BEBERAPA BAKTERI PATOGEN YANG MUNGKIN DAPAT DITEMUKAN PADA

Download bakteri Coliform (termasuk di dalamnya Enterobacter sakazakii), Enterococci dan Staphylococcus aureus masih diperbolehkan ada dalam jumlah ...

0 downloads 322 Views 114KB Size
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

BEBERAPA BAKTERI PATOGEN YANG MUNGKIN DAPAT DITEMUKAN PADA SUSU SAPI DAN PENCEGAHANNYA (The Pathogenic Bacteria which Probable to be Found in Cow Milk and its Prevention) SITI CHOTIAH Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor ABSTRACT One of the government programs at agriculture sector for increasing animal protein production was increasing milk production. From year to year, Indonesian milk production could not meet the consumers demand. The components of milk besides containing materials needed for human health and intelligence is very good also as bacterial growth medium. Pathogenic bacterial could be spread through milk consumption which will be dangerous to human health. The Indonesian National Standard number 01-6366-2000 regulated the maximum level of microorganisms contamination in milk, which is guarantee the milk quality, health protection and safety. Several bacterial that should not be found in milk, pasteurized milk, and skim milk are pathogenic Escherichia coli Clostridium sp, Salmonella sp, Campylobacter sp and Listeria sp. Whereas Coliform (including Enterobacter sakazakii), Enterococci and Staphylococcus aureus are still to be permitted on certain count. Therefore, milk production processes have to apply food safety system starting from the farm to the table. Keywords: Bacteria pathogen, milk cow, microbial contamination, food safety ABSTRAK Salah satu program pemerintah di sektor pertanian dalam meningkatkan produksi protein hewan adalah meningkatkan produksi susu. Produksi susu Indonesia dari tahun ke tahun selalu tidak bisa diimbangi oleh permintaan konsumen. Susu sapi. disamping mengandung unsur yang diperlukan untuk kesehatan dan kecerdasan manusia juga merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang membahayakan kesehatan konsumen. Untuk jaminan mutu susu dan memberikan perlindungan kesehatan dan keamanan kepada konsumen telah ditetapkan Standar Nasional Indonesia nomor 01-6366-2000 yang mengatur batas maksimum cemaran mikroba dalam susu. Beberapa bakteri yang tidak boleh ada di dalam susu sapi segar, susu pasteurisasi dan susu bubuk antara lain Escherichia coli patogenik, Clostridium sp, Salmonella sp, Campyilobacter sp dan Listeria sp. Sedangkan bakteri Coliform (termasuk di dalamnya Enterobacter sakazakii), Enterococci dan Staphylococcus aureus masih diperbolehkan ada dalam jumlah tertentu. Oleh karena itu proses produksi susu harus menerapkan sistem keamanan pangan mulai dari tingkat produsen sampai ke konsumen. Kata kunci: Bakteri patogen, susu sapi, cemaran mikroba, keamanan pangan

PENDAHULUAN Rataan konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah 1,8 gram/kapita/hari, angka tersebut jauh lebih rendah dari angka konsusmsi standar Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yaitu sebanyak 7,2 kg/kapita/ tahun (DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN, 2006). Secara nasional permintaan konsumen susu dari tahun ke tahun selalu tidak dapat diimbangi oleh produksi susu. Data

menyebutkan bahwa konsumsi susu nasional sebesar 4 sampai dengan 4,5 juta liter/hari tidak bisa diimbangi dengan produksi dalam negeri yang hanya mampu memenuhi sekitar 1,2 juta liter/hari (30%) sedangkan sisanya masih harus diimpor dari luar negeri (DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN, 2006). Kenyataan ini berdampak positif bagi masyarakat yang berminat untuk berbisnis peternakan sapi perah dan membuka peluang baru untuk menambah kesempatan kerja.

259

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Menuju persaingan pasar bebas pada era globalisasi 2020, produk hasil peternakan terutama susu harus mampu bersaing bukan saja didalam negeri (dengan produk impor) akan tetapi mampu merebut pasar internasional. Untuk menghadapi tantangan itu maka Indonesia harus mampu menghasilkan produk susu yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Masyarakat konsumen dewasa ini semakin menuntut persyaratan mutu yang terjamin baik, bahkan di luar negeri di negaranegara maju telah menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga produk ditangan konsumen (from farm to table). Penerintah Indonesia telah mengeluarkan undang-undang nomor 7 tahun 1999 tentang keamanan pangan yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologik (mikrobiologik), kimia, kimia toksik, dan bendabenda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan (food safety) merupakan kondisi yang sangat kompleks dan berkaitan erat dengan aspek mikrobiologi patogenik, toksisitas mikrobiologik, kimia toksin, status gizi dan keamanan batin atau kehalalan (BAHRI dan MURDIATI, 1977).

Tulisan ini menyajikan ulasan tentang beberapa bakteri patogen yang kemungkinan ada dalam susu sapi. Informasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya menghasilkan produk susu yang bermutu, aman bergizi, sehat dan halal. KOMPOSISI DAN MACAM SUSU Susu adalah sekresi kelenjar ambing yang diperoleh dari proses pemerahan ternak sapi, kerbau, kuda, kambing, dan hewan lainnya yang mengandung komponen-komponen gizi penting terdiri atas lemak, protein, laktosa, mineral, vitamin dan enzim-enzim, serta beberapa mikroorganisme (LAMPERT, 1980). Komposisi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur. Sebagai contoh terdapat variasi komposisi susu diantara 5 spesies hewan dan manusia terutama dalam kandungan lemaknya (Tabel 1). Komponen biokimia yang ada dalam susu merupakan zat-zat yang diperlukan oleh bakteri sehingga dapat menjadi medium yang baik bagi bakteri untuk tumbuh dan berkembang-biak.

Tabel 1. Perbedaan komposisi kandungan susu pada spesies yang berbeda Spesies Sapi (Bos taurus) Kambing (Capra hircus) Domba (Ovis aries) Kerbau (Bubalus bubalis) Unta (Camelus dromedarius) Manusia (Homo sapiens)

Lemak 3,9 4,5 7,2 7,4 4,0 4,5

Casein 2,6 2,6 3,9 3,2 2,7 0,4

Komposisi Protein kering Laktosa 0,6 4,6 0,6 4,3 0,7 4,8 0,6 4,8 0,9 5,0 0,9 7,1

Kadar abu 0,7 0,8 0,9 0,8 0,8 0,2

Total 12,7 13,3 18,0 17,2 13,5 12,9

Sumber: JUFF dan DEETH (2007)

Mengacu pada Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 (BADAN STANDARDISASI NASIONAL, 2000) ada empat macam susu yaitu susu segar, susu pasteurisasi, susu bubuk dan susu steril/UHT. Susu segar adalah cairan yang diperoleh dari ambing ternak perah sehat, dengan cara pemerahan yang benar, terus menerus dan tidak dikurangi sesuatu dan/atau ditambah kedalamnya sesuatu bahan lain. Setelah mendapat perlakuan

260

terhadap susu segar diperoleh beberapa macam susu, antara lain lain: • Susu pasteurisasi adalah susu yang sudah dipanaskan pada suhu 630C selama 15 menit atau dipanaskan pada suhu 720C selama 15 detik yang biasa sisebut dengan HTST (high tempetature short time) pasteurisasi. Proses pasteurisasi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme baik pembusuk maupun patogen. Susu pasteurisasi memiliki umur

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

simpan hanya sekitar 14 hari pada suhu rendah (50C sampai 60C). • Susu bubuk adalah susu sapi yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk dengan perlakuan pengeringan. Pada ummumnya pengeringan dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller drayer. Berdasarkan. SNI 01-2970-1992 (BADAN STANDARDISASI NASIONAL, 1992) ada 2 macam susu bubuk yaitu susu bubuk berlemak (full cream milk prowder) dan susu bubuk tanpa lemak (skim milk prowder). Umur simpan susu bubuk dalam penanganan yang baik dan benar maksimal dua tahun. • Susu UHT (ultra high temperature) merupakan susu yang diolah menggunakan pemanasan pada suhu 1350C dan dalam waktu yang singkat selama 2-5 detik (SNI 01-3950-1998) (BADAN STANDARDISASI NASIONAL, 1998). Pemanasan pada suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme baik pembusuk maupun patogen dan spora. Waktu pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segarnya. Susu UHT dapat disimpan pada suhu kamar selama tidak lebih dari 8 minggu. • Susu kental manis adalah cairan kental yang terdiri dari sebagian penambahan air dan susu encer yang diuapkan, gula, dengan atau tanpa penambahan lemak nabati dan atau penambahan vitamin D (SNI 01-2971-1992) (BADAN STANDARDISASI NASIONAL, 1992). Faktor utama yang menentukan mutu susu yang telah mendapat perlakuan tertentu adalah bahan baku, proses pengolahan dan pengemasannya. Bahan baku adalah susu segar yang memiliki mutu tinggi terutama dalam komposisi gizinya. Pada umumnya susu yang dikonsumsi masyarakat adalah susu olahan baik dalam bentuk cair (susu pasteurisasi, susu UHT ) maupun susu bubuk. dan sangat kecil peluang kita untuk mengkonsumsi susu segar.

BAKTERI PATOGEN YANG DAPAT MENCEMARI SUSU Susu dapat tercemar oleh bakteri patogen atau nonpatogen yang berasal dari sapi itu sendiri, peralatan pemerahan, ruang penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penaganan oleh manusia (VOLK dan WHEELER, 1990). Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan. Pada tinjauan ini dibahas beberapa bakteri patogen yang berpeluang ada dalam susu antara lain: Bacillus spp Bacillus cereus merupakan salah satu spesies penyebab terjadinya foodborne disease (penyakit bawaan pangan). B. cereus dan B. licheniformis merupakan spesies dari genus Bacillus yang sering dijumpai pada susu segar (CRIELLY et al., 1994; PHILLIPS dan GRIFFITHS, 1986). B. cereus menghasilkan toksin ektraseluler dan metabolit yang membahayakan kesehatan masyarakat. Dua tipe toksin yang dihasilkan dan memiliki sifat yang berbeda yaitu diarrhoeagenic toxin dan emetic toxin. Diarrhoeagenic toxin sebagai penyebab keracunan makanan dapat diproduksi selama fase pertumbuhan di dalam unus kecil, sebaliknya emetic toxin diproduksi pada makanan sebelum di konsumsi (GRANUM dan LUND, 1997). Kemungkinan kontaminasi B. cereus setelah proses pasteurisasi pada susu pasteurisasi merupakan sesuatu hal yang perlu diperhatikan. Spora B. cereus tahan terhadap pasteurisasi (Tabel 2) dan tidak tahan dengan proses UHT. Spora terdiri dari dua tipe yaitu spora berkecambah cepat dan spora berkecambah lambat. Spora dapat berkecambah, memperbanyak diri dan bersporulasi kembali selama proses berjalan jika pembersihan tidak efektif (VAN HEDDEGHEM dan VLAEYNCK, 1992). Spora dapat melekat pada permukaan peralatan proses setelah tahapan pasteurisasi terutama permukaan yang lebih hydrophobic seperti gasket dan seal (JENSEN dan MOIR, 2003).

261

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Spora yang menempel pada permukaan stainless lebih tahan panas dari pada dalam bentuk planktonik (SIMMONDS et al., 2003). Sel vegetatif B. cereus sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan pemanasan sedang (BERGERE dan CERF, 1992) dan tidak tahan hidup dengan perlakuan bath pasteurisasi maupun HTST pasteurisasi (Tabel 2). Sel vegetatif yang dihasilkan dari spora yang berkecambah setelah perlakuan pasteurisasi berpengaruh terhadap organoleptik dan fisik produk olahan susu yang akan merugikan dan juga akan menghasilkan toksin (BERGERE dan CERF, 1992).

menyebutkan bahwa bakteri tersebut umumnya sebagai penyebab gastroenteritis akut pada manusia. Di Amerika telah dilaporkan 99% dari penyakit yang disebabkan oleh Campylobacter spp. pada manusia adalah Campylobacter jejuni (Campylobacter fetus subsp. jejuni) dan 1% sisanya Campylobacter coli (WALLACE, 2003). Di banyak negara sebagian besar kejadian infeksi yang disebabkan oleh cemaran campylobacter pada susu disebabkan oleh karena susu tidak dipasteurisasi (HAHN, 1994). Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli tidak dapat mempertahankan hidup dengan perlakuan pasteurisasi (Tabel 2).

Brucella spp Enterobacter sakazakii Beberapa spesies dari genus Brucella yang bersifat patogen pada manusia adalah B. melitensis, B. abortus, B. suis dan B canis (ENRIGHT, 1990) dan memiliki hewan target sebagai reservoir masing-masing berurutan pada kambing, sapi, babi dan anjing (ALTON, et al., 1988). Brucella menyebabkan penyakit brucellosis yang dapat terjadi baik pada hewan maupun manusia. Penyakit yang terjadi bersifat zoonosis, ditularkan dari hewan ke manusia melalui kontak langsung dengan bahan keguguran, karkas yang tercemar, minum susu sapi atau susu hewan lain penderita brucellosis atau makan produk ternak yang tercemar (FENSTERBANK, 1987). B. abortus biotipe 1 telah menginfeksi sapisapi di Indonesia (SETIAWAN, 1992), sedangkan sapi-sapi perah di Jakarta terinfeksi B. abortus biotipe 1, biotipe 2 dan biotipe 3 masing-masing berurutan sebanyak 77,6; 13,2 dan 9,2% (SUDIBYO, 1995). Pada tahun 1984 B. abortus biotipe 1 telah diisolasi dari sampel susu sapi perah di Lawang, Malang, Jawa Timur (CHOTIAH, 2006) dan pada tahun 1994 dari sampel susu sapi perah di Jakarta (SUDIBYO, 1995). Walaupun B. abortus dapat mencemari susu segar, tetapi bakteri tersebut dapat dirusak dengan perlakuan pasteurisasi (Tabel 2). Campylobacter spp Sebelum tahun 1970 Campylobacter ditetapkan sebagai penyebab gastroenteritis pada manusia. Sejak saat itu hasil survey

262

Enterobacter merupakan salah satu genus dari famili Enterobacteriaceae yang dikelompok ke dalam kelompok coliform. Pada ternak bakteri tersebut tidak menyebakan penyakit yang berarti. Menurut NAZAROWHITE dan FARBER (1997). diduga cemaran dalam produk asal susu terjadi selama proses pengeringan atau pengemasan. Letupan neonatal meningitis yang bersifat sporadik melibatkan susu formula bayi yang mengandung bakteri E. sakazakii (CRAVEN et al., 2003). Walaupun demikian mengapa bakteri tersebut ada dan dapat bertahan didalam susu formula bayi tidak jelas (BREEUWER et al., 2003). Kemudian beberapa peneliti mulai tertarik dengan kasus tersebut diantaranya BOWEN dan BRADEN (2006) mengumpulkan data dari tahun 1958 sampai dengan tahun 2005 dari 9 negara di Amerika Utara, Eropa dan Timur Tengah telah terjadi 46 kasus infeksi yang disebabkan oleh E. sakazakii pada bayi. Tujuh puluh dua persen dari kasus tersebut terjadi miningitis dan kematian yang terjadi sebanyak 42 – 92% dari yang mati minum susu formula dan 68% mengandung bakteri E. sakazakii. Menurut ESTUNINGSIH et al. (2006) menyatakan bahwa 13% susu formula bayi berasal dari dua produsen di Indonesia mengandung E. Sakazakii. JUUFS dan DEETH (2007) menyimpulkan bahwa bakteri tersebut tidak dapat mempertahankan hidup setelah perlakuan pasteurisasi (Tabel 2).

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Escherichia coli patogen terutama E. coli O157:H7 Beberapa kelompok E. coli patogen pada manusia sebagian besar diidentifikasi sebagai water-borne pathogen. Setelah terjadi letupan di dua perusahaan makanan pada tahun1982 bakteri E. coli strain enterohaemorrhagic (EHEC) termasuk E. coli O157:H7 ditetapkan sebagai foodborne patogen. Beberapa serotipe lain yang bersifat patogen masih banyak termasuk O26, O111 dan O128 (DESMARCHELIER dan FEGAN, 2003). Akan tetapi serotipe O157:H7 banyak dikenal dan dipelajari secara luas, salah satu habitat alamnya pada usus sapi yang berpotensi untuk mencemari susu dan produk olahannya, disamping itu merupakan serotipe yang sangat ditakuti dan menimbulkan penyakit pada manusia (BETTELHEIM, 1989). Dua hal penting dari E. coli O157:H7 yang berperan dalam patogenitas adalah pertama diperlukan organisme hanya dengan jumlah yang sangat rendah kurang lebih 100 sel dapat menyebabkan manusia sakit dan yang kedua termasuk bakteri tahan asam (KRIK dan ROWE, 1999). Susu dan produk olahannya kadang-kadang terlibat dalam letupan keracunan makanan oleh E. coli O157:H7 dan jarang sekali letupan melibatkan produk pasteurisasi (KRIK dan ROWE, 1999). E. coli strain verotoksigenik (VTEC) O157 dab non O157 penyebab diare pada anak sapi telah diisolasi dari susu sapi perah pada peternakan sapi di daerah Jawa Barat (SUWITO, 2005). JUUFS dan DEETH (2007) E. coli O157:H7 akan rusak dengan perlakuan batch pasteurisasi maupun HTST pasteurisasi (Tabel 2). Listeria monocytogenes Genus Listeria tersebar luas di alam, dalam lingkungan peternakan, industri peternakan dan pertanian. Terdapat tujuh spesies dalam genus ini, tetapi hanya satu spesies yaitu L. monocytogenes yang bersifat patogenik pada manusia. (LUND, 1990). Letupan listeriosis pada perusahaan sapi perah di Massachusetts pada tahun 1983 yang menimbulkan kematian sebanyak 2 orang dari 7 kasus perinatal dan 12 orang dari 42 kasus orang dewasa. L. monocytogenes dapat ditemukan dari susu sapi yang belum dipasteurisasi dan didalam filter

pasteurizer, akan tetapi tidak berhasil diisolasi dari susu yang sudah dipasteurisassi. Selanjutnya Letupan yang lain terjadi di beberapa negara dilaporkan meliputi susu segar dan produk olahannya (LUND, 1990). Dalam dua dekade tahun silam dilaporkan bahwa 45% sampel susu dari kasus mastitis pada sapi perah di Australia menunjukkan positif terdapat L. monocytogenes. Dilaporkan bahwa bakteri dapat diisolasi dari susu yang sudah dipasteurisasi, keju dan es krim (FLEMING et al., 1985). Sejak tahun 1985 L. monocytogenes dikatagorikan dalam kelompok foodborne pathogen pada manusia (SUTHERLAND, 1989). Bakteriemi yangterjadi pada ibu hamil penderita listeriosis dapat menginfeksi fetus melalui plasenta. Meningitis dan meningoensefalitis berkembang terutama pada bayi yang baru lahir dan yang lebih dewasa. Beberapa pasien juga mengalami gejala klinis gastroenteritis. Rataan kasus yang berakibat fatal kira-kira 30% (LUND, 1990). L. monocytogenes tersebar luas di lingkungan umum dan akan tahan untuk periode waktu lama. Keberadaan bakteri ini dalam susu kemungkinan akibat pencemaran baik dari hewan, manusia dan lingkungan selama proses produksi. L. monocytogenes tidak akan tahan hidup setelah perlakuan HTST komersial pasteurisasi (LOVETT et al., 1990) dan akan mati dengan proses pasteurisasi dalam batch komersial (PRENTICE, 1994). Mycobacterium spp Menurut KATOCH (2004) dalam genus Mycobacterium terdapat lebih dari 70 spesies, dan dari jumlah tersebut lebih dari 30 spesies diklasifikasikan sebagai patogen. Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat spesies yang lebih umum dikenal adalah: • Mycobacterium tuberculosis yang dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis pada manusia (SUTHERLAND, 2003) yang bersifat menular. Infeksi diawali dengan terhirup dahak atau partikel debu yang tercemar bakteri dari penderita penyakit tersebut. (BROCK et al., 1994). Susu yang tidak dipasteurisasi dapat menjadi sarana penularan M. tuberculosis dari orang yang terinfeksi ke

263

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

konsumen susu (BURTON, 1986). Menurut JUFFS dan DEETH (2007) M. tuberculosis masih tahan hidup setelah dipanaskan pada suhu 620C selama 15 detik, dan rusak setelah perlakuan batch pasteurisasi dan HTST pasteurisasi (Tabel 2). • Mycobacterium bovis merupakan bakteri patogen pada manusia dan hewan termasuk sapi. Spesies ini menyebabkan penyakit tuberkulosis yang bersifat kronis pada sapi yang menimbulkan gejala khas tuberkulosis (BROCK et al., 1994). Bakteri disebarkan ke berbagai spesies lain termasuk manusia yang minum susu tidak dipasteurisasi atau menghirup/ mengisap bakteri tersebut dari hewan penderita (ANIMAL HEALTH AUSTRALIA, 2005). M. bovis dapat dirusak dengan perlakuan batch pasteurisasi dan HTST pasterurisasi, akan tetapi tidak rusak jika dipanaskan pada suhu 620C selama 15 detik (Tabel2). • Spesies lain adalah Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis (Mycobacterium paratuberculosis) merupakan agen penyebab Johne’s disease pada ruminansia (sapi, domba, kambing dan kerbau) dan bangsa unta. Penyakit Johne’s disease bersifat khronis berupa enteritis granulomatous, masa inkubasi lama dan gejala klinis biasanya hanya terjadi pada hewan yang lebih tua. M. paratuberculosis mungkin ada dalam susu hewan yang terinfeksi baik disertai dengan gejala klinis atau tidak. Sumber infeksi adalah susu ternak yang sakit atau susu yang tercemar feces dari ternak penderita (OFFICE INTERNATIONAL of EPIZOOTIES, 2000). Berdasarkan laporan yang menunjukkan kemiripan gejala klinis pada pasien Crohn’s disease pada manusia dengan Johne’s disease maka LUND et al. (2002) mengatakan bahwa kemungkinan ada hubungannya antara Johne’s disease dengan pasien Crohn’s disease. Hal itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena menurut BANNANTINE et al. (2004) peran M. paratuberculosis pada Crohn’s disease. Belum jelas. Di Indonesia secara serologis (ELISA) menunjukkan 3 dari 180 sampel serum sapi perah dari

264

Lembang (Bandung) dan Bogor positif antibodi M. paratuberculosis (ADJI, 2004). PEARCE et al. (2004) dalam hasil studinya mengatakan bahwa M. paratuberculosis akan mati dengan perlakuan HTST pasteurisasi yang biasa dilakukan di New Zealand dan didukung oleh MC DONALD et al. (2005) dalam studi yang sama dilakukan di Australia. Menurut CULLINS (1997) mengatakan bahwa M. paratuberculosis lebih sensitif terhadap perlakuan pemanasan yang mematikan dibandingkan dengan bakteri patogen lain seperti M. bovis dan Listeria spp. Menurut JUFFS dan DEETH (2007) M. paratuberculosis tidak dapat mempertahankan hidup dengan perlakuan batch pasteurisasi (630C selama 30 menit) tetapi akan tahan pada pemanasan suhu 620C selama 15 detik (Tabel 2). Salmonella spp Salnonella tersebar luas di alam dan usus (saluran pencernaan) vartebrata merupakan reservoar utama. Serotipe (serovar) dari Salmonella sangat banyak, beberapa serotipe menunjukkan perbedaan adaptasi pada hospesnya dan sifat patogenik yang ditimbulkan (JAY et al., 2003). Salmonellosis merupakan salah satu masalah terpenting dalam kesehatan masyarakat veteriner diseluruh dunia. Letupan penyakit terjadi dilaporkan setelah mengkonsumsi keju yang dibuat dari susu segar atau susu pasteurisasi yang yang tercemar oleh S. Heidelberg, S. Muenster dan S. Typhimurium. Letupan yang besar terjadi di Illinois sebanyak 14000 kasus setelah mengkonsumsi susu yang tercemar Salmonella. Letupan salmonellosis pada masyarakat menegaskan bahwa susu dan hasil olahannya merupakan sarana untuk penyebaran infeksi (D’AOUST et al., 1987). Salmonella Typhimurium akan rusak dengan perlakuan batch pasteurisasi dan HTST pasturisasi (BRADSHAW et al., 1987). Staphylococcus aureus Bakteri tersebut dihubungkan dengan letupan besar keracunan makanan (food poisoning) di Michigan pada tahun 1884, tetapi

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

saat itu belum cukup bukti yang menunjukkan adanya keracunan akibat mengkonsumsi keju. Sampai dengan tahun 1914 keracunan makanan akibat mengkonsumsi susu sapi penderita mastitis yang tidak dipasteurisasi. Sejak saat itu S. aureus diketahui sebagai salah satu penyebab umum dari foodborne ilnes (INTERNATIONAL COMMISION on MICROBIOLOGICAL SPESIFICATION for FOOD, 1996; STEWART, 2003). Sumber penularan utama Staphylococci dalam susu adalah sapi penderita mastitis (FIRSTENBERG-EDEN et al., 1977). Keracunan makanan akibat Staphylococci bukan hanya disebabkan oleh tercernaknya bakteri itu sendiri akan tetapi kemampuan menyaring enteroksin yang dihasilkan oleh kuman itu sendiri yang tumbuh dalam makanan pada kondisi optimal sebelum dikomsumsi. Oleh katena itu tidak ada atau ada dalam jumlah sedikit S. aureus dalam produk makanan setelah perlakuan pemanasan tidak menjamin keamanan untuk dikonsumsi, tidak ada enterotoksin juga harus ditunjukkan (STEWART, 2003). Walaupun spesies lain dari genus Staphylococcus dapat memproduksi enterotoksin akan tetapi sebagian besar letupan keracunan makanan disebabkan oleh S. aureus (STEWART, 2003). S. aureus tidak tahan hidup setelah perlakuan batch pasteurisasi dan HTST pasturisasi (Tabel 2). Toksin yang dihasilkan oleh S. aureus sangat tahan panas sehingga dengan perlakuan kedua cara pasteurisasi tersebut diatas masih tahan (Tabel 2). Menurut TATINI (1976) enterotoksin Staphylococci relatif stabil terhadap pemanasan dalam proses pasteurisasi, akan tetapi dapat dirusak oleh enzim proteolitik seperti pepsin pada kondisi pH 2 (DICK et al., 1989). Streptococcus spp Streptococci sebagai penyebab infeksi oleh makanan telah ditetapkan sejak awal tahun 1900, ketika scarlet fever dan sakit tenggorokan setelah mengkonsumsi susu yang tercemar oleh S. pyogenes (Lancefield Group A Streptococci). Infeksi lain yang disebabkan oleh spesies tersebut termasuk tonsilitis, toksik shok dindrom, rematik akut dan glomerulonephritis. Spesies lain yang lebih dikenal di lingkup kesehatan masyarakat

veteriner adalah S. agalactiae (Lancefield Group B Streptococci), penyebab utama mastitis pada sapi perah. Bakteri ini ditemukan pada susu sapi perah pada pengamatan ditingkat peternak, pengumpul susu dan koperasi Tanjungsari Sumedang dan Sarwamukti Bandung (THAHIR et al., 2005). Bakteri dapat dipindahkan ke manusia terutama ibu-ibu yang minum susu segar (row milk ) dan juga dihubungkan dengan kematian beberapa bayi penderita infeksi sepsis pada ileum setelah minum susu sapi segar. Peranan spesies ini sebagai food pathogen tidak jelas mekanismenya (INTERNATIONAL COMMISSION on MICROBIOLOGICAL SPESIFICATION for FOOD, 1996). Letupan paringitis dan nepritis di Eropa disebabkan oleh infeksi S. zooepidemicus (S. equi subsp. Zooepidemicus Lancefield Group C Streptococci) akibat mengkonsumsi susu tidak dipasteurisasi. Letupan infeksi pada manusia sering dihubungkan dengan tertelannya susu tidak dipasteurisasi dan keju yang terkontaminasi (LEE dan DYER, 2004). S. pyogenes tidak tahan hidup setelah perlakuan pasteurisasi pada suhu 630C selama 30 menit dan pada suhu 720C selama 15 detik. S. agalactiae tidak tahan hidup setelah perlakuan pasteurisasi pada suhu 630C selama 30 menit (Tabel 2). Yersinia enterocolitica Dikenal sebagai penyebab foodborne diseases di banyak negara didunia terutama yang beriklin tropis. Bebagai makanan telah dicurigai sebagai sumber infeksi tetapi sekarang jelas bahwa babi secara langsung atau tidak sebagai sumber utama terjadinya infeksi pada manusia yang berupa enterokolitis (BARTON dan ROBINS-ROWNE, 2003). Beberapa strain Y. enterocolitica telah diisolasi dari susu dan susu pasteurisasi di New South Wales (HUGHES, 1979). Kemudian penelitian dilanjutkan untuk membuktikan bahwa keberadaan bakteri tersebut dalam susu yang sudah dipasteurisasi ternyata adalah merupan kontaminasi setelah proses pasteurisasi karena bakteri tersebut bukanlah organisme yang tahan terhadap pasteurisasi (HUGHES, 1980). Menurut JUFF dan DEETH (2007) yang dipaparkan di dalam Tabel 2.

265

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Tabel 2.

Kemampuan tahan hidup bakteri patogen terhadap perlakuan pemanasan

Tahan hidup selama perlakuan pemanasan Sub pasteurisasi Batch pasteurisasi HTST pasteurisasi Mikroorganisme (620C selama 15 menit) (630C selama 30 (720C selama 15 menit) menit) Bacillus cereus (sel vegetatif) tidak diketahui tidak tidak Bacillus cereus (spora) ya Ya ya Brucella abortus ya tidak tidak Campylobacter jejuni ya/membunuh sebagian tidak tidak Campylobacter coli ya/membunuh sebagian tidak tidak Coxiella burnetti ya tidak tidak Enterobacter sakazakii ya/membunuh sebagian tidak tidak Echerichia coli O157:H7 membunuh sebagian tidak tidak Listeria monocytogenes ya tidak tidak Mycobacterium ya tidak tidak tuberculosum Mycobacterium bovis ya tidak tidak Mycobacterium ya tidak minimum membunuh paratuberculosis > 4D Salmonella membunuh sebagian tidak tidak Staphylococcus aureus membunuh sebagian tidak tidak (organisme) Staphylococcus aureus ya ya ya (toksin) Streptococcus pyogenes ya tidak tidak Streptococcus agalactiae ? tidak tidak Streptococcus ? ? ? zooepidemicus Yersinia enterocolitica membunuh sebagian tidak tidak Keterangan: ? ; tidak cukup data Sumber: JUFF dan DEETH (2007)

MENCEGAH CEMARAN BAKTERI PADA SUSU Sebagai gambaran yang ada dilapangan belakangan ini adalah hasil analisis cemaran bakteri pada susu sapi yang dilaksanakan di peternakan sapi perah anggota koperasi susu masih ditemukan adanya cemaran bakteri patogen baik ditingkat peternak, pengumpul maupun koperasi (THAHIR et al., 2005). Selama tahun 2005 periode Januari sanpaui Juli hasil pengawasan terhadap produk pangan asal ternak menunjukkan bahwa sebanyak 6% dari sampel yang diperiksa tidak memenuhi syarat. Sebanyak 5,8% dari produk yang tidak memenuhi syarat adalah susu dan hasil olahannya dikarenakan adanya pelanggaran keamanan dalam melebihi batas maksimum cemaran mikroba dan Coliform (SUTARMONO, 2005). Sudah saatnya mata rantai produksi

266

susu di Indonesia untuk mampu dalam meminimalisasi proses cemaran dari berbagai macam mikroorganisme berbahaya khususnya bakteri. Untuk itu perlu diperhatikan mata rantai produksi susu mulai dari industri hilir (di peternakan), industri hulu (industri pengolahan) hingga ke konsumen. Proses produksi susu di tingkat peternakan memerlukan penerapan good farming practices seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju. Pakan sapi harus diatur agar bermutu baik dan mengandung zat-zat gizi yang memadai, bebas dari antibiotika dan bahanbahan toksik lainnya. Sapi perah sebagai produsen susu harus dijaga kesehatannya agar susu yang diproduksi tidak terinfeksi oleh bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit terutama yang bersifat foodborne pathogen. Lingkungan peternakan, sanitasi alat pemerah dan sanitasi pekerja harus dijaga

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

terhadap cemaran bakteri patogen dan cara pemerahan harus dilakukan dengan benar untuk mencegah adanya cemaran mikroorganisme khususnya bakteri patogen. Sehingga sapi perah akan menghasilkan susu segar dengan komposisi gizi yang baik dan sehat. Selanjutnya pada tahapan pasca panen memerlukan penerapan good handling practices. Penanganan susu segar yang baru diperah harus diberi perlakuan dingin termasuk selama transportasi susu menuju tempat penampungan, selama dalam penampungan dan menuju industri pengolahan susu (IPS). Teknologi dalam pengolahan telah memungkinkan susu untuk disimpan lebih lama dan dapat mengurangi tingkat cemaran bakteri. Berbagai teknologi pengolahan susu antara lain susu pasteurisasi, pembuatan susu kental, pembuatan susu bubuk dan susu UHT, sangat diperlukan penerapan good manufacture practices. Pengolahan di pabrik untuk mengkonversi susu segar menjadi susu olahan harus dilakukan dengan sanitasi yang maksimum dengan menggunakan alat-alat

yang steril dan meminimumkan kontak dengan tangan dan seluruh proses dilakukan secara aseptik. Pengemasan susu harus dilakukan secara higienis dengan menggunakan kemasan aseptik, kedap udara sehingga bakteri pun tak dapat masuk ke dalamnya. Pada tahun 1993 Codec Alimentarius Commision dari Badan Dunia FAO/WHO telah menetapkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai suatu metode standar untuk mengatur pengawasab keamanan pangan (food safety management tool). Di Indonesia penerapan sistem HACCP khususnya di industri peternakan masih bersifat sukarela belum wajib (WURYANINGSIH, 2005). Pemerintah Indonesia telah memiliki Standard Nasional Indonesia (SNI) untuk menjamin mutu termasuk keamanan susu antara lain: tangki susu SNI 02-0209-1987, kamar susu SNI 02-0210-1987, cooling unit SNI 02-0280-1997 dan telah mengatur batas maksimum cemaran mikroba dalam susu SNI 01-314-1998 dan SNI 016366-2000 (Tabel 3) yang harud dipatuhi oleh semua fihak yang terlibat.

Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada susu (dalam satuan CFU/gram atau ml) Jenis cemaran mikroba a). Jumlah total (total plate count) b). Coliform c). Escherichia coli (pathogen) (*) d). Enterococci e). Staphylococcus aureus f). Clostridium sp g). Salmonella sp (**) h). Camphylobacter sp i). Listeria sp

Susu segar 1x106 2x101 0 1x102 1x102 0 negatif 0 0

Batas maksimum cemaran mikroba Susu pasteurisasi Susu bubuk susu steril/UHT 4 4 <3x10 5x10 <10/0,1 <0,1x101 0 0 0 0 0 1x102 1x101 0 1 1x10 1x101 0 0 0 0 negatif negatif negatif 0 0 0 0 0 0

Keterangan: (*) : dalam satuan MPN/gram atau ml; (**) : dalam satuan kualitatif Sumber: SNI No: 01-6366-2000

KESIMPULAN Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen. Cemaran bakteri pada susu dapat terjadi kapan dan dimana saja mulai dari industri hilir (di peternakan), industri hulu (industri pengolahan) hingga ke konsumen

sepanjang penanganannya tidak memperhatikan kebersihan. Cemaran mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia dapat terjadi mulai dari industri hilir (di peternakan), industri hulu (industri pengolahan) hingga ke konsumen, sehingga perlu diperhatikan tahapan perlakuan di setiap mata rantai. Untuk itu sangat dianjurkan untuk menerapkan Good Farming Practises, Good Handling Practises,

267

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Good Manufacturing Practises, Good Distribution Practises, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sehingga menghasilkan susu yang bersifat aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

BARTON, M.D. and R.M. ROBINS-ROWNE. 2003. Yersinia enterocolitica. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 594-595.

DAFTAR PUSTAKA

BERGERE, J.L. and O. CERF. 1992. Heat resistance of Bacillus cereus spores. In: Buletin of the International Dairy Federation. Nomor 275. International Dairy Federation, Brussel. Chapter 5. pp. 23-25.

ADJI, R.S. 2004. Isolasi dan Uji Serologi terhadap Mycobacterium paratuberculosis Pada Sapi Perah. Pros. Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitianf dan Perkembangan Peternakan. Bogor, 4-5 Agustus 2004. hlm. 281-284. ALTON, G.G., J.M. JONES, R.D. ANGUS and J.M. VERGER. 1988. Technique for the brucellosis laboratory. Institute National de la Recherche Agronomique. Paris. pp. 33-60. ANIMAL HEALTH AUSTRALIA. 2005. Nasional Animal Health Information System (NAHIS). Bovine tuberculosis. Website of the Australian Animal Health Council Limited, http://www. aahc.com..au/nahis/disease/TB.htm BADAN STANDARDISASI NASIONAL. 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2970-1992. Susu bubuk. hlm. 1-34. BADAN STANDARDISASI NASIONAL. 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2971-1992. Mutu dan cara uji susu kental manis. hlm. 1-4. BADAN STANDARDISASI NASIONAL. 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3950-1998. Susu Ultra Hight Temperature (UHT). hlm. BADAN STANDARDISASI NASIONAL. 2000. Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 016366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Cemaran Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. hlm. 1-4. BAHRI, S. dan T.B. MURDIATI. 1977. Tuntutan Keamanan dan Pangamanan Pangan (daging sapi) Pada Era Globalisasi. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 78 Januari 1977. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 96-109. BANNANTINE, J.P., R.G. BARLETTA, J.R. STABEL, M.L. PAUSTIAN and V. KAPUR. 2004. Aplication of the genome sequencetoaddres concern that Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis might be a foodborne pathogen. Foodborne Pathogen and Disease. 1:3.

268

K.A. 1989. Enteropathogenic BETTELHEIM, Escherichia coli. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 4th Ed. K.A. BUCKLE, J.A.DAVEY, M.J. EYLES, A.D. HOCCKING, K.G. NEWTON and E.J. STUTTARD (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology /AIFST (NWS Branch). pp. 115-135. BRADSHAW, J.G., J.T. PEELER, J.J. CORWIN, J.E. BARNET and R.M. TWEDT. 1987. Thermal resistance of disease-associated Salmonella Typhimurium in milk. J. Food Prot. 50:95-96. BREEUWER, P., A. LARDEAU, M. PETERZE and H.M. JOSTEN. 2003. Dessication and heat tolerance of Enterobacter sakazakii. J. Appl. Microbiol. 95:967-973. BROCK, T.D., M.T. MADIGAN, J.M. MARTINKO and J. PARKER. 1994. Biology of Microorganisms. Seventh Edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. pp. 532-533. BOWEN, A.B., and C.R. BRADEN. 2006. Invasive Enterobacter sakazakii Disease in Infants. Emerging Infectious Disease. 12 (8):11851189. BURTON, H. 1986. Mycrobiological aspects. In: International Dairy Federation Bulletin. No.200. Monograph on Pasteurized milk. International Daity Federation. Brussels. pp. 9-14. CHOTIAH, S. 2006. Daftar Koleksi Biakan Mikroba Balitvet Culture Collection. Edisi tahun 2006. Balai Besar Penelitian Veteriner. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.hlm. 24-25. COGHILL, D. and H.S. JUFF. 1979. Incidence of psychrotrophic spore farming bacteria in pasteurised-milk and cream product ans effect of temperature on their growth. Aust. J. Dairy Technol. 34: 150-153. CRAVEN, H.M., M.J. EYLES and J.A. DAVEY. 2003. Enteric indicator organisms in food. In:

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 267-310. CRIELLY, E.M., N.A. LOGAN, and A. ANDERTON. 1994. Studies on the Bacillus flora of milk and milk product. J. Appl. Bacteriol. 77. 256263. CULLINS, M.T. 1997. Mycobacterium paratuberculosis: A potensial food-borne pathogen?: On farm food safety. J. Dairy Sci . 80(12)34453448. D’AOUST, J.Y., D.B. EMMONS, R. MCKELLAR, G.E. TIMBERS, E.C.D. TODD, A.M. SEWELL and D.W. WARBURTON. 1987. Thermal inactivation of Salmonella species in fluid milk. J.Food Prot. 50:494-501. DEPIAZZI, I.J. and J.R.M. BELL. 1997. Farm Sources spore-farming Bacillus in vat milk. Agriculture Western Australia, Bunbury. Final Report on DRDC Project DAW031. DESMARCHELIER, P.M. and N. FEGAN. 2003. Enteropathogenic Escherichia coli. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 267-310. DICK, M.I.B., A.J. GRANT and G.J. LINFORT. 1989. Staphylococcal enterotxin. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 4th Ed. K.A. BUCKLE, J.A. DAVEY, M.J. EYLES, A.D. HOCKING, K.G. NEWTON AND E.J. STUTTARD (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 269-286. DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta. ENRIGHT, F.M. 1990. The pathogenesis and pathobiology of brucella infection in domestic animals. In: Animal brucellosis. K.NIELSON and J.R. DUNCAN (Eds.). Boca Raton. Florida, CRC Press. pp.301-320 ESTUNINGSIH, S., C. KRESS, AKINEDEN, E. SCHNEIDER 2006. Enterobacteriaceae powdered infant formula Indonesia and Malaysia. 69(12): 3013-3017.

A.A. HASS, O. and E. USLEBER. in dehydrated manufactured in J.Food Protec.

FENSTERBANK, R. 1987. Brucellosis in catlle, sheep and goat: diagnosis, control and vaccination. Rev. Sci. Tech. Int. Epiz. 5(3): 605-618. FIRSTENBERG-EDEN, R., B. ROSEN and C.H. MANNHEIM. 1977. Death and injury of Staphylococcus aureus during thermal treatment of milk. Can. J. Microbiol. 23: 1034-1037. FLEMING, D.W., S.L. COCHI, K.L. MAC DONALD, J.BRONDUM, P.S. HAYES, B.D. HOLMES, A. AUDURIER, C.V. BROME and A.L. REINGOLD. 1985. Pasteuriesed as vechicle of infection in an outbreack of listeriosis. New Engl. J.Med.312: 336-338. GRANUM, P.E., and T. LUND. 1997. Mini Review: Bacillus cereus and its food poisoning toxin. FEMS Microbiol. Lett. 157: 223-228. HAHN G. 1994. Campylobacter jejuni. In: Monograph on the Significance of Phatogenic Microorganisms in Row Milk. International Dairy Federation, Brussels. pp. 42-48. HUGHES, D. 1980. Isolation of Yersinia enterocolitica from milk and a dairy farm in Australia. J. Appl. Bacteriol. 46: 125-130. HUGHES, D. 1980. Repeated isolation of Yersinia enterocolitica from pasteurized milk in holding vat at a dairy factory. J. App. Bacteriol. 48: 383-385. INTERNATIONAL COMMISION on MICROBIOLOGICAL SPESIFICATION for FOOD. 1996. MicroOrganisms in Foods. Vol 5. Blackie Academic & Professional, London. pp. 299-333. JAY, S., D. DAVOS, M. DUNDAS, E. FRANKISH and D. LIGHTFOOT. 2003. Salmonella. In: Food borne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 207-266. JENSEN, I and C J MOIR. 2003. Bacillus cereus and other Bacillus species. In: Food borne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed.. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated, NSW Branch, Food Microbiology Group, Waterloo, NSW. Chapter 14. pp. 445-478. JUFFS, H and H. DEETH. 2007. Scientific Evaluation of Pasteurisation for Pathogen Reduction in Milk and Milk Production. Food Standards Australia New Zealand. pp.. 84-85.

269

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

KATOCH, V.M. 2004. Infections due to nontuberculous mycobacteria (NTM). Indian J. Med. Res. 120: 290-304. KRIK, R. and M. ROWE. 1999. Pathogenic E. coli and milk. Milk Industry Int. 101: 4. LAMPERT, CM. 1980. Modern Dairy Product. New York Publising. Co. Inc. pp. 234-255. LEE,

A.S. and J.R. DYER. 2004. Severe Streptococcus zooepidemicus infection in milk. Med. J. Aust.180:336.

LUND, B.M. 1990. The prevention of foodborne listeriosis. Br. Food. J. 92:13-22. LUND, B.M., G.W.GOULD and A.M. RAMPLING. 2002. Pasteurization of Milk and the Heat Resistance of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis: acrirical review of the data. Int. J. Food Microbiol.77: 135-145. LOVETT, J., I.V. WESLEY, M.J. VANDERMAATEN, J.G. BRADSHAW, D.W. FRANCIS, R.G. CRAWFORD, DONNELLY and J.W. MESSER. 1990. Hightemperature short-time pasteurization inactivates Lysteria monocytogenes. J.Food Prot. 53: 734-738. MC. DONALD, W.I., K.J. O’RILEY, C.J. SHROEN and R.J. CONDRON. 2005. Heat inactivation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in milk. Appl. Environ. Microbiol. 71(4). In press. NAZARO-WHITE, M. and J.M. FARBER. 1997. Thermal resistance of Enterobacter sakazakii in reconstituted dried-infant formulaa. Lett. Appl. Microbiol. 24:9-13. OFFICE INTERNATIONAL of EPIZOOTIES. 2000. Paratuberculosis. In: Manual of Standard Diagnostic Test and Vaccines. Office International des Epizooties. pp.. 292-303.

SETIAWAN, E.D. 1992. Studi tentang beberapa sifat biologis Brucella abortus isolat lapang. Desertasi Doktor Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. SIMMONDS, P., B.L. MOSSEL, T. INTARAPHAN and H.C. DEETH. 2003. The Heat Resistance of Bacillus Spores when Adhered to Stainless Steel and Its Relationship to Spore Hydrophobicity. J. Food Prot. 66. 2070-2975 STEWART, C.M. 2003. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxis. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 359-379. SUDIBYO, A. 1995. Studi epidemiologi brucellosis dan dampaknya terhadap reproduksi sapi perah di DKI. Jakarta. JITV. 1:31-36. SUTARMONO. 2005. Pros. Keamanan Pangan Produk Olahan Berbasis Produk Ternak. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm.14-16. SUTHERLAND, P.S. 1989. Listeria monocytogenes. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 4th Ed. K.A.BUCKLE, J.A. DAVEY, M.J. EYLES, A.D. HOCKING, K.G. NEWTON and E.J. STUTTARD (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch).pp. 289-311. SUTHERLAND, P.S. 2003. Mycobacteria.In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW Branch). pp. 597-604.

PEARCE, I.E., H.T. TRUONG, R.A. CRAWFORD and G.W. DE LISLE. 2004. Kinetic srudies on the heat inactivation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis (MAP) during turbulent-flow pasteurisation. Proc. of an International Workshop on Heat Resistance of Phatogenic Organisms. International Dairy Federation. Brussels. pp. 49-52.

SUWITO, W. 2005. Kejadian Escherichia coli Verotoksigenik pada susu sapi dari Peternakan di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Tesis. Magister Sain. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

PHILLIPS, D.J. and M.W.GRIFFITHS, 1986. Factors contributing to the seasonal variation of Bacillus spp. In pasteurized milk products. J. Apl. Bacteriol. 61:275-285.

THAHIR, R., S.J. MUNARSO, dan S. USMIATI. 2005. Revew Hasil-hasil Penelitian Produk Keamanan Pangan Produk Peternakan. Pros. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 18-26.

PRENTICE, G.A. 1994. Listeria monocitogenes. In: Monograph on the Significance of Pathogenic microorganisms in Row Milk. International Dairy Federation, Brussels. pp. 101-112.

270

TATINI, S.R. 1976. Thermal stability of enterotoksin in food. J. Milk Food Technol. 39:432-438.

Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020

VAN HEDDEGHEM, A and G. VLAEYNCK. 1992. Sources of Contamination of Milk with Bacillus cereus on the Farm and in the Factory. In: Buletin of the International Dairy Federation Nomor: 275. Bacillus cereus in milk and milk products. International Dairy Federation, Brussel. pp. 19-22. VOLK, W.A. and M.F. WHEELER. 1990. Mikrobiologi Dasar. S. ADISOEMARTO (Ed.). Edisi ke-5. Penerbit Erlangga Jakarta WALLACE, R.B. 2003. Campylobacter. In: Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. 6th Ed. A.D. HOCKING (Eds.). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated. (NSW Branch). pp. 311-332. WURYANINGSIH, E. 2005. Kebijakan Pemerintah dalam Pengamanan Pangan asal Hewan. Pros. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm.9-13.

DISKUSI Pertanyaan: 1. Apakah sudah dapat dilakukan uji cepat untuk mendeteksi susu yang cemaran bakterinya melampaui batas maksimal? Jawaban: 1. Perangkat uji cepat untuk mendeteksi susu terhadap cemaran bakteri ataupun mikrootganisme sudah dilakukan menggunakan kit dari macam-macam produk tergantung dari kemampuan dana yang ada tujuan dari pengujian apa yang akan dilakukan. Apakah bersifat umum (TVC = total viable count atau masing-masuing mikroorganisme cemarannya). Misalnya: metode Micro Foss, Petri film Aerobic Count plate, Redige aerobic plate Count dan Hybri Scan.

271