BAB III ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN DISTRIBUSI RESERVOIR PADA LAPANGAN DELIMA
Lapangan Delima merupakan salah satu lapangan yang sudah masuk dalam tahap pengembangan. Oleh karena itu, diperlukan suatu studi yang memberikan kontribusi untuk menemukan sumber-sumber hidrokarbon baru pada lapangan migas tersebut. Analisis lingkungan pengendapan dan distribusi reservoir merupakan studi yang diperlukan dalam pengembangan lapangan migas. Studi lingkungan pengendapan dari suatu lapisan reservoir dapat membantu untuk mengetahui pola sedimentasi dari lapisan tersebut. Selain itu, intepretasi geometri reservoir akan lebih mudah setelah mengetahui lingkungan pengendapan dari suatu lapisan reservoir. Studi distribusi reservoir suatu lapangan juga merupakan hal yang penting karena dapat membantu para ahli geologi untuk menentukan posisi-posisi sumur baru. Hal itu tentunya tidak terlepas dengan integrasi dari studi lainnya, seperti analisis petrofisika reservoir. Terdapat beberapa langkah untuk mengetahui distribusi reservoir. Pada penelitian ini langkah-langkah yang digunakan, yaitu korelasi sumur, well seismic tie, picking marker stratigrafi dan patahan pada seismik, pemetaan bawah permukaan (peta struktur waktu dan kedalaman), analisis atribut seismik, dan pemetaan netsand interval penelitian.
36
3.1 Korelasi sumur Korelasi merupakan suatu pekerjaan menghubungkan suatu titik pada suatu penampang stratigrafi dengan titik yang lain pula dengan anggapan bahwa titik-titik tersebut terletak pada perlapisan yang sama (Koesoemadinata, 1980). Korelasi sumur pada penelitian ini dibantu dengan data log sumur, yakni log gamma ray dan resistivity. Korelasi dilakukan dengan tujuan :
Mengetahui dan merekontruksi kondisi geologi bawah permukaan (struktur dan stratigrafi) serta mengetahui penyebaran lateral maupun vertikal dari zona hidrokarbon.
Merekontruksi paleogeografi daerah penelitian pada waktu geologi tertentu, yaitu dengan membuat penampang stratigrafi.
Menafsirkan kondisi geologi yang mempengaruhi pembentukan hidrokarbon, migrasi dan akumulasinya di daerah penelitian.
Menyusun sejarah geologi daerah penelitian.
Awal dari proses korelasi pada penelitian ialah menganalisis setiap sumur berdasarkan konsep sekuen stratigrafi. Stratigrafi sekuen sendiri memiliki arti, yaitu studi analisis dari pola siklus sedimentasi yang hadir dalam suatu suksesi stratigrafi, yang dipengaruhi oleh variasi suplai sedimen dan ruang akomodasi (Posamentier and Allen, 1999). Korelasi dengan prinsip stratigrafi sekuen dilakukan dengan menghubungkan titik-titik yang dianggap memiliki kesamaan waktu dengan konsep stratigrafi sekuen dan kesamaan relatif dari bentuk defleksi kurva-kurva log gamma ray dan resistivity. Pola log (log stratal pattern) digunakan untuk menetukan marker-marker stratigrafi. SB terletak pada perubahan pola log dari prograding menjadi agrading/retrograding atau retrograding menjadi agrading. TS terletak di puncak dari agrading menjadi retrograding. MFS terletak pada perubahan pola dari retrograding menjadi prograding. Marker-marker yang diperoleh pada setiap sumur, yaitu MFS 1, SB 1, FS A, FS B, FS C, MFS 2, dan SB2. Marker-marker tersebut kemudian dikorelasikan dengan sumur-sumur lainnya.
37
Korelasi yang dilakukan sebanyak 2 lintasan (gambar 3.1) dengan arah baratlauttenggara dan NNW-SSE. Sumur DIA 1 merupakan sumur yang dilewati oleh kedua lintasan korelasi. Lintasan korelasi yang berarah baratlaut-tenggara mengkorelasikan sumur DIA 4-12-5 (Gambar 3.2) dan lintasan korelasi yang berarah NNW-SSE mengkorelasikan sumur DIA 3-1-7 (gambar 3.3).
Gambar 3.1 Peta penampang korelasi pada daerah penelitian
Gambar 3.2 Korelasi sumur DIA 4-1-2-5 yang berarah baratlaut-tenggara.
38
Gambar 3.3 Korelasi sumur DIA 3-1-7 yang berarah NNW-SSE.
Interval SB 1 hingga MFS 2 merupakan interval penelitian karena pada interval ini terdapat gas yang ditemukan di beberapa sumur. Oleh karena itu, dilakukan korelasi yang lebih detail pada interval ini dengan marker berupa FS A, FS B, FS C. Datum yang digunakan saat mengkorelasikan marker FS A, FS B, FS C ialah MFS 2 karena MFS merupakan suatu peristiwa regional yaitu saat muka air laut relatif (relative sea level) naik secara maksimum. Pada gambar 3.4 dan 3.5 dapat terlihat dengan lebih jelas korelasi pada interval penelitian dengan datum MFS 2 yang telah diflattening. Interval penelitian dibagi mejadi 3 bagian dengan FS sebagai batas antar interval. Marker stratigrafi hasil dari korelasi kemudian digunakan untuk langkah selanjutnya, yaitu pengikatan data log dengan data seismik (well seismic tie).
39
Gambar 3.4 Korelasi pada interval penelitian di sumur DIA 4-1-2-5.
Gambar 3.5 Korelasi pada interval penelitian di sumur DIA 3-1-7.
40
3.2 Analisis Lingkungan Pengendapan Analisis lingkungan pengendapan merupakan suatu studi yang penting untuk tahap eksplorasi maupun pengembangan. Analisis ini berguna untuk mengetahui pola sedimentasi dan geometri lapisan reservoir. Metode yang digunakan untuk menganalisis lingkungan pengendapan interval penelitian ialah dengan mengintegrasikan 3 data, yaitu data keratan sumur (cutting), data biostratigrafi, dan data log gamma ray, kemudian mencari irisan dari ketiga data tersebut sehingga lingkungan pengendapan interval penelitian dapat ditentukan. Data keratan sumur (cutting) dan biostratigrafi diambil dari sumur DIA-4. Analisis lingkungan
pengendapan dilakukan dari Formasi Keutapang Bawah hingga interval
penelitian agar intepretasi lingkungan pengendapan pada interval penelitian lebih akurat. Lingkungan pengendapan Formasi Keutapang Bawah pada kedalaman 1340 m hingga 1550 (MD) berdasarkan data biostratigrafi ialah middle sublitoral dengan pengaruh laut terbuka. Hal ini berdasarkan asosiasi fosil bentos yang ditemukan, yaitu Ellegantissima sp., Cassidulina laevigata, Virgulina sp., dan Buliminagibba sp. Intepretasi lingkungan pengendapan setelah digabung dengan data keratan sumur menjadi semakin spesifik. Lingkungan pengendapan pada kedalaman 1440 m – 1550 m berupa laut dangkal karena pada kedalaman ini litologi berupa batulanau, dengan ciri-ciri, yaitu coklat keabu-abuan, lunak, dan karbonatan mendominasi pada kedalaman ini. Lingkungan pengendapan pada kedalaman 1400 m – 1440 m berupa paparan(shelf) karena pada kedalaman ini awal munculnya batugamping berupa mudstone dengan ciri-ciri, yaitu coklat terang, keras hingga sedang, dan mikrokristalin. Lingkungan pengendapan pada kedalaman 1340 m - 1400 m berupa shoreface karena litologi pada kedalaman pada umumnya batupasir dan batu pasir ini memisahkan lingkungan pengendapan berupa middle sublitoral dengan pengaruh laut terbuka dan middle sublitoral dengan sedikit pengaruh laut terbuka. Selain itu, litologi yang berada di atas dari batupasir ini di dominasi kembali oleh batulempung dan batulanau. Ciri-ciri batupasir ini, yaitu abu-abu terang, butiran sangat halus-halus, sorting sedang, membulat tanggung, keras, porositas jelek, silty (?), lepas-lepas, karbonatan, dan terdapat mineral glaukonit. Hasil analisis lingkungan pengendapan Formasi Keutapang Bawah hingga interval penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1
41
Tabel 3.1 Hasil analisis lingkungan pengendapan Formasi Keutapang Bawah.
42
Lingkungan pengendapan pada kedalaman 1038 m hingga 1340 m (MD) berdasarkan data biostratigrafi berupa middle sublitoral dengan sedikit pengaruh laut terbuka. Hal ini berdasarkan asosiasi fosil bentos yang ditemukan, yaitu Bolivina sp., Epistominella sp., Euvigerina
sp.,
Lenticulina
sp.,
Protoglobobulimina
sp.,
Bulliminella
sp.,
dan
Hoplophragmoides sp. Intepretasi lingkungan pengendapan setelah digabung dengan data keratan sumur menjadi semakin spesifik. Lingkungan pengendapan pada kedalaman 1205 m – 1340 m berupa laut dangkal karena litologi pada kedalaman ini masih di dominasi oleh perselingan batulanau dan batulempung. Batulanau memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu, lunak, karbonan, karbonatan. Batulempung memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu terang kehijauan, lunak. Lingkungan pengendapan pada kedalaman 1140 m - 1205 m berupa distal prodelta karena litologi pada kedalaman ini masih didominasi oleh batulempung dan batulanau, tetapi terdapat sedikit kehadiran batupasir. Lingkungan pengendapan 1038 m - 1140 m berupa proximal prodelta karena litologi pada kedalaman ini berupa perselingan batupasir, batulempung, dan batulanau. Batupasir memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu kehijauan, ukuran butir sangat halus hingga halus, sorting sedang, membulat tanggung, keras, porositas buruk, karbonatan, karbonan, dan glaukonitan. Batulanau memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu, lunak, karbonan, karbonatan. Batulempung memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu terang kehijauan, lunak. Daerah interval penelitian berada di Formasi Keutapang pada kedalaman 918 m hingga 1038 m (MD). Berdasarkan data keratan sumur (cutting), litologi daerah interval penelitian di dominasi oleh batupasir dan batulanau. Batupasir ini memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu terang, ukuran butir halus hingga sedang, sorting sedang, bentuk butir menyudut hingga membulat tanggung, porositas sedang hingga buruk, lepas-lepas, karbonatan, karbonan, terdapat mineral glaukonit, banyak mineral kuarsa. Batulanau memiliki ciri-ciri, yaitu abu-abu, lunak, karbonatan, karbonan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan pada interval penelitian ini berada di lingkungan laut transisi. Hal ini disebabkan oleh kehadiran mineral glaukonit yang ada di seluruh batupasir dan adanya sifat karbonatan pada seluruh batuan di interval ini. Interpretasi lingkungan pengendapan kemudian digabung dengan data biostratigrafi. Fosil bentos yang ditemukan pada interval penelitian, yaitu Arenoprella sp., Eggrela scabra, Ammotium sp., Ammonia becarri, Ammobaculites
exiguum, dan Quiqueloqulina cf.
Lamarckjana. Interpretasi lingkungan pengendapan pada interval ini berdasarkan Pertamina internal report ialah delta front karena pada interval ini ditemukannya taksa arenaceous kecil 43
secara konsisten, yaitu Arenoprella sp., Eggrela scabra (Eggrela dengan rotalids). Berdasarkan Robertson (1985), asosiasi fosil bentos yang ditemukan pada interval ini memiliki lingkungan pengendapan laut dangkal (shallow marine). Lingkungan pengendapan pada interval penelitian berdasarkan gabungan dari referensi data ini, yaitu delta front hingga laut dangkal (shallow marine). Interpretasi lingkungan pengendapan kemudian digabung dengan data log gamma ray. Analisis log gamma ray dapat digunakan untuk membantu analisis lingkungan pengendapan. Analisis ini disebut analisis elektrofasies. Analisis ini memanfaatkan bentuk-bentuk pola log dari log gamma ray. Bentuk dari pola log ini memperlihatkan besar butir dari suatu litologi dan pola urutan vertikal ke atas. Setiap lingkungan pengendapan memiliki energi yang berbeda-beda untuk mengendapkan butiran sedimen sehingga tiap lingkungan pengendapan memiliki pola urutan vertikal yang khas. Oleh karena itu, secara tidak langsung pola log juga mencerminkan lingkungan pengendapan.
Gambar 3.6 Bentuk – bentuk elektrofasies dan interpretasi lingkungan pengendapannya (Rider, 2000).
Bentuk dari pola log gamma ray dapat digunakan sebagai interpretasi awal karena hanya dapat menerjemahkan bentuk dari kenampakan fisik pola log gamma ray itu sendiri, contohnya bentukan log yang menggambarkan nilai gamma ray kecil secara kontinu disebut 44
silindris (cylindrical), kemudian bentuk log yang menggambarkan nilai gamma ray berubah secara gradual mengecil dari bawah ke atas disebut corong (funnel shape), lalu bentuk log yang menggambarkan nilai gamma ray berubah secara gradual membesar dari bawah ke atas disebut lonceng (bell shape), kemudian bentuk log yang menggambarkan nilai gamma ray berubah secara gradual mengecil dari bawah ke atas kemudian berubah kembali menjadi nilai gamma ray kecil secara gradual disebut simetris (symmetrical shape), dan terakhir bentuk log yang bergerigi pada nilai gamma ray besar disebut gerigi (serated). Kelima bentuk elektrofacies, yaitu bentuk silindris (cylindrical), corong (funnel shape), lonceng (bell shape), simetri (symmetrical shape), dan gerigi (serrated), masing– masing dari elektrofasies tersebut memiliki lingkungan pengendapan yang khas (Gambar 3.6). Bentuk-bentuk elektrofasies yang ditemukan pada interval penelitian ini ialah bentuk corong (funnel shape), lonceng (bell shape), dan gerigi (serrated). Bentuk-bentuk elektrofasies yang memberikan informasi tentang lingkungan pengendapan ini kemudian digabungkan dengan interpretasi lingkungan pengendapan sebelumnya. Lingkungan pengendapan interval penelitian berdasarkan data keratan sumur (cutting) dan biostratigrafi ialah delta front hingga laut dangkal (shallow marine). Hal ini sesuai dengan referensi geologi regional yang menyebutkan bahwa Formasi Keutapang merupakan formasi yang menandakan awal pengendapan deltaic pada Cekungan Sumatra Utara (Darman dan Sidi, 2000). Salah satu model acuan yang dipakai pada penelitian ini ialah model tidal dominated delta oleh Allen dan Chambers (1998) (gambar 3.7). Model ini membantu untuk menginterpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan elektrofasies yang telah dianalisis sebelumnya.
DIA-4
Gambar 3.7 Model lingkungan tidal dominated delta (Allen dan Chambers, 1998).
45
Pada gambar 3.7 dapat terlihat bahwa bentuk corong (funel shape) pada model ini diinterpretasikan sebagai tidal distributary channel dan bentuk lonceng (bell shape) diinterpretasikan sebagai distributary mouthbar. Hasil analisis elektrofasies ini akan melengkapi interpretasi lingkungan pengendapan yang berdasarkan data keratan sumur (cutting) dan biostratigrafi sebelumnya. Hasil analisis lingkungan pengendapan pada interval penelitian berdasarkan gabungan data keratan sumur (cutting), biostratigrafi, dan analisis elektrofasies (tabel 3.3), adalah sebagai berikut: 3.2 .1 Interval I (SB 1 hingga FS A) Interval I (SB 1 hingga FS A) merupakan daerah laut transisi berdasarkan data keratan sumur (cutting). Berdasarkan data biostratigrafi, lingkungan pengendapan interval ini berupa delta front hingga laut dangkal (shallow marine). Berdasarkan analisis elektrofasies, interval ini di dominasi oleh bentuk corong (funel shape) dan lonceng (bell shape). Pada bagian bawah dari interval ini terdapat bentuk pola log berupa corong (funel shape) dan lonceng (bell shape) saling berselingan, bentuk ini diinterpretasikan sebagai lingkungan pengendapan berupa tidal sand ridges dan tidal distributary channel complex (tabel 3.2). Tabel 3.2 Hasil analisis lingkungan pengendapan Interval I (SB 1 hingga FS A).
46
Adanya proses perubahan yang kompleks ini mungkin terjadi akibat proses yang aktif dari distributary channel. Pada tidal dominated delta terjadi proses progradasi distributary yang aktif dan akan membentuk suksesi vertikal berupa mengasar ke atas dari prodelta hingga ke delta front, kemudian secara gradasi berubah menjadi tidal sand ridges yang memiliki batupasir halus hingga sedang (Colemen dan Wright, 1975; Meckel, 1975; Allen dkk., 1979 dalam Walker dan James, 1992). Proses progradasi terus berjalan sehingga menghasilkan tidal distributary channel yang memiliki suksesi vertikal berupa menghalus ke atas dan mengandung lebih banyak air payau dan mud drapes dibandingkan dengan nontidal fluvial channel (Allen dkk, 1979 dalam Walkaer dan James, 1992). Kemudian di atas dari tidal sand ridges dan tidal distributary channel complex, terdapat bentuk pola log yang berupa lonceng (funel shape) dan lonceng (bell shape). Bentuk corong (funel shape) diinterpretasikan sebagai distibutary mouthbar dan bentuk lonceng (bell shape) diinterpretasikan sebagai tidal distributary channel.
3.2.2 Interval II (FS A hingga FS B) Lingkungan pengendapan pada Interval II (FS A hingga FS B) sama dengan interval I, yaitu daerah laut transisi berdasarkan data keratan sumur (cutting). Berdasarkan data biostratigrafi, lingkungan pengendapan interval ini berupa delta front hingga laut dangkal (shallow marine). Berdasarkan analisis elektrofasies, interval ini di dominasi oleh bentuk gerigi (serrated). Jika dibandingkan dengan bentuk pola log pada interval sebelumnya, pola log (stacking pattern) interval ini mengalami retrograding. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya proses kenaikan muka air laut relatif sehingga energi pengendapan pada interval ini semakin rendah. Oleh karena itu, lingkungan pengendapan pada interval ini lebih dalam daripada interval sebelumnya sehingga lingkungan pengendapan yang memiliki bentuk pola log berupa bentuk gerigi (serrated) ini diinterpretasikan sebagai tidal flat.
3.3.2 Interval III (FS B hingga FS C) Lingkungan pengendapan pada Interval III (FS B hingga FS C) sama dengan interval I dan II, yaitu daerah laut transisi berdasarkan data keratan sumur (cutting). Berdasarkan data biostratigrafi lingkungan pengendapan interval ini berupa delta front hingga laut dangkal 47
(shallow marine). Berdasarkan analisis elektrofasies, bentuk pola log berupa Bentuk corong (funel shape) dan gerigi (serrated). Jika dibandingkan dengan bentuk pola log pada interval sebelumnya, pola log (stacking pattern) interval ini mengalami retrograding. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya proses kenaikan muka air laut relatif sehingga energi pengendapan pada interval ini semakin rendah. Oleh karena itu, lingkungan pengendapan pada interval ini lebih dalam daripada interval sebelumnya sehingga bentuk gerigi (serrated) diinterpretasikan sebagai prodelta. Pada interval dekat FS C terlihat terjadi suatu prograding dibandingkan dengan bentuk yang sebelumnya. Interval ini memiliki Bentuk pola log berupa bentuk corong (funel shape). Lingkungan pengendapan yang lebih dalam dari prodelta dan memiliki bentuk pola log berupa Bentuk corong (funel shape) ini diinterpretasikan sebagai distal bar. Lingkungan pengendapan Formasi Keutapang pada Lapangan Delima ialah tidal dominated delta dengan asosiasi fasies berupa tidal distributary chanel, tidal sand ridge, distributary mouthbar, dan tidal flat. Asosiasi fasies ini mengikuti model tidal dominated delta hasil modifikasi dari model emery dan myers (1996). Model ini dapat dilihat pada gambar 3.8.
Gambar 3.8 Model tidal dominated delta dan asosiasi fasies di dalamnya (modifikasi emery dan Myers, 1996)
48
Tabel 3.3 Hasil analisis lingkungan pengendapan interval penelitian (SB 1 – FS C) yang berdasarkan gabungan data keratan sumur (cutting), biostratigrafi, dan log gamma ray.
49
3.3 Well seismic-tie Well seismic-tie diperlukan agar dapat meletakan horison seismik (skala waktu) pada posisi kedalaman sebenarnya sehingga data seismik dapat dikorelasikan dengan data sumur yang umumnya diplot dalam skala kedalaman. Terdapat banyak teknik pada proses pengikatan ini. Pada penelitian ini metode well seismic tie yang dilakukan yaitu memanfaatkan seismogram sintetik dari survai kecepatan. Salah satu survai kecepatan ialah Check-shot survey. Kegunaan dari survai check-shot adalah untuk mendapatkan kurva timedepth yang kemudian dimanfaatkan lebih lanjut untuk pengikatan data seismik dan sumur (well seismic tie), penghitungan kecepatan interval, kecepatan rata-rata, dan koreksi data sonic pada pembuatan seismogram sintetik (Sukmono, 1999). Pada penelitian ini, survai check-shot yang dilakukan ialah check-shot pada sumur DIA-3 karena log sonic pada sumur ini memiliki data yang menerus dan menembus Formasi Keutapang secara keseluruhan. Kurva time-depth hasil survai check shot pada sumur DIA-3 dapat dilihat pada kolom 1 gambar 3.9.
Gambar 3.9 Well seismic tie pada sumur DIA-3.
50
Setelah didapatkan kurva time-depth, maka langkah selanjutnya ialah membentuk seismogram sintetik. Seismogram sintetik dibentuk dengan cara mengkonvolusikan wavelet (kolom 5 pada gambar 3.9) dengan data koefisien refleksi (kolom 4 pada gambar 3.9). Wavelet yang digunakan sebaiknya memiliki frekuensi dan bandwidth yang sama dengan rekaman seismik yang ada. Pada penelitian ini wavelet yang digunakan memiliki frekuensi 30 Hz. Data koefisien refleksi didapatkan dari data log sonic (kolom 2 pada gambar 3.9) dan log densitas (kolom 3 pada gambar 3.9). Hal ini mengikuti rumus, yaitu impedansi akustik = kecepatan x densitas. Setelah beberapa data diintegrasikan maka terbentuklah seismogram sintetik. Seismogram sintetik final merupakan superposisi dari refleksi-refleksi semua reflektor. Seismogram sintetik biasanya ditampilkan dengan format (polaritas, bentuk gelombang) yang sama dengan rekaman seismik (Sukmono, 1999). Seismogram sintetik pada penelitian ini dapat dilihat pada kolom 6 gambar 3.9. Setelah seismogram sintetik terbentuk, lalu dicocokkanlah seismogram sintetik ini dengan data seismik yang sebenarnya. Pada gambar 3.10 dapat dilihat pemanfaatan well seismic tie sumur DIA-3 yang diaplikasikan untuk langkah selanjutnya, yaitu picking marker horison stratigrafi. Korelasi sintetik dengan horison geologi beserta kedalamannya dapat dilihat dari log terkait. Seismogram sintetik juga berguna dalam mendiagnosa karakter refleksi dari setiap horison (Sukmono, 1999).
Legenda: : Sesar
: FS C
: MFS 1
: MFS 2
: SB 1
: SB 2
: Fs B
Gambar 3.10 Hasil well seismic tie sumur DIA 3 pada penampang seismik
51
3.4 Picking Horison dan Patahan (Sesar) Proses picking horison dan patahan dilakukan setelah melakukan well seismic tie. Picking (identifikasi pantulan) merupakan suatu kemampuan untuk mengidentifikasi lapisan batuan pada penampang seismik. Horison merupakan suatu slice sepanjang permukaan suatu bidang. Istilah picking pada umumnya hadir saat melakukan pengolahan data seismik. Picking horison sangatlah penting dilakukan dalam pengolahan data seismik karena proses ini dilakukan untuk mengetahui kemenerusan marker horison stratigrafi. Jika pada saat menelusuri suatu horison dan terdapat kenampakan yang tidak begitu jelas, maka dipilihlah horison lain yang berdekatan dan sejajar sebagai horison selanjutnya. Proses awal picking horison pada penelitian ini dilakukan pada lintasan seismik yang melewati sumur DIA-3 (gambar 3.10). Horison yang dipicking pada penelitian ini ialah MFS 1, SB 1, FS B, FS C, MFS 2 dan SB 2. Picking horison ini berguna untuk memetakan marker yang telah didapatkan dari korelasi antar sumur pada seismik dengan tujuan mengetahui kemenerusannya secara lateral. Selain itu, atribut seismik dari marker yang dipilih dapat diekstrak setelah melakukan proses picking horison. Atribut seismik ini akan diproses di tahap selanjutnya pada penelitian ini. Berdasarkan analisis well seismic tie yang dilakukan sebelumnya (gambar 3.9), dapat terlihat: - Marker MFS 1 dipicking pada peak
-
Marker FS C dipicking pada peak
- Marker SB 1 dipicking pada trough
-
Marker MFS 2 dipicking pada trough
- Marker FS B dipicking pada trough
-
Marker SB 1 dipicking pada trough
Penentuan picking horizon pada trough atau peak ini disebabkan oleh adanya perbedaan impedansi akustik pada setiap lapisan batuan. Impedansi akustik adalah hasil perkalian antara densitas medium atau materi dan kecepatan gelombang P yang melewatinya. Hal ini dirumuskan sebagai: Z = . VP keterangan: Z: Impedansi akustik
VP: Kecepatan gelombang P
: Densitas medium (lapisan batuan) 52
Nilai impedansi akustik (AI) suatu materi akan semakin besar jika semakin kompak (densitas semakin tinggi) materi tersebut. Nilai trough merupakan perubahan nilai AI tinggi menjadi AI yang rendah sehingga nilai Z2-Z1 adalah negatif. Sedangkan peak merupakan perubahan nilai AI rendah menjadi AI yang tinggi , sehingga nilai Z 2-Z1 adalah positif. Pada Formasi Keutapang (khususnya lapisan interval penelitian) terdapat perselingan batulanau dan batupasir sehingga mungkin saja terjadi perbedaan pada saat melakukan picking marker. Pada saat melakukan picking horison, biasanya terdapat kenampakan yang diskontunitas dari refleksi. Refleksi yang diskontunitas ini dapat diintepretasikan sebagai suatu patahan/sesar. Kemampuan penafsiran struktur geologi dari rekaman seismik mempunyai nilai penting karena peranan struktur ini mungkin berkaitan dengan pembentukan perangkap hidrokarbon. Bidang patahan yang umumnya miring akan terlihat jelas pada penampang seismik yang searah dengan arah kemiringan patahan tersebut, sedangkan pada patahan yang memiliki kemiringan kurang dari 40o, agak sulit dideteksi dalam penampang seismik. Patahan mendatar (strike slip fault) yang menyebabkan perpindahan sepanjang jalur patahan juga sulit untuk dideteksi. Hal ini baru akan terlihat jika ada penyimpangan bentuk struktur utama (Sukmono, 1999). Picking patahan bertujuan untuk mengetahui struktur yang berkembang di daerah penelitian. Patahan yang terdeteksi pada seismik lapangan penelitian didominasi oleh jenis sesar naik (gambar 3.11). Setelah dari semua lintasan seismik dilakukan picking horison dan sesar, maka pemetaan bawah permukaan dapat dilakukan.
Legenda: : Sesar
: FS C
: MFS 1
: MFS 2
: SB 1
: SB 2
: Fs B
Gambar 3.11 Contoh hasil picking horison dan sesar. Pada gambar juga dapat terlihat strukur berupa sesar-sesar naik.
53
3.5 Pemetaan bawah permukaan Peta bawah permukaan adalah peta yang menggambarkan secara dua dimensi tentang suatu bentuk dan kondisi geologi bawah permukaan. Peta bawah permukaan merupakan bagian yang penting karena peta ini digunakan oleh para ahli geologi sebagai acuan dalam kegiatan eksplorasi maupun pengembangan lapangan migas. Peta bawah permukaan juga memiliki beberapa kegunaan lainnya, antara lain: membantu dalam penentuan arah suplai sedimen, mengetahui daerah prospek hidrokarbon, dan mengetahui lingkungan pengendapan karena peta ini memperlihatkan penyebaran lateral suatu fasies lingkungan pengendapan. Peta bawah permukaan memiliki dua sifat, yaitu kuantitatif dan dinamis. Sifat kuantitatif (bersifat numerik) dinyatakan dengan garis-garis kontur yang memiliki nilai yang sama, sedangkan sifat dinamis adalah tingkat akurasi dari peta bawah permukaan itu sendiri. Tingkat akurasi ini dinilai dari banyaknya data yang tersedia, bukan dari metoda yang dilakukan, berarti semakin banyak data yang diolah maka tingkat akurasi dari peta ini semakin baik. Peta struktur waktu dan kedalaman merupakan bagian dari pemetaan bawah permukaan. Peta struktur ini berguna untuk mengetahui bentuk perangkap pada daerah penelitian. Pemetaan bawah permukaan yang dilakukan pada interval penelitian ialah peta struktur waktu dan kedalaman SB 1. Proses pembuatan peta struktur ini dilakukan setelah melakukan picking horison SB 1 dan interpretasi struktur pada data seismik 2D. Awal pengerjaan untuk membuat peta struktur ialah korelasi seismik (skala waktu) pada horison marker yang menghasilkan peta struktur waktu SB 1 (gambar 3.12).
54 Gambar 3.12 Peta struktur waktu SB 1.
Terdapat berbagai cara untuk mengkonversikan peta struktur waktu suatu horison menjadi peta struktur kedalaman. Salah satu contohnya ialah memanfaatkan peta interval kecepatan, seperti yang digunakan pada penelitian ini. Peta interval kecepatan merupakan peta yang dihasilkan dari rata-rata penyebaran nilai kecepatan pada log DT (sonic) dari beberapa sumur di suatu horison. Pada gambar 3.13 dapat terlihat peta interval kecepatan SB 1. Peta ini merupakan peta yang dihasilkan dari rata-rata penyebaran nilai kecepatan log DT (sonic) dari sumur yang berwarna biru (Sumur DIA-4, DIA-3, DIA-5) di horison SB 1. Ketiga sumur ini diharapkan dapat mewakili distribusi nilai-nilai kecepatan pada horison SB 1. Ada juga cara lain untuk mengkonversi peta struktur waktu menjadi peta struktur kedalaman, yaitu dengan menganalisa kecepatan dengan menggunakan metode geostatistik untuk penyesuaian marker-marker yang telah ditentukan dari data log tiap-tiap sumur pada skala kedalaman dengan marker horizon seismik, tetapi hal ini biasanya dilakukan jika data log DT (sonic) kurang dapat mewakili ruang lingkup penelitian atau hanya memiliki satu data log DT (sonic).
Gambar 3.13 Peta interval kecepatan SB 1.
55
Peta struktur kedalaman SB 1 (gambar 3.14) kemudian dapat diproses dengan integrasi peta struktur waktu SB 1 dan peta interval kecepatan SB 1. Pembentukan peta struktur kedalaman merupakan salah satu aplikasi rumus sederhana, yaitu S = v x t, dengan S ialah jarak/kedalaman (meter), v ialah kecepatan (m/s), dan t ialah waktu (s). Dengan adanya peta struktur kedalaman ini, maka dapat membantu untuk menggambarkan bentuk dan kondisi geologi bawah permukaan.
Gambar 3.14 Peta struktur kedalaman SB 1 yang merupakan hasil dari integrasi peta struktur waktu dengan peta interval kecepatan.
56
3.6 Atribut Seismik Penyebaran sumur pada Lapangan Delima kurang merata sehingga untuk mengetahui distribusi reservoir pada lapangan ini tidak cukup hanya menggunakan data sumur, tetapi memerlukan suatu metode khusus. Salah satu metode yang digunakan untuk dapat mengetahui penyebaran reservoir secara lateral pada lapangan ini, yaitu memanfaatkan lintasan seismik yang hampir mencakup seluruh area penelitian. Data seismik dapat digunakan ialah atribut seismik. Atribut seismik adalah segala informasi yang bisa didapatkan dari data seismik baik melalui pengukuran secara langsung maupun dengan melakukan analisis berdasarkan pengalaman (Taner, 2001). Atribut seismik diperlukan untuk memperjelas anomali yang tidak terlihat secara kasat mata pada data seismik biasa. Atribut seismik juga merupakan transformasi matematis dari data rekaman seismik yang merepresentasikan besaran waktu, amplitudo, fase, frekuensi, dan attenuasi. Informasi yang tersedia pada data seismik bersifat kuantitatif dan deskriptif sehingga atribut seismik yang ditampilkan merupakan representasi data seismik orisinil pada skala yang sama (Barnes, 1999). Informasi yang dapat diekstrak dari pengukuran khas atribut seismik, yaitu: fitur geometri, kinematik, dinamik dan statistik (Ahmed dkk, 2006). Secara umum atribut seismik dapat menampilkan data seismik termanipulasi yang digunakan untuk mempermudah proses interpretasi geologi sehingga analisis terhadap geologi bawah permukaan dapat ditingkatkan kualitasnya (Sukmono, 2007). Penggunaan atribut seismik untuk membantu kegiatan eksplorasi bawah permukaan sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Thanatit & Ronghe (1999) menggunakan atribut amplitudo seismik untuk mencitrakan distribusi penyebaran hidrokarbon dan untuk mengkarakterisasi reservoar yang berasosiasi dengan channel. Ahmed dkk.
(2006),
menerapkan
atribut
amplitude
reflection,
instantaneous
frequency,
instantaneous phase dan instantaneous envelope untuk mendeteksi channel tubuh batupasir dan pelamparannya di Cekungan Muglad, Sudan. Manan dkk. (2006), melakukan studi fasies sedimentasi untuk mengidentifikasi reservoar yang bernilai ekonomis, dikontrol dengan atribut reflection strength, instantaneous frequency dan instantaneous phase. Solihulhadi & Tolioe (2007), melakukan interpretasi struktur patahan dengan lebih baik melalui atribut seismik dengan menampilkan diskontinuitas reflektor sepanjang permukaan patahan. Susilo dkk. (2007), menggunakan atribut seismik berbasis CWT (Continous Wave Transform) untuk memperjelas kenampakan anomali seismik untuk pembuatan model fasies dan struktur 57
geologi. Bunyamin dkk. (2008), melakukan penentuan jenis litologi batuan menggunakan atribut RMS amplitude dan sweatness. Tiap-tiap atribut saling berhubungan satu sama lain. Beberapa atribut memiliki sensitifitas terhadap sifat reservoir tertentu dan beberapa atribut lainnya lebih baik di dalam menampilkan informasi ataupun anomali bawah permukaan yang pada awalnya
tidak
teridentifikasi oleh data konvensional. Beberapa atribut bahkan ada yang berguna sebagai indikator keberadaan hidrokarbon secara langsung/DHI (Direct Hidrocarbon Indicator) (Sukmono, 2009). Brown (2000), mengklafisikasikan atribut seismik. Klasifikasi ini dapat dilihat pada gambar 3.15.
Gambar 3.15. Klasifikasi atribut seismik (Brown, 2000 dalam Sukmono, 2009).
Pada penelitian ini analisis atribut seismik yang dilakukan adalah analisis atribut amplitudo. Atribut amplitudo merupakan atribut paling dasar dari rekaman seismik. Amplitudo memiliki makna secara geologi, yaitu berkaitan densitas batuan. Amplitudo merupakan suatu koefisien di persamaan gelombang harmonik. Persamaan gelombang harmonik, yaitu
y = A sin ωt, dengan A ialah amplitudo, ω ialah frekuensi sudut, dan t
adalah waktu. Pada persamaan gelombang seismik, koefisien A (amplitudo) ini sama dengan koefisien refleksi. Koefisien refleksi sendiri merupakan perbedaan impedansi akustik (Z 2-Z1). Impedansi akustik merupakan hasil perkalian antara densitas medium atau materi dan kecepatan gelombang P yang melewatinya. Semakin tinggi koefisien refleksi maka semakin tinggi densitas batuan. Oleh karena itu, amplitudo memiliki hubungan berbanding lurus dengan densitas batuan. 58
Atribut amplitudo biasanya digunakan untuk Indikasi Hidrokarbon secara langsung (DHI), pemetaan fasies pengendapan, dan pemetaan properti reservoir. Perubahan lateral dari amplitudo data seismik dapat digunakan untuk membedakan antara satu fasies dengan fasies yang lain. Sebagai contoh, lapisan berbentuk konkordan cenderung memiliki amplitudo yang lebih besar, sedangkan bentuk hummocky dan chaotic (berantakan) memiliki amplitude yang lebih rendah (Sukmono, 2009). Lingkungan yang kaya dengan batupasir biasanya cenderung memiliki amplitudo yang besar. Atribut seismik amplitudo sendiri dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: -
RMS amplitudo
- Total amplitude
-
Maksimum peak amplitudo
- Total energi
-
Maksimum trough amplitudo
- Average energi
-
Average peak amplitudo
- Mean amplitudo
-
Average trough amplitudo
- dan lain-lain.
Jenis atribut amplitudo yang digunakan pada penelitian kali ini ialah RMS amplitude. Hal ini disebabkan karena RMS amplitude merupakan atribut seismik sederhana yang dapat merefleksikan keberadaan lapisan-lapisan batupasir. Lapisan reservoir yang akan dipelajari pada penelitian ini berupa batupasir sehingga RMS amplitude digunakan pada penelitian ini. Secara teoritis, fungsi utama dari RMS amplitude adalah mengidentifikasi beberapa parameter, seperti akumulasi hidrokarbon, pola sedimentasi, porositas kasar, batupasir sungai dan delta, tipe spesifik dari reef (karang), ketidakselarasan, dan perubahan dari stratigrafi sekuen. Namun pada kenyataannya, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa RMS amplitude hanya baik untuk mengidentifikasi keberadaan lapisan batupasir dan itupun harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain ketebalan batupasir mendekati apa yang disebut dengan tuning thickness. Tuning thickness merupakan parameter yang besarnya sama dengan ¼ λ (λ adalah panjang gelombang).
59
RMS merupakan singkatan dari Root Mean Square sehingga RMS amplitude adalah akar kuadrat dari penjumlahan kuadrat amplitudo data seismik. Rumus perhitungan dari RMS amplitude, yaitu:
Keterangan: N = jumlah sempel amplitudo di dalam jendela analisis A = nilai amplitudo
Contoh perhitungan RMS amplitude dapat dilihat pada gambar 3.16
Gambar 3.16 Prinsip perhitungan RMS amplitude.
Aplikasi RMS amplitude dari gambar 3.16, dapat dilihat pada gambar 3.17, gambar 3.18, dan gambar 3.19. Dari ketiga gambar tersebut, terdapat nilai aktual amplitudo hasil picking marker stratigrafi. Contohnya pada gambar 3.17, pada kolom biru di gambar tersebut terdapat beberapa nilai aktual amplitudo dari rekaman seismik. Nilai amplitudo yang berwarna biru merupakan nilai aktual amplitudo pada sumur DIA-5 di marker SB 1. Untuk mengetahui nilai RMS amplitude interval SB 1 hingga FS A, maka dilakukanlah perhitungan sesuai dengan rumus RMS amplitude dengan mengambil nilai aktual amplitudo sebanyak 5 di atas dan 5 di bawah dari nilai aktual amplitudo yang sebenarnya pada SB 1. Hasil dari perhitungan RMS amplitude di titik ini ialah 1981. Proses perhitungan RMS amplitude ini dilakukan di setiap sumur pada ketiga interval penelitian, dengan lebar jendela RMS amplitude sesuai dengan interval yang ada. Untuk mengetahui hubungan antara nilai RMS amplitude setiap sumur dengan tebal netsand, dilakukanlah crossplot. Rangkuman analisis 60
perhitungan dari RMS amplitude dan crossplot antara RMS amplitude dengan netsand di setiap sumur pada lapangan ini dapat dilihat pada gambar 3.17, gambar 3.18, dan gambar 3.19. Berdasarkan ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang relevan antara nilai RMS amplitude dengan tebal netsand pada interval penelitian di setiap sumurnya. Hal ini dicerminkan dengan nilai koefisien korelasi dari ketiga interval yang lebih besar dari 0,75. Ini berarti semakin besar nilai RMS amplitude maka semakin tebal netsand di lapisan reservoir tersebut. Selain itu, dengan adanya hubungan relevan antara RMS amplitude dengan tebal netsand, memberikan informasi bahwa atribut seismik berupa RMS amplitude dapat digunakan pada lapisan reservoir di Formasi Keutapang, Lapangan Delima, khususnya pada interval penelitian.
61
Tebal net
Nilai
sand (m)
RMS
DIA - 1
36
2943
DIA - 2
28
2450
DIA - 3
25
1825
DIA - 4
33
2525
DIA - 5
26
1981
DIA - 6
25
2241
DIA - 7
27
1909
Sumur
40 Tebal net sand (m)
35 30 25 20
Series1
15 10 5 0 0
1000
2000
3000
4000
y = 0,009x + 7,309 R² = 0,771
Nilai RMS Gambar 3.17. Hasil analisis RMS amplitude pada interval 1 (SB 1-FS A).
62
Tebal
Nilai
netsand
RMS
1
12
2142
2
9
1833
3
3
1483
4
5
1559
5
8,85
1551
6
13
2142
7
2,6
1222
Sumur
Tebal net sand (m)
14 12 10 8 6
Series1
4 y = 0,011x - 11,34 R² = 0,858
2 0 0
1000 2000 Nilai RMS
3000 Gambar 3.18. Hasil analisis RMS amplitude pada interval 1 (FS A-FS B).
63
Sumur Tebal netsand (m) Nilai RMS DIA - 1
2,68
1648
DIA - 2
1,12
1504
DIA - 3
2,8
1844
DIA - 4
3,3
1838
DIA - 5
2,521
1700
DIA - 6
2,7
1648
DIA - 7
3,8
2037
4.5
Tebal net sand (m)
4 3.5 3 2.5 2
Series1
1.5 1 0.5 0 0
1000
2000 Nilai RMS
3000 y = 0,004x - 4,729 R² = 0,805 Gambar 3.19 Hasil analisis RMS amplitude pada interval 1 (FS B-FS C).
64
3.7 Distribusi reservoir Distribusi atau penyebaran secara lateral dan vertikal reservoir adalah tujuan utama pada penelitian ini. Metode yang digunakan untuk mengetahui distribusi reservoir pada interval penelitian di Lapangan Delima ialah Pemetaan interval reservoir dengan mengkombinasikan data ketebalan dari sumur dan dibantu dengan atribut seismik berupa RMS amplitude. Amplitudo sendiri memiliki makna secara geologi, yaitu berkaitan dengan densitas batuan. Hubungan antara amplitudo dengan densitas batuan ialah berbanding lurus, artinya semakin tinggi amplitudo maka semakin kompak (densitas batuan semakin tinggi). Berdasarkan hubungan ini, maka pada suatu daerah yang memiliki amplitudo yang tinggi, maka semakin banyak kandungan batupasirnya dibandingkan shale (sandprone lebih banyak dari shaleprone). Pemanfaatan RMS amplitude ini dilakukan karena distribusi sumur yang kurang merata sehingga diperlukan data seismik berupa atribut seismik untuk membantu mengetahui penyebaran lateral reservoir di daerah penelitian. Hal ini tentunya perlu suatu validasi yang membuktikan bahwa terdapat suatu hubungan antara tebal netsand dengan RMS amplitude, pada lapisan reservoir di daerah penelitian. Langkah crossplot antara RMS amplitude dengan tebal netsand reservoir merupakan langkah untuk membuktikan adanya hubungan yang relevan antara kedua hal tersebut. Hubungan yang relevan terbukti dengan nilai koefisien korelasi yang tinggi (lebih dari 0,75) antara RMS amplitude dan tebal netsand. Adanya hubungan yang relevan inilah yang digunakan untuk membentuk peta netsand interval reservoir. Pada pembuatan peta RMS amplitude diperlukan suatu jendela interval. Lebar jendela interval yang digunakan pada penelitian ini mengikuti hasil picking horison marker dan ada juga yang langsung mengambil batas jendela berdasarkan asumsi. Pada proses gridding untuk membentuk peta RMS amplitude, tidak semua lintasan seismik dipakai. Lintasan seismik di daerah penelitian dibuat suatu batasan ruanglingkup sehingga lintasan seismik yang dipakai ialah lintasan seismik yang saling berdekatan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan pada saat interpolasi data. Pada proses gridding juga dilakukan analisis jarak gridding. Jarak gridding yang digunakan pada penelitian ini ialah 1781 m. Angka ini didapatkan dari jarak terdekat ditambah jarak terjauh dari lintasan seismik lalu dibagi 2. Proses ini dimaksudkan agar hasil interpolasi data menjadi lebih baik. Peta netsand reservoir yang dihasilkan merupakan peta hasil konversi dari peta RMS amplitude interval penelitian. 65
Langkah mengkonversikan peta RMS amplitude ini ialah dengan memanfaatkan persamaan yang dihasilkan dari analisis RMS amplitude (gambar 3.17, gambar 3.18, dan gambar 3.19).
3.7.1 Distribusi reservoir interval I (SB 1 hingga FS A) Peta RMS amplitude interval reservoir SB 1 hingga FS A (gambar 3.20) dibentuk dengan jendela batas bawah horison SB 1 dan batas atas 28 ms dari horison SB 1. Batas atas 28 ms merupakan rata-rata dari lebar antara SB 1 hingga FS A pada rekaman seismik di setiap sumur. Adanya lebar jendela batas atas ini karena FS A tidak dilakukan picking horison. Marker FS A tidak bisa dipicking karena setelah dilakukan well seismic tie, marker ini berada di minimum phase sehingga agak susah untuk dilakukan proses picking atau hasil proses picking tidak begitu akurat.
: Batas sandprone
dengan shaleprone
Gambar 3.20 Peta RMS amplitude interval SB 1 hingga FS A.
Berdasarkan peta RMS amplitude interval I, dapat terlihat distribusi reservoir secara lateral sangat baik. Hal ini dapat terlihat dengan penyebaran sandprone yang hampir tersebar di seluruh daerah penelitian dan shaleprone yang hanya sedikit tersebar di daerah penelitian. Peta RMS amplitude ini dapat dikonversikan menjadi peta netsand, yaitu dengan cara memanfaatkan persamaan hasil crossplot antara RMS amplitude dan tebal netsand (gambar 3.17). Hal ini dapat dilakukan karena antara RMS amplitude dan tebal netsand reservoir memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi, yaitu 0,771. Pada gambar 3.17 dapat terlihat 66
persamaan y = 0,009x + 7,309 dengan “y” adalah tebal netsand dan “x” adalah nilai RMS amplitude. Setelah dilakukan suatu proses, maka peta netsand reservoir dapat dibentuk, seperti pada gambar 3.21.
: Arah sedimentasi
Gambar 3.21 Peta netsand reservoir interval SB 1 hingga FS A.
Pola sedimentasi pada interval SB 1 hingga FS A dapat terlihat pada peta netsand reservoir yang terlihat pada gambar 3.21. Berdasarkan peta netsand reservoir dapat terlihat bahwa arah suplai sedimen berasal dari arah barat. Sumber sedimen dari arah barat ini diyakini berasal dari Bukit Barisan karena Bukit Barisan sedang mengalami uplift pada saat Formasi Keutapang disedimentasikan. Pada gambar 3.21 juga dapat terlihat bahwa tebal netsand reservoir pada interval ini cukup tebal dan merata. Hal ini memberikan informasi bahwa secara kuantitatf interval ini cukup baik untuk melakukan eksplorasi hidrokarbon, sedangkan untuk mengetahui kualitas dari reservoir diperlukan studi lebih lanjut, contohnya analisis petrofisika reservoir. Peta netsand reservoir ini tidak cukup baik untuk menjelaskan bentuk geometri reservoir karena peta netsand ini dibentuk dari gabungan beberapa pola log (log stacking pattern) sehingga jika log pada interval Sb 1 hingga FS A didominasi oleh agrading maka akan memberikan bentukan seperti channel dan jika log pada didominasi oleh prograding maka akan memberikan bentukan seperti ridge.
67
3.7.2 Distribusi reservoir interval II (FS A hingga FS B) Peta RMS amplitude interval reservoir FS A hingga FS B (gambar 3.22) dibentuk dengan jendela batas bawah 12 ms dari horison FS B dan batas atas ialah horison FS B. Batas bawah 12 ms merupakan rata-rata dari lebar antara FS A hingga FS B pada rekaman seismik di setiap sumur. Adanya lebar jendela batas atas ini karena FS A tidak dilakukan picking horison. Marker FS A tidak bisa dipicking karena setelah dilakukan well seismic tie, marker ini berada di minimum phase sehingga agak susah untuk dilakukan proses picking atau hasil proses picking tidak begitu akurat.
Legenda: : Sumur : Batas sandprone
dengan shaleprone
Gambar 3.22 Peta RMS amplitude interval FS A hingga FS B.
Berdasarkan peta RMS amplitude interval II, dapat terlihat distribusi reservoir secara lateral baik dengan arah penyebaran baratlaut-tenggara. Hal ini dapat terlihat dengan penyebaran sandprone yang hampir tersebar di hampir seluruh daerah penelitian, kecuali pada bagian timurlaut daerah penelitian, shaleprone semakin banyak. Adanya 2 zona yang saling terpisah antara sandprone dan shaleprone memberikan informasi bahwa adanya perubahan energi pengendapan. Perubahan energi tinggi menjadi rendah atau sebaliknya, tergantung darimana suplai sedimen berasal. Peta netsand reservoir dapat melengkapi informasi ini sehingga dapat membantu untuk mengetahui bagaimana pola pengendapan dari interval ini. 68
Peta RMS amplitude interval II dapat dikonversikan menjadi peta netsand, yaitu dengan cara memanfaatkan persamaan hasil crossplot antara RMS amplitude dan tebal netsand pada interval tersebut (gambar 3.18). Hal ini dapat dilakukan karena antara RMS amplitude dan tebal netsand reservoir memiliki nilai koefisien korelasi yang sangat tinggi, yaitu 0,858. Pada gambar 3.18 dapat terlihat persamaan y = 0,011x - 11,34 dengan “y” adalah tebal netsand dan “x” adalah nilai RMS amplitude. Setelah dilakukan suatu proses, maka peta netsand reservoir dapat dibentuk, seperti pada gambar 3.23.
: Arah sedimentasi
Gambar 3.23 Peta netsand reservoir interval FS A hingga FS B.
Pola sedimentasi pada interval FS A hingga FS B dapat terlihat pada peta netsand reservoir yang terlihat pada gambar 3.23. Berdasarkan peta netsand reservoir dapat terlihat bahwa arah suplai sedimen berasal dari arah baratdaya. Sumber sedimen dari arah baratdaya ini diyakini berasal dari Bukit Barisan karena Bukit Barisan sedang mengalami uplift pada saat Formasi Keutapang disedimentasikan. Berarti, jika digabungkan dengan informasi sebelumnya, dapat diketahui bahwa pada interval ini terjadi perubahan energi pengendapan dari tinggi menjadi rendah ke arah timurlaut. Hal ini juga dapat terlihat dengan semakin tipisnya netsand ke arah timurlaut daerah penelitian (gambar 3.23). Tebal netsand reservoir pada interval ini lebih tipis dibandingkan dengan netsand reservoir dari interval I. Peta netsand reservoir ini tidak cukup baik untuk menjelaskan bentuk geometri reservoir karena 69
peta netsand ini dibentuk dari gabungan beberapa pola log (log stacking pattern) sehingga jika log pada interval FS A hingga FS B didominasi oleh agrading maka akan memberikan bentukan seperti channel dan jika log pada didominasi oleh prograding maka akan memberikan bentukan seperti distributary mouthbar.
3.7.3 Distribusi reservoir interval III (FS B hingga FS C) Peta RMS amplitude interval reservoir FS B hingga FS C (gambar 3.24) dibentuk dengan jendela batas bawah ialah horison FS B dan batas atas ialah horison FS C. Dengan kedua batasan berupa horison marker stratigrafi, maka pembentukan peta RMS amplitude interval III ini menjadi lebih optimal keakuratannya.
Legenda: : Sumur : Batas sandprone
dengan shaleprone
Gambar 3.24 Peta RMS amplitude interval FS B hingga FS C.
Berdasarkan peta RMS amplitude interval III, dapat terlihat distribusi reservoir secara lateral cukup baik dengan arah penyebaran baratlaut-tenggara. Penyebaran sandprone yang tersebar setengah dari seluruh daerah penelitian dan shaleprone semakin banyak pada bagian timurlaut daerah penelitian dibandingkan interval sebelumnya. Semakin luasnya penyebaran shaleprone dibandingkan interval sebelumnya, memberikan informasi bahwa energi pengendapan interval III ini lebih rendah dibandingkan interval sebelumnya.
70
Peta RMS amplitude interval III dapat dikonversikan menjadi peta netsand, yaitu dengan cara memanfaatkan persamaan hasil crossplot antara RMS amplitude dan tebal netsand pada interval tersebut (gambar 3.19). Hal ini dapat dilakukan karena antara RMS amplitude dan tebal netsand reservoir memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi, yaitu 0,805. Pada gambar 3.19 dapat terlihat persamaan y = 0,004x - 4,729 dengan “y” adalah tebal netsand dan “x” adalah nilai RMS amplitude. Setelah dilakukan suatu proses, maka peta netsand reservoir dapat dibentuk, seperti pada gambar 3.25.
: Arah sedimentasi
Gambar 3.25 Peta netsand reservoir interval FS B hingga FS C.
Pola sedimentasi pada interval FS B hingga FS C dapat terlihat pada peta netsand reservoir yang terlihat pada gambar 3.25. Berdasarkan peta netsand reservoir dapat terlihat bahwa arah suplai sedimen berasal dari arah baratdaya. Sumber sedimen dari arah baratdaya ini diyakini berasal dari Bukit Barisan karena Bukit Barisan sedang mengalami uplift pada saat Formasi Keutapang disedimentasikan. Tebal netsand reservoir pada interval ini lebih tipis dibandingkan dengan netsand reservoir dari interval III, berarti energi pengendapan pada interval ini lebih rendah dari interval sebelumnya. Peta netsand reservoir ini tidak cukup baik untuk menjelaskan bentuk geometri reservoir karena peta netsand ini dibentuk dari gabungan beberapa pola log (log stacking pattern) sehingga jika log pada interval FS B hingga FS C didominasi oleh agrading maka akan memberikan bentukan seperti channel dan 71
jika log pada didominasi oleh prograding maka akan memberikan bentukan seperti distributary mouthbar.
72