1
2
3
BAB I PENDAHULUAN 1. Pengertian Dalam setiap penyelenggaraan negara, Pemerintah menetapkan suatu keputusan atau kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan yang di dalamnya tersirat supaya terwujud kesejahteraan seluruh masyarakat.
Semua orang telah mengetahuinya bahwa
dalam melaksanakan keputusan tersebut tidaklah selalu mudah, karena adanya berbagai kelemahan dan kendala yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Secara umum, stabilitas dalam bidang ekonomi dapat dikelompokan menjadi tiga (3), yaitu stabilitas pasar barang dan jasa, stabilitas pasar uang, dan stabilitas pasar luar negeri. Sesuai dengan judul buku ini, kebijakan yang dibahas dalam buku ini adalah kebijakan fiskal dimana suatu kebijakan yang berkaitan dengan pasar barang dan jasa serta kebijakan moneter yang berkaitan dengan pasar uang. Kebijakan tentang pasar barang dan jasa merupakan kebijakan fiskal dan tentang pasar uang merupakan kebijakan moneter.
Kebijakan fiskal ditentukan oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan cara mengubah besarnya penetapan pajak kepada para wajib pajak yang pelaksanaannya dilakukan oleh seluruh wajib pajak dan pemungutan dan pengawasannya dilakukan oleh aparat Pemerintah.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam
pendapatan dan pengeluaran-pengeluaran Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan ekonomi yang dikehendaki yang umumnya ditetapkan dalam rencana pembangunan. Dengan pemahaman itu, menjadi wajar bahwa kebijakan fiskal mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Demikian juga kebijakan moneter, ditetapkan
oleh otoritas moneter yang dalam hal ini adalah bank sentral yaitu dengan cara mengubah besaran moneter dan suku bunga uang serta pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas moneter dan lembaga keuangan.
Sebagaimana diuraikan diatas,
1
kedua kebijakan itu adalah untuk mempertahankan stabilitas ekonomi atau bahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan masyarakat terwujud. Dalam pelaksanaannya, kebijakan itu dapat diterapkan dengan serentak atau salah satunya.
Kebijakan dengan mengubah-ubah penetapan pajak atau
kebijakan fiskal dilakukan karena adanya keinginan Pemerintah untuk mengubah pendapatan Pemerintah yang bersumber dari wajib pajak, yang nantinya digunakan untuk mengubah kemampuan Pemerintah dalam mendanai programnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat. Kebijakan moneter dengan mengubah-ubah jumlah uang beredar atau suku bunga uang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan investasi dan produksi sehingga peningkatan ekonomi dapat diwujudkan. Oleh karena itu, kedua kebijakan itu sangat penting dalam mempertahankan stabilitas ekonomi dan bahkan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
2. Peranan Kebijakan Fiskal dan Moneter Dari pengertian di atas, menjadi jelas bahwa kebijakan fiskal dan moneter merupakan dua (2) kebijakan yang sangat penting di antara seperangkat kebijakan ekonomi atau merupakan bagian integral dari seperangkat kebijakan ekonomi makro. Oleh karena itu, diakui pula bahwa dalam pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter membawa pengaruh terhadap perubahan keseimbangan internal dan eksternal ekonomi suatu negara. Keseimbangan internal atau sering juga disebut dengan keseimbangan domestik adalah suatu keseimbangan di pasar barang dan di pasar uang.
Keseimbangan eksternal atau sering juga disebut dengan
keseimbangan luar negeri adalah suatu keseimbangan neraca pembayaran. Besarnya perubahan keseimbangan sangat tergantung dari arah perubahan yang ditetapkan dalam mencapai tujuan yang diinginkan terhadap keseimbangan perekonomian yang sedang terjadi walaupun sering terjadi konflik antara pengaruh keseimbangan internal dan eksternal (Stern, 1975 halaman 305-306). Penentuan bobot penerapan kebijakan tertentu terhadap kebijakan lainnya, misalnya kebijakan fiskal dibanding dengan kebijakan moneter terhadap
2
kebijakan ekonomi makro lainnya sering digunakan untuk menyelesaikan konflik antara dampak keseimbangan internal dan eksternal dalam ekonomi makro, agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kestabilan ekonomi. Kebijakan fiskal menjadi penting karena dikaitkan dengan suatu proposisi yang mengatakan bahwa dengan penetapan pajak dalam jumlah tertentu pada wajib pajak akan meningkatkan pendapatan Pemerintah sehingga Pemerintah menjadi lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan masyarakat adalah karena meningkatnya produksi nasional yang didorong oleh Pemerintah. Perubahan tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut. Bagan 1 Dampak Perubahan Penetapan Pajak terhadap Pendapatan Nasional Perubahan tarif pajak
Perubahan pendapatan para wajib pajak
Perubahan konsumsi para wajib pajak
Perubahan pendapatan nasional
Perubahan pendapatan pemerintah
Perubahan pengeluaran pemerintah
Perubahan pertumbuhan ekonomi
Keterangan : = mempengaruhi.
Peningkatan jumlah penetapan pajak pada setiap wajib pajak membawa dampak pada berkurangnya pendapatan para wajib pajak sehingga konsumsi para wajib pajak menjadi menurun dari sebelumnya atau sebaliknya. Di lain pihak, jumlah pajak yang diterima oleh Pemerintah digunakan untuk pembangunan ekonomi secara makro sehingga pendapatan nasional secara keseluruhan menjadi meningkat. Kebijakan fiskal sering diterapkan bersama-sama dengan kebijakan moneter dalam suatu kondisi ekonomi tertentu untuk mewujudkan keseimbangan
3
perekonomian kecuali pada masa tertentu yang harus hanya menerapkan satu (1) kebijakan dari kedua kebijakan itu. Kebijakan moneter sangat penting diterapkan karena berkaitan dengan adanya proposisi yang mengatakan bahwa peredaran uang mempunyai hubungan yang erat dengan sektor barang dan jasa atau sektor riil. Dengan pengendalian jumlah uang beredar di masyarakat akan dapat mempengaruhi variabel-variabel ekonomi di sektor riil seperti tingkat harga dan investasi serta produksi. Proses tersebut dapat digambarkan dalam Bagan 2. Dari Bagan 2 dapat dipahami bahwa, pengendalian penetapan pajak dan pengendalian uang beredar dalam masyarakat sangatlah berperan dalam menuju dan menjaga stabilitas ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan moneter tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan lainnya karena kalau dipisahkan, dampaknya sering tidak sesuai dengan harapan keseimbangan. Jika terjadi dampak kebijakan moneter yang tidak diharapkan, umumnya diatasi dengan kebijakan lain yang membentuk keseimbangan ekonomi makro. Bagan 2 Proses Perubahan Uang Beredar Terhadap Perubahan di Sektor Riil
Perubahan Uang Beredar
1
Perubahan Keinginan Berkonsumsi
Perubahan Pendapatan Nasional
2
Perubahan Tingkat Bunga
Perubahan Tingkat Harga Barang & Jasa
Perubahan Keinginan Berinvestasi
Perubahan Produksi
Keterangan : = mempengaruhi. 1 = jalur transmisi menurut paham Monetaris 2 = jalur transmisi menurut paham Keynesian
Dalam jangka panjang, jika dalam kenyataannya diktum ekonomi Klasik yang menyatakan bahwa perekonomian senantiasa berada dalam keadaan kapasitas
4
penuh atau full employment tidak terwujud, berarti tidak berlakunya anggapan yang menyatakan bahwa uang tidak mempengaruhi sektor riil atau uang tidak berperan. Dalam kenyataan jika diktum tersebut tidak cocok dalam kenyataannya dan kalau kondisi itu dibiarkan, akan sangat mengganggu kesejahteraan masyarakat. Kondisi itu memberi arti bahwa uang mempengaruhi sektor riil. Oleh karena itu, kondisi tersebut harus diatasi dengan campur tangan Pemerintah melalui kebijakan fiskal yang sekaligus juga dengan kebijakan moneter serta kebijakan lainnya. Diktum Klasik dengan teori kuantitasnya selalu mengatakan bahwa setiap adanya tambahan jumlah uang beredar yang melebihi jumlah barang dan jasa yang tersedia, akan selalu meningkatkan harga barang dan jasa secara proporsional. Artinya, sektor moneter terpisah dengan atau tidak mempengaruhi sektor riil sehingga dikatakan bahwa uang tidak lebih berfungsi sebagai alat hitung atau unit of account dan alat tukar atau medium of exchange. Karena fakta yang tidak sesuai lagi dengan diktum tersebut, di awal abad ke 20, konsep Klasik menjadi naif atau tidak berlaku lagi, terlebih-lebih kemudian dengan terbitnya buku tentang teori Keynes yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money tahun 1936, yang mengatakan bahwa uang juga dapat berfungsi sebagai alat penyimpan kekayaan atau
store of value yang dapat
memberikan laba pada masyarakat yang memegang uang
atau money is an
income generating assets. Dengan dasar itu, uang di masyarakat dapat mempengaruhi pendapatan riil masyarakat melalui perubahan tingkat bunga dan kemudian perubahan tingkat bunga mempengaruhi perubahan investasi sehingga mempengaruhi perubahan produksi.
Teori Keynes tersebut sangat berbeda
dengan teori Klasik karena anggapan Keynes adalah perekonomian belum mencapai atau belum berada dalam kapasitas penuh.
Dalam kondisi seperti itu,
kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar akan menyebabkan turunnya suku bunga sehingga akan meningkatkan investasi dan kemudian meningkatkan produksi nasional. Artinya, kebijakan moneter berperan untuk meningkatkan produksi nasional, terutama dalam jangka panjang. Dalam perkembangan berikut atau dalam jangka panjang, kebijakan moneter bukan lagi hanya mengatur jumlah uang beredar di masyarakat, tetapi
5
juga mengatur variabel lain yang berkaitan dengan perkembangan jumlah uang beredar seperti mengatur tingkat bunga dan nilai tukar mata uang sehingga efektifitas kebijakan moneter dapat diamati. Dengan dasar efektifitas itu, kebijakan moneter sering diterapkan bersama-sama dengan kebijakan fiskal sehingga keseimbangan ekonomi dapat diwujudkan. Keseimbangan itu dapat digambar dalam gambar berikut. Gambar 1 Kes eimbangan Ekonomi Dalam Negeri r LM
e r*
IS
0
Y*
Y
Keterangan : r = tingkat bunga r* = tingkat bunga keseimbangan Y = pendapatan nasional Y* = tingkat pendapatan keseimbangan e = titik keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang LM = kurva keseimbangan pasar uang IS = kurva keseimbangan pasar barang dan jasa
Dalam bab berikut diuraikan pandangan tentang teori, implikasi masing-masing kebijakan fiskal dan moneter, interdependensinya serta kombinasi kedua kebijakan tersebut dalam suatu kondisi perekonomian. Bagian akhir dari uraian berikut diungkap beberapa perkembangan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.
Soal-soal
6
1. Uraikan dampak kebijakan fiskal yang longgar (easy fiscal policy) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan perekonomian ! 2. Uraikan proses transmisi suatu kebijakan moneter hingga terjadinya perubahan pendapatan nasional ! 3. Perubahan kebijakan fiskal sangat mempengaruhi konsumsi ( C ) masyarakat atau mempengaruhi tabungan ( S ) masyarakat. Pengaruh tersebut menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan ekonomi domestik. Uraikan mekanisme perubahan keseimbangan itu dan bila perlu dengan grafik ! 4. Pola penerimaan pemerintah dalam jaman Orde Baru disempurnakan dalam jaman Reformasi ! Uraikan penyempurnaan itu ! 5. Apakah perbedaan antara Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Iuran Pembangunan Daerah (PBB) ? Jelaskan !
--------------------
7
BAB II KEBIJAKAN FISKAL 1. Pendahuluan Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, bahwa kebijakan fiskal mempengaruhi
keseimbangan
sektor
barang
dan
jasa
yang
kemudian
mempengaruhi keseimbangan sektor ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut dimulai dari keseimbangan pasar barang dan jasa atau sektor riil kemudian pada keseimbangan pasar uang dan akhirnya pada keseimbangan pasar luar negeri. Keseimbangan pasar barang dan jasa atau sektor riil adalah keseimbangan pendapatan pada perubahan tingkat bunga karena perubahan tabungan yang disebabkan oleh perubahan pajak
yang kemudian berinteraksi dengan
mempengaruhi investasi. Perubahan itu sering digambarkan dalam kurva IS sebagaimana diuraikan di depan. Keseimbangan pasar barang dan jasa kemudian mempengaruhi keseimbangan pasar uang melalui perubahan motif masyarakat dalam memegang uang baik memegang uang dengan motif spekulasi atau dengan motif transaksi dan kedua motif tersebut berinteraksi dengan perubahan jumlah uang beredar. Mengubah jumlah uang beredar dilakukan oleh otoritas moneter. Perubahan keseimbangan pasar uang sering digambarkan dengan kurva LM sebagaimana diuraikan di depan. Perubahan kesimbangan pasar uang akan mempengaruhi keseimbangan pasar luar negeri atau neraca pembayaran melalui perubahan penawaran dan permintaan mata uang asing, yang sering digambarkan dengan kurva NPI yaitu keseimbangan cadangan devisa. Keseimbangan pasar barang dan jasa dapat ditunjukan dengan suatu identitas : Y=C+I+G+X–M Dimana : Y = pendapatan nasional, C = konsumsi, I = investasi, G = pengeluaran pemerintah, X = ekspor, M = impor.
8
Kesamaan Y terhadap C + I + G + X – N sering digambar dengan kurva IS yaitu keseimmbangan pasar barang dan jasa di atas, menjadi dasar bahasan dalam memahami keseimbangan pasar barang dan jasa. Pergeseran kurva IS manuju keseimbangan baru yang lebih baik merupakan tujuan atau efek dari kebijakan fiskal. Untuk menyederhanakan pembahasan agar lebih mudah dipahami, untuk sementara tentang ekspor dan impor tidak dibahas. Pajak yang dibayar oleh para wajib pajak diterima oleh Pemerintah sebagai pendapatan yang kemudian akan digunakan untuk mendanai pengeluaran Pemerintah atau Government expenditure yang diberi notasi G yang jumlahnya sama dengan jumlah pajak atau T. Dalam kenyataannya, sangat sering pengeluaran Pemerintah lebih besar dari jumlah pajak atau G > T karena kebijakan fiskal masih longgar. Dalam uraian ini, dianggap G = T. Seperti diuraikan di atas, naiknya penetapan pajak pada para wajib pajak akan menurunkan konsumsi masyarakat atau C menurun atau menurunkan tabungan masyarakat atau S menurun. Penurunan itu dapat dilihat dari parameter b dalam persamaan konsumsi yaitu : C = a + bY Parameter a adalah suatu bilangan konstan yang menunjukan besarnya konsumsi walaupun pendapatan adalah nol. Parameter b menunjukan perubahan konsumsi sebagai akibat dari perubahan pendapatan sehingga parameter b dapat ditulis dalam bentuk matematika : b = C/Y b = MPC Dimana : MPC adalah tambahan keinginan berkonsumsi karena adanya tambahan pendapatan atau Marginal Propensity to Consume.
Seluruh pendapatan masyarakat setelah dikurangi dengan konsumsi dianggap ditabung atau to be save yang diberi notasi S sehingga S dapat ditulis : S = Y-C Untuk mendapatkan persamaan S, persamaan konsumsi dimasukan kedalam persamaan saving, maka persamaan saving menjadi : S = Y- (a+bY), S = Y- a – bY,
9
S = -a + Y – bY, S = -a + (1-b)Y Bilangan -a mempunyai arti bahwa tidak ada sesuatu yang ditabung oleh masyarakat atau bahkan masyarakat memiliki utang sebesar –a jika masyarakat tidak mempunyai pendapatan atau jika Y= 0 atau masyarakat terus berkonsumsi dibalik mereka tidak berpenghasilan. Parameter 1-b mempunyai arti bahwa terjadi peningkatan tabungan masyarakat sebesar 1-b kali pendapatan. Peningkatan tabungan itu dapat ditulis: 1-b = S/Y 1-b = MPS Dimana :
MPS adalah tambahan keinginan menabung karena adanya tambahan pendapatan atau Marginal Propensity to Save
Perlu ditambahkan bahwa parameter 1-b = MPS = 1-MPC. Kalau MPC meningkat, maka MPS akan menurun atau sebaliknya. Dengan bahasa lain, kalau konsumsi seseorang meningkat dengan anggapan jumlah pendapatannya tetap, maka kemampuan masyarakat dalam menabung akan semakin menurun atau sebaliknya. Kesimpulan ini dapat dibuktikan secara matematika : Y Y
= C + S ( diubah menjadi delta) = C + S (dibagi dengan Y)
Y/Y = C/Y + S/Y 1
= MPC + MPS.
Identity 1 = MPC+MPS artinya, jika MPC meningkat, maka MPS menurun atau sebaliknya. Besarnya pajak akan dapat memperjelas hubungan antara perubahan konsumsi atau tabungan terhadap pendapatan Pemerintah. Untuk menjelaskan hubungan itu, identitas Y = C + I + G tetap menjadi dasar sebagaimana diutarakan di depan, variabel X dan M tidak dibahas. Oleh karena itu, dengan memasukkan penetapan pajak dalam persamaan konsumsi, maka persamaan konsumsi menjadi : C = a + b (Y-T) Karena S = Y – C, maka : S = Y – { a + b(Y-T)} atau S = -a + (1-b) (Y-T)
10
Dengan adanya T, konsumsi akan berubah dan perubahan itu sebesar C=-b T dan tabungan berubah sebesar S= (1-b)(-Tax). Karena perubahan pajak, maka identitas pendapatan masyarakat terkait dengan pendapatan Pemerintah akan menjadi : Y = C + I + (G + T) Dengan perubahan pajak akan terjadi perubahan tabungan sehingga menyebabkan perubahan keseimbangan pasar barang dan jasa atau terjadi perubahan kurva IS, misalnya menjadi IS1. Perubahan itu dapat dilihat dalam gambar berikut. Gambar 2 Keseimbangan Pasar Barang dan Jasa S
C=I
S S = -a+(1-c)Y S1=-a+(1-c)(Y-Tax)
0
I 0
r
r
Y
IS
IS1
I = f(r) 0 Keterangan :
I
0
y1
y3
y2
y4
Pergeseran kurva S ke S1 karena naiknya Tax, kemudian menggeser kurva IS ke IS1 atau menggeser pendapatan nasional dari Y1 ke Y3 pada r1 atau Y2 ke Y4 pada r2.
11
Y
Dalam perubahan pasar barang dan jasa tersebut karena pengaruhi kebijakan fiskal, terlihat bahwa kebijakan fiskal memiliki 3 tujuan yaitu : a. menjamin pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang potensial, b. menciptakan tingkat harga umum yang stabil dan wajar, c. meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi tanpa merintangi tujuan-tujuan lain dari masyarakat.
2. Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 1950-2000 Penentuan sistem dan keberhasilan kebijakan fiskal sangat ditentukan oleh pengalaman dan sejarah penerapannya dalam pengelolaan suatu negara. Dalam kenyataannya, sejarah fiskal dibentuk karena adanya situasi atau kondisi sumber pendapatan Pemerintah dari suatu periode tertentu ke periode berikutnya, baik karena pengaruh luar negeri maupun karena pengaruh dalam negeri. Untuk sumber pendapatan Pemerintah Indonesia dalam tahun 1951-1958 sebagian terbesar bergantung dari pendapatan perdagangan luar negeri (Anne Booth). Setelah kurun waktu tersebut terutama dalam tahun 1958-1968 pendapatan Pemerintah dari perdagangan luar negeri mulai merosot dibalik pendapatan lainnya belum dapat mengimbanginya sehingga Pemerintah kesulitan dalam mendapatkan dana pembangunan, kemudian Pemerintah menetapkan anggaran defisit. Untuk menutup kedefisitan anggaran, Pemerintah mencari bantuan luar negeri dan meminjam dana di luar negeri, yang akhirnya dengan dana luar negeri berdampak pada kenaikan harga di dalam negeri atau terjadi inflasi, yang kemudian merupakan babak awal keruntuhan ekonomi Indonesia (RM Sundrum, 1973). Dengan kondisi tersebut, mulai tahun 1969-1997 yang disebut era orde baru, Pemerintah Indonesia melaksanakan beberapa kebijakan : a. Anggaran belanja negara yang tidak melebihi anggaran penerimaan dalam negeri. Untuk itu, tabungan Pemerintah diharap terus meningkat berbarengan dengan pemulihan kondisi ekonomi.
12
b. Perpajakan yang masih sederhana segera diperluas pada objek pajak dan dilakukan
penyempurnaan
cara
penaksiran
pajak
dan
cara
pengumpulannya. c. Pengeluaran Pemerintah diusahakan untuk program yang mendapat prioritas. d. Pengeluaran Pemerintah diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan sumber-sumber dalam negeri secara maksimal. Sehubungan dengan itu, dalam Pelita II atau tahun 1974/75 s/d 1978/79 pajak atas perusahaan minyak mencapai jumlah hampir 50% dari penerimaan pusat dan hal itu memiliki konsekwensi pada kebijakan fiskal yaitu : a. Dengan penerimaan itu terjadi kenaikan pengeluaran riil Pemerintah namun penerimaan domestik tidak ikut meningkat karena pajak belum sempurna, b. Pajak atas perusahaan minyak yang diterima saat itu sebenarnya merupakan bagian dari perhitungan perusahaan minyak sehingga tidak ada pengaruhnya pada daya beli dalam negeri atau malahan menyebabkan inflasi. Perkembangan berikutnya terutama tahun 1980-an, penghasilan pajak non minyak mencapai jumlah kurang dari 30% dari total penghasilan pajak atau hanya 25% dari total anggaran pengeluaran (Anne Booth). Tentu hal itu sangat mengecewakan Pemerintah Indonesia karena saat itu juga terjadi penurunan penghasilan minyak. Sampai dengan awal Pelita III atau dalam tahun 1979/80 masalah itu menjadi masalah berat bagi Pemerintah Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia mengintensifkan penetapan dan penarikan pajak. Mulai Januari 1981 Pemerintah Indonesia melakukan perubahan pajak secara keseluruhan sehingga kinerja pajak non minyak menjadi lebih baik karena dalam Pelita V atau tahun 1989/90 s/d 1993/94 diperkirakan akan terjadi penurunan yang tajam atas bantuan luar negeri. Perubahan pajak dapat dilihat dari sisi pola penerimaan Pemerintah Pusat, perkembangan penerimaan domestik bukan minyak dan pembaharuan kebijakan pajak.
13
a. Pola Penerimaan Pemerintah Pusat Dalam periode tahun 1967- 1975 penerimaan Pemerintah Pusat meningkat dengan pesatnya yaitu kira-kira 10% atau menjadi lebih besar dari 20% dari Gross Domestic Product atau GDP serta hampir keseluruhannya berasal dari minyak (Anne Booth). Penerimaan negara tersebut dikelompokkan menjadi : a). Penerimaan dalam negeri bukan minyak, yang terbagi dalam : a1). Pajak langsung, a2). Pajak tidak langsung, a3). Penerimaan bukan pajak. b). Penerimaan pajak minyak, c). Penerimaan dari luar negeri seperti pinjaman dan bantuan. Dalam periode ini, Pemerintah belum melakukan pinjaman dari pihak perbankan seperti dengan penerbitan obligasi Pemerintah. Dari kondisi tersebut, terlihat bahwa arah pola penerimaan pajak dalam periode 1967-1975 adalah : a). Peningkatan pajak atas perusahaan minyak, b). Masih rendahnya pajak dari bukan minyak, c). Sangat rendahnya pajak tidak langsung, d). Naiknya penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor. Dengan usaha penyempurnaan kebijakan pajak, tahun 1990-an pola penerimaan pajak menjadi terbalik jika dibandingkan dengan periode 1967-1975, yaitu : a). Pajak atas perusahaan minyak menurun, b). Pajak bukan minyak meningkat, c). Pajak tidak langsung tidak turun, d). Penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor turun pelan-pelan.
b. Perkembangan Penerimaan Domestik non Minyak Dalam Pelita I atau 1969/70 s/d 1973/74 pajak langsung yang berupa pajak perseroan, MPO dan pajak penjualan mengalami peningkatan dengan tajam tetapi pajak tidak langsung seperti Ipeda (iuran pembangunan daerah) dan pajak cukai meningkat agak lambat. Kondisi ini memberi gambaran agar Pemerintah
14
mengintensifkan pajak atas pendapatan perorangan atau perseroan dan pajak tanah permukiman di perkotaan. Pada periode ini tidak dilaksanakan pajak ekspor karena untuk meningkatkan perdagangan luar negeri dibalik peningkatan pajak impor. Pajak merupakan salah satu pendapatan Pemerintah disamping bantuan luar negeri. Rata-rata bantuan luar negeri terhadap pengeluaran pembangunan dalam Pelita I berkisar 57%, dalam Pelita II berkisar 36%, dalam Pelita III berkisar 30% dan dalam Pelita IV berkisar 50% (Umar Basalim, 1993). Dalam awal Pelita III atau tahun 1979/80- 1980/81 muncul harapan yang cerah akan pendapatan pajak pendapatan atau PPh karena ditetapkannya pembaharuan pajak tahun 1981. Dalam tahun berikut yaitu tahun 1988 atau dalam akhir Pelita IV atau 1988/89 pajak pertambahan nilai atau PPN meningkat 3 kali dibanding dengan tahun 1983 walaupun pajak bumi dan bangunan atau PBB masih kecil.
Selama tahun 1983 hingga tahun 1988 potensi dalam
meningkatkan PPN masih tinggi yaitu 53% dan PPh 35% (Marie Muhammad, 1988). APBN awal Pelita V atau 1989/90 sejalan dengan Paket 27 Oktober 1988 atau Pakto 27, 1988 yaitu suatu APBN yang diupayakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat luas atau untuk pemerataan dan penyehatan neraca pembayaran.
Pengeluaran dalam
APBN
ditujukan untuk
meningkatkan
kemampuan golongan ekonomi lemah, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan nasional. Suatu kenyataan bahwa dalam APBN tahun 1989/90 pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan tabungan sebesar 13,75% dan 86,25% dibiayai dari pinjaman luar negeri. Oleh karena itu, peranan kebijakan pajak masih sangat lemah sehingga kenaikan penerimaan pajak sangat diharapkan hingga saat ini.
c. Pembaharuan Kebijakan Pajak Keadaan yang teruraikan di atas merupakan suatu tanda keberhasilan dan pembaharuan kebijakan pajak yang dimulai sejak tahun 1981. Pembaharuan itu dilakukan oleh Pemerintah karena didorong oleh suatu pandangan yang kuat
15
bahwa dalam Pelita berikutnya khususnya mulai Pelita V atau 1989/90 s/d 1993/94 akan terjadi penurunan yang cepat dalam ketergantungan pada bantuan luar negeri dan pada pajak minyak sehingga pengumpulan pajak non minyak diintensifkan. Dalam bulan Desember 1983 dan 1985 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui undang-undang perpajakan, seperti : a) Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Peraturan dan Prosedur Pajak Umum, b) Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Pendapatan dan pajak pertambahan nilai terhadap barang dan jasa serta pajak penjualan barang mewah, c) Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang PBB, d) Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang pajak materai. Penerimaan dalam negeri yang berupa pajak sangat diandalkan oleh Pemerintah karena penerimaan dalam negeri lainnya seperti minyak tergantung pada pasaran dunia dan kebijakan OPEC dan penerimaan ekspor nonmigas juga tergantung pada kebijakan quota impor, retribusi impor, dumping, dan kebijakan lainnya. Kebijakan pajak dapat bersifat fleksibel atau kenyal dalam pengaturan perekonomian. Reformasi perpajakan meliputi aspek perumusan dan pembuatan peraturan perundang-undangan pajak yang menyangkut utility ekonomi, meningkatkan keadilan, pemerataan beban, peningkatan kepatuhan pajak, penyempurnaan administrasi pajak dengan kepastian hukum, memberikan kemudahan dan pelayanan yang prima kepada masyarakat wajib pajak dan berusaha meningkatkan pendapatan negara dari pajak. Sesungguhnya jauh sebelum jaman reformasi pembaharuan perpajakan nasional I telah dilakukan yaitu dalam tahun 1983 s/d 1985, pembaharuan perpajakan yang ke II dilakukan dalam tahun 1994 dan 1997. Dalam pembaharuan perpajakan yang I melahirkan undang-undang perpajakan : a) Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, b) Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
16
c) Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, d) Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang PBB, e) Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai. Dalam pembaharuan perpajakan yang II, melahirkan undang-undang perpajakan : a) Undang-undang nomor 9 tahun 1984 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, b) Undang-undang nomor 10 tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan, c) Undang-undang nomor 11 tahun 1994 tentang PPN barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, d) Undang-undang nomor 12 tahun 1994 tentang PBB. Pembaharuan perpajakan yang ke III melahirkan undang-undang perpajakan : a) Undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Negara yang mengundangkan tatacara sengketa pajak diantara wajib pajak dan Pemerintah, b) Undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memerinci pendapatan dari pajak dan retribusi. Jenis pajak daerah tingkat I berupa pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor, serta jenis pajak daerah tingkat II berupa pajak hotel dan restaurant, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Retribusi terdiri dari jasa umum, jasa usaha dan perijinan tertentu. c) Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa yang diterbitkan karena wajib pajak atau
penanggung tidak
melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Melakukan penyitaan jika wajib pajak atau penanggung tidak memenuhi surat penagihan pajak. d) Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara bukan Pajak yang terdiri dari penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, penerimaan
17
dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, penerimaan berdasarkan keputusan pengadilan dan berasal dari pengenaan denda administrasi, penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah dan penerimaan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. e) Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan. Pajak dikenakan kepada yang menerima (pribadi atau badan) hal atas tanah atau bangunan yang terdiri dari pemindahan hak dan pemberian hak baru. Hak atas tanah atau bangunan adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Perekonomian menjelang tahun 2000 yang telah diwarnai oleh krisis ekonomi yang dimunculkan dengan krisis moneter mulai tahun 1997, membuat Pemerintah harus mengatasinya dengan memulai suatu strategi kebijakan fiskal yang baru agar masyarakat percaya dengan pengelolaan fiskal yang sehat. Langkah awal yang dilakukan oleh Pemerintah adalah konsolidasi fiskal untuk memulihkan kepercayaan dan penurunan kebangkrutan fiskal, kemudian dilanjutkan dengan reformasi fiskal yang lebih mengakar, reformasi perpajakan, reformasi kepabeanan, reformasi anggaran dan reformasi departemen keuangan (Budiono, 2004). Dengan krisis moneter tahun 1997 telah mengubah kondisi anggaran pendapatan dan belanja negara menjadi defisit, ekonomi sektor riil macet dan terjadi inflasi sekitar 78%, kurs mata uang asing meningkat, dan PDB anjlog 13%. Setelah rekapitalisasi perbankan, utang pemerintah menjadi 96% dari PDB atau sebesar Rp.1.226,1 triliun (setara dengan US $ 60,8 miliar). Sebagian utang itu adalah akibat dari kebijakan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kebijakan penjaminan bank, kebijakan rekapitalisasi bank, dan kebijakan diversifikasi. Kebijakan BLBI adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas bank akibat arus dana keluar yang tidak terbendung yang dipicu oleh krisis di Thailand. Pembelian dolar terjadi besar-besaran dan dana rupiah nasabah bank ditarik untuk ditukarkan dengan dolar sehingga bank-bank kesulitan rupiah. Dana keluar dari bank- bank ditambah dengan peristiwa-peristiwa ekonomi yang
18
tidak mendukung seperti penutupan 18 bank sekaligus Nopember 1997, inflasi, orang enggan menyimpan uang rupiah, kegiatan ekonomi macet, terjadi pemutusan hubungan kerja, kehidupan semakin berat, dan meledaknya kerusuhan di berbagai daerah. Kondisi secara keseluruhan tersebut sangat menekan dunia perbankan yaitu bank satu tidak dapat meminjam dari bank lain, pinjaman luar negeri tidak mungkin. Kalau hal tersebut dibiarkan, bank-bank akan hancur total. Oleh karena itu, satu-satunya yang dapat menyelamatkan bank adalah Bank Indonesia. Kebijakan penjaminan bank dimulai Maret 1998 dimaksudkan untuk mengatasi situasi perbankan yang sudah benar-benar kehilangan kepercayaan dari para nasabahnya berupa penarikan rupiah untuk membeli mata uang asing atau simpanannya dipindahkan ke bank asing. Kebijakan ini sangat tepat terbukti sewaktu likuidasi banyak bank tidak terjadi kondisi sewaktu penutupan 16 bank sebelumnya. Kebijakan penjaminan bank ini merupakan sumber kedua timbulnya utang dalam negeri pemerintah. Kebijakan rekapitalisasi bank dilakukan setelah proses penutupan bank tahun 1998-1999 selesai sehingga bank yang masih bertahan dapat beroperasi secara normal kembali. Bank yang bertahan yang dibebani kredit macet dan tidak mempunyai modal yang memadai harus melewati proses penyehatan khusus BPPN termasuk pembersihan neracanya dari kredit macet dan penambahan modal atau
rekapitalisasi.
Tindakan
rekapitalisasi
dipandang
sebagai
pasyarat
pentingnya bagi pemulihan ekonomi. Bank diwajibkan memenuhi rasio kecukupan modal minimal 4% akhir tahun 1998, jika ada kekurangan, pemilik lama diminta menyetor paling tidak seperlimanya dan sisanya ditutup oleh pemerintah dalam bentuk obligasi pemerintah. Ternyata yang kekurangan modal terbesar adalah bank-bank pemerintah. Rekapitalisasi inilah sebagai sumber utang pemerintah yang sangat besar. Dengan kebijakan rekapitalisasi menyebabkan kepemilikan saham bank sebagaian terbesar dimiliki oleh pemerintah. Hal ini tidak baik dan tidak akan sehat karena risiko yang ada di bank. Oleh karena itu, kebijakan ini diikuti dengan kebijakan menjual kembali saham tersebut atau disebut divestasi.
19
3. Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 2001 – 2008 Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah di bidang pendapatan dan pengeluaran negara dengan tujuan untuk perbaikan ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, pemerataan pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Kebijakan fiskal ditetapkan oleh pemerintah dan legislatif melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. Ada 3 (tiga) tujuan kebijakan fiskal, yaitu : a. Untuk memantapkan stabilitas ekonomi makro, b. Untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri, c. Untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Dalam tahun 2001, proses pemulihan ekonomi masih dipengaruhi oleh ketidakpastian, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah belum pulih, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing masih lemah, inflasi cenderung meningkat, dan pertumbuhan nilai ekspor khususnya nonmigas cenderung meningkat. Dengan pengaruh tersebut, kebijakan ekonomi makro diarahkan pada upaya untuk meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam mengurangi tekanan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah serta memelihara ketahanan fiskal. Peranan pemeritah dalam perekonomian dan pembangunan menjadi sangat penting, yaitu : a. Merumuskan instrumen kebijakan fiskal dan pengeluaran, b. Menganalisa pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, dan inflasi, c. Mewujudkan sasaran ekonomi seperti pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, stabilitas ekonomi dan sasaran sosial seperti pemerataan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Setelah sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR-RI tanggal 30 April 2001 pandangan masyarakat terhadap ketidakpastian masih berlaku dan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah semakin melemah sehingga kurs dolar Amerika terhadap rupiah meningkat menjadi Rp. 11.000,00 dan terjadi sentimen konsumen terhadap situasi dengan kinerja ekonomi yang semakin melemah dan ekspektasi terhadap perekonomian
20
yang semakin memburuk. Ekspektasi masyarakat terhadap meningkatnya inflasi lebih didorong oleh rencana pemerintah yang akan menaikan harga bahan bakar minyak atau BBM, tarif dasar listrik atau TDL, dan pajak pertambahan nilai atau PPN dalam semester I tahun 2001. Bersamaan dengan itu, mulai bulan Januari 2001, bangsa dan negara Indonesia melalui babak baru penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan dasar otonomi di seluruh daerah tingkat II yang jumlahnya mencapai 336. Babak baru
tersebut
menuntut
peningkatan
tanggungjawab
penyelenggaraan
pemerintahan atau penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi di tingkat daerah sangat besar, khususnya dalam bidang pendidikan yang merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah yang telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan penduduk. Walaupun telah digalakkan otonomi, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan masih sangat terbatas karena pendapatan asli daerah atau PAD masih rendah dalam penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD daerah tingkat II dan kesiapan sumber daya manusia serta kemampuan manajemen sektor pendidikan tingkat daerah masih terbatas. Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Saat ini kesejahteraan masyarakat belum terwujud karena efektifitas pengeluaran APBD tidak mampu mengimbangi peningkatan PAD berupa pajak dan restribusi. Desentralisasi pajak di Indonesia merupakan komponen utama dari program otonomi daerah yang dijalankan sejak tahun 2001. Undang-undang tentang desentralisasi pajak tidak mengatur penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat khususnya kesehatan dan pendidikan. Aspek penting dari sistem sosial masyarakat adalah nilai masyarakat setempat terhadap profesi atau pedagang dan penghargaan terhadap kerja. Dengan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih lemah dan laju inflasi cenderung meningkat, maka kebijakan ekonomi makro dalam tahun 2001 diarahkan pada dua (2) upaya pokok, yaitu :
21
a. Meningkatkan stabilitas ekonomi terutama untuk mengurangi tekanan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Hal ini dapat dicapai dengan kebijakan fiskal yang konsisten dalam rangka penyesuaian harga BBM, TDL dan PPN.
Konsistensi kebijakan fiskal
akan mengurangi ekspektasi dan reaksi masyarakat yang berlebihan, b. Memelihara ketahanan fiskal melalui penyesuaian APBN 2001 karena penyesuaian ini sangat penting untuk mewujudkan kepastian pembiayaan bagi pengeluaran negara yang pada gilirannya akan membantu dalam pemulihan kepercayaan masyarakat. Dalam tahun 2002, peranan pemerintah sangat signifikan dalam pembangunan ekonomi melalui instrumen fiskal dan moneter. Sebagaimana diketahui bahwa, tujuan pemerintah melakukan intervensi dalam sistem perekonomian adalah : a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi, b. pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan c. mempertahankan stabilisasi. Instrumen yang utama dalam kebijakan moneter adalah kebijakan suku bunga dan jumlah uang beredar sedangkan instrumen yang utama dalam kebijakan fiskal adalah pengenaan pajak dan subsidi. Kebijakan fiskal yang dilaksanakan pemerintah tertuang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN yang disusun setiap tahun. Alokasi
anggaran
pemerintah
antar
sektor
merupakan
indikator
keberpihakan pemerintah dalam memicu pertumbuhan sektor tersebut. Pada awal pembangunan sebagian besar perhatian pemerintah diarahkan untuk pembangunan sektor pertanian terutama dalam mencapai swasembada pangan. Untuk itu, berbagai program dilaksanakan dalam rangka mendorong produksi pertanian terutama tanaman pangan mulai dari subsidi pupuk dan output, subsidi kredit pertanian, kelembagaan sampai pada investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur seperti saluran irigasi dan pencetakan areal baru. Seiring dengan pergeseran paradigma perekonomian dan setelah mencapai swasembada beras pada tahun 1984, arah kebijakan pembangunan mulai bergeser
22
pada sektor industri dengan harapan mampu memicu pertumbuhan ekonomi dan mempercepat transformasi ekonomi dari sektor primer atau pertanian ke sektor industri. Berbagai kebijakan baik fiskal maupun moneter diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor industri mulai dari deregulasi sektor perbankan, kebijakan luar negeri, dan alokasi anggaran untuk mengembangkan infrastruktur sektor industri. Perubahan kebijakan makro ini menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap berbagai sektor penting lainnya. Dampak langsung yang dirasakan adalah stimuli pada sektor turunannya yang secara relatif menjadi berkurang meskipun secara tidak langsung terdapat dampak positif dengan meningkatnya permintaan pada produk non migas karena pertumbuhan sektor industri. Pada dasawarsa terakhir, perubahan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter.
Beberapa perubahan lingkungan
strategis telah terjadi baik domestik maupun internasional, seperti (1) dinamika ekonomi global dengan segala manfaat dan kelemahannya, (2) perubahan sistem manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan otonomi daerah di kabupaten atau kota, dan (3) reorientasi peran pemerintah dalam pembangunan dari sebagai pelaku menjadi pemicu dan pemacu pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Perubahan lingkungan strategik tersebut mendorong Indonesia pada suatu situasi transisi berkepanjangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hal terpenting yang telah dilakukan yaitu transisi dari suatu sistem sentralistis manuju sistem yang lebih terdesentralisasi.
Arus desentralisasi itu sendiri
merupakan sebuah proses yang dapat diciptakan menjadi sebuah kesempatan yang harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan hasil yang diinginkan. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu mengakomodasikan aspirasi terhadap ketidakmerataan yang merupakan tuntutan penting sehingga terciptanya otonomi daerah untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi bagi daerah yang memang memiliki kelebihan.
23
Sementara itu perubahan lingkungan strategis domestik yang sangat besar mempengaruhi kebijakan perekonomian adalah desentralisasi fiskal dan otonomi daerah.
Perubahan lingkungan strategis tersebut berdampak pada perubahan
kebijakan yang diambil pemerintah serta pada penerimaan dan belanja pemerintah. Dalam hubungan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagian penerimaan dalam negeri diserahkan penggunaannya kepada daerah. Sebagai
konsekwensinya
jumlah
anggaran
pembangunan
yang dikelola
pemerintah pusat menurun drastis. Secara garis besar, fiskal dalam keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua (2), yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut sangat menentukan kedudukan suatu pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi. Implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang didasarkan pada Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 33 tahun 2004, memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola dan mengatur sumber daya sesuai dengan kepentingan masyarakat daerahnya.
Pemerintah
Daerah
berwenang
untuk
menetapkan
prioritas
pembangunan sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik yang dimulai pada tahun anggaran 2001 tersebut membawa konsekwensi perlunya diadakan perubahan pendekatan pada manajemen keuangan daerah terutama pada sisi pengelolaan fiskal. Kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga perlu disesuaikan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yakni dengan menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal. Sementara
itu
dalam
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal,
kebijakan
pengalokasian anggaran belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan maupun dana alokasi khusus diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional (Abimanyu, 2003). Kebijakan dimaksud lebih diarahkan untuk memperkecil
24
ketimpangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan, serta meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas kinerja Pemerintah Daerah (Mardiasmo, Sidik, 2002). Kondisi sosial ekonomi dan politik dalam negeri juga menyebabkan terjadinya persaingan kepentingan atau competition urgency yang sangat besar dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai Pemerintah Pusat. Masalah-masalah tersebut berupa pengentasan kemiskinan, pengangguran, masalah politik dan pembayaran utang. Akibatnya, alokasi anggaran pembangunan menjadi lebih rendah. Akibat perubahan yang sangat dinamis pada aspek lingkungan strategis (internal maupun eksternal) dengan berbagai konsekwensi terhadap kebijakan pemerintah dan arah kebijakan pembangunan di Indonesia sehingga peneliti tertarik mengkaji dampak perubahan kebijakan Pemerintah terhadap kinerja Pemerintah Daerah. Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan daerah diharapkan akan sangat mempengaruhi targettarget
pembangunan
nasional
antara
lain
penciptaan
lapangan
kerja,
penanggulangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pertumbuhan sektorsektor primer dan sekunder. Pada sisi lain, pemberian kewenangan kepada daerah yang memiliki potensi pengelolaan sumberdaya lebih efisien mampu menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi. Dengan diberikannya kewenangan yang lebih besar ini, daerah harus mampu melaksanakan dan mempertanggungjawabkan kewenangannya tersebut dalam bentuk peningkatan kinerja Pemerintah Daerah dalam arti menjadi lebih efisien, efektif, akuntabel, transparan, dan responsif secara berkesinambungan (Mardiasmo, 2002). Oleh karenanya, pengukuran kinerja suatu daerah sangat penting dilakukan guna mengevaluasi dan sebagai informasi yang akurat bagi perencanaan dan perumusan kebijakan selanjutnya (Dwiyanto, 2003). Beberapa jenis informasi yang digunakan disiapkan dalam rangka menjamin bahwa pekerjaan yang telah ada dilakukan secara efektif dan efisien. Dalam masa proses pertumbuhan suatu daerah selalu diukur kinerjanya melalui informasi formal dan non formal, informasi pengendalian tugas, laporan anggaran dan laporan
25
nonfinansial, laporan penggunaan dan pengendalian biaya, laporan kinerja pegawai dan sebagainya. Konsep pengukuran kinerja atau scorecard yang hanya mengandalkan pada aspek finansial saja, saat ini mulai ditinggalkan karena dianggap hanya mengejar tujuan kemampuan laba jangka pendek semata. Terlebih jika pengukuran kinerja dilakukan bagi organisasi pemerintah yang tidak berorientasi profit, maka sangat diperlukan ukuran-ukuran yang lebih komprehensif. Kinerja pemerintah tidak hanya diukur melalui perspektif finansial saja, tetapi juga diukur dari perspektif nonfinansial seperti masalah kinerja pegawai yang dihubungkan dengan prestasi produksi dan kualitas pelayanan publik. Kecenderungan yang selalu menilai kinerja organisasi hanya berdasarkan pada perspektif finansial mengikuti paradigma rational goal model yang mudah diukur secara kuantitatif. Bahkan dalam kegiatan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau BUMN yang bersifat setengah mencari laba, tingkat kesehatan atau kinerja organisasi pada umumnya diukur berdasarkan tiga kriteria utama seperti rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Dari semua ukuran tersebut, secara organisatoris aspek eksternal organisasi kurang diperhatikan seperti tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, employee retention, dan lain sebagainya sehingga organisasi yang hanya berorientasi pada laba tidak dijamin kelanggengannya dalam persaingan global yang mengarah pada hypercompetitive. Oleh karenanya muncul pemikiran baru yang dipelopori oleh Kaplan dan Norton tahun 1996 untuk memperkenalkan Balance Scorecard Concept sebagai suatu measurement system yang mencoba menyeimbangkan alat ukur lama yang hanya berdimensi pada profitabilitas dengan dimensi-dimensi baru seperti aspek kualitas yang memiliki elemen-elemen penyeimbangnya. Dengan pengukuran kinerja yang seimbang diharapkan dapat mengintegrasikan energi, kemampuan dan pengetahuan organisasi yang spesifik dari organisasi agar dapat mencapai long-term strategic goals. Upaya penyeimbangan ini menyangkut pihak-pihak di dalam dan di luar organisasi yang dijadikan tolok ukur guna mengimbangi scorecard yang berdimensi ukuran profitabilitas.
Biasanya tolok ukur yang dikembangkan
26
adalah aspek customer satisfaction, employee retention, dan lain sebagainya. Peningkatan sales atau penurunan cost tidak ada artinya apabila menimbulkan ketidakpuasan di mata masyarakat yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepuasan masyarakat. Demikian pula karena manajemen pengencangan ikat pinggang untuk menurunkan cost, sehingga pengiritan ini akan berdampak pada turn-over pegawai yang tinggi ataupun employee retention yang menurun sehingga banyak pegawai handal yang meninggalkan organisasi sehingga untuk pemulihannya memerlukan waktu lagi untuk recruitment, training, dan lain sebagainya. Secara konsepsional, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah akan mengacu pada beberapa konsep pembaharuan untuk mewujudkan clean dan good governance.
Salah satunya akan dikembangkan
balanced scorecard concept. Balanced scorecard consept yang meskipun tidak seratus persen tepat, tetapi secara filosofis dapat dianalogkan seperti hanya dengan perencanaan strategis yang telah menjadi acuan dalam perencanaan pemerintah di tingkat pusat maupun daerah. Secara formal, pengukuran kinerja pemerintah daerah diatur dalam Inpres Republik Indonesia nomor 7 tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yaitu untuk meningkatkan kinerja organisasi. Inpres ini mengamanatkan agar setiap pengalokasian atau pengeluaran anggaran pemerintah harus didasarkan pada pencapaian tujuan sesuai dengan visi dan misi setiap unit organisasi yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Ukuran kinerja didasarkan pada pencapaian output, outcome, benefit, dan impact.
Model pengukuran kinerja Pemerintah Daerah
untuk mendukung desentralisasi fiskal adalah balance score yang merupakan metode yang mengungkapkan betapa pentingnya untuk melihat aspek keuangan maupun non keuangan guna tercapainya keseimbangan dalam pengukuran kinerja. APBN tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan rencana pembangunan tahunan atau Repeta tahun 2002 di samping mengacu kepada
arah
kebijakan
yang
digariskan
dalam
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN tahun 1999-2004 dan Undang-undang nomor 25 tahun 2000
27
tentang Program Pembangunan Nasional atau Propenas tahun 2000-2004, juga merupakan kelanjutan dari kebijakan fiskal tahun anggaran sebelumnya. APBN tahun 2002 di samping diselaraskan dengan kebijakan program pembangunan ekonomi
yang
akan
dilaksanakan
dalam
tahun
anggaran
2002
juga
mempertimbangkan kinerja perekonomian dalam tahun anggaran 2001. Berbagai perkembangan dibidang ekonomi dan non ekonomi memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap proses pemulihan ekonomi dalam tahun anggaran 2001. Di sisi ekonomi, depresiasi nilai tukar rupiah dan meningkatnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia atau SBI yang cukup jauh dari asumsi dasar yang digunakan, memberikan tekanan dan hambatan yang cukup berat terhadap pelaksanaan APBN tahun anggaran 2001. Terhambatnya beberapa kebijakan fiskal seperti tertundanya beberapa pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, tidak dapat diberlakukannya secara penuh rencana kebijakan kenaikan harga BBM pada awal April 2001, serta adanya pembatalan sebagian pencairan pinjaman program untuk mendukung pembiayaan pembangunan juga turut memperberat pelaksanaan APBN tahun anggaran 2001. Kondisi politik, sosial, dan keamanan di dalam negeri yang kurang kondusif yang ditandai dengan ketidakstabilan situasi politik dan terjadinya gejolak sosial dibeberapa daerah juga merupakan salah satu faktor penghambat upaya percepatan proses pemulihan ekonomi. Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, kebijakan APBN tahun anggaran 2002 diarahkan pada beberapa sasaran pokok terutama upaya untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan, menciptakan stabilisasi ekonomi
makro,
kebutuhan
memberikan
stimulus
terhadap
kegiatan
perekonomian dalam batas-batas kemampuan keuangan negara, serta mendukung proses
pemulihan
ekonomi.
Kebijakan
tersebut
juga
diarahkan
untuk
memantapkan proses desentralisasi dengan tetap mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan penyerahan beberapa wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Sejalan dengan kebijakan tersebut, dana perimbangan diupayakan dapat mencerminkan asas keadilan dan pemerataan, termasuk dalam
28
rangka mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Berbagai hal tersebut, sejauh mungkin diupayakan agar dapat berjalan seiring dengan kebijakan di bidang moneter, perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran, nilai tukar dan lalu lintas devisa, serta kebijakan sektor riil. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan belanja negara dan sekaligus untuk menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara, pengerahan dan penggalian sumber-sumber penerimaan dalam negeri terutama dari penerimaan perpajakan akan terus ditingkatkan melalui berbagai langkah seperti penyisiran terhadap kegiatan usaha di sentra-sentra ekonomi tertentu, penyisiran terhadap berbagai objek pajak atau transaksi tertentu yang dapat dijadikan petunjuk tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar pajak, pengembangan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi, serta peningkatan kualitas aparatur, pengawasan administrasi, pemeriksaan, penyidikan, penagihan secara aktif, dan penegakan hukum.
Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara bukan
pajak atau PNBP tetap akan dilaksanakan melalui berbagai langkah seperti peningkatan pencegahan dan penanggulangan pencurian atau penebangan kayu secara tidak sah, pemberantasan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, peninjauan kembali bagian pemerintah atas laba BUMN atau pay out ratio dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan kelangsungan investasi BUMN yang bersangkutan. Khusus untuk PNBP yang berasal dari bagian pemerintah atas laba Pertamina pada tahun 2002 juga direncanakan mengalami perubahan yang cukup berarti yaitu dari 10% menjadi 50% dari keuntungan bersih Pertamina. Di bidang belanja negara, kebijakan alokasi anggaran belanja negara diarahkan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal, percepatan restrukturisasi perbankan, penyediaan subsidi yang tepat sasaran dan berkaitan langsung dengan masyarakat luas, serta pelaksanaan program-program sosial lainnya yang diprioritaskan bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin.
Di sisi pengeluaran rutin, efisiensi dalam pengalokasian
anggaran belanja tersebut terus ditingkatkan tanpa mengabaikan penyelenggaraan kajian pemerintahan dan upaya peningkatan kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Selain itu, dalam rangka mengurangi beban
29
subsidi BBM dalam tahun anggaran 2002 harga BBM dalam negeri akan dinaikkan yang seiring dengan peningkatan efisiensi Pertamina serta langkahlangkah yang tegas dalam pemberantasan penyelundupan BBM. Di sisi pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 2002 pengeluaran pembangunan hanya terdiri dari pengeluaran pembangunan yang dikelola Pemerintah Pusat yang meliputi anggaran pembangunan departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen dan lain-lain pengeluaran pembangunan. Dalam situasi terbatasnya kemampuan penyediaan anggaran belanja pembangunan, pemanfaatan pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 2002 cepat menghasilkan dan menyentuh kepentingan masyarakat luas. Searah
dengan
arah
kebijakan
yang
digariskan
dalam
Rencana
Pembangunan Tahunan atau Repeta tahun 2002, prioritas anggaran belanja pembangunan dalam tahun anggaran 2002 dititikberatkan pada : a. Pembangunan sektor pendidikan yang lebih difokuskan pada peningkatan partisipasi pendidikan dasar melalui penuntasan program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan peningkatan mutu pendidikan. b. Pembangunan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan seluruh penduduk, terutama bagi penduduk miskin, serta peningkatan dan perluasan pelayanan kesehatan sosial terutama bagi penduduk miskin, anak terlantar, lanjut usia, penyandang cacat, tuna sosial, korban bencana alam dan para pengungsi korban kerusuhan sosial di berbagai wilayah termasuk pemukimannya kembali, serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Republik Indonesia dan Pensiunan. c. Pembangunan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan melalui kegiatan yang mendukung peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, peningkatan kesejahteraan petani dan perbaikan kehidupan pedesaan, pengembangan peternakan dalam rangka peningkatan gizi, pengembangan perkebunan rakyat yang berorientasi ekspor, serta pembangunan perikanan
30
dan kelautan dalam rangka meningkatkan potensi ekonominya, dan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil, dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. d. Pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, peningkatan akses kepada sumber daya produktif, serta pengembangan kewirausahaan dan koperasi yang memiliki keunggulan komparatif. e. Pembangunan sektor perhubungan, dengan arah kegiatan pemeliharaan, pembangunan dan pengembangan aksesibilitas, serta pelayanan jaringan perhubungan dalam rangka untuk meningkatkan mobilitas barang dan orang. f. Pembangunan penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat yang diarahkan untuk menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui peningkatan kekuatan, serta kemampuan Kepolisian Republik Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya dengan melaksanakan
beberapa
kegiatan
seperti
penyelenggaraan operasi
penegakan hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat. g. Peningkatan ketahanan, melalui kegiatan meningkatkan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia dan kemampuan operasi dalam upaya mencegah disintergrasi nasional dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan membantu Kepolisian Republik Indonesia dalam menciptakan stabilitas dalam negeri. h. Penguatan politik luar negeri dan diplomasi yang ditujukan untuk memulihkan citra Republik Indonesia didunia internasional dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi nasional. Kecenderungan peningkatan transfer dana ke daerah pada tahun 2003 dan 2004 terus terjadi baik secara absolut maupun proporsi tertentu terhadap produk domestik bruto. Pada tahun 2003 jumlah dana perimbangan mencapai Rp. 116,9 trilyun atau 6% dari PDB dan pada tahun 2004 jumlah tersebut direncanakan akan diturunkan menjadi Rp 114,9 trilyun atau 5,7% dari PDB. Secara rata-rata jumlah alokasi dana perimbangan secara absolut mengalami pertumbuhan rata-rata 25%
31
pada periode anggaran 1999/2000 sampai tahun 2004, sementara rasio PDB mengalami pertumbuhan sebesar 13,6% pertahun anggaran (Kuntjoro, 2004). Dalam tahun 2003 telah dilakukan kebijakan konsolidasi fiskal oleh Direktorat Bea dan Cukai tentang reformasi kebijakan fiskal untuk meningkatkan penerimaan pajak dan iklim investasi yang lebih baik, kebijakan cukai rokok untuk mengatasi cukai palsu atas rokok sehingga penerimaan negara meningkat, reformasi administrasi kepabeanan tentang perluasan jalur prioritas dan penyempurnaan prosedur verifikasi kepabeanan untuk meningkatkan kepatuhan. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan telah menentukan kebijakan jaring pengaman sektor keuangan atau Finansial Safety Net dan membuat draft tentang RUU Lembaga Penjamin Simpanan, dan membuat draft amandemen UU Bank Indonesia. Kebijakan asuransi dan dana pensiun juga ditentukan yaitu tentang usaha
perasuransian (ijin,
tingkat
kesehatan perusahaan
asuransi,
dan
penyelenggara). Kebijakan kinerja BUMN juga ditetapkan dalam hal audit BUMN dan juga kebijakan tentang pasar modal. Dalam tahun 2004, kebijakan fiskal lebih dikaitkan dengan kebijakan moneter, neraca pembayaran, dan sektor riil. Keterkaitan dengan kebijakan moneter adalah karena anggaran negara merupakan salah satu komponen dari uang primer yang perubahannya berdampak kepada jumlah uang beredar. Keterkaitannya dengan neraca pembayaran tercermin dari sebagian komponen penerimaan negara yang berasal dari penerimaan ekspor migas, defisit APBN, dan transaksi berjalan yang ditutup oleh utang luar negeri dan pembayaran atas utang luar negeri juga tercermin dalam neraca pembayaran. Keterkaitan dengan sektor riil seperti belanja rutin, dana pembangunan, merefleksikan alokasi yang mempengaruhi langsung pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun penawaran agregat. Keterbatasan kebijakan fiskal disebabkan oleh adanya stock utang yang sangat besar karena sebelumnya dilakukan kebijakan fiskal yang ekspansif yaitu terlalu besarnya defisit anggaran. Ada kekhawatiran dengan defisit anggaran yang terlalu besar dapat menimbulkan crowding out efect sehingga mempersempit perkembangan sektor swasta. perlu
adanya
pengurangan defisit
Untuk mengatasi efek tersebut,
anggaran,
pengurangan subsidi dan
32
pengurangan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak dan penghematan pengeluaran. Dalam tahun 2004, Pemerintah menargetkan defisit anggaran sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto serta ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto kurang dari 60%. Angka tersebut merupakan bagian dari konsolidasi fiskal jangka pendek yang mengupayakan anggaran berimbang pada tahun 2005.
Strategi penurunan defisit anggaran ditempuh dengan dua (2)
langkah : a. meningkatkan penerimaan negara terutama dari pajak, b. pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara. Sementara itu, penurunan ratio utang publik terhadap PDB dilakukan dengan cara optimalisasi pengelolaan utang dan pemilihan pembiayaan alternatif yang tepat dan meningkatkan pertumbuhan PDB. Dari data yang ada, penurunan ratio utang dapat ditunjukkan bahwa tahun 2000 penurunan ratio utang 1,6% dari PDB, tahun 2001 penurunannya 2,8%, tahun 2002 penurunannya 1,7%, tahun 2003 penurunannya 1,8% dan tahun 2004 diperkirakan 1%. Permasalahan yang berat dihadapi dalam tahun 2004 sehingga pembaharuan kebijakan pajak terus dilakukan berupa pembaharuan administrasi perpajakan sebagai kelanjutan dari pembaharuan administrasi perpajakan tahun 2003. Tujuan pembaharuan itu adalah untuk meningkatkan efektifitas pemungutan pajak serta memperluas basis pajak tanpa harus menunggu perubahan undang-undang perpajakan yang ada.
Pemerintah terus menggiring wajib pajak yang belum
melakukan kewajiban perpajakan dan menggiring mereka menjadi wajib pajak yang patuh. Untuk itu, dilakukan upaya : a. menyempurnakan
peraturan
perpajakan
untuk
mengakomodasikan
perkembangan dunia usaha dan menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi dan perdagangan, b. melanjutkan program ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi atau badan yang telah memenuhi syarat dan ekstensifikasi yang sempat tertunda pada tahun 2003, c. meningkatkan low enforcement dan intensifikasi wajib pajak,
33
d. meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak antara lain dengan memperluas penerapan sistem e-filling dan e-payment, e. menegakkan kode etik di jajaran Ditjen Pajak. Efisiensi belanja negara merupakan aspek penting dalam kebijakan fiskal sehingga dalam tahun 2004 anggaran belanja negara difokuskan kepada : a. peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan belanja negara, b. alokasi belanja pembangunan yang cukup untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, c. konsolidasi pelaksanaan desentralisasi fiskal. Anggaran belanja rutin ditujukan untuk : a.
menjaga
kelancaran
penyelenggaraan
pemerintahan
negara
dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik, b.
memenuhi kewajiban pembayaran bunga utang,
c.
melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin, membantu usaha kelompok kecil dan menengah,
d.
mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2004.
Prioritas alokasi pengeluaran rutin lebih diarahkan kepada : a. pembelian kembali obligasi negara yang belum jatuh tempo guna mengurangi stok utang, b. pengembangan pasar sekunder obligasi yang likuid dan efisien, c. mengalihkan subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan, d. menyediakan
dana
cadangan
umum
untuk
mengantisipasi
tidak
tercapainya sasaran ekonomi makro dan untuk menghadapi berbagai keadaan darurat seperti bencana alam dan lain-lainnya. Prioritas alokasi pengeluaran pembangunan dipertajam dengan mengarahkan kepada : a. kegiatan-kegiatan
penting
yang
bersifat
mendesak untuk
segera
dilaksanakan, b. proyek-proyek yang cepat berfungsi dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat,
34
c. proyek-proyek yang sedang berjalan, d. penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan bagi prasarana dan sarana umum. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran belanja bagi daerah baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional. Kebijakan dimaksud adalah lebih diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan keuangan antar daerah, meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas kinerja Pemerintah Daerah. Krisis ekonomi menjadikan utang pemerintah meningkat menjadi 97% dari PDB dalam tahun 2000 dimana sebelum krisis hanya 24% dari PDB. Dengan utang yang tinggi sangat menyulitkan upaya konsolidasi fiskal. Pemerintah telah berusaha menurunkan tingkat utang sehingga dalam tahun 2002 menjadi 74% dari PDB dengan upaya peningkatan pajak maupun dengan retrukturisasi melalui Paris Club dan London Club dengan penjadwalan kembali pokok utang terhadap negara-negara kreditur. Tentang utang dalam negeri, pemerintah melakukan reprofiling yaitu suatu program penawaran pertukaran antar obligasi yang jatuh tempo 2004-2009 dengan obligasi seri baru yang jatuh tempo lebih panjang 20102020. Maksud dilakukannya reprofiling adalah untuk mengurangi jumlah pokok obligasi yang jatuh tempo dalam periode 2004-2009 atau mengurangi ketidakmampuan membayar pokok utang. Saat ini atau dalam tahun 2004, pemerintah telah melakukan reprofiling obligasi pemerintah di empat bank BUMN. Di samping melakukan reprofiling, pemerintah juga menukar dengan asset Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN, membeli kembali obligasi dari hasil penjualan asset BPPN dan privatisasi BUMN, memperkecil kewajiban kontijensi, merestruktur utang kepada Bank Indonesia, dan meningkatkan kapasitas pengelolaan utang. Tentang pembiayaan defisit, dilakukan langkah pengendalian yang komprehensif yaitu dilakukan dalam aspek penerimaan dan pengeluaran anggaran
35
serta melalui aspek pembiayaan dan mamajemen makro ekonomi secara menyeluruh. Dari sisi pembenahan fiskal dalam jangka pendek dilakkukan pemenuhan kebutuhan pembiayaan APBN dengan pembayaran pokok utang dalam negeri dan luar negeri yang jatuh tempo tahun 2004 mencapai lebih dari Rp.65 triliun atau 3,4% dari PDB. Pembiayaan defisit dipenuhi dengan menggunakan dana di rekening pemerintah yang ada di Bank Indonesia, menargetkan penerimaan dari privatisasi dan penjualan asset yang masih ada secara optimal, menerbitkan surat utang didalam negeri, menjajagi kemungkinan penerbitan obligasi negara diluar negeri, mengelola utang dalam negeri melalui buy back obligasi negara dengan dana yang tersedia, serta melakukan debt switching yaitu penerbitan obligasi jangka penjang untuk membeli obligasi negara jangka panjang untuk membeli obligasi negara yang akan jatuh tempo dalam tahun 2004 dan mengusahakan dengan maksimal pinjaman lunak dari Consultative Group on Indonesia atau CGI dan melakukan debt swaps utang luar negeri. Di tahun 2005, APBN terdiri dari pola pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran, dan pembiayaan. Pendapatan negara dan hibah, terdiri dari : a. pendapatan dalam negeri : a). penerimaan perpajakan : - pajak dalam negeri : - pajak penghasilan : - migas - non migas - pajak pertambahan nilai - pajak bumi dan bangunan - BPHTB - cukai - pajak lainnya - pajak perdagangan internasional : - bea masuk - pajak/ pungutan ekspor b). penerimaan bukan pajak : - penerimaan sda - migas - non migas - bagian laba BUMN
36
- PNBP lainnya. b. hibah. Belanja negara dikelompokkan menjadi : a. belanja pemerintah pusat : a). belanja pegawai b). belanja barang c). belanja modal d). pembayaran bunga uang : - utang dalam negeri - utang luar negeri e). subsidi : - perusahaan negara : - lembaga keuangan - lembaga non keuangan - perusahaan swasta f). belanja hibah g). bantuan sosial h). belanja lainnya b. belanja daerah : a). dana perimbangan : - dana bagi hasil - dana alokasi umum - dana alokasi khusus b). dana otonomi khusus dan penyesuaian : - dana otonomi khusus - dana penyesuaian Kemudian keseimbangan primer dengan angka tersendiri, surplus atau defisit adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, dan pembiayaan. Pembiayaan terdiri dari : a. pembiayaan dalam negeri : a). perbankan dalam negeri b). non perbankan dalam negeri : - privatisasi dan penjualan asset prog retsrukturisasi perbankan - Surat utang negara - penyertaan modal negara. b. pembiayaan luar negeri : a). penarikan pinjaman luar negeri - pinjaman program - pinjaman proyek b). pembayaran cicilan pokok utang luar negeri
37
Kebijakan fiskal tahun 2005 adalah kebijakan sebagai penerusan kebijakan fiskal tahun 2004 seperti kebijakan melakukan kampanye sadar dan peduli pajak melalui billboard, videotron, highway information system, dan komik pajak untuk konsumsi anak-anak serta melalui media elektronik, pengembangan dan pengawasan terhadap e-filling, e-registration, e-payment, dan e-counseling, peningkatan kinerja tim optimalisasi penerimaan pajak, dan melanjutkan program canvassing, manajemen pemeriksaan pajak, dan penagihan tunggakan pajak. Agar kemampuan ekonomi masyarakat dapat terdorong, telah dilakukan kebijakan intensifikasi perpajakan seperti penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak untuk tiap wajib pajak sehingga mengubah penerimaan gaji bersih yang dibawa pulang oleh pegawai atau karyawan, pemberian fasilitas fiskal bagi perusahaan yang membantu korban bencana alam berupa deductible expense. Peningkatan pelayanan administrasi terus dilakukan baik dalam bidang PPN, PBB, cukai, bea masuk dan lain-lainnya.
4. Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 2009 – 2011 Dalam beberapa tahun terakhir, strategi kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkah-langkah konsolidasi fiskal dalam mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan (fiscal sustainability), tetapi masih dapat memberikan ruang untuk stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara. Kebijakan fiskal secara umum adalah ke arah ekspansif yang dicerminkan dari adanya kebijakan defisit, sehingga dapat memberikan andil dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi.
a. Kebijakan Fiskal Tahun 2009 Kebijakan fiskal tahun 2009 tetap diarahkan untuk memberikan stimulusstimulus
bagi
perekonomian
domestik
dengan
besaran
defisit
yang
berkesinambungan sesuai dengan batas kemampuan keuangan negara. Situasi perekonomian global yang tidak menentu yang diawali oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, naiknya harga komoditi pangan, minyak mentah
38
dan perlambatan ekonomi global menyebabkan kebijakan fiskal mempunyai peran lebih strategis dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Penyusunan APBN 2009 sangat dipengaruhi oleh situasi krisis ekonomi global yang dimulai dari krisis finansial di Amerika dan Yunani. Kondisi ini menimbulkan banyak pengaruh terhadap perkembangan perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009, perekonomian dunia mengalami krisis keuangan yang sangat dahsyat, yang ditandai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan besar dunia. Krisis keuangan ini juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi dunia dan aktivitas perdagangan internasional secara sangat signifikan. Puncak krisis keuangan global ini ditandai oleh suramnya aktivitas ekonomi, pelemahan pasar modal, ketatnya liquiditas, gejolak nilai tukar antar negara, dan penurunan volume perdagangan dunia. Perlambatan aktivitas ekonomi yang terjadi di negara maju, juga berimbas ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini tak terhindarkan karena Indonesia memiliki keterkaitan perdagangan dan finansial dengan negara-negara maju. Dalam menghadapi krisis keuangan tersebut, pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak buruk krisis tersebut. Langkah yang diambil terutama dengan melakukan penguatan dan perlindungan terhadap masyarakat dan pelaku ekonomi nasional dari imbas gejolak krisis ekonomi global. Untuk meminimalkan dampak krisis tersebut pemerintah menetapkan berbagai
kebijakan
countercyclical
yaitu
kebijakan-kebijakan
untuk
mengembalikan siklus ekonomi yang sedang menurun ke arah yang lebih positif. Stimulus fiskal sebagai kebijakan countercyclical dilakukan dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat, menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha, serta menciptakan kesempatan kerja dan menyerap dampak PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Dalam APBN 2009, kebijakan fiskal dapat dirinci berdasarkan arah kebijakan, strategi kebijakan, dan garis besar postur APBN 2009. Berdasarkan arah kebijakan fiskal dimaksudkan untuk mencapai tiga prioritas utama yaitu:
39
a) peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan; b) percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; dan c) peningkatan upaya antikorupsi, reformasi birokrasi, serta pemantapan demokrasi, pertahanan dan keamanan dalam negeri. Sementara itu, strategi kebijakan fiskal tahun 2009 meliputi: a) pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik; b) memperhitungkan pelaksanaan amandemen UU PPh dan PPN; c) reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan dalam negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU); d) pelaksanaan amandemen Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD); dan e) belanja kementerian negara dan lembaga (K/L) Rp322,3 triliun. Strategi kebijakan di sektor riil, khususnya untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup di dalam negeri. Pemerintah senantiasa berupaya untuk meningkatkan investasi dan peran swasta dalam upaya meningkatkan kemampuan daya saing sektor riil, yaitu di bidang sumber daya air, transportasi, energi, pos dan telekomunikasi, perumahan dan permukiman maupun pembangunan jalan dan jembatan. Beberapa kebijakan pemerintah di sektor riil pada tahun 2009 antara lain sebagai berikut. a) Di bidang sumber daya air, kebijakan yang dilakukan antara lain mengoptimalkan fungsi sarana dan prasarana sumber daya air dalam memenuhi kebutuhan air irigasi dan industri, dan meningkatkan kinerja jaringan irigasi guna memenuhi kebutuhan air usaha tani, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan. b) Di bidang transportasi, kebijakan yang dilakukan antara lain meningkatkan jaminan keselamatan dan keamanan transportasi, menciptakan kondisi agar keselamatan dan keamanan pelayanan transportasi dapat memenuhi
40
standar pelayanan minimal dan standar internasional, mendorong investasi di bidang transportasi, yang dilakukan melalui restrukturisasi perundangundangan dan peraturan di bidang transportasi, sehingga tidak ada lagi monopoli dalam pelayanan transportasi. c) Di bidang energi, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan pemanfaatan energi primer non-BBM (gas bumi, panas bumi, dan batu bara), meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, serta pengembangan energi dan infrastruktur energi.
b. Kebijakan Fiskal Tahun 2010 Pada tahun 2010, kebijakan di sektor riil pada tahun sebelumnya dilanjutkan melalui pengucuran insentif fiskal. Menurut Sri Mulyani, berbagai upaya pemerintah dalam menggenjot perekonomian di sektor riil pada tahun ini diharapkan dapat menjadi angin segar untuk perekonomian nasional. Pada tahun ini, stimulus fiskal hanya dialokasikan oleh Departemen Keuangan tidak lebih dari 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menggambarkan adanya kompensasi untuk penurunan belanja pemerintah, sehingga sudah seharusnya adanya optimalisasi langkah terhadap hal ini terutama pada sektor-sektor yang terlibat langsung dengan kebijakan ini meliputi bidang energi, infrastruktur, industri, perdagangan, dan sektor lainnya (www.fiskal.depkeu.go.id). Pada tahun ini, pengeluaran negara diarahkan pada fasilitas untuk pengembangan infrastruktur berupa peningkatan dana bagi Badan Layanan Umum (BLU)
tanah
dan
landcapping,
pengoperasian
perusahaan
pembiayaan
infrastruktur, penjaminan untuk PDAM dan subsidi air bersih, dan pembangunan perumahan rakyat. Selain belanja negara (government spending), kebijakan fiskal yang diambil pemerintah pada tahun ini juga meliputi pemotongan pajak. Target pemotongan pajak ini adalah untuk rumah tangga dan swasta. Berikut ini adalah beberapa kebijakan pemerintah terkait masalah perpajakan di Indonesia pada tahun 2010:
41
a)
Insentif perpajakan untuk rumah tangga, yaitu berupa penurunan tarif PPh sebesar 3% dari 28% menjadi 25%. Dari sudut pandang rumah tangga, penurunan pajak ini berarti mengurangi beban pendapatan sehingga diharapkan dapat menaikkan kapasitas konsumsi rumah tangga. Dari adanya peningkatan konsumsi tersebut diharapkan para pelaku kegiatan produksi akan menjadi lebih produktif untuk menyikapi perilaku konsumen tersebut, sehingga arus perekonomian akan berputar menjadi lebih lancar. Hal ini akan membuat kesejahteraan pihak pelaku produksi meningkat. Implikasi dari hal ini adalah memungkinkan terbukanya lapangan kerja baru serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan dapat mengurangi laju PHK yang mungkin terjadi akibat krisis global seperti krisis pada tahun sebelumnya.
b)
Insentif pajak lainnya yaitu penurunan PPh bagi perusahaan (pihak swasta) yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh publik atau tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Besarnya penurunan PPh badan untuk perusahaan yang listed di BEI adalah sebesar 5%. Penurunan pajak badan ini dapat membuat perusahaan menjadi lebih produktif. Dengan adanya
penurunan
pajak
ini
diharapkan
perusahaan
dapat
mempertahankan kapasitas produksinya, bahkan meningkatkannya. Hal ini terkait dengan adanya penurunan beban biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan. c)
Insentif lainnya berupa penghapusan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mendorong berkembangnya industri manufaktur, dan fasilitas PPh untuk sektor industri tertentu di daerah tertentu
d)
Dimasukkannya produk pertanian primer sebagai non barang kena pajak (non-BKP). Produk pertanian primer yang merupakan kebutuhan pokok, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam bukan merupakan barang kena pajak. Jadi, keenam komoditas ini tidak akan dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).
e)
Insentif fiskal terkait penyediaan energi pada tahun ini ditujukan untuk panas bumi, yaitu berupa fasilitas PPh, Pajak Pertambahan Nilai
42
Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), dan pembiayaan. Untuk migas berupa fasilitas PPN DTP untuk kegiatan eksplorasi dan untuk minyak nabati berupa subsidi dan PPN DTP. Pada tahun ini pemerintah juga memberikan penjaminan untuk pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II. f)
Insentif sektor industri dan perdagangan meliputi pemberlakuan National Single Window (NSW) termasuk pelayanan kepabeanan dan pelabuhan 24 jam sehari 7 hari seminggu, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk industri tertentu, Bea Masuk (BM) 0% untuk barang modal, dan dana revitalisasi perkebunan dan industri gula.
g)
Insentif sektor lainnya, yaitu meliputi insentif bagi daerah dengan kinerja baik (opini wajar tanpa pengecualian dan penyelesaian APBD), dana reformasi birokrasi di 11 kementerian/lembaga, dan tambahan modal untuk LPEI dan Askrindo.
Untuk efektivitas kebijakan fiskal pada tahun ini, alokasi stimulus fiskal yang tidak sebesar tahun sebelumnya juga diharapkan dapat ditanggapi dengan optimal oleh segenap pihak. Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 dinilai tidak memerlukan pembiayaan defisit fiskal terlalu ekspansif. Perekonomian tahun 2010 lebih membutuhkan kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran dan alternatif sumber pembiayaan fiskal. Efektivitas sasaran ditujukan agar pembiayaan defisit yang dilakukan pemerintah tidak sia-sia dalam menarik ekonomi domestik. Adapun alternatif sumber pembiayaan dilakukan agar pemerintah memiliki ruang pembiayaan yang murah, menjaga kedaulatan ekonomi, dan tidak malah menimbulkan beban resiko pembiayaan cukup besar tahun-tahun selanjutnya. Selain untuk mendorong pemulihan dunia usaha termasuk melalui pemberian insentif perpajakan dan bea masuk, pokok kebijakan tahun 2010 juga meliputi kebijakan melanjutkan/meningkatkan seluruh program kesejahteraan rakyat (PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH, dan lainnya), melanjutkan stimulus fiskal melalui pembangunan infrastruktur, pertanian, dan energi serta
43
proyek padat karya, meneruskan reformasi birokrasi, memperbaiki alutsista, dan menjaga anggaran pendidikan minimal 20 persen. Dalam menjalankan kebijakan ekonomi nasional pada tahun 2010, pemerintah semakin memantapakan tujuh prioritas kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Secara rinci ketujuh kebijakan itu adalah: a) Menjaga agar sektor riil terus bergerak. Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan termasuk insentif fiskal untuk mendorong sektor riil terus tumbuh. b) Mencegah
terjadinya
gelombang
PHK
seraya
terus
mengurangi
pengangguran. Hal ini dilakukan dengan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi akibat/dampak krisis global. c) Menjaga stabilitas harga, terutama kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat. d) Menjaga daya beli masyarakat, yaitu dilakukan dengan menurunkan tarif pajak orang pribadi, peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), penurunan harga BBM, kenaikan pengeluran pemerintah dengan meningkatkan gaji PNS, TNI, Polri, Pensiunan, serta guru/dosen dan pemberian BLT. Kebijakan ini dilakukan karena konsumsi masyarakat merupakan kontributor dominan terhadap total pertumbuhan ekonomi. e) Memberikan perlindungan dan menyediakan jaring pengaman sosial kepada masyarakat lapisan bawah. Hal ini dilakukan dalam bentuk program pro rakyat seperti BOS, Jamkesmas, PKH, Beras Bersubsidi, BLT bersyarat, dan sebagainya. f) Menjaga ketahanan pangan dan energi. Harga pangan tetap terjangkau meskipun terjadi El-Nino yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Hal ini dilakukan dengan menjaga kecukupan cadangan beras Bulog, melanjutkan program Beras Bersubsidi, dan juga menyediakan dana siaga untuk menjaga stabilitas harga pangan. g) Menjaga pertumbuhan ekonomi. Penyusunan APBN 2010 dilakukan berdasarkan asumsi ekonomi makro sebagai berikut:
44
a) Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5 persen, b) Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amrika rata-rata Rp 10.000 per dolar Amerika Serikat, c) Suku bunga SBI tiga bulan rata-rata 6,5 persen, d) Harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional US$60 per barel, e) Lifting minyak mentah Indonesia diharapkan dapat mencapai 965 ribu barel per hari. Berdasarkan asumsi di atas pemerintah menetapkan Pokok-Pokok APBN tahun anggaran 2010 sebagai berikut: a) Pendapatan negara dan hibah direncanakan mencapai Rp 911,5 triliun, b) Belanja negara direncanakan mencapai Rp 1.009,5 triliun. Dengan demikian defisit anggaran tahun 2010 mencapai Rp 98,0 triliun (1,6 persen dari PDB). Target ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2009. Untuk mencapai sasaran pendapatan negara tahun 2010 pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan, yaitu dari penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
c.
Kebijakan Fiskal Tahun 2011 Pada tahun 2011, pemerintah mencanangkan delapan kebijakan untuk
memperbaiki
kinerja
perpajakan
yang
diharapkan
dapat
meningkatkan
penerimaan serta meneruskan program reformasi birokrasi pada Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain : a) Untuk
reformasi
birokrasi,
dilakukan
pemisahan
fungsi
pembuatan kebijakan dari Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dimana pembuatan kebijakan aturan pajak akan diambil oleh BKF dan pelaksanaan administrasi dan pengumpulan pajak tetap dilakukan oleh Ditjen Pajak. b) Selain itu, penerbitan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan pasal 36A KUP yaitu penegakan sanksi bagi petugas pajak yang
45
melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan tugasnya. Dengan diterbitkannya peraturan ini, diharapkan dapat menghentikan bentuk kejahatan dan penyimpangan sehingga dapat meningkatkan kinerja dan capaian Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai. c) Kesepakatan antara Ditjen Pajak dengan Akuntan Publik dalam rangka pemeriksaan pajak. Hal ini berkaitan dengan masalah efisiensi dalam hal pemeriksaan di Ditjen Pajak yang menyita waktu, sehingga dengan adanya kerjasama ini dimungkinkan laporan keuangan wajib pajak yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian, tak perlu lagi diperiksa oleh pemeriksa pajak. d) Kebijakan penyetaraan PPN antara film impor dan nasional. Hal ini dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing bisnis perfilman nasional. Aturan ini bernomor SE-03/PJ/201 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan berupa royalti dan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas film impor. Untuk menghitung besarnya pungutan pajak film impor, tidak dilihat jenis ataupun harga dari film yang bersangkutan. Pemerintah menetapkan secara flat tarif PPN dan PPh impor pasal 22 produk fim impor sebesar US$ 0,43 per meter. Selain pajak tersebut, film asing juga dikenakan pajak atas royalti (PPh pasal 26). e) Penerbitan PP no. 93/2010 tentang sumbangan penanggulangan bencana nasional atau kegiatan litbang, fasilitas pendidikan, sumbangan olahraga, dan infrastruktur sosial yang bisa dipakai pengurangan pajak. Hal ini merupakan langkah khusus bagi perusahaan yang ingin melakukan tanggung jawab sosial perusahaannya pada bidang pendidikan, olahraga, sehingga bisa memperoleh fasilitas fiskal. f) Penerbitan
PP
kena pajak dan
no.
94/2010
pelunasan
tentang
PPh
penghitungan
dalam tahun berjalan
penghasilan mengenai
pembebasan PPh. Hal ini merupakan tax holiday. Fasilitas ini diberikan kepada para investor yang memenuhi kriteria khusus, yaitu industri pioneer yang memberikan lapangan kerja tinggi, memperkenalkan
46
teknologi baru, masuk di daerah-daerah terpencil dan terbelakang, serta industri yang memberikan nilai tambah. g) Penyederhanaan prosedur pembebasan Pph 22 impor atas impor barang sehingga importir tidak perlu pulang pergi menyelesaikan kegiatan impor. h) Perlakuan perpajakan untuk penyederhanaan birokrasi dalam penyaluran bantuan hibah sumbangan dengan pelimpahan wewenang kepada Ditjen Bea dan Cukai, sehingga ketika ada bantuan kepada Indonesia dan ditujukan kepada daerah bencana bisa disetujui perlakuan perpajakannya dengan cepat. Selain depalan kebijakan tersebut, sejak 1 Januari 2011 pemerintah telah menghapus fiskal luar negeri. Sebelumnya, biaya fiskal ke luar negeri tidak diberlakukan hanya bagi mereka yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Biaya fiskal ini cukup mahal dan membebani masyarakat saat pergi ke luar negeri, yaitu Rp 2,5 juta sekali jalan bagi penumpang pesawat terbang dan sebesar Rp 1 juta untuk penumpang kapal laut. Selain memberikan insentif fiskal kepada pengusaha berupa tax holiday bagi industri pioneer, pada tahun ini pemerintah juga memberi kemudahan untuk pengucuran kredit dari perbankan ke pengusaha, sehingga dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Pada Pebruari 2011, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang terdiri atas enam kebijakan yang diluncurkan Menkeu dalam Peraturan Menteri Keuangan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut. a) Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah sederhana yang nilainya tidak lebih dari Rp 70 juta. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.31/PMK/03/2011 tentang Batasan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Aturan ini mulai efektif berlaku pada bulan Maret 2011. b) Perlakuan PPN atas jasa maklon. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.30/PMK.03/2011 tentang Perubahan atas PMK No.70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak
47
yang Atas Ekspornya dikenai PPN. Jasa maklon yaitu jasa pengolahan bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang jadi, yang bahan baku dan spesifikasi barang produksinya tergantung pesanan di luar negeri. Untuk usaha manufaktur adalah kegiatan industri atau kegiatan usaha produksi barang dan atau jasa yang dilakukan oleh atau untuk kepentingan sendiri dan bukan berdasarkan pesanan dari pihak lain. Kebijakan ini dilakukan dengan memperhitungkan restitusi pajak masukan dalam laporan pajak keluar atas barang hasil maklon yang diekspor. c) Sektor lainnya yang mendapat insentif fiskal adalah fasilitas pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) terhadap minyak goreng. Peraturan ini tercatat dalam PMK No. 26/ PMK.011/2011 yang merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa yang telah dimulai sejak tahun 2008. Kebijakan ini tertuang dalam rangka perbaikan kualitas minyak goreng yang merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok masyarakat banyak yang dapat memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi. d) Penyederhanaan proses pemberian pembebasan bea masuk dan cukai. Kebijakan ini diperuntukkan untuk barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, dan kebudayaan. Peraturan ini tercatat dalam PMK no 27/ PMK. 011/2011. Dengan adanya PMK ini akan mempercepat proses pendistribusian yang semula 2 bulan, diharapkan dalam 10 hari dapat diselesaikan dan dapat didistribusikan. Ini berarti yang dipangkas adalah pengurusan dokumen. e) Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak dalam rangka perhitungan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan ada barang mewah, khususnya tata laksana kemudahan impor tujuan ekspor. Peraturan ini tertuang dalam PMK 15/ PMK. 011/2011. Kebijakan ini bertujuan untuk mengubah dasar perhitungan PPN dan PPNBM atas penjualan ke Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) atas hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, hasil produksi yang rusak dan bahan baku yang rusak, yang bahan bakunya berasal dari impor yang semula pemungutannya didasarkan pada harga impor, sekarang didasarkan atas harga jual.
48
f) Kebijakan mengenai pemberian izin Bulog untuk mencairkan dana public service obligation (PSO) untuk pengadaan beras rakyat miskin (raskin). Izin pencairan dana PSO itu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.125/PMK.02/2010.
d. Kebijakan Fiskal Tahun 2012 Percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan rencana kerja pemerintah tahun 2012. pertumbuhan
ekonomi,
Rencana tersebut diharap berkontribusi pada pengurangan
pengangguran,
penurunan
tingkat
kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi dan berkeadilan ditempuh empat (4) jalur strategis yaitu mendorong pertumbuhan, memperluas kesempatan kerja, menanggulangi kemiskinan, merespon dan memitigasi perubahan iklim.
Empat jalur strategis tersebut dijabarkan dalam beberapa
inisiatif baru yaitu :
membentuk MP3EI (master plan percepatan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia, percepatan pembangunan Papua, Papua Barat dan NTT,
mendorong pelaksanaan program klaster empat,
dan mendorong
peningkatan kesempatan kerja. Dalam hal pelaksanaan strategi diatas, kebijakan fiskal diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara, meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja negara serta mengoptimalkan pengelolaan pembiayaan secara hati-hati dan meningkatkan pemanfaatannya untuk kegiatan yang produktif. Optimalisasi penerimaan perpajakan difokuskan pada kegiatan ekstentifikasi pajak dan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dilakukan melalui peningkatan produksi sumber daya alam dan peningkatan kinerja badan usaha milik negara atau BUMN serta perbaikan kualitas pelayanan publik. Alokasi belanja negara diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan dengan menurunkan defisit anggaran dari tahun sebelumnya dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan yang berisiko rendah serta menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto atau PDB.
49
Pendapatan negara dalam tahun 2012 diharapkan meningkat dengan upaya perbaikan pelayanan dan penyuluhan perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan, perbaikan kebijakan perpajakan termasuk pemberian incentive fiskal, pembenahan aparatur dan sistem perpajakan, dan penegakan hukum kepada wajib pajak yang tidak patuh. Peningkatan pendapatan pajak dilakukan dengan perluasan wajib pajak, sosialisasi dan edukasi perpajakan, penyempurnaan kebijakan kepabeanan dan cukai. Penerimaan pajak tahun 2012 naik Rp. 92,53 triliun (tumbuh 12,47%) dibanding dengan tahun sebelumnya sehingga menjadi Rp.835,25 trililun. Pertumbuhan itu lebih tinggi dari pertumbuhan PDB (10,87%) tahun 2012. Tahun 2013 direncanakan penerimaan pajak Rp.1.042,32 triliun atau tumbuh 24,79% dibanding dengan tahun 2012. Pemerintah menerapkan beberapa kebijakan fiskal dalam tahun 2012, yaitu registrasi ulang pengusaha kena pajak (PKP), sensus pajak nasional, kebijakan lainnya seperti keringanan pajak pada masyarakat dengan menaikan penghasilan tidak kena pajak atau PTKP, penetapan sumbangan umat Hindu sebagai pengurang pajak, pembebasan PPN untuk rumah murah. Kebijakan fiskal dan perhitungan APBN tahun 2012 didasarkan pada asumsi ekonomi makro, yaitu : Pertama, pertumbuhan ekonomi diasumsikan sebesar 6,5 – 6,9 %. Kedua, inflasi 3,5 – 5,5 %. Ketiga, suku bunga simpanan 3 bulan 5,5 – 7,5 %. Keempat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Rp. 9.000 - 9.300 per dolar. Kelima, harga minyak Indonesia US$75 – 95 per barel, dan Keenam, lifting minyak 950.000-970.000 barel per hari.
Dari pokok-pokok
kebijakan tersebut, kebijakan fiskal diarahkan pada empat (4) hal, yaitu : Pertama, mendukung kegiatan pembiayaan infrastruktur untuk menggalakan kegiatan investasi, dunia usaha, dan menjaga kelancaran arus ditribusi barang, Kedua, meningkatkan
jangkauan pelayanan dengan
memberikan prioritas
pemanfaatan energi untuk daerah terpencil, tertinggal, dan terluar.
pada Ketiga,
menjamin keamanan pasokan energi yang dicapai melalui upaya-upaya peningkatan eksplorasi produksi dan optimasi produksi. Keempat, mendorong berbagai kebijakan dalam rangka akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam rangka
50
perluasan akses lapangan pekerjaan sekaligus mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Kebijakan pendapatan negara terdiri dari pendapatan dan hibah dalam negeri yang terus meningkat yang diperkirakan mencapai 15 persen dari PDB karena stabilnya fundamental ekonomi nasional dan global. Peningkatan tersebut didukung oleh : Pertama, perbaikan pelayanan dan penyuluhan perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, Kedua, perbaikan kebijakan perpajakan untuk mendukung optimalisasi pendapatan negara dan mendukung kegiatan ekonomi termasuk pemberian insentif fiskal, Ketiga, pembenahan internal aparatur dan sistem perpajakan, Keempat, penegakan hukum pada wajib pajak yang tidak patuh,
Kelima, mensinergikan unsur pemerintah dalam penggalian potensi
perpajakan dengan memberikan dukungan data atau informasi kepada Kementerian Keuangan. Perluasan tax base juga dilakukan dengan perluasan Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP pribadi,
penyempurnaan kebijakan
kepabeanan dan cukai seperti penelitian, pemeriksaan, kolektibilitas piutang kepabeanan dan cukai, dan pengawasan dan tarif.
Peningkatan PNBP terus
dilakukan baik dari migas maupun BUMN dengan deviden diperkirakan sampai dengan 55 persen. Kebijakan belanja negara diupayakan supaya pemerintah pusat mampu mendukung rencana aksi yang meliputi prioritas nasional, bidang-bidang pembangunan, dan pembangunan kewilayahan.
Prioritas nasional terdiri dari
reformasi birokrasi dan tata kelola, pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, infrastruktur, iklim investasi dan usaha, energi, lingkungan hidup dan pengelolaan bencana, daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik, kebudayaan, kreatifitas dan inovasi teknologi, politik, hukum, keamanan, ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Rencana bidang - bidang
pembangunan mencakup sosial budaya dan agama, ekonomi, iptek, sarana prasarana, politik, pertahanan, keamanan, hukum dan aparatur negara. Pembangunan
kewilayahan mendorong pembangunan
berkeadilan yang dicerminkan oleh kualitas hidup.
yang merata
dan
Untuk itu, didorong
pertumbuhan wilayah potensiil, keterkaitan antar wilayah, meningkatkan daya
51
saing daerah, mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal, kawasan strategis, kawasan perbatasan, kawasan terluar dan kawasan rawan bencana. Arah kebijakan anggaran direncanakan dapat menurunkan deficit APBN berkisar antara 1,4–1,6 persen terhadap PDB sehingga pemerintah menetapkan strategi pembiayaan yang tepat dan produktif serta menyusun pembiayaan yang berimbang dari sumber utang dan non utang.
e. Kebijakan Fiskal Tahun 2013 Asumsi beberapa indikator ekonomi di tahun 2013 seperti pertumbuhan ekonomi 6,8 persen, inflasi 4,9 persen, kurs nilai tukar rupiah 9.800 per US dolar, suku bunga SBI 5 persen, harga minyak mentah 100 US dolar per barel, lifting minyak 900.000 barel per hari, lifting gas bumi 1.360.000 barel per hari dibalik munculnya sorotan publik terhadap anggaran subsidi energi karena pengeluaran terbesar yaitu 27,8 % dari total anggaran dan yang kedua adalah belanja pegawai 21,2%, kemudian belanja modal 17%, belanja barang 14%, pembayaran bunga utang 9,9% belanja social 5,2% dan belanja lain-lain 4,2% sehingga postur anggaran 2013 tidak akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah optimis bahwa ekonomi tahun 2013 akan lebih baik dari tahun 2012 bila ditinjau dari sisi penyerapan anggaran. Dengan asumsi makro ekonomi tahun 2013 yaitu pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, inflasi 7,2 persen, nilai tukar rupiah Rp.9.600/USD, tingkat suku bunga 3 bulan 5 persen, harga minyak Indonesia 108 USD per barel, dan lifting gas 1.240 barel per hari, APBN tahun 2013 diarahkan untuk mendukung upaya stimulasi ekonomi melalui pelaksanaan empat (4) pilar strategi pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan menjaga kesinambungan fiskal. Empat (4) pilar strategi pembangunan berkelanjutan adalah Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, dan berkeadilan (pro growth), Kedua, penciptaan dan perluasan kesempatan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran (pro job), Ketiga, pengentasan kemiskinan (pro poor), Keempat, pembangunan yang berwawasan lingkungan (pro environment). Kesinambungan
52
fiscal dapat dtempuh langkah pengendalian dan/atau penurunan deficit anggaran dan penurunan secara bertahap rasio utang terhadap PDB. Arah dan kebijakan belanja pemerintah pusat adalah Pertama, penyesuaikan gaji pegawai negeri dan pensiunan mengikuti inflasi.
Kedua,
menuntaskan reformasi birokrasi pada kementerian/lembaga. Ketiga, pelaksanaan operasional pemerintahan yang lebih efisien melalui flat policy pada belanja barang operasional perkantoran. Keempat, menguatkan program perlindungan sosial dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan, termasuk penguatan program pro rakyat (klaster 4) dan sinergi antar klaster dalam rangka mendukung master plan percepatan dan perluasan pengurangan kemiskinan. Kelima, mendukung anggaran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan peningkatan efisiensi pelaksanaan anggaran bantuan sosial. Arah dan kebijakan belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja bantusan sosial. Dengan demikian, postur APBN-P tahun 2013 adalah
Pertama, pendapatan
negara diperkirakan turun Rp. 27,7 triliun menjadi Rp. 1.502 triliun yang terdiri dari PNBP Rp. 349,2 triliun, pajak Rp. 1.148 triliun, dan hibah Rp. 4,5 triliun. Kedua, belanja negara Rp. 1.762,2 triliun terdiri dari belanja pusat Rp. 1.196 triliun dan transfer ke daerah Rp. 529,4 triliun. APBN menjadi deficit Rp. 224,2 triliun. Ketiga, deficit ditutup oleh tambahan pemanfaatan SAL Rp. 20 triliun, SBN Rp. 51,4 triliun, dan penarikan pinjaman program Rp. 4,6 triliun. Keempat, kenaikan belanja pemerintah pusat karena pengaruh : kenaikan subsidi BBM, pelaksanaan program percepatan dan perluasan perlindungan social, pelaksanaan program khusus (BLSM, RTS).
f. Kebijakan Fiskal Tahun 2014 Arah kebijakan fiskal tahun 2014 adalah memperkuat pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas dan berkelanjutan melalui pelaksanaan kebijakan fiskal yang sehat dan efektif. Oleh karena itu, strategi yang ditempuh dalam perumusan kebijakan fiskal adalah memberikan ruang bagi ditempuhnya kebijakan stimulus fiskal secara terukur guna mendorong upaya akselerasi
53
pertumbuhan ekonomi sekaligus perbaikan pemerataan hasil pembangunan nasional dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. pemberian
insentif pada kegiatan ekonomi
Untuk itu, ditempuh
yang strategis,
mendorong
pembangunan infrastruktur, meningkatkan kinerja BUMN dalam mendukung pembangunan infrastruktur, pemberdayaan koperasi, usaha mikro kecil dan menengah dan pemanfaatan utang untuk belenja produktif. Secara umum, kebijakan fiskal tahun 2014 masih bersifat ekspansif dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap mengendalikan deficit APBN dalam batas aman.
Kebijakan ekspansif berwujud kebijakan pendapatan
dan belanja negara dan kebijakan deficit dan pembiayaan negara. Kebijakan pengelolaan fiskal yang sehat dan berkesinambungan diharapkan dapat menjaga sentimen positip para pelaku pasar dan mendorong peningkatan efisiensi dan efektifitas belanja negara sehingga memberikan dampak multiplier yang positip bagi perekonomian nasional. Kebijakan pendapatan tahun 2014 diarahkan untuk mengoptimalkan pendapatan dari pajak dan bukan pajak.
Pendapatan pajak dilakukan melalui;
Pertama, penggalian berbasis sektor dengan fokus utama pada pertambangan, perkebunan, property dan perdagangan. Kedua, penyempurnaaan sistem administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Ketiga,
penyempurnaan peraturan perpajakan untuk lebih memberi kepastian hukum serta perlakuan yang adil dan wajar. Kebijakan dibidang kepabeanan dan cukai dilakukan melalui: Pertama, mengantisipasi pemberian konsesi tariff bea masuk nol persen terhadap impor bahan baku terkait FTA.
Kedua, ekstensifikasi barang kena cukai.
Ketiga,
penyesuaian tariff cukai rokok. Kebijakan pendapatan negara bukan pajak atau PNBP tahun 2014 berupa; Pertama, optimalisasi pada esisting dan percepatan pengembangan lapangan kerja baru.
Kedua, optimalisasi terhadap pay out deviden BUMN dengan tetap
mempertimbangkan kondisi keuangan masing-masing BUMN. Kebijakan belanja negara tahun 2014 diharapkan mampu menstimuli perekonomian dengan tetap mengendalikan deficit dalam batas aman,
54
pengendalikan keseimbangan primer dan sekaligus menjaga keseimbangan fiskal. Prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah diharapkan dapat memantapkan perekonomian nasional bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Kebijakan belanja diarahkan pada 4 pilar yaitu, Pertama, mendukung terjaganya pertumbuhan ekonomi pada level yang cukup tinggi atau pro growth. Kedua, meningkatkan produktifitas dalam kerangka perluasan kesempatan kerja atau pro job. Ketiga, meningkatkan dan memperluas program pengentasan kemiskinan atau pro poor. Keempat, mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan atau pro environment. Belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Arah kebijakan belanja pemerintah pusat pada APBN 2014 difokuskan pada ; Pertama, meningkatkan kinerja kementerian dan lembaga. Kedua, meningkatkan belanja infrastruktur untuk mendukung domestic connectivity, ketahanan pangan dan
energy,
pembangunan
transportasi
publik
dalam
rangka
memacu
pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan.
Ketiga,
mewujudkan pendidikan yang berkualitas serta meningkatkan kemudahan akses pendidikan dan keterjangkauan bagi masyarakat.
Keempat, melaksanakan
kebijakan subsidi yang lebih tepat sasaran untuk menjaga stabilitas harga, mengurangi
tingkat
kemiskinan,
peningkatan
ketahanan
pangan
serta
pengembangan energy baru dan terbaharukan. Kelima, mengembangkan kualitas kesehatan masyarakat melalui pelaksanaan program sistem jaminan sosial nasional (SJSN).
Keenam, menjaga pelaksanaan Pemilu tahun 2014 yang
demokratis, jujur, adil dan aman untuk mempertahankan stabilitas nasional. Kebijakan transfer ke daerah tahun 2014 meliputi; Pertama, meningkatkan kapasitas fiscal daerah serta mengurangi kesenjangan fiscal antara pusar dan daerah dan antar daerah. Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan public di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan public antar daerah. Kebijakan efisiensi dilaksanakan melalui perbaikan struktur belanja negara yang lebih produktif antara lain; Pertama, efisiensi subsidi BBM dan konversi BBM ke gas dan minyak tanah ke LPG tabung 3 kg.
Kedua, efisiensi belanja
perjalanan dinas, seminar dan konsinyering dan pengendalian belanja operasional.
55
Kebijakan deficit anggaran dalam tahun 2014 ditempuh dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui pemberian stimulus fiskal secara terukur dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal.
Pembiayaan deficit
anggaran tahun 2014 akan menggunakan pembiayaan dari utang dan non utang. Pembiayaan APBN dalam tahun 2014 dengan rasio utang terhadap PDB sekitar 23 persen dan pemanfaatan SAL serta fiscal buffer untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis.
Disamping itu, membatasi pinjaman utang luar
dan mengupayakan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif.
g. Kebijakan Fiskal Tahun 2015 Suatu hal baru dalam APBN 2015 adalah; Pertama, disusun pada masa transisi dari pemerintahan lama (Presiden Susilo Bambang Yudoyono) ke pemerintahan baru (Presiden Joko Widodo) dengan baseline budget yang memperhitungkan
kebutuhan
pokok
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pelayanan kepada masyarakat yang memberikan ruang gerak fiskal kepada pemerintahan baru.
Kedua, format rincian belanja disesuaikan dengan amar
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-XI/2013 tanggal 22 Mei 2014 menurut organisasi, fungsi, dan program yang memberikan penekanan pembahasan pemerintah dengan DPR mengenai isu-isu yang lebih strategis. Ketiga, penambahan alokasi baru yaitu dana desa yang ditransfer kedaerah yang merupakan amanat UU nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keempat, format
baru nota keuangan yang dibagi dalam tiga bagian utama agar lebih mudah dibaca, dipahami, dan digunakan. Arah kebijakan fiskal tahun 2015 adalah melanjutkan reformasi pembangunan bagi percepatan pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan penguatan kebijakan fiskal dengan cara optimalisasi pendapatan negara, meningkatkan kualitas belanja negara, pengendalian deficit APBN dan pengendalian utang.
Strategi kebijakan fiskal diarahkan untuk memperkuat
stimulus fiskal guna mendukung akselerasi pertumbhan ekonomi yang berkelanjutan dan sekaligus memperbaiki pemerataan hasil pembangunan nasional. Lankah tersebut dilakukan melalui optimalisasi pendapatan Negara,
56
peningkatan
kualitas belanja
negara,
pengendalian deficit
APBN,
dan
pengendalian utang. Optimalisasi pendapatan negara diarahkan pada optimalisasi pendapatan perpajakan dan PNBP dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi nasional dan peningkatan daya saing serta nilai tambah.
Kebijakan penerimaan perpajakan
dilakukan dengan cara; Pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan melalui penyempurnaan peraturan dan perundang-undangan perpajakan, ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, dan penggalian potensi penerimaan perpajakan secara sektoral. Kedua, menjaga stabilitas ekonomi nasional melalui penyesuaian kebijakan dibidang bea masuk, bea keluar, dan PPh non migas.
Ketiga,
meningkatkan daya saing dan nilai tambah dalam bentuk pemberian insentif fiskal dan penerapan kebijakan hilirisasi pada sektor atau komoditas tertentu. Keempat, mengendalikan konsumsi barang kena cukai antara lain dalam bentuk penyesuaian tariff cukai hasil tembakau. Kebijakan PNBP dilakukan berupa; Pertama, peningkatan produksi migas dengan memenuhi target lifting minyak bumi dan gas bumi.
Kedua, kenaikan
tariff iuran produksi/royalty mineral logam dan batubara. Ketiga, pengembangan sistem penatausahaan hasil hutan berbasis teknologi informasi. Keempat, menentukan deviden dengan tetap menjaga persepsi investor agar tidak menurunkan nilai pasar BUMN yang terdaftar di bursa saham.
Kelima,
penyempurnaan PP tentang tariff atas jenis PNBP di masing-masing Kementerian/Lembaga guna intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP.
Keenam,
pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagai sarana pengawasan, pengendalian, dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemungutan PNBP. Asumsi dasar ekonomi makro dalam penetapan APBN 2015 berupa pertumbuhan ekonomi 5,8 persen, inflasi 4,4 persen, tingkat bunga 6 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp.11.900,00, harga minyak mentah Indonesia US $ 105, lifting minyak 900.000 barel per hari, dan lifting gas 1.248.000 barel per hari. Dengan asumsi tersebut, pendapatan negara tahun 2015 diperkirakan Rp. 1.793,6 triliun dengan perincian pajak Rp. 1,201,9 triliun (67%), bea cukai Rp. 178,2 triliun (10%), PNBP Rp. 410,3 triliun (23%), dan hibah Rp. 3,2 triliun
57
(0%). Belanja negara tahun 2015 diperkiakan Rp. 2.039,5 triliun dengan alokasi belanja K/L Rp.647,3 triliun (32%), subsidi Rp.414,7 triliun (20%), bunga utang Rp.152,0 triliun (8%), belanja lain Rp.178,5 triliun (9%), dana desa Rp. 9,1 triliun (0%), dan transfer daerah Rp.638,0 triliun (31%).
Belanja pemerintah pusat
tahun 2015 diarahkan; Pertama, sejalan dengan misis dan arah pembangunan dalam RPJPN 2005-2025.
Kedua, mendukung pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif dan efisien. Ketiga, mendukung pencapaian sasran pembangunan yang berkelanjutan. Keempat, mendukung percepatan pencapaian minimum essensial force. Kelima, mendukung pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka ketahanan pangan, air dan energy. Keenam, meningkatkan efektifitas kebijakan subsidi yang tepat sasaran. Ketujuh, meningkatkan dan memperluas akses pendidikan yang berkualitas. Kedelapan, meningkatkan kualitas pelaksanaan SJSN dibidang kesehatan dan ketenaga kerjaan. Kesembilan, dukungan cadangan risiko fiskal dan mitigasi bencana. Tahun 2015 merupakan tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-2019 yang didalamnya terdapat beberapa perubahan mendasar terkait dengan kebijakan anggaran transfer ke daerah, diantaranya memberikan dana desa dan perubahan fostur transfer ke daerah menjadi transfer ke daerah dan dana desa. Hal ini merupakan implikasi atas ditetapkannya UU nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kebijakan anggaran transfer ke daerah dan dana desa tahun 2015 diarahkan pada ; Pertama, meningkatkan kapasitas fiscal daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah.
Kedua,
mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah pusat dan daerah dan mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah.
Ketiga,
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan public di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan public antar daerah.
Keempat, memprioritaskan
penyediaan pelayanan dasar di daerah tertinggal, terluar, terpencil, terdepan dan pasca bencana.
Kelima, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
pembangunan infrastruktur dasar.
Keenam, mendorong peningkatan kualitas
pengalokasian keuangan daerah yang lebih efisien, efektif, transfaran dan akuntabel. Ketujuh, meningkatkan kualitas pengalokasian transfer ke daerah dan
58
dana desa dengan tetap memperhatikan akuntabilitas dan transfaransi. Kedelapan, meningkatkan kualitas pemantauan dan evaluasi transfer ke daerah dan dana desa. Kesembilan, mengalokasikan desa kepada kabupaten/kota sesuai dengan UU no 6 Tahun 2014 tentang Desa, berdasarkan jumlah desa dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis melalui mekanisme transfer.
---------------------
59