BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAHASA ADALAH

Download Bahasa: Kajian Sosiolinguistik”. Wibowo menguraikan ... Prokem atau bahasa okem merupakan variasi bahasa slang yang dalam pembentukan katan...

0 downloads 466 Views 240KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh

para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982). Bertalian dengan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri atau sifat bahasa adalah bahasa itu dinamis atau tidak statis. Karena bahasa itu bersifat dinamis, maka tidak mengherankan jika bahasa selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan aktivitas manusia yang juga selalu berubah. Perubahan bahasa inipun bisa terjadi pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Bahasa berubah antara lain karena ada kontak dengan, atau karena mendapat pengaruh dari bahasa lain. Bahasa juga dapat berubah karena berada dalam situasi diglossik; bahasa itu berstatus sebagai bahasa daerah, di dalam sebuah negara yang bahasa nasionalnya ialah bahasa lain. Selanjutnya, perubahan itu juga dapat terjadi karena ada kekuatan dari dalam tubuh bahasa itu sendiri. Ada perubahan pada salah satu komponen gramatikanya (misalnya pola prosodinya, urutan frasa dalam kalimatnya, atau butir leksikonnya) yang kemudian

menyebabkan

perubahan

pada

dua

komponen

lainnya.

(Poedjosoedarmo, 2001). Rudi Keller menyebutkan perubahan semacam ini

2

digerakkan oleh semacam invisible hand, tangan yang tidak kelihatan, kekuatan yang tak kasat mata. Perubahan bahasa secara umum meliputi 2 hal, yaitu perubahan gramatika dari dalam atau perubahan internal, dan perubahan karena adanya kontak dengan bahasa lain atau perubahan eksternal. Salah satu dampak dari perubahan bahasa secara internal adalah terjadinya inovasi dalam masyarakat yang akrab sehingga menimbulkan “slang” atau “jargon”. Jargon digunakan oleh kelompok masyarakat yang profesinya bersifat dinas, sedangkan slang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang sifatnya informal. Kelompok yang sifatnya rahasia (underground) menggunakan slang yang biasa dinamai argot. Sementara itu salah satu perubahan bahasa secara eksternal ditandai dengan masuknya fonem baru. Kata slang adalah kata-kata non standar yang disusun secara khas; bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Kadang kala kata slang yang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja. Kata-kata slang sebenarnya bukan hanya terdapat pada golongan terpelajar, tetapi juga pada semua lapisan masyarakat. (http://7assalam9.wordpress.com/kesesuaian-diksi). Hal ini merupakan suatu gejala sosial wajar, yang terdapat dalam masyarakat penutur bahasa. Sesuai dengan sifat bahasa yang arbitrer (manasuka), maka seorang penutur bahasa dapat memilih pemakaian bahasa sesuai dengan lawan bicara, situasi dan suasana yang terdapat pada saat komunikasi terjadi. Kemampuan penutur bahasa untuk menguasai perbedaan ragam bahasa sangat membantu dalam berkomunikasi sehingga dapat menciptakan komunikasi yang efektif.

3

Di samping bersifat dinamis, bahasa juga bervariasi. Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota masyarakat bahasa itu ada yang berpendidikan dan ada yang tidak, ada yang tinggal di kota dan ada yang tinggal di desa, ada orang dewasa ada pula kanak-kanak. Ada yang berprofesi sebagai dokter, pegawai kantor, petani, nelayan, guru, polisi, dan sebagainya. Oleh karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan juga bervariasi atau beragam, di mana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain seringkali mempunyai perbedaan yang besar. Mengenai variasi bahasa ini, ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Berkenaan dengan ragam bahasa, perlu dijelaskan disini bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, sedangkan untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Salah satu ragam atau variasi bahasa yang sedang mewabah di indonesia, baik di dunia nyata ataupun dunia maya, adalah munculnya fenomena bahasa baru yang namanya sudah tidak asing lagi di kalangan para remaja, yakni “Bahasa Alay”. Bahasa Alay bisa dikatakan merupakan turunan dari bahasa slang yang dirubah bentuknya lagi sehingga menciptakan satu bahasa yang baru.

4

Jika dulu kita mengenal istilah “lebay” yang artinya berlebihan, maka kini mulai muncul kata yang lagi menjamur di mana-mana, yaitu “Alay”. Pengertian Alay sendiri secara harfiah berasal dari anak layangan, yang pada umumnya dekil dan berambut pirang matahari. (http://www.artikel-saya.web.id/2010/01/lifestylealay-fenomena-alam-atau.html).

Pada dasarnya, bahasa Alay adalah bahasa komunitas kaum remaja yang biasanya digunakan dalam situasi yang bersifat informal. Remaja adalah pribadi yang unik dan juga misterius. Mereka adalah kelompok yang sedang mencari jati diri, dan berada pada masa transisi dalam upaya menentukan arah masa depan kehidupannya kelak. Pada masa ini, mereka tidak hanya mengalami perubahan fisik, tetapi juga perubahan perilaku, seperti tidak lagi mudah diatur dan dikekang, sering membantah, sudah mulai tertarik dengan lawan jenisnya, dsb. Remaja sebagai suatu kelompok memang harus memiliki perbedaan dengan kelompok-kelompok lainnya, seperti kelompok orang tua, anak-anak, cendekia (intelektual), ibu-ibu, dsb. Ada berbagai identitas yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lainnya, seperti cara berpakaian, cara bergaul, bertingkah laku, dsb. Salah satu perilaku yang cukup menonjol yang mencirikannya dengan kelompok lain adalah bahasa yang digunakannya. Jika diamati lebih jauh lagi, kalangan Alay banyak mengukuhkan eksistensi mereka melalui situs jejaring sosial semacam facebook, Friendster, dsb. Dari situs-situs semacam itulah dapat diketahui bahwa kalangan alay kebanyakan berusia antara 14-25 tahun. Pada dasarnya mereka dalam fase perkembangan

5

kejiwaan yang sedang labil, mencari jati diri, ingin keluar dari lingkungan keluarga dan lebih ingin dianggap oleh teman-teman sebayanya, sehingga mereka selalu mencoba hal-hal baru. Kata-kata dalam bahasa Alay juga tidak mempunyai standar yang pasti karena tergantung pada suasana hati seseorang saat membuat kata tersebut. Walaupun bahasa Alay memiliki standar penulisan yang jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, orang yang sering menggunakan bahasa tersebut cepat mengerti apa yang ditulis oleh lawan mainnya. Namun kehadiran bahasa Alay tidak serta-merta diterima begitu saja oleh sebagian orang yang menganggap bahwa kemunculan bahasa Alay sangat mengganggu. Seyogyanya, hal ini tidak perlu ditanggapi secara serius, karena pada dasarnya bahasa Alay tidak digunakan dalam situasi-situasi formal seperti; mengisi soal-soal ujian di kelas, pidato-pidato resmi, penulisan-penulisan ilmiah, dan lain sebagainya. Harus diakui bahwa kemunculan suatu bahasa baru tentu saja akan berpengaruh pada perkembangan dunia bahasa itu sendiri, baik itu pengaruh yang positif ataupun pengaruh yang negatif, tak terkecuali bahasa Alay itu sendiri. Pertanyaannya sekarang ini adalah apakah bahasa Alay sudah termasuk ke dalam kategori bahasa yang mengganggu? Jawabannya tentu saja kembali lagi pada penggunaan bahasa tersebut. Penggunaan bahasa sandi itu tentu saja akan menjadi masalah bila digunakan dalam komunikasi massa karena lambang-lambang yang mereka pakai tak dipahami oleh segenap khalayak media massa, atau dipakai dalam komunikasi formal secara tertulis. Jadi, bahasa Alay dapat dianggap

6

merusak tatanan bahasa Indonesia apabila telah digunakan dalam situasi yang formal seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebagian yang menentang bahasa ini umumnya adalah orang dewasa atau orang yang sudah lanjut usia. Padahal kalau dilihat dari sejarahnya, bahasa seperti ini juga ada pada zaman dahulu, yakni bahasa Gaul. Dahulu, kita pernah mengenal sistem kode berbicara dengan mengganti semua huruf vokal dengan satu vokal tertentu saja. Lalu ada bahasa selipan seperti menyelipkan pi atau go di setiap suku kata, misalnya kepimapiripin apikupi dapitaping, kapimupi upidapih pupilaping (kemarin aku datang, kamu udah pulang). Ada lagi bahasa yang dibalik, kayak tikas turep, halas nakam (sakit perut, salah makan). Tiap generasi atau masa selalu muncul bahasa sandi yang berlaku dalam suatu komunitas kecil atau besar. Bahasa sandi suatu komunitas bisa berumur pendek, tetapi bisa pula berumur panjang. Bedanya dengan bahasa gaul masa lalu yang disebut di atas, bahasa Alay ini banyak mendapat perhatian, bahkan ada situs khusus yang menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Alay, yang dinamakan alaygenerator.co.cc. Caranya adalah dengan mengetik kalimat yang diinginkan untuk diubah ke bahasa Alay, maka bahasa yang kamu ketik akan berubah menjadi bahasa Alay. Bahkan sekarang ini, ada upaya dari komunitas Alay untuk membuat kamus bahasa Alay yang disingkat menjadi KBBA (Kamus Besar Bahasa Alay). Mungkin inilah salah satu alasan mengapa masyarakat menganggap bahasa Alay sangat mengganggu keberadaan bahasa Indonesia.

7

Pertanyaan yang paling mendasar disini adalah mengapa bahasa Alay sangat fenomenal di kalangan remaja? Mengapa fenomena ini kemudian bermunculan dan semakin banyak terjadi. Alasan pertama yang bisa dikemukakan di sini adalah karena bahasa Alay diciptakan oleh para remaja dengan tujuan yang bermacam-macam, entah itu untuk mencari jati diri, atau untuk sekedar membuktikan eksistensi mereka dalam menjalani pergaulan keseharian. Dengan menciptakan bahasa Alay, para remaja merasa mendapatkan wadah untuk menuangkan kreativitas mereka dengan berbagai cara yang oleh sebagian masyarakat lainnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar atau berlebihan. Tetapi, itulah remaja dengan segala perilakunya yang tidak dapat diprediksi. Bahasa Alay ini akhirnya mulai terkenal dan menjadi fenomenal pada tahun 2009. Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai fenomena bahasa gaul ini dengan judul “Bahasa Alay”. Penulis tertarik untuk mengangkat topik mengenai “bahasa Alay” karena menurut hemat penulis, bahasa alay ini sangat unik dan terlalu rumit untuk dimengerti oleh sebagian orang dikarenakan proses pembentukannya yang dianggap aneh dan melanggar kaidah tata bahasa. Selain itu, karena belum ada peneliti bahasa yang mengkaji mengenai bahasa Alay dengan lebih mendetail lagi. Penulis sangat berharap penelitian ini dapat berguna bagi dunia bahasa pada umumnya dan para peneliti bahasa pada khususnya.

8

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis adalah sebagai berikut; 1.

Bagaimanakah proses pembentukan bahasa Alay?

2.

Bagaimanakah relasi makna yang terdapat dalam bahasa Alay?

3.

Bagaimanakah fungsi bahasa Alay bagi komunitas penggunanya?

1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1

Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

Mendeskripsikan proses pembentukan bahasa Alay

2.

Mendeskripsikan relasi makna yang terdapat dalam bahasa Alay

3.

Mendeskripsikan fungsi bahasa Alay bagi komunitas penggunanya

1.3.2

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk memberikan kontribusi

dalam perkembangan dunia bahasa yakni linguistik agar lebih memperkaya khasanah kepustakaan serta memberi peluang kepada peminat bahasa-bahasa Gaul, salah satunya bahasa Alay ini, agar dapat melakukan penelitian lebih

9

mendalam lagi mengenai fenomena bahasa Alay yang semakin berkembang dari waktu-ke waktu. Sedangkan manfaat penelitian ini secara praktis adalah untuk memberikan informasi mengenai variasi-variasi bahasa Alay yang sedang berkembang pesat di kalangan remaja, sehingga dengan cara itulah kita dapat memahami perilaku hidup para remaja dan bagaimana caranya menyelesaikan permasalahanpermasalahan hidup mereka berdasarkan latar belakang kehidupan dan lingkup pergaulan sosial mereka.

1.4

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian bahasa Alay ini melibatkan beberapa ruang lingkup yakni; (1)

fonologi, yang mempelajari tentang bunyi bahasa, suku kata, dan proses terjadinya bunyi bahasa atau mekanisme ujaran; (2) morfologi, karena kaitannya dengan pembentukan kata dalam suatu bahasa; (3) sintaksis yang berkaitan erat dengan satuan-satuan sintaksis dan analisis sintaksis; (4) semantik, yakni studi yang mempelajari tentang makna, dalam hal ini relasi makna dan cara menganalisis makna tersebut, dan (5) leksikon yang yang mempelajari tentang kosakata atau perbendaharaan kata.

1.5

Tinjauan Pustaka Bahasa “Alay” dalam media sosial sebenarnya pernah diteliti oleh

Wibowo (2011) dalam Penelitian Monodisiplin Fakultas Ilmu Budaya UGM yang

10

berjudul “Pemakaian Bahasa Alay sebagai Refleksi Kerentanan Masyarakat Bahasa: Kajian Sosiolinguistik”. Wibowo menguraikan identifikasi, tujuan, dan fungsi bahasa Alay, pemakaian bahasa Alay yang ditinjau dari analisis speaking, serta bahasa Alay dan kerentanan pemakaian bahasa. Namun, seperti yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang, penelitian yang mendalam mengenai bahasa Alay secara khusus belum pernah dilakukan sebelumnya, namun jika dikaitkan dengan bahasa yang mirip dengan bahasa Alay dalam hal ini adalah bahasa gaul yang telah ada jauh sebelum bahasa Alay muncul, maka terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu; Pengkajian Semantik pada Bahasa Gaul, Sondang Manik (2004), Analisis Penggunaan Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Kota Madya Medan, Ronny Patty Carlos (2000), Bahasa Gaul, Willyana Sukmi (2006), Bahasa Indonesia Ragam Bahasa Waria di Kotamadya Medan, Henry Kaveriana S (1996). Penelitian yang dilakukan oleh Sondang Manik (2004) menganalisis mengenai bahasa Gaul yang dapat dikaji dalam beberapa tatanan, yaitu dalam kedwibahasaan, diglosia, variasi bahasa dan ragam bahasa. Dalam penelitian ini, Sondang Manik juga membagi bahasa Gaul dalam 2 bagian, yakni; bahasa Gaul umum yang kata-katanya masih dapat dimengerti karena merupakan ujaran spontan dan ringan yang biasanya muncul dalam iklan dan sinetron-sinetron remaja pada umumnya, dan bahasa Gaul khusus, yang kata-katanya sulit dimengerti karena biasanya digunakan oleh komunitas tertentu seperti gay dan

11

lesbi. Penelitian yang dilakukan oleh Sondang Manik ini adalah penelitian yang dilakukan sebelum tahun 2009, sebelum bahasa Alay muncul. Pada saat itu belum ada kata-kata seperti ciyus miapah, enelan, cppa, plend dsb. Adapun sejumlah sarjana lainnya juga telah mengamati bahasa-bahasa gaul yakni, Wanter (1998), Rahayu (1999), dan Lestari (2005). Wanter dan Lestari mengambil data penelitian di Jakarta, sedangkan Rahayu di daerah istimewa Yogyakarta, dan itupun hanya di Mall Malioboro. Namun penelitian yang dilakukan oleh ketiga peneliti ini dianggap „ketinggalan‟, karena penelitiannya dilakukan sebelum tahun 2006, sementara telah terjadi perubahan yang sangat signifikan pada bahasa gaul selama 4 tahun lamanya sesudah penelitian tersebut. Setelah 4 tahun berlalu, perkembangan bahasa gaul semakin pesat, salah satunya dengan munculnya fenomena bahasa Alay ini. Dengan demikian, penulis mencoba untuk menjadi pemula dalam menganalisis fenomena bahasa Alay, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi para pengajar dan peneliti-peneliti bahasa yang tertarik untuk mengamati bahasa Alay lebih lanjut.

1.6

Landasan Teori

1.6.1

Definisi Slang Berkaitan dengan pembahasan penulis mengenai bahasa Alay , maka

penulis merasa perlu untuk menjabarkan definisi mengenai Slang, karena pada dasarnya bahasa Slang lebih dahulu muncul sebelum bahasa Alay itu sendiri.

12

Dengan memberikan definisi mengenai slang dan contoh-contohnya, penulis berharap akan lebih mudah untuk menganalisis bahasa Alay tersebut, karena sebenarnya bahasa Alay bisa dikatakan mendapat pengaruh juga dari ejaan-ejaan lama yang dibuat menjadi ejaan yang baru. Yang dimaksud bahasa Slang ialah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui kalangan diluar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang sering berubah-ubah. Slang lebih merupakan gramatika, bersifat temporal dan lebih umum digunakan oleh kawula muda. Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata alami yang diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim dipakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda dari makna sebenarnya. Bahasa slang oleh Kridalaksana (1982 : 156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang diluar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan Alwasilah (1985 : 57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosakata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.

13

1.6.2

Jenis-jenis Bahasa Slang Menurut Sumarsana dan Partana (laman pusat bahasa dan sastra, 2004)

berdasarkan bentuknya bahasa Slang dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis/bagian. Bentuk-bentuk bahasa Slang ini terdapat hampir diseluruh bahasa slang yang ada didunia. Jenis-jenis bahasa Slang ini antara lain adalah : (1)

Prokem Prokem atau bahasa okem merupakan variasi bahasa slang yang dalam

pembentukan katanya biasa menambah suatu kata dasar dengan sebuah awalan atau akhiran, membalikan susunan kata atau dengan memberi suatu sisipan. Sehingga bentuk kata asli yang lazim di masyarakat berubah bunyinya menjadi aneh, lucu bahkan menjadi tidak dapat dipahami. Bahasa okem ini memiliki beberapa jenis varian lain yang diantaranya : - Tambahan awalan ko Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu diberi tambahan awalan ko, maka menjadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan mengubah posisi konsonan kata sehingga menjadi prokem. - Kombinasi e + ong Contoh dari pembentukan kata ini ialah kata bencong, yang dibentuk dari kata dasar banci yang disisipi bunyi [e] dan ditambahi akhiran ong. Huruf vokal

14

pada suku kata pertama diganti dengan [e]. Huruf vokal pada suku kata kedua diganti ong - Tambahan sisipan pa/pi/pu/pe/po. Setiap kata dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada suku katanya.Maksudnya apabila suku kata itu bervokal a, maka ditambahi pa, bila bervokal i ditambah pi, begitu seterusnya. (2) Cant Cant adalah bahasa yang menjadi ciri khas dari suatu golongan, misalnya bahasa golongan penegak hukum (polisi) yang menggunakan kode-kode rahasia dalam berkomunikasi dilapangan. Bahasa kaum banci, bahasa pemakai narkoba dan pelaku kriminalitas. Contohnya bahasa yang digunakan pemakai narkoba, yang mengubah vokal i suku kata terakhir dari setiap kata dasar dengan bunyi aw. Misalnya kata putih yang merupakan kata ganti dari kata heroin, berubah menjadi putaw, kata pakai menjadi pakaw, sakit menjadi sakaw dan seterusnya. (3)

Argot Argot merupakan dialek dari suatu golongan, biasanya berhubungan

dengan lingkungan pekerjaan. Misalnya dialek dalam lingkungan politik, bidang hokum, bidang ekonomi, bidang sastra dan bidang-bidang lainnya. (4)

Colloqial Colloqial adalah bahasa non formal atau tidak resmi. Colloqial juga

disebut sebagai bahasa sehari-hari. Ciri khas dari bahasa ini antara lain adalah dikuranginya pemakaian fitur-fitur linguistik yang terdapat dalam kalimat. Dapat

15

dilihat pada contoh kalimat berikut : “Kalau begitu, kenapa tidak pergi saja”. Dalam bahasa sehari-hari berubah menjadi “Klo gitu napa nggak pigi aja”. Pengurangan pemakaian fitur linguistik ini dimaksudkan agar komunikasi bahasa dapat lebih ringkas dan praktis, bersifat akrab dan menciptakan suasana yang tidak kaku (formal/resmi). Contoh-contoh bahasa Slang antara lain; AFAIK (As far as I know), ASAP (As soon as possible), ATM (At the moment), B2B (Business to Business), BFF (Best Friends Forever), HAND (have a nice day), OMG (Oh my God), dan lain sebagainya. (http://findtoshare.blogspot.com/2008/08/slang-language-bahasagaul-untuk-dunia.html)

1.6.3

Pengertian Bahasa Alay Sebenarnya tidak ada definisi yang pasti mengenai bahasa Alay, karena

Alay sendiri merupakan kata yang tercipta di saat sekarang sehingga tidak akan kita temukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia manapun. Menurut Yuan Mandika dalam situsnya, Alay muncul pertama kali dan disebarkan oleh salah satu forum dunia maya. Alay tercipta dari kalangan-kalangan menengah atas, yang dalam hal ini adalah pengguna internet dan bukan tercipta dari kalangan kelas bawah. Namun, kebanyakan orang berpendapat bahwa bahasa Alay justru tercipta dari remaja kalangan menengah ke bawah yang biasanya bertingkah laku norak dsb.

16

“Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat di antara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu” Fenomena mengenai bahasa Alay ini juga mendapat respon yang besar dari Pak Sahala Siragih, Dosen Fakultas Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Menurut pendapat beliau, bahasa Alay adalah semacam bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas remaja. Tentu saja bahasa tersebut tidak mungkin digunakan di luar komunitas mereka, misalnya saat mereka berkomunikasi dengan guru, orang tua, dan lain-lain. Penggunaan bahasa sandi tersebut justru akan menjadi masalah bila digunakan dalam komunikasi massa, karena lambanglambang yang mereka pakai tidak dipahami oleh segenap khalayak media massa, atau dipakai dalam komunikasi formal secara tertulis.

1.6.4

Proses Pembentukan Remaja atau penutur-penutur bahasa gaul menggunakan berbagai cara

untuk mengkreasikan sistem komunikasinya. Sehubungan dengan ini, ada berbagai proses linguistik, atau lebih tepatnya proses fonologis di dalam variasi bahasa gaul. Banyak di antara proses itu tidak ditemukan di dalam pemakaian bahasa biasa. Secara sederhana, proses itu diklasifikasikan menjadi penggantian, penambahan, penghilangan, dan pembalikan. Dalam prakteknya, seringkali pulla beberapa proses ini terjadi sekaligus. Bahasa Alay ini juga memiliki proses-proses

17

tersebut, misalnya dalam proses penggantian, contohnya adalah, sama-sama menjadi cama-cama, tiap menjadi tyap, yang menjadi iank, iang, atau eank, saya menjadi zaiiaa, kamu menjadi kamyu atau kamoe, sayang menjadi saiiiank, dan sebagainya. Untuk pembentukan kata-kata yang lainnya akan dianalisis lebih dalam lagi pada pembahasan selanjutnya.

1.6.5

Relasi Makna Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang

terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Dalam pembicaraan tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sebagai relasi sinonimi, antonimi, metafora, homonimi, ambiguiti, dan redundansi. Namun relasi makna yang akan penulis paparkan disini adalah relasi makna yang hanya berkaitan erat dengan pembahasan atau analisis penulis.

1.6.5.1 Sinonim Beberapa pakar linguistik terkemuka memberikan definisi tentang sinonim. Sinonim adalah kata-kata fonologis berbeda yang memiliki makna yang sama atau sangat mirip (Saeed 2000:65). Sedangkan Menurut Matthews (1997:367), sinonim adalah “the relation between two lexical units with a shared

18

meaning.” Verhaar (1999:394) melambangkan suatu kata dalam kasus sinonim dengan X dan kata lainnya dengan Y. Menurutnya, bila X dan Y bermakna hampir sama, maka kesamaan makna antara X dan Y itulah yang disebut dengan sinonim. Definisi yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Fromkin dan Rodman (1998:165) bahwa sinonim adalah beberapa kata yang mempunyai kemiripan makna tapi bunyi pelafalannya (sound) berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah dua kata yang mempunyai komponen makna yang sama meski bunyi pelafalan dan bentuknya berbeda. Definisi lainnya dari Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Contohnya adalah kata. Relasi sinonimi dalam bahasa Alay jelas terlihat dari hubungan makna kata-katanya yang bersifat informal dengan sinonimnya yang bersifat formal. Contohnya, kata pembantu yang kemudian menjadi pembokat.

1.6.5.2 Antonim Bila sinonim lebih mengacu pada perhubungan makna yang bertalian dengan kesamaan makna, maka antonim lebih cenderung pada perhubungan makna yang bertalian dengan perlawanan makna. Kata antonimi berasal dari kata onoma yang berarti kata dan anti yang artinya melawan. Antonimi didefinisikan sebagai perlawanan makna atau berlawanan dengan kata yang lain. Menurut Verhaar dalam Abdul Chaer

19

(1990:91) antonimi ialah ungkapan (biasanya kata, frasa atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain. Antonimi terdapat pada semua tataran bahasa, yaitu morfem, kata, frasa, dan kalimat. Masyarakat umum menyebutkan antonimi sebagai lawan kata, tapi sebutan tersebut sepertinya kurang tepat. Verhaar dalam Abdul Chaer (1990:92) juga menyatakan bahwa antonimi juga tidak bersifat mutlak maksudnya bahwa kata-kata yang dianggap berlawanan makna sebenarnya bukanlah berlawanan, tapi hanya dianggap kebalikannya. Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang lain. Contohnya, kata benci bisa berarti “rasa tidak suka kepada seseorang”, namun bisa juga berarti “benar-benar cinta”.

1.6.5.3 Metafora Metafora adalah ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau langsung oleh lambang kiasnya tetapi harus diperoleh dari penafsiran lambang kias itu berdasarkan berbagai kesamaan. Kesamaan di sini dapat menyangkut kesamaaan bentuk, tempat, sifat, fungsi dan kombinasi

di

antaranya.

Di

dalam

bahasa,

metafora

merupakan

alat

pengembangan bahasa yang penting. Dengan adanya metafora penutur tidak harus menciptakan kata baru bila ada konsep atau ide baru yang hendak diungkapkannya. Konsep atau ide baru yang hendak muncul cukup diungkapkan

20

dengan perbendaharaan kata yang sudah ada dengan melihat berbagai kesamaannya. Kata-kata yang sudah ada boleh merupakan kata asli atau kata-kata asing yang sebelumnya digunakan untuk mengungkapkan konsep yang lain.

1.6.5.4 Homonimi Matthews (1997:163) mengatakan, “Homonyms are identical forms with different meanings, “homonymy is a relation between such forms, and so on.” Homonim berasal dari kata homo dan kata nim. Homo artinya sama, sedangkan nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai makna „nama‟ atau „kata‟ (Webster 1996:947). Jadi, homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan homonim dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi berbentuk sama. Hubungan X dan Y dalam kerangka homonim disebut homonimi. Homonini secara etimologi berasal dari kata homos yang artinya sejenis dan onoma atau kata, dalam ilmu bahasa mempunyai arti kata-kata yang sama bunyinya tetapi mempunyai arti dan pengertian yang berbeda (H.G. Tarigan, 1990:30). Wijana dan M. Rohmadi (2008:55) menyatakan bahwa homonimi adalah dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama. Secara semantik, Verhaar memberi definisi hominimi sebagai ungkapan (berupa

21

kata atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan (berupa kata, farsa, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 1990:97). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; walaupun maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Contohnya, kata setia, bisa berarti rasa kesetiaan kepada pasangan, ataupun bisa memiliki makna yang lain, yakni; selingkuh tiada akhir, atau setiap tikungan ada. 1.6.5.5 Metonimia Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Parera (2004:121) menyebut metonimia sebagai hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah

22

diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Misalnya, “rokok kretek” dalam kalimat “belikan saya kretek”. Metonimia

menurut

Parera

(2004:121-122)

dapat

dikelompokkan

bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan. Metonimia berdasarkan atribut tempat, dicontohkan oleh Parera seperti “Pasar Blok M” disingkat “Blok M”sebagai singkatan nama bioskop yang terkenal di tempat tersebut pada masa tertentu, yakni “bioskop Majestik”. Di tahun 60-an di Jakarta Pusat terdapat gedung bioskop megah dengan nama “Metropole” dan tahun 80-an diganti dengan nama “Megaria”. Masing-masing daerah dikenal dengan ciri atribut yang menonjol dan pada umumnya penduduk akan menyebutkan daerah tersebut berdasarkan ciri atribut yang terkenal. Metonimi berdasarkan atribut waktu, contohnya “Datanglah setelah magrib”, “Subuh nanti kita berangkat”. Waktu Shalat bagi umat Islam seperti Magrib dan Subuh atau Misa bagi orang kristiani biasanya dipakai sebagai ukuran dan pembagian waktu di Indonesia. Metonimi berdasarkan unsur bagian untuk seluruhnya atau disebut tipe pars pro toto. Contohnya, Militer atau tentara Nasional Indonesia (TNI) dikenal

23

dengan sebutan “baju hijau”, kelompok pasukan tentara Angkatan Darat yang khusus disebut dengan “Baret Merah”.

1.6.5.6 Eufemisme Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Contohnya kalimat "di mana 'tempat kencingnya?" dapat diganti dengan "Di mana 'kamar kecil'nya?". Kata "tempat kencing" terdengar tidak cocok jika digunakan dalam kondisi percakapan yang sopan. Kata "kamar kecil" dianggap tepat untuk menggantikan kata “tempat Kencing” tersebut. Kata "kamar kecil" ini konotasinyalebih sopan daripada kata "tempat kencing". Jadi dalam eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan. Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemisme yang artinya berbicara baik. Eufemisme juga berarti elegan, halus, lemah lembut, meletakkan rapi dan baik yang dinyatakan. Ini dipakai untuk menyebut sesuatu yang dirasakan mengganggu atau tidak enak, agar terdengar lebih enak atau menjadi yang sebenarnya. Caranya adalah dengan mengganti kata-kata yang memiliki konotasi ofensif dengan ungkapan lain yang menyembunyikan kata yang tidak enak tersebut, dan bahkan menjadi sebutan yang sifatnya positif (Leech,2003:71). Eufemisme juga merupakan sebuah gaya bahasa yang berupa ungkapanungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan

24

(Keraf, 1996:132). Jadi, dapat dikatakan eufemisme terjadi karena adanya keinginan dari pengguna bahasa untuk merekayasa asosiasi makna yang enak didengar dari kata yang memiliki asosiasi yang tidak dikehendaki, agar tidak membuat lawan bicara menjadi tersinggung atau malu.

1.6.5.7 Relasi Fonologis Makna satuan ekspresi bahasa Alay ada yang bersifat fonologis, yang mana bentuk dan maknanya hanya bertalian secara fonologis. Relasi ini terbangun karena bentuk itu mengalami proses perubahan bunyi dan atau tanpa proses yang lain yang berakibat terjadinya perubahan makna. Namun yang akan dibahas pada BAB III adalah relasi fonologis yang bentuk dan makna sering kali bersangkutan dengan kesamaan bagian awal kata, bukan pada bagian akhirnya.

1.6.5.8 Ambiguiti atau Ketaksaan Ambiguitiadalah salah satu unsur sastra. ciri-ciri ambiguiti dan ketaksaan penting sebagai satu gejala, tanda dan unsur di dalam karya kreatif. Ia berkait rapat dengan proses kreatif, pemikiran dan ideologi pengarang. Ambiguiti membawa maksud „perihal yang kabur atau „taksa‟ (Kamus Dwibahasa, 2001: 38). Kekaburan atau ketaksaan itu bertujuan untuk menyembunyikan makna yang sebenarnya. Namun ambiguiti atau ketaksaan dalam hal ini adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Ini terjadi

25

karena penulisan yang menimbulkan makna ganda. Ambiguiti ini sangat sering ditemukan dalam bahasa Alay. Contohnya adalah; “akyu ghy mlz bgtz”, bisa diartikan ganda, arti pertama adalah “aku lagi malas banget”, atau “aku lagi mulas banget”

1.6.6

Fungsi Bahasa Fungsi bahasa menurut Mahmudah dan Ramlan (2007:2-3) adalah alat

komunikasi antar anggota masyarakat Indonesia. Bahasa juga menunjukkan perbedaan antara satu penutur dengan penutur lainnya, tetapi masing-masing tetap mengikat kelompok penuturnya dalam satu kesatuan sehingga mampu menyesuaikan dengan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat. Selain itu, fungsi bahasa

juga

melambangkan

pikiran

atau

gagasan

tertentu,

dan

juga

melambangkan perasaan, kemauan bahkan dapat melambangkan tingkah laku seseorang. Gorys Keraf (2001:3-8) menyatakan bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu: (1) Alat untuk menyatakan ekspresi diri, artinya bahwa bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita, (2) alat komunikasi, yakni bahwa bahasa merupakan saluran perumusan maksud yang melahirkan perasaan dan memungkinkan adanya kerjasama antarindividu, (3) alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, yang mana bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan

26

yang memungkinkan manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain, dan (4) alat mengadakan kontrol sosial, yakni bahasa merupakan alat yang dipergunakan dalam usaha mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Bahasa juga mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.

1.7

Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian bahasa disebut metode

penelitian bahasa. Metode penelitian bahasa adalah cara kerja yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena objek ilmu bahasa atau merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan masalah di dalam objek ilmu bahasa itu (Kridalaksana, 2001:106; Hartmann dan Stork, 1972:141). Metode penelitian bahasa adalah cara kerja untuk memahami objek ilmu bahasa. Objek ilmu bahasa adalah bahasa. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa keseharian biasa yang digunakan manusia yang berkelompok-kelompok membentuk berbagai masyarakat penutur yang ada tersebar di seluruh dunia (Sudaryanto, 1995:1). Bahasa apa saja yang digunakan oleh manusia-manusia yang terikat oleh kebangsaan atau ras atau suku tertentu, agama tertentu, dan kebudayaan tertentu, yang satu sama lain berbeda, kesemuanya termasuk dalam objek ilmu bahasa itu (Sudaryanto, 1983:21).

27

Metode penelitian bahasa bertugas sebagai cara menemukan jawaban akan rasa ingin tahu manusia yang berupa pengetahuan baru tentang bahasa. Cara yang dimaksud meliputi cara mengumpulkan atau menyediakan dan menganalisis data serta mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan (lih. Djajasudarma, 1993:3). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penulis mengumpulkan data dari sumber dokumen yang sesuai dengan pokok persoalan yang diteliti, yaitu dengan menganalisis contoh-contoh bahasa Alay yang terdapat di media sosial, yakni, facebook, twitter dan sebagainya juga dari buku-buku, salah satunya adalah dari kamus Alay. Setelah data terkumpul, Penulis kemudian mendeskripsikan variasi bentuk bahasa Alay berdasarkan angka, abjad, abreviasi yang meliputi singkatan kata dan akronim, dan singkatan-singkatan sms bahasa Asing. Penulis juga menganalisis relasi makna apa saja yang terdapat dalam bahasa Alay serta fungsi bahasa Alay bagi komunitas/penggunanya.

1.8

Sistematika Penyajian Penyajian data dalam upaya penyelesaian tesis ini rencananya akan

disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II meliputi pembahasan mengenai Proses Pembentukan Bahasa Alay. Bab III meliputi Relasi Makna yang terdapat dalam Bahasa Alay. Bab IV

28

meliputi Fungsi Bahasa Alay bagi komunitas penggunanya. Bab V ialah Penutup yang meliputi 2 bagian, yakni, kesimpulan dan saran.