BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Ikan Tuna Tuna merupakan ikan ekonomis penting dalam perdagangan perikanan dunia dan termasuk golongan ikan pelagis. Efektivitas tindakan dalam pengontrolan kualitas ikan tuna sangat ditunjang oleh pengetahuan terhadap biologinya. Ikan tuna dapat hidup di air yang lebih dingin dan bertahan dalam kondisi yang beragam. Daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah tua, karena otot ikan tuna lebih banyak mengandung myoglobin dibandingkan ikan lainnya (Nurjanah, 2011). Ikan tuna memiliki kebiasaan untuk bermigrasi sepanjang hidupnya. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh sistem metabolisme ikan tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO, 2010 dalam Nurjanah, 2011). Ikan tuna terbagi atas beberapa jenis, yaitu : ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), ikan tuna albakor (Thunnus alalunga), ikan tuna mata besar (Thunnus obesus), dan ikan tuna sirip biru (Thunnus macoyii). 2.1.1
Klasifikasi Ikan Tuna
Klasifikasi ikan tuna (FAO 2010 dalam Nurjanah, 2011) adalah:
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Teleostei
Sub class
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
7
8
Sub ordo
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Species
: Thunnus albacares,
Thunnus alalunga, Thunnus
obesus, Thunnus macoyii 2.1.2
Morfologi Ikan Tuna Ikan tuna yang termasuk ke dalam famili scombridae memiliki tubuh
berbentuk tegak, memanjang dan fusiform dengan dua buah sirip dorsal terpisah yang memliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal berbentuk bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip pectoral, serta terletak menjorok ke belakang dari dasar sirip pectoral. Seluruh ikan scombroids memiliki finlet di belakang sirip dorsal dan sirip anal, serta sepasang caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Ikan ini memiliki empat lekuk/lengkuk insang pada setiap sisinya dan filament insangnya mengeras sebagai Gill rays (FAO, 2010 dalam Nurjanah, 2011).
Gambar 2.1 Morfologi ikan tuna (Thunnus albacares). Sumber (Nurjanah, 2011) Lokasi penyebarannya yakni di ke tiga samudra dan mendekat daerah tropis. Ikan ini ditangkap sepanjang tahun dengan suhu perairan 10oC -31oC dengan ukuran rata-rata 4-9 kg/ekor, tetapi paling banyak yang tertangkap
9
berukuran 14-34 kg/ekor, bahkan diperkirakan ikan tuna masih bisa berukuran mencapai 160 kg/ekor dengan panjang 260 cm (Nurjanah, 2011). 2.1.3
Komposisi Gizi Ikan Tuna Komposisi gizi daging ikan tuna bervariasi menurut jenis (Tabel 2.1),
umur, kelamin, dan musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah. Lemak yang paling banyak terdapat pada dinding perut yang berfungsi sebagai gudang lemak. Tabel 2.1 Komposisi gizi beberapa jenis ikan tuna Jenis Ikan Tuna Komposisi
Bluefin
Skipjack
Yellowfin
Satuan (per 100g)
Energi
121,0
131,0
105,0
Kal
Protein
22,0
26,2
24,1
g
Lemak
2,7
2,1
0,2
g
Abu
1,2
1,3
1,2
g
Kalsium
8,0
8,0
9,0
mg
Fosfor
2,7
4.0
1,1
mg
Besi
90,0
52,0
78,0
mg
Sodium
10,0
10,0
5,0
mg
Retinol
0,1
0,03
0,1
mg
Thiamin
0,06
0,15
0,1
mg
Riboflavin
0,6
0,15
0,1
mg
Niasin
10,0
18,0
12,2
mg
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)
10
2.2 Penanganan dan Pengolahan Ikan Tuna 2.2.1
Teknik Penanganan dan Pengolahan Ikan Tuna
2.2.1.1 Penerimaan bahan baku Teknik penanganan yang tepat harus diperhatikan dalam penerimaan bahan baku. Kaidah penanganan yang tepat yaitu prinsip 3C + 1Q yaitu clean, carefull, cold and quick atau penanganan harus dilakukan secara cermat, higienis, selalu pada suhu dingin pada semua tahapan dan dilakukan dengan cepat (Nurjanah, 2011). 2.2.1.2 Penanganan Penanganan dilakukan dengan pencucian ikan untuk menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel pada tubuh ikan dan bebas dari bakteri pathogen. Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih yang dingin dan mengalir secara cepat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,40C (Badan Standardisasi Nasional, 2006e). 2.2.1.3 Pengolahan Tuna steak beku adalah olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar dan beku yang mengalami perlakuan penerimaan bahan baku, pencucian, penyiangan, pembuatan loin, perapihan, sortir mutu, pembungkusan, pembekuan cepat sehingga suhu pusat mencapai -180C, pembentukan steak, penggelasan atau tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional, 2006c).
11
2.2.1.4 Pendinginan dan Pembekuan Pendinginan
merupakan
suatu
proses
pengawetan
ikan
dengan
menggunakan suhu rendah, yaitu antara -10C sampai dengan 50C. Pendinginan disebut chilling, di mana tujuan utamanya adalah menghambat kegiatan mikroorganisme dan proses – proses lainnya, sehingga ikan itu dalam kondisi tetap segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Iriawan, 1995). Pendinginan ikan hingga 00C dapat memperpanjang kesegaran ikan antara 12 – 14 hari sejak saat ikan ditangkap dan tergantung pada jenis ikan, cara penanganan serta teknik pendinginannya.
Proses pendinginan hanya mampu
menghambat pertumbuhan mikroba dan menghambat aktivitas mikroba. Secara umum, cara yang terbaik untuk mendinginkan ikan adalah dengan menggunakan es, karena dapat mendinginkan ikan dengan cepat tanpa banyak mempengaruhi keadaan ikan dan biayanya murah (Adawyah, 2007). Pembekuan ikan berarti mengubah kandungan cairan dalam ikan menjadi es. Ikan mulai membeku pada suhu antara -0,6ºC sampai -2ºC, atau rata – rata pada -1ºC. Pada umumnya jika pembekuan sudah mencapai -12ºC hingga -30ºC dianggap sudah cukup. Suhu keseluruhan pada tubuh ikan yang membeku disebut eutectic point, jika suhu telah mencapai antara -550C hingga -650C (Adawyah, 2007). Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), berdasarkan panjang pendeknya waktu thermal arrest, pembekuan dibagi menjadi dua sebagai berikut : 1) Pembekuan cepat, yaitu pembekuan dengan thermal arrest time tidak lebih dari dua jam.
12
2) Pembekuan lambat, yaitu jika thermal arrest time lebih dari dua jam. Kristal – Kristal es yang terbentuk selama pembekuan berbeda ukurannya tergantung pada kecepatan pembekuan. Pembekuan cepat menghasilkan kristal yang kecil-kecil di dalam jaringan daging
ikan.
Ikan yang dibekukan jika
dicairkan kembali maka kristal-kristal yang ke luar akan diserap kembali oleh daging dan hanya sedikit yang lolos drip atau cairan yang ke luar dari tubuh ikan setelah proses thawing yang biasanya kaya akan nutrisi. Pembekuan lambat akan menghasilkan kristal yang besar-besar sehingga merusak jaringan daging ikan, sehingga tekstur daging ikan setelah dicairkan menjadi kurang baik, karena akan berongga-rongga dan banyak sekali drip yang terbentuk.
Menurut Adawyah
(2007), faktor yang mempengaruhi proses pembekuan adalah: 1) Jenis ikan, semakin tinggi kandungan lemak ikan maka semakin rendah kandungan airnya. 2) Suhu freezer, semakin rendah suhu semakin cepat ikan membeku. 3) Suhu produk, semakin rendah suhu maka semakin cepat proses pembekuannya.
Ikan harus didinginkan terlebih dahulu pada saat
penanganan, selain untuk mencegah kerusakan selama proses pembekuan, juga untuk mempercepat proses pembekuan. 4) Tebal produk, semakin tebal produk, proses pembekuan akan berlangsung makin lambat. 5) Luas Permukaan dan kepadatan produk, rapatnya persinggungan antara produk
dengan
pembekuan.
alat
pembeku
akan
meningkatkan
kecepatan
13
2.2.1.5 Pengemasan dan Pelabelan Pengemasan produk tuna beku harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter.
Pengemasan pada dasarnya berfungsi untuk melindungi produk dari
kerusakan yang diakibatkan oleh pengaruh pembekuan. Perubahan itu terlihat pada kenampakan, bau dan rasa sedangkan pelabelan adalah untuk mengetahui identifikasi dari produk yang dikemas (Winarno, 2011). 2.2.1.6 Penyimpanan Penyimpanan tuna steak beku dalam gudang beku dengan suhu maksimal 250C dengan fluktuasi suhu ± 20C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan
pembongkaran
(Badan
Standardisasi
Nasional,
2006e).
Penyimpanan produk harus disusun dengan menggunakan pallet, produk harus dimuat di dalam cold storage sedemikian rupa sehingga sistem first in first out dapat dilaksanakan (Murniyati dan Sunarman, 2000). 2.2.2
Persyaratan Bahan Baku dan Produk Akhir Menurut persyaratan mutu bahan baku ikan segar berdasarkan konsep
Badan Standardisasi Nasional (2006d), bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Persyaratan mutu bahan baku ikan segar dapat dilihat pada Tabel 2.2, sedangkan persyaratan mutu produk steak tuna beku disajikan pada Tabel 2.3.
14
Tabel 2.2 Persyaratan Mutu Bahan Baku Ikan Segar Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
Angka ( 1 – 9 )
Minimal 7
Koloni/g
Maksimal 5,0 x 105
- Escherichia coli
AMP/g
Maksimal ≤ 3
- Salmonella
AMP/25g
Negatif
- Vibrio cholerae
AMP/25g
Negatif
- Air Raksa (Hg)*
mg/kg
Maksimal 1
- Timbal (Pb)*
mg/kg
Maksimal 0,4
- Histamin
mg/kg
Maksimal 100
- Kadmium (Cd)*
mg/kg
Maksimal 0,1
- Suhu Pusat
ºC
Maksimal -18ºC
e.Parasit
Ekor
Maksimal 0
a.Organoleptik b.Cemaran Mikroba - ALT (Angka Lempeng Total)
c.Cemaran Kimia
d.Fisika
*) Apabila diperlukan atau apabila diminta Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006d)
15
Tabel 2.3 Persyaratan Mutu Produk Steak Tuna Beku Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
Angka ( 1 – 9 )
Minimal 7
Koloni/g
Maksimal 5,0 x 105
- Escherichia coli
AMP/g
Maksimal ≤ 3
- Salmonella
AMP/25g
Negatif
- Vibrio cholerae
AMP/25g
Negatif
- Air Raksa (Hg)*
mg/kg
Maksimal 1
- Timbal (Pb)*
mg/kg
Maksimal 0,4
- Histamin
mg/kg
Maksimal 100
- Kadmium (Cd)*
mg/kg
Maksimal 0,1
- Suhu Pusat
ºC
Maksimal -18ºC
e.Parasit
Ekor
Maksimal 0
a.Organoleptik b.Cemaran Mikroba - ALT (Angka Lempeng Total)
c.Cemaran Kimia
d.Fisika
*) Apabila diperlukan atau apabila diminta Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006c) Persyaratan mutu tuna steak beku harus diperhatikan oleh produsen untuk menjamin keamanan pangan terhadap konsumen karena hal ini berhubungan langsung dengan keamanan dan kesehatan manusia.
16
2.2.3 Persyaratan Bahan Pembantu Bahan pembantu adalah bahan yang digunakan dalam proses penanganan dan pengolahan suatu produk untuk dapat mempertahankan mutu produk yang dihasilkan dan tidak mengubah karakteristik dari produk. Bahan pembantu yang digunakan untuk pengolahan tuna steak antara lain air dan es. a. Air Air merupakan komoditi esensial dalam persiapan dan pengolahan pangan, baik yang langsung menjadi produk cair maupun digunakan untuk membersihkan peralatan wadah pangan, membuat es atau glazing. Air di unit pegolahan terdiri dari air pengolahan, air minum dan air pembersih. b. Es Es yang digunakan harus dibuat dari air yang memenuhi persyaratan sesuai dengan persyaratan dari Badan Standardisasi Nasional, 2006b dan syarat mutu es disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Syarat Mutu Es Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
Angka ( 1 – 9 )
Minimal 7
Koloni/ml
Maksimal1,0 x 10²
- Escherichia coli
Koloni/ml
0
- Enterococcus
Koloni/ml
0
A.Organoleptik b. Cemaran Mikroba - ALT(Angka Lempeng Total)
17
c. Cemaran Kimia - pH
Angka (1-14)
6.5-8.5
- Nitrat*
mg/ml
Maksimal 0,5
- Besi
mg/l
Maksimal 200
- Klorida
mg/l
Maksimal 250
- Suhu Pusat
ºC
Maksimal - 3
e. Parasit
Ekor
Maksimal 0
d.Fisika
*) Untuk es balok jika diperlukan Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006b) Dalam penggunaannya, es yang digunakan dalam unit pengolahan harus dari air yang memenuhi persyaratan air minum, dalam penggunannya es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar. 2.2.4. Bahaya Pada Ikan Tuna 2.2.4.1 Bahaya Biologis a. Bakteri Salmonella Salmonella adalah bakteri jenis gram negatif, berbentuk batang, bergerak, bersifat fakultatif anaerob, dan termasuk kelompok Enterobacteriaceae. Penyebab utama adanya bakteri Salmonella dan Escherichia coli pada ikan adalah karena kurang memperhatikan kebersihan atau sanitasi/higienenya. Bakteri salmonella merupakan
kuman
penyebab
penyakit
yang
dikenal
sebagai
penyakit
18
Salmonellosis, sehingga telah menjadi isu dunia yang penting bagi kesehatan masyarakat dan ekonomi secara nasional maupun internasional (Winarno, 2004). b. Bakteri Escherichia coli Eschericihia coli termasuk family enterobacteriaceae, berbentuk pendek bulat, gram negatif. Bakteri ini dibedakan dari enterobacter pada media kultur dan secara mikroskopis. Bakteri ini muncul pada sistem pencernaan manusia dan hewan lainnya, banyak ditemukan di minyak, air, dan banyak lagi tempat di alam. Ikan yang sering hidup di air tercemar kotoran manusia atau hewan sering mengandung bakteri Escherichia coli. Bakteri ini menyebabkan gangguan pada usus atau masalah pencernaan (Badan Standardisasi Nasional, 2006a). c. Vibrio cholerae Vibrio cholera merupakan bakteri gram-negatif, berbentuk batang pendek atau koma, dapat memfermentasi sukrosa pada media TCBS (Thiosulfate – Citrate – Salts – Sucrose) dan dapat bergerak karena adanya flagella polar. Vibro cholera tumbuh optimum sampai pada suhu 45ºC, pH optimum 10, dan dapat tumbuh pada larutan NaCI 6% (Winarno, 2012). 2.2.4.2 Bahaya Fisik a. Dekomposisi/Pembusukan Dekomposisi mengindikasikan bahwa ikan dapat memproduksi toksin (senyawa amine, seperti putresin dan cadaverin) yang berpotensi menyebabkan penyakit. Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa terjadinya proses pembusukan dapat digolongkan dalam tiga tahap, yaitu:
19
Pada tahap awal, sekedar terjadi kontaminasi oleh bakteri pembusuk dan terjadi perkembangan populasi secara cepat. Pada saat ini belum terjadi dekomposisi pembongkaran senyawa-senyawa yang ada. Pada
tahap
berikutnya,
terjadi
dekomposisi
senyawa-senyawa
mikromolekul yang sudah ada pada daging ikan, seperti : asam-asam amino bebas, peptide, asam laktat, gula reduksi oleh bakteri menjadi metabolit-metabolit penyebab bau busuk. Pada tahap ketiga, terjadi pemecahan senyawa-senyawa mikromolekul terutama protein oleh enzim-enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri pembusuk. Biasanya hal ini terjadi apabila senyawa-senyawa mikromolekul dalam daging ikan telah habis digunakan oleh bakteri. Hasil pemecahan protein yaitu peptida-peptida dan asam-asam amino bebas yang selanjutnya dekomposisi tidak berkembang lagi karena semua senyawa mikromekul telah terurai menjadi metabolit-metabolit yang dapat terakumulasi dan kadang-kadang dapat bersifat racun yang berbahaya. Secara fisik pembusukan ikan akan menyebabkan daging ikan menjadi rusak, kehilangan teksturnya dan berair. b. Serpihan Logam Serpihan logam pada produk berasal dari kontak penggunaan mesin (seperti mesin pemotong atau mesin pengaduk dan alaat pembuka kaleng) dan peralatan lain yang terbuat dari bahan logam. Serpihan logam pada produk dapat melukai konsumen (Winiati, 2011).
20
2.3 Proses Penurunan Mutu Ikan Ikan adalah bahan pangan yang mudah sekali busuk terutama dalam keadaan segar akan cepat sekali mengalami kerusakan sehingga mutunya menjadi rendah (Hadiwiyoto, 1993). Ikan dikatakan mempunyai kesegaran yang maksimal apabila sifat-sifatnya masih sama dengan ikan hidup, baik rupa, bau, cita rasa, maupun teksturnya. Penanganan ikan yang kurang baik dapat mengakibatkan mutu atau kualitas ikan akan turun. Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Sangat penting untuk mengetahui perubahanperubahan yang terjadi setelah ikan mati sehingga dapat dilakukan tindakan penanganan yang baik dalam upaya mempertahankan kesegaran ikan (Junianto, 2003). Penurunan mutu ikan dapat terjadi lebih cepat akibat adanya kerusakan fisik. Kerusakan fisik juga sering disebut kerusakan mekanik yang diakibatkan oleh benturan antara produk dengan produk, dengan bahan pengemasan atau dinding alat transportasi sehingga produk menjadi lecet, retak, memar, dan busuk (Winarno, 2004). 2.3.1
Proses Penurunan Mutu Ikan Karena Ativitas Enzim Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja aktif setelah ikan
mati. Sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi, sehingga enzim merusak organ tubuh ikan. Perstiwa ini disebut autolysis. Perubahan secara autolysis ini ditandai dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir penguraian protein dan lemak yang menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan penampakan ikan (Junianto, 2003).
21
2.3.2. Proses Penurunan Mutu karena Aktivitas Mikroba Ikan dalam keadaan hidup dapat dianggap tidak mengandung bakteri yang sifatnya merusak, walaupun sebenarnya pada tubuh ikan banyak sekali dijumpai mikroba. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroba. (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang bagian – bagian ikan selama ikan hidup.
Bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah
(barrier) terhadap penyerangan bakteri. Kemampuan barrier tersebut akan hilang setelah ikan mati, sehingga bakteri dapat segera masuk ke dalam daging ikan melalui saluran pencernaan, insang, saluran darah dan permukaan kulit (Junianto, 2003). 2.3.3. Proses Penurunan Mutu Ikan karena Aktivitas Kimiawi Proses perubahan pada ikan juga dapat terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging ke arah coklat kusam. Bau tengik ini dapat merugikan pada proses pengolahan maupun pengawetan karena dapat menurunkan mutu dan daya jualnya.
Pencegahan proses oksidasi dapat dilakukan dengan mengusahakan
sekecil mungkin terjadinya kontak antara ikan dengan udara bebas di sekelilingnya dengan menggunakan ruang hampa udara, antioksidan atau menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi (Murniyati dan Sunarman, 2000).
22
2.4 Penerapan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan 2.4.1. Good Manufacturing Practices (GMP) atau Standar Operasi Pengolahan (SOP) a) Seleksi Bahan Baku Menurut Thaheer (2005), pengelolaan sistem manajemen manufaktur yang baik dimulai dari proses pengendalian bahan baku yang meliputi pengendalian pemasok, barang yang dibeli dan proses pengadaan.
Pengendalian pemasok
paling popular saat ini telah menghadirkan sistem rantai pasokan. Perusahaan yang telah menerapkan sistem HACCP, secara mudah menjamin barang yang dibelinya dengan cara mewajibkan pemasoknya untuk menerapkan sistem yang sama. b) Penanganan dan Pengolahan Menurut Suparno (2011), yang perlu diperhatikan dalam penanganan dan pengolahan fillet ikan antara lain : -
Ikan Segar yang digunakan telah melewati fase pengkakuan (rigormortis).
Fillet yang diperoleh dari ikan yang belum dan sedang mengalami pengkakuan, filletnya akan mengkerut / berlekuk atau jaringan otot pecah. -
Kebersihan dijaga sebaik-baiknya, karena fillet ikan sangat rentan terhadap
kontaminasi bakteri patogenik yang sukar dihilangkan dengan cara-cara biasa karena kontaminan dapat menyusup ke dalam jaringan otot daging yang telah terbuka pada ikan utuh. fillet
Untuk mencegah pengeringan dan oksidasi selama penyimpanan beku, harus
dibungkus
dan
dikemas
dengan
menggunakan
vegetable
23
parchmentpaper atau polyethylene film, kemudian dipak dalam waxed paper board atau fiber board cartons dan dibekukan dalam contact plate freezer. -
Bekerja harus cepat tetapi cermat untuk menghindari pembusukan,
pencemaran dan cacat akibat kecerobohan yang dapat berpengaruh buruk terhadap produk. -
Limbah yang diperoleh dari pemfilletan agar segera disingkirkan dari
tempat pengolahan untuk menghindari pencemaran terhadap produk. c) Bahan Pembantu dan Bahan Kimia Bahan pembantu yang digunakan pada industri pengolahan ikan adalah air dan es.
Air merupakan komoditi yang sangat esensial dalam persiapan dan
pengolahan pangan, baik air yang akan langsung menjadi produk cair maupun yang digunakan untuk membersihkan peralatan wadah pangan, untuk membuat es atau glazing, baik sebelum maupun sesudah persiapan dan pengolahan. Air yang dipakai harus memenuhi persyaratan kualitas air minum (Winarno, 2012). Jenis bahan kimia utama berbahaya yang dapat mencemari makanan yaitu bahan pembersih kimia seperti detergen, pestisida, fungisida, rodentisida, allergen, nitrit dan nitrat, migrasi komponen plastik dan bahan pengemas, residu antibiotika, aditif kimia dan logam beracun (Thaheer, 2005). d) Bahan Pengemas Pewadahan dan/atau pembungkusan harus dirancang sehingga menarik, menyenangkan, ekonomis dan cukup melindungi produk akhir.
Pewadahan
dan/atau pembungkusan produk perikanan beku ke dalam karton dan master karton harus dilakukan dengan hati-hati dan sempurna agar tahan terhadap
24
pengaruh perlakuan bongkar muat. Produk akhir yang telah diwadahi dan/atau dibungkus harus selalu dilindungi dengan hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya penularan dan kontaminasi oleh kotoran (Ilyas, 1993). e) Penyimpanan Menurut Thaheer (2005), ruang penyimpanan pabrik harus dirancang sebaik mungkin, tidak lembab, mudah dibersihkan dan terpisah dengan ruang penyimpanan lainnya untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang. Gudang penyimpanan bahan baku harus terpisah dari gudang penyimpanan produk jadi. f) Distribusi Kendaraan (kontainer) untuk mengangkut produk akhir harus mampu mempertahankan suhu beku atau dingin yang dipersyaratkan. Kontainer harus dijaga kebersihannya. Pembongkaran harus hati-hati agar tidak merusak produk (Ditjen P2HP, 2007). Menurut Ilyas (1993), selama distribusi produk beku, suhu pada pusat produk harus dipertahankan senantiasa maksimum -18ºC.
Produk ikan beku
selama distribusi harus dilindungi terhadap pencemaran oleh mikroba dan senyawa-senyawa lainnya yang membahayakan kesehatan manusia. Produk harus ditangani dan diperlakukan dengan cermat, hati-hati dan cepat secara saniter. 2.4.2. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Dalam proses sanitasi, diperlukan suatu prosedur standar yang dapat mencakup seluruh area dalam produksi suatu produk pangan mulai dari kebijakan perusahaan, tahapan kegiatan sanitasi, petugas yang bertanggung jawab
25
melakukan sanitasi, cara pemantauan sampai cara pendokumentasiannya. Prosedur standar yang digunakan adalah prosedur operasi standar untuk sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure – SSOP). Prosedur ini dibuat untuk membantu industri pangan dalam mengembangkan dan menerapkan prosedur pengawasan sanitasi serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi. Standar prosedur operasi sanitasi dalam proses sanitasi dapat dijelaskan sebagai berikut (Thaheer, 2005) : a. Keamanan Air Standard Sanitation Operational Procedure untuk keamanan air mencakup petugas dan prosedur standar yang digunakan untuk menjamin keamanan air. Di dalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan untuk air yang diterapkan agar air yang diperoleh adalah air dengan kualitas tertentu, misalnya untuk memenuhi standar air minum, untuk air yang kontak dengan makanan dan untuk pembuatan es, sehingga tidak ada kontaminasi silang antara air yang siap minum dan air yang tidak siap minum. b. Kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan Standard Sanitation Operational Procedure untuk kebersihan permukaan peralatan atau sarana dalam pabrik yang kontrak dengan makanan berisi standar produser pembersihan dan sanitasi alat frekuensi pembersihan, dan petugas yang bertanggung jawab. Prosedur pembersihan harus mencakup cara (metode) pembersihan, baik dengan penyemprotan, busa gel, detergen ionis, detergen non ionis atau kationik dan konsentrasi yang digunakan. Prosedur sanitasi akan mencakup cara sanitasi, jenis sanitizer yang digunakan (uap panas, ultraviolet,
26
ozonisasi dan sebagainya) atau bahan kimia yang diizinkan (klorin, amonium kuartener dan sebagainya) dan konsentrasi yang digunakan. Kegiatan sanitasi dalam proses pengolahan makanan memiliki dua tujuan yaitu : 1) Menghilangkan sisa makanan yang mengandung nutrisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba dan dapat berfungsinya peralatan dengan baik. Hal ini juga dapat dilakukan dengan tindakan fisik, seperti pencucian dan pengeringan. 2) Desinfeksi yang bertujuan untuk mengurangi populasi mikroba yang ada dan bertahan pada tingkat di mana kontaminasi yang signifikan dapat terjadi pada produk yang menyentuh permukaan secara langsung. Area harus dilindungi setelah dibersihkan dan didesinfeksi dari kontaminasi ulang sebelum digunakan. c. Mencegah kontaminasi silang Standard Sanitation Operational Procedure ini berisi prosedur-prosedur untuk menghindari produk dari kontaminasi silang dari pekerja, bahan mentah, pengemas, dan permukaan yang kontak dengan makanan. Di dalam SSOP ini mencakup tindakan-tindakan yang menyangkut pembersihan bahan baku untuk mengurangi kontaminasi silang, ketentuan mengenai boleh tidaknya pekerja pindah atau mengunjungi bagian lain atau melengkapi setiap ruang proses pengolahan dengan fasilitas pembersihan dan sanitasi desain lay out sarana dan prasarana.
27
d. Toilet dan tempat cuci tangan Setiap karyawan yang bekerja di ruang pengolahan harus mencuci tangan dengan sempurna menggunakan air panas dan sabun, kemudian dibilas dengan air yang mengandung bahan desinfeksi (klorin 50 ppm), iodophor atau desinfektan lainnya. Pencucian tangan dilakukan sebelum dan sesudah selesai bekerja, sebelum dan sesudah makan siang atau istirahat, setelah melakukan pekerjaan lain yang mungkin menyebabkan kontaminasi. e. Pencegahan dan perlindungan dari bahan berbahaya Di dalam program ini tercakup prosedur-prosedur yang lazim digunakan untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan ke dalam produk pangan yang dihasilkan, permukaan yang kontak dengan makanan. Bahan-bahan non pangan yang dimaksud meliputi pelumas, bahan bakar, senyawa pembersih, saniter, cemaran zat kimia dan cemaran fisik lainnya. f. Pelabelan dan penyimpanan yang tepat Standard Sanitation Operational Procedure ini mencakup tata cara dan jenis pelabelan yang diterapkan pada bahan-bahan kimia yang digunakan, baik untuk produksi atau pembersihan, fumigasi, desinfeksi dan sebagainya. Pelabelan dan penyimpanan dapat digolongkan berdasarkan jenis bahan. g. Pengendalian kesehatan dan higiene karyawan Standard Sanitation Operational Procedure ini mencakup pengendalian kesehatan bagi karyawan agar tidak menjadi sumber kontaminasi bagi produk, bahan kemasan atau permukaan yang kontak dengan makanan. Di dalam SSOP ini terdapat ketentuan mengenai cara pelaporan karyawan yang sakit atau
28
mendapatkan perawatan karena sakit. Hal ini termasuk penjadwalan bagi pemeriksaan rutin kesehatan karyawan, imunisasi dan pengujian untuk penyakitpenyakit tertentu. h. Pemberantasan Hama Hama merupakan binatang atau serangga yang tidak dikehendaki keberadaannya. Beberapa serangga sebenarnya hidup dan berkembangbiak di poduk pangan dan merusak produk tersebut. Karena itu, perlu dilakukan pengendalian hama yang tidak diinginkan dalam lingkungan industri.
Hama
sering sekali menyebabkan kontaminasi yang membahayakan. Beberapa hama yang biasa terdapat pada industri pangan dan memerlukan penanganan atau pembasmian antara lain binatang pengerat dan serangga. Standard Sanitation Operational Procedure berisikan prosedur standar untuk membrantas atau menghindarkan hama, termasuk di dalamnya adalah kebersihan ruangan penyimpanan, fumigasi terjadwal (jenis fumigasi), pemasangan perangkap tikus di pintu masuk dan sebagainya. 2.5. Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem manajemen mutu yang diterapkan untuk memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan serta menentukan titik kritis yang harus dilakukan dengan pengwasan secara ketat. Thaheer (2005) mengemukakan bahwa HACCP adalah suatu pendekatan ilmu yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya, mengendalikan titik-titik bahaya pada setiap tahapan proses makanan, baik dalam bentuk biologi, kimia maupun fisik guna menjamin keamanan pangan. Hazard
29
Analysis Critical Control Point bukan “Zero Risk System”, tetapi didesain untuk meminimalisasi resiko bahaya keamanan makanan. 2.5.1. Pembentukan Tim HACCP Tim HACCP terdiri dari bebagai divisi unit usaha atau yang mempunyai kekhususan ilmu pengetahuan dan keahlian yang tepat untuk menghasilkan produk (Thaheer, 2005). Tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi dari unit usaha seperti : quality assurance, produksi, pemasaran dan lain-lain serta multidisiplin dengan memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik penanganan dan distribusi, cara pemasaran dan cara konsumsi produk serta potensi bahaya. Tim HACCP juga terdiri atas beberapa level personil (General Manager, Manager QA, Manager Produksi, Quality Control dan lain-lain) (Winarno, 2012). 2.5.2. Deskripsi Produk Thaheer (2005) menjelaskan bahwa deskripsi poduk merupakan sebuah daftar tentang suatu produk, minimal harus mencakup informasi tentang : nama produk/nama dagang, komposisi produk, cara penyimpanan dan penyajian, tipe pengemasan, masa kedaluwarsa, sasaran konsumen yang akan dicapai serta cara distribusi. 2.5.3. Identifikasi Penggunaan Identifikasi tujuan penggunaan dan konsumen adalah identifikasi bagaimana akan digunakan oleh konsumen akhir, contohnya produk harus dimasak seluruhnya sebelum dikonsumsi.
Konsumen yang dituju mungkin
pengguna umum atau pengguna khusus dari populasi, seperti bayi atau lanjut usia.
30
Identifikasi pengguna produk dituju merupakan sasaran konsumen dengan referensi populasi yang sensitif (Thaheer, 2005). 2.5.4. Penyusunan Diagram Alir Diagram alir disusun oleh Tim HACCP.
Penyusunan diagram alir
mencakup semua tahapan dalam proses produksi untuk produk tertentu. Diagram/bagan alir sangat penting untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin timbul (Thaheer, 2005). 2.5.5. Verifikasi Diagram Alir Pembuatan atau penyusunan diagram alir merupakan suatu step yang penting dalam penerapan HACCP, karenanya diperlukan informasi ulang terhadap bagan alir yang telah dibuat oleh Tim HACCP dengan kondisi sesungguhnya yang ada di lapangan. Perubahan mendasar terhadap diagram alir akan mengubah proses identifikasi bahaya pada proses tersebut (Thaheer, 2005) 2.5.6. Analisis Bahaya Risiko keamanan pangan yang harus diperiksa meliputi aspek keamanan kontaminasi bahan kimia, aspek keamanan kontaminasi fisik dan aspek keamanan kontaminasi biologis termasuk di dalamnya mikrobiologi, identifikasi bahaya harus dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga batas yang dapat diterima (Ditjen P2HP, 2011).
Darwanto dan Murniyati (2003), menegaskan bahwa
identifikasi hazard harus berdasarkan penggunaan akhir suatu produk dan penentuan potensi hazard (bahaya) yang harus dilakukan pada setiap tahapan selama proses produksi.
Dalam pengembangan Program Manajemen Mutu
Terpadu (PMMT) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, analisis
31
bahaya diharuskan meliputi 3 (tiga) aspek yaitu : food safety (keamanan pangan), wholesomeness (keutuhan) dan economic froud (kecurangan ekonomi). 2.5.7. Identifikasi CCP (Critical Control Point) Penentuan CCP merupakan kunci dalam usaha menurunkan atau mnegeliminasi bahaya yang sudah diidentifikasi. Critical Control Point adalah titik kritis, dimana bila gagal melakukan tindakan pengawasan atau pengontrolan akan menyebabkan resiko penolakan atau kerugian oleh konsumen. Penentuan suatu titik kendali kritis dalam sistem HACCP dapat dipermudah dengan penerapan pohon keputusan (Darwanto dan Murniyati, 2003). 2.5.8. Penetapan Batas Kritis Batas kritis harus ditentukan untuk semua CCP, dalam beberapa kasus atau lebih dari satu batas kritis akan diperinci dalam suatu tahap tertentu. Batas kritis menunjukan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Penetapan batas kritis, yaitu suatu titik yang telah ditentukan yang tidak boleh dilampaui jika suatu hazard harus dikendalikan pada suatu CCP. Kriteria yang sering digunakan untuk batas kritis: waktu, suhu, bahan pengawet, kandungan air, pH, kadar khlor, kadar garam, berat tuntas, isi dalam kemasan, dan lain sebagainya (Darwanto dan Murniyati, 2003). 2.5.9. Pengawasan CCP (Critical Control Point) Penentuan CCP yaitu suatu tindakan pengukuran dan atau pengamatan yang tetap dicatat oleh perusahaan untuk pelaporan temuan-temuan pada CCP.
32
Kegiatan ini memerlukan tindakan manajemen dan harus jelas siapa, dimana, bagaimana dan kapan (Darwanto dan Murniyati, 2003). Thaheer (2005) menyatakan bahwa komponen yang terlibat dalam sistem monitoring berdasarkan kaidah 1H + 4W, yaitu sebagai berikut: - What
: Apa yang akan dimonitor, pengukuran atau observasi?
- Where
: Dimana (titik, tahap prosedur) akan dilakukan monitoring?
- Who
: Siapa yang akan melakukan monitoring?
- How
: Bagaimana cara memonitor, pengecekan dan/atau pengukuran?
- When
: Kapan akan dilakukan monitoring/frekuensi pemantauan?
2.5.10. Penetapan Tindakan Koreksi Darwanto dan Murniyati (2003) menegaskan bahwa penentuan tindakan koreksi merupakan prosedur pemantauan yang harus dilakukan ketika suatu penyimpangan serius atau kritis ditemukan atau ketika suatu batas kritis dilampaui. Untuk mempermudah tindakan koreksi, dapat digunakan pertanyaan sebagai berikut : - Apa sifat masalahnya - Siapa yang bertanggung jawab melakukannya - Apa bentuk tindakan koreksi yang diperlukan 2.5.11. Penentuan Prosedur Verifikasi Verifikasi berfungsi untuk memastikan bahwa sistem yang diterapkan di unit yang bersangkutan telah mampu memberikan jaminan mutu yang diinginkan, melacak produk, dan menyediakan informasi akhir (Darwanto dan Murniyati, 2003).
Winarno (2012) menyatakan bahwa verifikasi baik internal maupun
33
eksternal secara umum mempunyai empat jenis kegiatan yaitu : validasi HACCP, peninjauan kembali (review) hasil pemantauan, pengujian produk dan auditing verifikasi serta metode audit termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat digunakan untuk menentukan bila sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi sebaiknya cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. 2.5.12. Prosedur Pencatatan dan Dokumentasi Darwanto dan Murniyati (2003) menyatakan bahwa menetapkan cara pencatatan (Record Keeping), meliputi : - Semua yang dipantau harus dicatat. - Semua tindakan koreksi harus dicatat agar lebih sistematis, pencatatan dilakukan dengan menggunakan formulir yang distandarkan. - Pedoman dalam membuat formulir, yaitu membuat semua informasi yang dipantau, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan seperti : waktu, tanggal, jenis, nama/tanda tangan yang melakukan pencatatan dan lain-lain serta lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga mudah untuk dievaluasi.