BAB I PENDAHULUAN et al ., variasi curah hujan terutama

terjadinya hujan. Salah satu yang ... Apabila suhu muka laut hangat maka proses konvektif meningkat sehingga terbentuknya awan semakin banyak dan pote...

5 downloads 480 Views 31KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shauji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air (Haile et al., 2009). Hujan termasuk unsur iklim yang paling dominan memengaruhi kegiatan pertanian (pola tanam dan pemilihan jenis tanaman) yang menjadi sumber utama kehidupan masyarakat Indonesia. Aktivitas pertanian umumnya dikontrol oleh variasi curah hujan terutama wilayah tadah hujan. Selain itu, hujan dapat sebagai penyebab atau pemicu timbulnya bencana alam. Curah hujan yang berlebihan akan menyebabkan potensi longsor dan banjir lebih besar. Sebaliknya curah hujan rendah, ketersediaan air berkurang, potensi kekeringan akan meningkat dan terjadi kebakaran hutan yang akhirnya juga berdampak pada masyarakat. Berdasarkan hal tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui karakteristik hujan secara spasial dan temporal sehingga dapat dilakukan estimasi bencana yang akan terjadi di suatu wilayah dan aktivitas dapat disesuaikan mengikuti variasi curah hujan. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan oleh anomali curah hujan tidak berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Curah hujan sangat bervariasi menurut tempat dan waktu (Handoko, 1994), volume dan intensitasnya dapat berubah dengan cepat (Galvan et al., 2013). Penerimaan curah hujan dan waktu terjadinya antara satu wilayah dapat

1

2

berbeda dengan wilayah lain. Distribusi curah hujan di suatu wilayah dalam rentang waktu tertentu bisa mengalami peningkatan dan penurunan. Penyebaran dan keragamannya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti letak geografi, topografi dan aliran udara atas (Hilario et al., 2009). Selanjutnya, Variasi curah hujan suatu wilayah khususnya Indonesia sebagai benua maritim (Hendon, 2003; Qian, 2008) berkaitan erat dengan interaksi dan fluktuasi fenomena yang disebabkan oleh dinamika Atmosfer-lautan (Ropelewski dan Halpert, 1987; Giannini et al., 2007). Fenomena ini dapat berskala lokal, regional dan global. Skala lokal berupa sirkulasi harian angin darat-angin laut dan angin gunung-angin lembah. Skala regional adalah fenomena yang disebabkan oleh siklus tahunan utara selatan Matahari yaitu monsun Asia-Australia dan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zona). Skala global diantaranya peristiwa ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan IOD

(Indian Oceane Dipole). ENSO dan IOD merupakan

fenomena iklim global yang didasari pada kondisi suhu muka laut Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Antara satu faktor dengan faktor lain terdapat interaksi dan menimbulkan variasi iklim berbeda-beda setiap wilayah termasuk Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa (D. I) Yogyakarta. Wilayah ini merupakan bagian pulau Jawa yang bertipe hujan monsun yang mengalami perbedaan periode hujan yang tegas antara musim hujan dengan musim kemarau dan terbagi menjadi beberapa zona musim (ZOM). Kejadian fenomena iklim global diindikasikan meningkat akibat bertambahnya suhu global permukaan Bumi (global warming) yang mengarah pada perubahan iklim. Laporan IPCC

(Intergovermental Panel on Climat

3

Change) suhu global permukaan bumi rata-rata meningkat sebesar 0,78 oC dalam dekade terakhir (IPCC, 2013). Beberapa analisis berkaitan antara fenomena iklim global, khususnya ENSO dengan global warming yang didasari pada data model iklim global (global climate model) menunjukkan adanya perubahan siklus ENSO baik El Nino maupun La Nina. Setelah tahun 1970 frekuensi dan intensitasnya meningkat dibandingkan dekade sebelumnya (Torrence dan Compo, 1999; Yang et al., 2005; Latif dan Keenlyside, 2008). Umumnya siklus ENSO terjadi sekitar 5 tahunan (Tjasyono, 2008) dan El Nino terjadi setiap 3-7 tahun (Gianini et al, 2007). Kondisi ini akan dapat memengaruhi variasi curah hujan, bahkan dapat meningkatkan frekuensi curah ekstrim di suatu wilayah tertentu yang mana peristiwa ENSO lebih berpengaruh pada wilayah tipe hujan monsunal (Tjasyono et al., 2008; Aldrian et al., 2011). Dengan demikian, di wilayah penelitian ini dilakukan analisis variasi curah hujan secara temporal dengan variabel fenomena iklim global. Pada skala lokal, karakteristik topografi sangat menentukan variasi curah hujan suatu wilayah. Umumnya curah hujan lebih besar dan sering terjadi di wilayah yang menghadap arah angin dibandingkan wilayah yang menjadi bayangan hujan. Berdasarkan variasi ketinggian, semakin tinggi tempat, curah hujannya relatif tinggi (Handoko, 1994; Galvan et al., 2013 ). Hal ini disebabkan oleh pembentukan awan orografik yang lebih intensif (Um et al., 2010) sehingga potensi kejadian hujan semakin besar. Untuk mengetahui curah

hujan di suatu tempat, Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika (BMKG) umumnya digunakan alat konvensional yakni

4

Observatorium dan Automatic Hellman. Peralatan ini ditempatkan di unit-unit pelaksana teknis terutama Stasiun Meteorologi dan Stasiun Klimatologi serta beberapa titik di daerah-daerah Kabupaten seluruh Indonesia, bekerjasama dengan dinas pertanian daerah yang disebut dengan pos kerjasama. Selain itu di beberapa lokasi hujan diukur secara telemetri dengan AWS (automatic weather system) dan ARG (automatic rain gauge). Pengukuran curah hujan ini hanya berupa titik atau mewakili wilayah yang sempit. Aturan WMO, luasan maksimum yang dapat diwakili satu stasiun hujan di wilayah tropis adalah 900-3.000 km2 untuk dataran rendah dan 250-1.000 km2 untuk daerah pegunungan. Keperluan yang lebih luas seperti bidang iklim dan hidrologi (Goovaert, 2000), pertanian dibutuhkan hujan secara spasial (curah hujan wilayah), curah hujan titik tidak bisa mewakilinya sehingga diperlukan titik-titik pengukuran yang cukup banyak khususnya pada wilayah dengan topografi yang kompleks. Kenyataan di lapangan, pengukuran curah hujan tidak merata di seluruh daerah. Untuk mengatasinya diperlukan pendekatan atau teknik interpolasi yang lebih akurat dalam menentukan curah hujan lokasi yang tidak ada stasiun hujan. Berkaitan hal tersebut agar diketahui variasi curah hujan secara spasial di wilayah penelitian ini, juga dilakukan analisis spasial (estimasi curah hujan wilayah) dengan

mempertimbangkan

karakteristik

topografi

melalui

pendekatan

Multivariate nonlinear regression dan dibandingkan dengan model spasial inverse distance weight (IDW). Dalam penelitian ini variabel topografi yang dijadikan sebagai input analisis dengan curah hujan adalah elevasi, kemiringan dan arah hadap lereng serta letak geografis. Variabel topografi diturunkan dari model raster

5

DEM (digital elevation model) resolusi 92 m dan diaplikasikan dengan GIS (geographic infomation system).

1.2 Perumusan Masalah Wilayah Indonesia umumnya dikelilingi oleh lautan yang berada antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta memiliki topografi yang kompleks. Samudera ini menjadi sumber kelembaban utama uap air di Atmosfer hingga terjadinya hujan. Salah satu yang menentukan terbentuknya uap air di Atmosfer adalah kondisi suhu muka laut. Apabila suhu muka laut hangat maka proses konvektif meningkat sehingga terbentuknya awan semakin banyak dan potensi turunnya hujan semakin besar. Adanya variasi suhu di permukaan ke dua Samudera dapat menyebabkan variasi curah hujan suatu wilayah. Selain itu, variasi suhu yang terjadi di permukaan ke dua Samudera menimbulkan fenomena iklim seperti ENSO dan IOD yang dapat menyebabkan terjadinya anomali iklim global sehingga berdampak pada anomali curah hujan di wilayah sekitarnya. ENSO terbagi dua fase yaitu fase hangat (El Nino) dan fase dingin (La Nina) sedangkan IOD terdiri dari IOD positif atau IOD negatif. Fenomena ini memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap distribusi curah hujan suatu wilayah. Peristiwa El Nino dan IOD positif umumnya menyebabkan curah hujan relatif lebih rendah dari normalnya (rata-rata 30 tahun) sehingga dapat menimbulkan bencana kekeringan. La Nina dan IOD negatif menyebabkan curah hujan suatu wilayah relatif lebih tinggi dari normalnya yang dapat berimbas meningkatnya fenomena hujan ekstrim sehingga menimbulkan bencana banjir dan

6

memicu terjadinya longsor. Berdasarkan hal ini dimungkinkan fenomena iklim global sebagai indikator dalam mengetahui variasi curah hujan secara temporal. Kondisi topografi suatu wilayah yang kompleks menyebabkan curah hujan suatu wilayah lebih bervariasi dan tidak merata. Estimasi curah hujan wilayah yang akurat diperlukan jaringan stasiun hujan yang rapat karena dalam pengelolaan dan perencanaan berbagai bidang umumnya digunakan skala wilayah namun titik pengukurannya relatif terbatas. Pemasangan jaringan stasiun yang rapat dan merata dibutuhkan instrumen serta biaya operasional yang besar. Dengan keterbatasan tersebut diperlukan pendekatan untuk mengetahui variasi curah hujan secara spasial. Mengacu pada skenario perubahan emisi masa yang akan datang hingga 100 tahun ke depan yang dikeluarkan IPCC yaitu SRES (Special Report on Emission Scenarios) dan RCP (Representative Concentration Pathways), menggambarkan secara umum terjadi peningkatan suhu global permukan bumi rata-rata > 1oC. Meningkatnya suhu global akan berdampak pada peningkatan frekuensi dan intensitas fenomena iklim ekstrim. Berkaitan hal ini, untuk perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air serta estimasi bencana yang dapat ditimbulkannya, perlu pendugaan variabel-variabel iklim yang akan datang. Adanya gambaran kondisi iklim ini dapat dibuat informasi peringatan dini sehingga dampak yang ditimbulkannya bisa diantisipasi baik melalui mitigasi maupun adaptasi sehingga tidak berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Supaya informasi karakteristik iklim yang akan datang bisa diketahui lebih awal, salah satunya dapat diproyeksikan atau diprediksi nilai curah hujan

7

beberapa tahun ke depan. Dalam penelitian ini dimanfaatkan curah hujan proyeksi keluaran (reanalysis) model iklim global (GCM) dengan model CCAM. Proyeksi dari model oleh IPCC telah dijadikan sebagai input dan acuan untuk beberapa analisis perubahan iklim pada abad 21.

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas di formulasikan beberapa tujuan penelitian ini, diantaranya: 1. Mempelajari dan menganalisis variasi curah hujan dengan fluktuasi fenomena iklim global 2. Melakukan analisis variasi dan estimasi spasial curah hujan berdasarkan karakteristik topografi 3. Melakukan evaluasi dan analisis proyeksi curah hujan

1.4 Pertannyaan penelitian Agar setiap tujuan penelitian dapat dicapai maka dibuat beberapa pertanyaan penelitian yang disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Daftar pertanyaan penelitian No 1

Tujuan Penelitian

Pertanyaan penelitian

Mempelajari

dan

menganalisis

variasi

curah

dengan

hujan

fluktuasi iklim global

fenomena

1. Apakah variabel ENSO berkorelasi dengan Variabel IOD?

2. Bagaimana hubungan atau pengaruh ENSO dan IOD terhadap distribusi curah hujan musiman?

8

Lanjutan Tabel 1.1 3. Bagaimana variasi distribusi curah hujan pada saat terjadinya fenomena iklim global?

4. Apakah frekuensi kejadian hujan ekstrim meningkat pada saat terjadinya fenomena iklim global? 2

Melakukan

analisis

variasi

dan

estimasi

spasial

curah

hujan

1. Bagaimana hubungan variabel topografi dengan distribusi curah hujan musiman?

2. Seberapa efektif variabel topografi sebagai dasar untuk

berdasarkan

mengestimasi curah hujan wilayah?

karakteristik topografi 3

Melakukan evaluasi dan

1. Bagaimana validitas curah hujan proyeksi model iklim

analisis proyeksi curah hujan

regional di wilayah penilitian?

2. Bagaimana karakteristik distribusi curah hujan dari tahun 2014-2050?

1.5 Manfaat Penelitian 1.

Hasil

penelitian

ini

diharapkan

bisa

menambah

wawasan

dan

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Klimotologi. 2.

Untuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika dapat menambah dan

menjadi

pedoman

atau

pertimbangan

dalam membuat

dan

meningkatkan kualitas informasi prediksi curah hujan. 3.

Manfaat praktis dari hasil penelitian adalah dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam membuat kebijakan, terutama berkaitan estimasi, adapatasi dan mitigasi bencana yang bisa ditimbulkan oleh anomali iklim (variasi curah hujan) bagi pihak terkait di wilayah penelitian ini.

9

1.6 Keaslian Penelitian Anomali fenomena iklim global yang terjadi di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia berdampak pada variasi curah hujan wilayah sekitarnya, termasuk wilayah Indonesia (Tabel 1.2). Berbagai metode yang diterapkan oleh peneliti sebelumnya mulai pendekatan model, deskriptif dan kuantitatif seperti korelasi Pearson menunjukkan bahwa curah hujan sebagian wilayah Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan pada saat terjadi anomali iklim global (ENSO dan IOD). Umumya sebagian wilayah di Indonesia curah hujan meningkat dan lebih tinggi dari rata-ratanya ketika fenomena La Nina dan IOD negatif sedangkan lebih rendah pada saat El Nino dan IOD positif. Dampak ENSO dan IOD tidak sama di semua wilayah dan bergantung posisi geografi dan topografi. Topografi adalah salah satu faktor yang menentukan variasi curah hujan dalam skala lokal. Adanya efek orografis menyebabkan curah hujan di wilayah pegunungan atau dataran tinggi lebih tinggi dari wilayah dataran rendah. Untuk mengetahui variasi curah hujan secara spasial diperlukan pendekatan interpolasi yang lebih bisa menggambarkan variasi curah hujan suatu wilayah. Berkaitan hal tersebut beberapa peneliti menggunakan pendekatan teknik multivariat regresi dengan karakteristik topografi wilayah sebagai variabel bebasnya (Tabel 1.2). Pada penelitian ini juga dilakukan analisis variasi curah hujan dengan fenomena iklim global dan topografi. Fenomena iklim global sebagai variabel bebas dalam analisis variasi curah hujan secara temporal dan topografi untuk analisis variasi hujan secara spasial. Metode yang dipakai hampir sama dengan peneliti sebelumnya namun yang membedakan adalah luas dan

10

karakteristik topografi wilayah yang diteliti, jumlah stasiun hujan yang dijadikan sampel penelitian serta periode data yang dianalisis. Tabel 1.2. Tulisan yang berkaitan dengan penelitian No

Nama

1

Hamada et al., 2002

2

Tjasyono et al., 2008

3

Qian et al., 2010

4

Ranhao et al., 2008

5

Abedini et al., 2013

Judul Penelitian Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia and their Link to ENSO

Tujuan Penelitian

Metode

Hasil

Mengetahui hubungan ENSO terhadap variasi hujan di Indonesia

Deskriptif

El Nino menyebabkan keterlambatan musim hujan di beberapa wilayah diantaranya Sulawesi Selatan, Jawa dan Nusa Tenggara. Rata-rata mengalami keterlambatan 4-8 Pentad (lima hari). Curah hujan hampir sama dengan normanya dan beberapa wilayah mengalami peningkatan saat tahun La Nina

Dampak variasi temperatur Samudera Pasifik dan Hindia Ekuatorial terhadap curah hujan Di indonesia

Mempelajari variasi curah hujan dengan ENSO dan IOD

Deskriptif

El Niño/IOD positif menyebabkan penurunan jumlah curah hujan tahunan dan musiman terutama Juni – Juli – Agustus (JJA) dan September – Oktober - November (SON) baik untuk tipe hujan monsunal maupun tipe hujan ekuatorial. La Niña dan IOD negatif menyebabkan kenaikan jumlah curah hujan

Interaction Among ENSO, the Monsoon, dan Diurnal Cycle in Rainfall Variability Over Java, Indonesia A multivariate regression model for predicting precipitation in the Daqing Mountains

Mengetahui dampak Monsun dan ENSO pada iklim di permukaan Jawa

Kuantitatif

El Nino berdampak signifikan terhadap penurunan curah hujan dipermukan pulau Jawa selama (SON) dan pengaruhnya berkurang periode DJF terutama di wilayah pegunungan

Pengembangan model multivariat regresi untuk prediksi curah hujan di wilayah pegunungan

Kuantitatif

Model prediksi curah hujan yang dibangun dari lima variabel topografi (ketinggian, kemiringan, arah hadap lerah lereng, lintang dan bujur) didapatkan koefisien determinasi sebesar 79 % pada musim hujan, 55 % saat kemarau. Berdasarkan hal ini, performa model lebih mampu menggambarkan dan lebih baik dalam mengestimasi curah hujan wilayah saat musim hujan.

Integration of statistical and spatial methods for distributing precipitation in tropical areas

Estimasi curah hujan wilayah menggunakan variabel topografi

Kuantitatif

Model multivariat regresi lebih baik dalam estimasi distribusi curah hujan wilayah dengan tingkat akurasi 63-78% untuk variabiliti spasial curah hujan tahunan. Model lebih efisien pada musim hujan dari pada musim kemarau di DAS Ulu Kinta Malaysia.