BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sejak sekitar Tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada Tahun 1971. Selanjutnya, pada Tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference
on
the
Reaffirmation
and
Development
of
International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Sebagai bidang baru dalam Hukum Internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau defenisi mengenai Hukum Humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah : “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”. 2. Esbjorn Rosenbland, merumuskan Hukum Humaniter Internasional dengan mengadakan pembedaan antara:
Universitas Sumatera Utara
The Law Armed Conflict, berhubungan dengan: a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Pendudukan wilayah lawan; c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup: a. Metoda dan sarana berperang; b. Status kombatan; c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. 3. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang”. Dengan mencermati pengertian dan atau defenisi yang disebutkan di atas, maka ruang lingkup Hukum Humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya, menganut pengertian Hukum Humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa Hukum Humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana
Universitas Sumatera Utara
menurutnya Hukum Humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa Hukum Humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. 7 B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of war) terdiri atas 4 Konvensi, yaitu :8 1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949). 2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949). 3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949). 4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of War, of August 12, 1949). 7
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal.8-10. 8 Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949, Pengayoman, Jakarta, 1999, hal. iii.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimana keempat konvensi tersebut di atas awal mulanya dibentuk pada Tahun 1864. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya berkaitan dengan pembentukan Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC). Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, sedikit banyak, dipengaruhi dari ide yang terpublikasi dari buku “A Memory of Solferino” yang ditulis oleh salah satu pendiri ICRC, yaitu Henry Dunant. Dalam buku tersebut, Henry Dunant menggambarkan pengalamannya menyaksikan penderitaan para tentara yang menjadi korban dan tidak memperoleh pertolongan di medan bekas pertempuran di Solferino. Cerita Henry Dunant tidak terlalu terfokus pada hal-hal yang mengerikan akibat perang, tetapi justru kepada permasalahan tidak cukupnya pertolongan untuk tentara korban tersebut. Ia juga menceritakan upaya spontannya mengumpulkan para wanita setempat untuk menolong para korban tersebut dengan fasilitas seadanya. Dua dari ide yang termuat dalam buku tulisan Henry Dunant terealisasi pada Tahun 1863 dan 1864. Tahun 1863 adalah Tahun pembentukan organisasi sukarelawan yang dipersiapkan untuk membantu korban perang yang kemudian dikenal dengan ICRC. Tahun 1864 adalah Tahun pembentukan perjanjian internasional untuk melindungi korban perang dan pihak yang bertugas menolong korban perang. Adapun konferensi diplomatik yang membahas dan mengadopsi perjanjian tersebut diselenggarakan oleh negara Swiss atas himbauan dari Henry Dunant dan para pendiri ICRC. Konvensi Jenewa 1864 menjadi instrumen hukum pertama tentang kesepakatan negara di bidang Hukum Humaniter Internasional dan menjadi
Universitas Sumatera Utara
perjanjian pertama yang terbuka bagi setiap negara untuk ikut serta di dalamnya. Setelah itu cukup banyak pertemuan diplomatik dan antarnegara yang diselenggarakan secara teratur dan menghasilkan perjanjian-perjanjian lainnya di bidang Hukum Humaniter Internasional. Dalam perjalanannya, pembentukan perjanjian Hukum Humaniter Internasional dan norma-norma hukum yang disepakati di dalamnya banyak dipengaruhi oleh kebutuhan yang dirasakan karena peristiwa peperangan yang terjadi pada waktu itu. Di antaranya, juga dipengaruhi oleh kenyataan perkembangan teknologi dan sistem persenjataan atau metode peperangan yang digunakan. Peristiwa Perang Dunia I dan II serta berbagai perang atau konflikkonflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Amerika Latin yang melibatkan upaya dekolonisasi dan teknik gerilya sampai pembersihan etnis di Former Yugoslavia dan genosida di Rwanda, turut memberikan kontribusi bagi pembentukan dan penyempurnaan Hukum Humaniter Internasional. Sebelum masa Perang Dunia I, telah terbentuk berbagai perjanjian Hukum Humaniter Internasional berkenaan dengan larangan dan pembatasan penggunaan senjata dan metode perang tertentu, yaitu Deklarasi St Petersburgh Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil eksplosif tertentu pada saat perang dan beberapa Konvensi Den Haag 1899-1907 berkenaan dengan peperangan di darat dan laut serta larangan penggunaan racun, gas mencekik, peluru mengembang, berikut pembatasan pengiriman proyektil tertentu melalui balon udara. Setelah masa Perang Dunia II, yaitu Tahun 1945-1948, dunia melihat terbentuknya peradilan internasional terhadap penjahat perang, yaitu di Tokyo
Universitas Sumatera Utara
dan Nurmberg atas prakarsa para pemenang perang. Sementara itu, Konvensi Jenewa 1864 mengalami perbaikan dan
penyempurnaan terakhir dengan
terbentuknya empat Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang. Tahun 1977 ditandai dengan terbentuknya dua perjanjian internasional yang merupakan tambahan atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Perjanjian Hukum Humaniter Internasional tersebut adalah Protokol Tambahan I/1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengketa bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II/1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada Situasi Sengketa Bersenjata non-internasional Protokol I antara lain, memuat referensi Hukum Humaniter Internasional bagi perang melawan kolonial dan pembatasan penggunaan metode perang gerilya.9 Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Penduduk Sipil dalam waktu Perang merupakan konvensi yang sama sekali baru. Konvensi ini yang mengatur kedudukan penduduk sipil pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam daerah pertempuran maupun daerah pendudukan serta di negara-negara netral, seluruhnya meliputi 159 pasal dan tiga buah lampiran. Persiapan untuk Konvensi Jenewa IV 1949 sudah dimulai oleh Konferensi Internasional Palang Merah yang ke XV yang diadakan di Tokyo diTahun 1934. Konferensi
ini
telah
menyetujui
suatu
rancangan
konvensi
mengenai
perlindungan penduduk sipil di negara musuh atau di negara yang diduduki musuh yang terdiri dari 40 pasal, yang dibuat untuk memenuhi rekomendasi 9
Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 32-34.
Universitas Sumatera Utara
konferensi diplomatik yang diadakan di Jenewa diTahun 1929 untuk memperbarui Konvensi I dan menyusun Konvensi mengenai Perlakuan Tawanan Perang. Rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil ini yang dikenal juga dengan nama rancangan Tokyo, yang merupakan rancangan pertama bagi Konvensi Jenewa IV yang sekarang, mula-mula akan diajukan pada suatu konferensi Diplomatik yang akan diadakan di Jenewa pada Tahun 1940. Pecahnya Perang Dunia II membatalkan niat ini. Maksud untuk memperbaharui ketiga konvensi lainnya yaitu Konvensi I, II, dan III lahir setelah Perang Dunia II berakhir diTahun 1945. Di Tahun 1946 Komite Internasional Palang Merah mengadakan suatu konferensi pendahuluan di Jenewa yang dihadiri oleh utusan-utusan Palang Merah nasional untuk membahas Konvensi-Konvensi Jenewa dan masalah-masalah yang bertalian dengan Palang Merah. Konferensi ini membahas ketiga rancangan konvensi yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh suatu konferensi para ahli yang diadakan di Jenewa diTahun 1945. Pekerjaan persiapan di atas dilanjutkan dalam Tahun 1947 dengan diadakannya suatu konferensi di Jenewa antara ahli-ahli dari berbagai negara untuk mempelajari Konvensi- Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang, yang kemudian disusul dengan konsultasi antara Komite Internasional dengan beberapa pemerintah yang tidak mengirimkan wakilnya. Hasil pekerjaanpekerjaan persiapan tersebut di atas berupa empat buah rancangan Konvensi dibicarakan pada Konferensi Internasional Palang Merah ke-XVII yang diadakan
Universitas Sumatera Utara
di Stockholm diTahun 1948. Rancangan-rancangan ini diterima dengan beberapa perubahan.
Rancangan
konvensi-konvensi
inilah
yang
menjadi
bahan
perbincangan (working documents) daripada Konferensi Diplomatik yang diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949, dan yang akhirnya menghasilkan keempat konvensi mengenai perlindungan korban perang dalam bentuknya yang dikenal sekarang.10 C. Penjelasan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Penjelasan Konvensi Jenewa IV 1949 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang diatur di dalam bagian II yang berisi tentang perlindungan umum. 1. Perlindungan Umum Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34.11 Isi Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV adalah : 1. Orang-orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat istiadat dan kebiasaan mereka. 10
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi DJenewa TH. 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta Bandung, 1968, hal. 3-4. 11 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
Mereka selalu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, dan harus dilindungi khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancamanancaman kekerasan dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek tontonan umum. Wanita
harus
terutama
dilindungi
terhadap
setiap
serangan
atas
kehormatannya, khususnya terhadap perkosaan, pelacuran yang dipaksakan, atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan, umur dan jenis kelamin mereka, maka semua orang yang dilindungi harus diperlakukan dengan cara yang sama oleh Pihak dalam sengketa dalam kekuasaan mana mereka berada, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan terutama pada suku, agama atau pendapat politik. Akan tetapi Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengambil tindakan-tindakan pengawasan dan keamanan berkenaan dengan orang-orang yang dilindungi, yang mungkin diperlukan sebagai akibat perang (Pasal 27). 2.
Adanya seseorang yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan sasaran-sasaran atau daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer (Pasal 28).
3.
Pihak-pihak dalam sengketa bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan oleh alat-alat kelengkapannya kepada orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangannya, lepas dari tanggung jawab perseorangan apapun yang mungkin ada (Pasal 29).
Universitas Sumatera Utara
4. Orang-orang yang dilindungi harus memperoleh setiap fasilitas untuk berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang Merah Internasional, Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) dari negara-negara tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi yang dapat memberi bantuan kepada mereka. Organisasi-organisasi ini harus diberikan fasilitas-fasilitas untuk maksud itu oleh
penguasa-penguasa,
dalam
batas-batas
yang
ditentukan
oleh
pertimbangan militer atau keamanan. Di samping kunjungan-kunjungan dan utusan-utusan Negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 143, maka Negara Penahan atau Negara Pendudukan harus sebanyak mungkin memudahkan kunjungan-kunjungan kepada orang-orang yang dilindungi oleh wakil-wakil organisasi-organisasi lain yang bertujuan memberikan bantuan spiritual atau pertolongan materil kepada orang-orang trsebut (Pasal 30). 5.
Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh dilakukan paksaan phisik atau moral, terutama untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka atau dari pihak ketiga (Pasal 31).
6.
Pihak-pihak Peserta Agung teristimewa sepakat bahwa mereka masingmasing dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan penderitaan-penderitaan jasmani atau pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya berlaku
Universitas Sumatera Utara
terhadap pembunuhan, penganiayaan, hukuman badan, pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang tidak diperlukan oleh perawatan kedokteran daripada seorang yang dilindungi, akan tetapi juga berlaku terhadap setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat negara sipil maupun militer (Pasal 32). 7.
Orang yang dilindungi tidak boleh dihukum untuk suatu pelanggaran yang tidak dilakukan sendiri olehnya. Hukuman kolektif dan semua perbuatan intimidasi atau terorisme dilarang. Perampokan dilarang. Tindakan pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi dan harta miliknya adalah dilarang (Pasal 33).
8.
Penangkapan orang untuk dijadikan sandera (tanggungan) dilarang (Pasal 34). Yang dapat disimpulkan isi dari pasal 27-34 tersebut tentang perlindungan
umum terhadap penduduk sipil yaitu adalah :12 Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan; 1. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani; 2. Menjatuhkan hukuman kolektif; 3. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan; 4. Melakukan pembalasan (reprisal); 5. Menjadikan mereka sebagai sandera; 12
Ibid, hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
6. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. Demikian besarnya perhatian yang diberikan Konvensi Jenewa untuk melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan daerahdaerah keselamatan (safety zones), dengan persetujuan bersama antara pihakpihak yang bersangkutan (Pasal 14 Konvensi Jenewa IV). Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 14 Konvensi Jenewa IV : Dalam waktu damai, Pihak-pihak Peserta Agung dan setelah pecahnya permusuhan, pihak-pihak dalam permusuhan itu dapat mengadakan dalam wilayah mereka sendiri dan apabila perlu, dalam daerah yang diduduki, daerahdaerah serta perkampungan-perkampungan rumah sakit dan keselamatan, yang diorganisir sedemikian rupa sehingga melindungi yang luka, sakit dan orangorang tua, anak-anak di bawah lima belas Tahun, wanita-wanita hamil serta ibuibu dari anak di bawah tujuh Tahun dari akibat-akibat perang. Pada waktu pecahnya dan selama berlangsungnya permusuhan, pihakpihak yang bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan tentang pengakuan bersama daripada daerah dan perkampungan yang telah mereka adakan. Untuk maksud ini mereka dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan dan Rencana Persetujuan yang dilampirkan pada Konvensi ini, dengan perubahanperubahan yang dianggap perlu.
Universitas Sumatera Utara
Negara-negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional diundang untuk memberikan jasa baik mereka guna memudahkan penetapan dan pengakuan atas rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan serta perkampunganperkampungan. Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang, yaitu orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan yang memiliki anak-anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah yang diperintah oleh negara yang mengadakannya. 2. Daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu. 3. Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan administrasi yang besar. 4. Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan. Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi, perlakuan khusus harus diberikan terhadap anak-anak. Para pihak yang bersangkutan diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu atau terpisah dengan orangtua mereka.
Universitas Sumatera Utara
Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, seperti : (1) Orang asing di wilayah pendudukan Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di wilayah negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika permohonan mereka ditolak, mereka penolakan tersebut dipertimbangkan kembali. Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu. 13 Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 35 Konvensi Jenewa IV: Semua orang yang dilindungi yang berkehendak meninggalkan wilayah pada permulaan, atau selama berlangsungnya suatu sengketa, boleh berbuat demikian,
kecuali
apabila
keberangkatannya
itu
bertentangan
dengan
kepentingan-kepentingan nasional dari negara itu. Permohonan-permohonan orang tersebut untuk berangkat harus diputuskan sesuai dengan prosedurprosedur secara teratur dan keputusan harus diambil secepat mungkin. Orangorang yang diizinkan untuk berangkat dapat melengkapi diri mereka dengan dana-dana yang diperlukan untuk perjalanan mereka dan membawa serta satu jumlah yang pantas dari milik dan barabg-barang untuk pemakaian pribadi.
13
Ibid, Hal. 171-173.
Universitas Sumatera Utara
Apabila ada seorang ditolak permintaannya untuk meninggalkan wilayah itu, maka ia berhak supaya penolakan itu dipertimbangkan kembali selekas mungkin oleh sebuah pengadilan atau dewan administratif, yang ditunjuk oleh Negara Penahan untuk maksud itu. Atas permintaan, maka wakil-wakil Negara Pelindung harus, kecuali apabila bertentangan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan berkeberatan, diberitahu alasan-alasan penolakan dari tiap permohonan izin untuk meninggalkan wilayah dan kepada wakil-wakil itu harus diberi secepat mungkin nama-nama semua orang yang tidak diberi izin untuk berangkat. Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di masa damai (hukum tentang orang asing). Perlindungan minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya, negara penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan regular ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat tinggal (Pasal 42 Konvensi Jenewa IV).14 Berikut ini adalah isi lengkap dari Pasal 42 Konvensi Jenewa IV :
14
Ibid, Hal. 173.
Universitas Sumatera Utara
Penginterniran orang-orang yang dilindungi atau penempatan mereka di tempat-tempat tinggal yang ditunjuk hanya dapat diperintahkan apabila keamanan Negara Penahan betul-betul memerlukannya. Apabila seseorang, melalui wakil-wakil Negara Pelindung, dengan sukarela mohon penginterniran dan apabila keadaannya menyebabkan perlu diambil tindakan tersebut, maka ia akan diinternir oleh kekuasaan dalam tangan siapa ia pada waktu itu berada. Mereka juga dapat dipindahkan ke negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, mereka harus dipulangkan pada saat terakhir setelah berakhirnya permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan politik atau agama yang mereka anut. (2) Orang yang tinggal di wilayah pendudukan Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku (secara de jure), walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa Pendudukan (secara de facto). Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah di wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya, harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti sedia kala.
Universitas Sumatera Utara
Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya; misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-tugasnya. Penguasa Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk (Pasal 50 Konvensi Jenewa IV); dan bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri, sesuai dengan Pasal 59-61 dan sebagainya.15 Berikut adalah isi lengkap dari pasal 50,59,60 dan 61 Konvensi Jenewa IV: Kekuasaan Pendudukan, dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan lokal, harus membantu kelancaran bekerja semua lembaga yang bertujuan untuk perawatan dan pendidikan anak-anak. Kekuasaan Pendudukan harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk memudahkan identifikasi anak-anak dan pendaftaran dari asal-usul mereka. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga, tidak boleh merubah kedudukan pribadi mereka, atau memasukkan mereka dalam kesatuan-kesatuan atau organisasi-organisasi kekuasaannya.
15
Ibid, hal. 173-174.
Universitas Sumatera Utara
Apabila lembaga-lembaga setempat tidak mencukupi untuk tujuan itu, maka Negara Pendudukan harus mengatur pemeliharaan dan pendidikan anakanak yatim piatu atau anak-anak yang terpisah dari ibu bapaknya sebagai akibat peperangan, dan yang tidak dapat dipelihara dengan baik oleh kerabat atau kawan. Pemeliharaan dan pendidikan ini jika mungkin dilakukan oleh orangorang yang sama kebangsaan, bahasa dan agamanya. Suatu seksi khusus dari Biro yang didirikan sesuai dengan Pasal 136, akan bertanggung
jawab
atas
segala
tindakan
yang
perlu
diambil
untuk
mengidentifikasi anak-anak yang identitasnya diragukan. Keterangan-keterangan mengenai ibu-bapak atau keluarga mereka yang dekat, selalu harus dicatat apabila ada. Kekuasaan Pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya tindakan-tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan dan perlindungan terhadap akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan dan yang telah diadakan untuk manfaat anak-anak di bawah lima belas Tahun, wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak di bawah tujuh Tahun (Pasal 50). Apabila seluruh atau sebagian dari penduduk sesuatu wilayah yang diduduki tidak mempunyai persediaan-persediaan cukup, maka Kekuasaan Pendudukan harus menyetujui rencana-rencana pemberian bantuan bagi penduduk tersebut, dan harus membantu rencana-rencana tersebut, dengan segala kesanggupan yang ada padanya. Rencana-rencana bantuan tersebut, yang mungkin diadakan, atau oleh negara-negara atau organisasi-organisasi kemanusiaan yang tidak memihak
Universitas Sumatera Utara
seperti Komite Palang Merah Internasional, terutama harus berisikan pemberianpemberian kiriman bahan makanan, persediaan obat-obatan dan pakaian. Semua Pihak Peserta harus mengizinkan lalul lintas bebas daripada kiriman-kiriman ini, dan harus menjamin perlindungannya. Akan tetapi suatu negara yang mengizinkan perjalanan bebas kirimankiriman yang menuju ke wilayah yang diduduki oleh pihak lawan dalam sengketa, berhak untuk memeriksa kiriman-kiriman itu untuk mengatur perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana perjalanan yang telah ditentukan, dan berhak untuk mendapat jaminan sepantasnya dari Negara Pelindung bahwa kiriman-kiriman itu akan dipergunakan untuk menolong penduduk yang membutuhkannya dan tidak akan dipergunakan untuk keuntungan Kekuasaan Pendudukan (Pasal 59). Kiriman-kiriman sumbangan sekali-sekali tidak akan membebaskan Kekuasaan Pendudukan dari kewajiban dan tanggung jawab apapun dibawah Pasal 55, 56 serta Pasal 59. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga tidak boleh membelokkan kiriman-kiriman sumbangan itu dari tujuannya yang dimaksudkan semula, kecuali dalam hal-hal keperluan yang mendesak, guna kepentingan-kepentingan penduduk wilayah yang diduduki dan dengan persetujuan Negara Pelindung (Pasal 60). Pembagian kiriman-kiriman sumbangan yang tercantum dalam pasal-pasal di atas, harus diselenggarakan dengan kerja sama dan di bawah pengawasan Negara Pelindung. Kewajiban ini, dengan persetujuan dari Kekuasaan Pendudukan dan Negara Pelindung, dapat juga diserahkan kepada suatu Negara
Universitas Sumatera Utara
Netral, kepada Komite Palang Merah Internasional atau kepada setiap badan kemanusiaan lain yang tidak memihak. Kiriman-kiriman tersebut harus dibebaskan dari segala biaya, kewajibankewajiban pajak atau bea dalam wilayah yang diduduki, kecuali apabila hal itu diperlukan demi kepentingan ekonomi wilayah itu. Kekuasaan Pendudukan harus memberi kelonggaran-kelonggaran untuk membantu pembagian yang cepat daripada kiriman-kiriman itu. Segenap Pihak Peserta Agung harus berusaha untuk mengizinkan lalu lintas dan pengangkutan yang bebas biaya dari pada kiriman-kiriman sumbangan tersebut dalam perjalanan kiriman-kiriman itu menuju wilayah yang diduduki (Pasal 61). Sebaliknya Penguasa Pendudukan, berdasarkan ketentuan pasal 64 Konvensi Jenewa IV, dapat membentuk peraturan perundang-undangan sendiri. Mereka, berdasarkan pasal 66 Konvensi Jenewa IV, juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat non-politis.16 Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 64 dan 66 Konvensi Jenewa IV : Perundang-undangan hukum pidana wilayah yang diduduki akan tetap berlaku, dengan pengecualian bahwa undang-undang tersebut dapat dicabut atau ditangguhkan pelaksanannya oleh Kekuasaan Pendudukan dalam hal-hal dimana undang-undang ini merupakan suatu ancaman terhadap keamanannya atau merupakan penghalang bagi pelaksanaan Konvensi ini. Dengan mengingat pertimbangan yang disebut terakhir di atas dan untuk menjamin pelaksanaan 16
Ibid, hal. 174.
Universitas Sumatera Utara
peradilan yang efektif, pengadilan wilayah yang diduduki harus terus melakukan tugasnya berkaitan dengan segala kejahatan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana termaksud. Akan tetapi Kekuasaan Pendudukan boleh menggunakan ketentuanketentuan hukum atas penduduk wilayah yang diduduki, yang perlu untuk memungkinkan Kekuasaan Pendudukan memenuhi kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini, untuk memelihara pemerintahan yang teratur dari wilayah dan untuk menjamin keamanan Kekuasaan Pendudukan, anggota dan harta milik angkatan perang atau pemerintah pendudukan dan pula untuk keamanan gedunggedung dan saluran-saluran perhubungan-perhubungan yang mereka pergunakan (Pasal 64). Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ditetapkan berdasarkan paragraf kedua dari Pasal 64, maka Kekuasaan Pendudukan dapat menyerahkan si tertuduh kepada pengadilanpengadilan militer yang non politis
dan yang dibentuk dengan sewajarnya,
dengan syarat bahwa pengadilan tersebut bersidang di wilayah negara yang diduduki. Pengadilan-pengadilan banding sebaiknya bersidang di wilayah yang diduduki (Pasal 66). Namun,
adanya
pembentukan
tersebut
tidak
boleh
melepaskan
kewajibanPenguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban, dan untuk menjaga segala infra struktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa
Universitas Sumatera Utara
Pendudukan juga harus menghormati dan menerapkan asas-asas hukum umum (general principles of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan (Pasal 67 Konvensi Jenewa IV); pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap kasus pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 68 Konvensi Jenewa IV).17 Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 67 dan 68 Konvensi Jenewa IV : Pengadilan-pengadilan itu hanya boleh menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang telah berlaku sebelum pelanggaran yang dituduhkan, dan yang sesuai dengan azas-azas hukum umum, terutama azas bahwa hukuman harus seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengadilan-pengadilan itu harus turut mempertimbangkan hal bahwa yang tertuduh seorang warga negara Kekuasaan Pendudukan (Pasal 67). Orang-orang yang dilindungi yang telah melakukan suatu pelanggaran yang khusus ditujukan untuk merugikan Kekuasaan Pendudukan akan tetapi yang tidak merupakan suatu percobaan atas jiwa dan raga anggota-anggota tentara atau administrasi pendudukan, yang juga tidak merupakan suatu bahaya kolektif besar, maupun yang tidak merusak dengan hebat harta milik tentara dan administrasi pendudukan atau instalasi-instalasi yang dipakai mereka, dapat dikenakan interniran atau hukuman penjara biasa, asal saja lamanya interniran atau hukuman 17
Ibid, hal. 174.
Universitas Sumatera Utara
penjara itu seimbang dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Selanjutnya, penginterniran atau hukuman penjara untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut, merupakan tindakan satu-satunya yang boleh dipakai untuk merampas kebebasan orang-orang yang dilindungi. Pengadilan-pengadilan yang dimaksudkan oleh Pasal 66 dari Konvensi ini dapat, atas kebijaksanaan sendiri, merubah hukuman penjara menjadi interniran untuk jangka waktu yang sama. Peraturan-peraturan hukum pidana yang diumumkan oleh Kekuasaan Pendudukan sesuai dengan Pasal-pasal 64 dan 65 hanya dapat menetapkan hukuman mati atas diri seseorang yang dilindungi, dalam hal-hal dimana orang itu bersalah melakukan pekerjaan mata-mata, perbuatan sabotase yang berat terhadap instalasi-instalasi militer Kekuasaan Pendudukan, atau karena pelanggaran-pelanggaran yang disengaja yang dapat dihukum dengan kematian di bawah hukum wilayah yang diduduki yang berlaku sebelum pendudukan dimulai. Hukuman mati itu tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang dilindungi, kecuali jika pengadilan sudah memperhatikan terutama hal bahwa karena yang tertuduh itu bukan warga negara Kekuasaan Pendudukan, yang bersangkutan tidak terikat pada Kekuasaan Pendudukan oleh kewajiban kesetiaan. Bagaimanapun juga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang dilindungi yng berumur di bawah delapan belas Tahun pada waktu pelanggaran itu dilakukan (Pasal 68). (3) Interniran sipil
Universitas Sumatera Utara
Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal 79135 Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang riil dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan administratif. Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka (Pasal 80 Konvensi Jenewa IV).18 Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 80 Konvensi Jenewa IV : Orang-orang yang diinternir tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka sepenuhnya dan akan dapat melaksanakan hak-hak attendance yang bersangkutan dengan kedudukan sipil yang mereka miliki. Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah : a) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan; b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan suka rela menghendaki untuk diinternir; atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir; c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa Pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alas an mendesak;
18
Ibid, hal. 175.
Universitas Sumatera Utara
d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khusus bettujuan untuk merugikan Penguasa Pendudukan. Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” (TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau system penandaan lainnya yang disepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan. Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut. Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara para pihak yang bersengketa.19
19
Ibid, hal. 175-176.
Universitas Sumatera Utara
2. Perlindungan Khusus Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan khusus), maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindung (protected). ‘Dihormati’ berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa bersenjata; sedangkan pengertian ‘dilindungi’ adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.20
D. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang Berbeda dari ketiga Konvensi Jenewa Tahun 1949, Konvensi mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan daripada Konvensi-Konvensi yang telah ada, melainkan adalah suatu Konvensi 20
Ibid, hal. 176-177.
Universitas Sumatera Utara
yang sama sekali baru. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hakhak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis. Ketentuan-ketentuan inilah yang berlaku ketika Perang Dunia II terjadi, disamping azas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil yang tak bersenjata, sebagai orang yang berdiri diluar perang. Pengalaman selama Perang Dunia II ini, baik di Eropa maupun di Asia menunujukkan betapa kurang sempurnanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas bagi perlindungan penduduk sipil terhadap tindakan sewenang-sewenang dari pihak lawan. Kenyataan bahwa perang
modern
merupakan
perang
yang
total,
mengakibatkan
bahwa
perlindungan yang diberikan oleh hukum perang tradisionil secara negatif dengan menempatkannya diluar perang jelas tidak memadai lagi. Kenyataan perang modern menunjukkan bahwa penduduk sipil tidak bisa lagi dianggap berdiri diluar perang. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif dari netralisasi dari perbuatan musuh yang hanya menghindarkan mereka dari serangan yang langsung. Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan Den Haag tersebut di atas. Akan tetapi ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap, karena hanya mengatur perlindungan penduduk dipil di wilayah yang diduduki. Peraturan Den Haag tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan dan perlindungan hak penduduk sipil musuh di wilayah pihak dalam pertikaian sendiri, dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan penduduk sipil yang diinternir.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tindakan darurat maka dalam Perang Dunia II, atas usul Komite Internasional Palang Merah, interniran sipil di wilayah pihak yang berperang diperlakukan sesuai dengan ketentuan –ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1929 mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang sayang sekali tidak diperluas pada perlakuan terhadap interniran sipil di wilayah yang diduduki. Kekurangankekurangan dalam ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil di waktu perang ini telah menimbulkan banyak korban dan penderitaan, terutama sebagai akibat deportasi, penyanderaan dan penahanan di kamp-kamp konsentrasi. Konvensi ini yang disusun berdasarkan pengalaman yang menyedihkan itu bertujuan untuk menghindarkan berulangnya bencana tersebut di atas. Kenyataan bahwa Konvensi ini untuk sebagian mengatur hal yang sama dengan apa yang telah diatur oleh Peraturan Den Haag, bahkan mengandung ketentuan yang bersamaan, tidak berarti bahwa Konvensi ini menggantikan ketentuanketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam Peraturan Den Haag. Ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang merupakan tambahan dan penyempurnaan daripada Seksi II dan III Peraturan Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan Peperangan di Darat.21 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara khusus mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan. Banyak ketentuan pasalnya berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap 21
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal. 75-76.
Universitas Sumatera Utara
penduduk sipil yang berada di wilayah Penguasa Pendudukan, daripada pasalpasal yang mengatur tentang aturan berperang. Konvensi ini menjawab tantangan timbulnya suatu trauma akibat pemboman yang dilakukan melalui udara (terjadi pada 1939 dan 1945), yang merupakan realitas buruk yang harus diterima akibat dibomnya kota berpenduduk padat. Hal ini mungkin merupakan suatu konsekuensi dari kegagalan Draft Rules on Air Warfare yang dirancang di Den Haag pada Tahun 1923. Penolakan terhadap Draft ini dan meletusnya Perang Dunia II, menggambarkan bahwa negara-negara belum siap menerima larangan untuk menyerang dan menteror penduduk sipil musuh. Oleh karena itu, menurut Konvensi Jenewa, orang-orang sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan ketika peperangan sedang berlangsung. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam pasal 18 Konvensi Jenewa I dan pasal 19 Konvensi Jenewa IV yang mengatur tentang perlindungan terhadap petugas sipil medis dan rohaniawan, dan perlindungan umum untuk melaksanakan tugas-tugas medis. Walaupun negara-negara secara umum mengakui bahwa suatu serangan harus hanya ditujukan kepada sasaran militer, namun tidak ada defenisi yang dapat disetujui mengenai apa saja yang termasuk dalam sasaran-sasaran militer. Kenyataannya, selama Perang Dunia II dan selama sengketa-sengketa bersenjata yang terjadi setelah itu, setiap belligerent menentukan sendiri apa yang harus disetujui tentang sasaran-sasaran militer. Harus dicatat bahwa gagasan negaranegara seringkali berbeda, tergantung dari sudut pandang mana mereka melihatnya. Misalnya, ada negara yang menyatakan suatu sasaran militer
Universitas Sumatera Utara
tergantung dari apakah suatu daerah itu wilayah mereka atau wilayah musuh, atau merupakan wilayah sekutu yang diduduki pihak musuh. Oleh karena itu, suatu defenisi yang bersifat restriktif diperlukan apabila hendak membedakan kombatan dan penduduk sipil serta sasaran militer dan obyek sipil. Namun, defenisi demikian belum terakomodasi dalam Konvensi Jenewa 1949.22 Di dalam Konvensi Jenewa IV pengertian orang-orang yang dilindungi adalah lain sekali dengan pengertian orang-orang yang dilindungi dalam arti ketiga Konvensi Jenewa lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir daripada pasal 4 yang mengatakan bahwa orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa ke-I, II, dan III tidak dapat dipandang sebagai orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV. Dengan perkataan lain, unsur pokok daripada pengertian orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah bahwa ia itu adalah penduduk sipil. Jika demikian, apakah seluruh penduduk sipil suatu negara itu merupakan orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV ? Pasal 4 yang mengatur soal ini memuat batasan (defenisi) sebagai berikut : “Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu Pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka. Warga negara suatu Negara yang tidak terikat oleh Konvensi tidak dilindungi oleh Konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah 22
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Op.Cit., hal. 202-203.
Universitas Sumatera Utara
yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara dalam tangan mana mereka berada Akan tetapi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13, ketentuan-ketentuan Bagian II mempunyai lingkungan berlaku yang lebih luas. Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota-anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang tanggal 12 Agustus 1949, tidak akan dipandang sebagai orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi ini.” Secara mudah dapatlah dikatakan bahwa orang-orang yang dilindungi menurut pasal 4 adalah penduduk sipil negara dalam pertikaian yang telah jatuh kedalam kekuasaan musuh, atau apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai mereka, orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah penduduk sipil musuh. Karena selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, dapat juga orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV itu dirumuskan sebagai : 1. Warganegara sipil musuh di wilayah negara pihak dalam pertikaian. 2. Penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki terkecuali:
Universitas Sumatera Utara
a.) Warganegara negara pendudukan sendiri. b.) Warganegara negara sekutu. c.) Warganegara negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan negara pendudukan. d.) Warganegara negara bukan peserta konvensi. Pengertian yang tepat tentang apa yang diartikan dengan orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV perlu kita miliki karena untuk mereka itulah Konvensi ini telah disusun. Seluruh Konvensi Jenewa IV didasarkan atas pengertian orang-orang yang dilindungi tersebut di atas, kecuali sebagian kecil yaitu Bagian II (pasal 13 sampai dengan 26) yang berlaku untuk seluruh penduduk wilayah yang dikuasai Pihak dalam pertikaian. Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan di atas yang diberikan Konvensi kepada orang-orang yang dilindungi tersebut diatur dalam pasal 5. Pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam pertikaian atau wilayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan keamanan Negara, kehilangan hak-haknya sebagai orang yang dilindungi dibawah Konvensi ini. Termasuk di dalamnya orang-orang yang melakukan atau dicurigai melakukan pekerjaan mata-mata dan sabotase. Walaupun demikian, mereka tetap harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan apabila diadili, mereka berhak memperoleh jaminan-jaminan peradilan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini. Karena hilangnya hak-hak sebagai orang-orang yang dilindungi merupakan sanksi yang berat, apalagi bagi orang yang hanya dicurugai keras, maka kalimat terakhir pasal
Universitas Sumatera Utara
5 menetapkan, bahwa mereka secepat-cepatnya akan diberi kembali hak-hak dibawah Konvensi ini apabila hal itu tidak bertentangan dengan keselamatan Negara atau Kekuasaan Pendudukan. Ketentuan di atas yang telah dimuat untuk menjaga kepentingan militer pihak-pihak dalam pertikaian, dapat dipahamkan karena tanpa pembatasan demikian hak-hak dan perlakuan istimewa, mudah disalahgunakan untuk tujuantujuan yang bertentangan dengan kepentingan militer pihak lawan. Akibat daripada perang modern yang bersifat total adalah bahwa tidak saja perlindungan yang diberikan hukum perang harus diluaskan pada penduduk sipil, tetapi juga bahwa kepada pihak-pihak dalam pertikaian harus diberikan jaminan yang lebih banyak bahwa perlindungan demikian tidak akan disalahgunakan.23
23
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 76-78.
Universitas Sumatera Utara