BAB II LATAR BELAKANG PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI

Download perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut K.U.H.Perdata dan menurut UUP ..... Emilda Kuspaningrum, Kedudukan Dan Perlindungan Anak Lu...

0 downloads 473 Views 592KB Size
BAB II LATAR BELAKANG PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dan Pencatatan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa perkawinan adalah “perjodohan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan/pertalian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu pernikahan yang menyebabkan halalnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tersebut. Sedangkan nikah adalah kawin atau syarat sahnya hubungan suami isteri menurut Islam”. 56 Di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019. 57 Perkawinan menurut UUP 1974 Pasal 1 ialah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut perundangan, perkawinan itu adalah “ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita”, berarti perkawinan sama dengan “perikatan” (verbintenis). Selanjutnya dalam hal ini di lihat kembali pada Pasal 26 Kitab Undang-undang 56

WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal.

876 57

Sudarsono, Op.Cit. hal. 6

Universitas Sumatera Utara

Hukum Perdata (K.U.H.Perdata) yang mengatakan “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal 81 K.U.H.Perdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Dengan demikian jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut K.U.H.Perdata dan menurut UUP 1974. Perkawinan menurut K.U.H.Perdata hanya sebagai “Perikatan Perdata”, sedangkan perkawinan menurut UUP 1974 tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Keagamaan”. 58 Jika dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan dalam Pasal 1 UUP 1974, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali dalam K.U.H.Perdata (BW). Jika ditinjau secara umum menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah atau anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak

58

Hilman Hadikusuma,Op. Cit,. hal.7-8

Universitas Sumatera Utara

membenarkan perkawinan berlangsung tidak seagama. 59 Dalam hal ini dilihat dari agama Islam, yang jika dilihat dari segi fungsinya, hukum perkawinan Islam merupakan bagian dari hukum muamalah, karena ia mengatur hubungan antara sesama manusia. Hukum perkawinan dalam kepustakaan Islam, disebut fiqh munakahat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum fiqh yang mengatur soal nikah, talak, rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya. Sedang perkataan perkawinan sendiri menurut hukum fiqh, disebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua arti, yaitu: 60 a. Arti menurut bahasa adalah “berkumpul” atau “bersetubuh” (wata); b. Arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian (suci) dengan lafal tertentu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Sehingga menurut Hukum Islam perkawinan diartikan sebagai akad atau (perjanjian suci) dengan lapas tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Bila ditelusuri dan diteliti norma-norma hukum mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. 61 Menurut hukum adat perkawinan dipandang bukan saja perihal mengenai hubungan ikatan antara suami isteri saja, merupakan juga kepentingan seluruh

59

Ibid, hal. 10 Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013),hal.68 61 Hasim Purba, Op. Cit., hal. 9 60

Universitas Sumatera Utara

keluarga/ kerabat dan bahkan masyarakat adat ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu.Bahkan dalam pandangan hukum adat perkawinan adalah perbuatanperbuatan yang tidak hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan. 62 Perkawinan dalam arti “perikatan adat” ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 63 Mengenai tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya. Namun karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka penekanan dari tujuan perkawinanpun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya. 64 Berarti bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan saja merupakan “perikatan keperdataan” tetapi juga merupakan “perikatan keagamaan”, dan sekaligus menampung pula asas-asas perkawinan menurut hukum adat yang menghendaki bahwa perkawinan sebagai “perikatan kekeluargaan” dan “perikatan kekerabatan”. 65 2. Pengertian Lembaga Catatan Sipil Lembaga pencatatan telah ada pada masa sebelum kemerdekaan sejak 1848 (asas konkordansi), akan tetapi baru diundangkan pada tahun 1849. Lembaga ini 62

Hasim Purba, Op.Cit, hal.5 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal 8-9 64 Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit, hal. 64 65 Ibid, hal 12 63

Universitas Sumatera Utara

diperuntukkan pertama-tama bagi golongan Eropa di Indonesia, melalui Stb.1849 No.25. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa diterbitkan Reglement Catatan Sipil yang dimuat dalam Stb.1917 No.130 jo.Stb.1919 No.81 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa, yang berlaku di Jawa dan Madura serta beberapa daerah lain pada tanggal 1 Mei 1919. Sementara bagi golongan Bumi Putra diterbitkan Reglement yang dimuat dalam Stb.1920 No. 751 jo. Stb. 1927 No.564 yang mulai berlaku 1 Januari 1928. Sedangkan dengan Ordonantie 1923 No.75 jo.Stb. 1936 No.607, diberlakukan Reglement Catatan Sipil bagi Golongan Bumi Putra Kristen di Jawa dan Madura, bekas residen Menado (yang lebih dikenal dengan nama Minahasa) serta di daerah-daerah Amboina, Saparua, dan Banda.

66

Lembaga catatan sipil tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mencatat selengkapnya dan sejelas-jelasnya sehingga memberikan kepastian yang sebenar-benarnya mengenai semua kejadian, antara lain : 67 a. b. c. d. e.

Kelahiran; Pengakuan (terhadap kelahiran); Perkawinan dan perceraian; Kematian; dan Izin kawin. Selanjutnya Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan

pendaftaran, pencatatan serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan sejelasjelasnya serta memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa

66

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 63 67 Ibid, hal. 64

Universitas Sumatera Utara

kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian. 68 Sedangkan dalam Art. 16 NBW Baru Negeri Belanda dan K.U.H.Perdata disebutkan bahwa catatan sipil merupakan institusi untuk meregistrasi kedudukan hukum mengenai pribadi seseorang terhadap kelahiran, perkawinan, perceraian, orang tua, dan kematian diri mereka. 69 Kemudian dari kedua defenisi tersebut terdapat 5 (lima) jenis registrasi catatan sipil, yaitu : 70 a. b. c. d. e.

Kelahiran Perkawinan Perceraian Orang tua Kematian Berdasarkan Pasal 4 K.U.H.Perdata terdapat 6 (enam) jenis registrasi catatan

sipil, yaitu : 71 a. b. c. d. e. f.

Kelahiran Pemberitahuan kawin Izin kawin Perkawinan Perceraian Kematian. Pasal 2 ayat (2) UUP 1974 menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan

dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP 1974 dapat dilihat bahwa setelah perkawinan dilangsungkan menurut agamanya

68

Lie Oen Hock dalam Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika,Cet. I, 2001), hal. 42 69 Ibid 70 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya : Airlangga University Press. Cet.III, 2000), hal. 6 71 Ibid

Universitas Sumatera Utara

masing-masing tanpa melanggar hukum adat, perkawinan tersebut perlu dicatatkan pada pejabat perkawinan, yaitu: 72 a. Untuk orang Islam di Kantor Urusan Agama. b. Untuk orang-orang yang beragama

selain

Islam di Kantor Catatan Sipil.

Hal tersebut lebih lanjut di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUP 1974, di dalam Pasal 2 ayat

(1)

menyatakan: "Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Nikah, Talak dan Rujuk". Sementara itu dalam ayat (2) dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut dinyatakan: 73 "Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan". Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 1 angka 14 dikatakan bahwa “Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana”. Peristiwa penting (belangrijke feit) yang dimaksudkan dalam unsur pengertian tersebut adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,

72

Sudarsono, Op.Cit. hal. 1

73

Pasal 2 ayat (1) dan (2), Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No.9 Tahun 1975, LN No.12, TLN No. 3050.

Universitas Sumatera Utara

pengesahan

anak,pengangkatan

anak,

perubahan

nama

dan

perubahan

status

kewarganegaraan.74 Pencatatan sipil dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil yaitu pejabat yang melakukan pencatatan peristiwa penting yang dialami seseorang pada instansi pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan penduduk dan pencatatan sipil bertujuan untuk memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk, perlindungan status hak sipil penduduk, dan mendapatkan data yang mutakhir, benar dan lengkap. hukum perdata memberikan keharusan kepada setiap orang untuk mencatatkan secara yuridis momentum kelahirannya pada instansi dimana orang tersebut dilahirkan, begitu juga dengan setiap perkawinan yang dilakukan harus dicatatkan. 75 Permasalahan yang sering terjadi dewasa ini adalah banyaknya ikatan perkawinan antar pria dan wanita yang dilaksanakan cenderung cukup hanya memenuhi persyaratan hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua belah pihak calon pasangan suami isteri dan mengabaikan kewajiban lain sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUP 1974. Walaupun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak dinyatakan secara tegas perkawinan yang telah dilangsungkan wajib untuk dicatatkan, akan tetapi banyak masalah yang kemudian timbul dan berpangkal karena pasangan suami isteri tersebut lalai atau sengaja untuk tidak mencatatkan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Pencatatan Sipil lainnya. Padahal dipandang mempunyai arti yang sangat penting terhadap suatu peristiwa perkawinan seseorang yang dapat dijadikan bukti otentik, serta memberikan

74

Ibid Ibid

75

Universitas Sumatera Utara

kepastian hukum. Menurut catatan Departemen Agama Republik Indonesia, setidaknya ada 58% (Lima puluh delapan persen) pernikahan di Indonesia tidak dicatatkan. 76 Alat bukti yang otentik itu pada umumnya dituangkan dalam akta, yakni akta perkawinan. Berpangkal dari tidak dicatatkannya suatu peristiwa perkawinan, timbul permasalahan yang mengarah kepada kedudukan isteri di pihak yang lemah. 77Apabila terjadi perceraian diantara pasangan suami isteri untuk menindaklanjuti perceraiannya pada sidang pengadilan diperlukan adanya Akta Nikah tanpa adanya Akta Nikah tersebut maka akan menyulitkan bagi pihak yang bersangkutan dalam proses perceraian.78

3. Tujuan dan Fungsi Kantor Catatan Sipil Selanjutnya dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh catatan sipil mempunyai kekuatan

hukum yang pasti, yang

tidak dapat dibantah oleh pihak lain.Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui.Kantor Catatan Sipil ini dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. Selain itu juga akta-akta yang di buat dan dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil merupakan bukti yang paling kuat dan sempurna, karena akta ini bersifat otentik yang dibuat oleh pejabat pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada. Sehingga untuk memperoleh gambaran yang jelas di bidang pengaturan tugas pokok dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, maka dapat di lihat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden

76

LBH APIK,Tentang Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Wanitahttp://groups.hukumonline.com,/Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Wanita diakses pada tanggal 31 Mei 2013 Pukul 13.00 Wib 77

Mayang Sekarwangi, Permasalahan Hukum Dalam Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dilembaga Pencatatan Perkawinan, (Jakarta, Universitas Indonesia, 2005), Tesis, hal 19-20 78 Ibid, hal. 61

Universitas Sumatera Utara

Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil.79 Kantor Catatan Sipil mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan:

80

a. b. c. d. e. f.

Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian. Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta pengakuan dan pengesahan anak, dan akta kematian g. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan atau kewarganegaraan. Tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi,

yaitu:

81

a.

Fungsi yang bersifat operasional atau teknis fungsional, yang berkaitan dengan pelayanan dan proses penyelesaian suatu akta catatan sipil. Fungsi yang bersifat administratif fungsional, yaitu yang berkaitan dengan

b.

ketatausahaan perkantoran pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa tujuan catatan sipil dapat di lihat dari empat sudut, yaitu: 82 a. b. c. d.

Untuk mewujudkan kepastian hukum. Untuk membentuk ketertiban umum. Sebagai alat pembuktian. Untuk memperlancar aktivitas pemerintah dibidang kependudukan atau administrasi kependudukan.

4. Jenis – Jenis Akta Catatan Sipil

79

Pasal 1, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. 80 Ibid 81 Ibid ss Victor M. Situmorangdan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal.13

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Keputusan Menteri DalamNegeri Nomor 54

Tahun 1983 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota Madya, disebutkan lima jenis akta catatan sipil, yaitu : 83 a.

Akta Kelahiran

Akta kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta kelahiran bermanfaat antara lain untuk memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan juga persyaratan bagi seseorang yang masuk sebagai pegawai pemerintahaan, lembaga negara, pegawai BUMN dan sebagainya. Akta kelahiran ini terdiri dari : 84 1) Akta Kelahiran Umum Akta kelahiran umum adalah akta yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan dalam waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan, yakni 60 hari kerja sejak peristiwa untuk semua golongan, kecuali golongan Eropa selama 10 hari kerja. Esensi dari akta kelahiran umum adalah disampaikan dalam 60 hari kerja sejak kelahiran. 2) Akta Kelahiran Istimewa Akta kelahiran istimewa adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan setelah melewati batas waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan. Batas waktu lewat yakni melebihi 60 hari. 3) Akta Kelahiran Luar Biasa Akta kelahiran luar biasa adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil pada zaman Revolusi antara 1 Mei 1940 sampai dengan 31 Desember 1949 dan kelahiran tersebut tidak di wilayah hukum kantor catatan sipil setempat. 4) Akta Kelahiran Tambahan Akta kelahiran tambahan adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang terhadap orang yang lahir pada tanggal 1 Januari 1967 sampai 1 Maret 1983, yang tunduk pada Stb. 1920 No.571 jo. Stb. 1927 No.564 dan Stb. 1933 No. 75 jo.Stb 1936 No. 607. b. Akta Perkawinan Akta perkawinan adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan akta 83

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit., hal. 6 Salim HS, Loc.cit

84

Universitas Sumatera Utara

perkawinan meliputi : Kepala KUA bagi yang beragama Islam dan Kepala Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.

B. Latar Belakang Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif. 1. Di tinjau Dari Sisi Anak Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Karena itu anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa di jaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Selanjutnya pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa kelahiran seorang anak manusia yang dihasilkan dari sebuah hubungan di luar pernikahan yang resmi sehingga mengakibatkan anak-anak yang

Universitas Sumatera Utara

terlahir seringkali memiliki julukan sebagai anak haram, dalam ilmu hukum Perdata mereka disebut sebagai anak luar kawin. 85 Selanjutnya kejelasan status dari seorang anak manusia sangat memegang arti penting dalam langkahnya menapaki kehidupan. Dalam hal ini bukan berarti melindungi perbuatan tercela manusia yang mengakibatkan hadirnya anak luar kawin tetapi lebih kepada perlindungan terhadap seorang anak yang keberadaan dan kedudukan hukumnya tidak jelas. 86 Seorang anak luar kawin dan anak sah pada umumnya tidak memiliki pembedaan yang nyata dalam hukum positif di Indonesia. Baik itu anak luar kawin maupun anak sah keduanya masuk dalam kategori anak. Sebagaimana pada umumnya anak-anak di Indonesia maka anak luar kawin pun berhak mendapatkan perlindungan dari negara melalui peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak. Sehingga terlihat semakin jelas perlindungan seorang anak tersebut dengan keluarnya Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 87 Perlindungan hukum dapat diberikan kepada anak luar kawin sebagaimana tersebut diatas agar terlepas dari beban kehidupan yang berat adalah dengan jalan pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan. Sementara Peraturan Pemerintah

85

Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 7 86 Emilda Kuspaningrum, Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, (Jakarta :UI Press, 2006), hal. 24 87 Ibid

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana yang tersebut dalam UUP 1974 yang akan mengatur tentang nasib anak di luar kawin sampai saat ini belum diterbitkan. 88 Unifikasi hukum yang bertolak kepada Wawasan Nusantara dan Bhineka Tunggal Ika, sebaiknya perlu dipikirkan tentang lembaga pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin guna menaikkan harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah SWT. 89 Sehingga mempunyai banyak manfaat bagi seorang anak yaitu dapat memberikan kejelasan status bagi anak, mengangkat harkat dan martabat anak juga dapat memberikan jaminan pemeliharaan dan masa depan bagi anak tersebut, kemudian terlihat jelaslah dari uraian di atas latar belakang perlunya adanya pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan. 90

2. Di tinjau Dari Sisi Orang Tua Anak dilihat sebagai penerus generasi, dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikemudian hari kelak menjadi tanggungjawabnya. Di pandang pula sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah lagi. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara seorang wanita sebagai ibunya dengan seorang pria sebagai bapaknya yang menjadi suami wanita tersebut. 91

88

Ibid Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006),

89

hal. 84 90

Ibid Mr.B.Ter Haar Bzn, diindonesiakan oleh K.Ng.Soerbakti Poesponoto, Azaz-azaz dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2001), hal. 144 91

Universitas Sumatera Utara

Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena beberapa hal yang menjadi latar belakang bagi orang tua yakni memberikan kejelasan status anak sebagai generasi yang melanjutkan keturunan orang tuanya termasuk dalam melanjutkan marga (bagi yang menganut sistem patrilineal) dan waris, meletakkan beban kewajiban kepada orangtua untuk bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak, juga memberikan jaminan masa depan bagi orangtua apabila kelak sudah terkendala secara fisik. 92 Hukum ingin memastikan bahwa anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu adalah sah, dan secara sosiologis tidak menjadi pergunjingan dalam masyarakat. Tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak terletak pada kedua orang tuanya (ayah-ibu). Pendidikan dan pengasuhan anak akan berhasil, sejauh mana keterlibatan kedua orangtuanya dalam mendidik. Islam tidak membebankan tanggung jawab itu hanya kepada salah satu dari kedua orang tua. 93Untuk dapat mewaris maka ahli waris itu ada yang karena di tunjuk oleh Undang-undang dan ada yang karena di tunjuk oleh surat wasiat yang dapat mewaris berdasarkan Undang-undang. Penggolongan pewarisan anak luar nikah dibagi atas anak sah (anak yang lahir dalam perkawinan yang sah) dan anak luar nikah yang terbagi lagi dalam anak luar nikah yang dapat diakui sahnya dan anak luar nikah yang tidak dapat diakui sahnya. Pasal 862 sampai dengan Pasal 873 K.U.H.Perdata adalah mengenai hubungan hukum antara anak luar nikah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan adanya kelahiran 92

Ibid Sudirman Kartohadprojo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Rakyat, 1959), hal. 45 93

Universitas Sumatera Utara

makanya ada hubungan antara ibu dengan anak. Hubungan anak dengan laki-laki yang membuahkannya tidak ada. Adanya pengakuan dari laki-laki (ayah biologis) anak tersebut maka lahirlah hubungan-hubungan hukum antara anak dan laki-laki yang mengakuinya. 94. Walaupun kedudukannya tetap terbelakang dibandingkan dengan anak sah terutama dalam hukum waris. Anak luar nikah tidak akan pernah dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya, dan sebaliknya sanak keluarga orang tuanya tidak dapat bertindak dalam harta peninggalan anak luar nikah dari seorang anggota keluarganya. Akan tetapi Pasal 873 K.U.H.Perdata memungkinkan terjadi pewarisan yang demikian. Jadi hanya apabila sama sekali tidak ada orang lain, maka anak luar nikah dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya dan sebaliknya dengan menyampingkan negara. 95 C. Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak 1. Pengertian Anak Sah a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Anak menurut Kamus Bahasa Indonesia dikemukan sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Sejalan dengan perkembangannya lebih lanjut kata “anak” bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia,

94

Ibid Santoso,Tentang Anak Luar Nikah Sebagai Ahli Waris Menurut K.U.H.Perdata, http://santosololowang.com/data/artikel/Anak Luar Nikah Sebagai Ahli Waris menurut K.U.H.Perdata.pdf, diakses pada tanggal 29 Juli 2013, pukul 22.00 Wib 95

Universitas Sumatera Utara

tetapi juga dipakai untuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh atau anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa. 96 Secara yuridis, yang dimaksud dengan anak sah adalah 97 1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah; 2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian anak sah tidak dapat dilepaskan dari suatu perkawinan yang sah. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang memberikan pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu maka jika anak itu lahir, anak itu adalah sah dari perkawinan wanita itu dengan pria itu. 98 Maka dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa anak yang sah adalah : 99 1) Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan; 2) Kelahirannya harus dari perhubungan perkawinan yang sah; 3) Dengan demikian bapak dan ibunya yang telah resmi secara terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah

96

WJS Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 38 Tan Kamello, Hukum Orang dan Keluarga, Medan : USU Press, 2011., hal. 67-68 98 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 133-134 99 Amelisa Juliana, Tinjauan Yuridis Tentang Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,( Medan, USU Press, 2012), Skripsi, hal. 34 97

Universitas Sumatera Utara

didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkan perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Menurut dari beberapa rumusan diatas, maka pengertian anak sah mengandung beberapa kategori pengertian antara lain : 100 1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah; 2) Seorang anak dibenihkan diluar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah; 3) Seorang anak dibenihkan didalam perkawinan yang sah namun dilahirkan diluar perkawinan; 4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri diluar rahim dan dilahirkan oleh si isteri. b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Begitu juga dalam K.U.H.Perdata (BW) istilah anak sah hanya dipakai dalam hal ada suatu perkawinan antara ayah dan ibu si anak itu. Juga kalau perkawinan itu diselenggarakan setelah anak itu sudah lahir, anak itu dapat dianggap “disahkan”, asal saja hal ini ditegaskan pada waktu pernikahan dilakukan. Syarat mutlak untuk pengesahan ialah bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan ayah. 101

100

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta, Prestasi Pustakaraya, 2012), hal 39 101 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal 59

Universitas Sumatera Utara

Menurut K.U.H.Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya. 102 Pasal 251 K.U.H.Perdata mengatakan “Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dari perkawinan dapat diingkari oleh si suami”. Namun pengingkaran ini tidak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut : 1e. Jika si suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan kehamilan si isteri. 2e. Jika ia telah hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tak dapat menandatanganinya. 3e. Jika si anak tak hidup tatkala dilahirkannya. Seorang suami yang tidak hadir serumah dengan isterinya (dan ini harus dibuktikan dengan sah), selama 300 (tiga ratus) hari sebelum kelahiran seorang anak dari isterinya, maka ia boleh mengingkari keabsahan anaknya itu. 103 Seorang suami tadi boleh memakai alasan selama itu ia tidak mampu melakukan persetubuhan dengan isterinya. Pasal 253 K.U.H.Perdata menegaskan bahwa “suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak atas dasar perbuatan zina, kecuali jika anak itu dirahasiakan terhadapnya dalam hal mana ia harus diperkenankan membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu”. Hukum Perdata mengenal lembaga hukum yang bernama sceiding van tafel en bed, sehubungan dengan lembaga ini, seorang suami dapat pula mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan oleh isterinya 300 (tiga ratus) hari setelah hari keputusan sceiding van tafel en bed itu memperoleh kekuatan yang pasti dari

102 103

Lihat Pasal 250 BW Lihat Pasal 252 BW

Universitas Sumatera Utara

pengadilan

(ex Pasal 254 K.U.H.Perdata). Begitu pula seorang anak yang lahir

setelah lampau 300 (tiga ratus) hari setelah bubarnya perkawinan ibu-bapaknya, ia adalah anak luar kawin (ex Pasal 255 K.U.H.Perdata).

104

c. Menurut Hukum Islam Lain halnya dalam Hukum Islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa nasab ( keturunan terutama dari pihak ayah) seseorang kepada ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukannya dengan seorang lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui hubungan gelap, kumpul kebo, perselingkuhan, dan perzinaan. Para ulama fiqh sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah, dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis : 105 ”Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri isteri) dan bagi pezina hanya berhak mendapatkan batu hukuman (HR.Muslim)”. Maksud dari hadist di atas adalah penegasan bahwa nasab anak yang lahir dalam perkawinan yang sah atau fasid, dapat ditetapkan dan dihubungkan kepada ayah kandungnya.Ketetapan ini tidak berlaku bagi pezina sebab nasab merupakan nikmat dan karunia besar dari Allah SWT. Para ulama sepakat dalam masalah menentukan

104

Soedharyo Soimin, Op.Cit, hal. 42-43 . Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta : Amzah, 2012), hal. 79-

105

80

Universitas Sumatera Utara

pernikahan secara sah sebagai penyebab ditetapkannya nasab anak kepada ayah kandungnya. 106 Menurut pandangan hukum Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu : 107 1) Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah. 2) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuquha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan. 3) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam.

106

Ibid Abdul Manan, Op.Cit, hal. 79

107

Universitas Sumatera Utara

4) Suami tidak mengingkar anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang terkandung oleh isterinya dengan cara li’an. Islam juga menentukan apakah anak tersebut sah dapat diketahui dengan tiga cara yaitu : 108 1) Pergaulan antara kedua orang tuanya (perkawinan yang sah) 2) Pengakuan oleh orang tuanya dan kakeknya. 3) Adanya pembuktian menurut syariat Islam (saksi-saksi) Hukum agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah SWT agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah. Islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat tetangga, dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus kenal siapa ayah dan ibunya. 109 Sebagaimana para ahli hukum Islam sependapat dengan apa yang telah dikemukakan oleh Anwar al Amrusy yang mengatakan : “Bahwa tidak ada ketunggalan hukum (hukum yang bulat) dalam hal soal nasab, sebab hukum Islam sangat memerhatikan kemaslahatan dan perlindungan terhadap anak yang lahir secara sah. Anak sah juga mempunyai kedudukan tertentu terhadap 108

Riana Kesuma Ayu, “Tentang Anak Sah Menurut Hukum Islam”, http://websiteayu.com/artikel/tentang-anak-sah-menurut-hukum-islam/di akses tgl 4 Juni 2013 Pukul 14.00 Wib 109 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal 137

Universitas Sumatera Utara

keluarganya, orang tuanya berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunannya”. 110 Menurut hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan atau 177(seratus tujuh puluh tujuh) hari semenjak pernikahan orang tuanya, tidak perduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami, atau karena perceraian di masa hidupnya, dalam hal mana iddah bagi si isteri adalah selama masih mengandung anaknya ditambah 40 (empat puluh) hari sesudah lahirnya, jika anak itu lahir sebelum genap jangka waktu 177 (seratus tujuh puluh tujuh) hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya dan si suami dapat memungkiri bahwa ia adalah anaknya yang sah. 111 Pendapat Yusuf al Qadhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya. 112 d. Menurut Hukum Adat Masyarakat hukum adat berbeda dari masyarakat yang modren, dimana keluarga/rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Bukan tidak menjadi masalah tentang sah tidaknya anak, hal mana dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat bersangkutan, tetapi yang juga penting adalah menyangkut masalah

110

Abdul Manan, Op.Cit, hal. 80 Soedharyo Soimin, Loc.Cit 112 Yusuf al Qadhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Surabaya : Bina Ilmu, 1976), hal. 304 111

Universitas Sumatera Utara

keturunan dan pewarisan. Masyarakat dengan susunan kekerabatan yang patrilineal yang cenderung melakukan perkawinan bentuk jujur, dimana isteri pada umumnya masuk dalam kelompok kekerabatan suami, maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan keturunan menurut garis lelaki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar dengan anak sendiri. Jadi dalam keluarga/rumah tangga yang bersifat patrilineal, terdapat bermacam-macam anak, seperti anak sah yang tidak sama kedudukannya dengan anak tidak sah, anak kandung yang berbeda kedudukan karena kedudukan ibunya berbeda, anak tiri yang dapat diangkat menjadi anak penerus keturunan bapak tiri seperti di Rejang Bengkulu, anak angkat penerus keturunan bapak angkat (Lampung : tegak tegi) yang matrilokal seperti nyentane di Bali, begitu pula halnya dengan anak levirat (Lampung : semalang), anak sororat (Lampung, nuket : turun ranjang), anak asuh (anak pelihara), anak akuan dan lain-lain, yang berbeda-beda dalam kedudukannya terhadap ayah kandung, ayah angkat, ayah tiri, mertua dan sebagainya, dan dalam kekerabatannya. 113 Masyarakat matrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk semenda, dimana suami masuk dalam kerabat isteri, maka kedudukan anak dikaitkan dengan penerusan keturunan menurut garis wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak wanita atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki berkedudukan seperti anak wanita atau mengangkat anak wanita orang lain 113

Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal 135-136

Universitas Sumatera Utara

untuk menjadi penerus keturunan yang berkedudukan sejajar dengan anak sendiri. Untuk masyarakat keibuan seperti Minangkabau kedudukan anak lebih menghormati ibu dan mamaknya daripada terhadap ayahnya sendiri. Tanggung jawab pihak ibu lebih besar dari tanggung jawab pihak ayah terhadap anak kemenakannya. Dilingkungan masyarakat adat Semendo Sumatera Selatan kedudukan anak yang menjadi ‘tunggu tubang’ lebih berperanan dan bertanggung jawab daripada anak-anak wanita lainnya. Sedangkan masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (keorangtuaan) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di daerah yang satu berbeda dari daerah lain. Di samping itu di pedesaan orang Jawa sudah terbiasa anak-cucu diurus oleh embah-kakeknya entah anak itu anak sah atau tidak sah, sedangkan di daerah lain bukan suatu kebiasaan. 114 Perihal masa iddah atau masa tenggang enam bulan seperti dalam hukum Islam, pada hukum adat tidaklah di kenal hal tersebut. Tenggang enam bulan sesudah perkawinan dilakukan, sekiranya sama sekali tidak ada dalam hukum adat artinya meskipun seorang anak lahir dalam waktu yang amat pendek sesudah pernikahan ibunya tetapi suami ibunya dianggap sebagai ayahnya. Menurut Ter Haar menganggap bahwa seorang anak yang lahir sesudah perkawinan terputus tetapi dalam tenggang yang sama dengan tenggang hamil yang biasa 8 (delapan) atau 9 (sembilan) bulan, dan masih dianggap anak dari bekas suami ibunya. Maka tenggang 4 (empat) tahun yang oleh sebagian penganut agama Islam diambil sebagai ukuran, tetapi tidak demikan halnya dalam hukum adat. 115

114

Ibid Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 58

115

Universitas Sumatera Utara

Usaha untuk menghindari keadaan seorang anak tidak mempunyai ayah (anak haram jaddah), maka seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan, agak di paksa kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang laki-laki yang pernah bersetubuh dengan si perempuan itu dan juga dapat dianggap menyebabkan hamilnya itu. Akan tetapi kalau ini tidak mungkin, maka seringkali seorang perempuan yang hamil itu di paksa kawin dengan sembarangan orang laki-laki yang mau saja, misalnya dengan seorang laki-laki yang sudah sangat tua usianya atau dengan seorang laki-laki yang sudah terang tidak pantas menjadi suami dari perempuan tersebut. Hal ini si suami ini hanya resmi menjadi suaminya, tetapi sebetulnya diinsyafi betul-betul oleh semua orang lain dan oleh suami itu sendiri, bahwa pernikahan hanya dilakukan agar supaya anak yang lahir itu resmi mempunyai ayah. 116Berdasar atas harapan inilah, maka sudah selayaknya Hukum Islam dan Hukum Adat maupun Hukum BW menentukan, bahwa seorang anak yang lahir atau mulai dikandung oleh ibunya pada waktu ibunya mempunyai suami, dalam keadaan biasa adalah anak dari suaminya juga. Dan perhubungan anak-ayah diantara mereka ini dianggap sebagai suatu perhubungan yang sah artinya menurut hukum (wettig). 117 2. Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak. Adanya kenyataan di masyarakat mengenai hubungan luar nikah terutama atas dasar saling cinta biasanya pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara itu baru melakukan hubungan badan apabila nantinya akan ada perkawinan di kemudian hari. Dengan kata lain 116

Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hal. 135-136 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal . 57

117

Universitas Sumatera Utara

hubungan tersebut dilakukan setelah mereka membuat “perjanjian” bahwa laki-lakinya akan mengawini perempuan yang akan datang. Umumnya yang meminta perjanjian dari pihak perempuan karena resikonya besar, yaitu jangan sampai ia menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak tanpa pernah melakukan perkawinan, sebab akan membuat malu dirinya di mata keluarga dan masyarakat. Jika laki-laki tersebut menepati janji tentu tidak akan menjadi masalah tetapi jika si laki-laki ingkar janji dan pergi meninggalkannya maka kepada siapa diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Dari hubungan tersebut dalam hukum pidana hanya dilarang apabila salah satu atau dua-duanya dari mereka terikat tali perkawinan dengan orang lain. Jika dari hubungan tersebut melahirkan seorang anak yang menurut Pasal 43 ayat (1) UUP 1974 anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja, apakah laki-laki yang menghamili masih ada kesempatan untuk menjalin hubungan hukum dengan anak tersebut. 118 Apabila kita teliti dalam ketentuan K.U.H.Perdata terdapat lembaga pengakuan anakanak luar kawin sebagaimana diatur pada Buku Kesatu Bab Kedua Belas Bagian Ketiga. Lembaga ini dapat dipergunakan, mengingat Pasal 66 UUP 1974 masih memberi peluang, bahwa sepanjang belum di atur dalam Undang-Undang Perkawinan maka peraturanperaturan dalam K.U.H.Perdata masih berlaku. Dengan demikian Undang-undang

118

Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Kawin, (Jakarta : Djambatan, 1998), hal. 72 dan hal 90.

Universitas Sumatera Utara

Perkawinan yang tidak mengatur lembaga pengakuan anak luar kawin, maka lembaga yang ada dalam K.U.H.Perdata tidak dicabut dan dapat diberlakukan. 119 Pasal 280 K.U.H.Perdata mengatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Pada UUP 1974 dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengakui anak tersebut ? Jika dicermati Pasal 41 UUP 1974, maka tidak akan terjadi pengakuan itu dilakukan oleh seorang ibu, melainkan harus dilakukan oleh seorang ayah karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya langsung secara otomatis sejak anak itu dilahirkan. 120Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Subekti. Jadi anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind. Pasal 272 K.U.H.Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : 121 ”Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”. Kedua orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat 119

Ibid Tan Kamello, Op.Cit. hal. 69 121 Ibid 120

Universitas Sumatera Utara

dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara. Untuk hal ini Presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di muka Pencatatan Sipil dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tua, atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris. Menurut Hukum Perdata yang tercantum dalam BW, melihat adanya tiga tingkatan status hukum daripada anak di luar perkawinan : a. b. c.

122

Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu-bapaknya. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya. Orang tuanya melangsungkan perkawinan sah. Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi

dalam bidang Hukum Perkawinan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.” Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mewaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya, sebagai yang membangkitkannya. Jika ingin anak luar kawin memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar kawin. Pasal 280 sampai dengan Pasal 281 K.U.H. Perdata menegaskan bahwasanya dengan 122

Ibid

Universitas Sumatera Utara

pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapaknya. Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang di buat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatangan. 123 Syarat mutlak untuk pengesahan anak di luar perkawinan ialah bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan bapak. Pasal 274 BW ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sedemikian rupa, bahwa syarat mutlak bagi pengesahan anak ialah bahwa anak harus diakui oleh ibu dan bapaknya itu. Pengesahan anak oleh pemerintah diperlukan suatu pertimbangan dari Mahkamah Agung, yang menurut Pasal 275 BW, kalau perlu akan mendengarkan pendapat sanak keluarga dari bapak dan ibu dan juga dapat mengumumkan dulu permohonan pengesahan anak ini dalam surat-surat kabar, agar orang-orang yang berkepentingan ada kesempatan untuk memajukan keberatan terhadap pengesahan anak ini. Mungkin sekali ada orang yang menyatakan bahwa anak yang dimintakan pengesahan itu sebetulnya bukanlah anak dari yang mengakuinya sebagai anak, melainkan anak orang lain.

124

123

Tecky Waskito, Tentang Status Hukum Dan Pengakuan Anak Luar Nikah, http://teckywaskito.wordpress.com/status-hukum-dan-pengakuan-anak-luar-nikah/diakses 07 Juni 2013 Pukul 20.00 Wib 124 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal . 59-60

Universitas Sumatera Utara

Pengesahan terhadap anak luar kawin di atur di dalam Buku I Bab XII Bagian Kedua K.U.H.Perdata 125, pengesahan anak luar kawin merupakan suatu cara untuk mengubah status anak luar kawin menjadi anak sah. Pengesahan anak luar kawin dapat dilakukan dengan cara:

126

a. Perkawinan orang tua 127 b. Surat pengesahan 128 Pengesahan dengan surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal yaitu: 129 a. Orang tua lalai mengakui anak(-anak)nya sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan 130 b. Jika salah satu orang tua sudah meninggal dunia, sehingga perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Berdasarkan

ketentuan

Pasal

272,

unsur dari pengesahan anak luar kawin

adalah: 131 a. Pengakuan ; Sebelum anak luar kawin dapat disahkan menjadi anak sah, anak tersebut harus terlebih dahulu mendapat pengakuan dari bapak dan ibunya. b. Perkawinan ; Tidaklah cukup dengan pengakuan anak luar kawin mengubah status anak tersebut menjadi anak sah. Setelah dilakukan pengakuan oleh bapak dan ibunya, bapak dan ibunya tersebut melangsungkan pernikahan.

125

Lihat Pasal 272-279 KUH.Pdt R. So et o j o P ra w i ro h a mi dj o j o Keluarga,(Bandung : Alumni, 1986), hal. 141 127 Lihat Pasal 272 KUH.Pdt 128 Lihat Pasal 274 KUH.Pdt 129 Ibid 130 Lihat Pasal 274 KUH.Pdt 131 Ibid 126

da n

A si s

Sa f io e d in,

Hukum

Orang

Dan

Universitas Sumatera Utara

Pengesahan anak luar kawin tidak dapat dilakukan terhadap anak zina dan anak sumbang. Untuk anak sumbang dapat dilakukan pengesahan dalam akta nikah orang tuanya. Di mana kedua orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari presiden. 132Pengesahan anak luar kawin merupakan

perbuatan hukum,

sehingga jika dilakukan akan menimbulkan akibat bagi para pihak yang bersangkutan. Akibat dari pengesahan anak luar kawin adalah:

133

a. Jika pengesahan dilakukan karena perkawinan kedua orangtuanya maka kedudukan anak luar nikah tersebut sama dengan anak(-anak) yang dilahirkan dalam perkawinan. 134 b. Jika pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan maka akan menimbulkan akibat hukum yang terbatas, dengan pembatasan. 135 1) . Tidak akan merugikan anak-anak sebelumnya dalam hal pewarisan. 2) . Pengesahan itu tidak berlaku terhadap keluarga sedarah lainnya dalam hal pewarisan. Menurut konsep hukum Islam pengakuan anak ada dua macam, yakni pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain. Pada prinsipnya sama tujuannya, hanya dalam pelaksanannya sendiri sedikit berbeda, yaitu : 136

132

Lihat Pasal 273 KUH.Pdt

133

Rita Manggala,Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Badan Peradilan (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 935/K/Pdt/1998), Tesis, (Jakarta : UI Press, 2006), hal. 71 134 Lihat Pasal 277 KUH.Pdt 135 Lihat Pasal 278 KUH.Pdt 136 Abdul Manan, Op.Cit., hal. 91

Universitas Sumatera Utara

a. Pengakuan anak untuk diri sendiri. Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara langsung, misalnya si Badu mengatakan bahwa anak itu adalah anakku. Jika pernyataan ini memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah bagi yang mengakuinya. Menurut Abdullah Ali Husein dalam hukum Islam dikenal beberapa syarat untuk melaksanakan pengakuan seorang anak bagi dirinya sendiri, yaitu : 137 1) Orang yang mengetahui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain menurut hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan melahirkan anak tersebut; 2) Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan orang gila, orang yang dipaksakan, dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima; 3) Anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasabnya, tidak sah pengakuan terhadap anak yang telah terbukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain; 4) Pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih tua dari yang mengakui, atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut hukum biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan; 5) Pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu, maka pria yang mengakui itu harus membuktikannya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalau ia mau maka hubungan nasab itu terbukti adanya. Pengakuan anak telah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas, maka anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan kedudukannya adalah sama dengan kedudukan anak kandung. 138

137

Abdullah Ali Husein, Al Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawaninul Wadh’iyyah wa Tasyri’il Islami Muaqaranatan Bainal Fiqhil Qanuniyah Faransiy wa Mazhabil Imani Malik, (Darul Ihyail Kututb Arabiyah : Cairo, 1947), hal. 236-237 138 Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan Hukum Islam, Artikel dalam Majalah Mimbar Hukum No.15 Tahun V, Dirbinbaparais Dep.Agama, (Jakarta : 1994), hal. 62

Universitas Sumatera Utara

Seorang pria bila telah melaksanakan pengakuan terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa ia adalah anaknya, maka pengakuan tersebut tidak boleh dicabut kembali, sekali ia telah mengikrarkannya maka pengakuan itu berlaku terus sepanjang masa. Pengakuan anak itu dapat dilaksanakan kapan saja, walaupun setelah meninggalnya orang yang diakui. Hanya saja hukum Islam menganggap bahwa pengakuan anak terhadap orang yang telah meninggal dunia bermotif yang tidak baik, biasanya karena ada warisan. Dalam hukum Islam pengakuan anak yang seperti ini baru dapat diterima apabila anak yang diakui itu tidak mempunyai ahli waris dan harta peninggalannya hanya sedikit. 139 b. Pengakuan anak terhadap orang lain. Pengakuan anak ini sering disebut dengan pengakuan secara tidak langsung, misalnya si Badu mengatakan bahwa si Budi adalah saudara kandungnya. Ini berarti bahwa si Badu itu mengakui Budi sebagai anak dari Abdullah, di mana Abdullah itu ayah kandung dari yang bernama Badu. Jika syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka terjadilah hubungan nasab antara Badu dengan Budi sebagai saudaranya dan dengan Abdullah sebagai ayahnya. 140 Menurut Ahmad Husni syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan anak secara tidak langsung adalah secara umum sama saja dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan untuk diri sendiri, hanya ditambah dua poin lagi, yaitu : 141

139

Abdul Manan, Op.Cit. hal, 92 Ibid 141 Ahmad Husni, Ahkam Syar’iyah fi Ahwalisy Syashiyyah Ala Mazahibil Imam Abu Hanafiah, (Kairo : Darul Qutub, 1960), hal.56 140

Universitas Sumatera Utara

1). Orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan nasab kepadanya; 2). Ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut. Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Indonesia disebutkan bahwa laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang boleh menikah dengan wanita hamil tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita yang hamil itu kawin dengan orang yang bukan membuahinya/menghamilinya. Jika terdapat alasan yang kuat tentang motivasi tentang pengakuan anak , baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, tidak ada salahnya hakim mengambil pendapat asalkan membawa manfaat kepada semua pihak, tidak menimbulkan mudharat para generasi selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara