BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. NYERI NYERI

Download Pembagian lain membagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. .... Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pad...

0 downloads 910 Views 303KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1. Nyeri Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis (MOH Malaysia, 2013; Zacharoff et al., 2010; Young et al., 2013; AMA, 2013), oleh karenanya nyeri telah menjadi fokus perhatian umat manusia sejak dahulu. Bukti menunjukkan bahwa manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan nyeri. Konsekuensi fisik dan emosional nyeri telah dijabarkan oleh para ilmuan sejak lama. Sejak tahun 1999 nyeri telah dikenal sebagai tanda vital kelima (fifth vital sign). Milton mengatakan ”Pain is a perfect misterie, the worst of evil. And excessive, overture all patience”. Sudah menjadi kewajaran bahwa manusia sejak awal berupaya sedemikian untuk mengerti tentang nyeri dan mencoba mengatasinya (Jamison & Edwards, 2012). a. Definisi Menurut IASP (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (Zacharoff et al., 2010; MOH Malaysia, 2013; AMA, 2013). Definisi ini mengakui bahwa nyeri pada manusia kondisi normal merupakan pengalaman sadar yang melibatkan interpretasi input sensorik yang menandakan adanya peristiwa berbahaya, dan dipengaruhi oleh emosi, kognitif, memori, konteks 10

11

interpersonal dan sosial serta faktor yang lain. Sebuah model influential conceptual menggambarkan nyeri dalam istilah tiga tingkat hirarki, yaitu komponen sensoridiskriminatif (misalnya lokasi, intensitas, kualitas), komponen motivasional-afektif (misalnya depresi, kecemasan), dan komponen kognitif-evaluatif (misalnya berpikir tentang penyebab dan makna nyeri) (AMA, 2013). Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan adanya bahaya kerusakan jaringan (Meliala & Pinzon, 2007), yang akan menyebabkan tubuh mencegah atau meminimalisir kerusakan jaringan dan mempercepat proses penyembuhan, sehingga nyeri normal akan meningkatkan kelangsungan hidup (Watskins et al., 2007). Pada kasus gangguan sensasi nyeri dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat, misalnya pada neuropati diabetikum (Meliala & Pinzon, 2007). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk “penderitaan”. Nyeri juga berkaitan dengan refleks menghindar dan perubahan output otonom. Semua istilah ini berkaitan dengan suatu pengalaman nyeri (Jamison & Edwards, 2012). b. Epidemiologi Hampir semua orang mengalami nyeri pada suatu waktu dalam hidupnya (Zacharoff et al., 2010). Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan

(Meliala, 2004). Di

Amerika Serikat, lebih dari 20% kunjungan dokter dan 10% dari penjualan obat dikaitkan dengan nyeri. Sementara biaya tahunan untuk perawatan kesehatan, kompensasi dan gugatan yang berhubungan dengan nyeri melebihi $100 milyar, dan kehilangan produktivitas sebesar $61, 2 milyar (AMA, 2013; Flub et al., 2014). Biaya ekonomi tahunan yang berhubungan dengan nyeri kronis hampir mencapai $560 milyar

(AMA, 2013). Nyeri berhubungan dengan cedera dan

12

penyakit dalam kisaran yang luas, dan dalam beberapa situasi merupakan penyakit itu sendiri. Beberapa kondisi mungkin mengalami nyeri dan gejala terkait yang muncul dari penyebab yang terpisah, seperti nyeri pasca operasi atau nyeri terkait tekanan yang berhubungan dengan tumor. Terdapat juga kondisi di mana nyeri merupakan masalah utama, seperti nyeri neuropatik atau nyeri kepala (Zacharoff et al., 2010). Pembedahan merupakan penyebab tunggal terbesar nyeri akut di Amerika Serikat, di mana terdapat sekitar 46 juta prosedur yang dilakukan setiap tahun. Kebanyakan pasien melaporkan nyeri pasca operasi sedang hingga berat, bahkan dengan menggunakan penanganan dan teknik terkini (Zacharoff et al., 2010). c. Klasifikasi Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional, yang dapat berbeda dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien, intermiten, persisten), dan penyebaran (superfisial vs dalam, terlokalisir vs difus) (Woolf, 2004; Young et al., 2013). Secara garis besar, terdapat dua macam nyeri, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri yang muncul akibat adanya aktifitas fisiologis reseptor nyeri normal

dan

tidak

didapatkan adanya disfungsi sistem saraf primer disebut nyeri nosiseptif. Adapun nyeri yang diakibatkan oleh adanya disfungsi sistem saraf sentral atau perifer disebut nyeri neuropatik, dan penatalaksanannya biasanya melibatkan tim neurologis (Zacharoff et al., 2010). Ada pula yang membagi nyeri menjadi 2 bagian besar, yaitu nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses pertahanan hidup dengan melindungi organisme dari cedera berkepanjangam dan membantu proses

13

pemulihan. Adapun nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf (Woolf, 2004). Pembagian lain membagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut dimulai secara tiba-tiba dan biasanya kualitasnya tajam, berfungsi sebagai peringatan dari penyakit atau ancaman bagi tubuh. Nyeri akut dapat disebabkan oleh banyak persitiwa atau keadaan, termasuk operasi, patah tulang, perawatan gigi, luka atau luka bakar, proses persalinan atau melahirkan. Nyeri akut dapat bersifat ringan dan hanya berlangsung sesaat, dapat pula parah dan berlangsung selama beberapa minggu atau bulan, namun pada kebanyakan kasus tidak lebih dari 6 bulan, dan nyeri ini akan menghilang bila penyebab yang mendasarinya telah diobati atau sembuh. Akan tetapi nyeri akut yang tak tertangani dapat berkembang menjadi nyeri kronis. Adapun nyeri kronis merupakan nyeri yang terus berlanjut meskipun cedera telah sembuh. Sinyal nyeri tetap aktif dalam sistem saraf selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahuntahun. Efek emosional yang menyertai termasuk depresi, kemarahan, kecemasan dan ketakutan mengalami cedera ulang. Yang termasuk nyeri kronis meliputi nyeri kepala, low back pain, nyeri kanker, nyeri artritis, nyeri neurogenik dan nyeri psikogenik (Zacharoff et al., 2010; NINDS, 2014). d. Patofisiologi Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali stimulus-stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari. Apabila

14

telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cedera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi (Woolf, 2004; Meliala & Pinzon, 2007). Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri inflamasi atau nyeri nosiseptor, sedangkan bila terdapat lesi di serabut saraf pusat atau perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan bermacam mediator inflamasi seperti; bradikinin, prostaglandin, histamin, dan lain sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitisasi) secara langsung maupun tidak langsung (Meliala, 2004). Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya: pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri (Woolf, 2004). Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus

15

noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional) (Woolf, 2004; Meliala, 2004; Meliala & Pinzon, 2007). Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri telah ditemukan. Mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi (Woolf, 2004; Meliala & Pinzon, 2007). Secara umum nyeri dirasakan bila ada jaringan tubuh yang rusak, pada tempat tersebut kemudian terjadi proses transduksi. Proses transduksi menghasilkan perbesaran impuls nyeri, sesudah impuls diperbesar kemudian ditransmisikan oleh jalur nyeri menuju cornu dorsalis medulla spinalis. Dalam cornu dorsalis impuls nyeri mengalami modulasi, dapat diperbesar atau diperkecil. Pada tempat ini juga berakhir seberkas serabut saraf yang keluar dari otak berjalan menurun dan berakhir di setiap segmen medulla spinalis. Serabut saraf tersebut berperan membantu modulasi impuls nosiseptif yang berjalan dari perifer menuju sentral, dan akhirnya dipersepsi di otak sebagai sensasi nyeri (Mulyata, 2005; Zacharoff et al., 2010). Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan δ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis

medulla

spinalis.

Sinyal

kemudian

diteruskan

melalui

traktus

16

spinotalamikus di otak, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan. Sensitisasi perifer cedera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine, dan faktor pertumbuhan. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers). Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cedera dan merangsang reseptor purin P2x3, dan mengaktifkan nosiseptor. Proton berikatan pada reseptor V1, dan menghasilkan nyeri beberapa waktu setelah cedera (Woolf, 2004; Meliala & Pinzon, 2007). Prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid) dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi tanpa langsung menimbulkan nyeri. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2. Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid dengan bantuan fosfolipase A2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 ini akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan

17

ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor (Woolf, 2004; Meliala & Pinzon, 2007). Aktivasi adenil siklase oleh prostaglandin E akan meningkatkan kadar adenosin monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Protein kinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan (prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), blokade hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi (Woolf, 2004; Meliala & Pinzon, 2007). e. Penilaian Intensitas Nyeri Mengukur intensitas nyeri adalah bagian penting dalam penilaian awal pasien dan hal ini dilakukan secara terus-menerus. Terdapat beberapa skala nyeri yang sudah divalidasi yang dapat membantu pengukuran nyeri. Alat pengukuran nyeri ini ini terdiri dari skala unidimensi sederhana atau kuesioner multidimensi. Pengukuran nyeri haruslah melibatkan baik kerangka waktu dan konteks klinis nyeri. Pasien dengan nyeri akut biasanya diminta untuk menggambarkan nyeri saat ini adan dapat ditanya tentang intensitas rata-rata selama satu periode tertentu untuk menetapkan informasi perjalanan nyeri. Sementara terhadap pasien dengan nyeri menetap, sebaiknya ditanyakan tentang nyeri selama beberapa minggu yang dan

18

mendapatkan pengukuran terpisah untuk nyeri rata-rata, nyeri terburuk dan teringan (Zacharoff et al., 2010; AMA, 2013). Beberapa skala pengukuran nyeri tersebut di bawah ini: 1) Visual Analog Scale (VAS). VAS sebenarnya sama dengan NRS. VAS yang paling umum terdiri dari garis sepanjang 10 cm dengan tulisan “tak ada nyeri” pada salah satu ujung dan “nyeri terburuk yang dapat dipikirkan” pada ujung yang lain. Pasien memberi tanda titik pada garis tersebut yang paling baik mengambarkan nyeri yang dia derita. Kemudian jarak titik tersebut dari satu ujung diukur dan dicatat dengan satuan milimeter (Zacharoff et al., 2010; AMA, 2013).

Gambar 2.1. Visual Analog Scale (AMA, 2013).

19

Gambar 2.2 Faces Pain Scale (AMA, 2013) 1) Faces Pain Scale. Skala ini menampilkan gambar 6 sampai 8 ekspresi wajah yang menggambarkan tingkatan emosi. Skala ini mungkin berguna pada anak muda, pada pasien yang mengalami gangguan kognitif ringan sampai sedang, atau pasien dengan kendala bahasa (Zacharoff et al., 2010; AMA, 2013). b. Penatalaksanaan Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika ajuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi dengan beratnya lesi atau stimulus (Meliala & Pinzon, 2007). Cedera jaringan atau inflamasi akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor

20

secara langsung atau tidak langsung. Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia. Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Potensial aksi terjadi oleh karena depolarisasi membran sebagai akibat pembukaan saluran natrium. Obat-obat yang menstabilkan membran (misalnya: anestesi lokal) dapat menghambat pembentukan potensial aksi dari nosiseptor. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid mencegah transduksi dengan menghambat berbagai mediator inflamasi (Meliala & Pinzon, 2007). Adapun penatalaksanan non farmakologis untuk nyeri dapat dibagi menjadi 3 dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikologis dan dimensi psikososial. Untuk terapi dengan modalitas fisik terdiri dari therapeutic exercise (range of-motion exercise, stretching, strength training, dan cardiovascular conditioning), aplikasi panas dan dingin, manipulasi fisik, therapeutic massage, serta Transcutaneous Electrical Stimulatian (TENS). Adapun untuk terapi nyeri dari dimensi psikologis dapat berupa terapi perilaku, teknik psikofisiologis seperti relaksasi dan biofeedback, teknik relaksasi, CBT, serta hipnosis. Sedangkan intervensi psikososial meliputi terapi keluarga dan intervensi keluarga, intervensi edukasi untuk keluarga, training keterampilan coping untuk pasangan, terapi kelompok dan dukungan kelompok, serta dukungan spiritual atau religius. Hipnosis dapat bermanfaat untuk mengurangi nyeri kronik, mengurangi disabitilas, memperbaiki nyeri pasca bedah, dan memperbaiki waktu pemulihan pasca bedah (Zacharoff et al., 2010).

21

2. Kecemasan a. Definisi Ansietas (kecemasan) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Banyak hal yang harus dicemaskan – misalnya, kesehatan kita, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang dapat menjadi sumber kekhawatiran. Adalah normal, bahkan adaptif, untuk sedikit cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya – yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Dalam bentuknya yang ekstrem, kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari (Nevid, et al.,

2005). Sensasi kecemasan sering dialami oleh

hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan dan samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonom, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan. Seseorang yang memiliki gangguan kecemasan mungkin juga merasa gelisah, seperti ketidakmampuan untuk duduk atau berdiri lama. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang (Sadock & Sadock, 2007). b. Klasifikasi

22

Berdasarkan Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-V), gangguan kecemasan terbagi menjadi enam kategori utama, yaitu fobia, gangguan panik (panic disorder), gangguan kecemasan menyeluruh (generalized anxiety disorder), gangguan obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder), gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder), dan reaksi stres akut (acute stress disorder). c. Penatalaksanaan Penanganan untuk gangguan ansietas meliputi psikoterapi dan farmakoterapi. Masing-masing perspektif teoretis mayor telah menciptakan berbagai pendekatan untuk

mengangani

gangguan-gangguan

kecemasan.

Pendekatan-pendekatan

psikologis mungkin berbeda satu sama lain dalam teknik-teknik dan tujuannya, tetapi sepertinya ada satu hal yang sama : dengan cara-cara mereka sendiri, mereka mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber kecemasan mereka. Sebaliknya pendekatan biologis terutama berfokus pada penggunaan obat-obatan untuk meredam ansietas (Nevid, et al., 2005). 3. Sectio caesarea a. Definisi Sectio caesaria (SC) adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi per abdominal dengan melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus inferior, biasanya yang sering dilakukan insisi segmen bawah tranversal (Wang et al., 2010; Akinola et al., 2014). b. Epidemiologi Terdapat peningkatan angka kejadian SC yang dramatis di berbagai dunia,

23

baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang (Kealy et al., 2010; Wang et al., 2010). Tingkat SC di Australia adalah 21 persen pada tahun 1998 dan hampir 31 persen pada tahun 2007. Di Inggris, SC menyumbang 24,6% dari kelahiran tahun 2008 dan 2009. Adapun di Brazil, tingkat SC bervariasi dari 70% di sektor swasta, yang menyediakan perawatan untuk sekitar seperempat dari semua wanita usia subur, dan 28% di sektor publik (Kealy et al., 2010). Di banyak rumah sakit di Cina, tingkat operasi SC lebih dari 40%, sedangkan dalam beberapa kasus dapat mencapai 80% (Wang et al., 2010). Di Indonesia, angka SC rata-rata sebesar 9,8% dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) dan secara umum karakteristik wanita yang menjalani SC menunjukkan proporsi tertinggi tinggal di perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan tinggi/lulus PT (25,1%) (Riskesdas, 2013). Hal-hal yang menyebabkan tingginya angka SC antara lain adalah 1) Rendahnya prioritas untuk meningkatkan kemampuan wanita sendiri untuk

melahirkan (ChilbirthConnection, 2015) 2) Efek samping intervensi persalinan umumnya, misalnya induksi persalinan

pada wanita primipara dan /atau ketika cerviks tidak lunak dan sulit membuka, penggunaan monitor janin elektronik yang terus menerus (dibanding monitor denyut jantung janin secara manual dan periodik), dan pemberian anestesi epidural tanpa boster oksitosin sintetik yang mendorong respon fetal distress (ChilbirthConnection, 2015). 3) Banyaknya profesional kesehatan dan/atau rumah sakit enggan menawarkan

informed choice persalinan vaginal pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya

24

survey The Listening to Mother mendapatkan bahwa banyak wanita dengan SC sebelumnya akan lebih menyukai pilihan vaginal birth after cesarean (VBAC), tetapi tidak melakukannya karena profesional kesehatan dan/atau rumah sakit enggan melakukannya (Declercq et al., 2013). Hal ini juga terjadi pada kasus letak sungsang dan janin kembar, yang direncanakan SC terus meningkat (ChilbirthConnection, 2015). 4) Sikap santai terhadap operasi dan variasi dalam gaya praktik profesional.

Masyarakat kita lebih toleran terhadap prosedur operasi, bahkan ketika tidak dibutuhkan secara medis. Hal ini mencerminkan tingkat kenyamanan yang dimiliki banyak profesional kesehatan, asuransi, administrator rumah sakit dan wanita sendiri terhadap tren SC (Clark et al., 2007). 5) Terbatasnya kesadaran terhadap bahaya yang ditimbulkan SC. SC merupakan

operasi major yang meningkatkan kemungkinan banyak macam bahaya untuk ibu

dan

bayi

bila

dibandingkan

dengan

persalinan

vaginal

(ChildbirthConnection, 2012). 6) Insentif atau jasa medik yang lebih menguntungkan pada persalinan SC

dibanding yang lain, sementara beban kerjanya lebih ringan dan dapat dijadwalkan lebih leluasa (ChilbirthConnection, 2015). 7) Harapan

profesional untuk keseimbangan pekerjaan dan kehidupan.

Dibandingkan

sebelumnya,

terlihat

adanya

penurunan

kesediaan

mendampingi persalinan di waktu malam, akhir minggu dan hari libur dan lenih banyak persalinan dijadwalkan di hari kerja (ChilbirthConnection, 2015).

25 8) Kepercayaan tinggi wanita terhadap perawatan bersalin mereka (Declercq et

al., 2013). c. Indikasi Indikasi untuk tindakan SC secara garis besar dibagi dua, yaitu indikasi medis dan indikasi non medis (Penna & Arulkumaran, 2003; Al Rowaily et al., 2014). Indikasi medis utama SC adalah persalinan sulit dan tindakan SC pada kehamilan sebelumnya. Data menunjukkan bahwa persalinan sulit, gawat janin, presentasi bokong dan perdarahan pre partum merupakan indikasi utama untuk SC darurat, sementara riwayat SC, presentasi bokong, permintaan ibu dan kondisi ibu merupakan indikasi utama untuk SC elektif (Al Rowaily et al., 2014). Sebuah penelitian menyatakan bahwa di antara wanita yang sebelumnya mengalami SC, hanya 14% menjalani VBAC (Vaginal Birth after Cesarean) sedangkan 86% menjalani SC ulang (Declercq et al., 2013). d. Komplikasi Komplikasi yang paling umum dialami oleh ibu-ibu pasca SC adalah : nyeri, infeksi, kehilangan darah yang berat, bekuan darah di kaki atau paru-paru, mual dan muntah setelah persalinan (terkait prosedur anestesi), histerektomi darurat, masalah usus seperti konstipasi atau ileus, cedera organ lain seperti kandung kemih yang dapat terjadi selama operasi, serta kematian (de Sousa et al., 2009; Akinola et al., 2014). Komplikasi yang dialami bayi yang dilahirkan secar SC adalah kemungkinan besar memiliki problem pernafasan dan mengembangkan beberapa penyakit kronis : diabetes onset kanak, alergi dengan gejala seperti selesma, asma pada kanak-kanak dan sebagainya (ChildbirthConnection, 2012).

26

Komplikasi jangka panjang bagi ibu adalah jaringan parut, perlekatan yang menyebabkan nyeri panggul dan mengalami infertilitas di masa datang. Juga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik, plasenta previa, plasenta akreta, abrupsi plasenta, dan ruptur uteri (ChildbirthConnection, 2012). 4. Nyeri Pasca Sectio caesarea Nyeri yang muncul setelah SC menyebabkan kesulitan dan kelambatan pemulihan ibu, sehingga mengakibatkan terhambatnya kontak ibu dengan bayi yang baru lahir, juga menjadi hambatan bagi posisi menyusui yang baik, perawatan diri, perawatan bayi baru lahir, dan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti duduk dan berdiri, berjalan, melakukan kegiatan kebersihan pribadi (de Sousa et al., 2009). Nyeri pasca SC tergolong dalam nyeri inflamasi yang bersifat akut, dan biasanya intensitasnya berat, yang dialami hingga 75% subjek (Abdo, 2008). Faktor-faktor yang dapat memodulasi impuls nyeri antara lain : faktor perilaku, faktor kognitif, faktor psikologik (ansietas), faktor fisiologik (misalnya hormon seksual) (Meliala, 2004). Teori “gate control” merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini menyatakan eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan desendens maka input akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik, yaitu pada level medula spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah “gate” akan menutup atau membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri asendens. Teori “gate control”

ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi nyeri,

termasuk

motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan reaksi stres dalam

27

meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini, dapat dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun intervensi psikologis (Zacharoff et al., 2010). 5. Hipnoterapi a. Definisi Hipnosis adalah kondisi relaksasi dari konsentrasi atentif yang memungkinkan kesadaran individu, pikiran kritis untuk beristirahat sementara sehingga individu dapat menerima pikiran positif yang membantunya untuk merasa lebih nyaman (Eimer, 2000). Hipnosis adalah kekuatan pemaknaan dari kemampuan bawaan dalam mengarahkan khayalan, penggambaran, dan perhatian. Selama keadaan hipnotik, perhatian fokal dan khayalan ditingkatkan dan kewaspadaan perifer diturunkan secara terus menerus. Keadaan trans ini dapat ditimbulkan oleh hipnotis melalui prosedur induksi formal, tetapi dapat juga terjadi secara spontan. Kapasitas untuk dihipnosis dan kaitan dengan keadaan trans spontan merupakan bakat yang bervariasi antara individu, tetapi relatif stabil sepanjang siklus hidup seseorang (Axelrad et al., 2009). Saat ini hipnosis dipahami sebagai aktivitas pikiran normal yang melalui perhatian menjadi lebih fokus, penilaian kritis menghilang sebagian, dan kewaspadaan perifer menurun. Keadaan trans merupakan fungsi dari pikiran subjek, tidak dapat dirancang dengan kekuatan fisik oleh orang dari luar. Hipnosis, bagaimanapun

dapat

menjadi

alat

dalam

mencapai

keadaan

ini

dan

menggunakannya tanpa kritik, fokus yang dalam untuk memfasilitasi penerimaan pikiran dan perasaan baru, yang kemudian meningkatkan perubahan terapeutik.

28

Bagi subjek, hipnosis ditandai dengan perasaan tidak sadar dan pergerakan terlihat automatis (Sadock & Sadock, 2007). Hipnoterapi adalah pengobatan dengan menggunakan hipnosis sebagai medium (Axelrad et al., 2009). Hipnoterapi merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari manfaat sugesti untuk mengatasi masalah pikiran, perasaan dan perilaku. Hipnoterapi dapat juga dikatakan sebagai suatu teknik terapi pikiran dan penyembuhan yang menggunakan metode hipnotis untuk memberi sugesti atau perintah positif kepada pikiran bawah sadar untuk penyembuhan suatu gangguan psikologis atau untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku menjadi lebih baik (Kahija, 2007). b. Klasifikasi Berdasarkan cara melaksanakan, hipnotik dibagi menjadi tiga (Axelrad et al., 2009): 1) Hipnoterapi langsung, dikembangkan dari teori persuasi. Pemberi hipnosis sebagai sumber yang mempunyai otoritas dan memberikan sugesti langsung untuk memperbaiki gejala. 2) Hipnoterapi permisif, berdasarkan asumsi bahwa hipnotisabilitas merupakan bakat yang dibawa pasien dan bahwa pasien mempunyai sumber dari dalam untuk menjadi sembuh. 3) Hipnoterapi tidak langsung, berdasarkan usaha yang dilakukan Milton Erikson pada pasien yang sulit - pasien yang tidak mudah untuk dihipnosis/atau dengan riwayat kegagalan hipnosis. Terapis harus memutuskan gaya hipnosis yang paling sesuai untuk diberikan

29

pada pasien. Cara permisif sesuai untuk sebagian besar pasien hipnoterapi. Hipnoterapi langsung sesuai untuk yang mudah dihipnosis dan berpendidikan rendah. Hipnoterapi tidak langsung sesuai untuk pasien dengan gejala menetap yang mempunyai riwayat kegagalan terapi (Axelrad et al., 2009). Terdapat dua pendekatan utama pada hipnoterapi, yaitu (Axelrad et al., 2009) : 1) Pendekatan berdasarkan protokol, protokol pengobatan yang telah ditetapkan dengan baik berdasarkan penelitian diluar domain hipnosis yang dapat digunakan pada keadaan hipnosis. 2) Pendekatan individual, berdasarkan individu pasien yang dihadapi. c. Mekanisme Kerja Penelitian Ernest Hilgard pada hipnotisabilitas menemukan enam area utama respons hipnotik: ideomotor respons; hypnotic imagery dan mimpi; pengaruh pada memori; efek sensori dan persepsi; perubahan kognitif-afektif; dan efek posthipnotik seperti yang akan dijelaskan berikut ini (Axelrad et al., 2009): 1) Responsifitas ideomotor merujuk baik pada fasilitasi dan inhibisi dari respons motor melalui sugesti spesifik. Responsifitas ideomotor terhitung sebagai bagian terbesar dari variasi seluruh respons hipnotik. 2) Beberapa subjek yang dihipnosis mengalami peningkatan kualitas dan penambahan kuantitas imageri dalam hipnosis. Imageri dibandingkan dengan proses informasi kognitif dapat memainkan peran penting dalam hipnotik melebihi pengalaman saat terjaga.

30

3) Hipnosis mempunyai efek yang kompleks pada memori. Sugesti hipnotik dapat meningkatkan pemanggilan ingatan (hipermnesia hipnotik) tetapi bukan pengenalan dari material yang bermakna pribadi, akan tetapi akurasi dari informasi yang dipanggil kembali bervariasi sesuai dengan apakah hipnoterapis menciptakan capaian realistik atau tidak realistik tentang memori yang tersimpan, melakukan atau tidak melakukan penguatan pertanyaan, dan/atau melakukan atau tidak melakukan kesalahan sugesti informasi tentang target memori yang dipanggil. 4) Analgesia hipnotik merupakan fenomena yang sudah diakui, khususnya di antara subjek dengan hipnotisabilitas tinggi, di mana subjek/individu sangat mudah dihipnosis dan mampu untuk menghasilkan halusinasi positif atau negatif sebagai respons terhadap sugesti hipnosis spesifik. Suatu hipnosis yang menyugesti halusinasi panas tidak hanya menghasilkan pengalaman subjektif yang intens dari rasa panas, namun juga dapat menghasilkan lepuhan luka bakar. Sugesti hipnotik dapat juga mengambat persepsi pengalaman nyata (halusinasi negatif) misalnya gagal melihat cahaya atau warna aktual, gagal melihat tangan pada sebuah jam tangan, atau secara selektif menjadi tuli untuk kata-kata atau suara-suara tertentu. 5) Sugesti hipnosis dapat juga mengakibatkan perubahan sistem pemaknaan, pengalaman afektif, dan perwujudan diri. 6) Sugesti tertentu yang diberikan selama keadaan hipnotik didesain untuk memiliki efek setelah terminasi formal dari sesi hipnotik. Ini disebut efek posthipnotik, termasuk amnesia posthipnotik dan perilaku posthipnotik lainnya.

31

Sugesti posthipnotik juga termasuk yang kunci induksi, pengalaman atau perilaku terjadi sebagai respons terhadap kunci spesifik yang diberikan sebelumnya selama trans, atau bertahap yaitu efek terjadi secara progresif, seperti sugesti posthipnotik tentang mimpi yang semakin lama semakin jelas. Salah satu syarat untuk hipnosis adalah secara sadar tidak menolak, dapat berkomunikasi dengan bahasa yang sama, berkemampuan untuk fokus ditambah dengan kreativitas dan fantasi visualisasi. Syarat - syarat tersebut dinamakan hipnotizability, yang dapat dinilai tingkatannya dengan skala SHSS (Stanford Hypnotic Susceptibility Scale) dan HIP (Hypnotic Induction Profile). Berdasarkan hipnotizability, populasi secara umum dapat digolongkan menjadi 5% sulit untuk dihipnosis, 70 - 85% sedang, 10 – 15% mudah; wanita mempunyai nilai hipnotizability lebih tinggi dari laki-laki, dan anak-anak lebih tinggi dari pada orang dewasa

(Rogovik & Goldman, 2007; IBH, 2007). Sugestibilitas adalah

kecendrungan pasien dihipnosis untuk memperhatikan dan menerima sinyal dan informasi dengan secara relatif meredam penilaian kritis yang normal; masih kontroversial apakah penilaian kritis dapat diredam sepenuhnya. Sifat ini akan bervariasi dari respon paling kompulsif terhadap input pada yang sangat hipnotibel sampai perasaan otomatisasi pada individu yang kurang hipnotible. Motivasi, keuntungan sekunder atau kehilangan, dan derajat seseorang dapat meredam proses kognitif mempengaruhi sugestibilitas (Sadock & Sadock, 2007). Derajat hipnotibilitas seseorang merupakan sifat yang relatif menetap sepanjang siklus kehidupan dan dapat diukur. Proses hipnosis mengambil sifat hipnotibilitas dan mengubahnya ke dalam keadaan hipnotik. Pengalaman keadaan

32

konsentrasi hipnotik memerlukan pemusatan tiga komponen penting: absorpsi, disosiasi, dan sugestibilitas (Sadock & Sadock, 2007). Absorbsi adalah kemampuan untuk mengurangi kewaspadaan perifer yang menghasilkan perhatian fokal yang lebih besar (Sadock & Sadock, 2007; Spiegel et al., 2005). Disosiasi adalah memisahkan keluar dari elemen kesadaran identitas pasien, persepsi, memori, atau respon motorik sejalan dengan pendalaman pengalaman hipnotik. Hasilnya adalah komponen kewaspadaan diri, waktu, persepsi, dan aktivitas fisik dapat terjadi tanpa diketahui kesadaran pasien dan dapat terlihat tidak disadari (Sadock & Sadock, 2007). Sugestibilitas adalah kecenderungan pasien dihipnosis untuk memperhatikan dan menerima sinyal dan informasi dengan secara relatif meredam penilaian kritis yang normal. Sifat ini akan bervariasi dari respon paling kompulsif terhadap input pada individu yang sangat hipnotibel sampai perasaan otomatisasi pada yang kurang hipnotibel (Sadock & Sadock, 2007; Spiegel et al., 2005). d. Teknik Hipnosis Adapun teknik hipnosis dibagi dalam beberapa tahap, di mana tahap yang sangat penting dalam proses ini adalah tahap induksi di mana tujuan apa yang hendak dicapai dalam terapi dilakukan pada tahap ini, diharapkan setelah proses terapi dapat mencapai terapi yang diharapkan oleh pasien maupun terapis. Di bawah ini akan digambarkan tahapan secara sistematis dari pre hipnosis sampai pos hipnosis (IBH, 2007). Urutan tahap proses hipnosis secara sistematis dapat disusun sebagai berikut (IBH, 2007).

33

1) Pre Induksi, merupakan suatu proses untuk mempersiapkan situasi dan kondisi yang kondusif antara hipnotis dan subjek. Agar proses pre induksi berlangsung dengan baik, maka hipnotis harus mengenali aspek-aspek psikologis dari subjek, antara lain : hal yang diminati, hal yang tidak diminati, apa yang diketahui subjek terhadap hipnosis, dan lain-lain. Pre induksi dapat berupa percakapan ringan, saling berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan seorang hipnotis secara mental pada subjek. Pre induksi bersifat kritis, seringkali kegagalan proses hipnosis diawali dari proses pre induksi yang tidak tepat. 2) Induksi,

merupakan sarana utama untuk membawa seorang subjek dari

conscious mind ke subconscious mind (trance). Untuk bisa menuntun masuk ke dalam trance atau terhipnosis perlu diperhatikan beberapa faktor. Yang pertama, subjek harus percaya kepada terapis atau hipnotis, apabila kepercayaan ini tidak ada maka sulit untuk mencapai suatu kondisi trance. Kedua, tempat yang dipilih untuk menghipnosis janganlah suatu lingkungan yang bising atau mengganggu, karena mudah mempengaruhi perhatian subjek. Ketiga, adalah hipnotis sendiri harus mempunyai keyakinan yang tinggi untuk menuntun subjek ke dalam trance dengan teknik yang dikuasai di samping kepercayaan diri yang besar. Teknik induksi yang digunakan banyak macam, namun sebenarnya mempunyai persamaan unsur dasar. Teknik yang digunakan tergantung variasi dari terapis atau hipnotis yang melakukan induksi. 3) Depth Level Test, merupakan tes untuk melihat seberapa jauh kesadaran subjek sudah berpindah dari conscious mind ke sub conscious mind. Tingkat kedalaman setiap orang berbeda-beda dan sangat tergantung dari kondisi subjek,

34

pemahamannya terhadap hipnosis, waktu, lingkungan dan keahlian dari hipnotis atau terapis. Berdasarkan Davis-Husband Scale, tingkat kedalaman hipnosis dapat dibagi menjadi 30 tingkat kedalaman. Sedangkan kebutuhan tingkat kedalaman juga mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda-beda dalam proses hipnosis.

35

Tabel 2.1. Kedalaman pengaruh hipnosis dengan nilai skor dan gejala objektif yang bisa diintepretasikan menurut The Davis Husband Susceptibility Test (IBH, 2007). KEDALAMAN (Depth)

NILAI (Score)

GEJALA OBJEKTIF (Objective symptom)

Tidak Terpengaruh (Insusceptible)

0

Hipnoidal

1 2 3 4 5

Relaxation Kelopak mata bergetar Fluttering and closing of the eyes Menutup mata Relaksasi sempurna secara fisik

6 7 8,9,10 11,12

Kelopak mata tidak bisa dibuka lagi Katalepsi tungkai dan lengan Katalepsi tegang Anestesia sarung tangan

13,14 15 17 18 20

Amnesia sebagian Anestesia posthipnotik Perubahan-perubahan kepribadian Posthipnotik sugesti sederhana Waham kinestetik

Trance Ringan (Light trance)

Trance Menengah (Medium trance)

21

Sanggup membuka mata, tanpa trance terganggu 23 Posthypnotic sugesti yang aneh 25 Somnabulisme sempurna (complete somnabulism) 26 Halusinasi visual yang positif terjadi Trance Dalam posthipnotik (posthypnotic positive (Deep trance) visual hallucination) 27 Posthypnotic positive auditory 28 hallucination, 29 Systematized auditory amnesias 30 Negative auditory hallucination Negative visual hallucination, hiperestesia 4) Post Hypnotic Suggestion, dalam hipnoterapi, post hypnotic suggestion merupakan bagian yang sangat penting karena merupakan inti dari tujuan

36

hipnoterapi. Seorang hipnotis atau terapis harus dibekali pengetahuan tentang kejiwaan dan psikopatologi untuk dapat memberikan sugesti yang benar setelah hipnosis. 5) Terminasi, Adalah suatu tahapan untuk mengakhiri proses hipnosis dengan konsep dasar memberikan sugesti atau perintah agar seorang subjek tidak mengalami kejutan psikologis ketika terbangun dari tidur hipnosis. Proses terminasi biasanya dengan membangun sugesti yang positif yang akan membuat tubuh subjek lebih segar dan rileks, kemudian diikuti beberapa regresi beberapa detik untuk membawa subjek ke keadaan normal kembali. 6) Post Hypnotic, keadaan setelah proses hipnosis selesai seperti pada awal sebelum dilakukan kegiatan hipnosis. Pada fase ini diharapkan apa yang menjadi tujuan awal dari hipnosis untuk terapi pada subjek tercapai setelah proses hipnosis selesai.

37

PROSES HIPNOSIS

Pre Induction

BRAIN WAVE

Beta

Induction Looping Depth Level Test Post Hypnotic suggestion

Alpha Theta

Termination

Post Hypnotic

Alpha

Beta

Gambar 2.3. Hubungan antara proses hipnosis dengan gelombang otak normal yang direkam dalam EEG (Priguna, 1980).

a. Indikasi dan Kontra Indikasi Gangguan-gangguan yang dapat ditangani dengan hipnosis secara garis besar dibagi dalam tiga kategori, yang pertama gangguan psikosomatik, yaitu gangguan yang dialami berupa faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisik, jadi gejala yang nampak adalah gejala fisik. Gangguan ini meliputi sistem kardiovaskuler, pernapasan, endokrin, gastrointestinal dan genitourinaria. Hipnosis efektif pada

38

beberapa gangguan SSP, seperti insomnia, nyeri kepala, gagap, tik, dan lain-lain. Kedua adalah gangguan psikiatrik, yaitu gangguan yang dialami berupa faktor psikologis yang gejalanya nampak pada area psikologis. Hipnosis digunakan untuk mengatasi beragam neurosis konversi, kecemasan, fobia, obsesi-kompulsif, depresi reaktif atau depresi neurotik, dan neurotik pasca trauma. Adapun yang ketiga adalah kasus-kasus pada bidang lain, seperti anestesi, nyeri persalinan, ekstraksi gigi, mengatasi obstipasi atau retensi urin pasca bedah (Flammer & Bongartz, 2003). Hypno-analgesia dapat menurunkan nyeri akut dan kronis pada sebagian besar individu, dan untuk menghemat uang mereka dalam prosedur pembedahan. Analgesia hipnosis telah berhasil digunakan di sejumlah intervensi di banyak klinik, rumah sakit, dan pusat perawatan luka bakar, dan klinik gigi. Untuk nyeri akut, telah terbukti efektif dalam radiologi intervensional, berbagai prosedur bedah (misalnya apendiktomi, eksisi tumor), perawatan luka bakar, nyeri persalinan, nyeri aspirasi sumsum tulang, dan nyeri yang terkait dengan perawatan gigi, terutama jadi dengan anak-anak. Hipnosis dapat meringankan komponen sensorik dan/atau afektif dari pengalaman rasa sakit, yang mungkin semua yang diperlukan untuk nyeri akut. Dokter menggunakan hypno-analgesia harus up to date dalam perawatan lain untuk nyeri selain hipnosis, berkonsultasi dengan spesialis lain yang sesuai, dan mengintegrasikan strategi yang berbeda untuk memberikan bantuan yang paling efektif dan abadi untuk nyeri (Patterson, 2010). Kontraindikasi paling penting sehubungan dengan penggunaan hipnosis oleh nonpsikiatris adalah pasien yang bertindak aneh atau tidak stabil dan psikotik (Kroger, 2008). Adanya sindrom otak organik, depresi dengan bunuh diri dan

39

skizofrenia paranoid juga merupakan kontraindikasi penggunaan hypnosis (Burrows et al., 2001).

2. Self-hypnosis a. Definisi Self-hypnosis berarti menghipnosis diri sendiri. Self-hypnosis merupakan suatu teknik yang sederhana yang dapat membantu kita untuk mengenali pikiran bawah sadar, sekaligus melakukan pemberdayaan diri melalui pemrograman ulang terhadap pikiran bawah sadar tersebut. Pemahaman mengenai self-hypnosis diharapkan juga dapat menjadi jembatan bagi pemahaman terhadap dunia hipnosis & hipnoterapi secara utuh, karena sesungguhnya semua peristiwa hipnosis pada dasarnya adalah peristiwa self-hypnosis (Nurindra, 2008). Self-hypnosis digunakan secara luas dalam hipnoterapi modern. Dia dapat digunakan untuk menolong manajemen nyeri (Patterson, 2010), kecemasan (O'Neil et al., 1999; Holand, 2001), depresi (Lynn & Kirsch, 2006), gangguan tidur (Graci & Hardie, 2007), obesitas, asma, dan kondisi kulit (Mendoza & Capafons, 2009). Jika praktik ini dikuasai self-hypnosis dapat meningkatkan konsentrasi, ingatan, meningkatkan problem solving, meredakan nyeri kepala dan bahkan meningkatkan kontrol emosi seseorang (Moss, 1985). b. Prinsip Dasar Prinsip dasar self-hypnosis adalah berbicara dan memberikan instruksi kepada diri sendiri, dan yang dimaksud diri sendiri adalah pikiran bawah sadar. Selanjutnya diharapkan jika pikiran bawah sadar sudah memahami apa yang diinstruksikan, maka pikiran bawah sadar akan mempengaruhi tindakan di kehidupan sehari-hari.

40

Hal ini dapat terjadi karena sangat dominannya pikiran bawah sadar manusia, yaitu 80%. Pikiran bawah sadar ini memiliki gerbang yang juga memiliki bahasa tersendiri. Oleh karenanya jika seseorang memiliki kemampuan untuk membuka gerbang ini, dan juga maka dia juga mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dipahami oleh pikiran bawah sadar. Jadi prinsip dasar self-hypnosis adalah membuka gerbang pikiran bawah sadar dan berbicara dengan pikiran bawah sadar sesuai dengan bahasa yang dipahami pikiran bawah sadar (Goldberg, 2006; Nurindra, 2008). Kata-kata merupakan simbol yang membawa kesan dan pikiran pasti ke pikiran melalui asosiasi sebelumnya. Sekali sebuah kata diasosiasikan dengan sebuah kesan spesifik (objek atau tindakan),

kemudian kata itu sendiri menjadi

sebuah sinyal untuk pikiran yang bertanggung jawab dari kesan tadi dan dapat beraksi untuk memperoleh tanggapan yang sama

yang ditimbulkan kesan itu

sendiri. Kata-kata ini - dalam bentuk sugesti – menolong pikiran bawah sadar menciptakan kenyataan di mana kita hidup. Melalui penggunaan sugesti-sugesti ini, kita dapat menciptakan situasi nyata yang sesuai atau cocok dengan tujuan yang ingin kita dapatkan. Penggunaan sugesti diri berulang ini kemudian akan membentuk pola perilaku baru (Goldberg, 2006). c. Tahapan Tahapan umum pada self-hypnosis membutuhkan empat tahapan yang nyata, yaitu (Moss, 1985) : 1) Motivasi. Tanpa motivasi yang baik seseorang akan menjumpai kesulitan mempraktikkan self-hypnosis.

41

2) Relaksasi. Seseorang harus rileks secara menyeluruh dan harus mengatur waktu lepas untuk melakukan tindakan ini. Apalagi gangguan harus disingkirkan supaya dapat memusatkan perhatian penuh. 3) Konsentrasi. Konsentrasi penuh sangat diperlukan sehingga perhatian bisa terpusatkan untuk berkomunikasi dengan alam bawah sadar, tanpa terganggu kondisi lingkungan. 4) Perintah. Hal ini merupakan sebuah pilihan ketika seseorang ingin bekerja pada sebuah tujuan spesifik. Orang itu harus memerintah konsentrasi mereka pada visualisasi hasil yang diinginkan. Adapan tahapan proses self-hypnosis sendiri adalah sama dengan proses pada hipnosis yang dilakukan oleh terapis (heterohipnosis), yaitu pre induksi, induksi, looping(deepening), sugesti post hipnotik, terminasi dan post hipnotik. Yang membedakan hanyalah pada metode self-hypnosis ini keadaan trance dicapai tanpa pertolongan dari orang lain, peran terapis hanya untuk menuntun dan membantu, bukan mengendalikan. Dalam self-hypnosis, terapis membantu klien untuk memahami bahwa mereka bertanggung jawab dalam mengembangkan kapasitas mental mereka, dengan bantuan terapis, tetapi yang dikembangkan di sini adalah keterampilan komunikasi batin mereka. Terapis hendaknya membuat konsep ini menarik dan meyakinkan

(IBH, 2007). Menggunakan self-hypnosis akan

memberikan sense of control dan penguasaan yang lebih besar atas pengalaman mereka (Blair, 2004). Pada

self-hypnosis,

terapis

memberikan

instruksi

sederhana tentang

bagaimana mempelajari self-hypnosis dan sebuah skrip self-hypnosis yang dapat

42

direkam untuk klien sendiri. Setiap orang dapat melakukannya – didasarkan pada kemampuan alamiah tubuh klien sendiri dan dapat dengan aman digunakan untuk sehari-hari. Seksi ini menjelaskan bagaimana mengajari klien sendiri untuk memasuki self-hypnosis. Atau klien dapat langsung menuju ke skrip self-hypnosis (Nurindra, 2008). Trans yang diciptakan dengan self-hypnosis biasanya tidak sedalam, dan nampaknya lebih waspada diri, dari pada trans yang dimasuki saat diarahkan oleh seorang hipnotis. Tetapi perasaan mimpi lembut tersebut sangat menyenangkan dan bahkan dalam trans ringan dapat membuat perubahan besar (Blair, 2004). Cara termudah untuk memperdalam trans anda adalah dengan memulai proses visualisasi atau merasakan pengalaman yang melibatkan ide memperdalam sesuatu secara progresif, selalu dengan suatu jalan keluar pada akhir proses. Klien dapat menjadi sekreatif yang dia inginkan (Burrows et al., 2001). 3. Self-hypnosis dan Hipnoterapi untuk Menurunkan Intensitas Nyeri Dari sebuah review terhadap penelitian prospektif terkontrol hipnosis untuk penatalaksanaan nyeri kronik di AS didapatkan bahwa intervensi hipnosis secara konsisten menghasilkan penurunan nyeri yang signifikan pada bermacam-macam permasalahan nyeri kronis (Elkins et al., 2007). Review yang lain menemukan bahwa pada nyeri akut maupun nyeri kronis, didapatkan bahwa hipnosis analgesia secara konsisten menghasilkan penurunan intensitas nyeri yang lebih besar pada outcome berbagai macam nyeri jika dibandingkan dengan jika tanpa terapi atau dengan terapi standar (Stoelb et al., 2009). Pasien yang mendapatkan self-hypnosis, maka impuls yang didapat dari posthypnotic sugestion akan masuk ke corteks serebri dan selanjutnya akan diteruskan ke

43

amigdala. Sinyal kognitif berjalan ke otak melewati jalur sensorik, auditorik dan visual. Sinyal ini sifatnya tidak darurat, sesudah mencapai thalamus kemudian ke korteks sensoris tanpa mengalami pembajakan, terus berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol kognitif. Sesudah proses di korteks selesai, kemudian selanjutnya sinyal tersebut diproyeksikan ke hipokampus untuk disimpan sebagai memori, selain itu sinyal tersebut juga diproyeksikan ke amigdala serta organ lain yang terkait untuk diekspresikan ke luar. Sinyal kognitif tersebut memiliki kemampuan untuk menghentikan arus pembajakan sinyal darurat dari korteks menuju amigdala dan dari amigdala menuju hipotalamus. Dengan demikian sinyal yang berasal dari selfhypnosis sesudah mencapai korteks untuk proses kognisi, saat diprojeksikan ke hipokampus dan ke amigdala sudah merupakan sinyal yang tertata baik, sedangkan sinyal darurat yang menimbulkan nyeri sudah terhambat dan hilang (Eimer, 2000; Dillworth et al., 2012). Teknik self-hypnosis yang banyak digunakan untuk mengatasi nyeri adalah (Ketterhagen et al., 2002) : a. Glove anesthesia : menganggap atau membayangkan tangan mati rasa atau kebas dan menempatkannya di atas regio yang nyeri untuk menghilangkan sensasi nyeri di situ, b. Distorsi waktu : merasa periode waktu yang disertai nyeri lebih pendek dan periode bebas nyeri sebagai kekal. c. Transformasi imajinatif : melihat rasa nyeri sebagai bukan ancaman, sensasi yang dapat diterima (barangkali hanya tekanan saja) yang tidak menyebabkan kesulitan. 4.

Studi Kualitatif

44

a. Definisi Metode penelitian kualitatif merupakan salah satu jenis metode penelitian yang melakukan pendekatan dengan memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna. Holistik karena setiap aspek dari objek itu mempunyai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Golafshani,

2003; Sugiyono, 2005). Studi kualitatif terdiri atas investigasi untuk mencari jawaban atas pertanyaan, secara sistematis menggunakan seperangkat prosedur untuk menjawab pertanyaan, mengumpulkan bukti-bukti, menghasilkan temuan yang tidak ditentukan di awal, menghasilkan temuan yang dapat diaplikasikan lebih dari batas studi. Studi kualitatif efektif untuk mendapatkan informasi yang spesifik tentang nilai, opini, perilaku dan konteks sosial pada populasi terten tu (Denzin & Lincoln, 2000). Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan pada kondisi objek yang alamiah (natural setting) dan peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif yang berusaha menjelaskan hubungan sebab akibat, prediksi, serta generalisasi hasil. Penelitian kualitatif berusaha mendapatkan pencerahan, pemahaman terhadap suatu fenomena dan ekstrapolasi pada situasi yang sama (Golafshani, 2003; Sugiyono, 2005).

Studi kualitatif memiliki karakteristik studi sebagai berikut, yaitu: interpretatif, eksperensial, situasional, personal, triangulasi, terdapat pilihan strategis untuk berkembang. Interpretatif, artinya bahwa kunci untuk memahami manusia adalah dengan cara memandang hal tersebut dari banyak sudut pandang dan intuisi. Pengamatan dilakukan dengan penuh perhatian sehingga mudah menangkap perkembangan yang tak terduga. Eksperensial berarti studi bersifat empiris dan berorientasi pada kenyataan. Studi menekankan pada observasi pada

45

klien dan perasaan klien. Studi bersifat naturalistik tanpa ada intervensi atau urutan tertentu untuk mendapatkan data. Laporan studi merupakan hasil pengamatan langsung terhadap klien. Hasil studi selaras dengan realitas yang terjadi pada klien. Studi bersifat situasional berarti studi berorientasi terhadap klien, objek, dan aktivitasnya yang nyata dengan masing-masing keunikannya. Studi ini menganggap setiap tempat dan waktu mempunyai keunikannya sendiri yang berbeda dengan generalisasi. Studi bersifat holistik dan mendasar, bukan analisis reduktif. Desain studi jarang menekankan pada perbandingan langsung antar variabel. Hasil pengamatan studi dilaporkan secara detil (Stake, 2010). Studi bersifat personal, artinya studi bersifat empatik dan dilakukan untuk memahami persepsi perseorangan. Alih-alih mencari persamaan, studi tersebut mencari keunikan klien serta menghormati adanya perbedaan. Proses studi melibatkan pandangan, kerangka pikir dan nilai yang dianut masing-masing klien. Hasil studi bersifat emic (muncul dari klien) lebih dari etic (muncul dari peneliti). Peneliti sendiri merupakan intrumen studi yang utama. Kelima, adanya triangulasi. Studi kualitatif yang baik adalah adanya triangulasi terhadap bukti kunci, pernyataan, dan interpretasi. Keenam, terdapat informasi yang jelas. Studi kualitatif menekankan pada studi literatur yang sesuai. Peneliti dianggap sebagai salah satu sumber informasi dan dianggap kompeten secara metodologi dan studi yang relevan. Ketujuh, Studi kualitatif mempunyai tujuan strategis. Tujuan tersebut akan dipaparkan berikut ini (Stake, 2010). b. Tujuan Studi

46

Tujuan studi kualitatif adalah sebagai berikut, yaitu: (1) Memproduksi pengetahuan atau membantu perkembangan ilmu; (2) Merepresentasikan kasus tipikal atau memaksimalkan pemahaman tentang kasus spesial; (3) Menganjurkan suatu sudut pandang atau membantu pembentukan sudut pandanga baru; (4) Menekankan pendangan yang paling logis atau memandang dari beberapa lapis realitas yang ada; (5) Dilakukan untuk mendukung generalisasi atau dilakukan untuk memunculkan kekhususan; (6) Studi berhenti setelah tujuan studi tercapai atau membuat studi baru yang memungkinkan perubahan (Stake, 2010). c. Langkah-Langkah Studi 1) Pengembangan Desain Studi Desain studi kualitatif dikembangkan untuk merepresentasikan langkah yang akan dilakukan oleh peneliti. Aktivitas studi terdiri atas empat aktivitas untuk mendapatkan data. Aktivitas tersebut adalah: (1) Pengamatan aktivitas; (2) Wawancara; (3) Analisis dokumen; dan (4) Studi Kasus. Dalam studi kualitatif ditentukan dulu pertanyaan studi yang akan digunakan. Konteks studi juga ditentukan di awal studi. Pertanyaan studi dan konteks studi diterapkan dalam aktivitas studi untuk membahas fenomena-fenomena dan topik yang lebih besar dengan menggunakan informasi yang didapatkan (Stake, 2010). 2) Metode Pengumpulan Data Data yang dicari pada studi kualitatif adalah data merepresentasikan pengalaman personal pada situasi khusus. Data yang digunakan dalam studi kualitatif antara lainpengukuran numerikal, foto atau media, observasi tidak langsung, teks dan dokumen, dan artefak serta sumber lain yang dapat

47

diperoleh (Hodder, 1994). Metode pengumpulan data disesuaikan dengan pertanyaan studi. Data dalam studi kualitatif kadang tidak bisa dimasukkan dalam analisis statistik (Stake, 2010). Metode pencarian data yang sering digunakan adalah observasi baik langsung maupun tak langsung. Observasi dilakukan agar peneliti mampu untuk memahami klien tanpa harus ada praduga sebelumnya. Dalam observasi, peneliti akan lebih bisa terbuka tentang temuan yang ada dan melakukan intepretasi studi secara induktif. Beberapa bentuk observasi yang dilakukan yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur (Sugiyono, 2005; Stake, 2010). Peneliti dalam studi kualitatif dapat menggunakan beragam media untuk observasi. Penggunaan rekaman suara dan video serta media lain dapat digunakan. Hal ini dapat berguna saat peneliti belum memahami muatan observasi awal dan harus melakukan pengulangan beberapa kali (Stake, 2010). Metode lainnya yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara. Untuk peneliti kualitatif, tujuan dilakukan wawancara adalah: (1) Memperoleh informasi atau interpretasi dari klien yang diwawancarai; (2) Mengumpulkan kumpulan informasi dari beberapa klien; (3) Menemukan sesuatu hal yang tidak dapat ditemukan dalam pengamatan saja (Stake, 2010). Wawancara dapat secara terstruktur, tidak terstruktur dan semi terstruktur atau fokus tertentu (Sugiyono, 2005; Herdiansyah, 2010). Dalam metode wawancara dan survei, peneliti juga dapat menanyakan kepada klien tentang

48

respon dan pandangan tentang pernyataan tertentu, artifak, cerita dan sebagainya (Stake, 2010) Metode pengambilan data juga bisa dilakukan dengan survei dengan menggunakan kuesioner. Survei biasanya dilakukan pada studi sosial. Data yang didapat pada survei bisa dihitung secara kuantitatif. Pada studi kualitatif, pendekatan secara kuantitatif dilakukan untuk memperkuat hasil analisis kualitatif (Stake, 2012). Dokumentasi juga dilakukan pada dokumen yang berhubungan dengan klien. Dokumen dapat berbentuk catatan harian, surat pribadi, autobiografi, dokumen pemerintah/swasta, rekam medik, dan lain-lain (Herdiansyah, 2010). Diskusi kelompok dengan memakai fokus tertentu atau Focus Group Discussion (FGD) juga dipakai dalam mengumpulkan data kualitatif. Tujuan dilakukan FGD adalah untuk menemukan pemahaman bersama atas tema yang diajukan (Herdiansyah, 2010; Bungin, 2012). 3) Teknik Pengambilan Subjek Teknik sampling dapat diartikan sebagai proses pemilihan atau penentuan sampel atau subjek. Hal yang paling penting dalam studi kualitatif adalah bagaimana cara untuk menemukan informan kunci atau situasi sosial tertentu terkait dengan fokus studi (Kanto, 2012). Teknik sampling yang digunakan dalam studi kualitatif biasanya adalah non-probabilistic sampling dengan macamnya adalah sebagai berikut: (1) Convenience sampling, subjek yang mudah dan segera bisa diakses lebih mungkin untuk diikutkan dalam studi. Hasil studi biasanya tidak bisa digeneralisasikan; (2) Purposive sampling, subjek dipilih berdasarkan tujuan studi dengan perkiraan bahwa

49

masing-masing subjek mempunyai nilai unik dan banyak informasi yang sesuai. Populasi terjangkau tidak dapat ditukar dan ukuran sampel ditentukan oleh saturasi data, bukan oleh perhitungan statistik; (3) Theoretical sampling, dilakukan untuk mengembangkan atau menjelaskan teori yang digunakan sebagai panduan dalam pencarian subjek. Subjek diambil dulu pada studi pendahuluan lalu dianalisis untuk kemudian dipilih yang paling sesuai dengan tujuan studi (Suen, 2014). 4) Telaah Literatur Telaah literatur digunakan untuk mendapatkan literatur dasar yang sesuai dengan tema studi. Telaah literatur bersifat studi kritis termasuk di dalamnya untuk memperluas pertanyaan dalam studi. Studi kualitatif menggunakan literatur untuk membantu interpretasi mengenai pernyataan klien dan temuan dalam proses studi. Telaah literatur bisa berasal dari berbagai macam sumber seperti buku teks, jurnal ilmiah, disertasi, tesis, laporan pemerintah atau institusi, kuliah, presentasi konferensi, dan juga beragam sumber lain yang terpercaya untuk membuka wawasan mengenai tema studi kualitatif (Stake, 2012). 5) Uji Keabsahan Data Pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi credibility, transferability, dependability dan confirmability. Credibility (validitas internal) dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi, analisis kasus negatif, dan membercheck. Transferability (validitas eksternal) dilakukan dengan membuat laporan

50

penelitian dalam uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya sehingga pembaca

dapat

mengerti

dan

memahami

hasil

penelitian.

Dependability (reliabilitas) dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Confirmability (objektivitas) adalah menguji hasil penelitian, prosesnya mirip dengan uji dependability sehingga dapat dilakukan secara bersamaan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability (Sugiyono, 2005). Langkah penting dari studi kualitatif selanjutnya adalah validasi untuk menilai tingkat kepercayaan temuan. Validasi dilakukan dengan beberapa cara. Metode yang sering dipakai adalah triaangulasi. Triangulasi dilakukan dengan pencarian bukti dari berbagai sumber dan membandingkan hasil tersebut dari sumber yang berbeda. Triangulasi dapat diartikan sebagai teknik untuk menguji kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber (Sugiyono, 2005). Triangulasi menggunakan dua atau lebih sumber tentang suatu fenomena sehingga bisa menggambarkan fenomena tersebut secara menyeluruh. Triangulasi dalam studi kualitatif terdiri atas triangulasi teori, triangulasi metode, triangulasi data dan triangulasi pengamat. Triangulasi teori menggunakan lebih dari satu teori disamping teori utama atau beberapa sudut pandang untuk melakukan intepretasi data. Triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan beberapa metode untuk menguji metode yang digunakan

dalam

studi.

Triangulasi

data

dilakukan

dengan

dengan

menggunakan lebih dari satu cara pengumpulan data pada kasus tunggal.

51

Triangulasi pengamat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu pengamat pada kasus tunggal (Herdiansyah, 2010). 6) Analisis dan Sintesis Analisis data dilakukan untuk mengorganisir data-data yang diperoleh di dalam wawancara, observasi, dokumentasi, dan yang lain sehingga dihasilkan sesuatu yang bermakna. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif, yaitu data dianalisis sesuai dengan tujuan studi yang sudah ditentukan (Kurniadi, 2011). Analisis data kualitatif bisa menggunakan pendekatan yang bersifat tematik, deskriptif, atau metode yang lebih mendalam. Sebagian besar analisis data dilakukan dengan analisis tematik. Analisis tematik dilakukan dengan mengidentifikasi tema utama dari data yang diperoleh. Kunci dari analisis tematik adalah : (1) Membaca dan memberi catatan penting pada transkrip wawancara, observasi, dan dokumentasi serta temuan lain di lapangan; (2) Mengidentifikasi tema yang ada; (3) Pengembangan atau skema untuk mengode data yang ditemukan; (4) Pengodean data. Pembuatan kode disesuaikan dengan langkah analisis yang akan dilakukan. Pengodean data dilakukan untuk memudahkan analisis sesuai dengan tema yang ada. Pengkodean dilakukan pada awal wawancara dan observasi, untuk kemudian dapat dikembangkan selama proses studi. Pengkodean juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti sebagai umpan balik dalam proses observasi dan wawancara Analisis data penelitian kualitatif dapat menggunakan tiga model analisis, yaitu : metode perbandingan tetap (constant comperative

52

method) oleh Glasser dan Strauss; metode analisis data menurut Spradley; dan metode analisis menurut Miles dan 2007).

Huberman (Sugiyono, 2005; Bungin,

53

B. Kerangka Teori SELF-HYPNOSIS

KORTEKS TRANSISIONAL

SENSORIK

NYERI & KECEMASAN PASCA SC

CRF

PROINFLAMASI

: NYERI & KECEMASAN PASCA SC :SELFHYPNOSIS

≠ Ø

PERBAIKAN NYERI & KECEMASAN

Skema 2.1. Kerangka teori

≠ Ø SITOKIN ANTIINFLAMASI