BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu penyebab penyakit infeksi adalah bakteri. Mikroorganisme alami yang ada dalam tubuh manusia disebut mikroorganisme normal atau flora normal. Meskipun flora normal ini tidak patogen, namun dalam keadaan tertentu dapat bersifat patogen dan menimbulkan penyakit infeksi. Contoh flora normal yang dapat menjadi mikroorganisme patogen adalah bakteri Staphylococcus aureus (Sylvia, 2008). S. aureus dapat ditemukan pada permukaan kulit sebagai flora normal, terutama disekitar hidung, mulut, alat kelamin, dan sekitar anus. Dapat menyebabkan infeksi pada luka biasanya berupa abses yang merupakan kumpulan nanah atau cairan dalam jaringan yang disebabkan oleh infeksi. Infeksi oleh S. aureus bisa menyebabkan sindroma kulit (Wahyudi dan Sukarjati, 2013). Luka adalah kerusakan pada struktur anatomi kulit yang menyebabkan terjadinya gangguan kulit. Contoh yang paling mudah jika jari tangan tersayat oleh pisau, maka luka yang timbul akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada kulit sehingga kulit tidak lagi dapat melindungi struktur yang ada dibawahnya. Infeksi pada luka dapat terjadi jika luka terkontaminasi oleh debu atau bakteri, hal ini disebabkan karena luka tidak dirawat dengan baik. Salah satu bakteri yang menyebabkan infeksi pada kulit luka yaitu bakteri S. aureus. (Dzen, 2003). S. aureus juga merupakan bakteri penyebab infeksi nosokomial yang banyak terjadi di Indonesia. Di Jakarta pada periode tahun 1986-1993 terjadi peningkatan angka kejadian infeksi S. Aureus hampir empat kali lipat dari 2,5% menjadi 9,4% (Nasir, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dudy dkk (2010)., di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, terdapat 23 kasus infeksi luka pasca operasi yang disebabkan oleh S. aureus. Tidak hanya di Indonesia, di negara maju, seperti Amerika Serikat, ditemukan 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10% pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi baru selama dirawat, sebanyak 1,4 juta infeksi setiap tahun.
1
2
Menurut WHO di 55 rumah sakit pada 14 negara di seluruh dunia, menunjukkan 8,7% pasien rumah sakit menderita infeksi selama perawatan di rumah sakit. Sedangkan di negara berkembang terdapat lebih dari 40% pasien terserang infeksi nosokomial. Bakteri yang paling umum ditemukan pada kasus infeksi adalah S. aureus (Fauziah, 2012). Pengobatan infeksi yang disebabkan oleh S. aureus karena banyaknya kasus infeksi yang terjadi, sehingga munculnya resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik. S. aureus menghasilkan enzim penisilinase sehingga mudah resisten terhadap golongan penisilin, misalnya metilisin dan oksasilin. Namun demikian, juga dikenal S. aureus yang resisten terhadap metisilin yang disebut Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) yang menimbulkan masalah klinik karena sifatnya yang resisten terhadap berbagai antibiotik golongan β-laktam, tetapi biasanya masih peka terhadap vankomisin atau golongan aminoglikosida (Dzen, 2003). Sebagian besar galur Staphylococcus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti kloramfenikol, vankomisin, dan tetrasiklin (Jawetz et al., 2012). Mikroorganisme adalah kelompok organisme hidup yang ukurannya sangat kecil
dan
heterogen,
seperti
bakteri,
virus,
jamur,
dan
protozoa.
Beberapamikroorganisme memiliki manfaat atau tidak, tergantung pada efek host terhadap mikroorganisme tersebut. Namun ditemukan beberapa spesies patogen yang sangat berbahaya bagi manusia. Terkait spesies patogen tersebut ada senyawa yang dapat membunuh dan menghambat mikroorganisme patogen, ini yang dikenal sebagai antimikroba. Pencarian atau penemuan zat antimikroba yang memiliki aktivitas selektif terhadap mikroorganisme patogen tertentu, tanpa efek racun pada hewan dan manusia, serta yang dapat menguntungkan adalah dengan melakukan penelitian terhadap produk alam (Narwal, 2009). Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya namun kurang dari 300 tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi. Sekitar 1000 jenis tanaman telah diidentifikasi dari aspek botanik sistematik tumbuhan dengan baik. WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih
3
menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia menggunakan obat herbal untuk mendukung kesehatan mereka. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan obat memiliki arti penting yakni secara mendasar mendukung kehidupan maupun potensi perdagangan. (Saifudin dkk, 2011). Penggunaan bahan obat alam terutama tumbuhan telah melekat di dalam kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi hingga kini. Selain itu, seiring dengan berbagai fakta bahwa bahan-bahan sintesis termasuk obat sintesis memiliki efek samping yang tidak bisa dianggap hal yang biasa. Khusus di Indonesia, fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa obat herbal memiliki peran penting didalam bidang kesehatan masyarakat dalam aspek pengobatan sebagai agen pencegahan bahkan penyembuhan. Fakta bahwa obat berbasis tumbuhan telah melekat didalam kehidupan masyarakat, kecenderungan orang menggunakan tumbuhan yang memiliki peran penting sebagai sumber obat (Saifudin dkk, 2011). Tumbuhan yang memiliki keanekaragaman jenis dan bentuk ini merupakan sumber utama untuk mendapatkan berbagai golongan senyawa yang terkandung seperti senyawa fenolik, terpenoid, steroid, alkaloid dan metabolit sekunder lain yang memiliki sifat antioksidan, antimikroba, antikarsinogenik, dan diuretik. Produk alam yang dihasilkan oleh tumbuhan ini penting dalam pengobatan untuk penelitian farmakologi dan pengembangan obat (Ahmad, 2014). Diantara beberapa genus dari family Lamiaceae yang digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman dari genus Coleus dari family Lamiaceae atau Labiatae berpotensi dalam teraupetik yang bersifat pereda nyeri, diuretik, tonik, antijamur, antimikroba, antiradang, dan penangkal infeksi (Venkateshappa, 2013). Tanaman yang berasal dari family ini digunakan untuk obat tradisional karena memiliki aktifitas farmakologi seperti antimikroba, antioksidan, dan antiseptik. Penyebaran genus Coleus ini terdiri dari 300 spesies dan ditemukan di berbagai bagian tropis Afrika, Australia dan Asia, terutama di Indonesia (Ahmad, 2014). Salah satu spesies dari genus Coleus yaitu Coleus scutellarioides merupakan tanaman liar yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional yang berasal dari Asia Tenggara. Corak, bentuk dan warna C. scutellarioides beranekaragam, tetapi
4
yang berkhasiat obat adalah daun yang berwarna merah kecoklatan (Dalimartha, 2007). C. scutellarioides, salah satu tanaman asli Indonesia khususnya di Provinsi Sulawesi Utara (Ahmad, 2014). Tanaman C. scutellarioides ditanam di lingkungan berhawa sejuk dengan kecukupan air. Tanaman C. scutellarioides berkhasiat sebagai melancarkan menstruasi, menambah nafsu makan, menetralisir racun dalam tubuh, menekan pertumbuhan bakteri, menyembuhkan bisul, membunuh cacing didalam tubuh (Afin, dkk, 2013). Tanaman ini juga dapat meredakan rasa nyeri sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikroba, antibakteri, dan mempercepat penyembuhan luka (Rudianto, 2013). Dari hasil penelitian sebelumnya telah diteliti menggunakan ekstrak etanol daun C. scutellarioides yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap S. aureus pada konsentrasi ektrak yang digunakan 20% (10,67 mm), 40% (11,17 mm), 80% (12,33mm) (Deby, 2012). Selain itu, telah dilakukan penelitian uji aktivitas antibakteri daun C. scutellarioides menggunkan ekstraksi bertingkat dengan pelarut nonpolar, semipolar dan polar pada konsentrasi 25% dengan metode difusi cakram. Pada fraksi n-heksana diameter zona inhibisi (7,67 mm), fraksi etil asetat (11.33 mm), dan fraksi metanol (8,67 mm) (Kumala, 2015). Menurut
penelitian
yang
dilakukan
Prataya,
dkk
(2014).hasil
analisis
menunjukkan kandungan kimiadaun C. scutellarioides seperti flavonoid, tanin, triterpenoid, steroid, dan minyak atsiri yang mampu memberikan efek antibakteri. Dengan demikian untuk mengetahui aktifitas antibakteri C. scutellarioides yang dapat digunakan lebih lanjut dalam pencarian obat baru, dilakukan dengan mengekstrasi komponen golongan senyawa kimia secara bertingkat menggunakan metode bioautografi kontak. Cara ini bertujuan untuk memisahkan komponen kimia yang bersifat non polar, semi polar, dan polar pada daun C. scutellarioides dengan pelarut yang sesuai. Pada penelitian ini serbuk daun C. scutellarioides diektraksi secara bertingkat dengan n-heksana, etil asetat, dan etanol. Pada fraksi n-heksana dilakukan pengujian antibakteri menggunakan metode bioautografi kontak. Dalam penelitian, golongan senyawa yang terkandung dalam fraksi nheksana C. scutellarioides dilakukan penotolan pada plat KLT kemudian di eluasi menggunakan eluen yang sesuai, timbul noda yang terpisah. Noda pada plat KLT dipotong sesuai bentuk noda dan didifusikan pada media yang berisi biakan
5
bakteri, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Timbul zona bening pada sekitar plat, kemudian diukur diagonal zona hambat. Diagonal zona hambat yang terukur menunjukkan aktivitas antibakteri. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah : 1.
Berapakah diagonal zona hambat komponen senyawa yang terdapat pada fraksi n-heksana daun C. scutellarioides terhadap bakteri S. aureus menggunakan metode bioautografi kontak?
2.
Golongan senyawa apakah yang terkandung dalam fraksi n-heksana daun C. scutellarioides yang dapat berkhasiat sebagai antibakteri?
1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui aktivitas antibakteri fraksi n-heksana daun Coleus scutellarioides terhadap S. aureus. 1.2.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk mengetahui aktivitas penghambatan melalui pengukuran diagonal zona hambat fraksi n-heksana daun C. scutellarioides terhadap S. aureus dengan metode bioautografi.
2.
Untuk memperoleh golongan senyawa yang berkhasiat sebagai antibakteri dalam fraksi n-heksana daun C. scutellarioides.
1.3 Manfaat Penelitian Memperkenalkan dan memberikan informasi kepada masyarakat akan pentingnya manfaat tanaman C. scutellarioides sehingga digunakan sebagai tanaman obat dan berpotensi sebagai bahan baku obat dalam mengatasi resistensi antibiotik.