BAB IV PROFIL PAGUYUBAN 4.1 SEJARAH DESA

Download PROFIL PAGUYUBAN. 4.1 Sejarah Desa. Nama Desa Kedaung berasal dari nama sebuah pohon yang dulu tumbuh di atas tanah daerah ini. Sebelum m...

1 downloads 364 Views 423KB Size
BAB IV PROFIL PAGUYUBAN

4.1 Sejarah Desa Nama Desa Kedaung berasal dari nama sebuah pohon yang dulu tumbuh di atas tanah daerah ini. Sebelum masyarakat berdatangan dan mendirikan pemukiman, daerah ini awalnya merupakan kebun pohon kedaung. Oleh karena itu orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan kedaung. Namun lambat laun kebun kedaung hilang dan berubah menjadi area padat pemukiman. Dulu Kedaung termasuk ke dalam wilayah Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta. Namun semenjak terjadi pemekaran propinsi dan Banten menjadi sebuah propinsi, maka Kedaung termasuk ke dalam Propinsi Banten. Pertama kali Kedaung ditempati oleh orang-orang Jakarta atau Suku Betawi. Sampai akhirnya sebagian besar penduduknya merupakan Suku Betawi dan membentuk sebuah forum yaitu Forum Betawi Rempug. Akan tetapi penduduk asli memilih untuk mencari kehidupan di tempat lain. Penduduk asli berkurang atau bermigrasi dan digantikan oleh para pendatang yang berasal dari Pekalongan dan Tasikmalaya. Sekarang, sebagian besar penduduk Desa Kedaung merupakan orang-orang yang berasal dari Suku Jawa dan Sunda.

4.2 Sejarah Paguyuban Perkumpulan diantara para penduduk di Kedaung sebenarnya sudah ada meskipun perkumpulan tersebut tidak secara resmi dibentuk dengan visi misi

secara tertulis. Namun tujuan dari masing-masing individu tercermin sebagai tujuan bersama dalam perkumpulan tersebut. Para penduduk menginginkan hubungan antara mereka dapat terjalin dengan baik, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain. Tujuan ini diwujudkan dalam bentuk kegiatankegiatan yang dapat dilakukan, antara lain pengajian rutin setiap minggu, arisan, kerja bakti, tujuh belasan, dan lain sebagainya. Para penduduk kemudian menginginkan agar perkumpulan ini diresmikan sebagai sebuah paguyuban sebagai pengganti kopti. Kopti merupakan koperasi pemerintahan yang berpusat di Kabupaten Tangerang. Sebenarnya kopti memiliki peran yang cukup penting bagi penduduk Kedaung yang sebagian besar merupakan pengrajin tahu tempe. Kopti dapat menjaga keseimbangan harga pasar. Namun dalam perjalanannya, banyak aset-aset kopti yang hilang seperti tanah ataupun tambak. Aset-aset ini merupakan milik dari anggota kopti namun ternyata aset tersebut disalahgunakan oleh para pengurus periode terakhir. Akhirnya kopti tersebut dibubarkan karena dianggap kurang bertanggung jawab. Setelah kopti dibubarkan, distributor kedelai yang dipegang oleh China dengan sewenang-wenang memainkan harga dan memberikan harga yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu para penduduk menginginkan adanya paguyuban yang dapat menggantikan peran kopti tersebut. Paguyuban diresmikan pada tangga 6 Maret 2009 dengan nama “Paguyuban Warga Pengrajin Tahu Tempe (PWPTT)” (lihat Gambar 1 pada Lampiran 4). Nama tersebut diambil karena yang menjadi anggota pertama paguyuban tersebut merupakan para pengrajin tahu tempe. Meskipun begitu, tidak ada larangan bagi penduduk lain

yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe apabila mereka ingin menjadi anggota paguyuban ini. 4.2.1 Gambaran Umum Nama Paguyuban ini adalah Paguyuban Warga Pengrajin Tahu dan Tempe atau disingkat PWPTT. Paguyuban ini berkedudukan di Tangerang Selatan tepatnya di Jl. Pulo Samid Rt. 08/04. Prinsip yang menjadi landasan paguyuban

ini

adalah

gotong

royong,

kebersamaan,

keterbukaan,

persaudaraan, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya dan selalu berpegang teguh pada prinsip amar ma ruf nahi munkar. Adapun tujuan dari paguyuban antara lain: 1.

Meningkatkan persaudaraan, persatuan, dan kesatuan sesama pengrajin;

2.

Membangun jejaring, menyediakan dan mengelola usaha kedelai guna

meningkatkan kesejahteraan anggota.

4.2.2 Visi dan Misi Visi Menjadi paguyuban yang bermartabat yang senantiasa melindungi dan mengayomi para warganya, jujur, amanah, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya.

Misi 1. Menjalankan usaha dibidang kedelai untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya;

2. Menjalankan usaha-usaha pendukung lainnya yang berkaitan dengan usaha pokok para anggotanya; 3. Mempermudah usaha para anggota dengan menyediakan bahan baku dan bahan pendukung lainnya dengan harga yang kompetitif; 4. Menjembatani kepentingan anggota dengan seluruh stakeholder untuk mendapatkan manfaat saling menguntungkan bagi semua pihak.

4.2.3 Anggota Anggota awal pada saat paguyuban baru terbentuk berjumlah 105 Kepala Keluarga. sekarang jumlah tersebut bertambah menjadi 124 Kepala Keluarga atau sebanyak 128 jiwa. Jumlah ini dapat bertambah setiap waktu karena paguyuban ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi anggota paguyuban. Anggota paguyuban tidak hanya terbatas bagi pengrajin tahu tempe saja atau terbatas bagi para penduduk Kedaung saja. Akan tetapi penduduk yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe ataupun orang lain yang bukan berasal dari Desa Kedaung dapat menjadi anggota Paguyuban, yang terdiri dari : -

96 orang pengrajin dan pedagang tahu tempe

-

22 orang pedagang sayur dan tukang ojek

-

10 orang profesi lain (pegawai, karyawan, dan buruh)

4.2.4 Kegiatan Kegiatan yang dilakukan saat ini adalah kegiatan-kegiatan dalam bidang sosial, rohani atau keagamaan, dan bidang usaha.

4.2.4.1 Bidang Sosial Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang sosial antara lain pembinaan kepada anggota paguyuban dan juga pemberian santunan kepada anggota paguyuban yang mengalami musibah. Pembinaan yang diberikan kepada anggota paguyuban dapat berupa himbauan untuk dapat tetap menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar pemukiman ataupun lingkungan usaha sehingga kegiatan usaha yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selain himbauan tentang lingkungan hidup, paguyuban juga memfasilitasi praktek nyata dari hanya sekedar himbauan. Praktek nyata ini berupa kerja bakti yang dilakukan setiap bulannya. Pemberian santunan dilakukan dengan menggunakan iuran wajib yang dibayar oleh anggota paguyuban setiap bulannya. Besarnya iuran wajib tersebut adalah seribu rupiah. Selain iuran wajib, santunan ini juga diambil dari simpanan para anggota yang membeli kedelai di paguyuban. Setiap pembelian kedelai anggota dikenakan biaya tambahan sebesar seratus rupiah per kg.

4.2.4.2 Bidang Keagamaan Anggota paguyuban seluruhnya memeluk agama Islam. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan agama Islam. Kegiatan tersebut seperti pengajian dan majelis taklim yang dilakukan secara rutin. Pengajian dilakukan setiap malam Jumat di Masjid Jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban yang bersedia.

Majelis taklim dilakukan setiap minggu, tanpa ada ketetapan hari tergantung kesepakatan anggota setiap minggunya. Majelis taklim ini dapat dilakukan di Masjid jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban yang bersedia sehingga setiap anggota dapat mengenal lebih dekat dengan anggota yang lainnya.

4.2.4.3 Bidang Usaha (lihat Gambar 2 pada Lampiran 4) Paguyuban menyediakan kedelai yang dapat dibeli oleh para anggota yang mayoritas adalah para pengrajin tahu tempe. Paguyuban menyediakan kedelai dalam jumlah yang cukup besar. Para pengrajin dapat mengambil atau memesan kedelai terlebih dahulu sebanyak yang dibutuhkan. Pembayaran dari pesanan tersebut dapat dilakukan sebulan kemudian ketika akan melakukan pengambilan atau pemesanan berikutnya. Selain itu paguyuban juga melakukan usaha simpan pinjam. Para anggota yang membutuhkan biaya yang berkaitan dengan usahanya, paguyuban membuka peluang untuk memberikan pinjaman. Pinjaman yang diberikan diambil dari simpanan anggota.

4.2.5 Manfaat Banyak sekali manfaat yang didapatkan oleh para anggota, antara lain mendapatkan kemudahan dalam penyediaan bahan baku kegiatan usaha, mendapatkan pencerahan dan menambah wawasan khususnya mental dan spiritual, ataupun mendapatkan perhatian disaat tertimpa musibah.

BAB V BANGUNAN MODAL SOSIAL

Norma-norma yang terdapat pada komunitas pengrajin tahu masih sarat akan budaya yang mereka bawa dari daerah asal mereka. Meskipun mereka hidup di tengah-tengah kota yang sudah sangat heterogen, yaitu terdiri dari berbagai budaya, agama, pekerjaan, sampai gaya hidup namun keanekaragaman ini tidak membuat keutuhan antar mereka menjadi rapuh. Mereka berkumpul di salah satu titik di Desa Kedaung, sehingga orang lain dengan mudah mengidentifikasi komunitas ini. Pengrajin tahu berasal dari satu daerah yang sama yaitu Tasikmalaya. Kehidupan mereka di Kedaung masih kental dengan budaya Sunda mereka. Meskipun begitu mereka tidak pernah menutup budaya lain untuk masuk dalam kehidupan mereka. Mereka hidup rukun dengan penduduk Kedaung yang berasal dari suku Jawa, Betawi, Padang, bahkan China. Norma kekeluargaan sangat dijunjung tinggi oleh para pengrajin tahu. Mereka sangat menghargai orang-orang yang berasal dari kampung yang sama. Bahkan mereka sangat peduli dengan orang-orang yang mereka sebut dengan saudara sekampung itu. Mereka tidak pernah mempersoalkan tentang hubungan darah. Mereka selalu menganggap orang-orang yang berasal dari kampung yang sama merupakan saudara yang harus dibantu ketika mereka berada dalam kesulitan. Selain norma kekeluargaan tersebut, terdapat juga norma ataupun nilainilai yang lain yang berkembang diantara pengrajin tahu, diantaranya nilai-nilai

kebersamaan, toleransi, dan kepercayaan. Sebelumnya telah disebutkan bahwa mereka menganggap saudara dengan sesamanya. Nilai-nilai kebersamaan tercermin dari sikap mereka memperlakukan saudaranya, terutama yang belum memiliki usaha atau penghasilan sendiri. Orang yang belum memiliki usaha atau penghasilan sendiri tersebut diberi kesempatan untuk ikut dalam usaha pengrajin yang telah memiliki usaha. Mereka diizinkan tinggal di tempat tinggal pengrajin yang telah memiliki usaha sampai mereka mampu untuk mendapatkan tempat tinggal sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak Man: Waktu saya masih ikut usaha adik saya, saya numpang disana, soalnya kan masih baru di Jakarta dan belum punya uang untuk ngontrak apalagi beli rumah.

Para pengrajin yang menjadi tempat belajar bagi pengrajin baru tidak pernah mengungkapkan bahwa mereka mengharapkan balas jasa dari pengrajin yang baru belajar. Namun pengrajin baru tersebut merasa memiliki kewajiban untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang yang telah memberinya pengetahuan tentang usaha tahu. Hal tersebut dianggap sebagai balas budi karena mereka telah diberi keterampilan sampai mereka mampu membuka usaha sendiri dan mendapatkan penghasilan sendiri. Pengrajin tahu tersebut saling mempercayai satu sama lain. Tidak pernah ada kecurigaan diantara mereka. Itulah sebabnya mereka tidak ragu apabila ada saudara sekampung yang ingin menumpang tinggal di rumah mereka. Nilai-nilai toleransi diantara para pengrajin tahu ini cukup tinggi. Mereka saling menghormati dan menghargai bukan hanya dengan sesama pengrajin tahu akan tetapi juga dengan penduduk Kedaung yang lainnya. Mereka tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain meskipun jumlah mereka bertambah setiap

tahunnya. Mereka hidup rukun berdampingan bahkan mereka kerap mengadakan acara-acara yang dapat menguatkan kebersamaan diantara mereka seperti acara 17-an, arisan, dan sekarang mereka membentuk Paguyuban yang telah dijelaskan di bab sebelumnya. Mereka memiliki kesadaran dalam hal memilih wilayah pemasaran hasil produksi mereka. Pengrajin tahu dan tempe yang baru akan mencari daerah pemasaran dan pembeli dimana mereka telah ketahui bahwa belum ada pengrajin yang memasarkan di daerah tersebut. Sehingga mereka tidak merasa haknya diambil. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain. Kehidupan bertetangga tidak selamanya rukun dan damai. Kadang-kadang ada masalah yang muncul karena kesalahpahaman, kurang pengertian, kurang toleransi, ataupun kurang bertanggungjawab. Begitu juga dalam kehidupan para pengrajin tahu. Kehidupan sosial para pengrajin tahu memang terlihat sangat harmonis sekarang ini. Mereka hidup rukun sebagai tetangga. Namun, tidak menutup kemungkinan diantara mereka pernah terjadi suatu masalah. Para pengrajin tahu ini pernah mengalami masalah dengan kopti. Mereka menuntut tanggung jawab dari kopti akan simpanan-simpanan yang mereka masukkan. Mereka melakukan demo di kantor kopti yang terletak di Kabupaten Tangerang bersama dengan pengrajin tahu dan tempe yang lainnya. Akan tetapi aksi tersebut dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Perwakilan dari pihak pengrajin berunding dengan pihak kopti untuk mencari solusi yang terbaik. Para pengrajin diwakili oleh Pak Cariban selaku pengrajin tertua dan Pak Daryono yang sekarang menjadi ketua Paguyuban. Norma-norma ataupun nilai-nilai yang berkembang diantara pengrajin tahu

juga berkembang diantara pengrajin tempe. Norma kekeluargaan juga sangat kental diantara para pengrajin tempe sama seperti pangrajin tahu. Mereka selalu menganggap orang yang berasal dari daerah asal yang sama yaitu Pekalongan sebagai saudara tanpa mempersoalkan hubungan darah diantara mereka. Mereka selalu membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang usaha tempe. Biasanya pengrajin yang sudah memiliki usaha memperhatikan kehidupan saudara sekampungnya. Mereka mengajak orang-orang yang tidak memiliki usaha ataupun berpenghasilan rendah di kampung. Orang-orang yang diajak ataupun orang yang sengaja ingin mempelajari keterampilan yang berhubungan dengan usaha tempe diizinkan untuk tinggal di rumah pengrajin yang telah memiliki usaha. Mereka dibina, dibimbing, diberi keterampilan sampai mereka memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Hal ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan juga kepercayaan. Selama pengrajin baru ‘menuntut ilmu’, pengrajin lama tidak pernah meminta bayaran atas segala apa yang telah diberikan. Namun orang yang sudah dibimbing tersebut tidak pernah melupakan begitu saja. Mereka biasanya lebih mempererat hubungan dengan orang yang telah membimbing. Hubungan persaudaraan mereka lebih terjaga dan lebih dekat dengan adanya proses tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Cariban: Saya pertama kali membuka usaha tempe ini disini. Sebelumnya belum ada orang yang membuka usaha tempe. Setelah itu baru orang-orang tinggal di rumah saya dan ikut usaha saya sampai mereka bisa buka usaha sendiri. Saya tidak pernah meminta hasil dari mereka setelah mereka punya usaha sendiri. Saya cuma ngajarin ajah sampai mereka bisa.

Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Mba Iis yang baru mulai menjalankan usaha tempe: Waktu saya masih ikut usaha keponakan saya, ya memang saya hanya dapat bagian tergantung berapa yang saya bisa buat dan jual karena saya kan ikut usaha orang. Tapi setelah saya buka usaha sendiri, saya nggak punya kewajiban buat ngasih keponakan saya itu.

Sama seperti dengan para pengrajin tahu, pengrajin tempe pun menjalin hubungan yang baik antar pengrajin ataupun dengan penduduk yang lain. Mereka juga tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain. Hal ini dikarenakan mereka telah memiliki wilayah pemasaran yang sudah mereka tentukan sendiri ketika mereka mulai berusaha. Meskipun begitu mereka juga tidak luput dari masalah-masalah yang sempat mengganggu keharmonisan mereka. Selain masalah dengan Kopti bersama dengan para pengrajin tahu, pengrajin tempe sempat terganggu ketika krisis moneter pada tahun 1998. Harga kedelai melambung cukup tinggi. Mereka tidak mendapat keuntungan selama beberapa lama. Namun mereka dapat tetap melangsungkan produksi karena mereka masih diperbolehkan untuk memesan kedelai di distributor kedelai. Nilai-nilai

yang

berkaitan

dengan

kepercayaan

telah

diuraikan

sebelumnya, implikasi dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari cara mereka belajar atau proses belajar yang terjadi antara pengrajin tahu ini. Apabila diantara mereka tidak memiliki rasa percaya maka tidak akan terjalin kerjasama yang baik diantara mereka. Pengrajin yang ingin belajar tanpa ragu menerima pengetahuan yang diberikan begitu juga dengan pengrajin yang memberi pengetahuan. Mereka dengan senang hati memberikan pengetahuan tanpa ada perasaan bahwa orang

yang dibimbing akan memberikan atau membawa hal-hal negatif. Orang-orang tersebut bersedia diajak dan percaya bahwa mereka akan diberikan pengetahuan yang dapat mereka gunakan untuk memajukan diri mereka sendiri. Kepercayaan ini muncul karena mereka sudah cukup mengenal satu sama lain. Mereka juga telah menjalin hubungan yang cukup baik di daerah asal mereka. Selain itu, mereka juga sudah melihat saudara-saudara sekampung yang diajak bekerja dan kemudian dapat berhasil sehingga kesejahteraannya meningkat. Sikap percaya ini juga dicerminkan pada kegiatan atau kerja sama antara pengrajin tahu dengan distributor kedelai. Para pengrajin tahu biasanya memesan atau mengambil terlebih dahulu kedelai kepada distributor kedelai baik di Paguyuban ataupun distributor lain. Mereka tidak dituntut untuk langsung membayar kedelai tersebut. Mereka diberi kesempatan satu bulan atau sampai mereka ingin memesan kedelai kembali. distributor kedelai tidak meminta jaminan dalam kerja sama ini. Hal ini tidak hanya berlaku bagi para pengrajin yang telah menjalankan usaha atau sudah melakukan kerja sama sebelumnya. Pengrajin yang baru akan memulai usaha juga dapat menjalin kerja sama ini. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Atang: lo buat beli kacangnya ga mahal, kan kita boleh ngambil dulu, bayarnya ntar pas mau ngambil lagi.

Distributor kedelai ini begitu percaya dengan para pengrajin tahu dan tempe karena distributor telah menjalin kerja sama dengan pengrajin-pengrajin sebelumnya. Pengrajin-pengrajin tersebut selalu menepati waktu pembayaran, mereka tidak pernah lari dari tanggung jawab untuk membayar kedelai yang sudah mereka pesan. Oleh karena itu distributor percaya bahwa pengrajin yang lain juga

tidak akan lari dari tanggungjawabnya. Kerja sama yang dilandasi dengan kepercayaan juga berlaku diantara pengrajin tempe. Banyak pengrajin tempe baru bermunculan. Hal ini dikarenakan usaha tempe tidak membutuhkan modal yang besar. Mbak Iis mengatakan: Usaha tempe mah gampang mbak, kacangnya boleh ngambil dulu, bayarnya bulan depan, terus alat-alatnya yang lain juga gampang. Tanpa modal juga bisa usaha tempe, Mbak.

Mbak Iis mengatakan hal tersebut berdasarkan beberapa alasan. Pertama, karena para pengrajin dapat mengambil kedelai terlebih dahulu di distributor sebanyak yang dibutuhkan dan dapat membayarnya setelah mereka dapat menjual tempe dan mendapatkan keuntungan. Kedua, karena alat-alat produksi mudah dibuat antara lain tong untuk mencuci dan merebus kedelai, krei yang terbuat dari bambu untuk mencetak tempe, dan penggiling kedelai. Oleh karena itu usaha ini dapat dimulai dengan menggunakan modal yang rendah. Pengrajin tempe menerapkan kerja sama semacam ini kepada beberapa konsumennya. Memang tidak semua pengrajin tempe menerapkan kerja sama seperti ini, hanya para pengrajin yang sudah mengenal karakteristik langganannya. Biasanya pengrajin yang mengantarkan langsung pesanan konsumen yang menerapkan kerja sama ini. Pesanan konsumen diantarkan setiap harinya dan konsumen dapat membayar pesanan tersebut pada bulan berikutnya. Kerja sama ini tidak menggunakan jaminan apapun dan konsumen tidak pernah menuntut apabila tempe yang sudah dibelinya tidak laku dijual. Pesanan yang sudah diantar ke tangan konsumen merupakan hak konsumen sepenuhnya. Seperti apa yang

diutarakan oleh Pak Daryono: Saya tiap hari nganter. Ada beberapa langganan yang bayarnya bulan depan kayak warteg.

Kepercayaan ini tumbuh juga karena adanya tanggung jawab dan kejujuran dari kedua belah pihak. Penjual tempe tidak pernah terlambat mengantarkan tempenya dan menjual tempe dengan kualitas yang cukup baik. Konsumen juga selalu membayar tepat waktu setiap bulannya. Diantara mereka telah tumbuh rasa saling percaya yang sangat kuat, hal ini ditandai oleh kejujuran, keteraturan, dan kerjasama yang terjalin antar mereka. Kesalingpercayaan ini mempengaruhi jejaring kehidupan mereka. Pengrajin tahu termasuk penduduk baru yang bermukim di Kedaung. Pengrajin tahu pertama memulai usahanya pada tahun 1998, dengan kata lain pengrajin ini datang 18 tahun setelah pengrajin tempe menjalankan usaha di Kedaung. Pengrajin tahu ini memutuskan untuk membuka usaha tahu karena pada saat itu belum ada penduduk yang membuka usaha tahu di daerah ini. Sedangkan pengrajin tempe sudah banyak sekali. Pengrajin tahu ini berasal dari Tasikmalaya dan orang-orang yang berasal dari Tasikmalaya banyak yang belajar dengan pengrajin pertama. Namun usaha ini tidak dapat berlangsung lama dan akhirnya berhenti berproduksi. Salah seorang yang pernah ikut bekerja di usaha tersebut adalah Pak Maman yang merupakan kakak dari pengrajin pertama ini. Jejaring hubungan kemudian terbentuk karena adanya hubungan antara pengrajin tahu dengan pihak-pihak yang lain

seperti distributor kedelai dan

konsumen. Pengrajin yang hingga kini masih menjalankan usahanya yaitu Pak

Maman dan Pak Atang. Pak Maman dan Pak Atang sama-sama berasal dari satu daerah yang sama yaitu Tasikmalaya. Paguyuban

Distributor kedelai

Pak Maman

Pasar Ciputat

Gambar 7. Bagan Jejaring Pak Maman Sebagai Pengrajin Tahu Lama

Pak Maman memulai usahanya pada Tahun 2000. Pak Maman memang bukan pengrajin tahu pertama di Kedaung. Pengrajin tahu yang pertama kali menjalankan usaha di Kedaung sudah tidak menjalankan usahanya karena mengidap penyakit yang serius. Awalnya Pak Maman ikut usaha adiknya yang merupakan pengrajin tahu pertama tersebut. Beliau belajar keterampilan membuat tahu selama dua tahun. Setelah itu, Pak Maman memutuskan untuk membuka usaha tahu sendiri. Pak Maman memiliki lima orang karyawan. Pak Maman mengajak saudara sekampungnya untuk membantu usahanya. Hal ini dikarenakan usaha tahu tidak dapat dilakukan sendiri. Usaha tahu ini membutuhkan sumber daya manusia lebih dari dua orang. Pak Maman mengajarkan keterampilan membuat tahu kepada para karyawannya sampai karyawan-karyawannya itu mengerti tugas masing-masing. Dengan kata lain Pak Maman termasuk dalam pemberdaya atau orang yang memberdayakan bagi pengrajin tahu yang lainnya.

Pak Maman membeli kedelai pada distributor kedelai dan Paguyuban. Hal ini dikarenakan, Pak Maman telah melakukan kerja sama dengan distributor kedelai terlebih dahulu dan Paguyuban baru dapat menyediakan kedelai tahun ini. Pak Maman belum bisa menghentikan kerja sama dengan distributor kedelai secara sepenuhnya. Namun Pak Maman berniat untuk menghentikan kerja sama tersebut secara perlahan demi kemajuan Paguyuban. Pak Maman hanya menjual tahunya di Pasar Ciputat. Beliau memilih Pasar Ciputat sebagai tempat pemasaran karena beliau sudah mempunyai daerah berjualan di pasar tersebut.

Distributor kedelai

Paguyuban

Pak Atang

Pasar Ciputat

Penjual eceran

Gambar 8. Bagan Jejaring Pak Atang Sebagai Pengrajin Tahu Baru

Sementara itu, Pak Atang memulai usahanya pada tahun 2005. Pak Atang membeli kedelai di distributor kedelai dan juga Paguyuban. Alasannya tidak jauh berbeda dengan Pak Maman. Pak Atang telah melakukan kerja sama terlebih dahulu dengan distributor kedelai tersebut sehingga beliau tidak dapat dengan serta merta menghentikan kerja sama tersebut. Pak Atang mempelajari keterampilan usaha tahu ini dari Pak Maman dan juga pengrajin yang lainnya. Setelah beliau mempunyai modal untuk membeli

alat-alat produksi dan juga berhasil untuk menghimpun saudara-saudaranya untuk menjalankan usaha bersama, barulah beliau membuka usaha tahu ini. Pak Atang merupakan pengrajin yang diberdayakan. Beliau memperoleh pengetahuan dari orang lain yang kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pak Atang juga menjual tahunya di Pasar Ciputat, selain itu Pak Atang menerima pedagang eceran yang membeli langsung di pabrik. Pak Atang menjual sendiri tahunya, dengan dibantu oleh keempat orang saudaranya. Namun letak mereka terpisah-pisah di Pasar Ciputat tersebut. Etnis tidak cukup berpengrauh dalam jejaring. Apabila dilihat mereka memang hidup seperti berkelompok dimana para pengrajin tahu semuanya berasal dari Tasikmalaya. Namun kenyataanya, mereka cukup terbuka dengan siapa saja yang ingin mempelajari tentang usaha tahu. Akan tetap di Kedaung sudah terbentuk suatu anggapan bahwa pengrajin tahu pasti orang yang berasal dari Tasikmalaya. Mereka juga tidak pernah membatasi siapa yang harus menjadi konsumen mereka ataupun dengan siapa mereka pantas menjalin hubungan. Mereka menjalin hubungan sosial dengan siapa saja terutama dengan para anggota paguyuban yang juga merupakan warga kedaung. Jejaring yang terbentuk antara pengrajin tahu dengan pihak-pihak yang lainnya merupakan suatu jejaring terbuka, siapa saja dapat masuk dalam jejaring hubungan tersebut. Hal ini ditunjukkan pada kejadian ketika peneliti pertama kali masuk dalam komunitas tersebut sampai akhirnya mempelajari cara membuat tahu, mereka dengan senang hati menjamu peneliti tanpa ada rasa sungkan. Begitu juga dalam hal ekonomi, para pengrajin tahu ini hidup

berdampingan dengan para pengrajin tempe yang seluruhnya berasal dari Pekalongan. Belum ada konflik antara mereka selama ini. Hal ini dikarenakan mereka sadar bahwa mereka menjual hasil olahan yang berbeda dan mereka berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik. Mereka juga tidak pernah merasa tersaingi dengan kelompok usaha keripik tempe yang merupakan warga Kedaung. Mereka merasa memiliki pasar yang berbeda sehingga mereka tidak pernah merasa bermasalah apabila ada warga lain yang membuka usaha. Begitu juga dengan pengrajin tempe. Pengrajin tahu menjalin hubungan yang sangat baik dengan parapengrajin tempe karena mereka menggunakan kerja sama dengan distributor yang telah dijalin terlebih dahulu oleh pengrajin tempe. Pengrajin terlama di Kedaung berasal dari pengrajin tempe. Pengrajin tempe pertama di Kedaung adalah Bapak Cariban. Beliau memulai usahanya pada tahun 1980. Beliau memulai usaha di saat belum ada orang lain yang melakukan usaha sejenis. Pak Cariban merupakan pengrajin tempe sejati, karena beliau sudah sedari kecil berkecimpung dalam usaha tempe ini. Namun baru pada tahun 1980 beliau membuka usaha tempe sendiri. Awalnya beliau memproduksi tempe sendiri. Tapi sekarang beliau sudah mempunyai karyawan untuk menggantikan tugasnya. Pak Cariban membeli kedelai di distributor kedelai karena beliau sudah dari memulai usaha membeli kedelai di distributor kedelai ini. Meskipun begitu Pak Cariban memiliki hubungan sosial yang sangat kuat dengan Paguyuban. Karena Pak Cariban merupakan orang yang pertama kali membuka usaha tempe di daerah Kedaung dan banyak orang yang belajar dengan Pak Cariban sehingga Pak Cariban

memiliki hubungan yang cukup baik dengan para pengrajin tempe yang lain yang merupakan anggota dari paguyuban tersebut. Pak Cariban selalu mengajak dan mau mengajarkan keterampilannya kepada saudara sekampungnya. Oleh sebab itu pengrajin tempe di Kedaung selalu bertambah. Pak Cariban sama seperti Pak Maman. Pak Cariban merupakan pemberdaya atau orang yang memberdayakan pengrajin tempe yang lainnya sampai akhirnya mereka dapat menjalankan usaha itu sendiri. Pak Daryono juga sudah termasuk pemberdaya karena beliau merupakan ketua paguyuban yang sering kali memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada pengrajin yang lain. Berbeda dengan Mbak Iis. Beliau merupakan orang yang diberdayakan karena beliau belum pernah memberikan pengetahuan ataupun memberikan keterampilan kepada pengrajin yang lain. Pak Cariban hanya fokus di Pasar Ciputat semenjak pertama kali memulai usahanya. Pembeli di Pasar Ciputat beragam mulai dari ibu rumah tangga, penjual gorengan, pemilik warung nasi, sampai penjual sayuran untuk dijual kembali. Hubungan Pak Cariban dengan para pembeli di Pasar Ciputat dan distributor kedelai merupakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dalam hubungan ekonomi. Berbeda dengan Pak Cariban, Mbak Iis dan Pak Daryono lebih memilih untuk memasarkan hasil produksinya dengan cara berkeliling. Mbak Iis baru memulai usahanya pada tahun 2005. Cara ini dilakukannya sejak memulai usaha. Cara ini memang tidak mudah karena pada mulanya langganan atau pembeli harus dicari sendiri. Namun lama kelamaan cara ini menjadi tidak begitu berat karena beliau hanya tinggal mengantarkan saja ke tempat langganan sehingga hasil yang di dapat setiap harinya lebih pasti dibanding dijual di pasar.

Alhamdulillah mbak sekarang mah sudah banyak langganan, jadi suami saya tinggal nganter ajah ke tempat mereka. Kadang tempe yang dibawa dilebihin jadi bisa dijual ke yang lain juga selain buat pesanan orang.

Cara ini juga dipilih oleh Bapak Daryono selaku Ketua Paguyuban. Saya lebih memilih berkeliling mbak, soalnya lebih sedikit saingan dan lebih gampang dapat langganan. Kalau di pasar kan pembeli yang nyamperin kita, nah itu ga tentu, kadang banyak yang beli kadang sedikit, lebih susah mbak.

Mbak Iis mempunyai jaringan dengan rumah tangga, tukang gorengan, tukang sayuran, warteg, distributor kedelai, dan paguyuban. Mbak Iis lagsung menjual hasilnya kepada para langganannya. Mbak Iis mengantarkan langsung ke tangan pembelinya. Berbeda dengan Pak Cariban, Mbak Iis melakukan hubungan timbal balik dengan paguyuban. Mbak Iis membeli kedelai di paguyuban dan juga distributor kedelai. Mbak Iis belum bisa menghentikan pembelian secara tiba-tiba dengan distributor kedelai karena pertama kali memulai usaha Mbak Iis mengambil kedelai di distributor kedelai. Namun Mbak Iis juga tidak mungkin menghiraukan keberadaan paguyuban, karena dengan adanya paguyuban tersebut pihak distributor kedelai tidak dapat memainkan harga dengan sewenang-wenang. Begitu juga dengan Pak Daryono. Pak Daryono menjual langsung tempenya kepada rumah tangga, pedagang makanan, dan tukang sayur. Selain itu, Pak Daryono juga menjalin hubungan dengan beberapa anggota Polda, dealer motor, dan anggota paguyuban. Hubungan dengan anggota Polda menyebabkan terbentuknya paguyuban pengrajin tahu tempe. Pak Daryono mendapat dukungan dari anggota Polda tersebut yang sekarang menjadi pengawas dan sekretaris paguyuban. Selain sebagai pengrajin tempe, Pak Daryono juga menjadi perantara bagi pembeli motor di salah satu dealer motor.

Sama halnya dengan pengrajin tahu, etnis tidak begitu berpengaruh dalam kehidupan para pengrajin tempe. Memang seluruh pengrajin tempe di Kedaung merupakan warga yang berasal dari Pekalongan. Hal ini dikarenakan, pengrajin yang telah memiliki usaha di kota akan mengajak saudara sekampungnya. Namun tidak menutup kemungkinan bagi orang yang berasal dari etnis lain untuk ikut serta dalam usaha ini dan sejauh ini belum ada orang yang berasal dari etnis lain yang ingin belajar usaha tempe. Para pengrajin tempe ini juga tidak pernah membatasi kehidupan sosialnya. Mereka sangat terbuka dengan siapa saja. Mereka juga tidak merasa keberatan dengan kedatangan para pengrajin tahu yang memulai usaha di daerah Kedaung. Mereka tidak pernah merasa bahwa lahan ekonomi mereka menjadi berkurang. Hal ini dikarenakan beberapa hal diantaranya para pengrajin tempe sudah mempunyai langganan sendiri, hasil produksi mereka juga berbeda dengan para pengrajin tahu sehingga mereka tidak merasa tersaingi dan hidup dengan harmonis. Jejaring yang terbentuk antara pengrajin tempe dengan pihak-pihak lain merupakan jejraing terbuka. Siapa saja dapat masuk ke dalam jejaring ini. Tidak ada aturan yang mengikat diantara mereka dalam menjalin suatu hubungan.

Paguyuban

Pasar Ciputat

Pak Cariban

Distributor kedelai

Gambar 9. Bagan Jejaring Pak Cariban Sebagai Pengrajin Tempe Terlama di Kedaung

Pasar Ciputat hanya sekedar tempat menjual tempe bagi Pak Cariban. Sehingga hubungan yang terjalin merupakan hubungan yang searah meskipun di Pasar Ciputat tersebut Pak Cariban mendapatkan penghasilan. Dengan distributor kedelai dan paguyuban, hubungan Pak Cariban merupakan hubungan yang timbal balik. Pak Cariban mendapat pasokan kedelai dari distributor kedelai. Sedangkan dengan paguyuban, Pak Cariban merupakan orang yang paling berpengaruh karena merupakan pengrajin pertama di daerah Kedaung dan paguyuban juga selalu meminta pendapat Pak Cariban terkait dengan masalah-masalah yang mereka hadapi.

Rumah tangga

Paguyuban

Tukang Gorengan Mba Iis distributor kedelai

Warteg

Tukang sayur

Gambar 10. Bagan Jejaring Mba Iis Sebagai Pengrajin Tempe Yang Paling Baru di Kedaung

Mbak Iis menjual tempenya kepada beberapa pihak yaitu ibu rumah tangga, tukang gorengan, tukang sayur, dan warteg. Hubungan ini hanya sekedar hubungan jual beli oleh karena itu hubungan ini digambarkan sebagai hubungan searah. Sementara itu hubungan dengan distributor kedelai merupakan hubungan searah dimana Mbak Iis membutuhkan pasokan kedelai dan pasokan tersebut didapat dari distributor. Sedangkan dengan paguyuban merupakan hubungan dua arah, karena Mbak Iis memasok kedelai dari paguyuban dan juga sebagai anggotadari paguyuban tersebut.

Beberapa anggota Polda Rumah Tangga

Pedagang makanan

Anggota paguyuban Pak Daryono

Tukang sayur

Gambar 11. Bagan Jejaring Pak Daryono Sebagai Ketua Paguyuban

Pak Daryono menjalin hubungan searah dengan ibu rumah tangga, tukang sayur, dan pedagang makanan. Hubungan tersebut hanya sebatas hubungan jual beli. Pak Daryono menjalin hubungan yang baik dengan anggota paguyuban. Anggota paguyuban banyak yang membeli kedelai di paguyuban dan Pak Daryono juga berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anggota paguyuban. Sementara itu, Pak Daryono memperluas jaringannya dengan dealer motor dan beberapa anggota Polda. Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, sebenarnya jejaring-jejaring yang telah digambarkan diatas saling berhubungan satu sama lain. Berikut gambar jejaring pengrajin tahu tempe yang saling berhubungan:

Ibu RT

Tukang Sayur

Mba’ Iis

Pedagang Gorengan P’ Daryono

Ps. Ciputat Warteg Paguyuban P’ Cariban

distributor kedelai

P’ Man

P’ Atang

Pengrajin Tahu tempe yg lain

Gambar 12. Bagan Jejaring Pengrajin Tahu Tempe

Apabila kita melihat gambar jejaring diatas, mungkin akan terlihat begitu rumit. Namun sebenarnya, gambar jejaring tersebut menggambarkan bahwa semua pihak yang terdapat dalam komunitas pengrajin tahu tempe tersebut saling berhubungan satu sama lain. Mereka tidak melakukan hubungan yang lepas atau tidak berhubungan. Hubungan yang mereka jalin merupakan suatu keterikatan yang saling menyatu.

BAB VI MODAL SOSIAL, PENGEMBANGAN USAHA, DAN KESEJAHTERAAN PENGRAJIN TAHU TEMPE

Norma-norma atau nilai-nilai yang berkembang seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya yaitu kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi dasar bagi terlaksananya proses pengembangan usaha yang berlangsung diantara para pengrajin tahu. Usaha yang mereka miliki tidak lepas dari peran norma yang telah mereka kembangkan semenjak mereka masih berada di daerah asal mereka yaitu Tasikmalaya. Atas dasar norma-norma atau nilai-nilai inilah, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk membantu saudara sekampungnya agar dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka selalu merasa bahwa mereka merupakan satu keluarga, sehingga mereka tidak pernah sungkan untuk memberi kepercayaan, menerima ajakan, memberi keterampilan, dan juga menerima keterampilan tersebut. Oleh sebab itu, satu persatu saudara sekampung mereka dengan cepat dapat menjadi pengrajin tahu. Orang yang diajak juga tidak pernah merasa malu untuk belajar karena mereka mengerti bahwa hal yang dilakukan adalah untuk menjadikan kehidupan mereka lebih baik. Norma-norma atau nilai-nilai yang terus menerus digunakan sebagai basis dari pengembangan usaha para pengrajin tahu di Kedaung tidak pernah hilang ataupun melemah. Norma atau nilai ini semakin kuat karena ketika mereka berhasil mempunyai usaha sendiri dan berhasil mengembangkan usahanya rasa diantara mereka yang menganggap bahwa mereka merupakan saudara semakin

bertambah. Begitu juga dengan kebersamaan, toleransi dan kepercayaan diantara mereka. Dapat dilihat hasil dari pengembangan usaha yang berlandaskan normanorma ataupun nilai-nilai yang berkembang diantara pengrajin tahu di Kedaung. Mereka semakin rukun, harmonis, percaya, dan mereka tidak pernah melupakan akan jasa dari orang yangtelah memberinya keterampilan. Usaha tahu ini juga cukup berkembang di daerah Kedaung. Keahlian membuat tahu merupakan keahlian yang dapat dimiliki oleh siapa saja. Namun cara mereka meluaskan keahlian ini merupakan cara yang cukup unik. Salah satunya adalah pada saat membuat orang-orang yang tadinya tidak mempunyai usaha apa-apa atau pekerjaannya tidak memberikan hasil yang maksimal menjadi mempunyai usaha sendiri dan cukup menjanjikan. Uniknya, para pengrajin yang sudah merasa mapan dalam usahanya berusaha mengajak orang lain atau saudara sekampung yang tidak mempunyai pekerjaan untuk ikut dalam usahanya. Orang tersebut diberi keterampilan dari awal bagaimana membuat tahu sampai mereka mengerti dan membuat sendiri. Awalnya mereka hanya mendapat bagian sebanyak tahu yang dapat mereka buat dan jual. Seperti yang dilakukan oleh Pak Maman ataupun Pak Atang. Pak Maman dan Pak Atang menyatakan bahwa awalnya karyawan tidak memiliki keterampilan membuat tahu. Namun Pak Maman dan Pak Atang membimbing mereka sampai mereka bisa. Para pengrajin tempe tidak serta merta mendapatkan keterampilan dalam membuat tempe. Mereka mendapatkan keahlian itu dari orang lain yang sudah terlebih dahulu menjalankan usaha tempe. Keahlian ini didapat sejak kecil karena

usaha turun temurun keluarga ataupun diajak oleh pengrajin lain yang sudah sukses dalam usaha ini. Menurut Pak Daryono usaha ini seperti usaha membatik di Yogyakarta. Keahlian yang di dapat merupakan keahlian yang biasa dimiliki oleh orang Pekalongan. Norma-norma atau nilai-nilai yang berkembang diantara mereka sama dengan norma atau nilai yang berkembang diantara para pengrajin tahu. Hal ini dikarenakan mereka hidup berdampingan. Mereka sudah menjadi satu kesatuan di daerah Kedaung. Sama halnya dengan pengrajin tahu, pengrajin tempe ini mengembangkan usahanya dengan menggunakan norma-norma atau nilai-nilai yang mereka miliki. Mereka juga selalu mengajak saudara sekampungnya untuk ikut membuka usaha yang dirasa cukup menjanjikan ini. Mereka diberi keterampilan dengan cara ikut serta atau membantu usaha pengrajin yang sudah memiliki usaha. Setelah itu mereka dapat membuka usaha sendiri tanpa harus membayar biaya selama ‘menuntut ilmu’. Seperti apa yang dikatakan oleh Mbak Iis: Dulu saya diajak oleh keponakan saya mbak. Pertama-tamanya cuma bantu-bantu ajah. Nggak digaji kayak waktu saya di pabrik sih mbak, jadi ya dapat bagiannya dari tempe yang saya buat dan yang laku dijual. Lama-lama punya uang sendiri, baru buka usaha sendiri.

Pernyataan ini juga didukung oleh Pak Cariban yang usahanya biasa dibantu oleh orang lain yang ingin belajar membuat tempe: Banyak yang datang kesini buat belajar membuat tempe, habis itu pada buka usaha sendiri.

Rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan kepercayaan diantara mereka tidak pernah pudar. Rasa tersebut semakin kuat seiring dengan semakin berkembangnya usaha tempe di Kedaung.

Tidak pernah ada persyaratan yang memberatkan ketika pengrajin tahu yang sudah berhasil mengajak saudara sekampungnya untuk bermigrasi dan belajar usaha tahu. Mereka hanya menyatakan satu syarat yaitu kemauan. Apabila kemauan itu tidak dimiliki maka proses pembelajaran keterampilan tahu tersebut tidak akan pernah terlaksana. Begitu juga ketika saudara sekampungnya itu memutuskan untuk memulai usaha. Mereka menggunakan pengetahuan yang telah mereka dapatkan. Mereka juga menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang sudah menjalin hubungan sebelumnya dengan pengrajin yang memberikan keterampilan. Biasanya mereka menjalin hubungan dengan distributor kedelai yang sudah menjadi langganan pengrajin sebelumnya. Para pengrajin pemula ini dapat menggunakan kepercayaan yang telah dibangun antara distributor kedelai dengan pengrajin sebelumnya sehingga pengrajin pemula ini dapat menikmati fasilitas yang tidak jauh berbeda. Salah satunya yaitu mereka dapat mengambil kedelai terlebih dahulu dan membayarnya ketika mereka melakukan pengambilan kedelai untuk produksi selanjutnya. Namun mereka tidak dapat mengambil dalam jumlah yang sangat besar. Pengrajin tempe yang baru akan memulai usaha juga menggunakan kepercayaan yang telah dibangun antara pengrajin tempe sebelumnya dengan distributor kedelai dan juga dengan pengrajin yang lainnya. Distributor kedelai tidak pernah khawatir akan pembayaran kedelai, karena pengrajin tempe sudah lama menjalin hubungan dengan distributor kedelai dan tidak pernah mengalami kemacetan.

Kepercayaan yang telah dibentuk oleh para pengrajin tempe yang lebih dulu membuka usaha juga digunakan para pengrajin tempe pemula untuk mendapatkan pengetahuan tambahan ataupun sekedar menjalin hubungan sosial sehingga mereka dengan lebih mudah dapat diterima dalam komunitas tersebut. Hubungan saudara ataupun sekampung digunakan oleh pengrajin tahu dalam mengembangkan usahanya. Pengrajin tahu yang pertama kali membuka usaha menjalin hubungan dengan distributor kedelai yang sudah cukup dikenal dan telah menjalin kerja sama dengan pengrajin tempe yang terlebih dahulu membuka usaha di Kedaung. Setelah usaha tersebut berkembang, pengrajin tersebut mulai mengajak saudara sekampungnya. Orang yang diajak biasanya orang memiliki hubungan yang cukup dekat. Begitu juga dengan orang yang ingin belajar tanpa diajak, biasanya orang yang sudah mengenal pengrajin tahu yang akan diikuti atau mengenalnya dari saudara sekampung yang lain. Setelah orangorang tersebut membuka usaha sendiri, mereka juga akan mengajak saudara sekampungnya, begitu seterusnya. Sehingga usaha tahu di Kedaung ini bertambah jumlahnya. Pengrajin tempe juga menggunakan jaringan yang telah dijalin oleh pengrajin sebelumnya sama seperti para pengrajin tahu, baik dengan distributor kedelai ataupun dengan pihak-pihak lain yang dapat mendukung usaha tempe ini. Jumlah pengrajin tempe lebih banyak dibandingkan dengan pengrajin tahu, hal ini dikarenakan usaha tempe dapat dilakukan secara perorangan sehingga banyak orang-orang Pekalongan yang diajak oleh pengrajin tempe yang telah berhasil di Kedaung dan juga orang-orang yang berinisiatif sendiri untuk belajar usaha tempe.

Pengrajin tahu tempe yang belum mempunyai keterampilan membuat tahu tempe diajak atau ikut usaha orang lain atau saudaranya yang sudah memiliki usaha tahu tempe. Setelah beberapa lama mereka mempelajari keterampilan tersebut, akhirnya mereka dapat membuat tahu tempe tanpa harus dibimbing lagi. Mereka ikut dalam usaha tersebut sampai mereka merasa mampu untuk membuka usaha sendiri. Ketika mereka membuka usaha sendiri secara otomatis mereka akan mendapatkan penghasilan sendiri. Proses pemberdayaan dalam komunitas pengrajin tahu tempe dapat digambarkan sebagai berikut:

Paguyuban

Pengrajin yang terlebih dahulu membuka usaha

Mengajak atau membuka peluang

Membina atau membimbing

Memberi kesempatan membuka usaha sendiri

Orang yang ingin belajar

Usaha sendiri

Penghasilan sendiri

Gambar 13. Bagan Proses Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe

Proses pemberdayaan yang terjadi di komunitas pengrajin tahu tempe dimulai dari pemberian pengetahuan oleh pihak yang telah memiliki usaha kepada pihak yang diajak atau pihak yang dengan sendirinya ingin mengetahui tentang usaha tahu tempe tersebut. Pengetahuan yang diberikan dapat berupa petunjuk tentang alat-alat yang dibutuhkan, penggunaannya, bahan yang dibutuhkan, dan cara membuat tahu tempe. Setelah itu pihak yang ‘ditumpangi’ tersebut memberikan kesempatan bagi pihak yang ‘menumpang’ untuk langsung ikut serta dalam proses pembuatan tahu tempe. Proses ini berlangsung sampai mereka

merasa mengerti dan mampu membuat tahu atau tempe yang baik. Pihak yang ‘ditumpangi’ tidak mengikat pihak yang ‘menumpang’. Dengan kata lain, tidak ada paksaan untuk terus membantu usaha tersebut. Mereka diberi kebebasan apabila mereka ingin membuka usaha sendiri. Paguyuban merupakan sebuah wadah yang mendukung terjadinya proses pemberdayaan tersebut. Paguyuban tersebut dibentuk oleh para pengrajin tahu dan tempe agar hubungan sosial mereka tetap terpelihara. Dengan tetap terpeliharanya hubungan sosial diantara para pengrajin maka pengembangan usaha dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pada umumnya proses pemberdayaan yang terjadi pada para pengrajin tempe sama dengan para pengrajin tahu. Namun ada satu hal yang membedakan antar keduanya. Pengrajin tempe dapat langsung membuka usahanya sendiri setelah ia merasa mampu, tanpa harus mempertimbangkan berapa banyak pekerja yang harus dimiliki untuk menjalankan usaha tersebut. Karena usaha tempe dapat dilakukan sendiri. Sedangkan usaha tahu harus dilakukan oleh lebih dari satu pekerja. Oleh karena itu usaha tahu biasanya dilakukan secara berkelompok. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Maman: Alhamdulillah usaha ini sudah bisa ngambil orang buat jadi karyawan dek, kalau tidak berarti saya harus gabung sama orang lain jadi usaha bareng-bareng bukan usaha sendiri lagi.

Modal sosial yang berkembang diantara mereka, seperti nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, toleransi, kepercayaan, dan juga jejaring yang tercipta ketika mereka berinteraksi menjadi dasar bagi mereka untuk melakukan proses pemberdayaan. Mereka menggunakan kepercayaan yang sudah terbentuk untuk mengajak saudara-saudaranya untuk lebih maju atau lebih baik

kehidupannya. Ketika mereka merasa kehidupan mereka berhasil, mereka tidak langsung tinggi hati dan melupakan saudara-saudaranya di kampung yang tidak memiliki penghasilan. Nilai-nilai kekeluargaan yang begitu kental diantara mereka membuat mereka peduli dengan apa yang dihadapi oleh saudaranya. Saudara mereka yang diajak merasa percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih baik apabila mereka mengikuti tuntunan dari para pengrajin yang sudah berhasil. Mereka tidak pernah merasa keberatan untuk memberikan pengetahuan mereka kepada saudara mereka yang diajak dan ingin belajar. Mereka juga tidak keberatan untuk berbagi tempet tinggal. Dan mereka tidak pernah mengharapkan imbalan atau bayaran dari apa yang telah mereka lakukan. Bimbingan atau tuntunan tersebut mereka lakukan untuk mengangkat kesejahteraan saudara-saudara sekampung mereka. Mereka merasa senang ketika orang yang sudah dibimbng tersebut berhasil dan mampu mengangkat kehidupan saudara yang lainnya. Proses ini akan semakin menguatkan nilai-nilai yang telah mereka bina, kepercayaan yang telah mereka bangun, dan juga ikatan yang sudah terjalin. Mereka akan merasa tambah percaya satu sama lain, jaringan mereka akan semakin luas, dan hubungan kekeluargaan antar mereka akan semakin erat. Paguyuban memiliki peranan yang cukup penting dalam proses ini. Paguyuban merupakan wadah yang dibentuk oleh para pengrajin untuk mengembangkan usaha mereka. Dengan kata lain paguyuban merupakan wadah bagi mereka untuk dapat mengakses kepentingan-kepentingan yang dapat digunakan untuk mengembangkan usaha mereka, seperti jaringan-jaringan yang telah dibangun oleh para pengrajin sebelumnya, kepercayaan yang sudah tertanam

antara pengrajin dengan distributor, dan norma-norma yang digunakan dalam kehidupan mereka sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik. Paguyuban secara tidak sengaja dibentuk oleh para pengrajin tahu tempe terdahulu. Mereka saling membantu, bekerja sama, dan kerap melakukan kegiatan secara bersama-sama. Nilai-nilai yang telah dibentuk itu menjadi nilai-nilai yang terus digunakan sampai sekarang. Kesejahteraan mempunyai arti yang lebih luas daripada sekedar meningkatkan pendapatan atau tidak hanya melihat sisi ekonomi. Akan tetapi kesejahteraan juga berkaitan dengan aspek psikologi. Oleh karena itu, belum ada ukuran yang pasti untuk kesejahteraan. Pengertian dan ukuran kesejahteraan yang berkembang diantara pengrajin tahu tempe sangat beragam. Mulai dari memiliki rumah sendiri, dapat membiayai anak sekolah, hidup nyaman, tenang, dan penghasilan yang lebih baik dari sebelumnnya. Mbak Iis menyatakan: Sejahtera itu kalau saya sudah punya rumah sendiri mbak, tapi saya sekarang masih ngontrak dan masih harus membiayai adikadik saya dikampung. Jadi saya merasa bahwa hidup saya belum sejahtera.

Pernyataan ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh Pak Atang: Waduh, kalau dibilang sejahtera yah pasti belum soalnya saya kan baru menjalankan usaha ini, jadi belum terlalu ngasih keuntungan yang gede kayak orang yang sudah lebih dulu buka usaha. Sejahtera kan bisa hidup enak, rumah bagus, punya penghasilan yang lebih.

Pernyataan diatas berbeda dengan Pak Maman, Pak Cariban, dan Pak Daryono yang merasa bahwa hidup mereka sudah sejahtera. Pak Cariban menyatakan:

Saya mah sudah sejahtera. Anak bisa sekolah semua. Bisa buka usaha sendiri. Pendapatan lebih daripada sebelum jadi tukang tempe.

Begitu juga dengan Pak Daryono yang dapat membiayai sekolah anakanaknya dan Pak Maman yang dapat menghidupi keluarganya di Tasikmalaya. Secara nyata, kesejahteraan mereka itu tidak dapat dilihat secara langsung. Karena lingkungan tempat tinggal mereka jauh dari ukuran sejahtera yang telah dinyatakan oleh banyak ahli, yang dilihat dari jenis rumah, luas tanah, dan lain sebagainya. Namun mereka bermukim di tempat seperti ini karena mereka tidak ingin menunjukkan kepada orang-orang kota bahwa mereka berhasil. Padahal, mereka memiliki rumah yang bagus, hidup berkecukupan, dan lingkungan yang lebih nyaman di kampung mereka. Posisi

kesejahteraan

mereka

dapat

digambarkan

dalam

tangga

kesejahteraan yang mereka tentukan sendiri. Nilai 1 menunjukkan bahwa mereka sangat tidak sejahtera, 2 tidak sejahtera, 3 cukup sejahtera, 4 sejahtera, dan 5 sangat sejahtera.

Skor Kesejahteraan

5 4 3 2 1

Waktu Sebelum Usaha (1975)

Mulai Usaha (1980)

Setelah usaha (2009)

Gambar 14. Grafik Kesejahteraan Pak Cariban

Pak Cariban memulai usahanya pada tahu 1980. Sebelumnya beliau masih tinggal di Pekalongan. Beliau memulai usaha semenjak kecil. Beliau membantu usaha orang tuanya di Pekalongan. Keadaan kehidupan beliau pada saat itu tidak sejahtera karena beliau belum dapat mendapatkan penghasilan sendiri. Namun pada tahun 1980 Pak Cariban bermigrasi ke Jakarta dan memulai usahanya di Kedaung. Beliau memulai usaha tempe ini dari awal. Beliau mengambil kacang kedelai di distributor kedelai dan beliau membuat alat-alat produksinya sendiri. Kondisi kehidupan Pak Cariban masih tidak sejahtera. Karena beliau masih harus bekerja keras untuk mendapatan hasil. Pada saat itu beliau masih mengontrak. Beliau tidak dapat menumpang dengan siapapun karena beliau merupakan pengrajin tempe pertama di Kedaung. Beliau hidup dengan fasilitas yang sangat minim. Namun lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Beliau dapat

membeli rumah sendiri. Menyekolahkan anak-anaknya yang berjumlah sepuluh orang. Beliau juga dapat membiayai hidup keluarganya di kampung. Hal semacam ini dikenal dengan sebutan remitan. Menurut Connel (1976) yang dikutip oleh Antari (2009), remitan merupakan uang atau barang yang dikirim oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan. Pak Cariban juga merasa hidupnya lebih aman, tenteram, puas, dan merasa sehat.

Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1

Waktu Sebelum Usaha (2000)

Mulai Usaha (2005)

Setelah usaha (2009)

Gambar 15. Grafik Kesejahteraan Mbak Iis

Apabila dibandingkan dengan Pak Cariban, Mba Iis memang baru memulai usahanya. Sebelum menjadi pengrajin tempe, Mbak Iis bekerja sebagai buruh pabrik di Pekalongan. Namun pekerjaan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan. Mbak Iis tidak dapat membantu orang tuanya untuk membiayai adik-adiknya. Setelah menikah, Mbak Iis mengikuti suaminya untuk tinggal di

Kedaung dan belajar usaha tempe dengan keponakannya. Setelah ia dan suaminya merasa mampu untuk membuka usaha sendiri, akhirnya pada tahun 2005 Mbak Iis memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Keadaan kehidupan Mbak Iis belum sejahtera, karena bagi Mbak Iis sejahtera itu apabila ketika ia sudah bisa mempunyai tempat tinggal sendiri. Sementara sekarang ini, ia masih menyewa rumah orang lain untuk tinggal. Namun, keadaan kehidupan Mbak Iis meningkat dari semenjak ia baru memulai usahanya, karena pada saat ia memulai usahanya ia benar-benar tidak mempunyai modal apa-apa dan masih menumpang dengan keponakannya. Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1

Waktu Sebelum Usaha (1995)

Mulai Usaha (2000)

Setelah usaha (2009)

Gambar 16. Grafik Kesejahteraan Pak Daryono

Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1

Waktu Sebelum Usaha (1995)

Mulai Usaha (2000)

Setelah usaha (2009)

Gambar 17. Grafik Kesejahteraan Pak Maman

Pak Daryono dan Pak Maman sama-sama memulai usaha pada tahun 2000. Namun Pak Maman tidak pernah mengalami penurunan kesejahteraan, sedangkan Pak Daryono pernah pada saat ia mulai membuka usahanya. Pak Daryono menggunaan modal yang sudah dikumpulkan untuk membeli alat-alat produksi dan juga membeli tempat tinggal yang mempunyai ruangan yang dapat digunakan untuk produksi tempe. Namun setelah itu kesejahteraan Pak Daryono terus meningkat, hal ini dikarenakan Pak Daryono juga mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebagai perantara di salah satu dealer motor. Pak Daryono merupakan pekerja keras. Beliau ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk anak dan istrinya.

Berbeda dengan Pak Daryono, Pak Maman memulai usaha dengan modal yang sudah belau persiapkan semenjak beliau ikut usaha adiknya. Kehidupannya dulu belum sejahtera, namun sekarang beliau sudah dapat membiayai kehidupan keluarganya yang berada di Pekalongan dan juga membeli rumah di Pekalongan. Beliau menyatakan bahwa kehidupannya cukup sejahtera sekarang ini. Hidupnya lebih terasa tenteram dan cukup puas karena kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1

Waktu Sebelum Usaha (2000)

Mulai Usaha (2005)

Setelah usaha (2009)

Gambar 18. Grafik Kesejahteraan Pak Atang

Pak Atang memulai usaha sama dengan Mbak Iis yaitu tahun 2000. Pak Atang masih merasa bahwa kehidupannya tidak sejahtera. Namun ada peningkatan sedikit apabila dibandingkan dengan sebelum beliau memulai usaha tahu. Pak Atang menyatakan bahwa karena usahanya belum begitu lama sehingga belum terlalu banyak keuntungan yang dapat diambil. Beliau juga masih harus

membagi penghasilannya dengan saudaranya yang lain yang mengelola usaha tersebut. Dari tangga kesejahteraan yang digambarkan dapat diketahui bahwa hanya Pak Cariban yang berani menyatakan bahwa dirinya sudah berada dalam tingkatan yang sejahtera. Hal ini dikarenakan Pak Cariban telah menjalani usahanya selama 29 tahun. Sementara, Pak Man dan Pak Daryono menempatkan dirinya di tingkat cukup sejahtera. Sedangkan Mbak Iis masih menempatkan posisinya di tingkat tidak sejahtera dan Pak Atang di tingkat sedikit diatas tidak sejahtera. Akan tetapi dapat dilihat bahwa dari semua tangga kesejahteraan diatas terjadi peningkatan antara sebelum memulai usaha dengan setelah menjalankan usaha. Hal ini memperkuat pernyataan semua responden yang menyatakan bahwa usaha tahu tempe ini cukup menjanjikan. Dengan kata lain proses pemberdayaan yang berlangsung diantara pengrajin tahu tempe ternyata memberikan hasil dari segi ekonomi. Keterampilan yang semakin meluas membuat orang yang awalnya tidak memiliki keterampilan dan usaha yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menjadikan mereka lebih berdaya dalam hal pemenuhan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dari grafik yang telah digambarkan, dapat diketahui bahwa para pengrajin tahu tempe mempunyai ukuran yang berbeda berkaitan dengan tngkat kesejahteraan masing-masing. Namun, apabila dilihat dengan menggunakan teori kebutuhan Maslow, mereka menyatakan tingkatan yang sama. Kelima responden menyatakan bahwa mereka berada di tingkat ketiga, yaitu kebutuhan sosial. Mereka merasa bahwa mereka membutuhkan penerimaan dari para pengrajin lain

yang terlebih dahulu bermukim dan menjalankanusaha di Kedaung. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak Cariban: Alhamdulillah, saya disini cukup dikenal dan dihargai oleh yang lain. Tapi biar gimanapun perasaan takut ga diterima sama masyarakat masih ada. Palagi klo dalam bersikap. Takut salah.

Begitu juga Pak Atang: Saya kan masih baru ya perasaan takut ga diterima yah masih ada. Makanya sekarang saya berusaha menjalin silaturahmi sama pengrajin yang lain.

Tingkat Kebutuhan 5. Self actualization 4. Esteem or status 3. Affiliation or acceptence 2. Safety and security 1. Psychological

Pemuas Kebutuhan Gambar 19. Hierarki Kebutuhan Bapak Cariban, Pak Maman, dan Pak Daryono

Tingkat Kebutuhan 5. Self actualization 4. Esteem or status 3. Affiliation or acceptence 2. Safety and security 1. Psychological

Pemuas Kebutuhan Gambar 20. Hierarki Kebutuhan Bapak Atang dan Mbak Iis

Gambar diatas menunjukkan bahwa pengrajin tahu tempe yang lama dan baru berada dalam tingkatan yanng sama pada hirarki kebutuhan Maslow. Namun Pak Cariban lebih mendekati tingkatan ke empat yaitu kebutuhan akan penghargaan. Karena beliau sudah cukup lama bermukim di Kedaung sehingga para pengrajin tahu tempe yang lain sudah cukup mengenal dan menerima keberadaan beliau. Begitu juga dengan Pak Man dan Pak Daryono. Sedangkan Pak Atang dan Mbak Iis, masih berada di awal tingkat ke tiga yaitu kebutuhan sosial. Hal ini dikarenakan Pak Atang dan Mbak Iis belum lama berada di Kedaung sehingga masih membutuhkan banyak waktu untuk dapat diterima oleh pengrajin yang lain.