BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Organisasi adalah unit sosial, terdiri dari sekelompok orang yang berinteraksi untuk mencapai rasionalitas tertentu. Sebagai unti sosial, organisasi terdiri dari orang-orang dengan latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan motivasi yang berbeda. Pertemuan budaya dan motivasi orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda mempengaruhi perilaku individual dan menimbulkan problem dalam proses keorganisasian kerena menyebabkan terjadinya benturan nilainilai individual yang dapat menjadi faktor pengganggu dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu setiap organisasi perlu menciptakan nilai-nilai yang dianut bersama untuk membangun system keorganisasian guna menyeragamkan pemikiran dan tindakan serta mengubah perilaku individual ke perilaku organisasional. Organisasi sebagai wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, dalam memanfaatkan sumber daya organisasi secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kerjasama yang terarah tersebut dilakukan dengan mengikuti pola interaksi antar setiap individu atau kelompok dalam berinteraksi ke dalam maupun ke luar organisasi. Pola interaksi tersebut diselaraskan dengan berbagai aturan, norma, keyakinan, nilai-
1
nilai tertentu sebagaimana ditetapkan organisasi pola interaksi tersebut dalam waktu tertentu akan membentuk suatu kebiasaan bersama atau membentuk budaya organisasi yang senantiasa mengontrol anggota organisasi, dengan demikian budaya organisasi yang kuat merupakan pembentuk kinerja organisasi yang tinggi. Budaya organisasi kerap kali digunakan sebagai salah satu determinan alat dan kunci untuk keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian strategi usaha organisasi. “Corporate culture will probably be an even more important factor in determining the success or failure of firms in the next decade”. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan pada budaya organisasi sebagai suatu pondasi yang harus dimiliki organisasi, karena budaya organisasi sangat mendukung sukses atau gagalnya organisasi. Upaya peningkatan kinerja organisasi memerlukan adanya acuan baku yang diberlakukan oleh organisasi yang secara sistematis menuntun anggotanya untuk meningkatkan komitmen kerja pada organisasi. “created a widely spread belief of corporate cultures being perhaps the significant factor behind the performance of companies”. Asumsinya sederhana, bahwa sebuah kelompok manusia yang hidup dalam kebersamaan akan mempunyai nilai dan dilaksanakan bersama. Dengan nilai bersama tersebut, di dalam organisasi masingmasing anggota yakin dan rasa saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing bekerja di dalam kultur organisasi yang sama dan bergerak seirama.
2
Budaya organisasi merupakan bagian studi teori organisasi dilihat dari aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan. Kerjasama dimaksud adalah kerjasama yang terarah pada pencapaian tujuan dengan mengikuti pola interaksi antar setiap individu atau kelompok. Pola interaksi tersebut diselaraskan dengan berbagai aturan, norma,dan nilai-nilai tertentu sebagaimana ditetapkan organisasi itu. Keseluruhan pola interaksi tersebut akan membentuk suatu kebiasaan bersama atau membentuk budaya organisasi. Teori organisasi berusaha menerangkan atau memprediksi bagaimana organisasi dan orang-orang di dalamnya berperilaku dalam struktur organisasi, budaya dan lingkungan. Selain itu Robbins (2002:8) berpendapat teori organisasi memfokuskan dirinya pada perilaku dari organisasi dan mengunakan pengertian yang lebih luas dari keefektifan organisasi. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi. Hal ini berarti budaya organisasi sebagai salah satu aspek kajian teori organisasi, dapat dikaji pada tingkatan analisis sistem organisasi. Membahas budaya organisasi merupakan hal esensial bagi suatu organisasi atau rumah sakit, karena budaya organisasi merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi yang mewakili norma-norma perilaku dan diikuti oleh para anggota organisasi. Keutamaan budaya organisasi merupakana pengendali dan arah dalam
3
membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Budaya organisasi akan memberikan suasana psikologis bagi semua anggota, bagaimana mereka bekerja, bagaimana berhubungan dengan atasan maupun rekan sekerja dan bagaimana menyelesaikan masalah merupakan wujud budaya yang khas bagi setiap organisasi. Didalam budaya organisasi terdapat kesepakatan yang mengacu pada satu sistem makna secara bersama, dianut oleh anggota organisasi dan membedakan organisasi satu dengan
yang
lainnya,
sehingga
menurut
Hofstede
(2005:354)
“Organizations are equally culture bond”. Budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen, perbedaan budaya satu organisasi dengan organisasi lainnya terletak pada elemen budaya organisasi, elemen budaya organisasi menurut F.L. Jocano dalam Sobirin (2007:152) terdiri dari elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat prilaku. Elemen ini merupakan determinan karateristik budaya organisasi dan menjadi dasar untuk menilai sosok budaya organisasi dan membandingkan satu organisasi dengan organisasi lainnya, artinya budaya organisasi merupakan keyakinan setiap orang di dalam organisasi akan jati diri yang secara idiologis dapat memperkuat eksistensi organisasi baik ke dalam sebagai pengikat atau
simpul
organisasi
dan
keluar
sebagai
identitas
sekaligus
kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi organisasi yang tercermin dalam perilaku keseharian anggotanya seperti tampak pada praktik sehari-hari di tempat kerja.
4
Budaya dalam organisasi adalah dimana anggota organisasi dapat terfokuskan dan tercurahkan segala perhatian pada system nilai yang berlaku di dalam organisasi. Budaya organisasi pemandu dan membentuk sikap serta perilaku individu ke perilaku organisasi. Menurut Robbins (2005:489) budaya organisasi member kontribusi pada organisasi yakni; pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya,
membangun
rasa
indentitas
bagi
anggota
organisasi,
mempermudah tumbuhnya komitmen, dan meningkatkan kemantapan system sosial menuju integrasi organisasi. Hal senada diungkapkan Deal dan Kennedy (1982:126) budaya organisasi berperan dalam hal mengarahkan perilaku, member pengertian akan tujuan organisasi, dan membuat mereka berpikiran positif terhadap organisasi. Selain itu Luthans (2006:126) melihat budaya organisasi memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama. Dengan kata lain, budaya organisasi merupakan sekumpulan system nilai yang dijadikan sebagai panduan atau pedoman bagaimana seharusnya bersikap dan perilaku, dan membuat mereka mengerti apa yang ingin dicapai organisasi dan bagaimana cara membantu organisasi mencapai sasaran tersebut. Budaya organisasi yang kuat adalah budaya yang mampu mengikat seluruh warganya. Budaya berfungsi sebagai system perekat
5
adalah budaya yang menjadi milik bersama dari seluruh organisasi. Budaya organisasi merupakan system nilai yang diyakini semua anggota organisasi, dipelajari, diterapkan dan dikembangkan, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Budaya organisasi kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas. Budaya organisasi ibarat sebuah cermin yang dapat memotret gambaran suatu organisasi, karena budaya tercermin dalam perilaku keseharian anggota organisasi ditempat kerja. Selama ini lazimnya, budaya organisasi yang baik dapat menimbulkan pengaruh positif bagi peningkatan efektivitas suatu organisasi. Hasil kajian memperlihatkan pula kapasitas budaya organisasi secara signifikan mempengaruhi kinerja pemerintah daerah, setiap budaya organisasi berubah 100% maka akan diikuti perubahan dalam kinerja pemerintah daerah sebesar 20%. Arti penting temuan ini adalah untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah (agar mampu mewujudkan good governance) maka harus di benahi kapasitas orientasi budaya organisasi. Kajian hubungan budaya organisasi dan kinerja organisasi, mempertegas dan memperjelas peran budaya organisasi sebagai alat untuk
menentukan
arah
organisasi,
mengarahkan
bagaimana
mengalokasikan dan menata sumberdaya organisasi, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang yang dating dari
6
lingkungan organisasi. Permasalahannya bagaimana budaya organisasi di Indonesia karena dengan masyarakat paternalistik yang lebih banyak tergantung kepada pemimpinnya. Menurut Moeljono (2005:57) sektor dunia usaha, budaya untuk mencari fasilitas dan manajemen lobi ke pemerintah masih mendominasi. Sementara penjualan perusahaan nasional, khususnya swasta kepada asing yang terus berlangsung sebenarnya mencerminkan betapa organisasi bisnis di Indonesia belum mempunyai budaya organisasi yang kuat. Perusahaan multinasional (BUMN) dihinggapi penyakit birokrasi yang cenderung membesar, lamban, congkak, dan acuh terhadap customer, sering bias dengan kepentingan pemerintah yang cenderung memonopoli. Di sektor pemerintahan, menunjukkan sifat unik organisasi pada penataan struktur, aturan dibuat tetapi sulit ditegakkan, meritokrasi yang masih diupayakan, begitupun pencapaian hasil masih kurang efisien. Dalam hal kasus di Indonesia tersebut, masih perlu didalamo secara lebih intensif, terutama dalam kasus dunia usaha dan birokrasi pemerintahan. Hal ini menjadi sangat penting terutama dalam kerangka mambangun organisasi yang berkinerja tinggi. Kesadaran para karyawan ataupun pimpinannya akan pengaruh positif budaya organisasi terhadap produktivitas organisasi akan memberikan motivasi yang kuat untuk mempertahankan,
memelihara,
dan
mengembangankan
budaya
organisasi yang dimiliki, sehingga merupakan daya dorong yang kuat untuk kemajuan organisasi. Sebagaimana temuan Kotter dan Hesket
7
dan Lainnya, menunjukkan organisasi berprestasi karena ditopang budaya organisasi yang kuat. Pemilihan lokasi penelitian di rumah sakit, karena pertimbangan fungsi rumah sakit disatu sisi berorientasi keuntungan dan disisi lain berfungsi sosial. Pertimbangan yang lain, objek yang dihadapi rumah sakit adalah manusia yang berkaitan dengan tata tingkah laku sebagai produk dari nilai dan asumsi. Mengenai alsan pemilihan organisasi pemerintah
Kota
Makassar
sebagai
lokasi
penelitian
adalah,
berdasarkan hasil survey pelayanan publik dari tiga lembaga (Bappenas, KPK, dan ICW), menempatkan Sulawesi selatan terburuk di Indonesia dalam hal pelayanan publik, termasuk pelayanan rumah sakit umum daerah kelas B (Nilai 4,75 dari skor tertinggi 10) (Versi Harian Fajar, 23 Desember 2009 Halaman 1), sehingga menjadi hal yang menarik untuk menjadi objek kajian karena pelayanana menunjukkan aspek internal organisasi, yaitu perilaku aparat dan proses yang berlangsung dalam organisasi. Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Budaya Organisasi dengan Efektivitas Kerja pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota Makassar”. I.2. Rumusan Masalah Perspektif
budaya
di
lingkungan
organisasi
merupakan
seperangkat kerangka kerja yang membimbing orang-orang untuk 8
bersikap dan berperilaku tepat demi keberhasilan organisasi. Budaya organisasi member arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Implikasinya menyangkut percepatan peningkatan kualitas kinerja pada organisasi memerlukan komitmen yang
kuat,
kreativitas,
inovasi,
dan
terobosan
dalam
mengimplementasikan kebijakan di dalam organisasi. Hubungan antar budaya dan efektivitas organisasi, di pandang sebagai kesuksesan organisasi disebabkan oleh kombinasi dari nilai-nilai dan keyakinan, peraturan dan praktik, serta hubungan antar keduanya. konsekuensi logis hal tersebut adalah diperlukan identifikasi cirri budaya organisasi yang berperan kuat dalam mendukung efektivitas organisasi. Dengan komposisi yang seimbang terkait empat sifat utama budaya; keterlibatan, konsistensi, beradaptasi, dan misi. Organisasi dapat dengan mudah menjadi efektif. Kemampuan bersaing secara efektif, semua organisasi dihadapkan pada sejumlah tantangan yang saling bertentangan, sebagaian besar organisasi harus secara simultan melengkapi integrasi internal dan koordinasi dengan adaptasi eksternal, mencapai komposisi yang seimbang stabilitas dan fleksibilitas. Berdasarkan asumsi tersebut, kerangka kerja untuk menguji gagasan bahwa budaya berpengaruh pada efektivitas organisasi, adalah mengembangkan pemahaman tentang bagaimana menggabungkan ciri-
9
ciri
budaya
untuk
mempengaruhi
efektivitas
organisasi
dengan
komposisi yang seimbang karena hal ini memudahkan organisasi menjadi efektiv. Dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan dikaji lebih mendalam, diarahkan pada: Apakah terdapat hubungan budaya organisasi dengan efektivitas organisasi pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar. I.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah : Untuk
mengetahui
hubungan
budaya
organisasi
dengan
efektivitas organisasi pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar. I.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis Sebagaimana sumber informasi ataupun referensi bagi civitas akademika yang ingin mengetahui tentang hubungan budaya organisasi dengan efektivitas organisasi pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar. 2. Manfaat Praktis Penemuan keterkaitan ciri budaya organisasi
dengan
efektivitas organisasi, maka secara teknis dapat digunakan sebagai instrument pengukur tingkat kekuatan masing-masing dimensi budaya terhadap efektivitas organisasi.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Landasan Teori II.1.1. Konsep Budaya Organisasi Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru, perkembangan sekitar awal tahun 1980-an istilah budaya organisasi mulai popular. Selain artikel ilmiah dan buku ilmiah, dua jurnal ilmiah yaitu Administrative Science Quarterly (ASQ) dan Organizational Dynamic (OD) tahun 1983 menerbitkan edisi khusus yang memuat berbagai tulisan budaya organisasi ikut mempopulerkan istilah budaya orgnasisasi corporate
dengan culture,
menggunakan
istilah
organizational
symbols/symbolism,
organizational
culture, manager
symbols/symbolism. Konsep ini, diakui teoritis organisasi, diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin antropologi. Oleh karenanya, keragaman pengertian budaya organisasi pada disiplin antropologi akan berpengaruh terhadap keragaman pengertian budaya pada disiplin organisasi. Pengertian budaya telah banyak didefinisikan oleh para ahli budaya.
Menurut
Terrence
Deal
and
Allan
Kennedy
(1982:4)
mengatakan culture is a system of shared values and benefit that interact with an organization’s people, organizational structures, and control systems to produce behavioral norms. Budaya adalah suatu system pembagian nilai dan kepercayaan yang berinteraksi dengan
11
orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi, dan system control yang menghasilkan norma perilaku. Edgar H. Schein mendefinisikan budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut. Phithi
Sithi
Amnuai
mendefinisikan
budaya
organisasi
adalah
seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggotaanggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Keterkaitan budaya organisasi dengan efektivitas organisasi dekemukakan
Denison
(1990:5)
bahwa
efektivitas
organisasi
desebabkan oleh kombinasi dari nilai-nilai dan keyakinan, peraturan dan praktik serta hubungan antara keduanya. Gabungan ketiga elemen tersebut dikenal dengan istilah budaya organisasi yang terdiri dari tiga dimensi yaitu involvement (keterlibatan), consistency (konsistensi) dan adaptability (adaptabilitas), selanjutnya di kemukakan Denison (1990:15) organisasi yang menampilkan gabungan sifat keterlibatan, konsistensi kemampuan beradaptasi menujukkan pengaruh lebih tinggi tingkat efektivitas organisasi.
12
Involvement (keterlibatan) yang dimaksud yaitu inisiatif individual adalah kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Keterlibatan tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untu memajukan dan mengembangkan organisasi/perusahaan. Consistency (konsistensi) konsistensi dimaksudkan sejauh mana para
anggota/karyawan
suatu
organisasi/perusahaan
dapat
mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian professional tertentu. Adaptation (adaptasi) perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/perusahaan terhadap perubahan lingkungan. Elemen Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi yang membentuk perilaku anggota organisasi dalam mencapai tujuannya, melalui pemahaman yang baik terhadap elemen-elemen pembentuk budaya seperti keyakinan, tata nilai, atau adat kebiasaan. Semakin anggota
organisasi
memahami,
mengakui,
menjiwai,
dan
mempraktekkan keyakinan, tata nilai atau adat kebiasaan tersebut dan semakin tinggi tingkat kesadaran mereka, budaya organisasi akan semakin eksis dan lestari. Artinya budaya organisasi merupakan
13
keyakinan setiap orang di dalam organisasi akan jati diri yang secara idiologis dapat memperkuat eksistensi organisasi baik ke dalam sebagai pengikat atau simpul organisasi dan keluar sebagai identitas sekaligus kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi organisasi. Budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen, perbedaan budaya satu organisasi dengan organisasi lainnya terletak pada elemen budaya organisasi, sehingga setiap elemen memerlukan pemahaman tersendiri agar member pemahaman budaya secara utuh. Beberapa ahli mengemukakan elemen budaya organisasi, seperti Denison (1990) nilainilai,
keyakinan
dan
prinsip-prinsip
dasar,
dan
praktek-praktek
manajemen serta perilaku; Schwartz dan Davis (1981) kepercayaan, harapan dan norma; Schein (1992) pola asumsi dasar bersama, nilai dan cara untuk melihat, berfikir dan merasakan, dan artifak; Cartwright (1999) rentangan sistematis, proses pembelajaran, menciptakan cara hidup, dan adaptasi lingkungan; dan Hofstede (2005) symbol, pahlawan, ritual, dan nilai. Deal dan Kennedy (1982) nilai, keteladanan, lingkungan organisasi, rutinitas dan jaringan komunikasi. Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen budaya organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok yaitu elemen yang bersifat idealistic dan elemen yang bersifat perilaku.
14
Elemen Idealistik Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang masih kecil melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-niali individual pendiri atau pemilik organisasi dan menjadi
pedoman
untuk
menentukan
arah
tujuan
menjalankan
kehidupan sehari-hari organisasi. Elemen idealistic ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk pernyataan visi atau misi organisasi, tujuannya tidak lain agar ideology organisasi tetap lestari. Stanley Davis (1994) menyebutkan elemen idealistic ini sebagai “guilding believe”- keyakinan menjadi penuntun kehidupan sehari-hari sebagai sebuah organisasi, dan Hofstede (2005) menyebut sebagai organizational values (nilai-nilai organisasi). Sementara Schein (1992) dan Rosseau (1990) mengatakan elemen idealistic tidak hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial yakni asumsi dasar yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan diluar kesadaran, asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahanya. Asumsi dasar ini merupakan postulat bagi sebuah organisasi. Itulah sebabnya Schein (1992) dan Rousseau (1992) menganggap akar dari budaya organisasi bukan terletak pada nilai-nilai organisasi tetapi pada asumsi dasarnya. Elemen ini tidak tampak kepermukaan, elemen ini disebut pula sebagai inti dari budaya organisasi dan berisikan apa sesungguhnya ideology mereka dan mengapa organisasi tersebut didirikan. Hal senada diungkapkan oleh
15
Bath Consulting Group, diwakili oleh Peter Hawkins (1997) mengatakan komponen ideal budaya organisasi terdiri dari tiga unsure yakni: mindset, emotional ground dan motivational roots. Mindset identik dengan nilai-nilai organisasi yaitu cara padang organisasi terhadap lingkungan yang menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap
keliru.
Meskipun
masing-masing
mempunyai
pendapat
berbeda tentang komponen idealistic budaya organisasi, mereka pada dasarnya sepakat bahwa elemen idealistic merupakan inti budaya organisasi (core of culture), dan arena itu pula budaya organisasi sering disebut ruh organisasi karena karakteristik sebuah organisasi sangat bergantung pada elemen ini. Elemen Behavioural Elemen bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
kepermukaan
dalam
bentuk
perilaku sehari-sehari
para
anggotanya, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi. Dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang luar organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan, meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan
interpretasi
orang-orang
yang
terlibat
langsung
dalam
organisasi. Ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasikan dan memahami budaya sebuah organisasi, dilakukan dengan cara 16
mengamati bagaimana anggota organisasi berperilaku dan kebiasaankebiasaan lain yang mereka lakukan. Davis (1984) menyebutnya sebagai daily belief-praktik sehari-hari sebuah organisasi. Dalam uraian Hofstede (2005:292) kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk praktikpraktik manajemen, apakah sebuah organisasi lebih berorientasi pada proses atau hasil; lebih peduli pada kepentingan karyawan atau pekerjaan; lebih parochial atau professional; lebih terbuka atau tertutup; dan lebih pragmatis atau normative, sebagai orientasi organisasi kedepan.
Sementara
itu
Schein
(1992)
dan
Rousseau
(1992)
mengatakan kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk artefak, termasuk di dalamnya perilaku anggota organisasi. Gambaran tingkat sensitivitas setiap elemen budaya organisasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan diberikan oleh Rousseau (1992:57) bahwa kulit paling luar sangat mudah mengelupas, semakin kedalam semakin tidak mudah mengelupas dan isinya hamper tidak pernah
mengelupas.
Dalam
hal
budaya
organisasi,
kulit
luar
menggambarkan elemen budaya yang bersifat behavioral yang mudah berubah. Hal ini bisa diartikan artefak sebagai komponen budaya terluar yang paling mudah berubah sedangkan asumsi dasar merupakan komponen yang paling tidak mudah berubah. Meskipun kulit luarnya mudah mengelupas sedangkan isinya tidak mudah berubah, keduanya merupakan komponen yang saling terikat.
17
Keterkaitan antara elemen idealistic dan elemen behavioral digambarkan oleh Schein (1992:17) seperti berikut : Gambar 1: Model Level Budaya Menurut Edgar H. Schein 1992 hal.17 Visible organizational structures and
ARTIFACTS
processes (hard to decipher)
ESPUSED VALUES
Strategies,
goals,
philosophies
(espoused justifications)
Unconscious, taken for granted beliefs,
BASIC UNDERLYING ASSUMPTIONS
perceptions,
thoughts,
and
feelings
(ultimate source of values and action)
Keberadaan elemen ini dilukiskan pada garis vertical dua arah pada gambar sebelah kiri, asumsi dasar yang diterima apa adanya secara berturut-turut akan mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang lebih bisa diterima baik oleh lingkungan internal maupun lingkungan eksternal organisasi. Selanjutnya, nilai-nilai organisasi akan mempengaruhi artefak dan kreasi manusia dalam lingkungan internal organisasi. Demikian
sebaliknya
artefak
dan
kreasi
manusia
juga
akan
mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang secara tidak langsung akan mempengaruhi asumsi dasarnya. 18
Aspek budaya organisasi juga dapat dianalisa dari dimensi yang membentuknya, Schein (1992:19) mengemukakan dalam 3 level: Level 1 Artifacts adalah produk-produk nyata dari kelompok seperti arsitektur lingkungan fisik, bahasa, teknologi, kreasi artistic, tata
ruang,
cara
berpakaian,
cara
berbicara,
cara
mengungkapkan perasaan, cerita tentang mitos dan sejarah organisasi, daftar nilai-nilai yang dipublikasikan, kegiatan ritual dan seremonial, serta perilaku. Untuk tujuan analisi tingkatan tersebut termasuk perilaku yang tampak dari kelompok dan proses keorganisasian yang dilakukan secara rutin. Level 2 values adalah apa yang secara ideal menjadi alasan untuk berprilaku. Nila-nilai merupakan sesuatu yang berharga untuk dipahami,
dan
dikerjakan
sebagai
landasan
komitmen
organisasi. Nilai-nilai biasanya ditemukan oleh para pendiri organisasi seperti strategi-strategi, tujuan-tujuan, filosofi serta cara pencapaian tujuan-tujuan. Bentuk nyata dari nilai-nilai dapat berupa: filosofi; visi; disiplin kerja; system balas jasa; cara berinteraksi. Level 3 basic underlying assumptions adalah apa yang tidak disadari, tetapi secara actual menentukan bagaimana anggota organisasi mengamati, berpikir, merasakan dan bertindak. Inti budaya organisasi adalah saling keterkaitan antara elemenelemen yang bersifat ideational dan behavioral, dimana budaya
19
organisasi terbentuk bukan semata-mata karena pengaruh salah satu elemen terhadap elemen yang lain tetapi merupakan interaksi keduanya, karena substansi kedua konsep tersebut sesungguhnya tidak berbeda. Kesamaan ini terjadi khususnya ketika para peneliti budaya organisasi menganggap baahwa budaya organisasi bisa dipahami melalui dimensidimensinya. Pengunaan dimensi sebagai cara untuk mengetahui lingkungan internal organisasi sudah sejak semula telah digunakan seperti Schein (1992), Deal dan Kennedy (1984), Kotter dan Heskett (1992), Hofstede dan Hofstede (2005), demikian pula Dennison (1990) dalam penelitian budaya organisasi, melalui kajian keterkaitan antara budaya organisasi dengan efektivitas organisasi dengan menganlisa budaya
organisasi
dalam
empat
dimensi
yakni:
involvement,
consistency, adaptability, dan mission. Bila diambil secara terpisah, masing-masing dimensiyang dikemukakan tersebut menunjukkan ide sentral
tentang
determinan-determinan
budaya
dan
keefektifan
organisasi. System yang berorientasi ke arah adaptabilitas dan keterlibatan akan lebih banyak keragaman, lebih banyak input, dan lebih banyak solusi terhadap situasi tertentu. Selanjutnya kearah konsistensi dan misi lebih mungkin untuk mengurangi keragaman dan memberi penekanan yang lebih tinggi pada kontrol dan stabilitas. Orientasi kearah kontol dan stabilitas ini kemungkinan paling baik melayani situasi dimana didalam organisasi memberi sekumpulan respon yang terbatas namun tepat dan
20
disesuaikan dengan lingkungan yang stabil. Senada hal ini Schein (1992:12) mengartikan budaya sebagai asumsi dasar bersama bahwa kelompok belajar seperti memecahkan masalah-masalahnya adaptasi eksternal dan inegrasi internal. Meskipun masing-masing dari empat dimensi dalam kerangka ini mewakili jalur terpisah dimana budaya organisasi memiliki dampak positif pada kefektifan organisasi, namun kerangka ini mengasumsikan bahwa budaya yang efektif harus menyediakan keempat elemen ini, budaya yang pada saat yang sama bersifat adaptif, namun sangat konsisten, rensponsif terhadap keterlibatan individual, tetapi didalam konteks misi bersama yang kuat, akan menjadi paling efektif (Denison, 1990:15). Fokus dari penelitian ini didasarkan pada model budaya organisasi dengan keempat sifat budaya yang dalam beberapa literatur memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi, yakni: keterlibatan, konsistensi, beradaptasi, dan misi (Denison 1990; Denison dan Mishra, 1995; Brown, 1995; Sorensen, 1999; Kotter dan Heskett, 1992; Brown, 1995; Alveson, 2001). Budaya Organisasi Kuat Deal dan Kennedy (1982) dalam bukunya Corporate Culture mengemukakan bahwa ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya organisasi kuat sebagai berikut: a. Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik. 21
b. Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam perusahaan digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang di dalam perusahaan sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif. c. Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam perusahaan, dari mereka yang berpangkat paling rendah sampai pada pimpinan tertinggi. d. Organisasi/perusahaan
memberikan
tempat
khusus
kepada
pahlawan-pahlawan perusahaan dan secara sistematis menciptakan bermacam-macam tingkat pahlawan, misalnya, pramujual terbaik bulan ini, pemberi saran terbaik, pengemudi terbaik, innovator tahun ini, dan sebagainya. e. Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan ritual yang mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan waktunya untuk menghadiri acara-acara ritual ini. f. Memiliki jaringan kulturul yang menampung cerita-cerita kehebatan para pahlawannya. Sedangkan menurut Reimann dan Weinner (1988), budaya organisasi
yang
kuat
akan
membantu
perusahaan
memberikan
kepastian bagi seluruh individu yang ada dalam organisasi untuk berkembang bersama perusahaan dan bersama-sama meningkatkan
22
kegiatan usaha dalam menghadapi persaingan, walaupun tingkat pertumbuhan dari masing-masing individu sangat bervariasi. Selanjutnya S.P. Robbins mengemukakan ciri-ciri budaya kuat, antara lain: a. Menurunnya tingkat keluarnya karyawan. b. Ada kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi. c. Ada pembinaan kohesif, kesetiaan, dan komitmen organisasi. Sedangkan Sathe (1985) menyatakan ada tiga ciri khas budaya kuat, yaitu kekokohan nilai-nilai inti (thickness), penyebarluasan nilainilai (extent of sharing), dan kejelasan nilai-nilai (clarity of ordering). Fungsi Budaya Organisasi Ada beberapa pendapat mengenai fungsi budaya organisasi, yaitu sebagai berikut: 1. Stephen P. Robbins dalam
bukunya
Organizational Behavior
membagi lima fungsi budaya organisasi, sebagai berikut: a. Berperan menetapkan batasan. b. Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi. c. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individual seseorang. d. Meningkatkan stabilitas system sosial karena merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.
23
e. Sebagai mekanisme control dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. 2. Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership membagi
fungsi
budaya
organisasi
berdasarkan
tahap
pengembangannya, yaitu a. Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kelompok atau organisasi lain. b. Fase pertengahan hidup organisasi Pada fase ini, budaya organisasi berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru sebagai penyelamat krisis identitas
dan
membuka
kesempatan
untuk
mengarahkan
perubahan budaya organisasi. c. Fase dewasa Pada fase ini, budaya organisasi dapat sebagai penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri. 3. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki dalam bukunya Organizational Behavior membagi empat fungsi budaya organisasi, yaitu: a. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya. b. Mempermudah komitmen kolektif. c. Mempromosikan stabilitas system sosial.
24
d. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaanya. II.1.2. Konsep Efektivitas Organisasi Istilah efektif berasal dari bahasa inggris effective artinya berhasil, sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Robbins (2005:27) mendefinisikan efektivitas sebagai tingkat pencapaian organisasi jangka panjang dan jangka pendek. Rumah sakit misalnya, dikatakan efektif jika ia berhasil memenuhi kebutuhan para kliennya dan rumaha sakit itu efisien jika ia dapat hal itu dengan biaya yang rendah. Gibson et al. (1992:25) mengemukakan definisi keefektifan sebagai penilaian yang kita buat sehubungan denga prestasi individu, kelompok dan organisasi. Makin dekat prestasi mereka terhadap prestasi yang diharapkan, makin lebih efektif kita menilai mereka. Pendapat ini menyatakan istilah keefektifan dengan prestasi. Pengertian ini sama dengan yang dikemukakan Etzioni (1976:8) bahwa efektivitas aktual dari suatu organisasi tertentu ditentukan oleh tingkat sejauh mana organisasi tersebut meralisasikan tujuannya. The actual effectiviness of a specific organization is determined by the degree to which is realizd its goals. Streers (1985:8) keefektifan organisasi menekankan perhatian pada kesesuain hasil yang dicapai organisasi dengan tujuan yang akan dicapai, dan Coole Tobert dalam sagala (2007:159) bahwa keefektifan organisasi adalah kesesuaian hasil yang dicapai oragnisasi dengan tujuannya.
25
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
sasarannya
atau
dapat
dikatakan
bahwa
efektivitas
merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi-aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Gibson (1984:38) mengungkapkan tiga pendekatan mengenai efektivitas yaitu: Pendekatan Tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi efektivitas merupakan pendekatan tertua dan paling luas digunakan. Menurut pendekatan ini, keberadaan organisasi dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan tujuan menekankan peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai kriteria untuk menilai efektivitas serta mempunyai pengaruh yang kuat atas pengembangan teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi, tetapi sulit memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap pendekatan tujuan ini adalah pendekatan teori sistem. Pendekatan Teori Sistem. Teori sistem menekankan pada pertahanan
elemen
dasar
masukan-proses-pengeluaran
dan
mengadaptasi terhadap lingkungan yang lebih luas yang menopang organisasi. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar, dimana organisasi menjadi bagiannya. Konsep
26
organisasi sebagian suatu sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar memperkenalkan pentingnya umpan balik yang ditujukan sebagai informasi mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau serangkaian tindakan oleh seseorang, kelompok atau organisasi. Teori sistem juga menekankan pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem dapat disimpulkan: (1) Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus masukan-proses-keluaran, bukan keluaran yang sederhana, dan (2) Kriteria efektivitas harus mencerminkan hubungan antar organisasi dan lingkungn yang lebih besar dimana organisasai itu berada. Jadi: (1) Efektivitas organisasi adalah konsep dengan cakupan luas termasuk sejumlah
konsep komponen. (3) Tugas manajerial adalah menjaga
keseimbangan optimal antara komponen dan bagiannya Pendekatan
Multiple
Constituency.
Pendekatan
ini
adalah
perspepktif yang menekankan pentingnya hubungan relatif di antara kepentingan kelompok dan individual dalam hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan
ini
memungkinkan
mengkombinasikan
tujuan
dan
pendekatan sistem guna memperoleh pendekatan yang lebih tepat bagi efektivitas organisasi. Robbins (1994:54) mengungkapkan juga mengenai pendekatan dalam efektivitas organisasi:
27
Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach). Pendekatan ini memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat dari pencapaian tujuannya (ends) daripada caranya (means). Kriteria pendekatan yang populer digunakan adalah memaksimalkan laba, memenangkan persaingan dan lain sebaginya. Metode manajemen yang terkait dengan pendekatan ini dekenal dengan Manajemen By Objectives (MBO) yaitu falsafah manajemen yang menilai keefektifan organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa jauh mereka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan sistem. Pendekatan ini menekankan bahwa untuk meningkatkan kelangsungan hidup organisasi, maka perlu diperhatikan adalah sumber daya manusianya, mempertahankan diri secara internal dan memperbaiki struktur organisasi dan pemanfaatan teknologi agar dapat berintegrasi dengan organisasi didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing nilai selanjutnya lebih disukai berdasarkan daur hidup di mana organisasi itu berada. Berdasarkan
pendapat
di
atas,
dapat
diketahui
bahwa
pendekatan tujuan didasarkan pada pandangan organisasi diciptakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam teori sistem, organisasi dipandang sebagai suatu unsur dari sejumlah unsur yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Sedangkan pendekatan
yang
pendekatan
Multiple
menggabungkan
Constituency
pendekatan
merupakan
tujuan
dengan
28
pendekatan sistem sehingga diperoleh satu pendekatan yang lebih tepat bagi tercapainya efektivitas organisasi. Sedangkan untuk pendekatan nilai-nilai bersaing merupakan pendekatan yang menyatukan ketiga pendekatan yang telah dikemukakan di atas yang disesuaikan dengan nilai suatu kelompok. Berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam efektivitas organisasi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi adalah sebagai berikut: (1) Adanya tujuan yang jelas, (2) Struktur organisasi. (3) Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, (4) Adanya sistem nilai yang dianut. Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya tujuan organisasi mencakup beberapa fungsi diantaranya yaitu memberikan pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh organisasi. Selama ini untuk menilai apakah organisasi itu efektif atau tidak, secara keseluruhan ditentukan oleh apakah tujuan organisasi itu tercapai atau tidak. Akan tetapi, dalam kenyataan akan sangatlah sulit untuk meilhat atu mempersamakan efektivitas organisasi dengan tingkat keberhasilan dengan pencapaian tujuan. Hal ini disebabkan selain karena selalu ada penyesuain dengan target yang akan dicapai, juga
29
dalam proses pencapaiannya sering kali ada tekanan dari keadaan sekeliling. Kenyataan tersebut selanjutnya menyebabkan jarang sekali target dapat dicapai secara keseluruhan. Dengan melihat organisasi sebagai sistem, pengertian efektivitas sedikit mengalami pergeseran, yaitu selain
berkaitan dengan aspek
intern organisasi, juga berhubungan dengan aspek luar organisasi, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan keadaan sekeliling. Baik aspek intern organisasi (efisiensi) maupun perubahab tersebut haruslah berkaitan dengan dinamika hubungan antar-personal suatu sistem secara keseluruhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus mendapat perhatian yang seriuas apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas. Richard M Steers (1985:209) menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yaitu: Tabel 1. Faktor-faktor yang menunjang efektivitas organisasi
30
Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi. Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu rganisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi. Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi
sehingga
efektivitas
tercapai.
Kebijakan
dan
praktek
manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan
31
kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia, tidak hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan inovasi organisasi. Suatu
organisasi
tidak
memperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi efektivitas organisasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuannya tetapi apabila suatu perusahaan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dapat lebih mudah tercapai hal itu dikarenakan efektivitas akan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Tercapainya tingkat efektivitas yang tinggi perlu memperhatikan kriteri-kriteri efektivitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard M Steers (1985:46) sebagai berikut: (1) Produktivitas. (2) Kemampuan berlaba. (3) Kesejahteraan pegawai. Secara lebih operasional, Emitai Atzoni yang dikutip oleh Indrawijaya (1989:227) mengemukakan “efektivitas organisasi akan tercapai apabila organisasi tersebut memenuhi kriteria mampu beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi, dan melaksanakan produksi dengan baik”. Gibson (1984:32-34) berpendapat bahwa kriteria efektivitas meliputi: 1. Kriteria efektivitas jangka pendek: Produksi, Efisiensi, Kepuasan.
32
2. Kriteria
efektivitas
jangka
menengah:
Persaingan,
dan
Pengembangan 3. Kriteria efektivitas jangka panjang 4. Kelangsungan hidup Sondang P Siagian (2000:32) mengungkapkan beberapa hal yang menjadi kriteria dalam pengukuran efektivitas: Efektivitas dapat diukur dari berbagai hal, yaitu: kejelasan tujuan yang hendak dicapai, kejelasan strategi pencapaian tujuan, proses analisa dan perumusan kebijakan yang mantap, perencanaan yang matang, penyusunan program yang tepat, tersedianya sarana dan prasarana kerja, pelaksanaan yang efektif dan efisien, sistem pengawasan dan pengendalian yang mendidik. Stephen P. Robbins (1994 : 55) mengungkapkan kriteria efektivitas organisasi sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria efektivitas organisasi
33
Robbins menegaskan bahwa kriteria tersebut tidak semuanya relevan bagi organisasi, beberapa diantaranya lebih penting dari yang lain. Berdasarkan berbagai pemikiran kriteria
efektivitas organisasi
tersebut maka kriteria pengukuran efektifitas organisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria efektivitas yang dikemukakan oleh James L. Gibson yaitu ; Produktifitas, efisiensi, kepuasan, Fleksibilitas dan perkembangan . Kelima kriteria efektivitas ini sesuai dengan kriteria Gibson yang dalam bukunya Organisasi dan Manajemen yang pada dasarnya termasuk dalam
ketiga puluh kriteria efektivitas Campbell.
Khusus kriteria kepuasan dijelaskan juga oleh Streers, dan kriteria efisiensi dan adaptasi atau fleksibilitas juga dijelaskan oleh Tayson dan Jaekson. Produksi,
menggambarkan
kemampuan
organisasi
untuk
memproduksi jumlah dan mutu output yang sesuai dengan permintaan lingkungan. Dalam konsep ini tidak termasuk pertimbangan tentang efisiensi yaitu perhitungan nisbah biaya dan keluaran. Ukuran tentang produksi meliputi laba, penjualan, bagian pasar (market share), mahasiswa yang lulus, pasien yang sembuh, dokumen yang diproses, pelanggan yang dilayani, dan sebagainya. Ukuran ini berhubungan secara langsung dengan output yang dikonsumsi oleh pelanggan organisasi.
34
Efisiensi menurut Redford (1975:5) adalah rasio antara input dan output, usaha dan hasil, belanja dan pendapatan, biaya dan keuntungan. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Simon (2004:263), yang menjelaskan bahwa efisiensi adalah perbandingan antara input dan output, tenaga dan hasil, pembelanjaan dan pemasukan, biaya (ongkos) dan kesenangan yang dihasilakan. Hal ini berarti efisiensi diukur dari rasio antara apa yang diperoleh dengan sumber-sumber yang digunakan. Selanjutnya Redford menjelaskan bahwa efisiensi merupakan sesuatu yang netral dalam konteks tujuan akhir atau cara. Hal ini tidak dimaksudkan untuk memperbandingkan nilai dari cara alternatif seperti diantara mesin dan manusia, yang dapat digunakan dalm mencapai sasaran akhir. Akan tetapi hanya menekankan pada ide bahwa hasil seharusnya dimaksimalkan dan biaya diminimalkan. Konsep efisiensi bagaimanapun memberikan perbandingan pada tipe biaya dan semua tipe hasil, seperti efisiensi manusia yang melibatkan biaya pada kehidupan manusia, dan efisiensi sosial yang mencakup total hasil untuk suatu masyarakat. Kepuasan kerja menurut Kreitner dan Kinicki (2003:271), adalah suatu respon emosional terhadap berbagai aspek pekrjaaan. Definisi ini berarti bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal. Sebaliknya, seseorang dapat relatif puas dari suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah sattu atau lebih aspek
35
lainnya. Kepuasan kerja jika dikaitkan dengan toeri Herzberg dalam Gibson, dkk (1987:107), lebih sering berkaitan dengan prestasi, pengakuan, karakteristik pekerjaan, tanggung jawab, dan kemajuan. Adapun ketidak pastian pekerjaan terutama berkaitan dengan faktorfaktor dalam konteks pekerjaan dan lingkungan, seperti; kebijakan dan administrasi organisasi, pengawasan teknis, gaji, hubungan antar pribadi dengan pengawas, dan kondisi kerja. Fleksibilitas merupakan sampai seberapa jauh organisasi dapat menaggapi perubahan intern dan ekstern. Tetapi, berbeda dengan penggunaan di tempat lain, fleksibilitas disini dipandang sebagai kriteria menengah: fleksibilitas bersifat lebih abstrak daripada produksi,efisiensi, atau
kepuasan.
Kriteria
ini
berhubungan
dengan
kemampuan
manajemen untuk menduga adanya perubahan dalam lingkungan maupun dalam organisasi itu sendiri. Jika perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri, maka kelangsungan hidupnya terancam. Ukuran yang biasa dari fleksibilitas untuk keperluan riset, dapat diperoleh dari jawaban
atas
pertanyaan
(questionnaires).
Manajemen
dapat
menggunakan kebijakan yang dapat merangsang kesiapan-kesiapan terhadap perubahan. Perkembangan.
Organisasi
harus
menginvestasi
dalam
organisasi itu sendiri untuk memperluas kemampuannya untuk hidup terus (survive) dalam jangka-panjang. Usaha pengembangan yang biasa dilakukan adalah program pelatihan bagi tenaga manajemen dan non-
36
manajemen, tetapi sekarang ini perkembangan organisasi telah bertambah
banyakmacamnya
dan
meliputi
sejumlah
pendekatan
psikologis dan sosiologis. II.1.3. Hubungan Budaya Organisasi dengan Efektivitas Organisasi Budaya organisasi kerap kali digunakan sebagai alat dan kunci untuk keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian strategi usaha organisasi. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan pada budaya organisasi sebagai suatu tonggak atau pondasi yang harus dimiliki organisasi, dimana budaya organisasi akan menentukan kontinuitas kinerja organisasi dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Manfaat besarnya adanya budaya organisasi adalah dimana anggotanya atau karyawan dapat terfokuskan dan tercurahkan segala perhatian pada system nilai-nilai yang ada dan berlaku di dalam organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja individual. Hal ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Robbins (2005) budaya organisasi yang kuat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa semua orang yang berada di dalam organisasi diarahkan kesuatu pandangan arah yang sama. Selain itu Luthans (2006) melihat budaya organisasi memberikan
arah
dan
memperkuat
standar
perilaku
untuk
mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.
37
Budaya organisasi yang kondusif menciptakan kinerja yang unggul, karena budaya yang kuat berkaitan tingkat motivasi yang tinggi dalam diri anggota organisasi, memberikan struktur dan control yang dibutuhkan, juga mendorong semua anggota organisasi mempunyai komitmen terhadap kemajuan organisasi. Penelitian oleh Denison 1990; Janovics et al., 2006; dan Roldan and Bay, 2009, menyajikan empiris penelitian
untuk
mencirikan
fenomena
budaya
organisasi
dan
dampaknya terhadap proses dan hasil organisasi, terutama pada efektivitas pada berbagai konteks organisasi. Menurut Denison (1990), dan Kotter dan Heskett (1992), keberhasilan perusahaan bukan sekedar mempunyai budaya yang kuat tetapi budaya yang kuat tersebut harus cocok dengan lingkungannya. Pendapat ini didukung oleh Schein (1992:51) bahwa peran budaya adalah untuk mengintegrasikan lingkungan internal dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal, dan secara internal budaya organisasi harus selaras dengan strategi, struktur dan teknologi, system dan nilainilai dan individu dari anggota organisasi. Dengan demekian perspektif kaitan budaya organisasi dan kinerja organisasi tersebut, hanya budaya organisasi
yang
tepat
secara
kontekstual
atau
strategis
akan
diasosiasikan dengan kinerja yang unggul, dan semakin baik kecocokan semakin baik organisasi tersebut. Selanjutnya Denison (1990:15) mengemukakan empat dimensi dari budaya organisasi terkait dengan tingkat efektivitas organisasi, yakni: Involvement, consistency dan adaptability,. Involvement adalah dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi 38
karyawan (anggota organisasi) dalam proses pengambilan keputusan. Consistency menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi. Adaptability adalah kemampuan
organisasi
dalam
merespon
perubahan-perubahan
lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi. Hubungan ketiga dimensi budaya terhadap efektivitas organisasi melalui berbagai mekanisme atau cara yang spesifik digambarkan Denison dan Mishra (1995:2006) “However, culture influences a wide variety of performance indicators through a multitude of mechanisms”. II.2. Hipotesis Toeritik Budaya organisasi mempunyai hubungan langsung dan pengaruh yang signifikan pada efektivitas oraganisasi. Deal and Kennedy (1982), Denison (1990), dan Brown (1995). Lebih jelas lagi dikemukakan oleh Denison (1990) mendukung dengan kuat sifat keterlibatan, konsistensi, kemampuan
beradaptasi,
dari
budaya
organisasi
menunjukkan
signifikansi pengaruh pada efektivitas organisasi. II.3. Definisi Konseptual 1. Budaya
organisasi
adalah
tingkat
kemampuan
seperangkat
keyakinan, tata nilai, dan pola perilaku yang melekat pada sistem organisasi yang senantiasa mengontrol perilaku anggota organisasi beraktifitas dalam organisasi. 2. Efektivitas organisasi adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan dengan
usaha
kerjasama,
berkaitan
dengan
optimalisasi
ketercapaian rencana (target). 39
Kerangka Konseptual Gambar 2 Kerangka Konsep
Budaya Organisasi
1. Keterlibatan
Efektivitas Organisasi
1. Produktivitas 2. Efisiensi
2. Konsistensi
3. Kepuasan 4. Fleksibilitas
3. Adaptabilitas
5. Perkembangan
40
BAB III METODE PENELITIAN III.1. Pendekatan Penelitian Agar penelitian ini lebih terarah serta sesuai dengan tujuan yang diinginkan berdasarkan konsep yang dianjurkan, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yakni pencarian data atu informasi realitas permasalahan yang ada dengan mengacu pada pembuktian konsep
atau teori yang digunakan. Selain itu
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan yang ada antara variabel-variabel penelitian. III.2. Tipe Penelitian, Objek Penelitian, dan Unit Analisis III.2.1. Tipe dan Objek Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, metode ini digunakan dengan pertimbangan bahwa metode ini relevan dengan materi penulisan skripsi, dimana penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif yaitu menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang objektif.
III.2.2. Unit Analisis Penelitian Unit analisis pada penelitian ini yaitu Individu, dalam lingkup rumah sakit Stella Maris Kota Makassar.
41
III.3.
Populasi, Sampel dan Tehnik Penarikan Sampel Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya sedangkan Arikunto (1996) populasi adalah keseluruhan subjek penlitian. Yang merupakan populasi dalam penelitian ini adalah karyawan pada rumah sakit Stella Maris makassar. Populasi adalah keseluruhan objek yang mempunyai satu karakteristik yang sama. Yang merupakan populasi pada penelitian ini adalah karyawan rumah sakit Stella Maris makassar yang berjumlah 100 orang yang sekaligus menjadi sampel dalam penelitian ini.
III.4. Definisi Operasional 1) Budaya
organisasi
adalah
tingkat
kemampuan
sperangkat
keyakinan, tata nilai, dan pola perilaku yang melekat pada sistem organisasi senatiasa mengontrol perilaku anggota organisasi beraktifitas dalam organisasi. Dimensinya berupa: 1. Keterlibatan
adalah
tingkat
kemampuan
organisasi
memberdayakan dan melibatkan anggota organisasi secara baik sehingga timbul komitmen yang kuat pada pekerjaan mereka dan merasa dan merasa menjadi bagian dari organisasi. 2. Konsistensi adalah tingkat keberadaan sistem kepercayaan, nilai, dan simbol, yang yang secara luas dipahami dan dihayati
42
anggota organisasi, dan proses yang mantap meningkatkan kesejajaran dan efisiensi kerja dalam organisasi. 3. Adabtabilitas adalah kemampuan organisasi dalam merespon perubahan yang terjadi cepat dilingkungan eksternal dengan melakukan penyesuian internal organisasi. 2) Efektivitas organisasi adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan dengan
usaha
kerjasama,
berkaitan
dengan
optimalisasi
ketercapaian rencana (target). Dimana kriterianya adalah: 1. Produksi,
menggambarkan
kemampuan
organisasi
untuk
memproduksi jumlah dan mutu output yang sesuai dengan permintaan lingkungan. 2. Efisiensi, memberikan perbandingan pada tipe biaya dan semua tipe hasil, seperti efisiensi manusia yang melibatkan biaya pada kehidupan manusia, dan efisiensi sosial yang mencakup total hasil untuk suatu masyarakat. 3. Kepuasan, adalah suatu respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaaan yang berarti bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal namun sebaliknya, seseorang dapat relatif puas dari suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek lainnya. 4. Fleksibilitas, menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi dapat menanggapi perubahan intern dan ekstern.
43
5. Perkembangan,
merupakan
proses
terencana
untuk
mengembangkan kemampuan organisasi dalam kondisi dan tututan lingkungan yang selalu berubah, sehingga dapat mencapai kinerja yang yang optimal yang dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi.
III.5.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif.
Sedangkan sumber data yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau data yang bersumber dari informan yang diperoleh melalui kusioner dari para responden dan pengamatan langsung di lokasi penelitian sehubungan dengan permasalahan yang diteliti. b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku, catatan dan dokumen atau literatur, serta bacaan lain yang dijadikan referensi dalam menganalisa dat yang ditentukan. III.6. Instrumen Pengumpulan data Adapun
instrumen
pengumpulan
yang
digunakan
adalah
kuesioner. Dimana kuesioner adalah salah satu alat ukur dalam penelitian untuk melihat fenomena yang ada. Kusioner merupakan teknik pengumpulan data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. 44
III.7.
Tehnik Analisis Data Untuk menjawab pertanyaan permasalahan penelitian, maka data yang
diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan teknik kuantitatif yaitu data yang akan dianalisis dengan menggunakan data interval. Hasil analisisnya uraikan secara deskriptif dengan memberikan gambaran mengenai Budaya Organisasi terhadap efektivitas kinerja pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar . Untuk mengetahui tanggapan responden berdasarkan kelompok responden, data yang diperoleh diolah dalam bentuk persentase pada table frekuensi distribusi dengan rumus:
Dimana :
=
100
P : Persentase F : Frekuensi N ; Jumlah Responden
45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil dan Pembahasan IV.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar
terletak di jalan Dr.
Ratulangi No. 81 Kota Makassar Kota Makassar dengan luas tanah ± 14.402 m2 (Hasil pengukuran BPN, tanggal 1 Desember 2004 sesuai sertifikat) dan luas bangunan 22.738,1 m 2. IV.1.1.1.Sejarah Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar Rumah sakit umum Stella Maris didirikan oleh Zending Gereja Geroformat Surabaya, Malang dan Semarang sebagai Rumah Sakit Zending, yang diresmikan pasa tanggal 12 juni 1938 dengan kapasitas 25 buah tempat tidur. Tahun 1946-1948 Rumah Sakit Stella Maris mendapat bantuan dari Pemerintah Indonesia Timur (NIT), dengan merahibilitasi
gedung-gedung
yang
hancur
akibat
perang,
dan
digunakan untuk penampungan korban akibat perang tersebut. Sejak tahun 1955 Rumah Sakit Stella Maris dibiayai oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dan dikelola oleh dinas kesehatan Provinsi Dati I Sulawesi Selatan dengan klasifikasi Rumah Sakit Kelas C. Terhitung mulai tanggal 16 Januari 1996 melalui peraturan Daerah Propinsi Dati I Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 1996 kelas Rumah Sakit ditingkatkan
menjadi Rumaha Sakit Kelas B Non Pendidikan.
46
Peraturan tersebut disahkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Agustus 1996. IV.1.1.2.Visi – Misi, Tujuan, Motto, Falsafah, dan Nilai pada Rumah Sakit Umum Stella Maris 1. Visi Rumah Sakit Umum Stella Maris “Rumah Sakit Unggulan se Sulawesi Selatan” 2. Misi Rumah Sakit Umum Stella Maris -
Mewujudkan Frofesionalisme SDM
-
Meningkatkan sarana dan prasarana Rumaha Sakit
-
Meberikan Pelayanan Prima
-
Efisiensi Biaya Rumah Sakit
-
Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan
3. Tujuan Rumah Sakit Umum Stella Maris “Memberikan Kepuasan kepada Semua pelnggan agar tercipta citra baik Rumah Sakit Umum Stella Maris.” 4. Falsafah Rumah Sakit Umum Stella Maris “Bahwa kesehatan Jasmani maupun Rohani merupakan hak setiap orang; oleh karena itu rumah sakit berusaha untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat, baik bersifat
penyembuhan,
pemulihan,
pencegahan
maupun
peningkatan serta ditunjang oleh kualitas daya manusia yang memadai.”
47
5. Nilai-nilai pada Rumah Sakit Umum Stella Maris -
Kejujuran
-
Kerjasama
-
Tanggung jawab
-
Kesetiaan
-
Disiplin
IV.1.1.3.Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Stella Maris 1. Kedudukan RSU Stella Maris adalah Yayasan. 2. Tugas Pokok RSU Stella Maris mempunyai tugas: a. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna dan berhasilguna dengan mengutmakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan. b. Melaksanakan
pelayanan
yang
bermutu
sesuai
standar
pelayanan Rumah Sakit. 3. Susunan organisasi Badan RSU Stella Maris terdiri atas: a. Direktur b. Wakil direktur Medik dan Keperawatan c. Wakil Direktur Umum, Sumber Daya Manusia & Pendidikan d. Wakil Direktur Keuangan
48
e. Bidang Pelayanan Medik f. Bidang pelayan Keperawatan g. Bidang Fasilitas Medik dan Keperawatan h. Bagian Umum i.
Bagian Sumber Daya Manusia
j.
Bagian Pendidikan dan Penlitian
k. Bagian Perencanaan Dan Anggaran l.
Bagian Perbendaharaan dan Mobilisasi Dana
m. Bagian Akutansi n. Sub Bagian o. Seksi IV.1.1.4.Masalah serta Langkah dan Kebijakan yang dilakukan pada Rumah Sakit Umum Stella Maris 1. Adapun masalah pokok yang perlu ditindaklajuti pada RSU Stella Maris mendatang diantaranya: a. Sarana dan Prasarana rumah saki yang masih sangat terbatas b. Kualitas sumber daya manusia yang masih perlu ditingkatkan 2. Berdasarkan urutan prioritas masalah diatas, maka diambil langkah dan kebijakan sebagai berikut: a. Peningkatan saran dan prasarana rumah sakit berupa penambahan
ruang
perawatan
dan
perluasan
ruang
administrasi serta melengkapi peraltan medis dan non medis yang telah ada.
49
b. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan jalan mengikut sertakan petugas/tenaga kesehatan dalam pendidikan dan pelatihan dan seminar/simposium dengan harapan petugas dapat menjalankan tugas lebih profesional dengan memberikan pelayanan prima dan maksimal kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan. IV.1.1.5. Upaya Pelayanan Kesehatan pada RSU Stella Maris 1. Ketatausahaan a. Pelayanan Administrasi yaitu pelayanan yang dilakukan dalam hal persuratan dan pendataan terhadap pasien yang akan menggunakan jasa layanan pada RSU Stella Maris serta halhal yang berkaitan dengan proses administrasi itu sendiri. b. Pengembangan Sumber Daya Manusia
yang biasa di
laksanakan dalam bentuk pemberian pelatihan bagi pegawai yang berada dalam rumah sakit baik tenaga medis maupun non medis c. Pemantapan Administrasi dan Manajemen, dalam hal ini pemantapan jalur koordinasi antar pegawai dalam struktur organisasi di rumah sakit d. Pelaksanaan Protap secara utuh.
2. Pelayanan Dasar
50
a. Pelayanan pokok,antara lain: - Pelayanan pada poliklinik spesialistik yaitu pelayanan kepada pasien di RSU Stella Maris (Rawat Jalan). Fasilitas pelayanan medik untuk intstalsi rawat jalan dalam hal ini poliklinik terdiri ata 18 bagian poliklinik. - Pelayanan Rawat Inap yaitu pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dirawat/opname di RSUD Stella Maris. Kapasitas Perawatan Rawat Inap di RSUD Stella Maris terdiri dari 14 ruangan perawatan umum dan 6 ruangan perawatan
khusus
(Ruang
Bedah
Sentral,
Bedah
Kebidanan/Kandungan, Perawatan/ RPK, Rawat Intensif, Hemodialisa, Kamar Bersalin. - Pelayanan Rawat Darurat. Instalasi Rawat Darurat (IRD) melayani penderita yang tergolong rawat darurat selama 24 jam, namun tidak menutup kemungkinan merawat penderita yang bukan gawat darurat. IRD dipimpin oleh seorang dokter Spesialisasi Bedah dan dibantu oleh dua orang dokter umum sebagai kepala unit bedah dan kepala unit non-bedah. Ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) terdiri dari 13 ruangan perawatan medis yang sesuai dengan fungsinya masingmasing. - Pelayanan Intensif (ICU). Ruangan Instalasi Rawat Intensif saat ini tersedia kapasitas tempat tidur sebanyak 8 (delapan)
51
buah
tempat
tidur,
dengan
komposisi
tenaga
yang
menangani pelayanan perawatan intensif yaitu sebanyak: 1 (satu) orang dokter ahli anastesi, 7 (tujuh) orang perawat terlatih rawat intensif dan 1(satu) orang perawat. b. Pelayanan Penunjang antara lain: - Pelayanan Laboratorium merupakan bagian teknis rumah sakit yang melayani masalah hasil pemeriksaan dari pasien baik dari segi klinik maupun anatomi dari hasil proses bedah. Instalasi laboratorium terbagi atas 2(dua) bagian yaitu bagian patologi klinik dan bagian patologi anatomi. - Pelayanan Radiologi atau Instalasi Radiologi memberikan pelayanan selama 24 jam. Jenis pelayanan yang dapat diberikan berupa: Rontgen Photo dengan atau tanpa Kontras, UGD, Dental Photo dan CT-Scan. - Pelayanan Farmasi atau Instalasi Farmasi mempunyai kegiatan peracikan, penyimpanan dan penyaluran obatobatan, gas medis serta bahan kimia. Selain itu instalasi ini pun senantiasa melakukan penyimpanan, dan penyaluran alat kedoteran, alat perawatan dan alat-alat kesehatan yang dilkukan oleh tenaga/ pegawai dalam jabatan fungsional. Pelayanan Farmasi oleh Instalasi Farmasi diberikan selama jam kerja. Diluar jam kerja, kebutuhan obat bagi pasien dilayani oleh Apotik Rawat Jalan/IRD.
52
- Instalasi Gizi, melayani proses penediaan makanan mulai dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi baik oleh pasien maupun karyawan rumah sakit. Kegiatan di Instalasi Gizi terdiri
atas
kegiatan
pengadaan
makanan,
kegiatan
penyuluhan dan konsultasi gizi serta kegiatan pelayanan gizi di ruang perawatan. - Instalasi
Pemeliharan
Sarana
Rumah
Sakit
(IPSRS),
bertujuan dalam hal pemeliharaan dan perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit. - Intalasi Sanitasi lingkungan guna menunjang prasarana air baik dari PAM, sumur BOR, dan sumur artesis. Selain itu instalasi ini juga mengurusi tentang ketersediaan tenaga kelistrikan dari PLN maupun yang dikelola oleh rumah sakit itu sendiri (diesel/genset). - Instalasi Limbah, yang ditujukan untuk pengolahan sisa dari pemakaian di rumah sakit termasuk sampah dan septi tank. IV.1.1.6. Komposisi Pegawai RS Stella Maris Jumlah pegawai pada Rumah Sakit Umum Stella Maris adalah sebanyak 404 orang Karakteristik Responden Dalam
mengukur
ke
efektivan
suatu
organisasi
dalam
menjalankan roda organisasi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, satu diantaranya adalah budaya organisasi yang dianut oleh organisasi tersebut. Selain dari model budaya yang dianut pada organisasi
53
tersebut, ada hal yang cukup berpengaruh signifikan untuk pencapaian efektivitas, yakni kondisi/karakteristik pegawai (responden). Karakteristik yang dimaksud yakni jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Umur Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Stella Maris Kota Makassar, diperoleh data tentang umur pegawai yang cukup bervariasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3 Distribusi Responden berdasarkan Umur No 1
Kategori 20-25
Frekuensi 2
Persentase(%) 2.00
2
26-30
32
32.00
3
31-35
17
17.00
4
36-40
22
22.00
5
41-45
6
6.00
6
46-50
11
11.00
7
>50
10
10.00
100
100
Total
Sumber: Data Primer, 10 Oktober 2010
Dari tabel 5 di atas menunjukkan bahwa kebanyakan umur responden adalah 26-30 tahun yang berjumlah 32 orang dengan persentase 32%. Sedangkan yang terkecil berada pada kisaran umur 20-25 tahun yang berjumlah 2 orang dengan persentase 2%. 2. Jenis Kelamin
54
Adapun distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada RSUD Stella Maris Kota Makassar dapat dilihat pada tabel 6 berikut: Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No
Kategori
Frekuensi
Persentase(%)
1
Laki-laki
36
36.00
2
Perempuan
64
64.00
100
100
Total
Sumber: Data Primer, 10 Oktober 2010
Data tabel diatas menunjukkan bahwa dari 100 orang yang menjadi responden pada penelitian ini 36 orang berjenis kelamin lakilaki dengan persentase 36% dan 64 orang orang berjenis kelamin perempuan dengan persentase 64%. 3. Tingkat Pendidikan Untuk mengetahui tingkat pendidikan pegawai pad RSUD Stella Maris Kota Makassar, dapat dilihat pada tabel 7 berikut: IV.2. Pembahasan Penelitian IV.2.1. Deskripsi Data Secara kualitatif, deskripsi data didasarkan pada perhitungan frekuensi terhadap skor setiap alternatif jawaban angket, sehingga diperoleh presentase dan skor rata-rata Tanggapan Responden dari masing-masing variabel,
dimensi dan inidikator dengan rentang
penafsiran sebagai berikut.
55
Rentang
Penafsiran
1,00 - 1,79
Sangat Rendah/Sangat Tidak Baik
1,80 - 2,19
Rendah/Kurang Baik
2,60 - 3,02
Sedang/Cukup Baik
3,03 - 4,19
Tinggi/Baik
4,20 - 5,00
Sangat Tinggi/Sangat Baik
IV.2.1.1.Variabel Budaya Organisasi Dari Operasionalisasi Variabel seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui variabel budaya organisasi dijelaskan melalui 3 dimensi yaitu: 1) Keterlibatan, 2) Konsintensi, dan 3) Adaptasi, yang selanjutnya dijelaskan melalui masing-masing indikator. 1. Dimensi Keterlibatan Mengukur
dimensi
Budaya
Organisasi
dilakukan
melalui
pertanyaan-pertanyaan: 1) Karyawan leluasa mengelola/menata sendiri pekerjaan sesuai kewenangan yang diberikan dalam pekerjaan, 2) Informasi mudah diakses sehingga setiap karyawan bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan ketika diperlukan, 3) Suasana kerja di rumah sakit mampu mendorong karyawan untuk selalu bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, 4) Pekerjaan
memiliki kaitan penting dengan
strategi yang dijalankan untuk pencapaian tujuan. .Selanjutnya,
disajikan
presentase
tanggapan
responden
mengenai gambaran budaya organisasi mengenai keterlibatan pegawai pada RSUD Stella Maris Sulawesi Selatan.
56
Tabel 5 Keterlibatan Pegawai pada RSUD Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
1
STS
0
0.00
2
TS
4
4.00
3
RR
30
30.00
4
S
66
66.00
5
SS
0
0.00
100
100
Total Rata-rata
3.26
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada data tabel di atas dapat dilihat bahwa pegawai di RSUD Stella Maris memiliki tingkat keterlibatan yang cukup tinggi dalam bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 66 orang ( 66,00%) berada pada skor 4 ( tinggi/baik), sedangkan cuman 4 orang (4,00%) berada pada skor 2 (rendah/kurang baik) dan terdapat 30 orang (33,00%0) berada pada skor 3(ragu-ragu). Berdasarkan pada skor rata-rata 3,26 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi/baik. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pegawai di RSUD Stella Maris memiliki
keterlibatan
dalam
bekerja.
Hal
ini
ditunjang
dengan
berjalannya proses pemberdayaan serta orientasi tim yang jelas dalam organisasi. 2. Dimensi Konsistensi Mengukur dimensi Konsistensi dilakukan dengan pertanyaan: 1) Nilai-nilai dasar rumah sakit menjadi sarana pembeda karyawan rumah sakit ini dengan orang yang bekerja dirumah sakit lainnya, 2) Kode etik 57
rumah sakit mampu menjadi pembimbing karyawan untuk berperilaku benar dan menghindari perilaku salah, 3) Kemampuan pimpinan unit/instalas dapat saling memahami pandangan yang berbeda dengan pimpinan unit lain terhadap cara pengelolaan bisnis rumah sakit, 4) Pengkoordinasian kegiatan antar unit/instalasi yang berbeda fungsi dan bentuk layanan terhadap pasien rumah sakit. Selanjutnya, disajikan presentase tanggapan responden untuk memperoleh gambaran budaya untuk dimensi konsistensi pada pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar. Tabel 6 Konsistensi Pegawai Pada RSUD Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase(%)
1
STS
0
0.00
2
TS
6
6.00
3
RR
22
22.00
4
S
71
71.00
5
SS
1
1.00
100
100
Total Rata-rata
3.92
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat Konsistensi yang tinggi dalam bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 1 orang (1.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 71 orang (71,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), serta 6 0rang (6,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasrkan skor rata-rata 3,92 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi.
58
Sehingga dapat dinyatakan bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memilki budaya konsistensi dalam bekerja. Hal ini ditunjang dengan nilai-nilai inti dalm organisasi yang tetap dipertahankan dan selalu dijalankan serta koordinasi dan integrasi antar pegawai yang berjalan dengan baik. 3. Dimensi Adaptabilitas Mengukur dimensi Adaptabilitas dilakukan dengan pertanyaanpertanyaan: 1) Pimpinan sudah dapat menerjemakan perubahan tuntutan/harapan
pelayanan
kesehatan
di
masyarakat
dengan
menyesuaikan pola pengelolaan dan kebijakan organisasi, 2) Pimpinan telah
dapat
mengadopsi
berkelanjutan
(perangkat
teknologi lunak
peningkatan
dan
kualitas
perangkat
keras)
secara untuk
meminimalkan biaya operasional, 3) Pimpinan selalu menanggapi kesalahan pekerjaan bawahan sebagai sarana kesempatan belajar untuk bekerja lebih baik daripada pemberian hukuman, 4) Pimpinan rumah sakit mendorong karyawan bekerja tekun sebagai usaha pembelajaran dalam rumah sakit agar lebih professional. Selanjutnya, disajikan presentase tanggapan responden untuk memperoleh gambaran budaya untuk dimensi adptabilitas pada pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar.
59
Tabel 7 Adaptabilitas Pegawai Pada RSUD Stella Maris No 1
Kategori STS
Frekuensi 0
Persentase(%) 0.00
2
TS
27
27.00
3
RR
29
29.00
4
S
43
43.00
5
SS
1
1.00
100
100
Total Rata-rata
3.17
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat Adaptabilitas yang tinggi dalam Organisasi. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 1 orang (1.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 43 orang (43,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), serta 29 orang (29,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor rata-rata 3,17 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memilki budaya adaptabilitas dalam organisasi. Hal ini ditunjang dengan keinginan pimipinan maupun pegawai
untuk
senantiasa melakukan perubahan dan mengikuti perkembangan yang terjadi. Selain itu perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi dianggap sebagai proses pembelajaran organisasi. Dari penjelasan di atas, dapat diperoleh gambaran tentang Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar, yang tersaji pada tabel 13 berikut. 60
Tabel 8 Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris No 1 2 3 4 5
Kategori STS TS RR S SS Total Rata-rata
Frekuensi 0 0 31 67 2 100
Persentase(%) 0.00 0.00 31.00 67.00 2.00 100 3.71
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris baik dan dijalankan oleh pegawai sebagai nilai-nilai inti dalam menjalankan pekerjaan pada Organisasi tersebut. Hal ini ditandai dengan besaran frekuensi 67 orang (67%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), didukung oleh besaran frekuensi 0 orang (0%) berada pada skor 1(sangat rendah) dan skor rata-rata 3.71. Hal ini menunjukkan bahwa sebagaian responden (pegawai) secara rata-rata mampu menyesuaikan diri dengan Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris dalam menjalankan pekerjaan mereka. IV.2.1.2. Variabel Efektivitas Organisasi Untuk mengetahui efektivitas organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar dapat dijelaskan melalui 5 kriteria sebagai berikut yang kemudian dijelaskan melalui masing-masing pertanyaan. 1. Produktivitas Produkvitas merupakan hal yang sangat penting bagi para pegawai yang ada dalam organisasi. Dengan adanya produktivitas kerja diharapkan pekerjaan akan terlaksana secara efisien dan efektif,
61
sehingga ini semua akhirnya sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Untuk mengukur Produktivitas dalam penelitian ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:1) Manajemen rumah sakit lebih memprioritaskan keunggulan mutu pelayanan dalam menghadapi persaingan antar rumah sakit daripada tarif yang kompetitif, 2) Pasien yang berobat di senantiasa berusaha diyakinkan akan pelayanan handal (peralatan dan tenaga medis), dan rasa simpatik tenaga medis/non-medis melayani pasien. Selanjutnya, untuk memperoleh gambaran produktivitas kerja pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar dapat dilihat pada tabel 14 berikut. Tabel 9 Produktivitas Kerja Pegawai Pada RSUD Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase(%)
1
STS
0
0.00
2
TS
11
11.00
3
RR
29
29.00
4
S
51
51.00
5
SS
9
9.00
100
100
Total Rata-rata
3.56
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat Produktivitas yang tinggi dalam bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 9 orang (9.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 51 orang (51,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik),
62
serta 29 orang (29,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor rata-rata 3,56 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat produktivitas kerja pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini terlihat dari kemampuan para pegawai dalam melaksanakan tugas sudah sesuai dengan kebutuhan organisasi serta peningkatan hasil yang dipacai oleh organisasi sudah mencapai hasil yang diharapkan. Selain itu para pegawai juga mengutmakan mutu dan kualitas keja dalam melaksanakan tugas. 2. Efisiensi Efisiensi berhubungan dengan jumlah pengorbanan baik materi maupun tenaga dalam menyelesaikan pekerjaan. Seberapa besar pengorbanan pegawai dapat menjadi salah satu acuan untuk mengukur kinerja seseorang. Efisinsi seperti halnya produktivitas juga merupakan rasio antara input dan output, hanya berbeda penekanannya atau fokusnya yaitu efisiensi menitikberatkan pada korban atau input. Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur efisiensi dalam penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1) Kualitas dari hasil pelaksanaan pekerjaan anda, seimbang dengan sarana dan prasarana yang anda pergunakan bekerja, 2) Anda lebih mengutamakan pencapaian tujuan dari tugas, tanpa memperhitungkan sarana dan prasarana yang digunakan. Selanjutnya, untuk mengetahui efisiensi pegawai pada RSUD Stella Maris dapat dilihat pada tabel 15.
63
Tabel 10 Efisiensi Kerja Pegawai Pada RSUD Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
1 2 3 4 5
STS TS RR S SS
1 7 29 48 15 100
1.00 7.00 29.00 48.00 15.00 100
Total Rata-rata
3.69
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat Efisiensi Kerja yang tinggi. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 15 orang (15.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 48 orang (48,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), serta 29 orang (29,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor rata-rata 3,69 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat efisiensi kerja pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini terlihat kualitas pekerjaan yang dihasilkan dapat mencapai harapan tanpa memerlukan pengorbanan yang besar. Selain itu, pencapaian tujuan lebih dikedepandakan dalam mealaksankan pekerjaan meski tidak menggunakan fasilitas atau peralatan secara maksimal. 3. Kepuasan Kepuasan
dan
semangat
kerja
merupakan
istilah
yang
menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi memenuhi kebutuhan para karyawan guna pencapaian tujuan yang efektif. ukuran kepuasan
64
dalam melaksanakan pekerjaan memilki banyak indikasi salah satunya pemberian imbalan, baik berupa intesif ataupun dalam bentuk yang lain. Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur kepuasan dalam penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1) Kualitas dari hasil pelaksanaan pekerjaan anda, seimbang dengan sarana dan prasarana yang anda pergunakan bekerja, 2) Anda lebih mengutamakan pencapaian tujuan dari tugas, tanpa memperhitungkan sarana dan prasarana yang digunakan. Selanjutnya, untuk mengetahui kepuasan pegawai pada RSUD Stella Maris dapat dilihat pada tabel 16. Tabel 11 Kepuasan Pegawai Pada RSUD Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
1
STS
1
1.00
2
TS
12
22.00
3
RR
31
31.00
4
S
45
45.00
5
SS
11
11.00
100
100
Total Rata-rata
3.54
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat kepusan kerja yang tinggi dalam bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 11 orang (11.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 45 orang (45,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), serta 31 orang (31,00%) berada pada skor ragu-ragu. 65
Berdasarkan skor rata-rata 3,54 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat Kepuasan kerja pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini didukung oleh penghasilan yang diterima pegawai sudah dianngap seimbang dengan beban kerjanya. Selain itu pegawaipun merasa puas dengan kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugasnya. 4. Fleksibilitas Fleksibilitas yang menempatkan lingkungan sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas organisasi, karena organisasi dituntut untuk menyesuaikannya baik dari intern maupun dari ekstern organisasi, demi keberhasilan dan efektivitasnya. Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur fleksibilitas dalam penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1) Anda selalu berusaha memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk memperoleh berbagai sumber dalam pelaksanaan tugas dari pimpinan, 2) Setiap saat anda mampu menyesuaikan tugas/pekerjaan anda dengan perubahan-perubahan yang terjadi di rumah sakit. Selanjutnya, untuk mengetahui fleksibilitas organisasi pada RSUD Stella Maris dapat dilihat pada tabel 17.
66
Tabel 12.1 Fleksibilitas Organisasi Pada RS Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
1
STS
0
0.00
2
TS
0
0.00
3
RR
31
31.00
4
S
52
52.00
5
SS
17
17.00
100
100
Total Rata-rata
3.86
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat Fleksibilitas yang tinggi dalam bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 17 orang (17.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 52 orang (52,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), serta 31 orang (31,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor rata-rata 3,86 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat Fleksibilitas pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan para pegawai untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam organisasi cukup baik. Selain itu pegawai pun sudah mampu untuk menyesuaikan seluruh tugas-tugas yang diberikan baik itu tugas pekerjaan yang masih dianngap baru maupun yang sudah pernah mereka temukan.
67
5. Perkembangan Perkembangan merupakan suatu fase setelah kelangsungan hidup terus (survive) dalam jangka panjang. Untuk itu organisasi harus bisa memperluas kemampuannya, sehingga bisa berkembang dengan baik dan sekaligus akan dapat melewati fase kelangsungan hidupnya. Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur fleksibilitas dalam penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1) Manajemen rumah sakit mengadopsi teknologi peningkatan kualitas secara berkesinambungan (perangkat lunak/perangkat keras) untuk orientasi meminimalkan biaya operasional. 2) Tingkat pemanfaatan yang tinggi menjadi pertimbangan utama penggunaan peralatan dan tenaga (medis/non-medis) dalam melayani pasien. Selanjutnya, untuk mengetahui Perkembangan organisasi pada RSUD Stella Maris dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 12.2 Fleksibilitas Organisasi Pada RS Stella Maris No
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
1
STS
0
0.00
2
TS
6
6.00
3
RR
36
36.00
4
S
54
54.00
5
SS
4
4.00
100
100
Total Rata-rata
3.56
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
68
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris Kota Makassar memiliki tingkat Fleksibilitas yang tinggi dalam bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 4 orang (4.00%) berada pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 54 orang (54,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik), serta 36 orang (36,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor rata-rata 3,56 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi. Sehingga
dapat
dikatakan
bahwa,
tingkat
perkembangan
organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini didukung oleh penggunaan sarana dan prasaran yang digunakan dalam menyelasaikan pekerjaan dalam organisasi sudah cukup baik. Selain itu maksimalisasi pemanfaatan teknologi yang dianngap perlu guna menunjang efektvitas kerja sudah mampu dilakukan dengan baik oleh pegawai. Selanjutnya, dari penjelasan pada tabel-tabel diatas dapat diperoleh gambaran tentang efektivitas organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar. Tabel 13 Efektivitas Organisasi pada RS Stella Maris No 1
Kategori STS
Frekuensi 0
Persentase(%) 0.00
2
TS
0
0.00
3
RR
8
8.00
4
S
64
64.00
5
SS
28
28.00
100
100
Total Rata-rata
4.20
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
69
Pada tabel diatas menuunjukkan bahwa tingkat efektivitas organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan besaran frekuensi berada pada skor 4 (tinggi) sebesar 64 orang (64%) dengan skor rata-rata 4.20 (tinggi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa , tingkat efektivitas organisasi pad RSUD Stella Maris Kota Makassar tergolong tinggi. Pernyataan
tersebut
dikarena
dengan
pegawai
yang
dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan baik dalam jangka waktu tertentu, ketepatan waktu penyelesaian tugas lebih efisien. Selain itu pegawai juga telah mampu menyesuaikan pekerjaan dan kondisi lingkungan yang baru,
serta
organisasi
secara
keseluruhan
mampu
mengikuti
perkembangan-perkembangan yang sedang tejadi. Dari penjelasan tersebut diatas menjelaskan bahwa terdapat pengaruh yang kuat antara budaya organisasi dengan efektivitas organisasi. Hal ini membuktikan bahwa variabel budaya organisasi merupakan sebuah instrument yang penting, dan perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan efektivitas organisasi (dalam hal ini RSUD Stella Maris Kota Makassar). IV.2.2. Pembahasan Hasil Penelitian Budaya organisasi yang kuat dan positif mendukung tercapainya keberhasilan organisasi. Sebaliknya, jika ada nilai-nilai negatif yang berkembang tentu akan berakibst merusak tujuan organisasi. Misalnya, budaya malas, budaya mangkir, budaya lamban kerja, apalagi budaya korupsi.
70
Kuatnya budaya organisasi sehingga dapat berpengaruh dalam menentukan efektivitas perusahaan, bukan karena sebagai budaya an sich, yaitu sebagai seperangkat nilai-nilai yang dijadikan pedoman bersama para anggota organisasi, melainkan lebih dari pada itu, yaitu adanya sinergi dalam berbagai hal. Jika kita mengatakan bahwa suatu budaya organisasi ini kuat, hal ini sudah mengandung beberapa pengertian sperti : Nilai-nilai inti yang saling menjalin sebagai pedoman perilaku yang tersosialisasikan dan menginternalisasi, perilaku-perilaku karyawan yang terkendalikan dan terkoordinasikan oleh kekuatan yang informal, serta budaya organisasi yang dianggap berpengaruh terhadap strategi. Seperti yang telah diketahui bahwa budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masala-masalah orgnisasi. Yang dimana dalam penelitian ini, budaya organisasi berhubungan dengan efeftivitas organisasi karena di dalam budaya organisasi terdiri dari tiga dimensi yaitu :1) keterlibatan, 2) Konsintensi, dan 3) Kemampuan beradaptasi. Dalam hal ini budaya organisasi adalah budaya organisasi yang terdapat pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota Makassar. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar berada pada kategori tinggi
71
(baik). Ini ditandai dari skor rata-rata sebesar 3.45 dengan dimensi konsistensi sebesar 3.26, dimensi keterlibatan sebesar 3.92, dan dimensi adaptabilitas sebesar 3.17. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar pegawai pada RSUD Stella Maris Provinsi Selatan dapat menjaga dan melaksanakan nilai-nilai, atau keyakinan-keyakinan yang dianggap sebagai pedoman dalam menjalankan tugas-tugas dalam organisasi. Proses keterlibatan dalam organisasi dianggap karyawan sebagai hal yang mutlak dilaksanakan. Adanya sikap konsisten terhadap tanggung jawab diberikan serta kemampuan beradaptasi organisasi secara umum dan pegawai secara khusus dianggap sebagai suatu proses pelestarian budaya organisasi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar yang belum mampu menerapkan secara penuh hal-hal yang dianggap sebagai nilai-nilai inti dalam melaksanakan pekerjaan. Keberhasilan organisasi pada umumnya diukur dengan konsep efektivitas. Namun seringkali efektivitas hanya dikaitkan dengan tujuan organisasi, yaitu laba, yang cenderung mengabaikan aspek terpenting dari keseluruhan prosesnya, yaitu sumber daya manusia. Dalam penelitian tentang efektivitas organisasi ini, sumber daya manusia dan perilaku manusia muncul menjadi fokus primer, dan usaha-usaha untuk meningkatkan efektivitas terapat pada kriteria-kriteria yang menjadi
72
ukuran efektivitas organisasi, yaitu: 1) Produktivitas, 2) Efisiensi, 3) Kepuasan, 4) Fleksibilitas, dan 5) Perkembangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar berada pada kategori tinggi (baik). Hal ini terlihat pada skor rata-rata yang didapatkan sebesar 3.64, dengan skor rata-rata masing-masing kriteria: Produktivitas sebesar 3.56, efisiensi sebesar 3.69, kepuasan sebesar 3.54, fleksibilitas sebesar 3.86, dan perkembangan sebesar 3.56. Selanjutnya dapat dilihat pada tebel 23 berikut.
Tabel 14 Skor rata-rata variabel Budaya dan Efektivitas Organisasi Variabel
Dimensi
Skor rata-rata
Budaya
Keterlibatan
3.26
Organisasi
Konsistensi
3.92
Adaptabilitas
3.17
Skor rata-rata
3.45
Efektivitas
Produktivitas
3.56
Organisasi
Efisiensi
3.69
Kepuasan
3.54
Fleksibilitas
3.86
Perkembangan
3.56
Skor rata-rata
3.64
Sumber: Olahan Data Primer, 15 Oktober2010
Dari data tabel dan penjabaran di atas dapat dilihat bahwa, Budaya organisasi dan efektifitas organisasi pada Rumah Sakit Umum
73
Stella Maris Kota Makassar berada dalam kategori tinggi (baik), yaitu berada pada dalam rentang penafsiran 3,03 - 4,19. Sehingga dapat dinyatakan
bahwa
budaya
organisasi
kuat
dapat
meningkatkan
efektivitas suatu organisasi.
74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: Budaya organisasi dan efektifitas organisasi pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota Makassar berada dalam kategori tinggi (baik), yaitu berada pada dalam rentang penafsiran 3,03 - 4,19. V.2. Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi masukan, antara lain: 1. Budaya organisasi pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota Makassar yang dianggap sebagai nilai-nilai inti dalam organisasi perlu dipertahankan sebagai acuan dalam menjalankan tugas. Dimana keterlibatan pegawai dalam organisasi harus sesuai dengan tujuan pelaksanaan kegiatan atau tugas. Selain itu Proses adaptasi organisasi perlu ditingkatkan seirring dengan perkembangan yang terjadi baik dari faktor eksternal maupun internal organisasi guna menunjang peningkatan efektivitas organisasi itu sendiri. 2. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan efektivitas organisasi, selain dari faktor budaya organisasi yang merupakan instrument yang penting di era informasi saat ini.
75
3. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian pada Rumah Sakit Umum Daerah Stella Maris Povinsi Sulawesi Selatan, disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan efektivitas organisasi.
76
DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta. Denison,
Daniel R. 1990. Corporate Culture and Organizational Efektiveness. New York: John Wiley & Sons.
Djokosantoso, Moeljono. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Gibson, James L., Ivancevic Donnely. 1996. Organisasi: Perilaku, Struktur, dan Proses. Binarupa Aksara, Jakarta. Hall, Richard H. 2006. Tujuan dan Efektivitas dalam Implementasi Manajemen Stratejik: Kebijakan dan Proses (A. Usman editor) Amara Books, Yogyakarta. Hardjowirogo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yayasan Benteng Budaya, Yogyakarta. Kasim, Azhar. 1993. Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi- PAU ilmu-ilmu sosial Univ. Indonesia, Jakarta. Koenjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jambatan, Jakarta. Miller, L. M. 1987. Manajemen Era Baru:Beberapa Pandangan Mengenai Budaya Perushaan Modern (Terj. Windorojo). Erlangga, Jakarta. Mishra, Aneil K. dan Daniel R. Denison. 1995. Toward a Theory of Organizational Culture and Effectiveness. Organization Science Vol.6 No.2 pp. 204-223. Muh. Basri. 2007. Pengaruh Budaya Lokal terhadap Kinerja Birokrasi di Sulawesi Selatan, Disertasi. Program pascasarjana Unhas, Makassar. Ndarha, Taliziduhu. 2005. Teoti Budaya Organisasi. Rinekacita, Jakarta. Osborne, David dan Peter Plastrik. 1997. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Penerbit PPM,Jakrata.
77
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismail (ed.). 2008. Dasar-dasar Metdodologi Penelitian Klinis (edisi 3). Sagung Sento. Jakrata. Sobirin Achmad. 2007. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna dan Aplikasinya dalam Kehidupan Organisasi. UPP Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, YKPN. Yogyakarta. Steers, Richard M. 1985. Efektifitas Organisasi. Erlangga, Jakarta. Syarif Makmur. 2008. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas Organisasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung Sutrisno, Edy. 2007. Budaya Organisasi. Kencana. Surabaya. Tika, Moh. Pabundu. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Bumi Aksara. 2005. Wirawan. 2007. Budaya dan Iklim Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian. Salemba Empat, Jakarta.
78