ATTRIBUTION THEORY

Download Penyebab perilaku dalam persepsi sosial dikenal sebagai dispositional ... keperilakuan. Untuk itu, sikap, persepsi, dan perilaku menjadi ac...

0 downloads 822 Views 178KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teori Atribusi Teori Atribusi (Attribution Theory) merupakan teori yang menjelaskan

tentang perilaku seseorang. Teori Atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang mengintrepretasikan suatu peristiwa, mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan alasan atau sebab perilakunya (Steers, 1988 dalam Hudayati, 2002). Teori ini mengargumentasikan bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces) yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang misalnya kemampuan, pengetahuan atau usaha; sedangkan kekuatan eksternal (eksternal forces) yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar misalnya keberuntungan, kesempatan dan lingkungan (Fritz Heider, 1958 dalam Hudayati, 2002). Penyebab perilaku dalam persepsi sosial dikenal sebagai dispositional attribution dan situational attribution atau penyebab internal dan eksternal (Robbins dan Judge, 2008). Disposition attribution atau penyebab internal mengacu pada aspek perilaku individu, sesuatu yang ada dalam diri seseorang seperti sifat pribadi, persepsi diri, kemampuan motivasi. Situational attribution atau penyebab eksternal mengacu pada lingkungan yang memengaruhi perilaku, seperti kondisi sosial, nilai sosial, pandangan masyarakat. Teori Atribusi mengembangkan konsep cara-cara penilaian manusia yang berbeda, bergantung pada makna yang dihubungkan dengan perilaku tertentu. 10

11

Berdasarkan uraian diatas, teori atribusi dapat digunakan sebagai dasar mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja auditor pemerintah. Dengan mengkaji faktor-faktor tersebut dapat memberikan tambahan bukti empiris kaitannya dengan kinerja auditor pemerintah.

2.2

Aspek Keperilakuan dalam Audit Akuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi

keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan. Motivasi dan perilaku dari pelaksana sistem informasi akuntansi menjadi aspek penting dari suatu sistem informasi akuntansi. Audit merupakan salah satu bidang kajian dalam akuntansi. Agoes (2004) mengemukakan audit sebagai suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak independen, terhadap laporan keuangan yang telah disesuaikan oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Seorang auditor ketika bekerja pada suatu organisasi, yang dikelilingi oleh suatu

birokrasi;

konflik

dan

hilangnya

nilai-nilai

serta

norma-norma

profesionalisme dapat terjadi. Selain itu, sikap dan keyakinan yang berkaitan dengan lingkungan anggota seprofesi sering kali dibentuk oleh kondisi birokrasi. Siegel dan Marconi (1989) dalam Asana (2013) menyatakan bahwa seharusnya auditor terlepas dari faktor-faktor personalitas dalam melakukan audit. Personalitas dapat menyebabkan kegagalan audit sekaligus membawa risiko yang

12

tinggi bagi auditor. Ada dua tipe keperilakuan yang dihadapi oleh auditor: (1) auditor dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap lingkungan audit, dan (2) auditor harus selaras dan sinergi dalam pekerjaan mereka karena audit adalah pekerjaan kelompok, sehingga muncul interaksi yang akan menimbulkan proses keperilakuan. Untuk itu, sikap, persepsi, dan perilaku menjadi acuan dalam pembahasan mengenai seorang auditor.

2.3

Kinerja Auditor Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa istilah kinerja berasal dari

kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2005). Kinerja merupakan hasil kerja individu yang dicapai seseorang dalam menjalankan aktivitasnya dalam kurun waktu tertentu. Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu (Trisnaningsih, 2007). Auditor menurut Mulyadi (2002) adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan

13

keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Kinerja auditor merupakan hasil kerja yang dicapai oleh auditor dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya, dan menjadi salah satu tolok ukur yang digunakan untuk menentukan apakah suatu pekerjaan yang dilakukan akan baik atau sebaliknya (Kalbers dan Forgarty, 1995). Goldwasser (1993) mengemukakan bahwa pencapaian kinerja auditor yang lebih baik harus sesuai dengan standar dan kurun waktu tertentu, yaitu: (1) kualitas kerja berupa mutu penyelesaian pekerjaan dengan bekerja berdasar pada seluruh kemampuan dan keterampilan, serta pengetahuan yang dimiliki oleh auditor; (2) kuantitas kerja berupa jumlah hasil kerja yang dapat diselesaikan dengan target yang menjadi tanggung jawab pekerjaan auditor, serta kemampuan untuk memanfaatkan sarana dan prasarana penunjang pekerjaan; (3) ketepatan waktu berupa ketepatan penyelesaian pekerjaan sesuai dengan waktu yang tersedia.

2.4

Struktur Audit Bowrin (1998) mengemukakan pendekatan struktur audit sebagai sebuah

pendekatan sistematis terhadap auditing yang dikarakteristikkan oleh langkahlangkah penentuan audit, prosedur rangkaian logis, keputusan, dokumentasi, dan menggunakan sekumpulan alat-alat dan kebijakan audit yang komprehensif dan

14

terintegrasi untuk membantu auditor melakukan audit. Struktur audit harus menentukan secara rinci prosedur audit yang diperlukan untuk mencapai tujuan audit. Struktur audit dimulai dari proses pencarian informasi, pencatatan, hingga publikasi opini audit. Fanani dkk. (2008) menyatakan bahwa penggunaan pendekatan struktur audit memiliki keuntungan yaitu dapat mendorong efektivitas, dapat mendorong efisiensi, mempunyai dampak positif terhadap konsekuensi sumber daya manusia, dan dapat memfasilitasi diferensiasi pelayanan sehingga dapat meningkatkan kinerja auditor. Setiap auditor harus mengikuti program audit yang berfungsi sebagai alat yang bermanfaat untuk menetapkan jadwal pelaksanaan dan pengawasan pekerjaan audit (Mulyadi, 2002). Prosedur Audit yang biasa dilakukan oleh auditor menurut Mulyadi (2002) adalah sebagai berikut : 1) Inspeksi. Inspeksi merupakan pemeriksaan secara rinci pada dokumen atau kondisi fisik sesuatu. 2) Pengamatan (observation). Pengamatan merupakan prosedur audit yang digunakan auditor untuk melihat atau menyaksikan suatu kegiatan secara langsung. 3) Permintaan keterangan (inquiry). Permintaan keterangan adalah prosedur audit yang dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan. 4) Konfirmasi. Konfirmasi adalah bentuk penyelidikan yang memungkinkan auditor memperoleh konfirmasi secara langsung dari pihak ketiga yang independen.

15

5) Penelusuran (tracing). Auditor melakukan penelusuran informasi sejak awal data tersebut direkam pertama kali dalam dokumen, dilanjutkan dengan pelacakan pengolahan data tersebut dalam proses akuntansi. 6) Pemeriksaan bukti pendukung (vouching). Pemeriksaaan ini meliputi inspeksi terhadap dokumen-dokumen yang mendukung suatu transaksi atau data keuangan untuk menentukan kewajaran dan kebenarannya. Membandingkan dokumen tersebut dengan catatan akuntansi yang berkaitan. 7) Penghitungan (counting). Penghitungan ini meliputi, penghitungan fisik terhadap sumber daya berwujud seperti kas atau persediaan ditangan, serta pertanggungjawaban semua formulir bernomor urut tercetak. 8) Scanning, merupakan review secara cepat terhadap dokumen, catatan dan daftar untuk mendeteksi unsur-unsur yang tampak tidak biasa yang memerlukan penyelidikan lebih mendalam. 9) Pelaksanaan ulang (reperforming). Prosedur ini adalah pengulangan aktivitas yang dilaksanakan oleh klien. 10) Teknik audit berbantuan komputer. Apabila catatan akuntansi klien diselenggarakan dalam media elektronik, auditor perlu menggunakan computer assisted techniques dalam menggunakan berbagai prosedur audit di atas.

2.5

Konflik Peran Konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami anggota

organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja (Rizzo et al.,

16

1970 dalam Fanani dkk., 2008). Tsai dan Shis (2005) dalam penelitian Hanif (2013) menyatakan konflik peran sebagai suatu gejala psikologis yang dialami auditor yang timbul karena adanya dua rangkaian tuntutan yang bertentangan sehingga menyebabkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan secara potensial dapat menurunkan motivasi kerja sehingga bisa menurunkan kinerja secara keseluruhan. Konflik peran menurut Fanani dkk. (2008) adalah konflik yang timbul karena mekanisme pengendalian birokrasi organisasi tidak sesuai dengan norma, aturan, etika dan kemandirian profesional. Kondisi tersebut biasanya karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan, dan pelaksanaan salah satu perintah saja mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain. Konflik peran dapat muncul ketika auditor merasa kesulitan dalam menyesuaikan berbagai peran yang dimiliki dalam waktu yang bersamaan. Terdapat beberapa faktor yang terindikasi menimbulkan konflik peran dalam penelitian Bamber et al. (1989), yaitu: 1) Koordinasi aliran kerja; berkaitan dengan seberapa baik berbagai aktivitas kerja yang saling berhubungan dapat dikoordinasikan dan seberapa jauh individu memperoleh informasi tentang kemajuan tugasnya. 2) Kecukupan wewenang; berkaitan dengan sejauh mana individu berwewenang mengambil keputusan yang perlu dan untuk mengatasi masalah kerja. 3) Kecukupan komunikasi; berkaitan dengan tingkat penyediaan informasi yang akurat dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan.

17

4) Kemampuan auditor dalam beradaptasi dengan lingkungan kerja; berkaitan dengan kemampuan menangani perubahan keadaan dengan baik dan tepat waktu.

2.6

Ketidakjelasan Peran Bamber et al. (1989) mengemukakan ketidakjelasan peran adalah tidak

adanya prediktabilitas hasil atau respon terhadap perilaku seseorang dan eksistensi atau kejelasan perilaku yang dibutuhkan. Individu yang mengalami ketidakjelasan peran akan mengalami kecemasan, menjadi lebih tidak puas, dan melakukan pekerjaan dengan kurang efektif dibanding individu lain sehingga menurunkan kinerja mereka. Ketidakjelasan peran adalah tidak cukupnya informasi untuk menyelesaikan pekerjaan serta tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian tentang otoritas, kewajiban dan hubungan dengan lainnya, dan ketidakpastian sanksi dan ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan (Maulana dkk., 2012 dalam Prajitno 2012). Ketidakjelasan peran (role ambiguity) menurut Rebele dan Michaels (1990) dalam Agustina (2009) mengacu pada kurangnya kejelasan mengenai harapan - harapan pekerjaan, metode-metode untuk memenuhi harapan - harapan yang dikenal, dan atau konsekuensi dari kinerja atau peran tertentu. Seseorang dapat mengalami ketidakjelasan peran apabila mereka merasa tidak ada kejelasan sehubungan dengan ekspektasi pekerjaan, seperti kurangnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan atau tidak memperoleh kejelasan mengenai deskripsi tugas dari pekerjaan mereka (Ramadhan, 2011 dalam Hanna

18

dan Firnanti, 2013). Job description yang tidak jelas, perintah yang tidak lengkap dari atasan, tidak adanya pengalaman dapat memberikan kontribusi terhadap ketidakjelasan peran (Hanif, 2013).

2.7

Pemahaman Good Governance Mardiasmo (1998) dalam Sapariyah, (2011) mengemukakan good

governance sebagai suatu konsep pendekatan yang beorientasi kepada pembangunan sektor publik, dimana pengertian dasarnya adalah pemerintahan yang baik. Good governance adalah tata kelola yang baik pada suatu usaha yang dilandasi oleh etika profesional dalam berusaha atau berkarya. Pemahaman good governance merupakan wujud penerimaan akan pentingnya suatu perangkat peraturan atau tata kelola yang baik untuk mengatur hubungan, fungsi dan kepentingan berbagai pihak dalam urusan bisnis maupun pelayanan publik (Trisnaningsih, 2007). Pemahaman atas good governance menurut Sapariyah (2011) adalah untuk menciptakan keunggulan manajemen kinerja pada perusahaan bisnis manufaktur (good corporate governance) atau perusahaan jasa, serta

lembaga

pelayanan

publik

atau

pemerintahan

(good

government

governance). Badjuri dan Trihapsari (2004) mengemukakan bahwa dalam pemerintahan yang baik atau good governance ditandai dengan tiga pilar utama yang merupakan elemen dasar yang saling berkaitan, yaitu: partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Secara umum, ketiga prinsip good governance tersebut di atas tercermin secara jelas dalam proses penganggaran, pelaporan keuangan, dan

19

pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Seorang auditor hendaknya memperhatikan prinsip dasar good governance dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dimaksudkan agar kiprah maupun produk jasa yang dihasilkannya akan lebih aktual dan terpercaya, untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik dan optimal. Aturan yang mengacu prinsip good governance tidak hanya akan mencegah skandal tetapi juga bisa mendongkrak kinerja korporat (Samianto, 2004 dalam Sapariyah, 2011).

2.8

Gaya Kepemimpinan Luthans (2002) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara pimpinan

untuk memengaruhi orang lain/bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan kehendak pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi. Gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku konsisten yang diterapkan pemimpin melalui orang lain, yaitu pola perilaku yang ditunjukkan pemimpin saat memengaruhi orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain (Fleishman dan Peters, 1962). Pemimpin dapat memberikan pengaruh dalam menanamkan disiplin bekerja para anggota organisasi untuk meningkatkan kinerjanya. Gaya kepemimpinan dalam organisasi sebagai faktor yang dominan dalam menentukan dan pembentukan karakter organisasi. Selanjutnya karakter organisasi akan memengaruhi output dari kinerja auditor (Trisnaningsih, 2007). Gaya kepemimpinan dapat diterangkan melalui tiga aliran teori sebagai berikut (Robbins dan Judge, 2008):

20

1) Teori genetis (keturunan), berpendapat bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinannya. 2) Teori sosial, berpendapat bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup. 3) Teori ekologis, berpendapat bahwa seseorang akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Fleishman et al. dalam Trisnaningsih (2007) meneliti gaya kepemimpinan di Ohio State University tentang perilaku pemimpin melalui dua dimensi, yaitu consideration dan initiating structure. Consideration (konsiderasi) merupakan gaya kepemimpinan yang menggambarkan kedekatan hubungan antara bawahan dengan atasan, adanya saling percaya, kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan, dan adanya komunikasi antara pimpinan dengan bawahan. Pemimpin yang memiliki konsiderasi tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan parsial. Initiating structure (struktur inisiatif) merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang jelas, dan menjelaskan cara mengerjakan tugas yang benar. Pemimpin yang cenderung membentuk struktur inisiatif tinggi akan memfokuskan pada tujuan dan hasil.

21

2.9

Budaya Organisasi Gibson et al. (1996) dalam Trisnaningsih (2007) mendefinisikan budaya

organisasi sebagai suatu sistem nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang unik, yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu organisasi. Budaya organisasi merupakan sekumpulan nilai-nilai, keyakinan, dan pola perilaku yang membentuk identitas organisasi dan membantu membentuk perilaku pegawai (Rashid et al., 2003). Budaya organisasi pada sisi internal karyawan akan memberikan sugesti kepada semua perilaku yang diusulkan oleh organisasi agar dapat dikerjakan, penyelesaian yang sukses, dan akan memberikan keuntungan pada karyawan itu sendiri; akibatnya karyawan akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, kemandirian dan mengagumi dirinya sendiri. Sifat-sifat ini akan dapat meningkatkan

harapan

karyawan

agar

kinerjanya

semakin

meningkat

(Trisnaningsih, 2007). Hofstede (1990) mengemukakan budaya organisasi sebagai pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Hofstede (1990) membagi budaya organisasi ke dalam enam dimensi: 1) Process-Oriented vs Results-Oriented (orientasi proses atau orientasi hasil). Orientasi proses ditandai oleh penghindaran terhadap resiko dan penggunaan upaya yang minimal dalam pencapaian tujuan; sedangkan orientasi hasil ditandai oleh upaya maksimal dalam mencapai tujuan dan keberanian menghadapi tantangan dan mengambil keputusan.

22

2) Employee-Oriented vs Job-Oriented (orientasi orang atau orientasi pekerjaan). Orientasi orang menekankan pada permasalahan pribadi, keputusan penting dilakukan oleh kelompok dan organisasi, menekankan perlunya perhatian pada kesejahteraan karyawan dan keluarganya; sedangkan orientasi pekerjaan lebih menekankan pada penyelesaian suatu pekerjaan dan keputusan penting dilakukan oleh karyawan. 3) Parochial

vs

Professional

(parochial

atau

professional).

Parochial

menekankan pada perencanaan jangka pendek, pengindahan pada perilaku karyawan dirumah dan dikantor, sistem perekrutan yang mengindahkan pada kehidupan

dan

kondisi

keluarga

calon;

sedangkan

professional

menitikberatkan pada perencanaan masa depan, tidak mengurusi kehidupan pribadi karyawan dan memandang sangat penting pada kompetensi dalam perekrutan. 4) Open System vs Closed System (sistem terbuka atau sistem tertutup). Sistem terbuka mengacu pada keterbukaan dalam komunikasi terhadap pihak luar; sedangkan pada sistem tertutup karyawan baru memerlukan waktu relatif lama untuk menyesuaikan diri. 5) Loose Control vs Tight Control (kontrol longgar atau kontrol ketat). Pada pengendalian longgar ketepatan waktu dan efisiensi relatif lebih longgar, sedangkan pengendalian ketat lebih menekankan pada ketepatan waktu dan efisiensi. 6) Normative vs Pragmatic (normatif atau pragmatis). Normatif menekankan pada prosedur walau harus dibayar dengan mahal; sedangkan pragmatis lebih

23

menekankan pada hasil daripada prosedur dan pemenuhan kebutuhan pelanggan. Flamholtz dan Narasimhan (2005) dalam Trisnaningsih (2007) meneliti tentang pengaruh perbedaan elemen-elemen budaya terhadap kinerja keuangan dengan menggunakan 702 responden pada perusahaan industri di US. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa beberapa elemen budaya organisasi mempunyai pengaruh yang berbeda pada kinerja keuangan perusahaan. Henri (2006) meneliti tentang budaya organisasional dan sistem pengukuran kinerja. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja memfokuskan pada organisasi, mendukung strategi pembuatan keputusan, serta melegitimasi kekuasaan top manager. Dari keenam dimensi praktek budaya organisasi menurut Hofstede (1990), yang mempunyai kaitan erat dengan praktik-praktik pembuatan keputusan partisipatif adalah dimensi praktik yang kedua, yaitu orientasi pada orang dan orientasi pada pekerjaan (Sulaksono, 2005).

2.10

Komitmen Organisasi Mathis dan Jackson (2004) dalam Marganingsih dan Martani (2009)

mendefinisikan komitmen organisasi sebagai tingkat sampai dimana pegawai yakin dan menerima tujuan organisasi, serta berkeinginan untuk tinggal bersama dengan organisasi tersebut. Komitmen organisasi menurut Meyer et al. (1989) dalam Wati dkk. (2010) adalah derajat sejauh mana keterlibatan seseorang dalam organisasinya dan kekuatan identifikasinya terhadap suatu organisasi tertentu. Seorang auditor yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi dimana

24

dia bekerja maka akan timbul rasa memiliki terhadap organisasi, dia akan merasa senang bekerja dan dia akan bekerja sebaik mungkin untuk organisasinya sehingga kinerjanya akan meningkat (Trisnaningsih, 2007). Mowday et al. (1982) dalam Siahaan (2010) mengemukakan komitmen organisasi terbangun bila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi, antara lain: 1) Identification, yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi. 2) Involment, yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaannya menyenangkan. 3) Loyality, yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan tempat tinggal. Kalbers dan Fogarty (1995) menggunakan dua pandangan tentang komitmen organisasional yaitu, affective dan continuance. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa komitmen organisasi affective berhubungan dengan satu pandangan profesionalisme yaitu pengabdian pada profesi, sedangkan komitmen organisasi continuance berhubungan secara positif dengan pengalaman dan secara negatif dengan pandangan profesionalisme kewajiban sosial. Komitmen affective mencerminkan kecenderungan seseorang untuk tetap bekerja pada suatu organisasi karena orang tersebut setuju dengan organisasi dan senang bekerja dalam organisasi tersebut. Komitmen continuance merujuk pada kecenderungan seseorang untuk tetap bekerja pada suatu organisasi karena tidak ada alternatif pekerjaan lain.

25

2.11

Auditor Pemerintah (BPK RI) Auditor Pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit pada

instansi-instansi pemerintah. Terdapat dua jenis auditor pemerintah di Indonesia: 1) Auditor eksternal pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), dimana BPK RI memiliki kantorkantor perwakilan di tiap Provinsi di Indonesia. 2) Auditor internal pemerintah yang dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yaitu: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kota/Kabupaten. Sesuai dengan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI sebagai lembaga independen mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta aspek efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu merupakan pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun kinerja, misalnya pemeriksaan investigasi atau kepatuhan. Hasil audit berupa temuan auditor BPK RI ditindaklanjuti oleh beberapa instansi pemerintah seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

26

Berdasarkan UU No 15 Tahun 2006 salah satu tugas BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya yang diatur berdasarkan Undang-Undang. BPK RI merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; mencakup Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Bank Indonesia, Badan Layanan Umum (BLU) dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Standar atau tolok ukur yang digunakan dalam melaksanakan pemeriksaan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

2.12

Penelitian Sebelumnya Rahmiati dan Kusuma (2004) menguji pengaruh mentoring melalui

tekanan peran (konflik peran, ketidakjelasan peran, kelebihan peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan) akan meningkatkan kinerja dan menurunkan keinginan berpindah. Penelitian ini dilakukan pada akuntan yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Indonesia yang terdaftar pada Directory KAP yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Teknik analisis data yang digunakan adalah SEM (Structural

Equation Model). Hasil

penelitian

menunjukkan bahwa: (1) keberadaan mentoring dalam kantor akuntan publik akan menurunkan konflik peran, ketidakjelasan peran, kelebihan peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan yang dialami oleh akuntan; (2) konflik peran dan

27

kelebihan peran yang dialami oleh akuntan tidak berpengaruh terhadap kinerja, tetapi ketidakjelasan peran dan persepsi ketidakpastian lingkungan berpengaruh (negatif) terhadap kinerja; (3) keinginan berpindah hanya bisa dipengaruhi secara signifikan oleh ketidakjelasan peran. Trisnaningsih (2007) meneliti tentang independensi auditor dan komitmen organisasi sebagai variabel intervening akan memediasi pengaruh pemahaman good governance, gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja auditor pada KAP yang tersebar di seluruh Indonesia dan tercatat pada Directory IAI Kompartemen Akuntan Publik tahun 2006. Teknik analisis data yang digunakan adalah SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pemahaman good governance tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor, melainkan berpengaruh tidak langsung melalui independensi auditor; (2) gaya kepemimpinan berpengaruh langsung (positif) terhadap kinerja auditor, tetapi komitmen organisasi bukan merupakan variabel intervening dalam hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap kinerja auditor; (3) budaya organisasi tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor, namun secara tidak langsung komitmen organisasi memediasi hubungan antara budaya organisasi terhadap kinerja auditor. Fanani dkk. (2008) menguji pengaruh struktur audit, konflik peran, dan ketidakjelasan peran terhadap kinerja auditor pada KAP di Jawa Timur yang terdaftar pada Directory KAP yang dikeluarkan oleh IAI tahun 2003. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) struktur audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja auditor; (2) konflik peran berpengaruh negatif dan signifikan

28

terhadap kinerja auditor; (3) ketidakjelasan peran tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor. Marganingsih dan Martani (2009) meneliti tentang variabel anteseden perilaku auditor internal dan konsekuensinya terhadap kinerja pada auditor di lingkungan aparat pengawasan intern pemerintah – lembaga pemerintah non departemen. Teknik analisis data yang digunakan adalah SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) komitmen organisasi, motivasi auditor, dan diskusi dalam reviu kertas audit memengaruhi secara positif kinerja auditor; (2) budaya organisasi mempunyai pengaruh negatif dengan kinerja auditor, sedangkan tekanan anggaran waktu mempunyai pengaruh positif dengan kinerja auditor. Wati dkk. (2010) meneliti tentang pengaruh independensi, gaya kepemimpinan, komitmen organisasi, dan pemahaman good governance terhadap kinerja auditor pemerintah pada BPKP Perwakilan Bengkulu. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa independensi, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan, dan pemahaman good governance mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja auditor. Yuskar dan Devisia (2011) menguji pengaruh independensi auditor, komitmen organisasi, pemahaman good governance, integritas auditor, budaya organisasi, dan etos kerja terhadap kinerja auditor pada KAP Big Four yang berafiliasi di Indonesia tahun 2011. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa independensi auditor, komitmen organisasi, integritas auditor, dan budaya organisasi memiliki pengaruh

29

signifikan terhadap kinerja auditor, sedangkan pemahaman good governance dan etos kerja tidak memiliki pengaruh langsung pada kinerja auditor. Gunawan (2012) meneliti tentang pengaruh konflik peran, ketidakjelasan peran, kelebihan peran, dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja auditor pada KAP di wilayah DKI Jakarta yang terdaftar pada Directory KAP yang dikeluarkan oleh IAI tahun 2012. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakjelasan peran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja auditor; sedangkan konflik peran, kelebihan peran, dan gaya kepemimpinan tidak memengaruhi kinerja auditor secara signifikan. Putra

dan

Ariyanto

(2012)

menguji

pengaruh

independensi,

profesionalisme, struktur audit, dan role stress terhadap kinerja auditor BPK RI Perwakilan Provinsi Bali tahun 2012. Role stress dalam penelitian ini merupakan variabel konflik peran dan ketidakjelasan peran. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa independensi dan struktur audit secara signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja auditor, konflik peran secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor, sedangkan profesionalisme dan ketidakjelasan peran tidak terbukti berpengaruh terhadap kinerja auditor. Hanif (2013) menguji pengaruh struktur audit, konflik peran, dan ketidakjelasan peran terhadap kinerja auditor pada KAP di Jawa Timur yang terdaftar pada Directory KAP yang dikeluarkan oleh IAI. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

30

struktur audit dan konflik peran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor, namun ketidakjelasan peran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor. Hanna dan Firnanti

(2013) meneliti tentang faktor-faktor

yang

memengaruhi kinerja auditor pada KAP di DKI Jakarta. Faktor-faktor dalam penelitian ini adalah: struktur audit, konflik peran, ketidakjelasan peran, pemahaman good governance, gaya kepemimpinan, budaya organisasi, dan komitmen organisasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) struktur audit, budaya organisasi, gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja auditor; (2) ketidakjelasan peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor; (3) konflik peran, komitmen organisasi, pemahaman good governance tidak memengaruhi kinerja auditor.