BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Asam Mefenamat

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh ... Sifat fisik: modifikasi...

12 downloads 432 Views 957KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Asam Mefenamat a. Rumus bangun

Gambar 1. Rumus bangun Asam Mefenamat b. Rumus molekul

: C15H15NO2

c. Berat molekul

: 241,29

d. Sifat fisika - Pemerian

: Serbuk hablur, putih atau hampir putih; melebur pada suhu lebih kurang 230˚ disertai peruraian.

- Kelarutan

: Larut dalam larutan alkali hidroksida; agak sukar larut dalam kloroform; sukar larut dalam etanol dan dalam metanol; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,1995).

- pKa

: 4,2 (Moffat, et al, 1986).

e. Farmakologi - Kegunaan

:Digunakan pada sakit yang ringan dan sedang termasuk sakit kepala, sakit gigi, sakit setelah operasi dan melahirkan, dan dysmenorrhoea,

osteoarthritis,

dan

rheumatoid

arthritis

haemolitik

anemia,

(Sweetman, 2005). - Efek Samping

:Terjadi

steatorrhoea,

leukopenia, neutropenia, agranulositosis, gagal ginjal non-oligurik (Sweetman, 2005), dan iritasi lambung (Siswandono dan Soekardjo, 2000). 2.1.2 Ibuprofen a. Rumus bangun

Gambar 2. Rumus Bangun Ibuprofen b. Rumus molekul

: C13H18O2

c. Berat molekul

: 206,28

d. Sifat fisika - Pemerian

: Serbuk hablur, putih hingga hampir putih; berbau khas lemah.

- Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air; sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton dan dalam kloroform; sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM,1995).

- pKa

: 4,4; 5,2 (Moffat, et al, 1986).

e. Farmakologi - Kegunaan

: Digunakan pada sakit yang ringan sampai sedang dan

inflamasi

dalam

kondisi

seperti

dysmenorrhoea, sakit kepala termasuk migrain, sakit setelah pembedahan, sakit gigi, osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan mengurangi demam (Sweetman, 2005). - Efek Samping

: Menyebabkan dispepsia, muntah, mual, perdarahan pada pencernaan, peptic ulcers, haematuria, hipersensitifitas, perforasi, agranulositosis, dan trombositopenia (Sweetman, 2005).

2.1.3 Ketoprofen a. Rumus bangun

Gambar 3. Rumus Bangun Ketoprofen b. Rumus molekul

: C16H14O3

c. Berat molekul

: 254,3

d. Sifat fisika - Pemerian

: Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak atau hampir tidak berbau.

- Kelarutan

: Mudah larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,1995).

- pKa

: 4,5 (Kasim, et al, 2003).

e. Farmakologi - Kegunaan

: Digunakan pada osteoarthritis, rheumatoid arthritis,

dysmenorrhoea, sakit setelah

pembedahan, kondisi inflamasi seperti gout yang akut, dan mengurangi demam (Sweetman, 2005). - Efek Samping

: Asma, urtikaria (Sweetman, 2005), dan iritasi saluran

cerna (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

2.2 Absorpsi Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache, dkk, 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel dan Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk

sediaannya. Secara ringkas proses biofarmasetik digambarkan dalam gambar 4 (Joenoes, 2002).

Gambar 4. Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes, 2002) Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi: kalau obat tersebut terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat sampai tembus ke dalam kulit, tetapi belum masuk ke kapiler disebut penetrasi. Hanya kalau obat meresap/menembus dinding kapiler dan masuk ke dalam saluran darah baru itu disebut absorpsi (Joenoes, 2002). Berarti suksesnya perpindahan obat dari suatu bentuk sediaan dosis oral kedalam sirkulasi umum bisa dicapai dengan empat langkah proses yaitu : 1. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya 2. Keberadaan obat dalam bentuk larutan 3. Pergerakan dari obat larut melalui membran saluran cerna 4. Pergerakan obat dari tempat absorpsi ke dalam sirkulasi umum (Syukri, 2002). Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari sistem

LADME

(Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi).

Bila

pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara keseluruhan (Joenoes, 2002).

2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat 1. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang dalam kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002). 2. Pengaruh daya larut obat Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:yang tidak. a. Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat b. Sifat fisik: modifikasi fisik obat c. Prosedur dan teknik pembuatan obat d. Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien (Joenoes, 2002). 3. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat a. pKa dan derajat ionisasi obat Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan juga pada pH lingkungannya. Kebanyakan obat berupa asam lemah atau basa lemah; oleh karena absorpsi dengan cara difusi pasif hanya terjadi dalam bentuk tidak terionisasi (atau molekul), maka perbandingan obat yang tidak terionisasi sangat menentukan absorpsi. pKa obat merupakan faktor penting, apakah obat itu bila diberikan per oral diabsorpsi lebih banyak di lambung atau lebih banyak di usus (Joenoes, 2002). b. Koefisien partisi lemak/air (Joenoes, 2002). 2.2.2 Mekanisme Lintas Membran Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan) bersaing dalam proses perlintasan zat aktif melalui membran (Syukri, 2002).

a. Filtrasi atau konvektif Filtrasi atau yang disebut juga “difusi secara konvensi” adalah mekanisme penembusan pasif melalui pori-pori suatu membran. Semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7 Å) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Syukri, 2002).

Gambar 5. Transpor trans membran transpor konvektif (Joenoes, 2002) b. Difusi pasif “pH partisi hipotesis” Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hukum difusi Fick (Syukri, 2002). Laju penetrasi = Konstanta Permeabilitas x Luas Permukaan x Perbedaan Konsentrasi Konstanta permeabilitas = Koefisien Difusi x Koefisien Partisi Ketebalan Membran (Rowland and Thomas, 1980)

Jadi konsentrasi (C) senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Kombinasi zat aktifprotein yang terbentuk tersebut tidak dapat terdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi, rantai protein merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran (Syukri, 2002). Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Pentingnya faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul (derajat ionisasi molekul, pH kompartemen) digarisbawahi dalam “Teori Difusi Non Ionik atau Hipotesa pH Partisi” (Syukri, 2002). Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari suatu asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul (Syukri, 2002).

Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu: a. Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa b. pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif

Untuk asam : pH = pKa + log

Konsentrasi bentuk terionkan Konsentrasi bentuk tak terionkan

Untuk basa : pH = pKa + log

Konsentrasi bentuk tak terionkan Konsentrasi bentuk terionkan

Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran molekul, dan sebagainya) merupakan hambatan penembusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan sangat cepat (Syukri, 2002).

Gambar 6. Transpor trans membran difusi pasif (Joenoes, 2002) c. Tranpor aktif Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya

molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke permukaan asalnya (Syukri, 2002). Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari molekul yang berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri, 2002).

Gambar 7. Transpor trans membran transpor aktif (Joenoes, 2002) d. Difusi sederhana (dipermudah = fasilitas) Difusi sederhana merupakan cara pelintasan membran yang memerlukan suatu pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggungjawab terhadap transpor aktif, tetapi di sini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi (Syukri, 2002).

Gambar 8. Transpor trans membran transpor yang dipermudah (Joenoes, 2002) e. Pinositosis Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekulmolekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).

Gambar 9. Transpor trans membran pinositosis (Joenoes, 2002) f. Transpor oleh pasangan ion Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks tersebut melalui membran (Syukri, 2002).

Gambar 10. Transpor trans membran transpor pasangan ion (Joenoes, 2002) 2.3 Permeabilitas Suatu senyawa obat untuk dapat memberikan aktivitas harus mampu menembus membran biologis dan mencapai jaringan target dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan aktivitas. Parameter sifat fisika kimia yang paling berperan dalam proses ditribusi tersebut adalah parameter lipofilik (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Membran-membran biologis dengan sifat lipoid, biasanya lebih permeabel terhadap zat-zat yang larut dalam lemak. Oleh karena itu pengangkutan melewati membran-membran ini sebagian tergantung pada kelarutan lemak dari jenis zat yang mendifusi. Kelarutan dalam lemak dari suatu obat ditentukan oleh adanya gugus-gugus nonpolar dalam struktur molekul obat tersebut, sebagaimana gugusgugus yang dapat terion dipengaruhi oleh pH setempat (Lachman, dkk, 1989). Sering dikatakan bahwa molekul yang terionisasi tidak menembus membran, kecuali untuk ion dengan diameter kecil. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena terdapatnya membran karier untuk beberapa ion, yang mana efektif akan melindungi atau menetralisasi muatan (bentuk pasangan ion). Ketika obat merupakan suatu asam atau basa lemah, dalam bentuk tak terionisasi, dengan memiliki koefisien partisi melewati membran biologis lebih cepat daripada bentuk

terionisasi, bahwa hanya bentuk tidak terionisasi yang dikaitkan dengan penembusan membran (Gennaro, 2001). Koefisien partisi dari obat tergantung pada polaritas dan ukuran dari molekul. Obat dengan momen dipol yang tinggi, walaupun tidak terionisasi, mempunyai kelarutan dalam lemak rendah, dan oleh karena itu sedikit terpenetrasi. Ionisasi bukan saja mengurangi kelarutan dalam lemak sangat besar tetapi juga menghalangi perlintasan melewati membran yang bermuatan (Gennaro, 2001). Umumnya koefisien partisi lemak/air dari suatu molekul merupakan indeks yang berguna dalam kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi pasif (Lachman, dkk, 1989). Koefisien partisi minyak/air merupakan ukuran sifat lipofilik suatu molekul, ini merupakan rujukan untuk sifat fase hidrofilik atau lipofilik. Koefisien partisi harus dipertimbangkan dalam pengembangan bahan obat menjadi bentuk obat. Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air (Ansel, 1989). Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Aiache, dkk, 1993). Suatu senyawa yang dapat larut dalam dua pelarut yang tidak saling campur maka senyawa akan terdistribusi ke dalam fase polar (misal: air) dan fase non polar (misal: oktanol, kloroform, karbontetraklorida). Setelah tercapai kesetimbangan ternyata kadar senyawa dalam kedua pelarut tersebut selalu tetap

(pada suhu yang tetap) sehingga dapat ditentukan nilai koefisien partisinya (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Menurut Nernst, koefisien partisi dapat disederhanakan sesuai dengan persamaan: P = Co/Cw

atau

Log P = log Co – log Cw Co adalah kadar molal dalam fase non-air dan Cw kadar molal dalam air, setelah mengalami kesetimbangan partisi (Sardjoko, 1993). Nilai P seringkali dinyatakan dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log P 1 setara dengan nilai P 10. Nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa tertentu yang mengalami partisi ke dalam pelarut organik dalam jumlah yang sama. P = 10 berarti bahwa 10 bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian berada dalam lapisan air (Rohman, 2007). 2.4 Membran Sel Sel kehidupan dikelilingi oleh membran yang berfungsi untuk memelihara keutuhan sel, mengatur pemindahan makanan dan produk yang terbuang, mengatur keluar masuknya senyawa-senyawa dari dan ke sitoplasma. Membran sel bersifat semipermeabel dan mempunyai ketebalan total ± 8 nm. Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melalui sel epitel saluran cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Membran sel terdiri komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu : a. Lapisan Lemak Bimolekul Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35Ǻ, mengan dung kolesterol netral dan fosfo lipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin, fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus gliserilfosfat fosfolipid (Siswandono dan Soekardjo, 2000). b. Protein Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampifil karena mengandung gugus hidrofil dan hidrofob (Siswandono dan Soekardjo, 2000). c. Mukopolisakarida Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti glikolipid, atau dengan protein, seperti glikoprotein (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Membran sel mempunyai pori yang bergaris tengah antara 3,5-4,2 Ǻ, merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping molekul protein yang bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini secara difusi karena kekuatan tekanan darah (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Contoh membran biologis: sel epitel saluran cerna, sel epitel paru, sel endotel buluh darah kapiler, sawar darah-otak, sawar darah-cairan serebrospinal,

plasenta, membran glomerulus, membran tubulus renalis, dan sel epidermis kulit (Siswandono dan Soekardjo, 2000). 2.5 Usus Halus Pencernaan makanan yang dimulai dalam lambung, dilanjutkan dalam usus halus oleh enzim-enzim yang dihasilkan mukosanya dan dibantu agen pengemulsi dan enzim yang disekresi ke dalam lumennya oleh hati dan pankreas (Fawcett, 1994). Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9 m. Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot, yang melingkari peritoneum (Aiache, dkk, 1993).

Gambar 11. Usus Halus (Deferme, et al, 2008) Duodenum, dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk-C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum, yang terikat pada dinding dorsal

rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat

digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Kelokankelokan jejunum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian bawah rongga. Terdapat perbedaan kecil dalam histologi mukosa ketiga segmen usus halus itu, namun batas di antara ketiganya tidak jelas. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis konsentris: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Fawcett, 1994). Mukosa terdiri dari empat lapisan: permukaan lapisan tunggal, membran basal, lamina propia dan lamina muskularis mukosa (Deferme, et al, 2008). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes. Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh dengan villi yang tingginya 0,75-1 mm dan selalu bergerak. Adanya vili ini lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40-50 m2 (Aiache,dkk,1993). Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum; fungsi utama duodenum dan bagian pertama jejunum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari jejunum dan ileum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-6, jejunum 6-7, ileum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi obat, sebagai akibat disolusi dari berbagai bentuk sediaannya. Pada pH yang berbeda-beda absorpsi optimal suatu obat tergantung juga pada pKa obat (Joenoes, 2002). 2.6 Spektrofotometri Ultraviolet-visibel Spektrofotometer UV-vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UVvis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004). Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung pada panjang gelombang cahaya yang diserap. Sinar ultraviolet dan sinar tampak akan menyebabkan elektron tereksitasi ke orbital yang lebih tingi. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi cahaya disebut dengan kromofor (Dachriyanus, 2004). Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak (Rohman, 2007). Hukum Lambert-Beer (Beer’s law) adalah hubungan linieritas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis dengan: A = ε. b. C A = absorban (serapan) ε = koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1) b = tebal kuvet (cm) C = konsentrasi (M)

Pada beberapa buku ditulis juga: A = E. b. C E = koefisien ekstingsi spesifik (ml g-1cm-1) b = tebal kuvet (cm) C = konsentrasi (gram/100 ml)

Hubungan antara E dan ε adalah: 10. ε E = massa molar Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan sebagai berikut: T = I/Io I = intensitas cahaya setelah melewati sampel Io = intensitas cahaya awal Hubungan antara A dan T adalah A = -log T = -log (I/Io)

(Dachriyanus,

2004) Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama; dan absorbansi masing-masing larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan teramati sesuai dengan persamaan A = abc. Grafik ini disebut dengan plot hukum LambertBeer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang diamati (Rohman, 2007).