BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH PONTIANAK ADALAH

Download asing telah menyetarakan Pontianak dengan kerajaan-kerajaan tua yang perannya sebagai kerajaan maritim telah ... Adapun kelompok masyarakat...

0 downloads 340 Views 158KB Size
BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah Pontianak adalah wilayah kosong tidak berpenghuni sebelum pembukaan lahan oleh Syarif Abdul Rahman Alkadri dan pengikutnya pada 1771. Memilih lokasi di pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dengan menghadap ke Laut Cina Selatan, Syarif Abdul Rahman sesungguhnya tengah mempersiapkan sebuah kota pelabuhan. Visi Syarif Abdul Rahman dalam membuka wilayah baru tidak dapat dilepaskan dari latar sejarahnya. Sebagai keturunan dari Habib Husein Alkadri, seorang ulama dari Hadramaut, upayanya tersebut dipercaya masyarakat setempat didorong oleh cita-cita ayahnya untuk mengembangkan permukiman baru yang dapat dijadikan tempat mengajarkan Islam sekaligus berdagang. 1 Dalam menjalankan misinya itu, Syarif Abdul Rahman mewarisi bakat ayahnya sebagai petualang imigran (imigrant adventurers) untuk menjadi penguasa di daerah baru (stranger kings). Menurut Jeyamalar Kathirithamby-Wells, 2 bakat berupa kecerdasan politik serta karisma politik dan spiritual yang digabungkan dengan praktik perkawinan politik adalah modal utama bagi Syarif Abdul Rahman. Modal 1

Ansar Rahman et al., Syarif Abdurrahman Alkadri: Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak, (Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000), hlm. 60-61. 2

Jeyamalar Kathirithamby-Wells, “Strangers and Stranger-Kings: The sayyid in Eighteenth-Century Maritime Southeast Asia,” dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 40, No. 3, (2009). Perkawinan politik dilakukan Syarif Abdul Rahman dengan menikahi puteri keturunan dinasti Mempawah dan ‘penakluk’ Bugis, Opu Daeng Menambon, yang kala itu bersama empat saudaranya memiliki reputasi cemerlang dalam suksesi kepemimpinan di wilayah Selat Malaka. Perkawinan politik kembali dilakukan Syarif Abdulrahman Alkadri saat berdagang di pesisir selatan dan timur Kalimantan dengan menikahi puteri dari Sultan Banjar.

1

ini mulanya digunakan untuk menjalin relasi dagang sekaligus hubungan politik dengan para penguasa di kerajaan-kerajaan maritim seperti Palembang, Riau, Banjarmasin, dan Passir. 3 Selanjutnya, sadar bahwa wilayah yang dibukanya dikelilingi oleh sejumlah kerajaan dan bahkan merupakan bagian dari wilayah salah satu kerajaankerajaan itu, Syarif Abdul Rahman menggunakan jejaring politiknya untuk menasbihkan diri sebagai penguasa di Pontianak. Jejaring politik juga dimanfaatkan Syarif Abdul Rahman untuk menyerang kerajaan tetangga, yakni Tayan dan Sanggau. Ia, dengan mengutus puteranya Syarif Kasim, kemudian juga menjalin relasi dengan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia untuk membantu menjalankan ekspansi ke kerajaan lain. Dengan kesepakatan tertentu, VOC mendukungnya baik melalui jalan politik, seperti terhadap Landak, maupun secara militer seperti kepada Mempawah dan Sukadana. Penyerangan Syarif Abdul Rahman dinilai sejumlah sejarawan merupakan upaya untuk mengamankan wilayah Pontianak yang rentan sengketa, menguasai sumber daya alam dan komunitas Cina pekerja tambang, serta melumpuhkan bandar dagang pesaing Pontianak. 4 Melihat latar historis seperti itu, tidak mengherankan jika Pontianak bisa berkembang dalam waktu relatif singkat. Pada awal tahun 1800an, para pedagang asing telah menyetarakan Pontianak dengan kerajaan-kerajaan tua yang perannya sebagai kerajaan maritim telah terlacak sejak masa klasik, yaitu Brunei, Kutai, 3

E. Netscher, “Geschiedenis der Eerste Al-qadris,” dalam Tijdshrijft voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde, (1855), hlm. 297-298. 4

Ibid., hlm. 299-303; Jeyamalar Kathirithamby-Wells, op.cit., hlm. 585-588; lihat juga Mary Somers Heidhues, “The First Two Sultan’s,” dalam Archipel 56, (1998), hlm. 284-285.

2

Passir, Banjarmasin, Matan, dan Sambas. 5 Sebagai kota pelabuhan, sektor ekonomi terpenting Pontianak adalah perdagangan. Adapun kelompok masyarakat utama pendukung kehidupan Pontianak adalah pedagang. Kebutuhan tersebut disadari Syarif Abdul Rahman dengan mengundang para pendatang untuk bermukim di Pontianak. Salah satu dari kelompok masyarakat tersebut adalah komunitas Cina. Atas ajakan ini, komunitas Cina telah tercatat sebagai salah satu unsur penduduk Pontianak sejak akhir abad ke-18. Keberadaan komunitas Cina dibutuhkan Syarif Abdul Rahman untuk menghidupkan daerah menjadi kota perdagangan. 6 Kebergantungan Sultan Syarif Abdul Rahman pada para pendatang yang bergerak di bidang perdagangan cukup tinggi karena Pontianak tidak memiliki potensi pendapatan seperti tambang emas atau penduduk “anak negeri” (Dayak) yang kala itu sering kali menjadi objek pajak para penguasa Melayu. Kondisi ini membuat Sultan tidak memiliki kekuatan terhadap penduduk termasuk untuk menerapkan pajak sebagai sumber penghasilan dalam membiayai pendirian 7 Kesultanan. Hal ini ditunjukkan Sultan dengan menerapkan peraturan atau cukai secara longgar kepada para pedagang dan kerap memberikan bantuan pinjaman

5

Leyden, “Sketch of Borneo,” dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 7, (1814), hlm. 3; 33-53. Kerajaan maritim oleh Leyden disebut dengan the maritime district/ the maritime state. Kerajaan maritim dalam gambaran Leyden adalah kota pelabuhan dengan aktivitas utama perdagangan ekspor-impor. Informasi tersebut diperoleh Leyden dari James Burn, seorang pedagang Inggris yang menjadi informan Raffles. Burn tinggal dan berdagang di Pontianak setidaknya sejak tahun 1808. 6

Tujuan Syarif Abdul Rahman Alkadri menjadikan Pontianak sebagai kota perdagangan dapat disimpulkan dari kebijakan blokade jalur perdagangan 3 pelabuhan lain di Kalimantan Barat, yakni ke Sukadana, Mempawah, dan Sambas. Mary Somers Heidhues, (1998), loc.cit. 7

Harlem Siahaan, “Konflik dan Perlawanan Kongsi Cina di Kalimantan Barat 1770-1854,” Disertasi, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1996), hlm. 283.

3

kepada para pedagang dan penduduknya. 8 Sejak dibuka sebagai pelabuhan, Pontianak berkembang menjadi pintu masuk perdagangan bagi kapal-kapal asing, termasuk junk-junk Cina yang menjadi pendatang paling banyak. Setiap tahun, 8 hingga 15 junk membawa berbagai komoditas dari Negeri Cina. Memasuki tahun 1810, jumlahnya menurun hingga tidak pernah lebih dari 5 junk saja. 9 Penurunan kedatangan junk disimpulkan oleh sejumlah sejarawan disebabkan oleh melemahnya ikatan perdagangan hulu-hilir akibat kehadiran komunitas Cina di berbagai wilayah. Melalui pelabuhan-pelabuhan di sungaisungai kecil pesisir barat sekitar permukiman mereka, komunitas Cina membuka hubungan perdagangan secara langsung dengan pembeli. Perdagangan langsung dapat menekan harga komoditas sehingga lebih disukai oleh pembeli dan karenanya

mereka meninggalkan

pelabuhan

milik

kesultanan-kesultanan.

Ketidakmampuan kesultanan menghadapi komunitas Cina yang semakin kuat ini diyakini para sejarawan telah memicu Sultan Pontianak (dan Sambas) untuk mengundang dan menjalin pertemanan dengan pemerintah kolonial. 10 Kedatangan pemerintah kolonial ke Kalimantan tidak dapat dipungkiri bertujuan

untuk

membentuk

wilayah

jajahan

baru.

Untuk

membiayai

pembentukan tersebut, sejumlah pejabat mencanangkan untuk “mengeksploitasi” 8

Leyden, op.cit., hlm. 44-49.

9

Ibid., hlm. 51.

10

Para pedagang memilih membeli langsung di pelabuhan kecil milik komunitas Cina karena lebih murah ketimbang membeli dari pelabuhan kesultanan. Muhammad Gade Ismail, “Politik Perdagangan Melayu di Kesultanan Sambas, Kalimantan Barat 1808-1818,” Tesis, (Depok: Fakultas Sastra UI, 1985), hlm. 167-168; Mary Somers Heidhues, Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat, (Jakarta: Yayasan Nabil, 2008), hlm. 66-67.

4

komunitas Cina sebagai sumber pemasukan. 11 Melalui pajak, komunitas Cina diharapkan mampu menutup biaya pendirian kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. 12 Salah satu pajak yang diwakili oleh sistem pacht. Fungsi penting sistem pajak tidak langsung ini kemudian dinyatakan dengan tegas oleh seorang Residen Kalimantan Barat, A.J. Andressen pada 1856 dalam laporannya mengatakan peran komunitas Cina bagi Kalimantan Barat sebagai pemberi pemasukan bagi kas kolonial. Secara spesifik, Andressen menyebut bahwa komunitas Cina melalui penerapan sistem pacht dinilai dapat menjadi sumber keuangan yang lebih besar bagi para penguasa Melayu. 13 Sistem pacht itu sendiri di Kalimantan Barat diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. 14 Sistem ini dimasukkan dalam setiap kontrak politik antara pemerintah kolonial dengan pemerintah lokal. Secara politis, sistem ini selain menjadi bagian dari sistem pajak kolonial, juga menjadi bagian dari proses penanaman kekuasaan Belanda di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, sistem pacht merupakan bagian integral dari pembentukan negara kolonial di Kalimantan Barat. Dalam konteks ini, Pontianak adalah kesultanan pertama yang mengadakan kontrak politik dengan pemerintah kolonial. Kontrak itu pun kemudian menjadi model bagi kontrak di daerah lain di Kalimantan Barat. Dengan 11

P.J.Veth, “Verslag Over de Residentie Borneo’s Westkust 1827-1829,” dalam TNI I, 1871, hlm. 8. 12

P.J.Veth, Borneo’s Wester-Afdeeling, Geographisch, Statistich, Historisch 2de Deel. (Zaltbommel: Joh Noman en Zoon, 1856), hlm. 44. 13

E.B. Kielstra, Bijdragen tot de geschiedenis van Borneo's Westerafdeling XVI, (Leiden: E.J.Brill, 1889-1893), hlm. 175. 14

P.J.Veth, (1871), op.cit., hlm. 14.

5

demikian, Sultan Pontianak adalah sultan pertama yang terlibat dalam sistem pacht, dan bahkan berperan sebagai pachter. Dalam perkembangannya, pacht di Pontianak dijalankan oleh sekelompok komunitas Cina yang kemudian menjadi pendukung utama sistem ini. Tidak hanya sebagai subjek pelaksana pacht (pachter) sebagaimana yang umum diungkapkan dalam penerapan pacht di wilayah lain, komunitas Cina di Pontianak merupakan objek utama dari sistem pacht. Artinya, penerapan pacht di Pontianak dapat dikatakan dikenakan pada Komunitas Cina. Oleh karena itu, penelitian ini juga memberi perhatian pada respon komunitas Cina sebagai objek penerapan sistem pacht. Fokus ini memberi gambaran lain dari kajian umum tentang pacht. Fokus kajian pacht yang selama ini cenderung memposisikan komunitas Cina sebagai subjek dari sistem pacht dapat kita baca dalam tulisan Peter Carey15. Stereotipe tentang Cina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Kolonial sangat tergambar dalam berbagai aktivitas perdagangan dan politik kolonial di Jawa. Selain Carey, sejumlah sejarawan seperti Carl A. Trocki, John Butcher, dan Howard Dick 16 juga mengaitkan praktik pacht dengan jejaring dan strategi bisnis Cina. Kajian mereka bahkan memunculkan konsep yang melekat pada orang Cina terkait sistem pacht, yakni kapitalis Cina (Chinese capitalists) dan pacht Cina (Chinese Revenue Farms). 15

Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1785 – 1825, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). 16 John Butcher, “Loke Yew,” dalam John Butcher dan Howard Dick (ed.), The Rise and Fall of Revenue Farming: Business Elites and the Emergence of the Modern State in Southeast Asia, (New York: St. Martin’s Press, Inc., 1993a), hlm. 255-261; Carl A. Trocki, “Tan Seng Poh,” dalam John Butcher dan Howard Dick (ed.), The Rise and Fall of Revenue Farming: Business Elites and the Emergence of the Modern State in Southeast Asia, (New York: St. Martin’s Press, Inc., 1993), hlm. 249-254; Howard Dick, “Oei Tiong Ham,” dalam John Butcher dan Howard Dick (ed.), The Rise and Fall of Revenue Farming: Business Elites and the Emergence of the Modern State in Southeast Asia, (New York: St. Martin’s Press, Inc., 1993a), hlm. 272-280.

6

Terkait perkembangan studi tentang sistem pacht, penelitian sejarah hingga saat ini masih terfokus pada daerah Jawa atau lingkup luas di kawasan Asia Tenggara, seperti karya James R. Rush 17 dan Abdul Wahid 18 untuk Jawa, serta Carl Trocki 19 untuk Asia Tenggara. Padahal, mengkaji pacht dalam lingkup besar kurang mampu menggali sifat sistem pacht yang unik dan lentur. Sistem yang diterapkan pemerintah dalam keadaan yang serba terbatas karena organ pemerintahan kolonial belum terbentuk ini membuat penerapan pacht disesuaikan dengan kondisi di daerah, baik mekanisme maupun jenisnya. Oleh karena itu, sifat sistem yang adaptif ini akan lebih dapat dieksplorasi dalam lingkup lokal. Studi tentang pacht di Indonesia juga cenderung berkutat pada pacht opium. Selain James Rush, terdapat beberapa karya akademis yang menyinggung penerapan pacht opium di tingkat lokal. Bukan pada sistem, karya yang ditulis Narti 20 dan Ida Bagus Gde Putra 21 itu berfokus pada perdagangan dan peredaran opium bagi kas kolonial dan pemanfaatannya bagi masyarakat. Adapun kajian pacht yang bersifat lokal di luar Jawa dengan fokus yang tidak hanya opium dapat dikatakan jarang dikerjakan oleh para sejarawan. Salah 17

James R. Rush, Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar, dan Pecandu 1860-1910, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). 18

Abdul Wahid, “From Revenue Farming to State Monopoly: The Political Economy of Taxation in Colonial Indonesia, Java ca. 1816-1942,” Disertasi, (Utrecht: Universiteit Utrecht). 19

Carl A. Trocki, “Chinese Revenue Farms and Borders in Southeast Asia,” dalam Modern Asian Studies, Vol. 43, No. 1, 2009. 20

Narti, “Perdagangan Candu di Jawa 1920-1930,” Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1996). 21

Ida Bagus Gde Putra, “Tradisi Candu dalam Masyarakat Bali 1839-1938, “ Tesis, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 2000).

7

satu di antara sejarawan yang mengisi keterbatasan itu adalah John Butcher. 22 Seperti tulisan Butcher, penelitian ini bermaksud mengisi kekosongan dalam studi tentang pacht. Bedanya, penelitian ini tidak memfokuskan bahasan pada satu jenis pacht tetapi pada seluruh jenis yang dipraktikkan di Pontianak. Selain itu, penelitian ini juga akan mengaitkan penjelasan tentang pacht dalam kerangka perluasan negara kolonial di Pontianak. Konteks ini sangat penting terutama jika ditimbang dari pernyataan para pejabat kolonial seperti Andressen, sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya, mengenai fungsi pacht untuk pembiayaan pendirian negara kolonial, khususnya dalam lingkup Pontianak karena berarti menelaah perluasan administrasi kolonial di daerah buitenlanden (luar Jawa dan Madura). Konteks ini menjadi penting karena argumen mengenai pentingnya fungsi pacht tersebut selama ini tidak pernah terungkap secara lugas dari kaum kolonial dalam kajian pacht terdahulu. Untuk itu, penelitian ini berfokus pada upaya pemerintah kolonial dalam menerapkan sistem berupa instrumen keuangan ini dalam sistem politik kolonial di tingkat lokal.

B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pertanyaan utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah mengapa sistem pacht menjadi bagian penting dalam proses perluasan kekuasaan kolonial di Pontianak? Selanjutnya, pertanyaan utama ini diturunkan dalam pertanyaan-pertanyaan operasional berikut. 22

John Butcher, “The Salt Farm and the Fishing Industry of Bagan Si Api Api,” dalam Indonesia, Vol. 62, 1996.

8

1.

Mengapa dan bagaimana pacht dijadikan sistem keuangan kolonial di Pontianak? Bagaimana pacht sebagai sistem keuangan kolonial ditetapkan di Kesultanan Pontianak?

2.

Apa saja jenis-jenis pacht dan bagaimana sistem pacht diterapkan di Pontianak? Siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam penerapannya? Mengapa sistem pacht dapat dijalankan di wilayah tertentu sementara di wilayah lain tidak bisa? Apa faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan penerapan sistem tersebut di Pontianak dan sekitarnya?

3.

Apa dampak sosial dan politik dari penerapan sistem pacht bagi pihak-pihak yang terlibat dan bagi komunitas Cina selaku objek utamanya?

C. Tujuan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana sistem pacht digunakan oleh pemerintah kolonial untuk menegakkan dan memperluas kekuasaannya dan pada saat yang sama pemerintah lokal juga menggunakannya untuk mempertahankan posisi dan taraf kehidupan ekonominya. Lebih rinci lagi, tujuan penelitian ini adalah: 1.

untuk memahami proses pembentukan sistem pacht oleh Pemerintah Kolonial dan Kesultanan Pontianak, mulai dari perancangan hingga dapat diaplikasikan sebagai instrumen keuangan di wilayah Kesultanan Pontianak;

2.

untuk memahami proses pelaksanaan pacht, mengetahui jenis-jenis pacht yang diterapkan, mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam penerapan,

9

serta faktor-faktor penentu keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaannya di Pontianak dan wilayah di sekitarnya; 3.

untuk mengetahui dampak penerapan sistem pacht terhadap pihak-pihak dan komunitas yang terlibat dalam sistem tersebut. Selain itu, secara tidak langsung, penelitian ini juga menjelaskan

perkembangan politik dan ekonomi lokal serta pertemuan kepentingan antara pemerintah kolonial, penguasa lokal, elite Cina, dan juga masyarakat di mana sistem pacht diterapkan.

D. Ruang Lingkup Pembahasan tulisan ini dibatasi oleh waktu dan spasial tertentu. Titik awal kajian dimulai sejak sistem pacht ditetapkan dalam kontrak politik pertama antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Pontianak pada 1819. Titik akhir kajian ditetapkan pada tahun 1909 ketika pacht opium dihapuskan. Titik akhir dipilih karena ketersediaan sumber terbesar bagi tulisan ini disumbang oleh praktik pacht opium. Kondisi ini terjadi karena dalam praktik pacht, opium adalah tonggak dari sistem atau yang disebut oleh para asisten residen sebagai dasar atau basis dari penerapan pacht di Pontianak. Cakupan spasial kajian tulisan ini merupakan wilayah kerja pacht Pontianak yang didasarkan pada ketentuan umum pacht (Pachtvoorwarden voor Pontianak). Pontianak yang dimaksud mencakup seluruh wilayah Kesultanan Pontianak, baik wilayah yang diperintah langsung oleh pemerintahan Kesultanan atau

dalam

administrasi

kolonial

10

disebut

pemerintahan

otonom

(zelfbestuurendlandschap), wilayah yang diperintah langsung oleh pemerintahan kolonial di ibukota Keresidenan Westerafdeeling van Borneo, dan sebuah kampung bernama Kampung Baru yang diperintah langsung oleh pemerintahan Kongsi Lanfong. Pontianak

dipilih

karena

alasan

sumber

dan

historis

dalam

penyelenggaraan sistem pacht di Kalimantan Barat. Terkait alasan pertama, keberadaan data di atas kertas cukup tersedia mengingat peran Pontianak sebagai pusat pemerintahan Keresidenan yang secara administratif akan selalu disorot dan dilaporkan dalam catatan kolonial. Alasan kedua lebih utama karena kontrak politik Pontianak yang memuat kesepakatan penyelenggaraan sistem pacht adalah model bagi wilayah lain di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, mempelajari Pontianak dapat berfungsi sebagai pijakan awal untuk memahami praktik pacht di seluruh Keresidenan. Meskipun demikian, penelitian ini sekali waktu akan menyentuh wilayah kerja pacht lain di Kalimantan Barat guna mengisi kekosongan, memperjelas, ataupun membandingkan informasi.

E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, membahas tentang penerapan sistem pacht di Pontianak. Oleh karena itu, penulis membutuhkan referensi yang berkaitan dengan kajian sejarah daerah Kalimantan Barat dan sistem pacht. Selain itu, terkait objek utama penerapan pacht di Pontianak, penulis juga memerlukan referensi tentang komunitas Cina terutama yang berfokus di wilayah Kalimantan Barat.

11

Karya klasik P.J. Veth dan J.J.K. Enthoven menggambarkan keadaan wilayah dan masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat sepanjang abad ke-19. Tulisan Veth berjudul Borneo’s Wester-Afdeeling, Geographisch, Statistich, Historisch memberi gambaran Pontianak pada paruh pertama abad ke-19, sementara J.J.K. Enthoven berjudul Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester-Afdeeling periode selanjutnya hingga memasuki abad ke-20. Kedua karya ini memetakan entitas politik yang ada di Kalimantan Barat. Veth (1854) membahas setiap entitas sosial di sejumlah wilayah terutama di pesisir barat sejak masa kuna hingga yang telah dijangkau pemerintah kolonial. Sementara Enthoven (1903) membahas setiap wilayah berdasarkan pembagian teritori administrasi buatan pemerintah kolonial. Sebagai kepala dinas topografi, ia mengemukakan gambaran wilayah lengkap dengan batas dan peta. Kondisi ekonomi penduduk dan pemerintah termasuk perpajakan dan praktik pacht meski disinggung dalam porsi kecil cukup mengisi kekosongan data dari laporan resmi pada akhir abad ke19. 23 Kedua karya tersebut lebih bersifat deskriptif. Penjelasan-penjelasan politis dalam upaya kolonialisasi Belanda di Kalimantan lebih ditunjukkan buku jilid II karya P.J.Veth dan Bijdragen tot de geschiedenis van Borneo's Westerafdeling karya E.B. Kielstra. Pada jilid II (1856) bukunya, Veth membahas upaya pemerintah kolonial dalam menjalin ikatan politik dengan para penguasa Melayu, para pemimpin kongsi Cina, dan komunitas Dayak di Kalimantan Barat. Upaya tersebut 23

Laporan resmi pejabat kolonial mengenai pacht pada akhir abad ke-19 tidak lagi memberi informasi spesifik di wilayah Pontianak tetapi mencakup Kalimantan Barat.

12

dijelaskannya dalam konteks pendirian organisasi kekuasaan kolonial yang dibaginya berdasarkan strukturisasi pemerintahan kolonial di Kalimantan. Tidak terlalu berbeda dari ide jilid II P.J.Veth, tulisan Kielstra (1889-1893) juga berfokus pada uraian praktik kolonialisasi Belanda. Kekurangannya, Kielstra tidak menampilkan tahapan proses ikatan politik sebagaimana yang dilakukan Veth. Kelebihannya, ia menjelaskan secara rinci termasuk latar belakang dan pemikiran atas setiap rekomendasi, kebijakan, atau tindakan para pejabat kolonial. Oleh karena itu, karya ini juga bermanfaat untuk menjelaskan upaya kolonialisasi Belanda terutama untuk mengisi kekosongan masa yang belum dijelaskan Veth. Historiografi Kalimantan Barat yang lebih mutakhir dihasilkan oleh Muhammad Gade Ismail berjudul Politik Perdagangan Melayu di Kesultanan Sambas, Kalimantan Barat: Masa Akhir Kesultanan, 1808-1818 dan Helius Sjamsuddin berjudul Perlawanan dan Perubahan di Kalimantan Barat: Kerajaan Sintang 1822-1942. Masing-masing sejarawan tersebut mengambil lokus kajian di dua kerajaan besar di Kalimantan Barat yang memiliki karakter berbeda, yakni Sambas dan Sintang. Sambas adalah kerajaan pesisir yang menggantungkan kehidupan pada aktivitas perdagangan. Sementara Sintang adalah kerajaan pedalaman yang sebagian besar pendapatannya ditopang oleh pajak hasil produk hutan penduduknya dan sebagian lagi dari penguasaan aliran perdagangan sungai daerah pedalaman untuk ibukota Kerajaan. Fokus kajian mereka juga berbeda. Muhammad Gade (1985) menekankan pada kajian politik perdagangan penguasa Melayu, sedangkan Helius Sjamsuddin (2013) menekankan pada perlawanan rakyat dan bangsawan terhadap pemerintah kolonial. Meskipun lokus dan fokus

13

kajiannya berbeda, kedua karya di atas berhasil menunjukkan kekhasan potensi dan penguasaan ekonomi otoritas setempat. Adapun tulisan tentang Pontianak umumnya bertema seputar sejarah pemerintahan atau Kesultanan. Studi sejarah Pontianak dengan tema lain berjudul Ibukota Pontianak 1779-1942: Lahir dan Berkembangnya Sebuah Kota Kolonial yang ditulis oleh saya sendiri pada 2009 membahas perkembangan infrastruktur di wilayah Ibukota Afdeeling Pontianak. Studi ini menunjukkan bahwa wilayah pusat pemerintahaan kolonial di Pontianak yang telah dikavling pada tahun 1779 berkembang dalam 2 tahap selama masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni 1830-1890an dan 1900an-1942. Studi lain karya saya berjudul Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Pasar Kota: Pasar Cina Pontianak Abad Ke-19 sampai Abad Ke-20 membahas pengelolaan pasar di wilayah pusat pemerintahan kolonial oleh organisasi bentukan pemerintah kolonial bernama pasar fonds. Buku cetakan 2013 yang berasal dari naskah skripsi berjudul Perkembangan Pasar Pontianak sebagai Pusat Perekonomian Afdeelingshoofdplaats Pontianak 1918-1942 itu mengalami kesalahan dalam proses penerbitan karena seharusnya mencakup kurun waktu sebagaimana tulisan skripsi. Perihal komunitas Cina Kalimantan Barat telah ditulis oleh Muhammad Gade Ismail berjudul Konflik antara Kongsi Thay Kong dan Sekutu-Sekutunya dengan Pemerintah Hindia Belanda di Kesultanan Sambas Tahun 1850, Harlem Siahaan berjudul Kolonisasi dan Kongsi Cina di Kalimantan Barat: Pembentukan dan Perkembangannya 1772-1854 dan Konflik dan Perlawanan Kongsi Cina di Kalimantan Barat 1770-1854; Yuan Bingling Chinese Democracies: A Study of

14

the Kongsis of West Borneo; Mary Somers Heidhues berjudul Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat; dan Hari Poerwanto Orang Cina Khek dari Singkawang. Ada pula tulisan lain tentang komunitas Cina namun dalam lingkup lebih luas yang juga perlu ditinjau penulis, yaitu The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indies karya Writser Jans Cator. Tulisan Gade Ismail (1981) berfokus pada konflik senjata antara persekutuan kongsi yang dipimpin oleh Kongsi Thaykong dengan Pemerintah Hindia Belanda. Tulisan ini menjelaskan faktor-faktor yang dianggap memicu konflik dan penyelesaian akhirnya. Sayangnya, studi konflik yang dalam tesis ini ditempatkan sebagai pemicu perluasan sistem pacht di Kalimantan Barat terlalu berfokus pada peristiwa peperangan dan sangat sedikit membahas latar belakang konflik yang salah satunya dinyatakan Gade dipicu oleh kasus penyelundupan dan penolakan masyarakat kongsi akan pajak pemerintah kolonial. Kedua tulisan Siahaan adalah serial mengenai migran Cina di Kalimantan Barat. Karya pertama (1984) menekankan proses awal saat kolonisasi dimulai dan menguat hingga membentuk persekutuan kongsi. Karya kedua (1996) fokus pada fase penghancuran tatanan kongsi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendapat mengenai karakter juga relasi komunitas Cina secara internal dan eksternal baik dengan kesultanan maupun pemerintah kolonial adalah bagian yang bermanfaat dalam penulisan tesis ini. Secara umum, argumen Siahaan pada kedua karya akademisnya bermaksud menyanggah tesis umum yang mengelompokkan komunitas Cina ke dalam kubu kolonial atau bahkan sebagai agen kolonialisme.

15

Argumen ini cenderung menggeneralisasi karena seakan menafikkan kemunculan kelompok-kelompok pro-kolonial. Padahal, kehadiran kelompok tersebutlah yang memicu aksi represif pemerintah kolonial yang berujung pada penghapusan kongsi. Yuan (1998) mengkaji kolonisasi dan pembentukan kongsi Cina penambang emas di Kalimantan Barat. Ia menekankan pada pembentukan dan penghancuran sistem pemerintahan kongsi berikut respon yang muncul dari masyarakat kongsi. Dalam tesis ini, analisa Yuan mengenai proses negosiasi antara

pihak

kongsi,

pemerintah

kolonial,

dan

pemerintah

kesultanan

menunjukkan berbagai bentuk relasi dan karakter masing-masing pihak. Kajian Yuan berfokus pada komunitas kongsi sehingga relasi komunitas Cina di luar kongsi, seperti di Pontianak, kurang diperhatikan. Hari Poerwanto (2005) mengkaji asimilasi orang Cina, khususnya orang Hakka/ Khek di Singkawang berdasarkan orientasi kebudayaan dari pendidikan, rekreasi dan kesenian, bahasa dan komunikasi, perkawinan dan kelahiran, dan nama diri. Poerwanto menunjukkan bahwa konsep ‘peranakan’ terhadap keturunan migran Cina yang biasanya telah mengadopsi budaya setempat tidak dapat diterapkan di Kalimantan Barat. Pemahaman ini sekaligus menunjukkan sifat tertutup dari kelompok masyarakat yang berasal dari kongsi-kongsi ini. Hanya saja, seperti kajian Yuan, tulisan Poerwanto juga berfokus pada komunitas kongsi atau bagian dari kongsi. Tulisan Heidhues (2008) mencakup wilayah kajian yang luas, seluruh Kalimantan Barat dalam kurun waktu sangat panjang sejak masa kongsi di abad

16

ke-18 hingga Orde Baru. Tulisannya memberi porsi lebih dalam membahas dinamika masyarakat “distrik Tionghoa” bekas kongsi. Penjelasan bagaimana pemerintah kolonial memodifikasi kelembagaan kongsi dalam mengelola anggota masyarakatnya menunjukkan informasi tentang bentuk kompromi kedua belah pihak. Sayangnya, dengan fokus pada komunitas penambang, tulisan Heidhues sedikit sekali membahas komunitas Cina di perkotaan, khususnya di Pontianak. Berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya yang berlokus di daerah Kalimantan Barat, Cator (1936) membahas tentang kehidupan orang Cina di Hindia Belanda. Menelaah sejak periode sebelum kedatangan VOC, Cator menilai bahwa komunitas Cina memiliki bakat alami yang mengarahkan mereka sebagai pedagang. Ia berpendapat bahwa bakat tersebut semakin berkembang di kemudian hari oleh beragam keistimewaan yang diperoleh dari pertemanannya dengan VOC dan pemerintah kolonial. Selain itu, ia juga menggambarkan bahwa komunitas Cina juga dijadikan aset dan sumber kesejahteraan pemerintah kolonial. Tulisan Cator menempatkan komunitas Cina sebagai partner dari pemerintah kolonial. Akan tetapi pembahasan khusus untuk wilayah Kalimantan Barat hanya sedikit sehingga uraian mengenai mengapa dan kapan relasi baik antara komunitas Cina dan Pemerintah Kolonial dapat terjalin belum tergali. Padahal, hal ini penting untuk dijelaskan karena pada awal kedatangannya, pemerintah kolonial justru menjadikan penguasa Melayu sebagai partner mereka. Berdasarkan karya-karya tentang komunitas Cina di atas dapat dilihat bahwa studi terdahulu lebih berfokus pada komunitas kongsi Cina penambang

17

emas. Komunitas kongsi mengalami perkembangan kondisi politik dan ekonomi yang relatif berbeda dengan komunitas Cina di wilayah Kesultanan Pontianak. Studi tentang pacht dibahas dalam disertasi dua sejarawan. Disertasi pertama James R. Rush yang telah diterbitkan dalam judul Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar, dan Pecandu 1860-1910 dan kedua ditulis Abdul Wahid dengan judul From Revenue Farming to State Monopoly: The Political Economy of Taxation in Colonial Indonesia, Java 1816-1942. Rush (2012) dengan titik pijak pada pacht opium di Jawa, membahas berbagai aspek di sekeliling praktik pacht. Kajian Rush memuat informasi tentang mekanisme, penerapan, pengaruh sistem pacht, serta gambaran tentang peredaran dan pengaruh opium itu sendiri bagi masyarakat Jawa. Ia juga

memberi

pemahaman mengenai cara pandang umum para pejabat kolonial dalam menilai dan memposisikan sistem pacht. Yang belum terang dijelaskan oleh Rush adalah struktur kelembagaan sistem pacht dalam sistem pajak kolonial. Abdul Wahid (2013) berfokus pada transformasi sistem fiskal negara kolonial dalam skup Indonesia masa kolonial. Ia menitik-beratkan kajian pacht dalam manajemen keuangan negara kolonial. Kajian Wahid menyuguhkan penjelasan tentang kedudukan pacht dalam struktur pajak pemerintah kolonial yang berarti menunjukkan bagaimana mereka memandang sistem pacht secara umum (dalam konteks keuangan kolonial). Kekurangan kajian Wahid adalah fokus utamanya pada Jawa. Fokus tersebut berpengaruh pada periodisasi reformasi sistem pacht yang diajukannya, yakni sistem tanam paksa (cultuur stelsel) pada 1830 dan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870.

18

Bacaan lain adalah tentang aktivitas ekonomi yang bersifat politis para pachter Cina serta respon dan persepsi masyarakat atas peran mereka sebagai administrator pemerintah kolonial tersebut. Ada dua artikel dari buku Chinese Economic Activity in Netherlands India, yakni berjudul Effects of the Revenue Farming System dan A Plea for Tighter Controls on Chinese Revenue Farming and Immigration. Tulisan lain adalah Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 karya Peter Carey. Artikel pertama karya L. Vitalis membahas penyelenggaraan sistem perpajakan pada masa awal pemerintahan kolonial terutama pajak pasar, penyembelihan hewan ternak, dan pegadaian. Tulisan hasil investigasi di area Jawa tersebut memberi gambaran operasi pengumpulan pajak, lengkap dengan praktik kecurangan dan pelanggaran baik oleh pihak pemajak Cina, elite birokrat pribumi, maupun pegawai pemerintah pribumi. Terakhir, Vitalis mengajukan cara lain dalam mengumpulkan pajak, khususnya demi perbaikan hubungan antara pribumi dengan orang-orang Cina. Adapun artikel kedua karya F. Fokkens menjelaskan hasil evaluasinya atas pelaksanaan sistem pajak yang dijalankan oleh orang-orang Cina. Sistem ini dipandang telah merugikan karena para pemajak Cina dianggap telah mengeksploitasi, menindas, dan menipu pribumi, juga membuka perdagangan gelap opium di daerah pedesaan Jawa sehingga harus diambil alih oleh pemerintah secara langsung. Disamping melihat praktik negatif orang-orang Cina, Fokkens tetap mengakui dan mendukung peran ekonomi komunitas Cina. Kedua artikel di atas dapat menggambarkan aktivitas (praktik,

19

wewenang, dan kekuasaan) para pachter Cina dan persepsi pejabat kolonial atas praktik para pachter. Buku kedua merupakan karya Peter Carey yang menekankan pembahasan pada akibat dari praktik jasa pengelolaan pacht gerbang tol dan opium yang dilakukan pachter Cina. Carey tidak menitikberatkan kajian pada bentuk, sistem, dan struktur bisnis jasa pengelolaan “lembaga ekonomi”. Ia fokus melihat respon dari penerapan kedua jenis pajak berupa perubahan cara pandang masyarakat Jawa terhadap para elite Cina pengelola pacht. Studi pacht lain yang mengajukan berbagai konsep dan historis disuguhkan oleh beberapa kajian dalam buku The Rise and Fall of Revenue Farming, Business Elites and the Emergence of Revenue Farming. Dua tulisan yang mengaitkan sistem pacht dalam konteks pembentukan negara berjudul A Fresh Approach to Southeast Asia karya Howard Dick (1993) dan Revenue Farming and the Changing State in Southeast Asia karya John Butcher (1993). Kedua tulisan tersebut mengemukakan fungsi pacht dan peran pachter terkait upaya kolonialisasi. Secara keseluruhan, tinjauan pustaka membantu penulis untuk memahami konsep dan konteks saat membaca sumber-sumber primer dalam penelitian ini. Pustaka di atas juga menjadi bahan acuan dan pembanding dalam tahap penulisan. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, dapat diketahui bahwa hingga saat ini kajian tentang Kalimantan Barat terutama yang mengkhususkan pada komunitas Cina sudah banyak dikerjakan oleh sejarawan dan ilmuwan sosialbudaya lainnya. Akan tetapi, kajian yang berfokus pada penerapan sistem

20

keuangan sebagai salah satu bentuk kebijakan publik di Kalimantan Barat belum pernah ada. Berbeda dengan kajian yang umum dilakukan, tulisan ini melihat praktik pacht di tingkat lokal, khususnya di wilayah buitenlanden (luar Jawa dan Madura). Kalaupun sudah ada sejarawan yang mengkaji pacht di luar wilayah Jawa dan Madura, dapat dikatakan belum ada yang membicarakan relasi khusus kelompok-kelompok yang muncul di dalam sistem pacht, dalam hal ini otoritas setempat, Pemerintah kolonial, dan elite Cina. Selain itu, tulisan ini tidak lagi mengkaji sistem pacht dalam struktur fiskal kolonial secara luas yang sudah jelas dalam pembahasan kajian- kajian pendahulu. Studi ini tidak semata melihat pacht dalam realitas ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari mekanisme politik. Studi ini membahas penerapan dan fungsinya di tingkat lokal, yakni sebagai alat tawar-menawar politik bagi pemerintah kolonial; sebagai alat tukar kuasa bagi pemerintah lokal, baik Kesultanan maupun kongsi; sebagai bisnis bagi individu pachter, termasuk sultan dan kerabat, pemimpin kongsi, saudagar, maupun opsir Cina rendahan; dan melihat relasi antara ketiga pihak, pengelola pacht, pemerintah kolonial, dan pemerintah Kesultanan. Pada akhirnya, praktik di tingkat lokal ini ingin melihat perluasan administrasi kolonial Belanda di luar Jawa, khususnya Pontianak melalui sistem pacht.

F. Kerangka Konseptual Tulisan

ini

adalah

kajian

tentang

sistem

pacht

di

Pontianak.

Penyelenggaraan sistem pacht berhubungan dengan kolonialisme Belanda di

21

Kalimantan Barat. Persoalan ini akan dilihat menggunakan konsep yang bersifat operasional dan fungsional. Konsep operasional yang digunakan dalam tulisan ini adalah konsep pacht yang diajukan Howard Dick. Menurut Dick, sebagaimana yang disarikan Abdul Wahid, sistem pacht adalah sistem yang disewakan negara kepada penawar tertinggi melalui lelang, hak monopoli untuk mengadakan jasa pelayanan tertentu, pengumpulan pajak, atau penggabungan sejumlah aktivitas komersial untuk mengembalikan sejumlah uang kesepakatan yang sebelumnya telah dibayarkan kepada pemerintah kolonial sebagai dasar dari sistem ini. 24 Berdasarkan konsep tersebut, sebuah hal yang akan didiskusikan lebih dalam adalah mekanisme pacht. Oleh karena di Pontianak praktik pacht berjalin dengan proses awal kolonialisme Belanda, maka mekanisme pacht yang dibahas mencakup mekanisme politik dan teknis. Secara fungsional, sebagaimana yang dikerjakan oleh Dick dan Wahid, tesis ini juga akan mengaitkan konsep pacht di atas dalam konteks pembentukan negara kolonial. Dengan demikian, pacht akan ditempatkan dalam manajemen keuangan kolonial yaitu sebagai pajak. Perspektif ini selaras dengan argumen Rush mengenai pandangan pemerintah kolonial atas kekuatan utama pacht (yang dalam kajiannya dititikberatkan pada opium) adalah signifikansi jumlah pajak yang dibayarkan kepada kas perbendaharaan kolonial. Rush menambahkan bahwa hal ini dibuktikan oleh kebijakan terkait opium. Kebijakan yang tetap dan dominan dari pemerintah adalah variabel pajak, meski dalam perkembangannya

24

Abdul Wahid, op.cit., hlm. 9.

22

juga mengampuh materi moral dan kriminal. 25 Lebih jauh lagi, tesis ini akan mendiskusikan pandangan Dick bahwa kolonialisme dalam konteks state formation memiliki sebuah aspek yaitu pajak. Oleh karena penguasaan pajak dinilai sebagai salah satu indikator kolonialisme. Pajak berarti penegakkan sebuah negara; menunjukkan keberadaan objek negara (abdi/kawula negara dalam sistem onderdaanschip pemerintah kolonial); dan pengakuan negara lama berada di bawah negara baru. 26 Mengacu pada konsep ini, pembahasan sistem pacht akan ditekankan untuk melihat fungsi pacht sebagai media politik dalam menanamkan kekuasaan pada setiap entitas politik di Kalimantan Barat. Dengan demikian, berjalannya penerapan pacht menjadi indikator seberapa luas dan seberapa besar kekuasaan Belanda di Kalimantan Barat. Melengkapi konsep Dick mengenai kaitan pacht dengan pembentukan negara, penelitian ini juga akan menggunakan argumen Carl A. Trocki mengenai fungsi pacht dalam menegaskan batas wilayah di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Trocki, penentuan batas untuk membagi wilayah kerja dan kontrol para pachter telah mendasari penetapan wilayah administrasi negara kolonial. Aktivitas kontrol wilayah dari masuknya opium tanpa izin oleh pachter opium yang dilakukan secara intensif menegaskan batas tersebut seiring dengan survey dari pegawai kolonial. 27 Argumen Trocki sangat relevan dengan kondisi di Kalimantan Barat. Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat yang mulanya 25

James Rush, op.cit, hlm. 131; 145-146.

26

Howard Dick, (1993b), op.cit., hlm. 5-7.

27

Carl A. Trocki, (2009), op.cit., hlm. 353- 359.

23

menjadikan bentang alam tertentu dan praktik pembayaran upeti dari komunitas di suatu tempat sebagai indikator wilayah sebuah kesultanan. 28 Untuk itu, kajian ini melihat bagaimana pacht menjadi paket tak terpisahkan dari setiap perjanjian politik antara pemerintah kolonial dengan penguasa lokal. Pacht juga menjadi media komunikasi politik. Maka selain menelaah kontrak-kontrak politik dan sistem pacht yang diadakan di Kesultanan Pontianak, penulis juga akan menelaah hubungan kedua hal tersebut pada entitas politik lain seperti Kesultanan Sambas, Kongsi Lanfong, Regentschap Monterado, dan Kerajaan Sintang.

G. Metode Penelitian Tahap heuristik dalam penelitian ini mencakup penelusuran sumber pustaka dan pengamatan lapangan. Sumber utama diperoleh dari Arsip Nasional RI (ANRI) dan Perpustakaan Nasional RI (PNRI). Pengamatan lapangan dilakukan di sejumlah permukiman tua komunitas Cina di Pontianak guna memeroleh imajinasi spasial dan masyarakat. Arsip kolonial berupa Laporan Umum, Laporan Administratif, dan

28

Kajian Dana Listiana mengenai perubahan status dan wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang menunjukkan bahwa sebelum masuknya campur tangan Belanda [berdasarkan argumentasi Soedarto, sejarawan Kalimantan Barat] kerajaan-kerajaan di wilayah Kalimantan Barat tidak memiliki batas wilayah yang pasti. Sebagai pembanding, dalam kajian tersebut ditunjukkan adanya sejumlah pertikaian yang terjadi antara Pontianak dengan Landak juga Mempawah dengan Sambas yang membuktikan ketidakjelasan batas wilayah. Adapun penyebutan wilayah kerajaan dalam catatan kolonial sebenarnya merujuk pada pusat kerajaan di mana kegiatan perdagangan berlangsung. Itu menunjukkan bahwa wilayah kerajaan yang jelas hanyalah wilayah pusat kerajaan. Adapun cakupan atau klaim wilayah kerajaan yang lebih luas biasanya didasarkan oleh bukti atau pernyataan takluk dari kepala-kepala negeri (permukiman) kecil berupa upeti terhadap sebuah kerajaan. Dana Listiana. Tanah Sintang Masa Kolonial: Telaah Sederhana tentang Perubahan Status Pemerintahan dan Wilayah Kekuasaan, (Pontianak: STAIN Press, 2012), hlm. 19-20.

24

Laporan Politik ditelusur melalui Inventaris Arsip Borneo Westerafdeeling di ANRI. Dua laporan pertama memberi kontribusi terbesar mengenai hasil pendapatan pacht. Adapun kondisi pacht dan pachter terkait fungsi sistem pacht dalam persoalan politik kolonial dibahas lebih pada laporan politik. Jurnal klasik Indische Gids dan Tijdschrijft voor Nederlandsch-Indie dan sejumlah akun perjalanan para pedagang dan misionaris diperoleh di bagian koleksi majalah langka dan buku langka PNRI. Artikel jurnal yang memuat informasi komunitas Cina dan kolonialisasi pemerintah Hindia Belanda di Pontianak dan Kalimantan Barat adalah ulasan para sinolog dan pejabat kolonial yang pernah bertugas di Kalimantan Barat pada abad ke-19. Sumber berbahasa Melayu yang diperoleh penulis di ANRI adalah catatan Pangeran Bandahara Kesultanan Pontianak tahun 1850. Catatan terutama berisi sejarah pendirian Kesultanan oleh Syarif Abdul Rahman digunakan sebagai bahan pembanding berbagai kajian sejarawan yang bersumber pada laporan kolonial. Kecuali informasi rinci mengenai riwayat Sultan pertama dan proses pendirian Kesultanan, catatan ini digunakan penulis untuk mengoreksi kekeliruan penggunaan nama sultan dan kerabat yang selama ini dirujuk para sejarawan dari buku karya P.J.Veth. Sumber Melayu lain adalah syair karya bangsawan Melayu tahun 1895. Syair yang dibaca telah berbentuk buku kajian linguis Malaysia. Buku yang berupa pustaka sekunder ini diperoleh dari rekan di Melayu Corner, IAIN Pontianak. Studi lapangan terutama dilakukan di permukiman komunitas Cina yang bergiat pada aktivitas perikanan di Sungai Kakap, pertanian di Nibong Seribu dan Telok Kumpai, dan permukiman diduga wilayah yang dibuka oleh mayor Cina

25

pertama di Parit Mayor, Pontianak Utara. Aktivitas lama sebagian besar telah ditinggalkan oleh penduduk. Gambaran yang tersisa adalah kelanjutan aktivitas seperti pasar ikan di Sungai Kakap, permukiman berupa pasar yang bertahan di Telok Kumpai, dan kuburan tua Cina dengan nisan bernama marga Kwee di Parit Mayor. Kondisi lampau daerah digali dari ingatan masyarakat melalui pembicaraan tentang riwayat klenteng-klenteng tua dan pasar di permukiman mereka. Berikutnya adalah tahap analisa data berupa kritik. Selain pengujian otentisitas dan kredibilitas sumber. Kerja berat dalam tahap ini adalah menelusuri dan memahami konteks historis dan konteks kelembagaan dari sumber yang didapat, memahami konsep (terutama istilah Belanda dan Cina), dan koroborasi dilakukan dengan membandingkan dua atau lebih sumber guna memperkuat penjelasan. Catatan Rush mengenai fungsi sistem pacht bagi pejabat kolonial sangat berharga untuk memahami persepsi mereka saat penulis membaca laporan kolonial. Hasil interpretasi dirangkai menjadi kesatuan peristiwa sejarah secara kronologis sehingga harmonis dan masuk akal. Penafsiran dan penyusunan pembahasan dituntun dan dikerangkai oleh kerangka konseptual di atas. Pada akhir kerja, penulis mengharap dapat menghasilkan historiografi yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

H. Sistematika Penulisan Bab I berisi kerangka ilmiah penulisan yang memuat batasan kajian historis

sebagai

pedoman

pengkajian

26

bagi

penulis,

sekaligus

berbagai

pertanggungjawaban ilmiah penulis. Bagian ini juga menguraikan hal-hal pokok yang mendasari pemilihan topik serta permasalahan yang akan diteliti. Bab II merupakan gambaran dan latar penduduk, wilayah, dan politik pemerintahan. Pada bagian ini, gambaran penduduk dititikberatkan pada komunitas Cina agar sedari awal dapat dipahami dan diidentifikasi bahwa penetapan jenis pacht di Pontianak berbasis pada aktivitas konsumsi dan sosial mereka. Adapun pembahasan mengenai perkembangan politik-pemerintahan dan akibatnya terhadap organisasi wilayah Kesultanan Pontianak dimaksud untuk memberi pemahaman mengenai media praktik pacht serta pihak-pihak dan kewenangan mereka terkait penetapan dan penerapan pacht. Bab III membahas mengenai proses pembentukan sistem pacht sebagai instrumen keuangan di wilayah Kesultanan Pontianak. Bagian ini dimaksud untuk memberi pemahaman bahwa pacht merupakan sistem yang ditanamkan Pemerintah Kolonial dalam rangka perluasan negara kolonial. Dengan demikian, pacht dipahami sebagai bagian dari mekanisme politik kolonial yang dalam praktiknya ditujukan untuk menundukkan kedaulatan politik pemerintah setempat. Pembahasan tersebut juga menunjukkan bahwa mekanisme politik, terkait penetapan dan penerapan pacht di setiap wilayah akan berbeda bergantung proses negosiasi dan konsolidasi dengan pemerintahan setempat. Oleh karena itu, bagian ini juga akan menguraikan mekanisme pacht di daerah Kalimantan Barat lainnya guna menemukan variasi dan menunjukkan sifat khas dari pacht, yakni lentur dan adaptif. Selanjutnya, bagian ini menjelaskan posisi sistem pacht ditempatkan dalam administrasi keuangan kolonial.

27

Bab IV utamanya membahas perkembangan penerapan sistem pacht. Penjelasannya mencakup perubahan kebijakan praktis yang mengatur wilayah kerja, mekanisme teknis, periode penyelenggaraan, jenis dan deskripsi kerja pacht, serta denda; perubahan pelaku atau pengelola operasi pacht (pachter); serta perkembangan hasil perolehan pacht. Lebih jauh lagi, penjelasan ini diharapkan dapat menunjukan hubungan antara perkembangan praktik pacht dengan kondisi politik Kesultanan Pontianak dan Pemerintah kolonial. BAB V membahas mengenai dampak dan respon atas penerapan sistem pacht. Penjelasan dampak politik dititikberatkan pada pemanfaatan sistem pacht oleh Pemerintah Kolonial untuk mengambil-alih kedaulatan Kesultanan dan menurunkan kekuasan Sultan; keselarasan keberhasilan sistem pacht dengan penguatan administrasi kolonial; pemberian kuasa politik elite Cina oleh Pemerintah Kolonial dan penjalinan relasi sosial elite Cina dengan elite Melayu dan elite Eropa. Sementara respon sosial menyoroti reaksi objek utama dari pelaksanaan pacht. Terakhir, uraian keseluruhan disimpulkan dalam Bab VI. Bab ini menjawab permasalahan yang dirumuskan pada Bab I.

28