BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penelitian ini membahas mengenai variasi budaya organisasi publik di Indonesia, dengan studi kasus pada Provinsi Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun organisasi publik, ataupun oleh masyarakat luas juga disebut dengan organisasi pemerintah, adalah penyelenggara birokrasi publik sebagai instrumen politik untuk mewujudkan tujuan negara, yakni menyejahterakan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sistem birokrasi yang sehat dalam mendukung good governance. Kewenangan pemerintah harus diikuti oleh penyelenggaraan pemerintah yang memperhatikan sisi akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, responsibilitas, transparansi, serta kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat, agar good governance tersebut bisa tercapai. Tidak bisa dipungkiri bahwa budaya birokrasi publik di Indonesia selama ini cenderung kurang mendapat simpati dari masyarakat. Banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta perilaku negatif lainnya yang diperlihatkan abdi negara ini,
menunjukkan
betapa
bobroknya
penyelenggaraan
pemerintahan
ditengah
masyarakatnya masih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Jika negara ini ingin berbenah, maka setidaknya diperbaiki dulu budaya di pemerintahannya, karena bagaimanapun pemerintah merupakan “imam” bagi masyarakatnya. Adanya upaya perbaikan birokrasi terlihat dari adanya pendelegasian kewenangan yang besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perubahan sistem pemerintahan dari semula sentralis menjadi desentralis adalah upaya pemerintah pusat untuk membagi kekuasaannya kepada pemerintah daerah dalam mereformasi birokrasinya guna membentuk pemerintahan dengan aparatur yang memiliki integritas dan berorientasi ke masyarakat. Adapun bentuk pemerintahan yang desentralis ini telah diimplementasikan sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai revisi dari UU no 22 Tahun 1999. Sejak keluarnya UU tersebut, maka dilaksanakanlah era otonomi daerah dimana daerah diberi kewenangan seluas-luasnya dalam mengatur sendiri urusan rumah tangganya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh UU no 32 Tahun 2004 tersebut, bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan undang-undang. Dengan hal tersebut, maka segala aktivitas pemerintah daerah diatur oleh pemerintah daerah itu sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Maka, revolusi budaya kerja pegawai aparatur pemerintah akan berjalan lebih efektif karena dilakukan sendiri oleh pemerintah daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik pusat maupun daerah, terdapat perangkat-perangkat daerah, yang tergolong kedalam lembaga eksekutif. Perangkat pemerintahan ini tentunya mempunyai struktur organisasi tersendiri. Sebuah organisasi tentu memiliki struktur organisasi dengan satuan-satuan organisasi yang digerakkan oleh sumber daya manusia di dalam organisasi, untuk mewujudkan tujuan organisasi. Sumber daya manusia ini bekerja dengan tugas-tugas, wewenang serta tanggung jawab yang didelegasikan kepada mereka agar tujuan organisasi dapat berjalan efektif dan efisien. Maka dari pada itu peran pemimpin sangat sentral dalam mengatur organisasi agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan organisasi tersebut. Maka, dalam mengatur sumber daya manusianya itu pemimpin harus menanamkan nilai-nilai organisasi kepada bawahannya untuk diikuti, dengan tujuan dapat memimbing sikap segenap anggota organisasi dalam menjalankan birokrasi. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi kinerja dari pada sumber daya manusia dalam organisasi seperti motivasi bekerja, kenyamanan, pengetahuan tentang nilai-nilai organisasi, dan hal lainnya. Dapat dikatakan bahwa dalam menjalankankan organisasi, segenap sumber daya manusia manusia menghadapi situasi yang kompleks, dimana tidak hanya sekedar mendengarkan perintah atasan dan menjalankan tugas secara normatif, namun juga mengerti dan memaknai nilai-nilai yang tertuang dalam visi dan misi organisasi. Adapun budaya organisasi merupakan suatu sudut pandang dalam studi mengenai organisasi. Budaya organisasi dianggap penting karena menciptakan nilai-nilai positif yang mempengaruhi kinerja segenap anggota organisasi. Menurut Mangkunegara (2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggotaanggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Menurut Wirawan (2007) budaya organisasi merupakan karakterisitik organisasi, bukan individu anggotanya. Jika organisasi disamakan dengan manusia, maka budaya organisasi merupakan personalitas dari atau kepribadian organisasi. Akan tetapi budaya membentuk
perilaku organisasi anggotanya, bahkan tidak jarang perilaku anggota organisasi sebagai individu. Dengan dua definisi tersebut, diasumsikan bahwa budaya organisasi berusaha merubah perilaku anggota organisasi untuk bekerja dengan cara yang khas dalam kegiatan organisasi, sehingga menjadi karakter tersendiri bagi organisasi tersebut. Karater ini lah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lain. Meskipun beberapa organisasi diatur dalam suatu standar kerja yang sama, tentu memiliki perbedaan di tiap-tiap organisasi disebabkan bekerja pada fungsi yang berbeda dan dihuni oleh manusia-manusia dengan asumsi dasar yang berbeda-beda. Setiap organisasi, termasuk organisasi-organisasi pemerintah, memiliki budaya organisasi sendiri yang timbul dan membedakan organisasi pemerintah yang satu dengan organisasi pemerintahan yang lain. Sumber yang mempengaruhi organisasi ini bisa dari apapun yang berhubungan dengan organisasi. Sumber itu bisa melalui pemimpin organisasi, pemilik organisasi, sumberdaya manusia, masyarakat luas dan lainnya. Hal ini terjadi karena sebuah organisasi dalam menjalankan aktivitasnya, organisasi selalu bersinggungan dengan banyak hal yang secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku organisasi yang membentuk budaya organisasi. Maka dari pada itu, budaya organisasi bersifat implisit dan tersembunyi di dalam internal sebuah struktur organisasi formal
dengan
segala
macam
kegitannya.
Meskipun
masyarakat
luas
dapat
mempersepsikan budaya sebuah organisasi karena bisa melihat kecenderungan karakternya (biasanya yang terlihat adalah artefaknya saja), namun sesungguhnya apa yang dipersepsikan masyarakat kemungkinan besar akan berbeda dengan budaya sesungguhnya yang dikembangkankan dalam sebuah organisasi, karena yang bisa merasakan secara langsung adalah sumber daya manusia dalam organisasi tersebut. Dalam organisasi terdiri dari berbagai unsur yang membentuk budaya organisasi. Biasanya unsur itu terdiri dari tiga hinggal lima unsur. Adapun menurut Edgar Shein dalam Sobirin (2007) budaya organisasi terdiri dari tiga unsur pokok yakni asumsi dasar, nilai-nilai organisasi dan artefak. Asumsi dasar merupakan unsur yang tidak bisa secara langsung diamati baik oleh orang dalam maupun orang luar organisasi karena sifatnya tersembunyi. Menurut Edgar Shein, unsur asumsi dasar inilah sebagai unsur utama pembentuk budaya organisasi. Unsur lain – nilai-nilai organisasi dan artefak merupakan derifasi dari unsur utama tersebut. Nilai-nilai organisasi dan artefak ini dapat berubah sesuai tuntutan perkembangannya, sementara asumsi dasar merupakan stimulus awal yang
tetap stagnan keberadaanya. Meski demikian, bukan berarti unsur organisasi hanya terdiri dari asumsi dasar. Dari ketiga unsur budaya organisasi tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatan. Adapun tingkatan yang paling tinggi adalah asumsi dasar, karena asumsi dasar inilah yang membentuk organisasi. Namun tanpa dikesampingkan pula dua tingkatan lainnya, yakni nilai-nilai dan artefak. Meskipun nilai-nilai dan artefak ini dapat dinamis dan dapat berubah, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat hubungan timbal balik diantara ketiganya yang saling mempengaruhi. Schein (dalam Sweeney & McFaarlin, 2002) mengilustrasikan tingkatan atau level dari budaya organisasi: -
-
Artfacts (artefak) Berkaitan dengan simbol-simbol, cerita, ritual, dan sebagainya. Values (nilai-nilai) Berkaitan dengan apa yang seharusnya, apa yang tidak seharusnya, dan nilainilai atau keyakinan yang mendukung. Assumptions (asumsi-asumsi) Berkaitan dengan keyakinan mendasar tentang orang-orang atau individuindividu, pandangan mengenai sifat dasr manusia, dan sebagainya.
Melihat peran budaya organisasi dalam suatu organisasi sangat penting, sebab akan membentuk perilaku manusia-manusia organisasi yang percaya pada nilai-nilai yang diasumsikannya di dalam organisasi, sehingga implikasinya adalah tercapainya tujuan organisasi secara lebih efektif. Menurut Mangkunegara (2005) fungsi budaya organisasi dapat membantu mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi. Masih menurut Mangkunegara, permasalahan yang berhubungan dengan adaptasi eksternal dapat dilakukan melalui pengembangan pemahaman tentang strategi dan misi organisasi, tujuan utama organisasi dan pengukuran kinerja. Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan integrasi internal dapat dilakukan antara lain komunikasi, kriteria karyawan, penentuan standar bagi insentif (rewards) dan sanksi (punishment), serta melakukan pengawasan (pengendalian) internal organisasi. Adapun Pabundu (2005) merangkum kesimpulan dari para ahli mengenai fungsi budaya organisasi adalah sebagai sebagai berikut: 1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi atau kelompok lain. Batas pembeda ini karena adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu
organisasi atau kelompok yang tidak dimiliki oleh organisasi ataupun kelompok lain. 2. Sebagai perekat bagi pegawai dalam suatu organisasi. Hal ini merupakan komitmen dari pegawai. Para pegawai mempunyai rasa memiliki, partisipasi dan rasa tanggung jawab atas kemajuan organisasinya. 3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial. Hal ini tergambarkan dimana lingkungan kerja dirasakan positif, mendukung, konflik serta perubahan diatur secara efektif. 4. Sebagai mekanisme kontrol dalam memandu dan membentuk sikap serta perilaku pegawai. Dengan dilebarkan mekanisme kontrol, didaftarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim dan diberi kuasanya pegawai oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang diarahkan ke arah yang sama. 5. Sebagai integrator. Budaya organisasi dapat dijadikan sebagai integrator karena adanya sub-sub budaya baru. Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh adanya organisasi-organisasi besar dimana setiap unit terdapat sub-budaya baru. 6. Membentuk perilaku bagi para pegawai. Fungsi seperti ini dimaksudkan agar para pegawai dapat memahami bagaimana mencapai tujuan organisasi. 7. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi. Masalah utama yang sering dihadapi organisasi adalah masalah adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal. Budaya organisasi diharapkan dapat berfungsi mengatasi masalah-masalah tersebut. 8. Sebagai acuan dalam menyusun rencana organisasi. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai acuan untuk menyusun rencana pemasaran, segmentasi pasar, penetuan positioning yang akan dikuasai oleh pasar tersebut. 9. Sebagai alat komunikasi. Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antar atasan dan bawahan atau sebaliknya, serta anggota organisasi. Budaya sebagai alat komunikasi tercermin pada aspek-aspek komunikasi yang mencakup kata-kata, segala sesuatu yang bersifat material dan perilaku. Katakata mencerminkan kegiatan politik organisasi, sedangkan perilaku merupakan tindakan-tindakan yang realistis yang pada dasarnya dapat dirasakan oleh semua insan dalam organisasi. 10. Sebagai penghambat berinovasi. Budaya organisasi bisa juga sebagai penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila organisasi tidak mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang menyangkut lingkungan eksternal dan integrasi internal.
Kesepuluh peran budaya organisasi sangat elementer terhadap aktivitas setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintah atau yang biasa disebut dengan birokrasi pemerintah. Adapun budaya kerja yang merupakan derifasi dari budaya organisasi pada birokrasi publik, telah ditetapkan dalam beberapa keputusan Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara. Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 39 Tahun 2002 TentangPedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, dikatakan bahwa budaya kerja (culture set) dan pola pikir (mind set) merupakan salah satu langkah dalam mereformasi birokrasi Indonesia. Peraturan ini juga sebagai landasan dan acuan bagi kementrian/lembaga dan pemerintah daerah dalam melakukan perubahan kerja aparatur pemerintah. Adapun perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur ini diharapkan dapat memperlihatkan birokrasi dengan kinerja yang tinggi. Dalam hal ini, budaya kerja aparatur sebagai
cara pandang atau cara seseorang
memberikan makna terhadap “kerja”, maka dapat dipahami sebagai cara pandang serta suasana hati yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi terbaik.Dalam sosialisasi perubahan pola pikir dan budaya yang diinginkan, peran pemimpin organisasi sangat krusial dan diharapkan mampu menjadi panutan bagi pegawai-pegawainya. Adanya prioritas dalam bidang budaya organisasi oleh Kementrian PAN dalam Reformasi Birokrasi tersebut, diharapkan dapat memberikan petunjuk jelas untuk memberikan pengaruh positif terhadap kinerja aparatur negara, baik secara pribadi maupun di lingkungan unit kerja. Substansi yang juga diungkapkan pada Peraturan Menteri PAN adalah untuk mengembangkan budaya kerja yang baru, hal pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan nilai-nilai yang dipercaya akan membawa organisasi mencapai visi dan menuntaskan misinya. Nilai-nilai yang dirumuskan tersebut, harus didasarkan pada praktik yang dikenal dan dapat dilaksanakan setiap pegawai di lingkungan kementrian/lembaga dan pemerintah daerah. Nilai-nilai tersebut harus berakar pada apa yang sesungguhnya berlaku dalam organisasi dari hari ke hari untuk menjadi lebih baik. Sumber nilai-nilai tersebut, terkandung dalam:1 1. Ajaran agama. 2. Falsafah negara. 3. Kebiasaan yang berkembang baik dalam masyarakat/adat
Maka, oleh sebab itu peran pemerintah daerah sangat krusial dalam membentuk budaya organisasi di lingkungannya. Dalam PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembangian 1
Penjelasan peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja mengenai nilai-nilai yang mendasari budaya kerja bagi aparatur negara.
Urusan Pemerintah, antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintah daerah meliputi urusan wajib dan pilihan. Adapun urusan wajib yang berkaitan dengan pelayan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Adapun budaya pemerintahan, dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah mengenai kekhasannya sebagai sebuah budaya daerah. Maka dengan demikian, budaya organisasi merupakan bidang yang wajib diprioritaskan oleh pemerintah daerah agar aparaturnya berintegritas. Melihat realita selama ini, kinerja aparatur pemerintah di instansi publik kerap jauh dari hasil kerja yang memuaskan. Harapan-harapan masyarakat seperti tidak digubris. Beberapa contoh kasus yang terlihat dan terpublikasikan kerap membuat masyarakat luas terheran-heran. Banyak aparatur pemerintah yang bekerja ogah-ogahan, sering bolos, pulang lebih cepat dari yang seharusnya, tidak berorientasi terhadap masyarakat, serta tidak ada kreatifitas seolah tidak ada inisiatif. Mereka seperti hanya menunggu perintah atasan, baru mereka mau bergerak. Jika tidak ada perintah, mereka hanya diam-diam saja, karena bagaimanapun juga tidak ada pengaruh terhadap gaji mereka. Kemudian, maraknya kasus indispliner dan inkometensi, menjadi hal yang melekat pada aparatur pemerintah. Seperti yang terjadi di Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar), dimana selama tahun 2012 lebih dari 36 PNS-nya
dikenai sanksi akibat tindakan
indisipliner.2Sedangkan PNS yang mampu bekerja sesuai dengan kebutuhan hanya mencapai 30 persen saja.3 Maka wajar kiranya nilai birokrasi Sumatera Barat termasuk rendah dari rata-rata seluruh Provinsi di Indonesia. Berdasarkan lansiran Kemitraan (www.kemitraan.or.id), Indonesia Government Index (IGI) arena Birokrasi di Pemprov Sumbar pada tahun 2012 adalah 5,54, dibawah rata-rata nasional 5,78. Pencapaian ini merosot tajam dari tahun 2008 dimana Pemprov Sumbar menempati peringkat 3 nasional. Hal ini diluar ekspektasi mengingat Pemprov Sumbar sebetulnya memiliki Keputusan Gubernur No. 58 Tahun 2004 mengenai Budaya Kerja di Pemrov Sumbar. Berbeda halnya dengan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY). Berdasarkan pengukuran IGI yang dilakukan Kemitraan, tata kelola Pemda DIY terbaik se-Indonesia. Pemda DIY memiliki nilai birokrasi dengan skor tertinggi, yakni 9,55. 2
http://nasional.news.viva.co.id, “70 persen PNS di Sumbar tak cakap!” (diakses 6 Januari 2014) http://beritalima.com, “PNS tidak disiplin di Sumbar dipecat” (diakses 6 Januari 2014)
3
Adapun Pemda DIY telah ada regulasi mengenai budaya pemerintahan, yakni budaya SATRIYA yang telah dijadikan acuan baku bagi seluruh instansi pemerintahan yang berada dalam lingkup daerah DIY. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 72 Tahun 2009 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa budaya SATRIYA adalah sebagai landasan dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku aparatur pemerintah Yogyakarta, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas. Namun fakta yang ada berbicara lain. Lebih dari 16 PNS di berikan sanksi berat dan sedang akbibat perbuatan indisipliner (belum termasuk yang dikenai sanksi ringan).4 Maka dengan demikian hal ini menjadi ironi, dimana Pemprov dengan nilai birokrasi terbaik di Indonesia saja masih banyak yang melakukan tindakan indisipliner, apalagi PemprovPemprov lain yang nilainya dibawah Pemda DIY. Adapun sistem birokrasi pemerintahan tidak hanya dipengaruhi oleh budaya kerja. Budaya kerja merupakan derifasi unsur-unsur budaya organisasi. Menurut Levin (2000) budaya organisasi memiliki lima unsur penting yang saling mempengaruhi, yaitu kepemimpinan, norma praktek, cerita tokoh, tradisi ritual, dan simbol-simbol. Maka untuk mengidentifikasi intervensi terhadap budaya kerja dan pola pikir aparatur pemerintahan, setidaknya dilihat secara keseluruhan dari unsur budaya organisasi tersebut. Contoh konkrit di Pemprov Sumbar, adalah PNS-nya diceramahi nilai-nilai agama oleh Gubernurnya, Irwan Prayitno, setiap wirid di hari Jumat. Selain itu, PNS diwajibkan memakai pakaian muslim di hari Jumat. Sedangkan, di Pemda DIY juga terdapat unsurunsur yang menonjol yaitu simbol-simbol, seperti misalnya seragam biru-biru dan seragam batik dengan tujuan mendekatkan diri ke masyarakat dan meningkatkan industri kerajinan batik daerah. Ini secara tidak langsung merupakan internalisasi dari budaya organisasi terhadap budaya kerja (culture set) dan pola pikir (mind set) ke arah lebih baik. Maka dengan demikian, sudah seharusnya budaya kerja dan pola pikir negatif yang selama ini ditunjukan berubah. Sebab, jika negara ini ingin bangkit dari keterpurukan, diperlukan kinerja dari aparatur negara yang berintegritas tinggi, jujur, dan tulus melayani masyarakat maka harus ada budaya organisasi yang kuat pada birokrasinya. Sutrisno (2010) menjelaskan bahwa budaya organisasi yang kuat adalah (1) Nilai-nilai budaya organisasinya disadari, dipahami, dan menjiwai para anggota organisasi, (2) Nilai-nilai
4
http://bkd.jogjaprov.go.id, “16 PNS Pemda DIY Dijatuhi Hukuman Disiplin” (diakses 21 Maret 2014)
organisasi tersebut menjadi panutan, diikuti, dan ditaati oleh sebagian besar para anggota organisasi, (3) Nilai-nilai budaya organisasi tersebut menopang tujuan organisasi dan tujuan para anggotanya. Maka dengan adanya budaya organisasi yang kuat di birokrasi akan dapat mencapai tujuan dari birokrasi itu sendiri, yaitu sebagai instrumen dalam pembangunan dan mencapai kesejahteraan rakyat. Namun pada akhirnya diperlukan dukungan semua pihak di dalam organisasi terhadap budaya organisasi, agar perubahan organisasi betul-betul bisa memberikan dampak yang signifikan bagi organsasi pemerintah itu sendiri. Adapun dua Pemprov yang dibahas sebelumnya, yakni Pemprov Sumbar dan Pemda DIY, menjadi obyek kajian studi kasus yang representatif dalam penelitian ini untuk menampilkan temuan mengenai variasi budaya organisasi pemerintah daerah di Indonesia secara lebih mendalam. Keduanya mempunyai budaya organisasi yang diinternalisasikan oleh para stakteholdernya untuk memberikan nilai-nilai positif yang sebisa mungkin dilaksanakan oleh para PNS. Nilai-nilai dari budaya organisasi tersebut sejatinya harus diasumsikan secara sempurna oleh setiap PNS didaerah masing-masing untuk menghadapi tantangan-tantangan baik yang datang dari adaptasi eksternal, maupunintegrasi internal. Budaya organisasi dikatakan sebagai sesuatu yang berpengaruh terhadap kinerja. Sebagaimana yang disebutkan Wirawan (2007) bahwa Budaya organisasi yang kondusif akan menciptakan, meningkatkan, dan mempertahankan kinerja tinggi. Budaya organisasi yang kondusif menciptakan kepuasan kerja, etos kerja, dan motivasi kerja pegawai. Semua faktor tersebut merupakan indikator terciptanya kinerja tinggi dari pegawai yang akan menghasilkan kinerja organisasi yang juga tinggi. Dengan latar belakang mengenai pentingnya budaya organsasi bagi suatu organisasi pemerintahan daerah dalam mewujudkan reformasi birokrasi tersebut, maka alasan penulis dirasa cukup respresentatif untuk melakukan penelitian dengan judul “VARIASI BUDAYA ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA: STUDI KASUS PADA PROVINSI SUMATERA BARAT DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”.
I.2. Rumusan Masalah Perumusan masalah secara jelas bertujuan untuk untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah penelitian, yakni: 1. Bagaimana budaya organisasi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana budaya organisasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Bagaimana internalisasi dan pelaksanaan budaya organisasi di setiap Pemerintah Daerah?
I.3. Tujuan Penelitian Berdarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dihasilkan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui budaya organisasi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat 2. Mengetahui budaya organisasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Mengetahui internalisasi dan pelaksanaan budaya organisasi di setiap Pemerintah Daerah. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaatnya terhadap ilmu pengetahuan adalah berupa pendalaman ilmu tentang teori dan realita permasalahan-permasalan sosial di masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan ilmu teori-teori organisasi, perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia. 2. Manfaatnya terhadap instansi-instansi pemerintah adalah sedikit masukan berupa terapan-terapan yang tepat dalam meningkatkan kinerja dari pegawainya. 3. Manfaatnya terhadap pembaca dan masyarakat luas adalah memberikan pengetahuan bahwasanya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dari aparat pemerintah, seperti budaya organisasi di organisasi instansi pemerintah yang bersangkutan. 4.
Bagi penulis sendiri manfaatnya cukup banyak. Selain tambahan pengetahuan dan bekal diri, penelitian ini juga mengaktualisasikan diri penulis untuk lebih
berpikir kritis terhadap fenomena-fenomena sosial, membentuk ideologi, serta belajar untuk lebih bijak dalam bersikap dan mengambil keputusan.