BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja 1.
Definisi Remaja Sebelum abad kedua puluh, tidak ada konsep masa remaja dan anak-anak dalam budaya
barat memasuki masa dewasa. Individu matang secara fisik atau ketika mulai bekerja magang maka dapat disebut dewasa. Dapat diketahui bahwa masa remaja merupakan kontruksi sosial (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Akan tetapi, ahli psikologi tetap mendefinisikan masa remaja. Gagasan mengenai remaja mulai direkonstruksi sejak Hall menerbitkan gagasannya. Sejak itu hingga saat ini para ahli mulai menyampaikan gagasan mengenai remaja. Hurlock adalah salah satunya. Hurlock (1980) mengungkapkan remaja sebagai periode peralihan serta menjabarkan arti remaja sebagai tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Lebih lanjut, Hurlock(1980) menjelaskan bahwa masa peralihan bukan berarti terputus karena pengalaman sebelumnya akan membekas dan akan terbawa ke tahap berikutnya. Masa remaja merupakan masa penting. Akar pemikiran Hurlock adalah pemikiran Piaget. Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Usia menjadi tolak ukur dalam definisi yang diungkapkan Piaget walaupun sesungguhnya remaja memiliki arti luas yang mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Piaget dalam Hurlock, 1980). Pemikiran Hurlock mengenai pentingnya masa remaja sejalan dengan Erickson (dalam Feist & Feist, 2010a) yang menyatakan remaja merupakan salah satu tahap yang penting karena 14
15
individu harus sudah mendapatkan identitas ego yang tetap pada akhir periode ini. Menurut Erickson (dalam Feist & Feist, 2010a), faktor yang berperan dalam periode ini adalah pubertas. Pubertas diartikan sebagai kematangan genital (Feist & Feist, 2010a; Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Pemikiran remaja terkait pubertas juga disampaikan oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2008). Papalia, Olds, dan Feldman (2008) mengungkapkan bahwa pubertas adalah awal masa remaja secara umum. Remaja didefinisikan sebagai perjalanan dari anak-anak menuju dewasa. Masa remaja adalah waktu meningkatnya perbedaan diantara anak muda mayoritas yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan menjadikannya produktif serta minoritas yang akan berhadapan dengan masalah besar (Offer & Schonrt-Reichl dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Semua pemikiran tersebut bermula dari pemikiran bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2007). Istilah yang sering digunakan Hall (dalam Santrock 2007a) adalah badai dan stress. Menurut pandangan ini, berbagai pemikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan. Pemikiran Hall sangat dipengaruhi oleh Charles Darwin, pencetus teori evolusi (Santrock, 2007a). Santrock memiliki pemikiran serupa dengan Hurlock. Santrock (2007a) mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencangkup perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional. Berdasarkan paparan definisi remaja, remaja diartikan sebagai tahapan penting untuk mendapatkan identitas ego melalui masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan pubertas yaitu kematangan genital.
16
2.
Batas Usia dan Proses Remaja Masa remaja dalam sebuah paradigma dijelaskan sebagai perjalanan panjang masa
anak-anak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 tahun sampai masa remaja akhir yaitu awal usia 20-an dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan pada semua ranah perkembangan (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Hurlock (1980) membagi dua masa remaja yaitu remaja awal dan akhir. Usia sekitar 17 tahun rata-rata individu mulai memasuki sekolah menengah atas disebut dengan masa remaja awal. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun. Individu berusia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun dikatakan sebagai remaja akhir yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1980). Dapat diketahui bahwa masa remaja menurut Hurlock dialami individu ketika berusia 13 hingga 18 tahun. Pendapat Hurlock berbeda dengan Hall (dalam Santrock, 2007a) yang menyatakan usia remaja berkisar antara 12 hingga 23 tahun. Meskipun rentang usia dari remaja bervariasi terkait dengan lingkungan dan budaya, Santrock (2007a) mengungkapkan masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Pendapat Santrock mengenai rentang usia masa remaja merupakan yang paling panjang diantara lainnya yaitu 13 tahun, dimulai sejak usia 10 hingga 22 tahun, sedangkan pendapat Hurlock adalah rentang yang paling pendek yaitu 6 tahun, dimulai sejak 13 hingga 18 tahun. Pendapat Hall memiliki perbedaan 1 tahun yang lebih pendek dari Santrock yaitu 12 tahun, yang dimulai dari 10 hingga 22 tahun. Pendapat ini berbeda 2 tahun dari Papalia dan Olds yang menyatakan masa remaja dimulai dari usia 11 dan berakhir pada usia 20-an. Papalia, Olds dan Feldman (2008) tidak menjelaskan lebih spesifik mengenai batas usia 20-an.
17
Walaupun berbeda dalam rentang usia, namun penjelasan umum mengenai proses masa remaja hampir sama. Proses perkembangan remaja mencangkup proses biologis, kognitif, sosial dan emosional (Santrock, 2007a). Proses biologis melibatkan perubahan fisik dalam tubuh individu (Santrock, 2007a). Proses ini umumnya dilihat dari kematangan seksual sebagai kemampuan untuk mereproduksi yang disebut pubertas (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Individu dapat dikatakan pubertas apabila telah mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Pubertas merupakan bagian dari perubahan hormonal. Selain itu, perubahan fisik lainnya yang mencerminkan perubahan biologis adalah perubahan dalam keterampilan motorik, tinggi dan berat tubuh, gen-gen yang diwariskan orangtua serta perkembangan otak (Santrock, 2007a). Perkembangan otak tidak hanya meliputi perkembangan fisik otak, menyertakan juga perkembangan kemampuan otak atau yang dapat disebut perkembangan kognitif. Proses perkembangan kognitif melibatkan perubahan pemikiran dan intelegensi individu (Santrock, 2007a). Masa remaja merupakan masa dengan level perkembangan kognitif tertinggi yaitu operasional formal (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Individu ditahap operasional formal mengintegrasikan hal yang dipelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa depan. Pemikiran pada tahap ini memiliki flesibilitas yang tidak ada di tahap sebelumnya. Mengingat sebuah puisi, memecahkan soal matematika, membayangkan masa depan merupakan contoh kehidupan remaja yang melibatkan proses kognitif. Proses ini memiliki implikasi emosional (Santrock, 2007a; Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Proses perkembangan emosional remaja tidak terlepas dari sosial sehingga proses ini umumnya dikenal dengan proses sosio-emosional. Perubahan dalam emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain dan konteks sosial merupakan komponen yang terlibat dalam proses sosio-
18
emosional. Perubahan emosi pada masa remaja memiliki pola yang sama dengan masa anakanak. Akan tetapi, remaja tidak mengungkapkan amarah dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak melainkan dengan menggerutu, tidak bicara, atau dengan suara keras mengkritik orang yang menyebabkan amarah. Selain itu, rangsangan yang membangkitkan emosi dan drajat emosi remaja berbeda dengan anak-anak (Hurlock, 1980). Individu dikatakan matang secara emosi apabila pada akhir masa remaja emosi yang dimiliki tidak meledak di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosi dengan cara-cara yang lebih dapat diterima (Hurlock, 1980). Proses kematangan emosi ini dapat terlihat dari menanggapi perkataan orang tua, agresi terhadap teman sebaya, dan kegembiraan dalam pertemuan sosial (Santrock, 2007a). Kematangan emosi individu dapat dicapai dengan pembelajaran memperoleh gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Cara yang dapat dilakukan diantaranya membicarakan berbagai masalah pribadi dengan orang lain. Keterbukaan perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh tingkat kesukaannya terhadap teman dan rasa aman dalam hubungan sosial (Hurlock, 1980). Tingkat kesukaan dan rasa aman dalam hubungan sosial merupakan konformitas pada standar tertentu yang dapat terjadi dari konteks sosial dan sejarah hidup remaja. Konteks sosial dan sejarah hidup merupakan salah satu sumber identitas remaja.
3. Perkembangan Identitas Diri Remaja Remaja merupakan masa pencarian identitas, yaitu masa menentukan siapakah dirinya, apa keunikannya, dan apa tujuan hidupnya (Santrock, 2007a). Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008) mendefinisikan pencarian identitas sebagai konsepsi tentang diri, penentuan
19
tujuan, nilai dan keyakinan yang diperteguh oleh orang lain. Ini merupakan fokus atau tugas pada masa remaja (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Pencapaian akhir pencarian identitas adalah identitas remaja. Akan tetapi, tidak semua remaja mendapatkan identitas diri dari puncak krisis antara identitas dan kebingungan identitas di masa remaja. Eksplorasi identitas merupakan bagian dari masa pembentukan identitas. Dalam eksplorasi indentitas, remaja mengalami psychosocial moratorium (Santrock, 2007a). Psycosocial moratorium merupakan kesenjangan antara rasa aman masa anak-anak dengan otonomi pada masa dewasa. Selain itu, dalam proses eksplorasi identitas, remaja sering bereksperimen dengan berbagai peran (Santrock, 2007a). Eksplorasi peran remaja dapat dilakukan (Santrock, 2007a) dengan menjadi ketua, sekretaris, maupun anggota dalam kelompok remaja, seperti organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Ekstrakurikuler yang ada di sekolah seperti basket, KSPAN (Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba), KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), dan PMR (Palang Merah Remaja) juga merupakan wadah bagi remaja untuk melakukan eksplorasi peran. Selain itu, kelompok teman sebaya di luar sekolah juga memberikan kesempatan bagi remaja untuk melakukan eksplorasi peran. Peran yang diambil oleh remaja dalam kelompok memberikan tanggungjawab kepada remaja. Kecenderungan remaja untuk membuat keputusan memilih peran yang dijalani merupakan unsur dalam pembentukan identitas (Purwadi, 2004). Eksplorasi peran lebih dari satu kelompok remaja dapat menimbulkan konflik peran berupa pengaturan waktu, tanggung jawab dan lainnya. Remaja yang berhasil mengatasi dan menerima peran-peran yang saling berkonflik satu sama lain, dapat beridentifikasi dengan sebuah penghayatan mengenai diri yang baru, menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas akan menderita kebingungan sehingga dapat menarik
20
diri, mengisolasi diri dari kawan-kawan dan keluarga atau sebaliknya meleburkan diri dalam dunia teman sebaya dan kehilangan identitasnya sendiri dalam kelompok (Santrock, 2007a). James Marcia (dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa perkembangan identitas yang dikemukakan Erikson terdiri dari empat status identitas atau cara yang ditempuh dalam penyelesaian krisis identitas yaitu : a. Identity diffusion yang merujuk pada kondisi remaja yang belum pernah mengalami krisis (belum pernah mengeksplorasi berbagai alternatif yang bermakna) ataupun membuat komitmen apapun. Remaja ini tidak hanya tidak membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam ini. b. Identity foreclosure yang merujuk pada kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis identitas. Status ini sering kali terjadi jika orang tua meneruskan komitmen pada remaja, umumnya secara otoriter. Dengan demikian, remaja dengan status identitas ini belum memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis dan pekerjaan sendiri. c. Identity moratorium yang merujuk pada kondisi remaja yang berada pada pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu. d. Identity achievement merujuk pada kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas dan membuat komitmen.
Empat identitas remaja tersebut sesuai dengan teori Erikson dan diklarifikasikan sesuai dengan krisis dan komitmen oleh Marcia. Krisis didefinisikan sebagai suatu periode
21
perkembangan individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang bermakna. Komitmen diartikan sebagai investasi pribadi mengenai hal-hal yang hendak individu lakukan (Santrock, 2007a). Komitmen dalam usia remaja dapat membentuk kehidupan remaja beberapa tahun kemudian (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Tingkat remaja dapat memegang teguh komitmennya memengaruhi kemampuan individu memecahkan krisis identitas. Semakin tinggi kemampuan remaja memegang teguh komitmennya membuat individu semakin mampu memecahkan krisis identitas. Sebaliknya, individu akan semakin sulit memecahkan krisis identitas apabila kurang mampu memegang teguh komitmennya. Remaja
yang
berhasil
mengatasi
krisis
identitas
dengan
memuaskan
akan
mengembangkan moral berupa kesetiaan dengan mempertahankan loyalitas, keyakinan atau emosi (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Keberhasilan mengatasi krisis identitas juga membuat individu memiliki keyakinan sesuai dengan prinsip dirinya sehingga memiliki kemampuan untuk memutuskan secara bebas mengenai perilaku dirinya. Keputusan melakukan perilaku bertujuan agar diakui dan diterima oleh kelompok dan orang dewasa (Feist & Feist, 2010a).
4. Steriotip, Masalah dan Pandangan Positif Remaja Remaja digambarkan sebagai sosok yang abnormal dan menyimpang bukan sebaliknya (Santrock, 2007a). Gambaran tersebut merupakan sebuah generalisasi kesan keyakinan kita mengenai berbagai kategori yang luas terhadap manusia yang disebut stereotip. Semua stereotip mengandung sebuah gambaran anggota kelompok tertentu. Salah satu contoh stereotip masa remaja adalah masa remaja merupakan masa-masa pemberontakan karena melibatkan perubahan emosional, perilaku tidak peduli dan penolakan alienasi nilai orang dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Faktanya, penelitian sekolah di seluruh dunia menyatakan hanya satu dari lima
22
remaja yang memenuhi kriteria pemberontakan (Offer & Schonert-Reichl dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Pemberontakan dalam arti sebenarnya saat ini tampat tidak umum di masyarakat khususnya di kalangan anak muda kelas menengah yang bersekolah. Hanya 15% - 25% keluarga dengan anak remaja yang melaporkan konflik dan masalah sebelum mencapai masa remaja (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Walaupun permasalahan remaja seperti penyalahgunaan obat-obatan, alkohol, kenakalan, kehamilan tidak direncanakan, bunuh diri, dan gangguan makan masih (Santrock, 2002) menjadi tantangan remaja. Tantangan remaja semakin berkembang menjadi komplek dibandingkan remaja sebelumnya
meliputi tuntutan, harapan, serta risiko dan godaan-godaan (Santrock, 2002).
Tantangan tersebut meninbulkan stereotip remaja yang stress dan terganggu. Sebuah analisis terbaru pada liputan televisi lokal menemukan bahwa hampir setengah persen dari topik-topik yang paling sering dilaporkan mengenai anak muda adalah topik-topik seputar kejahatan yang dilakukan remaja dan kecelakaan yang dialami (Gilliam & Bales dalam Santrock, 2007a). Faktanya, banyak remaja memperlihatkan prestasi sebagai tanda keberhasilan melalui tahapan dari anak-anak menuju dewasa. Fakta mengenai prestasi positif remaja seperti berpartisipasi dalam layanan komunitas disangkal oleh orang dewasa. Orang dewasa mengatakan bahwa remaja yang berprestasi tersebut merupakan pengecualian (Santrock, 2002; Santrock, 2007a). Pada dasarnya steriotip remaja tersebut merupakan pandangan yang berlebihan (Santrock, 2007a). Pandangan yang lebih positif muncul pada abad terakhir ini. Remaja dipandang sebagai sebuah periode yang penuh masalah namun mayoritas remaja tidak terganggu dan bermasalah (Santrock, 2007a). Permasalahan pada masa remaja dapat memunculkan sisi positif berdasarkan pengalaman individu. Sisi positif atas pengalaman lebih menekankan pada
23
harapan, rasa optimis, sifat positif individu, kreativitas, kelompok positif dan nilai-nilai kewarganegaraan.
B. Psychological Well-Being 1.
Definisi Psychological Well-Being Penelitian mengenai well-being bukan merupakan topik baru dalam psikologi. Well-
being telah menjadi salah satu aspek dari kualitas hidup sejak kontruk kualitas hidup diperkenalkan pada tahun 1980. Kualitas hidup sebagai penilaian evaluatif berdasarkan tujuan memiliki indikator subjektif seperti fisik, kognitif, emosi dan kehidupan individu dalam konteks sosial. Kualitas hubungan dalam kehidupan sosial individu menjadi salah satu faktor well-being secara subjektif atau yang disebut subjective well-being. Subjective well-being yang merujuk pada pandangan dan perasaan individu terhadap kehidupan (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000) dapat menjadi salah satu indikator kuat kualitas hidup yang memuaskan dan bahagia (Efklides & Moraitou, 2013; Compton,2005). Ini terjadi apabila individu menjadikan kepuasan dan kebahagian sebagai tujuan hidup, kehidupan yang memuaskan dan bahagia sebagai definisi kehidupan yang baik (Efklides & Moraitou, 2013). Kehidupan yang baik tersebut merupakan definisi secara subjektif sehingga dapat memunculkan definisi berbeda. Ryan dan Deci (dalam Linley & Joseph, 2004) mendefinisikan kehidupan yang baik adalah kesejahteraan yang muncul ketika individu berfungsi secara optimal dan ditandai dengan pengembangan fungsi dari yang sederhana sampai kompleks atau optimal. Mengacu pada konsep Ryan dan Deci, kesejahteraan yang dimaksud mengarah pada konsep psychological well-being. Huppert (2009) mendefinisikan psychological well being sebagai kehidupan yang berjalan dengan baik. Ini merupakan kombinasi dari perasaan baik dan keberfungsian diri secara efektif.
24
Konsep berfungsi efektif secara psikologis melibatkan pengembangan potensi individu, memiliki kontrol terhadap kehidupannya, memiliki tujuan dan memiliki hubungan positif. Keberfungsian individu secara efektif ini dalam kehidupan sehari-hari berkembang melalui kemampuan individu mengelola emosi negatif atau menyakitkan seperti kekecewaan, kegagalan, dan kesedihan (Huppert,2009). Keseluruhan emosi negatif atau pengalaman menyakitkan merupakan salah satu tantangan kehidupan. Keterlibatan individu dalam tantangan kehidupan khususnya tantangan eksistensial juga merupakan definisi psychological well-being oleh Ryff dan rekan-rekannya (dalam Linley & Joseph, 2004) sehingga well-being dikonsepkan dengan cara berbeda. Konsep well-being dalam kualitas hidup bukan hanya mengacu pada subjective well-being tetapi juga mengacu pada psychological well-being. Selain definisi, perbedaan utama psychological well-being dari subjective well-being adalah struktur yang mana psychological well-being terdiri dari 6 dimensi sedangkan subjective well-being terdiri dari 7 komponen kepuasan yaitu kepuasan terhadap diri, keluarga, teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Sedangkan 6 dimensi psychological well-being adalah penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, autonomi, tujuan hidup dan penguasaan lingkungan (Compton, 2005; Linley & Joseph, 2004; Carr, 2004; Wells, 2010). Studi mengenai psychological well-being sudah banyak dilakukan selama kurun waktu 30 tahun. Studi ini dipandu oleh dua konsep utama dari fungsi positif yaitu pertama mengenai penyempurnaan dan metodologis yang membedakan positif dan negatif serta mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseimbangan keduanya. Kedua, menekankan kepuasan hidup sebagai indikator kunci dari well-being yang telah terkenal di kalangan sosiolog (Ryff & Keyes, 1995). Sedangkan definisi mengenai psychological well-being tidak banyak dibahas.
25
Berdasarkan penjelasan mengenai psychological well-being, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being memiliki definisi berbeda dengan subjective well-being. Psychological well-being didefinisikan sebagai kombinasi perasaan baik dan keberfungsian individu melalui pengembangan potensi, kepemilikan kontrol terhadap kehidupan, kepemilikan tujuan dan hubungan positif untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi tantangan eksistensial seperti emosi dan pengalaman negatif sehingga kehidupan dapat berjalan dengan baik.
2. Aspek-Aspek Psychological Well-Being Ryff mengajukan model multidemensional yaitu penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, autonomi, tujuan hidup, dan penguasaan lingkungan. Landasan teori Ryff adalah teori perkembangan tahap psikososial dari Erikson yang dicetuskan pada tahun 1959, teori dari Buhler pada tahun 1935 mengenai kecenderungan hidup dasar, teori kepribadian Neugarten pada tahun 1973 mengenai kesehatan mengartikulasikan lintasan pertumbuhan di seluruh siklus kehidupan, konsepsi Maslow mengenai aktualisasi diri terkait dengan deskripsi lebih lanjut tentang well-being dalam ranah psikologi klinis yang dicetuskan pada 1968 serta formulasi kematangan individu yang dicetuskan Allport pada tahun 1961. Selain itu, penggambaran Rogers mengenai keberfungsian penuh individu, teori individu Jung dan sumber kesehatan mental yang umumnya menguraikan fungsi negatif psikologi walaupun tetap mengekplorasi fungsi positif juga turut serta menjadi sumber pemikiran Ryff. Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1995) mendukung dimensi psychological well-being sebagai ukuran yang valid dari kesehatan mental di berbagai populasi (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser, 2012; Wells,2010). Penjelasan keenam dimensi psychological well-being tersebut, sebagai berikut :
26
a. Penerimaan diri (self acceptence) Penerimaan diri merupakan fitur utama dari kesehatan mental, fungsi optimal, serta kematangan yang didefinisikan sebagai opini positif mengenai diri yang dimiliki individu. Penilaian ini bukan merupakan cinta narsis terhadap diri atau harga diri yang dangkal, melainkan cinta diri yang dibangun sendiri berdasarkan aspek positif dan negatif diri. Ini dibangun dengan penilaian diri yang jujur dengan menyadari kegagalan dan keterbatasan pribadi namun tetap memiliki cinta untuk menerima diri sendiri. Beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan penerimaan diri diantaranya sikap, perasaan positif terhadap diri sendiri, penerimaan berbagai aspek positif dan negatif diri, dan perasaan positif terhadap masa lalu (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser,2012; Wells, 2010). b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Hubungan positif dengan orang lain merupakan aspek yang penting dalam psychological well-being. Hubungan positif dengan orang lain berkaitan dengan kemampuan untuk mencintai yang dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. Ketabahan, kesenangan dan menikmati hubungan yang dekat dari keintiman dan cinta dengan orang lain termasuk hubungan positif dengan orang lain. Kemampuan individu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi kepada sesama manusia dan mampu memberi kasih yang besar, persahabatan yang dalam, serta keintiman yang kuat dalam suatu hubungan dapat menjadi prediktor tingginya psychological well-being. Hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain ini menjadi
27
penekanan penting dalam banyak teori khususnya kesehatan mental (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser, 2012; Wells, 2010). c. Kemandirian (otonomy) Kemandirian mengacu pada kemampuan untuk menyendiri apabila diperlukan. Kemampuan individu untuk berpegang teguh pada dirinya sendiri. Kemampuan ini berguna untuk mendapatkan keyakinan pribadi sehingga mampu mengambil keputusan sendiri dan mandiri. Dengan keputusan tersebut individu dapat berpikir dan bersikap dengan cara yang benar dalam melawan tekanan sosial. Kemamdirian individu dapat terlihat dari perilaku individu yang sesuai dengan standar diri sendiri, tidak mencari penerimaan dari orang lain, mengevaluasi diri sendiri berdasarkan standar personal (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser, 2012; Wells,2010). d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Penguasaan lingkungan berkaitan dengan merasakan penguasaan berdasarkan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya. Selain itu, penguasaan lingkungan dapat tercermin dari kemampuan individu memanipulasi maupun mengendalikan lingkungan yang kompleks, pengambilan keputusan yang menguntungkan berdasarkan peluang yang ada di lingkungan, serta partisipasi yang aktif dalam lingkungan (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser, 2012; Wells,2010). e. Tujuan hidup (purpose in life) Tujuan hidup berkaitan dengan kemampuan individu untuk menemukan arti dan mengarahkan pengalaman untuk tujuan serta merencanakan tujuan (goals) dalam
28
hidup. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna. Tujuan hidup mengarahkan pada perubahan seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosional di kemudian hari, memiliki tujuan, niat, dan arah hidup, yang berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup ini bermakna (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser, 2012; Wells,2010). f.
Pertumbuhan Pribadi (personal growth) Pertumbuhan pribadi berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengenali kemampuan dan bakatnya sendiri sehingga mampu mengembangkan sumber daya baru. Pertumbuhan kearah pribadi yang matang menekankan pemahaman mengenai tujuan hidup. Pusat dari perspektif pertumbuhan pribadi ini adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari satu potensi sehingga tujuan hidup menjadi satu penekanan dalam pertumbuhan ke arah pribadi yang matang. Keterbukaan terhadap pengalaman menjadi indikator penting untuk terus bertumbuh dan konfrontatif terhadap tantangan baru atau tugas pada periode yang berbeda dari kehidupan (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan,& Anasser, 2012; Wells,2010).
3. Faktor- faktor Psychological Well-Being Psychological well-being dipengaruhi oleh sifat pengalaman subjektif individu dan berkaitan dengan beberapa faktor lainnya seperti fungsi fisik, mental dan sosial (Wells, 2010). Faktor fungsi fisik, mental dan sosial diuraikan Singh, Mohan, dan Anasser (2012) dalam bukunya sebagai berikut :
29
a. Usia (age) Pertumbuhan pribadi individu semakin berkurang seiring dengan usia yang bertambah. Semakin tua usia individu, maka pertumbuhan pribadi semakin berkurang. Pertumbuhan pribadi lebih tinggi ditunjukkan oleh orang-orang muda karena individu dalam usia ini menganggap diri mereka telah membuat kemajuan yang signifikan sejak masa remaja dan memiliki harapan besar untuk masa depan, sehingga skor dalam penilaian diri orang muda untuk pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup. Berbanding terbalik dengan penguasaan lingkungan dan otonomi. Individu akan semakin memiliki penguasaan lingkungan dan menunjukkan otonomi ketika individu mencapai tahap yang lebih tua. Individu paruh baya dan lanjut usia cenderung menunjukkan penguasaan lingkungan yang lebih baik daripada orang muda. Selain itu, orang di usia paruh baya cenderung tetap dalam proses berkesinambungan perbaikan dari masa lalu ke masa kini dan mempertahankan psychological well-being yang tinggi. Orang di usia dewasa akhir konsisten menganggap diri mereka berhubungan dengan masa lalu dan tidak berkembang menuju masa depan. Bagi orang yang bertambah tua perbedaan antara cita-cita mereka dan persepsi mereka tentang realitas tampak berkurang. Dari perspektif positif, kelompok usia dewasa akhir cenderung menguasai lingkungan lebih baik daripada kelompok usia lain. b. Jenis kelamin (gender) Hubungan antara jenis kelamin dan psychological well-being berbeda dalam beberapa penelitian. Beberapa studi menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dan psychological well-being seperti penelitian Whitbourne dan Power (dalam
30
Singh, Mohan,& Anasser, 2012) yang menjelaskan wanita lebih berhubungan dekat dengan peristiwa dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan profesional mereka. Penelitian lain di Australia yang menilai tingkat kepuasan dan variabel lainnya selama satu periode kehidupan menemukan bahwa psychological well-being perempuan meningkat ketika memasuki tahap akhir transisi menopause. Perbedaan jenis kelamin dalam psychological well-being dapat lebih besar pada orang yang lebih tua karena wanita mengalami penurunan lebih besar dalam ambisi mereka saat mereka tumbuh dewasa. Akan tetapi, studi metaanalisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan,& Anasser, 2012) kepada remaja sampai usia tua, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being antara jenis kelamin. c. Kelas sosial ekonomi (socio-economic level) Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (dalam Singh, Mohan,& Anasser, 2012) menunjukkan hubungan yang jelas mengenai dampak tingkat ekonomi pada psychological well-being. Penelitian tersebut mengungkapkan hubungan antara tingkat sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being, seperti penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, tujuan individu dan tujuan hidup. Terdapat juga bukti gradien sosial di seluruh penduduk, dengan tingkat yang lebih rendah dari segi psikologis dikaitkan dengan status yang lebih rendah. Hasil ini konsisten juga dengan situasi keuangan. Secara keseluruhan, psychological well-being akan meningkat ketika situasi keuangan menguntungkan yang ditunjukkan dengan keseimbangan ekonomi positif. Sebaliknya, tingkat psychological well-being menjadi buruk ketika situasi keuangan
31
menjadi buruk dan jumlah pendapatan menurun. Selain itu, rumah atau tempat tinggal menjadi faktor penting tingkat sosial ekonomi. Diakui bahwa daerah perumahan berdampak pada psychological well-being individu. d. Relasi sosial (social relations) Orang harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-teman yang dapat dipercayai dalam hubungan interpersonal. Bianco dan Diaz (dalam Singh, Mohan,& Anasser, 2012) mengungkapkan bahwa psychological well-being jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan hubungan interpersonal yang terungkap dari terbukti melalui kontak di masyarakat dan pola aktif persahabatan dan partisipasi sosial. Bahkan, salah satu dimensi psychological well-being adalah kemampuan untuk mempertahankan hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1995). e. Kesejahteraan dan hubungan positif dengan orang lain Tingkat interaksi antara faktor sosial dan psikologis mempengaruhi psychological well-being individu. Pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian individu terkait well-being dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Diener dan Diener (dalam Signh, 2012). Variabel budaya yang terdiri dari tingkat individualisme dan kolektivitisme masyarakat dapat mempengaruhi hubungan antara well-being dan variabel sosiologis. Beberapa data menunjukkan ada rasa yang lebih baik dari koheresi kelompok dalam budaya kolektivitas dan dukungan sosial yang dapat meningkatkan psychological well-being individu. f. Kepribadian (personality) Costa dan McCrae (dalam Singh, Mohan,& Anasser, 2012) menyatakan bahwa kaitan antara variabel kepribadian dan psychological well-being telah terbukti
32
selama beberapa dekade terakhir. Secara keseluruhan, konsep psychological wellbeing terkait dengan persepsi subjektif individu atas prestasi diri dan kepuasan dengan masa lalu, masa sekarang dan tindakan masa depan. Dalam hal ini, mengacu pada pendapat dan konstruktif pikiran positif yang dimiliki tentang dirinya. Orang dengan kecenderungan neurotik yang sistematis umumnya lebih tertekan karena neurotisisme secara independen mempengaruhi emosi negatif sedangkan ekstroversi mempengaruhi emosi positif. Extrovert belajar menjadi bahagia lebih cepat, namun tidak mudah menjadi sedih, sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik lebih cepat menjadi sedih tetapi lebih sulit untuk menjadi bahagia. Extrovert lebih sensitif dari pada introvert terhadap sinyal reward. Orang yang sering mengungkapkan perasaan baik akan cenderung memiliki stabilitas emosi dan ektroversi. Orang dengan kecerdasan emosional lebih tinggi memiliki penguasaan tugas-tugas yang lebih baik dan memiliki hasil pengalaman dengan tingkat yang lebih tinggi dalam psychological well-being. Kemampuan mengelola emosi yang baik berkaitan dengan penyesuaian lingkungan lebih baik secara psikologis sehingga memiliki tingkat psychological well-being lebih tinggi. C. Sukarelawan 1. Definisi Sukarelawan Aktivitas apapun yang dilakukan tanpa ikatan untuk menguntungkan orang lain maupun kelompok disebut voluntering atau dilakukan secara sukarela (Wilson, 2000). Aktivitas ini idealnya mencakup kemampuan individu untuk bertindak secara autentik, baik, benar sesuai dengan nilai-nilai, situasi dan riwayat individu (Jedlicka, 1990). Kemampuan tersebut
33
didefinisikan sebagai kerelawanan (voluntarism) oleh Jedlicka (1990). Berdasarkan definisi tersebut aktivitas yang dilakukan dengan kemampuan bertindak autentik, baik, benar sesuai dengan nilai-nilai, situasi dan riwayat secara sukarela disebut dengan aktivitas kerelawanan. Aktivitas kerelawanan adalah kegiatan yang direncanakan, dipertahankan dan membutuhkan lebih banyak waktu karena tindakan menolong yang dilakukan bukan hanya tindakan spontan membantu orang asing (Snyder & Onoto dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Orang sebagai bagian dari kelompok yang melibatkan komitmen dan melakukan perilaku menolong secara sukarela melakukan aktivitas kerelawanan disebut dengan sukarelawan atau volunteer (Henderson dalam Sergent & Sedlacek, 1990). Individu tetap dikatakan sukarelawan (volunteer) walaupun orang yang ditolong merupakan individu dalam lingkup sempit seperti perawatan kepada anggota keluarga dan teman (Wilson, 2000). Menurut Henderson (dalam Sergent & Sedlacek, 1990) individu disebut sukarelawan (volunteer) apabila memberikan kontribusi jasa tanpa melihat keuntungan finansial dari fungsional subkomunitas. Nugroho (2007) mengemukakan bahwa sukarelawan (volunteer) adalah pelopor-pelopor penggerak masyarakat yang mengabdi tanpa pamrih, ikhlas, dan peduli serta memiliki komitmen kuat pada kemajuan masyarakat sebuah wilayah. Sukarelawan (volunteer) dapat berkontribusi dengan memberikan waktu, tenaga, bakat termasuk kemampuan intelektualitas dan harta dalam setiap aktivitas (Nugroho, 2007). Sukarelawan umumnya menjalankan organisasi yang dibiayai dari sumbangan masyarakat. Organisasi ini terus memberikan bantuan kepada orang miskin, jompo maupun cacat (Taylor, Peplau, & Sears, 2009) sehingga sukarelawan bekerja tidak mendapatkan keuntungan secara finansial dari fungsional subkomunitas (Henderson dalam Sergent & Sedlacek, 1990). Walaupun tidak mendapatkan imbalan material, aktivitas yang dilakukan oleh sukarelawan dapat
34
menjadi kegiatan rekreasi. Aktivitas ini menimbulkan kepuasan karena aktivitas yang dilakukan mendapat pengakuan dan dipuji secara terbuka oleh media dan negara (Nakano, 2005; Sergent& Sedlacek, 1990). Stebbins (dalam Larocque, Gravelle, & Karlls, 2002) keterlibatan sukarelawan dalam aktivitas kerelawanan dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu : a. Untuk mendapatkan manfaat masa depan misalnya karyawan menyelenggarakan acara sosial untuk mendapatkan eksposur yang akhirnya dapat membantunya mendapatkan promosi. b. Sebagai cara untuk mengeksplorasi pekerjaan yang umumnya dilakukan kalangan muda dan pengangguran sebagai usaha untuk mendapatkan pengalaman kerja di masa depan, atau sebagai pekerjaan mencari strategi. c. Sebagai cara untuk tetap sibuk. Contohnya, mengganti aktivitas kerja oleh sukarelawan setelah pensiun. Kraus (dalam Larocque, Gravelle, & Karlls, 2002) menunjukkan pentingnya aktivitas kerelawanan bagi individu yang akan mengandalkan kegiatan seperti sering sebagai pengganti untuk kegiatan bekerja yang merujuk pada orang setelah pensiun. Akan tetapi, penelitian Lopez (2003) menunjukkan sukarelawan lebih banyak berasal dari kalangan anak muda atau remaja dibandingkan orang dewasa. Keterlibatan sukarelawan dalam ditunjukkan melalui tindakan prososial atau memiliki konsekuensi positif bagi orang lain (Meier & Stutzer, 2004). Keterlibatan sukarelawan dalam aktivitas kerelawanan dibuktikan memiliki enam fungsi: a. Memampukan individu untuk mengekspresikan nilai-nilai personal seperti kasih sayang dan perhatian kepada orang yang kurang beruntung.
35
b. Memampukan individu memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengalaman baru. c. Cara beraktivitas yang dihargai orang lain untuk mendapat persetujuan sosial, dan memperkuat hubungan sosial. d. Memberikan kesempatan untuk menambah pengalaman untuk tujuan karier atau pekerjaan. e. Membantu individu mengalihkan perhatian dari problema sendiri dan menghindari perasaan bersalah f. Menyediakan peluang untuk pertumbuhan pribadi dan memperkuat harga diri (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Berdasarkan paparan mengenai sukarelawan dapat disimpulkan bahwa sukarelawan adalah orang atau sekelompok orang yang menolong, melibatkan komitmen untuk membantu secara spontan individu, keluarga, masyarakat dalam memecahkan permasalahan sosial tanpa mengharapkan keuntungan. Kegiatan berkonsekuensi positif yang dilakukan sukarelawan dengan kemampuan bertindak autentik, baik, benar sesuai dengan nilai-nilai, situasi dan riwayat secara sukarela disebut aktivitas kerelawanan. Sukarelawan dapat berkontribusi melalui tenaga, pemikiran, bakat termasuk kemampuan intelektual serta harta yang dilakukan dengan lebih banyak waktu dibandingkan dengan tindakan menolong orang asing sehingga jumlah waktu sukarelawan melakukan aktivitas kerelawan dapat menjadi prediktor aktivitas kerelawanan. Jumlah waktu sukarelawan melakukan kegiatan berdasarkan sifat untuk ikut serta membantu individu, keluarga, masyarakat dalam memecahkan permasalahan sosial dengan perasaan ikhlas dan semangat pengabdian disebut frekuensi aktivitas kerelawanan.
36
2. Motivasi Aktivitas Sukarelawan Walaupun mendapatkan kepuasan, sukarelawan tidak mendapatkan imbalan materil sebagai kompensasi atas kontribusinya di masyarakat (Sergent& Sedlacek, 1990) sehingga motivasi sukarelawan menjadi penting bagi administrasi sukarelawan (Culp, 1997). Culp (1997) menemukan ada tiga motivasi utama individu menjadi sukarelawan yaitu pemuda tertarik pada masalah atau isu, program sebagai bentuk kerjasama, dan motif pribadi berupa kebutuhan yang dirasakan. Motivasi sukarelawan lainnya dapat berupa kontak sosial, membantu orang lain, mengisi waktu, mendapatkan pengakuan, memenuhi harapan orang lain, membantu mencapai tujuan organisasi, pengayaan pribadi, mengembangkan keterampilan, menyenangkan dan kenikmatan, memiliki rasa keberhasilan, ekspresi diri dan meningkatkan citra diri (Nassar & Talaat, 2008). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa motivasi sukarelawan dipengaruhi oleh tanggung jawab, pengakuan, pekerjaan sukarelawan dan pengembangan potensi diri. Semakin besar tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi kepada sukarelawan maka sukarelawan akan semakin termotivasi untuk melakukan aktivitas. Sukarelawan akan semakin termotivasi apabila organisasi sering memberikan sukarelawan pengakuan. Selain itu semakin menarik pekerjaan (aktivitas) kerelawanan dan semakin sering kesempatan yang diberikan organisasi terhadap relawan akan meningkatkan motivasi sukarelawan (Putri & Raharjo, 2012). Putri dan Raharjo (2012) mengungkapkan bahwa sukarelawan akan mengalami penurunan motivasi seiring berjalannya waktu sehingga penting untuk
menjaga motivasi
sukarelawan sebagai agen perubahan sosial (Nakano, 2005). Berdasarkan paparan motivasi relawan dapat ditingkatkan dengan memberikan tanggung jawab, pengakuan, pekerjaan sukarelawan dan pengembangan potensi diri. Selain itu, tetap menjaga kontak sosial dengan
37
kegiatan membantu orang lain dalam memenuhi harapan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi sebagai wadah sukarelawan mengisi waktu, mengembangkan keterampilan sehingga sukarelawan menikmati rasa keberhasilan yang menyenangkan dalam mengekspresikan diri dan meningkatkan citra diri sukarelwan.
3.
Perbedaan tindakan sukarelawan dan prososial Perilaku prososial adalah setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk
membantu orang lain terlepas dari motif penolong (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi. Orang cenderung menolong orang yang dikenal daripada orang yang tidak dikenal walaupun memungkinkan menolong orang yang tidak dikenal. Selain itu, alasan suka, merasa berkewajiban, memiliki pamrih maupun empati merupakan motif orang dalam menolong orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut Mussen (dalam Asih & Pratiwi, 2010), aspek-aspek yang mendasari perilaku prososial adalah: a. Berbagi (sharing), yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka. b. Menolong (helping), yaitu kesediaan untuk memberikan bantuan kepada orang lain, baik berupa moril maupun materiil. c. Berderma (donating), yaitu kesediaan untuk memberikan secara suka rela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. d. Kerjasama (cooperating), yaitu kesediaan untuk bekeijasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan.
38
e. Jujur (honesty), yaitu kesediaan untuk melakukan seperti apa adanya dan tidak berbuat curang terhadap orang lain. Berdasarkan paparan dapat diketahui bahwa perilaku kerelawanan merupakan tindakan prososial. Akan tetapi, perilaku prososial dan tindakan prososial memiliki motif dan aspek yang berbeda. Dalam perilaku prososial, motif pamrih dapat menjadi dasar perilaku menolong namun dalam aktivitas kerelawanan, sukarelawan melakukan perilaku menolong dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan. Perbedaan utama tindakan pro sosial dengan aktivitas kerelawanan adalah waktu. Aktivitas kerelawanan adalah kegiatan yang direncanakan, dipertahankan dan membutuhkan lebih banyak waktu daripada tindakan prososial.
D. Dinamika Antar Variabel Bianco dan Diaz (dalam Singh, Mohan,& Anasser, 2012) mengungkapkan bahwa psychological well-being jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan hubungan interpersonal yang terungkap melalui kontak di masyarakat dan pola aktif persahabatan serta partisipasi sosial. Partisipasi sosial dapat dilakukan melalui aktivitas kerelawanan sebagai kegiatan yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain. Kegiatan ini dilakukan oleh sukarelawan berdasarkan sifat untuk ikut serta membantu sesama individu, keluarga, masyarakat tanpa mengharapkan keuntungan dengan perasaan ikhlas dan semangat pengabdian. Salah satu prediktor aktivitas kerelawanan sukarelawan yang banyak terdiri dari anak muda (Lopez, 2003) adalah jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas kerelawanan karena melalui waktu luang untuk melalukan aktivitas kerelawanan, sukarelawan menyumbangkan tenaga, pemikiran, bakat termasuk kemampuan intelektual serta harta sesuai dengan waktu luang. Berdasarkan paparan tersebut, jumlah waktu sukarelawan
39
melakukan aktivitas kerelawanan atau dalam penelitian ini didefinisikan sebagai frekuensi aktivitas kerelawanan dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup
(purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth) diasumsikan dapat mempengaruhi psychological well-being sukarelawan yang menurut Lopez (2003) banyak dilakukan oleh anak muda. Berikut adalah bagan yang dapat menjelaskan mengenai hubungan aktivitas sukarelawan dengan psychological well-being :
Frekuensi aktivitas kerelawanan
Sukarelawan remaja
Psychological wellbeing 1. Penerimaan diri 2. Tujuan hidup
1. Usia, 3. Otonomi 2.
jenis kelamin,
3.
kelas sosial ekonomi,
4.
relasi sosial,
5.
hubungan positif dengan orang lain
6.
kepribadian
Gambar 1.Dinamika Antar Variabel
4. Penguasaan Lingkungan 5. Hubungan Positif dengan Orang lain 6. Pertumbuhan pribadi
40
Keterangan : Faktor terkait Psychological well-being Variabel yang ingin teliti
Jalur yang diteliti Jalur faktor lain yang mempengaruhi
Gambar menjelaskan bahwa variabel bebas penelitian ini yaitu frekuensi aktivitas kerelawanan diasumsikan memiliki hubungan dengan psychological well-being remaja sebagai variabel terikat. Dalam hal ini, psychological well-being juga dapat berhubungan dengan faktor-faktor yakni jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, hubungan positif dengan orang lain, dan kepribadian tidak akan diteliti dalam penelitian ini. Usia dan relasi sosial dimasukkan ke dalam penelitian namun dibuat konstan dengan melakukan kontrol atau disebut dengan variabel kontrol (Purwanto, 2010).
E. Hipotesis dan Pertanyaan Penelitian Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris (Aswar, 1998). Hipotesis dalam penelitian ini adalah hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Hipotesis yang ingin diajukan dalam penelitian ini yaitu : H1 : terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. H0 : tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Selain itu, peneliti juga mengajukan dua pertanyaan penelitian yaitu mengapa salah satu hipotesis tersebut dapat diterima? Dan apa makna aktivitas kerelawanan bagi sukarelawan remaja di Bali?
41