BAB 2

Download Di antara 7 jenis kima yang tersebar di perairan terumbu karang Indo Pasifik,. Tridacna gigas merupakan jenis terbesar yang dapat mencapai ...

0 downloads 399 Views 201KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Lingkungan Perairan Wakatobi Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu kawasan konservasi alam di Indonesia yang terdiri dari empat pulau utama pada gambar 1 yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Dahulu wilayah ini dikenal dengan nama kepulauan “Tukang Besi” yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) di Indonesia, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK. 149/IV-KK/2007 sebaran zonasi TN yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan Bahari, Zona Pariwisata/Pemanfaatan, Zona Pemanfaatan Lokal/Tradisional, Zona Pemanfaatan Umum, Zona Khusus/Daratan (TNW 2009). Perairan di kepulauan Wakatobi memiliki keanekaragaman terumbu karang dan jenis biota laut lain khususnya ikan yang memiliki keanekaragaman tertinggi di dunia. Kepulauan Wakatobi memiliki kawasan seluas ± 1,39 juta hektar termasuk kawasan perairan dan seluruh kawasan daratan pulau-pulau yang ada di wilayah ini. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Perairan Wakatobi berada pada wilayah “Coral Tri-Angle” atau wilayah segitiga terumbu karang, yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (TNW 2009).

5

6

Gambar 1. Peta Kepulauan Wakatobi (sumber: Taman Nasional Wakatobi, 2009) 2.2. Terumbu Karang 2.1.1. Biologi Karang Karang adalah anggota dari filum ivertebrata yang sama dengan ubur-ubur dan anemon laut, yang dikenal sebagai Cnidaria. Sebagian besar karang hidup berkoloni, dengan ratusan sampai ribuan polip berdiameter kurang dari 1 cm sampai 15 cm, membentuk suatu lapisan jaringan hidup yang meluas di seluruh struktur karang. Karena rongga tubuh polip-polip yang berdekatan saling terhubung, maka polip-polip tersebut berbagi nutrien dan tidak saling bersaing. Beberapa karang seperti karang jamur, adalah soliter, dengan satu buah polip dan dapat tumbuh hingga berdiameter 60 cm (Kleine et al. 2009). Polip adalah organisme berbentuk silinder yang bergelatin dengan sebuah mulut pada satu ujungnya. Ujung lainnya tertutup membentuk sebuah kantung yang biasanya terletak di dalam sebuah lubang tabung di permukaan kerangka. Bagian tepi dari daerah oral atau mulut sebuah polip dikelilingi oleh satu atau lebih lingkaran enam tentakel. Tentakel tentakel tersebut dilengkapi nematosis untuk mengait dan mengangkap mangsa. Di bawah tentakel terdapat suatu hubungan seperti kerongkongan yang memanjang dari tengah mulut sampai ke bagian dalam rongga gastovaskuler. Pada irisan melintang, dinding tubuh sebuah

7

polip hanya setebal dua sel. Sel bagian luar atau epidermis dan bagian dalam sel atau gastrodermis dipisahkan oleh jaringan penghubung tipis yang disebut mesoglea. Endosimbion fotosintesisnya adalah dinoflagelata bersel tunggal immotile (tidak bergerak) yang sering disebut dengan naman umumnya yaitu zooxantela. Ribuan zooxantela tersebar di seluruh koloni, terbungkus dalam vakuola di dalam gastrodermis. Hingga saat ini, hampir semua zooxantela dianggap sebagai anggota dari spesies tunggal yang tersebar luas, symbiodinium microadriaticum. Studi-studi terbaru telah mengungkapkan bahwa zooxantela adalah kelompok organisme yang sangat beranekaragam, yang mungkin terdiri dari ratusan spesies. Jumlah zooxantela yang berlimpah membuat karang yang sehat memiliki karakteristik warna kehitam-hitaman hingga coklat tua. Beberapa species memiliki warna spesifik, yang dapat berubah sesuai lokasi geografis atau posisi pada terumbu. Variasi warna yang paling umum berkorelasi dengan lingkungan fisik, terutama cahaya (Kleine et al. 2009). Proses produksi kapur dapat dijelaskan secara sederhana seperti berikut. Kerangka atau corallus dari karang batu terdiri dari CaCO3 terlarut dalam air laut menurut persamaan kimia berikut :

+





+2

Asam karbonik hipopetikal (H2CO3) terdapat sebagai ion-ion hydrogen (H) dan Karbonat (HCO3) yang cenderung untuk memisah menjadi H2O dan CO2. Seluruh reaksi kimia ini terjadi di dalam jaringan hewan karang, di mana air dan produksi CO2 sangat dipercepat oleh enzim anhidrase. Karang pembentuk terumbu hidup dalam simbiosis dengan zooxanthellae, yakni alga bersel satu yang terdapat di dalam endoderma. Zooxanthellae mengambil CO2 untuk fotosintesis dan ini mengakibatkan keseimbangan persamaan di atas terganggu dan bergerak ke kiri, sehingga terjadi pengendapan CaCO3. Ini terjadi dalam satu irama harian dan sebagian besar kapur diendapkan selama siang hari ketika fotosintesis mencapai puncak kegiatannya sedangkan pada malam hari kegiatan ini berhenti (Romimohtarto dan Juwana 2007).

8

2.1.2. Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan, sebaran dan keanekaragaman karang tergantung pada kondisi lingkungannya seperti pada gambar 2 yang memperlihatkan faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi terumbu karang. Seringkali kondisi lingkungan selalu berubah karena adanya faktor manusia maupun dari aktivitas manusia. Faktor-faktor fisik-kimia yang mempengaruhi pertumbuhan karang antara lain Suhu, kedalaman, Salinitas, Sedimen, gelombang, dan arus (Nybakken 1992)

Gambar 2. Faktor-faktor Pembatas (sumber : Web.IPB.ac.id) Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15 – 20 persen dari intensitas di permukaan (Nybakken 1992) Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah salinitas. Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan tidak tahan pada

9

salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal (32-35 ppt) (Nybakken 1992) Berbagai aktivitas atau pembangunan di daratan dan pesisir, seperti penebangan hutan, pembukaan jalan, pembukaan lahan pertanian, pengerukan di pesisir, dan sebagainya, yang menyebabkan erosi tanah dan pasir akan menimbulkan sedimentasi atau pelumpuran. Sedimentasi adalah satu bentuk pencemaran yang tidak toksik. Sedimen tersebut akan masuk ke badan sungai atau perairan dan akhirnya bermuara ke wilayah pesisir dan laut. Efek ini juga berpengaruh pada komunitas dasar yang juga memerlukan cahaya untuk fotosintesis (Kordi 2010). Salinitas (kadar garam) diketahui juga merupakan faktor penting dalam kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang. Karang hermatipik tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal (32 – 35 ppt). Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 35 ppt, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36 ppt (Kinsman 1964 dalam Kordi 2010). Namun beberapa terumbu karang terdapat di wilayah yang salinitasnya tinggi seperti di Teluk Persia, terumbu berkembang pada salinitas 42 ppt (Nybakken 1992). Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benua-benua dan pulau-pulau (Nybakken 1992). Pergerakan air juga sangat penting untuk transportasi unsur hara, larva, dan bahan sedimen. Arus penting untuk penggelontoran dan pencucian limbah serta untuk mempertahankan pola penggerusan dan penimbunan (Tomascik 1991 dalam Partini 2009). Terumbu karang lebih berkembang di daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama, gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada

10

koloni. Gelombang-gelombang itu juga memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang (Nybakken 1992). 2.1.3. Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda. Menurut English et al. (1997) bentuk pertumbuhan karang keras terbagi atas karang Acropora dan karang nonAcropora. Karang non-Acropora adalah karang yang tidak memiliki axial coralit terdiri atas: a. Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki. b.

Coral Massive (CM), berbentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar sampai beberapa meter.

c. Coral Encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. d. Coral Submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil. e. Coral Foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol yang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar. f. Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. g. Coral Millepora, (CME), yaitu karang api. h. Coral Heliopora (CHL), yaitu karang biru. Karang jenis Acropora adalah karang yang memiliki axial coralit dan radial coralit. English et al. (1997) menggolongkannya sebagai berikut: a. Acropora Branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon. b. Acropora Encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. c. Acropora Tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja.

11

d. Acropora Submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh. e. Acropora Digitate, (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan. Menurut Veron (1986) dalam Partini (2009) setiap jenis karang mempunyai respon yang spesifik terhadap karakteristik lingkungannya. Faktor lingkungan seperti kedalaman (ketersediaan cahaya), kuat arus, dan gelombang dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang. Morfologi kerangka karang merupakan hasil jadi dari bentuk-bentuk pertumbuhan koloni karang.

2.3. Moluska Filum moluska (molluscus = lunak) meliputi keong/siput, kerang, tiram, cumi-cumi, sotong, gurita dan sebangsanya. Beberapa biota tersebut hidup diterumbu karang dan merupakan spesies bernilai ekonomi penting, seperti kima, beberapa spesies keong, tiram, kerang, sotong, cumi-cumi dan gurita (Kordi, 2010).

2.3.1. Kima Kima (Tridacnidae) gambar 3, termasuk kerang-kerangan (Bivalvia) yang berukuran sangat besar dan sering dikenal dengan sebutan karang raksasa (giant clam). Kima dapat tumbuh menjadi sangat besar di lingkungan terumbu karang. Di antara 7 jenis kima yang tersebar di perairan terumbu karang Indo Pasifik, Tridacna gigas merupakan jenis terbesar yang dapat mencapai panjang cangkang sampai 1,5 m dengan berat badan lebih dari 300 kg (Panggabean 1990). Kima mempunyai rahasia kehidupan yang amat menarik, kima merupakan ciri khas kerang-kerangan terumbu karang yang sudah berevolusi dan hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan terumbu karang yang tidak subur dan miskin akan nutrien dan fitoplankton (YONGE 1975 dalam Panggabean 1990). Sumbangan-sumbangan yang berarti bagi endapan-endapan kalsium karbonat di terumbu juga diberikan oleh moluska dari berbagai tipe yang menarik

12

dan penting adalah berbagai tiram raksasa (Tridacna, Hippopus), yang menurut salvat berada dalam jumlah sebesar 200 m-2 di dalam beberapa gobah atol di Kepulauan Tuamotu. Tahun 1974 McMichael mencatat bahwa pada umumnya kepadatan tiram itu 1 m-2 atau kurang (Nybakken 1992). Banyak laporan dan penelitian yang menunjukan menurunnya populasi kima di alam di beberapa tempat di Indonesia serta di beberapa wilayah di negara lain. Brown dan Mukanafola (1985) dalam Ambariyanto (2007) melaporkan bahwa kepadatan kima di beberapa pulau di Karimunjawa adalah sebesar 0,001 – 0,125 individu.(m-2). Laporan yang lebih mutakhir menunjukan bahwa kepadatan kima masih relatif sama, misalnya di Pulau Burung dilaporkan sebesar 0,03 individu.(m-2) Pulau Cemara Kecil dan Gosong Cemara sebesar 0,02 dan 0,04 individu.(m-2) Hadi (2000) dalam Ambariyanto (2007).

Gambar 3. Tridacna (sumber : zipcodezoo.com) Berikut ini adalah klasifikasi dari Tridacna gigas (kima) menurut Bruguière (1797) dalam Brands (1989) : Phylum

: Mollusca

Class

: Bivalvia

Ordo

: Veneroida

Family

: Tridacnidae

Genus

: Tridacna sp

Species

: Tridacna gigas

13

2.3.2. Keong atau Siput Keong atau siput tergolong dalam kelas Gastropoda. Beberapa keong/siput yang hidup di terumbu karang merupakan species berukuran besar dan bernilai ekonomis penting di antaranya lola/ susu bundar / cege, mata bulan (Turbo marmoratus), Kepala kambing/taugu (Cassis cornuta) pada gambar 4 dan Triton terompet (Charonia tritonis). Siput laut menempati banyak relung yang berbeda di terumbu, tetapi tempat termudah untuk menemukan siput laut adalah perairan dangkal di rataan terumbu. Beberapa terdapat di padang lamun, lainnya merumput di atas pecahan karang mati, sementara yang lebih kecil hidup pada gorgonia dan karang. Triton terompet mempunyai peran ekologis penting yaitu sebagai pemangsa bintang laut berduri yang merupakan perusak karang, selain itu Lola merupakan salah satu spesies komersial yang diperdagangkan sejak tahun 1950-an (Kordi 2010).

Gambar 4. Charonia tritonis (sumber : zipcodezoo.com) Berikut adalah klasifikasi dari Charonia tritonis menurut Linnaeus (1758) dalam Brands (1989): Phylum

: Mollusca

Class

: Gastropoda

Ordo

: Sorbeoconcha

Family

: Ranellidae

Genus

: Charonia

Species

: Charonia tritonis

14

2.3.3. Cephalopoda Sotong, Cumi-cumi, gurita, dan nautilus berongga termasuk kedalam kelas Cephalopoda. Secara umum Cephalopoda merupakan biota bernilai ekonomi tinggi dan hidup di terumbu karang (Kordi 2010). Namun demikian keberadaan nautilus berongga merupakan spesies yang semakin langka karena termasuk jenis yang dilindungi, nautilis pada gambar 5 mempunyai panjang sekitar 20 cm yang biasanya ditermukan didaerah bagian barat Samudra Pasifik. Nautilus sering ditemukan di dekat dasar laut hingga kedalaman 500 m atau di daerah terumbu karang dan berada di perairan dangkal pada malam hari. Nautilus adalah kelompok hewan tertua dan merupakan satu-satunya cephalopoda yang memiliki cangkang eksternal dan dapat mengendalikan daya apung dengan mengisi ruang cangkangnya dengan air saat akan menyelam, dan dengan mengeluarkan air dari cangkangnya saat mereka mau naik. Nautilus juga dapat bergerak mendatar di air dengan pancaran tenaga penggerak. Nautilus memiliki lebih dari 90 lengan dan dipercaya dapat hidup 20 tahun atau lebih (Erdmann 2004).

Gambar 5. Nautilus pompilus (sumber : Marinebio.org) Berikut ini adalah klasifikasi dari Nautilus pompilus menurut Linnaeus (1758) dalam Brands (1989) : Phylum

: Mollusca

Class

: Cephalopoda

Ordo

: Nautilida

Family

: Nautilidae

Genus

: Nautilus

Species

: Nautilus pompilius

15

2.4. Interaksi Terumbu Karang dan Moluska Mutualisme adalah bentuk simbiosis dimana dua spesies bergabung bersama untuk saling menguntungkan, dalam hubungan ini pasangannya sering disebut simbion (Nybakken 1992). Asosisasi antara terumbu karang dan moluska digolongkan dalam hubungan simbiosis ini. Terumbu karang merupakan tempat bagi sebagian besar organisme-organisme tersebut yang berasosiasi di dalamnya (Romimohtarto dan Juwana 2001) termasuk moluska. Moluska memberikan sumbangan-sumbangan berarti bagi endapan-enadapan kalsium karbonat di terumbu (Nybakken 1992). Keanekaragaman moluska juga memainkan peranan yang amat penting di dalam jaringan makanan ekosistem terumbu karang (Romimohtarto dan Juwana 2001). Dalam hubungan diatas, kedua organisme secara tidak lansung mendapat keuntungan dari keberadaan masing-masing. Lingkungan terumbu karang yang kurang produktif memaksa kima dan hewanhewan pembangun terumbu yang lain seperti karang batu, karang lunak dan lainlain untuk menambat sejenis mikroalga dari jenis Symbiodinium microadiaticum (zooxanthela) di dalam jaringan tubuhnya (YONGE 1936 dalam Panggabean 1990). Kedua jenis mahluk hidup tersebut dapat hidup dengan damai sejahtera sebagai suatu kesatuan yang sangat intim dan permanen. Dibandingkan dengan kehidupan sendiri-sendiri, kedua simbion dapat menciptakan ekosistem kecil di mana ada daur makanan yang seimbang dan efisien antara kedua jenjang trofik Kima dan zooxanthella. Kima dan zoocanthella masing-masing mempunyai kemampuan mengekstrak makanan esensial yang dibutuhkan pihak lawannya. Zooxanthella berfotosintesa, yaitu memproduksi makanannya sendiri dan energi matahari dan sumber nitrogen dan karbon dari hasil katabolisme dan respirasi kima. Sebaliknya kima memperoleh makanan dari produk fotosintesis secara langsung dari zooxanthella (Kaligis 2008).

16

2.5. Sistem Pengelolaan Data Spasial Pengelolaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan yang tidak benar dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Bencana dalam skala besar dan kecil merupakan contoh dari sistem pengelolaan data spasial yang tidak terencana dan terorganisir dengan baik. Banyak pihak terkait dengan masalah ini. Pengelolaan lahan selalu memanfaatkan berbagai data, baik data spasial terestrus maupun data pengindraan jauh. Pengelolaan data banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti BAPPEDA dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Beberapa lembaga secara khusus mengelola

data-data

spasial

untuk

tujuan-tujuan

tertentu,

seperti

BAKOSURTANAL yang mengelola berbagai data spasial untuk tujuan evaluasi, survei, dan pemetaan (Budiyanto 2002). Pengelolaan lingkungan banyak memanfaatkan berbagai teknologi baik dalam penyediaan, penyimpanan, pengolahan, atau penyajian data. Pemanfaatan teknologi ini dimaksudkan untuk peningkatan akurasi dan efektivitas sistem pengelolaan itu sendiri. Teknologi yang banyak digunakan dalam hal ini adalah teknologi yang terkait dengan sistem informasi geografis (Budiyanto 2002). Secara teknis sistem informasi geografis mengorganisasikan dan memanfaatkan data dari peta digital yang tersimpan dalam basis data. Dalam sistem informasi geografis, dunia nyata dijabarkan dalam data peta digital yang menggambarkan posisi dari ruang (space) dan klasifikasi, atribut data, dan hubungan antar item data. Kerincian data dalam sistem informasi geografis ditentukan oleh besarnya satuan pemetaan terkecil yang dihimpun dalam basis data. Dalam bahasa pemetaan kerincian itu tergantung dari skala peta dan dasar acuan geografis yang disebut sebagai peta dasar. Dari dunia nyata diambil tiga hal penting seperti diuraikan diatas, yaitu posisi dan klasifikasi, atribut, serta hubungan antara hal tersebut. Ketiga hal tersebut diolah sebagai dasar analisis sistem spasial dalam SIG (Budiman 1994 dalam Budiyanto 2002).