BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1 Definisi

gangguan skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan kepribadian paranoid) terjadi pada laju yang meningkat di antara kerabat biol...

379 downloads 342 Views 522KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1 Definisi skizofrenia Sebelum menjadi kata skizofrenia, Emil Kraepelin (1856 - 1926) menyebut dementia praecox yaitu sebuah istilah Yunani yang artinya kemunduran fungsi intelektual (dementia) di usia dini (praecox) yang ditandai dengan daya pikir yang makin lama makin memburuk dan disertai gejala berupa delusi (waham) dan halusinasi. Kata skizofrenia pertama kali diidentifikasi pada tahun 1911, oleh psikiater Swiss Eugen Bleuler yang mengganti nama dementia praecox menjadi skizofrenia. Ia memilih istilah ini untuk mengungkapkan adanya perpecahan antara pikiran, emosi, dan tingkah laku dengan gangguan pada pasien (Sadock and Sadock, 2007). Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi dan perilaku pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, presepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang bizarre. Pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyatan, seringkali masuk dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi (David, 2006) 2.1.2 Epidemiologi skizofrenia Hasil Riskesdas (2013) Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil. World Health Organization (WHO) menyebutkan skizofrenia mempengaruhi lebih dari 21.000.000 orang diseluruh dunia tetapi tidak umum

7 Universitas Sumatera Utara

karena banyak gangguan mental lainnya, lebih umum diantaranya laki-laki (12.000.000), kemudian perempuan (9.000.000). Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya perjalanan penyakit pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa(Sadock dan Sadock, 2007). 2.1.3 Etiologi skizofrenia a.

Faktor genetik Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada

skizofrenia dan proporsi yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi skizofrenia karena adanya pengaruh genetik tambahan. Misalnya, skizofrenia dan gangguan skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan kepribadian paranoid) terjadi pada laju yang meningkat di antara kerabat biologis pasien dengan skizofrenia. Kecenderungan orang yang mengalami skizofrenia berkaitan dengan eratnya hubungan terhadap keluarga yang terkena misalnya: keluarga tingkat pertama atau kedua yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Sadock and Sadock, 2007). Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik Populasi

Prevalensi (%)

Populasi umum Saudara kandung menderita skizofrenia Anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia Kembar dizigotik menderita skizofrenia Anak dengan kedua orang tua menderita skizofrenia Kembar monozigot menderita skizofrenia

1 8 12 12 40 47

8 Universitas Sumatera Utara

b.

Faktor biologik Peran faktor-faktor genetik dalam skizofrenia menunjukkan bahwa faktor-

faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Penelitian ini mengkaji beberapa neurotransmiter yang berbeda seperti norepineprin dan serotonin (David, dkk., 2006). 1.

Hipotesis Dopamin Formulasi

sederhana dari

hipotesis

dopamin

menyatakan

bahwa

skizofrenia dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik. Teori ini berasal dari dua pengamatan. Pertama efikasi dan potensi dari kebanyakkan obat antipsikotik berhubungan dengan kemampuan bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti ampetamin yang merupakan suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktif dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut (Sadock and Sadock, 2007). 2.

Hipotesis Serotonin Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian

skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas berhubungan dengan serotonin yang kuat. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) telah disadari penting untuk menurunkan gejala psikotik

dan

dalam

menurunkan

perkembangan

gangguan

pergerakan

berhubungan dengan antagonisme-D2) (Sadock and Sadock, 2007).

9 Universitas Sumatera Utara

3.

Hipotesis Norepinefrin Walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan norepinefrinmasih

belum jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa sistem norepinefrin memodulasi sistem dopaminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem norepinefrin mempredisposisikan pasien untuk sering relaps (Kaplan, dkk., 2010). 4.

Hipotesis Gamma aminobutyric acid (GABA) Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid

(GABA) juga terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus.Hilangnya neuron inhibitory GABA-ergic secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuronneuron dopaminergik dan norepinefrin(Kaplan, dkk., 2010). c.

Faktor neuropatologi Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang

signifikan yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk skizofrenia,

terutama

pada

sistem

limbik

dan

ganglia

basalis,

termasukneuropatologi atau abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan batang otak (Sadock and Sadock, 2007). d.

Faktor Psikologis dan sosial Semua observasi menunjukkan dengan jelas bahwa skizofrenia tidak dapat

dikaitkan dengan beberapa “paket penyebab” sederhana. Sebagai contoh, tidak semua penderita skizofrenia memiliki ventrikal yang memebesar, mereka juga tidak semuanya mengalami hipofrontalitas atau eksesif dalam sistem dopaminnya.

10 Universitas Sumatera Utara

Gambaran kausalnya mungkin menjadi semkin diperumit oleh faktor-faktor psikologis dan sosial(Durand dan Barlow, 2007). 2.1.4Gejala klinis Skizofrenia ditandai oleh gejala kelainan atau simptom positif dan negatif. 1.

Gejala-gejala positif Yang termasuk pada ini adalah pengalaman delusi dan halusinasi yang

mengganggu. Delusi yakni gejala psikotik yang melibatkan gangguan isi pikiran dan adanya keyakinan kuat, yang merupakan keadaan tidak realisitas. Sedangkan Halusinasi yakni gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat, didengar atau diindra meskipun hal-hal itu tidak nyata atau benarbenar ada (Durand dan Barlow, 2007). 2.

Gejala-gejala negatif Kontras dengan presentasi aktif yang menjadi ciri gejala-gejala positif

skizofrenia, gejala-gejala negatif biasanya menunjukkan ketiadaan atau tidak mencukupinya perilaku normal. Gejala-gejala itu termasuk menarik diri secara emosional maupun sosial, apatis, miskin pembicaraan atau pemikiran (Durand dan Barlow, 2007). 3.

Gejala-gejala disorganisasi Mungkin, gejala skizofrenia yang paling sedikit diteliti dan oleh sebab itu

paling

sedikit

diketahui

adalah

disorganized

symptoms

(gejala-gejala

disorganisasi). Gejala ini meliputi berbagai macam perilaku eratik yang mempengaruhi pembicaraan, perilaku motorik, dan reaksi emosional (Durand dan Barlow, 2007). 2.1.5 Subtipe Skizofrenia

11 Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pada DSM-IV-TR pembagian subtipe skizofrenia secara klasik adalah paranoid, disorganized, katatonik, undifferentiated dan residual (APA, 2010). 1.

Tipe paranoid adalahdi mana keasyikan dengan delusi atau halusinasi pendengaran menonjol secara teratur.

2.

Tipe disorganized adalah dimana adanya kekacauan dalam bicara dan perilaku, dan afek yang tidak sesuai atau datar.

3.

Tipe katatonik adalah di mana gejala karakteristik motorik yangmenonjol.

4.

Tipe residual adalah di mana ada tidak adanya menonjolgejala poskhitif namun terjadi gangguan (misalnya, gejala negatif atau positifgejala dalam bentuk lemah) (APA, 2010).

2.1.6 Diagnosa Skizofrenia Kriteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III atau ICD 10,Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah : dari gejala-gejala dibawah ini harus ada paling sedikit satu gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala kurang jelas) dari salah satu kelompok (a) sampai (d), atau paling sedikit dua dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas pada sebagian besar waktu selama satu bulan satu bulan atau lebih. (a) Thought elco, thought insertion atau thought withdrawl, dan thought broadcasting. (b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion

of

influence),

atau

waham

pasivitas

(delusion

of

passivity)yang jelas merujuk pada gerakan tubuh atau gerakan

12 Universitas Sumatera Utara

extremitas, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensasi) khusus, delusional perception. (c) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. (d) Waham-waham menetap jenis lainnya menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). (e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun ide-ide yang berlebihan (over-value ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus. (f) Arus

pikiran

yang

terputus

atau

yang

mengalami

sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme. (g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisme, mutisme, dan stupor. (h) Gejala-gejala negatif sepertibersikap sikap masabodoh(apatis),

13 Universitas Sumatera Utara

pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika. (i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak bertujuan, tidak malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial. Apabila didapat kondisi yang memenuhi kriteria gejala diatas terapi baru dialami kurang dari satu bulan, maka harus dibuat diagnosis gangguan psikotik skizofrenia akut. Apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan klasifikasi ulang (Maramis dan Maramis, 2009). 2.1.7 Perjalanan Penyakit Skizofrenia Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu fase premorbid, fase prodromal, fase aktif dan fase residual. 1.

Pada fase premorbid ditandai dengan periode munculnya ketidaknormalan fungsi,walaupun hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari efek penyakit tertentu. Indikator premorbid daripsikosis, diantaranya adalah riwayat psikiatri keluarga, riwayat prenatal,dan komplikasi obstetrik dan defisit neurologis. Faktor premorbid lainadalah pribadi yang terlalu pemalu dan menarik diri, hubungan sosial yangkurang baik dan menunjukkan perilaku antisosial (Townsend, 2009).

2.

Pada fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa dalam hitungan minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum

14 Universitas Sumatera Utara

onset psikotik menjadi jelas. Fase prodromal dimulai dengan adanya perubahan fungsi premorbid dan meluas sampai munculnya gejala psikotik. Fase ini dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bulan, tetapi banyak penelitian menyatakan bahwa fase prodromal terjadi antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini tanda-tanda psikotik mulai muncul dengan intensitas rendah. Pengenalan tanda dan gejala dan penanganan pada fase ini perlu diperhatikan agar tidak kberkembang menuju fase aktif (Townsend, 2009). 3.

Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah lakukatatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampirsemua

individu

datang

berobat

pada

fase

ini,

bila

tidak

mendapatpengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saatmengalami eksaserbasi atau terus bertahan (Townsend, 2009). 4.

fase residual dimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapigejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala gejala yangterjadi

pada

mengalamigangguan

ketiga

fase

kognitif

diatas,

berupa

pendenta gangguan

skizofrenia berbicara

juga

spontan,

mengurutkanperistiwa, eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial), dankewaspadaan (Luana, 2007).Fase residual biasanya mengikuti fase aktif penyakit. Selama faseresidual, gejala dari masa akut dapat hilang atau tidak mencolok lagi.Gejala negatif mungkin masih ada, dan afek datar dan kerusakan fungsiperan biasa terjadi. Kerusakan residual biasanya berkembang antaramasa masa aktif psikosis (Townsend, 2009). 2.1.8Pengobatanskizofrenia Pemeriksaan status mental menyeluruh, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

15 Universitas Sumatera Utara

neurologislengkap, keluarga dan sejarah sosial, dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan mengetahui penyebab medis atau zat penyebab umum

psikosis.Sebuah pemeriksaan pretreatment pasien

adalah penting tidak hanya patologi lainnya, tetapi dalam melayani sebagai dasar untukpemantauan potensi efek samping terkait obat, dan harus meliputi: tandatanda vital, hitung darah lengkap, elektrolit, hati fungsi, fungsi ginjal, elektrokardiogram, puasa glukosa serum, lipid serum, fungsi tiroid, dan layar obat urine (Dipiro, dkk., 2008). Antipsikotik Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan. Evektifitas antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai penelitian. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin)/ FGA dan antipsikotik atipikal (antagonis serotonin-dopamin)/SGA. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi pertama atau FGA, tidak ada bukti bahwa obat yang satu lebih baik dari pada yang lain untuk gejala-gejala tertentu (Maramis dan Maramis, 2009). Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan prrofil efek samping dan respons pasien pada pengobatan sebelumnya (Maramis dan Maramis, 2009). Selain memiliki terapi efek, baik pertama dan generasi kedua agen antipsikotik dapat menyebabkan spektrum yang luas dari efek samping (APA, 2010). Dipiro, dkk., (2008)mengelompokkan obat antipsikotik yangbiasa digunakan terdapat pada Tabel 2.2 dan efek samping dari antipsikotik yang biasa digunakan terdapat pada Tabel 2.3 dibawah ini.

16 Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan Obat Antipsikotik FGA/ Tipikal Klorpromazin Fluphenazin Perphenazin Thioridazin Trifluoperazin Haloperidol Loxapin Molindon Thiothixen SGA/Atipikal Aripiprazol Klozapin Olanzapin Paliperidon Quetiapin Risperidon Ziprasidon

Rentang dosis yang dianjurkan (mg/hari)

Ekuivalen Chlorpromazin (mg/hari)

Dosis Maksimum (mg/hari)

100 - 800 2 - 20 10 - 64 100 - 800 5 - 40 2 - 20 10 - 80 10 - 100 4 – 40

100 2 10 100 5 2 10 10 4

2000 40 64 800 80 100 250 225 60

15 - 30 50 - 500 10 - 20 3 -9 250 - 500 2-8 40 – 160

30 900 20 12 800 16 200

Tabel 2.3 Efek samping dari antipsikotik

Antipsikotik Aripiprazol Klorpromazin Klozapin Fluphenazin Haloperidol Olanzapin Perphenazin Quetiapin Risperidon Thioridazin Thiothixen Ziprasidon

Sedasi + ++++ ++++ + + ++ ++ ++ + ++++ + ++

EPS + +++ + ++++ ++++ ++ ++++ + ++ +++ ++++ ++

Anti Kolinergik

Ortostasis

Penambahan Berat Badan

+ +++ ++++ + + ++ ++ + + ++++ + +

+ ++++ ++++ + + ++ + ++ ++ ++++ + +

+ ++ ++++ + + ++++ + ++ ++ + + +

Prolaktin + +++ + ++++ ++++ + ++++ + ++++ +++ ++++

Keterangan: EPS: Extrapyramidal side effects Resiko: rendah (+), sedang (++), sedang tinggi (+++), tinggi (++++) Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008).

17 Universitas Sumatera Utara

Tahap 1: Psikosis episode pertama Mencoba satu antipsikotik Antipsikotik generasi kedua (SGA) disarankan sebagai first-line. Banyak yang kurang setuju menggunakan antipsikotik generasi pertama (FGA) sebagai pilihan pertama. Pasien episode pertama selalu memerlukan antipsikotik dengan dosis rendah dan seharusnya selalu dimonitor karena sangat sensitif terhadap efek samping obat.

FGA = First generation antipsychotic (contoh: loxapin, perfenazin, molindon, haloperidol, trifluoroperazin, thiothixin, Klorpromazin) SGA = Second generation antipsychotic (aripiprazol, olanzapin, quetiapin, risperidon, or ziprasidon)

Tidak Patuh Jika pasien kurang patuh dalam tahap apapun, disediakan antipsikotik long-acting, seperti risperidon microspheres, haloperidol dekanoat, or fluphenazin dekanoat.

Sebagian atau Tidak respon Tahap 2 Gunakan salah satu SGA or FGA (yang tidak digunakan pada tahap 1) Sebagian atau Tidak respon Tahap 3 Klozapin

Clozapin disarankan untuk pasien dengan riwayat bunuh diri (Level A), kekerasan (Level B), or penyalahgunaan obat (Level B/C). Pasien yang berada dalam fase stabil, aktif mengkonsumsi obat secara tekun, akan menghilangkan gejala lebih dari 2 tahun setelah digunakan clozapin.

Sebagian atau Tidak respon Tahap 4–6 berdasarkan pendapat para ahli dan laporan kasus, tidak berdasarkan fakta dari penelitian

Tahap 4 Klozapin + (FGA, SGA, or ECT)

Sebagian atau Tidak respon Tahap 5 Gunakan salah satu SGA or FGA (yang tidak digunakan pada tahap 1 dan 2)

Tahap 6 Terapi kombinasi, misalnya: SGA + FGA, kombinasikan dengan SGA, (FGA/ SGA) + ECT, (FGA/ SGA) + other agen lain (misalnya: obat stabilizier mood)

Gambar 2.1 Algoritma farmakoterapi untuk skizofrenia Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk.,2008)

18 Universitas Sumatera Utara

Dapat dilihat pada Gambar 2.1 menguraikan algoritma farmakoterapi yang disarankan untuk skizofrenia. Tahap 1 dari algoritma pengobatan hanya berlaku untuk pasien yang mengalami episode pertama. Pada pasien ini, mayoritas ahli skizofrenia merasa bahwa SGA harus digunakan pertama kali karena risiko tardive diskinesia yang lebih rendah dibandingkan dengan FGA. Pasien yang belum pernah diobati akan lebih sensitif terhadap terjadinya efek samping ekstrapiramidal, sehingga harus menggunakan dosis yang lebih rendah dari dosis yang dianjurkan (Dipiro, dkk., 2008). Jika pasien telah mencapai respon terapi dengan efek samping yang minimal, maka harus selalu dimonitor obat dan dosis yang sama untuk 6 bulan ke depan. Diskusikan tentang risiko tinggi kambuh dan faktor-faktor yang mungkin meminimalkan risiko kambuh (APA, 2004). Dalam episode pertama skizofrenia, pengobatan farmakologis antipsikotik harus digunakan dengan hati-hati karena risiko lebih tinggi pada gejala ekstrapiramidal (EPS). Strategi yang tepat meliputi penggunaan bertahap obat antipsikotik dengan dosis efektif sekecil mungkin dengan memberikan penjelasan yang cermat. Antipsikotik harus dipilih secara individual, melihat kondisi mental, dan somatik pasien yang berbeda pada efek samping. Namun, efek samping ekstrapiramidal pada SGA lebih rendah sehingga sebaiknya digunakan pada tahap pertama pasien skizofrenia (Dipiro, dkk., 2008). Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan disini meburangi gejala psikotik yang semakin parah. Biasanya waham dan halusinasihilang dalam 2-3 minggu. Biarpun tetap masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak

19 Universitas Sumatera Utara

bagitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif. Setelah 4-8 minggu, pasien masuk ketahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau pasien mengalami stress. Sesudah gejala-gejala mereda, maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama

kali, jika

serangan skizofrenia itu sudah berlebih dari satu kali, maka sesudah gejala-gejala mereda, obat diberikan terus menerus selama satu tahun atau dua tahun. Setelah 6 bulan, pasien masuk ke fase rumatan (maintenance)yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik-turun sesuai dengan keadaan pasien. Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak menggnggu fungsi psikososial pasien (Maramis dan Maramis, 2009).

2.2 Kepatuhan Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program pengobatan , menggunakan medikasi secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan perilaku atau diet. Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan & Sadock, 2010). Menurut Fleischhacker, dkk., (2007), kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor : a. Pengaruh yang berkaitan dengan pasien Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya

20 Universitas Sumatera Utara

dengan ketidakpatuhan Tampaknya pasien yang berusia lanjut mempunyai permasalahan tentang kepatuhan terhadap dosis yang diberikan. Dikalangan usia muda, terutama pria, cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda akibatbanyaknya aktivitas yang harus dilakukan pada usia produktifnya. Sedangkan pada orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhannya (Fleischhacker, dkk., 2007). Sikap pasien dalam pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam pengaruhnya terhadap kepatuhan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi, dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simptom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan (Fleischhacker, dkk., 2007). Model kepercayaan pasien tentang kesehatannya yang menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia dalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit lain seperti diabetes, kanker, dan lain-lain sehingga mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi (Fleischhacker, dkk., 2007). Permasalahan yang lain adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat menjadi penghalang (Fleischhacker, dkk., 2007). b. Pengaruh yang berkaitan penyakit Beberapa gejala skizofrenia dapat menghambatkemampuan pasien untuk

21 Universitas Sumatera Utara

bekerja sama selama perawatan proses. faktor terkait penyakit ini, seperti keparahan gejala dan kurangnya wawasan penyakit, mungkin mempengaruhi kepatuhan Higashi, dkk., 2014). c. Pengaruh yang berkaitan dengan dokter Hubungan terapi yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Dokter yang memiliki perhatian kepada pasien, mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan pasien, serta memberikan informasi adalah penting agar terciptanya suatu hubungan yang baik. Informasi dapat diberikan pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk mendiskusikan perencaan pengobatan baik kepada pasien atau keluarga dimana pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya (Fleischhacker, dkk., 2007). d. Pengaruh terkait dengan pengobatan Sebagian besar obat antipsikotik memiliki masa pencapaian efek terapi yang lebih lama, sehingga pasien tidak segera merasakan efek positif dari obat. Sebaliknya pasien terkadang justru merasakan efek samping terlebih dahulu dibanding efek terapi. Pasien skizofrenia juga tidak segera merasakan kekambuhan setelah putus obat cukup lama. Kekambuhan dapat terjadi berminggu-minggu, bahkan sampai berbulanbulan sejak pasien putus dari obat. Ini menyebabkan kebanyakkan pasien biasanya tidak menghubungkan kekambuhan dengan putus obat. Sehingga putus obat harus selalu ditekankan pada pasien (Fleischhacker, dkk., 2007).

22 Universitas Sumatera Utara

e. Lingkungan psikososial pasien Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Interaksi sosial yang penuh dengan stres dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang lain. Sebagai contoh adalah situasi emosional yang tinggi dan keluarga yang tidak mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan (Fleischhacker, dkk., 2007).

2.3Pengetahuan pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dansebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010), yaitu: a.

Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan. b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan

23 Universitas Sumatera Utara

secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. d. Analisis

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabilaorang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. e. Sintesis Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. f. Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Beberapa proses yang terjadi pada manusia sebelum mengadopsi perilaku baru berdasarkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007) yaitu: a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

24 Universitas Sumatera Utara

b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. c. Evalution (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, orang telah mulai mencoba berperilaku baru. e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Pada pengobatan skizofrenia program pendidikan selama fase stabilisasi telah efektif dalam mengajar berbagai pasien dengan keterampilan manajemen diri minum obat (misalnya, manfaat obat antipsikotik untuk pemeliharaan, bagaimana mengatasi efek samping) dan gejala manajemen diri (misalnya, bagaimana mengidentifikasi tanda-tanda peringatan kekambuhan dini, mengembangkan rencana pencegahan kambuh, dan menolak obat-obatan terlarang dan alkohol), serta strategi untuk berinteraksi dengan penyedia layanan kesehatan (APA, 2010).

25 Universitas Sumatera Utara