BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Makna Fashion Fashion adalah istilah umum untuk gaya populer atau praktek, khususnya di pakaian, sepatu, atau aksesoris. Mode referensi untuk sesuatu yang tren saat ini dalam tampilan dan berdandan seseorang. Gaya yang berlaku dalam perilaku juga. Istilah yang lebih teknis, kostum, telah menjadi begitu terkait di mata publik dengan "mode" istilah yang istilah yang lebih umum "kostum" telah populer digunakan sebagian besar telah diturunkan ke indera khusus seperti pakaian mewah atau menyamar pakai, sedangkan istilah "mode "berarti pakaian pada umumnya, dan studi itu. Untuk melihat lintas-budaya yang luas di pakaian dan tempatnya dalam masyarakat, lihat entri untuk pakaian, kostum, dan kain. Sisa dari artikel ini berkaitan dengan mode pakaian di dunia Barat1. Menurut Jean Baudrillard fashion adalah dalam satu pengertian, tahapan akhir bentuk komoditas “Dengan percepatan dan perkembangan pesan, informasi, tanda dan model, maka fashionsebagai lingkaran total dan dunia komoditas linier akan selesai”2. Seperti yang terjadi saat ini perkembangam teknologi memudahkan kita untuk mendapatkan berbagai informasi termasuk iklan. Jean Baudrillard menyelidiki dunia fashion sebagai sebuah paradigm dominasi kode. Dalam fashion, semua yang kita lihat adalah “permainan sederhana penanda-penanda”3. Tidak hanya itu saja fashion tidak merujuk pada segala sesuatu yang nyata, bahkan ia juga tidak 1
Nadia. Fashion bagian terpenting dari Kehidupan Sehari-hari . Di ambil dari http://Elvierameldawati.Blogspot.Com. Di akses tanggal 13 Juni 2008
2
Baudrillard dalam Ritzer,(2006). Teori sosial Postmodern. Yogyakarta: PT. Kreasi Wacana. Hal: 160 3
Ibid
menggiring ke manapun. Fashion tidak menciptakan segala-galanya, tetapi hanya menciptakan kode. Artinya, fashion diciptakan tidak “menurut determinasinya sendiri, melainkan dari model itu sendiriitulah sebabnya ia tidak pernah diciptakan tetapi selalu dan serta merta direproduksi. Model itu sendiri menjadi satu-satunya”. Stone mengemukakan, pakaian menyampaikan pesan4. Dalam hal ini pakaian merupakan media komunikasi yang penting. Pakaian bisa dilihat sebelum kata-kata terdengar. Pesan yang dibawa oleh pakaian bergantung pada sejumlah variabel, seperti latar belakang budaya, pengalaman dan sebagainya. Sebagai media yang komunikatif, pakaian memiliki beberapa fungsi. Specht menyebut ada tiga dimensi informasi tentang individu yang disebabkan oleh pakaian, yaitu emosi, tingkah laku, dan diferensiasi5. Pertama, pakaian melambangkan dan mengomunikasikan informasi tentang emosi komunikator. Hal ini dapat dilihat dengan adanya istilah-istilah Glad Rags (pakaian ceria), Widow’s Weed (pakaian berkabung), dan Sunday Clothes (pakaian hari minggu/baju santai). Bila dilihat lebih luas, pakaian juga dipergunakan untuk membangkitkan emosi massa dalam patriotisme dan nasionalisme, seperti baju hijau PPP (Partai Persatuan Pembangunan), semangat mental (merah total), PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan baju kuning GOLKAR (Golongan Karya). Kedua, pakaian juga berpengaruh terhadap tingkah laku pemakainya sebagaimana juga tingkah laku orang yang menanggapinya. Polisi dijalan yang tidakberseragam bisa kehilangan identifikasi sosial, dan tentunya kehilangan kekuasaan untuk membentak supir angkutan kota (kecuali bila di tangannya tergenggam sepucuk pistol). Jadi, dengan menggunakan seragam
4
Sihabudin Ahmad, Op,cit: 84 Ibid 109
5
tertentu pada dasarnya orang telah menyerahkan haknya sebagai individu untuk bertindak bebas, dan selanjutnya ia harus menyesuaikan dan tunduk pada kelompoknya. Ketiga, pakaian berfungsi untuk membedakan seseorang dengan orang lain atau kelompok satu dengan kelompok lain. Dari pakaian kita dapat membedakan apakah seseorang anggota kelompok musik rock, dangdut atau keroncong. Kita juga dengan segera bisa membedakan apakah seorang murid SD, SMP atau SMA dari pakaian seragam yang dikenakannya. Masalahnya, manakala kita berada di kota besar seperti Jakarta, akan sulit membedakan apakah seorang pegawai, mahasiswa atau pencopet; lantaran tidak sedikit pencopet di Jakarta yang berpakaian necis dan berdasi. Juga akan sulit membedakan apakah seorang wanita itu ibu rumah tangga, mahasiswi, karyawan, pembantu, atau pelacur. Karena banyak pembantu yang berpakaian dan berdandan ala majikan, dan tidak sedikit mahasiswi berpakaian dan bersolek macam pelacur. Zweig mengemukakan, kelompok umur yang berbeda akan membedakan pula kebiasaan mereka dalam hal berpakaian6. Remaja usia 20-25 tahun akan membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian dua kali dibanding orang yang berusia 45-50 tahun, dan tiga kali dibanding orang tua 65-70 tahun. Anak-anak muda biasanya menggunakan pakaian yang bervariasi dan mencolok, sedangkan orang tua lebih suka pakaian sederhana dan kuno. Dosen-dosen muda biasanya enggan memakai baju yang menunjukkan identitasnyasebagai pegawai negeri, sementara senior hampir setiap hari menggunakan safari. Ada tiga kategori pengertian pakaian sebagai media komunikasi yang ditimbulkan. Pertama, derajat penerimaan orang lain terhadap pakaian seseorang sebagai masa kini cerah, dan cantik. Kedua, derajat dimana pakaian dapat menjelaskan peran social pemakai dan pembuatnya
6
ibid hal 109
tampak feminim atau meskulin. Ketiga, derajat yang menentukan apakah pakaian seseorang kan membuatnya tampak resmi atau santai7. Pakaian tampaknya merupakan faktor yang penting pula dalam kesan pertama. Kepada pria dan wanita diajukan pertanyaan hal-hal yang mereka perhatikan sebagai kesan pertama. Wanita akan memperhatikan pakaian saat pertama jumpa dengan seseorang, baik pria maupun wanita. Pria juga melihat pakaian pada jumpa pertama dengan sesama lelaki, tetapi ketika pertama jumpa wanita, pakaian merupakan hal ketiga setelah bentuk tubuh dan wajah. Chaney juga mengatakan bahwa pada akhir modernitas semua yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan (a culture of spectacle). Semua orang ingin menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Ingin melihat tapi sekaligus juga dilihat 8. Disinilagh fashion mulai menjadi modus keberadaan manusia modern: kamu bergaya maka kamu ada. Kalau kamu tidak bergaya, siap-siaplah untuk dianggap tidak ada diremehkan, diabaikan, atau mungkin dilecehkan. Itulah sebab mungkin orang sekarang perlu memperhatikan yang namanya fashion. Kampus kini tak lagi hanya menjadi tempat bagi seseorang dalam menuntut ilmu dan mengkaji pendidikan yang lebih tinggi. Namun kampus kini juga telah menjadi ajang trend fashion. Terbukti dari banyaknya mahasiswi yang mengenakan pakaian dengan bermaca-macam gaya yang menarik mata untuk melihatnya. Fashion saat ini beraneka ragam macamnya. Dimulai dari pakaian, celana, rambut, sepatu, kutek, behel (kawat gigi), pemakaian softlense, kalung, gelang, tas dan sebagainya. Hal-hal tersebut sebagai penunjang dalam berpenampilan oleh seseorang.. Dalam hal ini, penulis akan menulis mengenai fashion yang sedang tren dikalangan mahasiswa saat ini. Fashion saat ini merupakan hal yang menjadi penunjang kehidupan 7
Ibid hal 110 Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Popular Sebagai Komunikasi. Yogyakarta :
8
Jakasutra
seseorang terutama wanita. Dengan fashion, seseorang akan menjadi lebih percaya diri, lebih terlihat cantik dan menarik. Fashion dari seorang wanita dapat menjadi perhatian bagi seseorang. Fashion sendiri merupakan bagian dari gaya hidup seseorang (wanita terutama), tak sedikit juga pria yang mengikuti tren fashion di zaman sekarang. Seseorang yang sangat fashionable secara tidak langsung mengkonstruksi dirinya sebagai seseorang dengan gaya hidup modern dan selalu mengikuti tren yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dunia modern, gaya hidup membantu menentukan sikap dan nilai-nilai serta menunjukkan status sosial9.Seseorang yang fashionable biasanya mengikuti tren atau seseorang yang menjadi idola nya dalam mengikuti gaya berpakaian maupun gaya rambut dan sebagainya Banyak mahasiswa yang berpakaian dengan menggunakan beberapa aksesories sebagai penunjang dalam berpenampilan. Disalah satu kampus, para mahasiswa wanita ada yang menggunakan high heels/wedges, flat shoes, dan memakai pakaian sesuai perkembangan sekarang ini. Banyak sekali kita temukan beberapa mahasiswa wanita atau bahkan hampir seluruhnya memilki cara berpakaian/fashion tersendiri dan keunikan masing - masing. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dijelaskan bahwa mahasiswa membelanjakan uangnya untuk membeli suatu produk fashion tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka akan sandang, tetapi lebih dari itu. Mereka tidak melihat nilai guna dari produk fashion yang mereka konsumsi tetapi melihat tanda di balik produk fashion yang mereka konsumsi. Tanda di balik pakaian yang melekat di tubuhnya, tas yang membebani pundaknya, jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sepatu yang menemani langkahnya kemana mereka pergi.
9
Http://.Cita.Cinta.(2007).Com/erdas/dunia.kampus/tribal.shoes.html
Memakai produk bermerk “A” bukan karena produk itu lebih nyaman dipakai, tetapi produk bermerk “A” mempunyai status yang lebih tinggi dibanding merk lainnya. 2.2 Gaya Hidup Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi sehri-hari kita dapat menerapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa perlu menjelaskan apa yang kita maksud, dan kita benar-benar tertantang serta mungkin sulit menemukan deskripsi umum mengenai hal-hal yang merujuk pada gaya hidup. Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain. Hal itu tidak berarti untuk mengatakan bahwa gaya hidup relevan dengan kehidupan setiap orang, dan kita dapat dengan mudah membayangkan bahwa ada orang (yang mungkin menyebut dirinya “manusia sejati” (real people) yang akan menyangkal bahwa mereka memiliki atau menginginkan suatu gaya hidup. Namun secara umum gaya hidup dapat digunakan dalam wacana publik tanpa perlu memperumit atau menganggapnya sebagai sebuah jargon. Oleh sebab itu, gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dunia modern. Surve TGI menunjukkan tiga tipe utama gaya hidup kelas menengah yang kita labeli: asketis, posmodern, dan awam. Kesemuanya cenderung memiliki basis sosial yang unik pada kelas menengah, yang pertama diantara para profesional dan spesialis sektor swasta, yang ketiga di antara para manajer dan birokrat pemerintah. Akan tetapi, proses-proses tersebut jalinmenjalin dengan hal-hal mengenai gender, usia, dan lokasi.(savage et al. 1992:127). Gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam penggunaan, pemahaman, atau penghargaan artefak-artefak budaya material untuk menegosiasikan permainan kriteria status dalam konteks sosial yang tidak diketahui namanya. Jelas bahwa perbedaan gaya hidup merupakan makna simbolik dari artefak-artefak tersebut, yaitu apa yang terlihat mengekspresikan tentang dan melebihi identitas mereka yang jelas. Tentu saja barang-barang seperti setelan mampu, tetapi kualitas “rekayasa teknis” mereka merupakan unsur dalam identitas yang lebih kompleks. Kandungan gaya hidup (yaitu apa yang menyusunnya begitu pula apa yang bersangkutpaut dengannya) sebagai suatu yang benar-benar simbolik, adalah bahwa industrialisasi telah menjadikan dunia benda begitu kompleks dan terbedakan dengan halus.
2.3 Mahasiswa dan Kehidupan Kampus Pengertian mahasiswa adalah komunitas yang diharapkan dapat menerapkan pendidikan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa merupakan seorang individu yang sedang menjalani kurun waktu tertentu dalam dunia pendidikan, terjembatinya atau dikomunikasikannya antara masa pendidikan teoritis dengan masa pendidikan yang mulai mencocokan realitas sosial di luar lingkungan kampus dengan kaidah-kaidah teoritis yang mereka pelajari dan disinilah bermula wawasan idealism sebagai akibat hasil refleksinya antar pengetahuan social yang ada dengan kaidah nilai universal yang mereka pelajari atau yakini 10. Tiap mahasiswa mempunyai identitas sendiri baik itu karekter, sifat yang ada dalam diri sendiri ataupun identitas yang melekat dalam diri manusia berasal dari luar misalnya status sosialnya dimata manusia lain. Perilaku individu dapat dipelajari dengan identitas yang muncul baik itu sifat, sikap, kata-kata (pernyataan) atau perbuatan yang dilakukan mahasiswa.Dengan demikian mahasiswa denga pendidikan yang dimilikinya maka akan memperoleh ruang interaksi dan mobilitas yang luas tidak hanya didalam kampus namun juga diluar kampusnya. Interaksi dan mobilitas yang dilakukan mahasiswa bisa sebagai bentuk pencarian di identitas seorang mahasiswa. Seiring perkembangan jaman yang ditandai dengan merebaknya berbagai bentuk fashion modern, mahasiswa yang diharapkan mempunyai kemampuan sebagai agent of change tersebut telah banyak berkurang. Mahasiswa datang dari berbagai daerah. Kehidupan dikampung asalnya tentu berbeda dengan kehidupan disekitar kampus yang mayoritas telah terpenuhi oleh fasilitas-fasilitas gaya hidup modern. Maka mahasiswa yang sudah terlena dengan berbagai fasilitas-fasilitas tersebut akan menjadi individu yang tidak mampu memilih hal-hal yang 10
Ishak.gaya hidup konsumtif di kalangan mahasiswa unnes sebagai upaya peningkatan prestise dalam lingkungan kampus. (diakses tanggal 14 juni 2013)
bermanfaat bagi dirinya sehingga senantiasa membeli banyak barang baru untuk mengikuti tren perekembangan jaman. Sebaliknya mahasiswa yang tidak terpengaruh akan tetap konsisten pada tujuannya menjadi seorang mahasiswa yang sebenarnya yaitu menuntut ilmu dalam perkuliahan atau berorientasi pada akademisnya. Mahasiswa merupakan suatu kelompok pemuda yang kelak akan berhasil memperoleh pendidikan yang memadai, luas jaringan informasi serta merasa intim dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Alfian mengemukakan ada tiga hal atau sifat yang mewarnai persepsi, sikap dan tingkah laku mahasiswa maupun kelompok pemuda sebagai orang-orang muda yang berhasil menjadi pejuang nasionalis dan endekiawan bangsa yang bermutu dan berintegritas tinggi yaitu11: a. Keberanian mereka untuk memahami diri dan bangsanya secara jujur dan kriris; b. Keterbukaan terhadap pembaharuan dan perubahan; c. Rasa kesetiakawanan atau solidaritas yang dalam terhadap sesama bangsanya. Kampus atau perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi sarana membentuk karakter mahasiswa seperti yang dikemukakan oleh Alfian diatas sehingga mampu menjelma sebagai generasi penerus dalam mempelopori kemajuan bangsa dan dapat memcahkan segala konflik atau ketimpangan- ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Kampus dianggap sebagai tempat belajar yang cukup kompeten karena mahasiswa dapat menggantungkan impian, cita- cita, dan masa depan. Ruang kuliah sebagai pusat ilmu dimana mahasiswa tak sekedar dating untuk kuliah, ujian, dan kumpul tetapi kampus menjadi agen pengembangan bakat dan penanaman nilai-nilai, sehingga dari ruang kuliah dan berbagai kegiatan kampus itu diharapkan akan lahir mahasiswa yang kreatif, kritis, bertanggungjawab, dan bermoral.
11
Ibidhal 85
Beberapa penelitian tentang fashion, sebagai berikut:Pola konsumsi pelajar, khususnya konsumsi produk fashion akhir-akhir ini diperkirakan mengalami peningkatan. Pelajar tertarik mengkonsumsi produk fashion karena untuk mengikuti trend anak muda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola konsumsi produk fashion dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi produk fashion di kalangan pelajar putri SMA Negeri 7 Surakarta. Teori yang digunakan dalam penelitian in adalah teori behavioral sociology yang memusatkan perhatian pada hubungan antara akibat tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor dan teori postmodern Jean Baudrillard. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk mempelajari, dan menggambarkan pola konsumsi produk fashion di kalangan pelajar putri. Pengambilan sampel penelitian ini adalah non probabilitas purposive sampling. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh dari data tertulis seperti buku, dokumen dan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam menganalisis data terdapat tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan serta verifikasinya. Untuk menguji validias data digunakan trianggulasi sumber dan trianggulasi metode. Trianggulasi data yaitu teknik emeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tu. Sumber lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang tua, guru dan teman sepermainan. Trianggulasi mencerminkan suatu upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti12. Penelitian menunjukan bahwa pola konsumsi pelajar putri cenderung tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari persepsi mereka tentang fashion, intensitas membeli produk fashion, dan
12
Tiyas Purbaningrum. Pola konsumsi produk fashion di kalangan pelajar putri, Sripsi.Universitas Sebelas Maret Surakarta. Agustus 2008: Hal 72
frekuensi pergi ke mall. Pelajar putri yang menganggap fashion penting dalam hidupnya cenderung lebih konsumtif karena mereka akan berusaha untuk mengikuti perkembangan fashion. Mereka membeli produk fashion agar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Mall menjadi tempat mereka untuk berbelanja produk fashion. Semakin sering pergi ke mall maka pola konsumsinya semakin tinggi. Pola konsumsi pada pelajar putri dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor psikologis, kondisi ekonomi, media informasi. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sepermainan. Faktor psikologis lebih dikarenakan kondisi jiwa pelajar yang masih labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Kondisi ekonomi terkait dengan kondisi ekonomi keluarga, semakin besar pendapatan orang tua maka uang saku yang diberikan semakin besar dan pola konsumsinya semakin tinggi. Media informasi mengarah pada iklan. Iklan mendorong pelajar untuk bersikap agresif dalam mengkonsumsi produk fashion. Penelitian ini memiliki berbagai tujuan, Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana Daya tarik trend fashion Korea sebagai budaya popler di kalangan mahasiswa kota Bandung. Penelitian ini dirancang untuk menjawab permasalahan di atas, maka penelitian ini mempunyai sub fokus pada hal berikut: Kekuatan atau kelebihan dari pemakaian fashion Korea, penampilan dari fashion Korea dan pemakaian media massa trend fashion Korea. Sub fokus digunakan untuk menjelaskan fokus dari penelitian ini yang berjudul Daya Tarik trend fashion Korea sebagai budaya populer di kalangan mahasiswa kota Bandung13. Pendekatan penelitian adalah kualitatif dengan studi deskripstif, dengan mahasiswa sebagai subyek utama. Informan dipilih dengan teknik purposive sampling, para informan dari penelitian ini adalah 5 (lima) orang mahasiswa, dan untuk memperjelas dan memperkuat data 13
Dara Tressia. Daya TarikTrend Fashion Korea sebagai Budaya Populer, skripsi, Muhammadiah Bandung. Juni 2012: Hal 38 .
Universitas
informan, ada 2 (dua) orang sebagai informan kunci. Data penelitian diperoleh melalui pencarian data dengan cara wawancara, observasi, dokumentasi, buku dan pencarian online. Untuk menguji keabsahan data digunakan triangulasi waktu, diskusi dengan teman sejawat dan memberchek. Teknik analisis data adalah reduksi data, pengumpulan data, penyajian data, menarik kesimpulan, dan evaluasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Kekuatan atau kelebihan yang di dapat mahasiswa adalah sebagai media ekspresi dengan gayanya yang membedakan dengan mahasiswa lainnya yang dimana sesuai dengan kepribadiannya 2. Penampilan dari trend fashion Korea yang menarik, unik dan kreatif menjadi daya tarik bagi para mahasiswa yang dimana ditunjang dari pemakaian pakaian, aksesoris, tatanan rambut dan make up 3. Pemakaian Media massa elektronik, cetak dan media sosial memudahkan mahasiswa mendapatkan referensi. Sebagai kesimpulan, adanya daya tarik dari trend fashion Korea menyebabkan suatu Budaya populer yang baru muncul di kalangan mahasiswa kota Bandung. Saran untuk masyarakat khususnya mahasiswa trend mode yang selalu baru tidak selalu harus diikuti mahasiswa apabila tidak merasa nyaman untuk memakainya, yang terpenting harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi., untuk penelitian selanjutnya untuk lebih selektif dalam memilih teori untuk penelitian daya tarik dan menambah kaya penelitian dengan literatur yang lebih banyak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui motif pengguna jilbab gaul terhadap jilbab gaul yang digunakannya, mengetahui makna diri pengguna jilbab gaul terhadap jilbab gaul, pemaknaan pesan artifaktual mahasiswa di Bandung terhadap penggunaan jilbab gaul, dan mengetahui konstruksi yang terdapat pada jilbab gaul di kalangan mahasiswa terhadap pengunaan jilbab gaul. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi Schutz. Selain itu, peneliti menggunakan teori konstruksi realitas sosial dari Berger dan Luckmann dan teori interaksi simbolik dari George Herbert Mead untuk melakukan analisis mendalam14. Hasil penelitian adalah bahwa motif penggunaan jilbab gaul memiliki keunikan tersendiri yaitu motif psikologis, motif modis, modis proses pembelajaran, motif dorongan dari mimpi, motif adaptif, dan motif kombinasi yaitu motif yang bukan hanya satu motif namun multi- motif. Pemaknaan jilbab gaul bagi pengguna jilbab gaul merupakan sebagai pelindung, membatas diri menjadi lebih baik, keharusan, dan pencitraan diri juga sebagai fashion.
2.4 Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial adalah perbedaan individu atau kelompok dalam masyarakat yang menempatkan seseorang pada kelas-kelas sosial sosial yang berbeda-beda secara hierarki dan memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula antara individu pada suatu lapisan sosial lainnya. Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat.Stratifikasi sosial berdasarkan status yang diperoleh melalui usaha-usaha tertentu yaitu diantaranya stratifikasi dalam bidang ekonomi (kelas atas, menengah, dan bawah). Kebanyakan yang lebih memperhatikan fashion atau selalu mengikuti fashion yang ada dari kelas atas karena mereka tidak ingin ketinggalan trend fashion dan gengsi dari teman-teman yang lain.
14
Vivi Suhandayani.” Konstruksi Makna Jilbab Gaul bagi Pengguna Jilbab Gaul” Skripsi, Universitas Muhammadiyah Bandung. April 2009 Hal: 112