BAGIAN PENDAHULUAN

Download masyarakat Batak Toba memegang peranan yang sangat penting, ... 2 Rainy Hutabarat, Perempuan Dalam Budaya Batak dalam Jurnal Teologi, GEMA,...

0 downloads 427 Views 25KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. PERMASALAHAN A.1 LATAR BELAKANG MASALAH Orang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum. Status marga dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memegang peranan yang sangat penting, alasannya yaitu: 1. Sebagai identitas, menunjukkan baik satuan-satuan yang lebih kecil (‘kelompok kecil’) maupun yang lebih besar (‘marga induk’), dan juga kelompok-kelompok yang paling besar (‘cabang marga’). 2. Sebagai status, dalam hal ini berkaitan dengan sistem Dalihan Na Tolu (akan dijelaskan pada bab berikutnya). 3. Sebagai penerus marga, dalam hal ini lebih diutamakan adalah anak laki-laki, karena dalam adat Batak Toba masih menganut sistem patriarkhal. Secara umum masyarakat Batak Toba bersifat patriarkhal. Itu berarti marga yang menjadi identitas dari orang Batak Toba diturunkan dari pihak laki-laki/Ayah. Sebuah marga tidak akan terputus apabila sebuah keluarga mendapatkan anak laki-laki, karena anak laki-laki itulah yang akan meneruskan kembali marga tersebut kepada keturunannya, sehingga marga itu tetap bertahan. Sadar atau tidak, budaya patriarkhal tersebut telah mejadi bagian dalam diri seseorang dan ikut mempengaruhi pola pikir dan sikap seseorang.

Pada sebagian orang, nilai-nilai dan sistem tradisional yang merupakan warisan leluhur mengendalikan sikap mereka. Dan seringkali budaya yang telah tertanam dalam diri seseorang akan sangat sulit untuk dilepaskan bahkan terus dilakukan dalam kehidupan manusia sehari-hari karena dianggap sebagai sesuatu yang baik. Tradisionalisme adalah suatu sikap dan pandangan yang memuja-muja, menjunjung tinggi lembaga-lembaga dan kepercayaan dan masa lampau. Kepercayaan dan kebiasaan lama dianggap benar, kekal dan tidak berubah, penduduk melakukan segala sesuatu sama seperti yang dilakukan sebelumnya.1 Tata kehidupan orang Batak Toba juga di atur di dalam sistem adat istiadat yang telah dimiliki sejak ratusan tahun dari nenek moyang.

1

Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

1

Aturan-aturan yang menjadi adat tersebut bermuatan sangsi bila dilanggar. Dalam keyakinan kosmologis orang Batak Toba, adat istiadat bersumber dari yang illahi (merupakan manifestasi tatanan illahi dalam kehidupan di dunia dan bersifat abadi). Adat dan hukum tidak mungkin diubah.2 Melawan atau melanggar adat akan mengakibatkan kekacauan dan kehancuran.3 Adat yang diturunkan, berasal dari nenek moyang, dimana dalam kehidupan orang Batak Toba nenek moyang dianggap sebagai Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan yang memulai segala sesuatu), karena di anggap terlebih dahulu memiliki dan menguasai bumi selayaknya Debata Mulajadi Na Bolon. Sehingga masyarakat Batak Toba sangat menghormati Adat yang dipercaya langsung diturunkan dari Debata Mulajadi Na Bolon (nenek moyang mereka). Menghormati nenek moyang mengandung makna menyembah Debata Mulajadi Na Bolon. Petuah-petuah nenek moyang terus dijalankan secara berkesinambungan generasi demi generasi. Pelanggaran terhadap adat, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang. Dengan perkataan lain, kesetiaan dan kecintaan kepada roh-roh nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius. Itu pula sebabnya, masa kini dan masa depan harus senantiasa mendapat acuan dari masa lampau yaitu kehidupan nenek moyang.4

Dalam kebudayaan Batak Toba ada istilah yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga). Dalihan Na Tolu dinilai sebagai suatu sistem dimana ada persyaratan fungsional yang harus dipenuhi dengan tujuan melakukan adaptasi, memelihara pola kehidupan masyarakat dan mempertahankan kesatuan orang Batak Toba, disamping itu dengan adanya Dalihan Na Tolu ini diharapkan adanya keseimbangan. Hal ini terwujud dalam umpama: “Somba Marhula-hula” (hormat pada hula-hula), “Manat mardongan sabutuha” (berlaku hati-hati kepada saudara semarga), “Elek Marboru” (berlaku sayang kepada boru).5 Hal ini yang selanjutnya dimanifestasikan di dalam pola prilaku untuk mewujudkan Hamoraon (upaya mencari kekayaan), Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan).

Ada kecenderungan pada orang Batak Toba, sekalipun telah lebih kosmopolitan lebih dari satu setengah abad dan banyak berpindah ke kota meninggalkan kampung halamannya, sikap-sikap dasar maupun ideologi terhadap adat ternyata tidak berubah. Di kota tempat orang Batak Toba 2

Rainy Hutabarat, Perempuan Dalam Budaya Batak dalam Jurnal Teologi, GEMA, Feminimisme, Duta wacana, Ed.55, 1999, hal 78 3 Dr.A.B.Sinaga, The Batak Toba High God, Trancendence and Immanence, Anthropos Institute:81, hal 89-90 4 Basyral Hamidy Harahap & Hotman M.Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak, Suatu Pendekatan Terhadap prilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing, Jakarta, Sanggar Willem Iskander, 1987, hal 153 5 Scn 4. hal 46

2

merantau, mereka membentuk sebuah asosiasi klan yaitu semacam perkumpulan orang-orang yang bermarga sama, dalam tradisi suku Batak, memang tidak identik dengan marga dalam pengertiannya yang asli. Tujuannya untuk mempertahankan dan melestarikan adat yang sudah mereka miliki.

Tentunya dalam kehidupan perantauan kita tidak hanya bertemu dengan masyarakat yang berasal dari suku yang sama, tetapi kita bertemu dengan masyarakat lain dari suku dan ras yang berbeda. Jika dikaitkan dengan perkawinan maka ada hal-hal yang harus diperhatikan. Dalam kehidupan orang Batak Toba, kecenderungan untuk memilih pasangan suami atau pasangan istri yang berasal dari kalangan atau suku yang sama, adalah harapan setiap orang Batak Toba yang mau menikah. Dikarenakan bahwa pernikahan dalam adat Batak Toba bukan hanya menyatukan dua pribadi dalam satu ikatan tetapi juga menyatukan dua keluarga sekaligus. Sebagai contoh: apabila seorang pria Batak Toba yang bermarga Marpaung menikah dengan seorang wanita yang bermarga Silaban, maka bukan hanya pria Marpaung dan wanita Silaban saja yang memiliki ikatan tetapi seluruh keluarga besar, baik pihak keluarga Marpaung maupun pihak keluarga Silaban. Tujuannya adalah supaya masing-masing pihak mendapatkan posisi dalam sistem adat Dalihan Na Tolu (baik itu somba marhula-hula, manat mardongan tubu maupun elek marboru) sehingga Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon dalam kehidupan mereka dapat terwujud. Inilah yang menjadi harapan setiap orang Batak Toba, meskipun ada alasan-alasan lain yang terlontar tapi hal yang paling utama adalah seperti yang sudah disebutkan di atas. Akan tetapi timbul permasalahan dimana ketika seorang Batak Toba, mendapatkan pasangan yang berasal dari luar suku Batak Toba. Yang akan terjadi selanjutnya adalah ketika seorang Batak Toba hendak menikah dengan pasangannya yang berasal dari luar Batak Toba6, terlebih dahulu pasangannya yang non Batak Toba diberikan marga melalui adat, supaya apa yang diharapkan dapat terwujud. Disamping itu pasangan yang non Batak tersebut akan mendapatkan pengakuan di dalam keluarga dan adat dan posisi dalam Dalihan Na Tolu. Jika tidak diberikan marga kepada pasangan yang non Batak tersebut, maka ia tidak akan diakui di dalam adat (meskipun di dalam keluarga di terima) dan juga tidak mendapatkan posisi. Pemberian marga dalam adat Batak Toba tentu saja tidak hanya pada saat pernikahan, melainkan ketika seseorang memiliki hubungan baik dengan teman atau sahabat, maka orang tersebut dapat ‘dinaturalisasikan’ menjadi seseorang yang bermarga. Proses pemberian marga itu sendiri melewati upacara adat khusus dan hukumnya (orang yang diberikan marga) adalah sama kuat keanggotaannya berdasar “pertalian darah”. 6

hal ini berlaku tidak hanya untuk pria batak toba yang hendak menikahi wanita non batak toba, tetapi juga wanita batak toba yang hendak menikah dengan pria non batak toba.

3

Akan tetapi dalam kenyataannya peristiwa tersebut diatas menimbulkan dampak yang cukup berpengaruh dalam kehidupan berelasi antara masyarakat Batak Toba dan orang non Batak Toba. Melalui topik pembahasan dalam skripsi ini, akan coba ditemukan permasalahan sesungguhnya, hubungan antara memberikan marga dalam adat Batak Toba dengan relasi antara masyarakat Batak Toba dan masyarakat non Batak Toba.

A.2 RUMUSAN MASALAH Setelah penyusun memaparkan latar belakang permasalahan dan mengungkapkan permasalahan yang terjadi maka penyusun memberikan rumusan permasalahannya, yaitu: 1. Bagaimana adat pemberian marga dipahami oleh masyarakat Batak Toba dan masyarakat di luar Batak Toba? 2. Bagaimana tanggapan mereka (baik masyarakat Batak toba maupun masyarakat non Batak Toba) terhadap pemberian marga dalam adat Batak Toba? 3. Bagaimana tinjauan teologis mengenai pemberian marga dalam adat Batak Toba?

B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam penulisan yang berkaitan dengan pemberian marga dalam adat Batak Toba ini terdapat alasan-alasan yang mau dikemukakan, yaitu: 1. Penyusun melihat bahwa marga dalam kehidupan masyarakat Batak Toba masih memberi pengaruh yang besar terhadap relasi mereka dengan sesama masyarakat Batak Toba atau dengan masyarakat di luar suku Batak Toba. 2. Penyusun merasa tertarik karena bagaimanapun penulis adalah bagian dari suku Batak Toba yang mau melihat bagaimana reaksi orang-orang yang diberi marga (masyarakat luar Batak Toba) oleh orang-orang Batak Toba (dalam hal ini yang memberi marga). Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas maka penyusun mengambil judul :

“PENGARUH PEMBERIAN MARGA DALAM ADAT BATAK TOBA TERHADAP ORANG-ORANG NON BATAK TOBA”

C. METODE PENULISAN Pada penulisan skripsi ini, penyusun akan mengemukakan pemaparan tentang suatu permasalahan yang ada, kemudian menganalisanya dengan melihat kesesuaian konteks yang berkembang sekarang ini.

4

Di samping itu penyusun akan mengumpulkan bahan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Di dalam studi pustaka, penyusun akan mengumpulkan bahan dari teori-teori dan materi yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan dalam studi lapangan, penyusun akan menggunakan metode etnografi yang biasa disebut penelitian kebudayaan. Dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden yang sudah dipilih.7 Responden yang dipilih berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Spadley8, yaitu enkulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, cukup waktu dan non analitik. Adapun responden yang dipilih berjumlah 20 orang dari kelompok suku marga sonakmalela.9

D. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Untuk mengembangkan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penyusun akan memberikan sistematika pembahasan, adapun sistematika yang penyusun maksudkan adalah sebagai berikut :

BAB I

: PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis memaparkan tentang apa saja yang akan penyusun angkat dalam menyusun skripsi, di awali dengan dengan permasalahan di lihat dari latar belakangnya dan rumusan masalahnya, setelah itu alasan mengangkat judul tersebut, dan metode yang digunakan oleh penyusun serta sistematika penulisan.

BAB II

: PEMBERIAN MARGA DALAM ADAT BATAK TOBA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai : adat istiadat masyarakat Batak Toba yang meliputi latar belakang budaya, identitas masyarakat Batak Toba (termasuk di dalamnya adat dan marga), pergeseran makna Dalihan Na Tolu serta pemberian marga dalam adat Batak Toba.

7

Andreas B. Subagyo, Ph.D, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif-Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung, Yayasan Kalam Hidup, 2004 8 Enkulturasi penuh merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu, dimana informan mengetahui budaya mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya, keterlibatan langsung melibatkan informan yang berada dalam lingkungannya yang sekarang sudah cukup lama dan terlibat aktif, suasana budaya yang tidak dikenal menyangkut bagaimana informan mengetahui bahwa pewawancara tidak mengetahui tentang budaya yang sedang diteliti sehingga lebih leluasa bagi informan untuk memberi informasi, cukup waktu adalah seorang informan memberikan waktu luangnya agar pewawancara dapat leluasa untuk mencari informasi, non analitik menuntut informan memberikan informasi dengan tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang luar. James P. Spadley, Metode Etnografi, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997, hal 61-70 9 Sonakmalela adalah salah satu dari sekian banyak kelompok suku marga yang terbentuk. Di dalam Sonakmalela terdapat 4 (empat) marga induk, yaitu : Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede.

5

BAB III

: ANALISA HASIL PENELITIAN

Setelah melihat latar belakang budaya, kelompok suku atau marga serta pemberian marga dalam adat Batak Toba, penyusun akan memaparkan analisa dari hasil penelitian tentang pandangan orang-orang Batak Toba dan non Batak Toba tentang pemberian marga.

BAB IV

: TINJAUAN TEOLOGIS

Pada bab ini penyusun akan memberikan tinjauan teologis terhadap pemberian marga dalam adat Batak Toba tersebut.

BAB V

: PENUTUP

Berdasarkan hasil penulisan pada bab-bab sebelumnya, penyusun akan memberikan kesimpulan dari hasil yang di dapat serta memberikan saran-saran yang di anggap perlu.

6