BAB II KONSEP JAMINAN MENURUT HUKUM ISLAM
Secara umum, jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. A. Kafalah 1. Pengertian Kafalah a. Menurut bahasa Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’amah, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni menjamin atau menanggung. 51 Sedangkan menurut terminologi Kafalah didefinisikan sebagai: “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/ prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”. 52 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya (Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban) dan Za’amah (tanggungan). Disebut dhamman apabila penjaminan itu 51
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002), hal.
4141 52
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72; yang artinya : “Penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” dan juga hadis Nabi saw; “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” (HAL.R. Abu Dawud).
Universitas Sumatera Utara
dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa. a. Menurut syara’ Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih, kafalah dapat didefinisikan sebagai berikut: 53 1) Mazhab Hanafi, kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.” 2) Mazhab
Maliki,
Kafalah
adalah “Orang
yang mempunyai
hak
mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”. 3) Mazhab syafi’i, Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”. 4) Mazhab Hanbali, kafalah adalah “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”. 53
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Teori dan Praktek, (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001),
hal.123
Universitas Sumatera Utara
Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful ‘anhu ashil)”. 54 Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang). 55 Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. 56 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang. 54
Ibid M. Abdul Mudjieb, et. al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 148 56 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 106 55
Universitas Sumatera Utara
Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya, ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua. 57 Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa penanggungan adalah “suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” 58 2. Dasar Hukum Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, alSunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut: a. Al-Qur'an Dalam al-Qur’an Surat Yusuf (12): 66, Nabi Ya'kub berkata:
"Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikun kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku..." 57 58
Ibid., hal. 107 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Internusa, 1991), hal. 14
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya pada ayat 72 surat yang sama Allah SWT berfirman:
"Mereka menjawab"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu" b. Al-Sunnah Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah: "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Universitas Sumatera Utara
Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).
c. Ijma' ulama Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. 59 Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang. 60 3. Rukun dan Syarat Kafalah Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas: a. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut. b. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.| 59 60
Sayyid Sabiq, “Fikih al-Sunnah”, vol. 3, (Beirut Libanon: Dar al Fikr), hal. 284 Wahbah Zuhaili, “Fikih al Islam wa Adillatuh”, Vol.5, Beirut, (Lebanon: Dar al-Fikr), hal.
131
Universitas Sumatera Utara
c. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat. d. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan). 61 4. Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.
61
Ibid, hal. 140-147. Lihat juga Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa DSN-MU1, BI dan DSN, Jakarta: 2001, hal. 72-73
Universitas Sumatera Utara
Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.62 5. Masa Tanggungan Masa tanggungan dengan harta, yakni masa penuntutan kepada penanggung adalah dimulai sejak tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan pengakuannya maupun saksi, demikian pendapat fuqaha'. Kemudian fuqaha' bersilang pendapat tentang masa wajibnya tanggungan dengan badan, apakah tanggungan tersebut menjadi wajib sebelum tetapnya hak atau tidak?. Segolongan fuqaha' berpendapat, bahwa tanggungan itu tidak menjadi wajib sebelum tetapnya hak. Pandangan ini dipegangi oleh golongan Imam Malik, Syuraih al-Qadhi dan al-Sya'bi. Segolongan lainnya berpendapat, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harus ada konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia menjadi penanggung. Selanjutnya, kapan pengambilan hak itu terjadi atau kapankah pengambilan hak itu menjadi wajib, dan sampai kapan waktunya?, Sebagian fuqaha' berpendapat bahwa apabila debitur dapat menyampaikan bukti-bukti yang kuat atau saksi misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan), sehingga terlihat haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberi penanggung. Apabila ia ingin juga mengambil penanggung dengan berupaya menghadirkan saksi, 62
Ibnu Rusyd, “Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid”, vol. 3, (Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, tth), hal. 224
Universitas Sumatera Utara
maka ia diberikan tempo selama 5 (lima) hari kerja untuk maksud tersebut, yakni masa penanggung memberikan tanggungan. Ini pendapat Ibn al-Qashim dari kalangan madzhab Maliki. Fuqaha' Irak berpandangan, bahwa tidak dapat diambil penanggung atas debitur sebelum tetapnya hak. Sependapat dengan Ibn al-Qashim, mereka memberikan waktu hanya 3 (tiga) hari. la menambahkan, bahwa tidak boleh diambil penanggung atas seseorang kecuali dengan adanya saksi. Dengan demikian akan tampak jelas pengakuannya itu benar atau tidak benar. Apabila keadilan antara kedua belah pihak dalam masalah ini akan ditegakkan, maka keberadaan saksi mutlak diperlukan, baik kesaksian atas beban (hutang) debitur maupun kesaksian atas diambilnya tanggungan oleh pihak penanggung. Ini memudahkan pihak Kreditur dalam melakukan tindakan-tindakan ke depan, apabila diperlukan. 63 6. Kewajiban Penanggung Apabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau "menghilang", bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung? Dalam hal ini ada tiga pendapat, sebagai berikut: 64 Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang ditanggung, atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik beserta pengikutnya dan fuqaha' Madinah. Bahwa penanggung dipenjarakan, sehingga orang 63
Ibid., hal. 223 http://www.faqihregas.co.cc/2010/05/makalah-tentang-kafalah.html. Diakses tanggal 21 Februari 2011. 64
Universitas Sumatera Utara
yang ditanggung telah datang, atau kalau dia wafat, telah diketahui kewafatannya. Ini pandangan Imam Abu Hanifah dan fuqaha' Irak. 65 Bahwa penanggung tidak terkena kewajiban apapun termasuk dipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia mengetahui tempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al-Qasim. Pendapat Imam Malik yang mengatakan, bahwa penanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia pergi, didasarkan pada Hadis Ibnu 'Abbas r.a. sebagai berikut: "Sesungguhnya seorang lakilaki meminta kepada debiturnya agar memberikan hartanya kepadanya, lalu ia memberikan penanggung kepadanya, tetapi ia tidak mampu, sehingga orang tersebut mengadukannya kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW. pun menanggungnya, kemudian debitur memberikan harta kepadanya." 66 Mereka mengatakan, bahwa Hadis ini menunjukkan adanya penggantian kerugian secara mutlak. Berbeda dengan fuqaha' Irak yang berpandangan bahwa, penanggung hanya berkewajiban menghadirkan apa yang ditanggungnya, yakni orang (yang ditanggungnya). Karenanya, penanggungan tersebut tidak harus menyertakan harta, kecuali apabila penanggungan tersebut memang disyaratkan demikian atas dirinya. 67 Selanjutnya,
Imam
Malik
berpendapat
bahwa,
apabila
seseorang
mensyaratkan tanggungan (badan) tanpa harta, sedangkan iapun menjelaskan syarat tersebut, maka harta tersebut tidak wajib atasnya. Karena apabila harta tersebut 65
Ibid Ibid 67 Ibid 66
Universitas Sumatera Utara
menjadi beban kewajibannya, berarti ia melakukan perbuatan yang melawan apa-apa yang disyaratkannya itu. 68 Berbeda dengan tanggungan harta, fuqaha' telah sepakat bahwa, apabila orang yang ditanggung tersebut meninggal atau pergi, maka penanggung harus mengganti kerugian. Tentang pandangan yang membolehkan kreditur menuntut penanggung, baik yang ditanggung itu bepergian atau tidak, kaya atau miskin, maka mereka beralasan dengan Hadis Qubaishah Ibn al-Makhariqi r.a. sebagai berikut: "Aku membawa satu tanggungan, maka aku mendatangi Nabi SAW. kemudian aku bertanya kepada beliau tentang (tanggungan itu). Maka beliau bersabada: "Kami akan mengeluarkan tanggungan itu atas namamu dari onta sedekah. Hai Qubaishah! sesungguhnya perkara ini tidak halal, kecuali pada tiga hal". Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang laki-laki yang membawa suatu tanggungan dari lakilaki lain, sehingga ia melunasinya ". 69 Hadis tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa, Nabi SAW membolehkan penuntutan terhadap penanggung, tanpa mempertimbangkan kondisi orang yang ditanggung. 70 7. Obyek Tanggungan Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung
68
Ibid Ibid 70 Ibnu Rusyd, Op. cit, hal. 222-223 69
Universitas Sumatera Utara
kerugian.” Sehubungan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut: a. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/ jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar. b. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman) atau wadi 'ah (titipan), maka kafalah tidak sah. c. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan. 71 8. Macam-macam Kafalah M. Syafi'i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian kafalah sebagai berikut: 72 a. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/ fee tertentu.
71
Sayid Sabiq, Op. cit, hal. 286-287 Muhammad Syafi’i Antonio, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari'ah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 38 72
Universitas Sumatera Utara
b. Kafalah bi al-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai juridical personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu. c. Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/ fee kepada nasabah tersebut. d. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/ kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi). e. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula. 9. Upah Atas Jasa Kafalah Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpadangan bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang
Universitas Sumatera Utara
sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/ penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya. 73 10. Akibat-akibat Hukum Kafalah Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bankmenyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya. Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. 74 Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut. 75 73
Adiwarman A. Karim, Op. cit, hal. 107 Sayid Sabiq, Ibid., hal. 287 75 Taqiyyudin Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Terjemahan, (Surabaya: Bina Iman, 1995), hal. 627 74
Universitas Sumatera Utara
11. Penerapan Kafalah Dalam Perbankan Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah 76 jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya. Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991. Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan. pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas permintaannya, dan penerima jaminan. 77 Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. B. Rahn 1. Pengertian Rahn
76
Dahlan Siamat, Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001), hal. 141 77 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Rahn adalah akad penyerahan barang atau harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang. Harta atau barang tersebut sebagai agunan atau jaminan semata-mata atas hutangnya kepada bank. 78 Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Ar-Rahn (gadai) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat, di samping itu rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal dan jaminan. 79 Pengambilan kata gadai dengan istilah rahn itu terambil dari ungkapan Allah dengan kata “farihaanu” dalam QS. Al-Baqarah (2): 283 yang berbunyi:
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. 78
Dewan Syariah Nasional MUI, Konsep & Implementasi Bank Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2005), hal. 54. 79 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I; 2002), hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 80 Kata farihanu dalam ayat tersebut diartikan sebagai maka hendaklah ada barang tanggungan. Kemudian dilanjutkan dengan maqbudhah yang artinya yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dari kata itulah dapat diperoleh suatu pengertian bahwa secara tegas rahn adalah barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang meminjamkan uang sebagai pengikat di antara keduanya. Meskipun pada dasarnya tanpa hal tersebut pun pinjam meminjam tersebut tetap sah. Namun untuk lebih menguatkannya, maka dianjurkan untuk menggunakan barang gadai. Menurut Zainuddin dan Jamhari, gadai adalah menyerahkan benda berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam utang piutang. Borg adalah benda yang dijadikan jaminan. Benda sebagai borg ini akan diambil kembali setelah utangnya terbayar. Jika waktu pembayaran telah ditentukan telah tiba dan utang belum dibayar, maka borg ini digunakan sebagai ganti yaitu dengan cara dijual sebagai bayaran dan jika ada kelebihan dikembalikan kepada orang yang berutang. 81 Menurut istilah syara’ ar-rahn terdapat beberapa pengertian di antaranya : a. Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
80
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), hal. 71 A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlaq (Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 1999), hal. 21 81
Universitas Sumatera Utara
b. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang. c. Akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.82 Sedang menurut pendapat Syafe’i Antonio, Ar-Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.83 Menurut beberapa mazhab, rahn berarti perjanjian penyerahan harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan hutang yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagainya. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat aktual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal, misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan. 84 Dalam hal gadai Drs. Ghufron A. Mas’adi, mengemukakan bahwa yang dimaksud ar-Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan). 85 Sedangkan di dalam syariah, ar-Rahn itu berarti memegang sesuatu yang mempunyai nilai, bila pemberian itu dilakukan pada waktu terjadinya utang. 86
82
Hendi Suhendi, Op. cit., hal. 105-106 Muhal. Syafei Antonio, Bank Syariah dan Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2003), hal. 128 84 Hassan Sadily, Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta : PT. Ichtiar van Hoove, 2000), hal. 1480 85 Ghufron A.M. As’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hal. 175-176 86 A. Rahman I. Doi, Muamalah Syariah III (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996), hal. 72 83
Universitas Sumatera Utara
Dalam Fiqh Sunnah, menurut bahasa Rahn adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu artinya penahanan, seperti dikatakan: Ni’matun Rahinah, artinya karunia yang tetap dan lestari. 87 Sedangkan menurut syara’ apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaannya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya. 88 Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong dan tidak untuk mencari keuntungan. Sedangkan gadai dalam hukum perdata, di samping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan melalui sistem bunga atau sewa modal yang ditetapkan di muka. Dalam hukum Islam tidak dikenal “bunga uang”, dengan demikian dalam transaksi rahn (gadai syari’ah) pemberi gadai tidak dikenakan tambahan pembayaran atas pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima gadai untuk memperoleh
imbalan
berupa
sewa
tempat
penyimpanan
marhun
(barang
jaminan/agunan). 89 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ar-Rahn (gadai) ialah suatu sistem muamalah dimana pihak yang satu memberikan pinjaman dan pihak yang lain menyimpan barang berharga atau bernilai sebagai jaminan atas pinjaman terhadap orang yang menerima gadai. 87
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, Cet. I, 1987), hal. 150 Ibid., hal. 150 89 Perum Pegadaian, Manual Operasi Unit Layanan Gadai Syariah, hal. 1 dari 2 88
Universitas Sumatera Utara
Secara tegas ar-Rahn (gadai) adalah memberikan suatu barang untuk ditahan atau dijadikan sebagai jaminan/pegangan manakala salah si peminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang disepakati dan juga sebagai pengikat kepercayaan di antara keduanya, agar si pemberi pinjaman tidak ragu atas pengembalian barang yang dipinjamnya. Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim). Anas ra. juga pernah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR al-Bukhari). Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim. QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-
Universitas Sumatera Utara
rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. 90 Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan: Diperbolehkan Ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Sedangkan Ibnul Mundzir mengatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena ar-rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (jaminan pertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya. Pendapat Kedua: Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang” adalah berita yang rmaknanya 90
Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-
438.
Universitas Sumatera Utara
perintah. Juga dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari] Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al-Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak. Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” [Al-Baqarah; 283]. 2. Rukun dan Syarat Rahn Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang (al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada hutang yang dimilikinya. Utang piutang itu sendiri adalah hukumnya mubah bagi yang berhutang dan sunnah bagi yang mengutangi karena sifatnya menolong sesama. Hukum ini bisa menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat membutuhkannya. 91 Meskipun hukumnya adalah mubah, namun persoalan ini sangat rentan dengan perselisihan, karena seringkali seseorang yang telah meminjam suatu benda atau uang tidak mengembalikan tepat waktu atau bahkan meninggalkan kesepakatan 91
A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Op. cit., hal. 18
Universitas Sumatera Utara
pengembalian dengan sembunyi atau pergi jauh menghilang entah kemana sehingga si pemberi utang pun merasa ditipu dan dirugikan. Karena pertimbangan di atas, ataupun pertimbangan lain yang belum dapat diketahui oleh umat manusia, maka sangat relevan sekali jika Allah melalui wahyuNya menganjurkan agar akad utang piutang tersebut ditulis, dengan menyebutkan nama keduanya, tanggal, serta perjanjian pengembalian yang menyertainya, penulisan tersebut dianjurkan lagi untuk dipersaksikan kepada orang lain, agar apabila terjadi kesalahan di kemudian hari ada saksi yang meluruskan, dan tentunya saksi tersebut harus adil. Dalam penerapannya saat ini, penulisan tersebut biasanya dikuatkan pula dengan materai agar mempunyai kekuatan hukum, atau bahkan disahkan melalui seorang notaris. Selain itu pula, Allah juga menganjurkan (sunnah) untuk memberikan barang yang bernilai untuk dijadikan sebagai jaminan (gadai) bagi si pemberi pinjaman. Kemudian dituliskan segala kesepakatan yang diambil sebelum melakukan pinjam meminjam dengan gadai. Barang yang dijadikan sebagai gadai (jaminan) tersebut harus senilai dengan pinjaman atau bahkan nilainya lebih dari nilai besarnya pinjaman, barang tersebut dipegang oleh yang berpiutang. Ayat tersebut sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya, yakni: Terjemahnya: Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Universitas Sumatera Utara
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 92 Menurut tinjauan Islam berdasarkan ayat tersebut bahwa dasar hukum gadai adalah jaiz (boleh) menurut al-kitab, as-sunnah dan ijma’. 93 Ayat ini tidak mensahkan hukum yang menyuruh membuat surat hutang di waktu tidak saling mempercayai, karena membuat surat keterangan hutang diwajibkan agama kecuali dikala safat tidak ada penulis, maka hendaklah yang berutang memberikan barang sebagai jaminan. 94 Dalil dari as-sunnah, salah satu hadis Rasul SAW disebutkan (Artinya): Dari Aisyah r.a berkata: Bahwa Rasul SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi secara mengutang kemudian beliau meninggalkan (menggadaikan) baju besi beliau sebagai jaminan utangnya’.95 Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian pula landasan hukumnya. Jumhur berpendapat bahwa gadai itu disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan waktu berpergian. Hal ini berorientasi terhadap perbuatan Rasul SAW yang dilakukan terhadap orang Yahudi di Madinah. Mujahid, Adh Dahhak dan semua penganutnya/pengikutnya Mazhab AzZahiri berpendapat, bahwa rahnun itu tidak diisyaratkan kecuali pada saat bepergian. 92
Departemen Agama RI, loc.cit. Sayyid Sabiq, loc.cit. 94 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 278. 95 Sayyid Sabiq, Op. cit., hal. 140. 93
Universitas Sumatera Utara
Ini juga berdalil kepada landasan hukum dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 283, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. 96 Keterkaitan antara utang piutang dengan gadai, adalah ketika di antara peminjam dan yang memberikan pinjaman tidak terjadi saling percaya, atau kepercayaan tersebut disertai dengan syarat, atau untuk menguatkan kepercayaan diantara keduanya, maka di situlah fungsi dari gadai. Jadi, selama keduanya masih saling percaya, maka gadai tersebut tidak merupakan dianjurkan, dalam artian akad pinjam meminjam tersebut tetap sah, meskipun tanpa disertai dengan barang gadai. Berdasarkan keterangan ayat dan penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum gadai adalah sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), karena keberadaannya sangat besar pengaruh terhadap kepercayaan antara kedua belah pihak, menghindari adanya penipuan dan adanya pihak yang dirugikan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain: 1. Akad ijab dan qabul, seperti seorang berkata; “Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp. 10.000,- dan yang satu lagi menjawab; “aku terima gadai mejamu seharga 10.000,- atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya. 2. Aqid yaitu menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharruf; yaitu mampu 96
Ibid., hal. 141
Universitas Sumatera Utara
membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. 3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar. 4. Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap. 97 Adapun yang menjadi rukun gadai adalah: 1. Adanya lafaz yaitu pernyataan ada perjanjian gadai. 2. Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) 3. Adanya barang yang digadaikan (marhun) 4. Adanya utang. Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa benda/barang gadaian tetap berada dalam penguasaan penerima gadai (rahin) atau berada di tangan pemberi pinjaman sampai orang yang menggadaikan barang tersebut melunasi utangnya. Jadi, marhun (barang gadai) tidak dikembalikan sebelum pinjaman dilunasi. Bahkan lebih jauh dari itu, sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq telah mengemukakan bahwa semua orang yang alim berpendapat, siapa yang menjaminkan sesuatu dengan harta kemudian dia melunasi sebagiannya dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian harta, kemudian dilunasi sebagiannya dan menghendaki mengeluarkan
97
Hendi Suhendi, Op. cit., hal. 108
Universitas Sumatera Utara
sebagian jaminan sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dan haknya atau pemberi utang membebaskannya. 98 Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat sah ar-rahn (gadai) antara lain: 1. Borg/marhun (barang gadai) harus utuh 2. Borg yang berkaitan dengan benda lainnya, tapi Hanafiyah berpendapat tidak sah jika borg berkaitan dengan benda lain seperti borg buah yang masih di pohon, sedangkan pohonnya tidak dijadikan borg. 3. Gadai utang 4. Menggadaikan barang pinjaman; pada dasarnya barang yang digadaikan haruslah milik rahin akan tetapi jika dalam kondisi tertentu rahin bisa menggadaikan barang yang bukan miliknya asal seizin pemiliknya atau rahin tersebut dikuasakan untuk melaksanakan akad gadai (rahn). 99 Menyimpulkan dari beberapa pendapat di atas, maka rukun dan syarat sahnya akad gadai adalah adanya pihak penggadai (rahin), pihak yang menerima gadai (marhun), barang yang dipinjam, barang yang dijadikan gadai dan ijab qabul. Tanpa kesemuanya tersebut sangat mustahil dapat terwujud akad gadai. Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul Shalallahu alaihi wasalam 98
Chairuddin Pasaribu dan Surrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 142 99 Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, t.th), hal. 169
Universitas Sumatera Utara
telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita. [Rasul bersabda, "Lâ tabi' mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu) (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan alBaihaqi)]. Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi. Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi. Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul Shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni) Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin. Sebaliknya, jika masih kurang,
Universitas Sumatera Utara
kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya. 100 Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat ini-yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan. Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan. Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu 100
Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, (Kairo: Dar as-Salam), hal. 1417
Universitas Sumatera Utara
utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama. 101 Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. [Rasul bersabda: "kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa majhun min wujûhi ar-ribâ (Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR al-Baihaqi] Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya. 102 Secara umum, sebenarnya dayn lebih umum daripada qardh. Dengan kata lain, dayn juga meliputi qardh, namun konteks dayn yang dimaksud dalam pembahasan ini dispesifikkan untuk kasus utang di luar qardh, yang telah dijelaskan di atas, maka almurtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu. 101 102
Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu'amalat, (Lebanon: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1995), hal. 285. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-râhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus alqardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya Dalam masalah ini terdapat dua pendapat, yaitu: 103 1. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah. Dan Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.
103
Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, (Kairo: hajar, 1412H), hal. 446.
Universitas Sumatera Utara
2. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah. Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya. Menurut Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi. 3. Fungsi dan Manfaat Rahn Gadai diadakan dengan persetujuan jika hak itu hilang dan gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama utang si berutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika siberutang tidak mau membayar utangnya jika hasil gadai itu lebih besar daripada utang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada si pegadai. Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran utang, maka sipemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu. Penjualan barang gadaian harus dilakukan di depan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu
Universitas Sumatera Utara
harus diberitahukan lebih dahulu kepada si penggadai tentang pelunasan utang, pemegang gadai selalu didahulukan dari pada pemiutang lainnya. Pemilik masih tetap berhak mengambil manfaatnya dari barangnya yang dijaminkan, bahkan manfaatnya tetap kepunyaan pemilik dan kerusakan menjadi tanggungan pemilik. Tetapi usaha pemilik untuk menghilangkan miliknya dari abrang itu (jaminan), mengurangi harga menjual atau mempersewakannya tidak sah tanpa izin yang menerima jaminan (borg). 104 Menjaminkan barang-barang yang tidak mengandung resiko biaya perawatan dan yang tidak menimbulkan manfaat seperti menjadikan bukti pemilikan, bukan barangnya, sebagaimana yang berkembang sekarang ini agaknya lebih baik untuk menghindarkan perselisihan antara kedua belah pihak sehubungan dengan resiko dan manfaat barang gadai. Lebih dari itu, masing-masing pihak dituntut bersikap amanah, pihak yang berutang menjaga amanah atas pelunasan hutang. Sedangkan pihak pemegang gadai bersikap amanah atas barang yang dipercayakan sebagai jaminan. 105 Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan barang gadaian dapat menimbulkan suatu manfaat terhadap masyarakat yang telah melaksanakan gadai menggoda dalam transaksi ekonomi. Dalam hukum Islam hikmah gadai sangat besar, karena orang yang menerima gadai membantu menghilangkan kesediaan orang yang menggadaikan, yaitu
104
Ibrahim Lubis, BC. HK. Dpl. Ec, Ekonomi Islam Suatu Pengantar 2 (Jakarta : Kalam Mulia, 1995), hal. 405 105 Ghufron A. M. As’adi, Op. cit., hal. 179
Universitas Sumatera Utara
kesedihan yang membuat pikiran dan hati kacau. Di antara manusia ada yang membutuhkan harta berupa uang untuk mencukupi kebutuhannya. Kebutuhan manusia itu banyak. Mungkin ia meminta bahwa kepada seseorang dengan cara berutang, tetapi orang itu menolak untuk memberikan harta kecuali dengan ada barang jaminan yang nyata sampai dikembalikannya sejumlah jaminan itu. Dengan adanya kenyataan seperti Allah Maha Bijaksana mensyariatkan dan membolehkannya sistem gadai agar orang yang menerima gadai merasa tenang atas hartanya. Alangkah baiknya kalau mereka mengikuti syari’at dalam penggadaian, karena kalau mereka mengikuti syari’at tidak ada yang menjadi korban keserakahan orang-orang kaya yang bisa menutupi pintu-pintu yang tidak terbuka dan melarat orang yang didahuluinya maka dengan kemewahan dan kebahagiaan. Hikmah yang bisa diambil dari sistem gadai ini ialah: a. Timbulnya rasa saling cinta mencintai dan sayang menyayangi antara
manusia, belum lagi pahala yang diterima oleh orang yang menerima gadai dari Allah swt. Di suatu hari yang tiada guna lagi harta dan anak, kecuali orang yang lapang, rela dan tulus ikhlas untuk memperoleh ridha dari Allah. 106 Dengan hikmah tersebut, maka timbul rasa saling cinta mencintai untuk menolong orang lain dari kesusahan.
106
Syekh Al Ahmad Jurjani, Hikmah Al-Tasyri Mafalsafatuhu, Diterjemahkan oleh Hadi Mulyo (Semarang: Asy Syifa, 1992), hal. 394.
Universitas Sumatera Utara
b. Ar-rahnun pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan kepada
berpiutang. Dengan demikian, maka pada hakikatnya tujuan gadai itu adalah untuk memudahkan bagi yang mendapat kesulitan terhadap sesuatu dan juga tidak merugikan kepada orang lain. Islam memberikan tuntutan agar kita sebagai manusia untuk selalu tolong menolong. 107 Jadi di sini agama Islam memberikan jalan keluar bagi yang kena sesuatu kesulitan, sedang ia mempunyai sesuatu barang yang juga berharga dan itulah yang dijadikan borg (jaminan). 108 c. Pada hakekatnya yaitu memberikan jaminan kepada orang berpiutang
sebagai usaha untuk memudahkan bagi yang mendapat kesulitan terhadap sesuatu, sementara orang yang berpiutang mempunyai barang yang berharga (barang yang dapat digadaikan). Jadi, pada prinsipnya adalah untuk tolong menolong dalam batas-batas pemberian jaminan.
C. Daman Daman adalah menjamin (menanggung) untuk membayar utang, mengadakan barang, atau menghadirkan orang pada tempat yang telah ditentukan. Daman mengandung tiga permasalahan, yaitu: 109 1. Jaminan atas utang seseorang, misalnya A menjamin utang B kepada C, maka C boleh menagih piutangnya kepada A atau kepada B 107
Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang menurut Islam. (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 14 Ibid 109 Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve), hal. 248 108
Universitas Sumatera Utara
2. Jaminan dalam pengadaan barang, misalnya A menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh B dari C, apabila B tidak mengembalikan barang itu kepada C, maka A wajib mengembalikannya kepada C 3. Jaminan dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu, misalnya A menjamin mengehadirkan B yang sedang dalam perkara ke muka pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Dari pengertian di atas, diketahui bahwa daman dapat dan boleh diterapkan dalam berbagai bidang dalam lapangan muamalah, menyangkut jaminan atas harta benda dan jiwa manusia. Imam al-Mawardi, ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa aman dalam pendayagunaan harta benda, tanggungan dalam masalah diat, jaminan terhadap kekayaan, jaminan terhadap jiwa, dan jaminan terhadap beberapa perserikatan sudah menjamin kebiasaan masyarakat. Dengan demikian, daman dapat diterapkan dalam masalah jual beli, pinjam meminjam, titipan, jaminan, kerangka patungan atau qirad, barang temuan, peradilan, kisas, gasab, pencurian, dan lainlain. 110 Dasar hukum dibolehkannya daman ialah firman Allah SWT yang berbunyi:
110
Ibid, hal. 285.
Universitas Sumatera Utara
Mereka menjawab "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu (QS. 12: 72). Selain itu terdapat pula hadis Rasulullah SAW: Pinjaman hendaklah dikembalikan dan orang yang menjamin hendaklah membayar” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi). Dalam hadis lain dijelaskan pula bahwa kelompok orang yang membawa jenazah seseorang ke hadapan Nabi SAW. Mereka berkata kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, salatkanlah mayat ini!” Beliau bertanya, “Apakah ia meninggalkan harta benda?” Mereka menjawab, “Tidak.” Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah ia meninggalkan utang?” Mereka menjawab, “Ya, utangnya tiga dinar.” Nabi SAW bersabda", “Salatkanlah temanmu ini!” Abu Qatadah berkata, “Salatkanlah di ya Rasulullah, dan utangnya itu saya jamin.” Kemudian Rasulullah melakukan salat atas mayat itu. (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, dan an-Nasa’i). Di samping itu, ijmak ulama juga membolehkan daman dalam muamalah karena daman diperlukan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya seseorang membutuhkan modal usaha dapat memperoleh modal tersebut dengan jaminan dari seseorang yang dipercaya. Atas jaminan tersebut ia dapat memmbangun usahanya, sehingga kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya. 111
111
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Menurut sebagian ahli fikih Islam, sebagaimana telah diuraikan oleh “Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani” bahwa ada 5 (lima) rukun syarat sahnya akad jaminan (dhaman), yaitu: 112 1.
Adanya pihak yang menjamin (dhamin).
2.
Adanya pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu).
3.
Ada yang menerima jaminan (madhmun lahu).
4.
Adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, berupa hak harta yang wajib dibayar atau akan jatuh tempo pemenuhannya.
5.
Adanya ikrar atau ijab qabul antara pihak penjamin atau penanggung dengan pihak yang ditanggung.
112
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 91.
Universitas Sumatera Utara