal dilakukan melalui penyuntikan hormon progesteron dan estrogen sehingga aktivitas reproduksinya dapat bangkit dan kemudian berjalan normal kembali. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kesuburan induk sapi Bali pada peternakan rakyat yang digembalakan dan telah mengalami anestrus lebih dari tiga bulan sesudah melahirkan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Desa Usapinonot Kecamatan Insana Kabupaten Timor Tengah Utara pada Program Primatani Tahun 2008. Materi yang digunakan yaitu sebanyak 30 ekor induk sapi Bali anestrus postpartum lebih dari 3 bulan. Pakan yang diberikan pada ternak selama penelitian disesuaikan dengan ketersediaannya di tempat penelitian seperti limbah pertanian (jerami jagung, jerami padi dan jerami kacang-kacangan), namun jumlah

19

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

pemberian pakan dan air tidak dibatasi. Untuk melengkapi kebutuhan nutrisi diberikan tambahan campuran leguminosa (daun turi Sesbania grandiflora, gamal Glirisidia maculata dan lamtoro Leucaena leucocephala) pada malam hari sebanyak lima kilogram per ekor per hari. Tahapan kegiatan ini mencakup seleksi sapi betina untuk mendapatkan sapi-sapi yang berada dalam periode anestrus lebih besar dari 3 bulan postpartum. Pemeriksaan sapi-sapi tersebut dilakukan melalui pengamatan estrus dan pemeriksaan kebuntingan. Ternak yang terpilih selanjutnya dilakukan pengacakan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk penentuan perolehan perlakuan dengan masing-masing kelompok perlakuan mendapatkan 10 ekor ternak sebagai ulangan. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis secara statistik menggunakan general linear model (GLM) dari program SAS dan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat pengaruh perlakuan secara lebih rinci. Perlakuan yang dilakukan pada masingmasing kelompok perlakuan adalah sebagai beikut; Kelompok Perlakuan I: Satu kali penyuntikan secara intramuskular 62,5 mg progesteron per ekor. Onset estrus yang timbul pada perlakuan ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan waktu pada perlakuan II dan III. Kelompok Perlakuan II: Pemberian secara bertahap 93,75 mg progesteron untuk setiap ekor sapi yang disuntikkan secara intra muskular dua kali berturut-turut, masingmasing 46,87 mg progesteron per ekor dengan selang waktu lima hari antar penyuntikan. Kelompok Perlakuan III: Satu kali penyuntikan secara intra muskuler 62,5 mg progesteron per ekor, disusul tiga hari kemudian dengan penyuntikan secara intramuskuler 1,0 mg oestradiol benzoat per ekor.

Variabel yang diukur didalam penelitian ini meliputi: 1) kecepatan timbulnya estrus (onset estrus), yaitu jarak waktu antara akhir perlakuan dengan awal penampakan gejala estrus, 2) lama berlangsungnya estrus, yaitu jarak waktu antara awal sampai akhir penampakan gejala estrus, 3) angka Kebuntingan (conception rate) yaitu banyaknya ternak yang bunting pada IB pertama atau sekali kawin alam dibagi jumlah seluruh ternak yang dikawinkan dikali 100%. HASIL DAN PEMBAHASAN Onset dan presentase estrus Kecepatan estrus yang timbul pada ternak percobaan ini merupakan jarak waktu antara akhir perlakuan sampai awal penampakan gejala klinis estrus. Gejala klinis yang timbul ditandai adanya pembekakan serta perubahan warna pada vulva, yaitu dari warna merah pucat kewarna merah terang dan keluar lendir transparan. Onset estrus pada ternak percobaan dikelompokkan dalam empat interval waktu yaitu: 1 – 2 hari, > 2 – 3 hari, > 3 – 4 hari dan > 4 – 5 hari (Tabel 1). Secara keseluruhan hasil pengamatan terhadap onset estrus menggambarkan bahwa ternak anesterus postpartum yang diberikan progesteron saja maupun yang dikombinasikan dengan oestradiol benzoat mempunyai onset estrus antara satu sampai lima hari. Persentase keserentakan onset estrus tertinggi (35,7 %) terjadi pada interval onset estrus labih dari dua sampai tiga hari dan lebih dari tiga sampai empat hari (32,1 %) setelah akhir perlakuan. Keserentakan estrus ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian implan controlled internal drug-releasing device (CIDR) dengan atau tanpa estrogen selama 7, 12 dan 14 hari

Tabel 1. Respon akibat perlakuan hormon gonadotropin berdasarkan onset estrus Onset estrus (hari) Kelompok perlakuan

1–2

>2–3

>3–4

>4–5

Tidak estrus

Jumlah

--------------------------- ekor (%) ------------------P4,62,5 mg P4, 2 x 46,87 mg

2 (22.2)

P4, 62,5 mg + OB 1,0 mg

1(11,1)

8 (88,9)

Jumlah (ekor) (%)

1 (3,6)

10 (35,7)

20

3 (30)

7 (70)

6 (66,7)

1 (11,1)

9 (32.1)

8 (28,6)

10 1 (10)

10

1 (11,1)

10

2 (20)

30 (100)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

yang berkisar antara dua sampai tiga hari (VARGAS et al., 1994) dan PEMAYUN (2009) hasil terhadap rataan timbulnya estrus dengan perlakuan PMSG adalah 3,43 ± 0,79 hari. Ternak sapi yang memperlihatkan onset estrus tercepat setelah pemberian perlakuan dialami oleh ternak yang diberikan satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron dan disusul tiga hari kemudian 1,0 mg oestradiol benzoat yaitu antara satu sampai tiga hari dengan persentase keserentakan estrus terbanyak (88,0%) muncul lebih dari dua sampai tiga hari setelah akhir perlakuan. Penambahan oestradiol benzoat ternyata dapat lebih mempercepat timbulnya estrus dan keserentakan estrus. BO et al. (1995; 2006) menyatakan bahwa implan progesterone bersama oestradiol benzoat juga dapat memperpendek interval antara perlakuan dengan ovulasi. Kejadian ini dapat dipahami karena mekanisme kerja hormon estrogen yang diinjeksi pada saat konsentrasi progesteron dalam plasma rendah akan berpengaruh pada susunan syaraf pusat yang berhubungan dengan tingkah laku estrus. Estrogen juga mengontrol perubahan alat kelamin betina, produksi mucus dan perubahan aktivitas metabolisme pada uterus. Hal yang serupa terjadi pada perlakuan kombinasi CIDR yang diikuti oleh pemberian estrogen. Injeksi hormon estrogen 24 jam setelah pencabutan CIDR ditujukan untuk menghasilkan lonjakan LH setelah 20 sampai 24 jam kemudian, sehingga estrus terjadi lebih awal dan dapat meningkatkan derajat sinkronisasi estrus dan ovulasi. Menurut MCDOUGAL et al. (1995) folikel dominan pada fase tataran puncak pertumbuhan lebih mungkin berovulasi sesudah pemberian oestradiol benzoat dibanding jika diberikan pada fase pertumbuhan. Seiring dengan pertumbuhan folikel yang makin matang, maka estrogen juga semakin banyak dihasilkan oleh folikel, yang selanjutnya meningkatkan sekresi LH. Peningkatan kandungan estrogen dan LH didalam darah menyebabkan ternak memperlihatkan tingkah laku estrus dan ovulasi antara 12 sampai 24 jam setelah estrus. Onset estrus terlama diperlihatkan oleh ternak pada kelompok perlakuan sekali pemberian progesteron 62,5 mg yaitu berkisar antara tiga sampai lima hari dengan keserentakan estrus terbanyak (70%) pada

lebih empat sampai lima hari setelah akhir perlakuan. Hal ini disebabkan karena tingginya konsentrasi progesteron dalam plasma darah akan menghambat sekresi FSH dan LH dari hipofisis. Menurunnya konsentrasi progesteron dalam darah setelah beberapa hari kemudian menyebabkan efek hambatan tersebut hilang dan akan terjadi banjir FSH dan LH dan disusul dengan pertumbuhan gelombang folikel pertama yang baru. Perkembangan setiap gelombang folikel membutuhkan tujuh sampai sembilan hari (FORTUNE, 1993). Kisaran waktu ini diperlukan untuk tiga tahap perkembangan folikel, yakni tahap pertumbuhan, tahap seleksi dan tahap dominasi, dimana tiap tahap membutuhkan dua sampai tiga hari tergantung pada konsentrasi gonadotropin (FSH dan LH) di dalam plasma darah. Kelompok ternak sapi yang diberikan 2 x 46,87 mg hormon progesteron secara bertahap dengan selang waktu lima hari antar penyuntikan menimbulkan waktu onset estrus yang lebih bervariasi yaitu antara dua sampai lima hari dengan keserentakan estrus terbanyak (66,7%) muncul pada 3 - 4 hari setelah akhir perlakuan. Walaupun hasil analisis statistik terhadap onset estrus tidak berbeda nyata (P > 0,05) antara perlakuan namun terdapat kecenderungan bahwa pemberian 2 x 46,87 mg hormon progesteron, secara bertahap memberikan efek yang lebih cepat terhadap timbulnya estrus jika dibandingkan dengan pemberian sekaligus 62,5 mg hormon progesteron. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan lamanya waktu keberadaan konsentrasi hormon progesteron dalam darah. Pada pemberian 2 x 46,87 mg progesteron bertahap dengan selang lima hari kemungkinan konsentrasi hormon progesteron tersebut mampu bertahan antara 8 sampai 9 hari. Ternak sapi anestrus memperlihatkan persentase estrus yang tinggi pada ketiga kelompok perlakuan. Semua (100%) ternak memperlihatkan estrus segera setelah pemberian satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron, sedangkan kedua kelompok lainya sebesar 90%. Hasil analisis statistik terhadap persentase estrus tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P > 0,05) antara ketiga kelompok perlakuan. Dapat dinyatakan bahwa pemberian hormon progesteron baik yang disuntikkan sekaligus maupun bertahap serta yang

21

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

dikombinasikan dengan oestradiol benzoat memberikan pengaruh yang sama terhadap respons estrus. Lama estrus Lama estrus dihitung sejak ternak menunjukkan gejala klinis (terutama gejala perubahan vulva) sampai gejala tingkah laku tidak terlihat lagi. Secara keseluruhan diperoleh lamanya estrus berkisar antar 12 sampai 72 jam dengan jumlah terbanyak yaitu 14 ekor (50 ) dari 28 ekor ternak mengalami lama estrus antara 24 sampai 36 jam (Tabel 2). Persentase tertinggi sampai terendah pada kisaran lama estrus ini berturut-turut, yaitu 55,6% pada perlakuan 2 x 46,87 mg progesteron secara bertahap kemudian 50 % perlakuan penyuntikan sekaligus 62,5 mg progesteron dan 44,4% kombinasi antara 62,5 mg progesteron dengan 1,0 mg oestradiol benzoat. Kisaran lama estrus terpendek yaitu 12 sampai 23 jam hanya diperlihatkan oleh ternak perlakuan dengan satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron yaitu 1 ekor (10%) dari 10 ekor. Sedangkan pada kedua perlakuan lainnya ternak memperlihatkan lama estrus lebih dari 23 jam. Hal ini menunjukkan bahwa lama estrus ternak penelitian akibat pemberian hormonal menyebabkan lama estrus yang ditimbulkan menjadi lebih panjang dari yang normal. Lama estrus normal pada ternak sapi bali berkisar antara 18 sampai 19 jam (TOELIHERE, 1990). Secara keseluruhan diperoleh rataan lama estrus yaitu 41,4 jam, sedangkan secara kelompok lama estrus terpanjang dialami oleh ternak pada kelompok perlakuan satu kali pemberian 62,5 mg

progesteron yang disusul dengan penyuntikan 1,0 mg oestradiol benzoat yaitu dengan rataan 45,3 jam dengan kisaran 24 sampai 73,5 jam, kemudian diikuti dengan kelompok perlakuan pemberian bertahap 46,87 mg progesteron yaitu sebesar 39,16 jam dengan kisaran 24 sampai 60 jam, dan kelompok perlakuan satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron yaitu 37.1 jam dengan kisaran 12 sampai 48 jam. Hasil analisis statistik menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05) antara kelompok perlakuan terhadap lamanya estrus. Namun terlihat bahwa ternak yang disuntik 62,5 mg progesteron dan 1,0 mg oestradiol benzoat mempunyai lama estrus yang lebih panjang dari kelompok lainnya. Tingginya konsentrasi estrogen yang berasal dari estradiol benzoat menyebabkan gejala estrus yang timbul mempunyai interval yang lebih lama jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyuntikan oestradiol benzoat. Pengaruh pemberian progesteron dan oestradiol benzoat terhadap kesuburan ternak Secara keseluruhan rataan angka konsepsi dari ternak setelah dilakukan perkawinan alam maupun IB, adalah 35,7% (10 ekor dari 28 ekor). Angka konsepsi yang diperlihatkan pada kelompok perlakuan progesteron 2 x 46,87 mg adalah yang tertinggi (44,4%) sedangkan perlakuan satu kali penyuntikan 62, 5 mg progesteron dan disusul dengan penyuntikan 1,0 mg oestradiol benzoat tiga hari kemudian mempunyai angka konsepsi yang paling rendah (22,2%) seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Respons akibat perlakuan hormon gonadotropin berdasarkan lama estrus Kisaran lama estrus (jam) Kelompok perlakuan

12 – 23

24 – 36

37 – 48

> 48

Jumlah (ekor)

-------------------------- ekor(%) ------------------------P4, 62,5 mg

5 (50,0)

2 (20,0)

2 (20,0)

10

P4, 2x46,87 mg

5 (55,6)

2 (22,2)

2 (22,2)

9

P4, 62,5 mg + OB 1,0 mg

4 (44,4)

2 (33,3)

2 (22,2)

9

14 (50,0)

7 (25,0)

6 (21,4)

28 (100)

Jumlah (ekor)(%)

22

1 (10,0)

1 (3,6)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

Tabel 3. Respons akibat perlakuan hormon gonadotropin terhadap keberhasilan kebuntingan. Kelompok perlakuan

Banyaknya ternak yang bunting (ekor/%)

Tidak bunting

Jumlah (ekor)

1 (10)

4 (40)

10

3 (33.3)

-

2 (22,2)

9

4 (44,4)

2 (22,2)

1 (11,1)

9

8 (28,6)

3 (10,7)

7 (25)

28 (100)

IB

IB II

IB III

4 (40)

1 (10)

P4, 2 x 46,87 mg

4 (44,4)

P4, 62,5 mg + OB 1,0 mg

2 (22,2)

Jumlah (ekor)(%)

10 (35,7)

P4, 62,5 mg

Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0,05) antara ketiga perlakuan, namun terdapat kecenderungan bahwa pemberian progesteron 2 x 46,87 mg yang disuntikkan bertahap dengan interval lima hari memberikan angka kebuntuingan yang relatif lebih tinggi (44,4%) jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun jika dilihat dari jumlah keseluruhan ternak yang bunting setelah diinseminasi/dikawinkan sebanyak tiga kali berturut-turut maka persentase kebuntingannya cukup tinggi yaitu 21 dari 28 ekor (75%). Persentase kebuntingan setelah diinseminasi sebanyak tiga kali dari yang tertinggi ke yang terendah berturut-turut adalah pada kelompok ternak yang mendapat penyuntikan progesteron dan 1,0 mg oestradiol benzoat (88,9%) kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian bertahap (77,8%) dan terendah dialami oleh kelompok ternak yang mendapat satu kali progesteron (60 %). Rendahnya angka konsepsi pada inseminasi pertama yang dialami oleh kelompok ternak yang mendapatkan penyuntikan progesteron dan estrogen, kemungkinan disebabkan oleh sulitnya menentukan waktu yang tepat untuk diinseminasi/dikawinkan karena sebagian besar ternak yang menunjukkan gejala estrus mempunyai waktu estrus yang lebih lama hingga beberapa hari setelah diinseminasi dan ternak masih terus memperlihatkan estrus setelah diinseminasi dua sampai tiga kali. Diduga bahwa pemberian oestradiol benzoat tiga hari setelah pemberian progesteron menyebabkan konsentrasi estrogen menjadi tinggi pada awal pertumbuhan folikel. Tingginya konsentrasi estrogen ini memicu terjadi lonjakan LH sehingga folikel yang berpotensi untuk tumbuh menjadi dominan, akan berhenti bertumbuh sebelum mencapai fase dominan. Keberadaan LH yang mendadak

tinggi menyebabkan folikel tersebut berovulasi sebelum waktunya, sehingga fertilitasnya menurun. Angka konsepsi setelah ternak dikawinkan pertama yang masih rendah pada penelitian ini dapat dimaklumi karena ternak yang digunakan mengalami hipofungsi ovarium pada saat perlakuan dimulai, namun hasil ini masih sedikit lebih baik dari pada yang dilaporkan SAVIO et al. (1992) bahwa implan hormon progesteron sembilan hari tanpa hormon estrogen mempunyai angka kebuntingan yang rendah (37%). KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini serta pembahasannya dapat disimpulkan bahwa: 1. Respons estrus pada sapi anestrus umumnya tinggi. Respons tertinggi (100%) pada perlakuan satu kali penyuntikan progesteron, sedangkan pemberian progesteron dua tahap (2 x 46,87 mg) dan pemberian 62,5 mg progesteron dan 1,0 mg oestradiol benzoat memberikan respon estrus 90%. 2. Kecepatan timbulnya estrus umumnya berkisar antara > 2 – 3 hari (88,9%) yaitu pada pemberian progesteron dan ostradiol benzoat, sedangkan kecepatan timbulnya estrus pada perlakuan lainnya relatif lebih lama (> 3 – 5 hari). 3. Angka kebuntingan dari jumlah keseluruhan ternak sapi setelah dikawinkan sebanyak 3 kali memberikan persentase yang cukup tinggi (75%). Total angka kebuntingan (89,9%) terjadi pada kelompok perlakuan pemberian progesteron dan oestradiol benzoat, sedangkan angka

23

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

kebuntingan terendah (60%) terjadi pada perlakuan satu kali pemberian progesteron. 4. Melihat hasil pada perkawinan pertama setelah perlakuan yang masih rendah, maka disarankan agar ternak-ternak yang mengalami anestrus postpartum sebaiknya dikawinkan setelah menunjukkan gejala birahi secara alami setelah diberikan penyuntikan progesteron dan oestradiol benzoat. DAFTAR PUSTAKA BO, G.A, G.P. ADAMS, R.A. PIERSON and R.J. MAPLETOTF. 1995. Exogenous control of Follicular wave emergence in cattle. Theriogeology 43: 31 – 40. BO, G.A., P.S. BARUSELLI, P.M. CHESTA and C.M. MARTIN. 2006. (Review) The timing of ovulation and insemination schedules in superstimulated cattle. Theriogenology 65(1): 89 – 101. DINAS PETERNAKAN PROVINSI NTT. 2009. NTT (Nusa Tenggara Timur) dalam Angka 2008. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang. MCDOUGALL, L.D.S., C.R. BURKE, K.L. MACMILLAN and N.B. WILLIAMSON. 1995. Follicle patterns during extenced periods of postpartum ovulation in pasture-fed dairy cows. Res. Vet. Sci. 58: 212 – 216.

24

MCDOUGALL, S. and C. COMPTON. 2005. Reproductive performance of anestrous dairy cows treated with progesterone and estradiol benzoate. J. Dairy Sci. 88: 2388 PEMAYUN, T.G.A. 2009. Induksi estrus dengan PMSG dan GnRH pada sapi perah periode anestrus postpartum. Bull. Veteriner Udayana 2: 1. SAVIO, J.D., W.W. THACHER, L. BADINGA, R.L. DE LA SOTA and D. WOLFENSON. 1992. Regulation of dominant follicle turnover during the estrous cycle in coes. J. Reprod. Fert. 97: 197 – 203. TOELIHERE, M.R. 1997. Peran bioteknologi reproduksi dalam pembinaan produksi peternakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan teknis dan koordinasi Produksi Peternakan Nasional. Cisarua, 4 – 6 Agustus 1997. TOELIHERE, M.R., I.G.N. JELANTIK, P. KUNE dan T.L. YUSUF. 1990. Pengaruh musim terhadap kesuburan ternak sapi Bali di Besipae. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang. VARGAS, RB., Y. FUKUI, A. MIYANTO and Y. TERAWAKI. 1994. Estrous synchronized using CIDR in heifers. J. Reprod. Dev. 40(1): 59 – 64. WIRDAHAYATI, R.B. 2010. Penerapan teknologi dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi potong di Nusa Tenggara Timur. Wartazoa 20(1): 12 – 20.