BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT

Download Artikel lain yang berjudul Produksi Gas Karbondioksida Selama Proses. Bioremediasi Limbah Heavy Oil dengan Teknik Landfarming, juga telah ...

0 downloads 723 Views 3MB Size
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI

CHARLENA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak Berat Menggunakan Konsorsium Bakteri adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap bab disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010 Charlena NRP P062040101

ABSTRACT CHARLENA. Bioremediation of Heavy Oil Waste-Contaminated Soil Using Bacterial Consortium. Under direction of ZAINAL ALIM MAS’UD, ISWANDI ANAS, YADI SETIADI and MOHAMAD YANI. Waste treatment of crude oil in petroleum land mines needed to clean up the environment from crude oil waste. Waste treatment of crude oil can be done using bioremediation technique employing hydrocarbon compound-degrading bacterial consortium. The aim of the present research was to carry out bioremediation of hydrocarbon compounds of soil contaminated with heavy oli waste using bacterial consortium. In order to achieve this aim, reseach was divided into several stages which incude stage one to analyze effect of anionic and nonionic surfactants addition to improve dispersion of heavy oil waste in water, stage two to carry out bioremediation of soil contaminated with heavy oil waste using bacterial consortium employing bioslurry and landfarming techniques. In order to elucidate the bacterial species involved in the degradation of hydrocarbon compounds present in the heavy oil waste, research stage three was carried out to isolate, screen, and characterize heavy oil degrading bacteria of bacterial consortium, and then research stage four was conducted to test the ability of single or mixed (consortium) of bacteria in degrading heavy oil waste. Results showed that addition of anionic surfactant in Linear Alkilbenzena Sulphonate (LAS) at concentration of 0.04% was better in dispersing heavy oil waste in water compared to addition of Sodium Dodecyl Sulphate (SDS) and nonionic surfactant. By employing bacterial consortium, bioremediation of heavy oil contaminated-soil using bioslurry technique was more effective compared to landfarming technique. Bioremediation using bioslurry technique decreased the concentration of Total Petroleum Hydrokarbon from 20.71% to 0.11% which was far below the threshhold set by the Decree of Environment Ministry no. 128 year 2003 i.e 10000 ppm or 1 %. Meanwhile landfarming technique during 4 months observation resulted in quite high TPH percentage i.e of 5.58%. For this reason, bacteria were isolated from bioslurry process and 11 isolates were found showing ability of degrading Polyaromatic Hydrocarbon (PAH). Out of 11 isolates 3 bacterial isolates were ahowing best performances in degrading hydrocarbon compounds. Following molecular characterization, the three bacterial isolates were Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, and Ochrobactrum anthropi showing ability to degrade PAH compunds such as phenantrene, dibenzotiophene and fluorene. Test of ability of single and mixed species in degrading hydrocarbon compounds present in heavy oil waste showed that Bacillus altitudinis has better performance in degrading hydrocarbon coumpounds present in the heavy oil waste compared to other species. Bacillus altitudinis showed degradation percentage of 54.11%. Compared to single bacterial species, mixed (consortium) of bacteria was better in degrading hydrocarbon compound. Mixture of the three bacterial species (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi) decreased TPH with percent degradation of 81.52%. Keywords: Bioremediation, heavy oil waste, bacterial consortium

RINGKASAN Aktivitas penambangan minyak bumi berpotensi menghasilkan limbah minyak bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat toksik terhadap lingkungan disekitarnya. Bioremediasi merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan saat ini untuk mengatasi limbah minyak berat yang mencemari lingkungan. Bioremediasi dapat memanfaatkan bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon poliaromatik yang terdapat dalam limbah minyak berat menjadi senyawa yang lebih sederhana, kemudian dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan sumber energi. Bakteri yang digunakan dalam mendegradasi limbah minyak bumi memiliki kemampuan yang lebih tinggi jika digunakan sebagai kultur konsorsium atau kultur campur. Bakteri ini bekerja secara sinergis dengan memotong senyawa hidrokarbon pada tempat yang berbeda, kemudian menggunakan senyawa sederhana hasil degradasi sebagai sumber hidrokarbon dan energinya untuk proses degradasi berikutnya. Konsorsium bakteri yang digunakan untuk mendegradasi senyawa hirokarbon selama proses bioremediasi, dapat dilakukan dengan teknik bioslurry dan landfarming. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan TPH ≥ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Mencari spesies bakteri yang berperan aktif dalam mendegradasi senyawa poliaromatik yang terdapat pada limbah minyak berat dan menguji kemampuan spesies bakteri yang diperoleh dalam bentuk tunggal dan campurannya. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu tahap pertama untuk melihat pengaruh penambahan surfaktan anionik dan nonionik dalam meningkatkan dispersi limbah minyak berat ke dalam air, karena limbah minyak berat yang diperoleh dari lapangan minyak Duri memiliki tekstur yang liat menyebabkan sulit untuk terdispersi ke dalam air. Surfaktan yang digunakan adalah surfaktan anionik (Linear Alkilbenzena Sulfonat/LAS dan Natrium Dodesil Sulfat/NDS) dan nonionik (Tween 80 dan Brij 35). Tahap kedua melakukan bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat menggunakan konsorsium bakteri dengan teknik bioslurry dan landfarming. Konsorsium bakteri yang digunakan diperoleh dari limbah minyak berat yang dicampur dengan kotoran hewan. Limbah minyak berat diambil dari lapangan minyak Duri, PT CPI dan kotoran hewan (sapi dan kuda) diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB. Konsorsium bakteri yang digunakan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan teknik bioslurry diuji juga kemampuannya dengan menggunakan teknik landfarming. Tahap ketiga yaitu melakukan isolasi, seleksi dan identifikasi

bakteri pendegradasi minyak bumi dari konsorsium bakteri. Isolasi dilakukan untuk mendapatkan isolat yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) yang terdapat dalam limbah minyak berat. Untuk mendapatkan 3 isolat yang terbaik, dilakukan proses seleksi dengan menghitung persen degradasi tertinggi selama 1 bulan pengamatan. Terhadap 3 isolat yang memiliki kinerja terbaik ini dilakukan identifikasi secara molekuler. Tahap keempat yaitu menguji kemampuan spesies bakteri dan campuran (konsorsium) bakteri dalam mendegradasi limbah minyak bumi fraksi berat. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil, bahwa penambahan surfaktan dan pengaruh kecepatan pengadukan mampu meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam media air. Penggunaan LAS pada konsentrasi 0.04% lebih baik meningkatkan dispersi limbah minyak bumi ke dalam air dibandingkan NDS, Tween 80 dan Brij 35 karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan NDS (0.45%), Tween 80 (0.24%) dan Brij 35 (0.22%). Bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat dengan teknik bioslurry lebih efektif dibandingkan dengan teknik landfarming. Pada teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik dengan populasi mencapai 3.47 x 1010, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11% dari persentasi TPH awal sebesar 20.71%, berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Dengan teknik landfarming pada 4 bulan pengamatan didapat persentase TPH yang masih cukup tinggi yaitu 5.58%, hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, didukung juga dengan kadar pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan adanya gas CO 2 dan NH 3 yang dihasilkan selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GCMS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35. Pada tanah tercemar limbah minyak berat berhasil diisolasi 11 isolat bakteri yang mampu mendegradasi senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Dari 11 isolat yang didapat, bakteri yang memiliki kinerja terbaik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat adalah isolat bakteri dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat kesamaan 97%. Campuran atau konsorsium bakteri lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. Bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi pada bioremediasi limbah minyak berat

selama 21 hari menunjukkan % degradasi sebesar 51.65%, 54.26%, dan 46.76% sedangkan spesies kombinasi memiliki % degradasi sebesar 60.13% untuk kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis, 57.00% untuk kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. dan untuk campuran bakteri Bacillus altitudinis dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 62.47%. Dibandingkan dengan spesies tunggal, spesies campuran memiliki % degradasi yang lebih baik. Kombinasi terbaik untuk mendegradasi limbah minyak berat adalah kombinasi bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi dengan % degradasi terbesar yaitu sebesar 81.52%.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI

CHARLENA

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Penguji Ujian Tertutup

: Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS (Ketua Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB) : Dr. Ir. Erliza Noer (Staf Pengajar Departemen TIP Fateta IPB)

Penguji Ujian Terbuka

: Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M. Eng (Wakil Rektor IPB Bidang Riset dan Kerjasama) : Dr. Dra. Yusni Yetti, M.Si (Asisten Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi)

Judul Disertasi Nama NRP Program Studi

: Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak Berat Menggunakan Konsorsium Bakteri : Charlena : P062040101 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Zainal Alim Mas’ud, DEA Ketua

Prof.Dr.Ir. Iswandi Anas, M.Sc Anggota

Dr.Ir.Yadi Setiadi, M.Sc Anggota

Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof.Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo.MS

Tanggal Ujian : 24 Agustus 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro.MS

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberi petunjuk, rahmat dan ridhoNya sehingga penulis mendapat kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul: BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA, Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng selaku komisi pembimbing atas seluruh sumbangan pikiran, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan dengan penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah sejak awal rencana penelitian disusun hingga selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS selaku Ketua Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor atas segala perhatian, bantuan, motivasi, doa, kemudahan dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (PSL-IPB). Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas pengorbanan,doa dan curahan kasih sayang, serta dukungannya selama penulis menjalani program studi S3 ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan masukan bagi penulisan disertasi ini. Ibarat membangun sebuah monumen, kesempurnaan dapat diwujudkan dari hasil polesan di setiap sisi yang mendapat berbagai komentar dan kritikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, harapan penulis semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi pemulihan lahan tambang limbah minyak bumi khususnya lahan tambang minyak bumi fraksi berat. Bogor, Agustus 2010 Charlena

UCAPAN TERIMA KASIH Selama penelitian dan penyusunan disertasi ini banyak sekali pihak yang memberikan bantuan moril, materiil serta dukungan doa. Disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: 1. Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor 2. Dirjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional Indonesia melalui Dana Hibah Doktor 2009 3. Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA, ketua komisi pembimbing dan kepala Laboratorium Lab Terpadu IPB 4. Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc, anggota komisi pembimbing 5. Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc, anggota komisi pembimbing 6. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng, anggota komisi pembimbing 7. Dr. Drh. Hasim, DEA, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB 8. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, ketua Departemen Kimia FMIPA IPB 9. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB 10. Prof. Dr. Ir. M. Anwar Nur, M.Sc, Guru Besar Departemen Kimia FMIPA IPB 11. PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara Duri, melalui fasilitas dan dana yang diberikan 12. Ir. Zaki, atas bantuan selama penelitian dan penulisan disertasi 13. Seluruh dosen dan civitas akademika Departemen Kimia FMIPA IPB 14. Seluruh staff dosen dan pegawai Laborattorium Kimia Anorganik FMIPA IPB 15. Seluruh staff, pegawai dan laboran Laboratorium Terpadu IPB 16. Para mahasiswa bimbingan yang membantu penelitian ini 17. Teman-teman seperjuangan di Program Studi PSL IPB 18. Suami tercinta, Syafli SE dan anak-anak tersayang, Nadiah Chalisya, M.Hafidz Charsyana, atas pengorbanan, cinta dan doanya 19. Orang tua, H. Chaidir dan Rohana (Alm), yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan senantiasa mengingatkan untuk selalu bersyukur kepada ALLAH SWT 20. Kakak-kakak dan adik-adik, atas doa dan kasih sayangnya 21. Bibi dirumah yang telah mengurus seluruh urusan di rumah dan anak-anak 22. Semua pihak yang telah membantu, memberikan dukungan dan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Atas segala bantuan yang diberikan dengan penuh keikhlasan, penulis ucapkan terima kasih dan tiada balasan yang dapat disampaikan melainkan doa tulus semoga ALLAH SWT membalas amal baik yang telah diberikan agar senantiasa dalam lindungan-Nya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2010 Charlena

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan

di Lubuk Alung, Sumatera Barat pada tanggal 22

Desember 1967, anak ke enam dari sepuluh bersaudara dari Chaidir dan Rohana (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, lulus pada tahun 1992. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Kimia Program Magister Institut Teknologi Bandung dan menamatkannya pada tahun 1995. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Kimia pada Jurusan Kimia Universitas Sriwijaya pada tahun 1995 dan tahun 1996 menikah dengan Syafli dan dianugrahi sepasang anak, Nadiah Chalisya (tahun 1997) dan Muhammad Hafidz Charsyana (tahun 2002). Kemudian pada pertengahan tahun 2000 bekerja sebagai staf pengajar Kimia pada Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor sampai sekarang. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Repuplik Indonesia. Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan karya ilmiah yang berjudul Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi dalam Air akibat Pengaruh Surfaktan Nonionik dan Laju Pengadukan yang diterbitkan pada Chemistry Progress, Majalah Publikasi Ilmu Kimia, Volume 2 Nomor 2, November 2009. Artikel lain yang berjudul Produksi Gas Karbondioksida Selama Proses Bioremediasi Limbah Heavy Oil dengan Teknik Landfarming, juga telah diterbitkan pada jurnal yang sama, Volume 3 Nomor 1, Mei 2010. Artikel yang berjudul

Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi dalam Air akibat Pengaruh

Surfaktan Anionik dan Laju Pengadukan akan diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Nasional Berita Biologi, LIPI pada akhir tahun 2010 ini. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..............................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................

viii

1 PENDAHULUAN Latar Belakang.............................................................................................. Permasalahan................................................................................................. Perumusan Masalah....................................................................................... Tujuan Penelitian........................................................................................... Manfaat Penelitian......................................................................................... Kebaruan Penelitian....................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. Kerangka Pemikiran....................................................................................... Daftar Pustaka...............................................................................................

1 6 8 9 9 10 12 12 14

2 PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN Abstrak…………………………………………………………………….. Pendahuluan……………………………………………………………….. Metodologi Penelitian……………………………………………………… Bahan dan Alat………………………………………………………… Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan Surfaktan……………………… Pengukuran Tegangan Permukaan Surfaktan…………………………. Pengukuran Busa Larutan Surfaktan ………………………………….. Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap Stabilitas Emulsi................. Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Dispersi Minyak dalam Air…… Pengukuran TPH Fasa Padat ………………………………………….. Pengukuran TPH Fasa Cair …………………………………………… Pengukuran pH………………………………………………………… Pengukuran COD ……………………………………………………… Hasil dan Pembahasan Tegangan Permukaan Larutan Surfaktan……………………………… Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada Stabilitas Emulsi......................... Pengukuran Tinggi Busa………………………………………………. Pengukuran pH pada Variasi Kecepatan Pengadukan............................ Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai TPH…………………………… Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai COD…………………………… Simpulan……………………………………………………………………. Daftar Pustaka……………………………………………………………… Lampiran…………………………………………………………………….

17 19 20 20 20 21 21 22 22 22 23 23 24 27 28 30 31 34 35 35 37

i

3 BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI DENGAN TEKNIK BIOSLURRY DAN LANDFARMING Abstrak…………………………………………………………………….. Pendahuluan……………………………………………………………….. Metodologi Penelitian Bahan dan Alat………………………………………………………… Pengembangan Konsorsium Bakteri…………………………………... Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry………………………………... Bioremediasi dengan Teknik Landfarming……………………………. Pencuplikan Gas CO 2 dan NH 3 Selama Proses Bioremediasi dengan Teknik Landfarming…………………………………………………. Analisa Gas CO 2 …………………………………………………….. Analisa Gas NH 3 …………………………………………………….. Hasil dan Pembahasan Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry………………………………... Pertumbuhan Bakteri………………………………………………… Pengontrolan pH……………………………………………………… Penurunan TPH………………………………………………………. Bioremediasi dengan Teknik Landfarming……………………………. Perubahan pH………………………………………………………… Perubahan Kadar Air…………………………………………………. Perubahan Suhu………………………………………………………. Perubahan TPH……………………………………………………….. Perubahan Senyawa Hidrokarbon……………………………………. Analisis Gas Selama Proses Biodegradasi............................................ Produksi Gas CO 2 ................................................................................. Produksi Gas NH 3 ……………………………………………………. Simpulan……………………………………………………………………. Daftar Pustaka……………………………………………………………… Lampiran…………………………………………………………………… 4 ISOLASI, SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT Abstrak…………………………………………………………………….. Pendahuluan……………………………………………………………….. Metodologi Penelitian……………………………………………………… Bahan dan Alat………………………………………………………… Pengambilan Sampel…………………………………………………… Isolasi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon…………………………….. Seleksi Isolat Bakteri………………………………………………….. Identifikasi Biakan Murni Terseleksi Pendegradasi Hidrokarbon…….. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon............................... Pengukuran Aktivitas Emulsifikasi Menggunakan Parafin Padat.........

ii

55 55 59 59 60 60 61 62 62 63 65 65 66 68 68 69 70 71 78 82 82 85 87 87 91

107 109 110 110 110 111 112 112 114 118

Seleksi Isolat Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon................... Populasi Bakteri pada Seleksi Isolat................................................ Perubahan pH pada Seleksi Isolat.................................................... Nilai TPH pada Seleksi Isolat.......................................................... Nilai COD pada Seleksi Isolat......................................................... Identifikasi Isolat MY7, MY12 dan MFlr…………………………….. Simpulan…………………………………………………………………… Daftar Pustaka…………………………………………………………….. Lampiran…………………………………………………………………… 5 KEMAMPUAN ISOLAT TUNGGAL DAN CAMPURAN DALAM MENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA LIMBAH MINYAK BERAT Abstrak…………………………………………………………………….. Pendahuluan……………………………………………………………….. Metodologi Penelitian……………………………………………………… Bahan dan Alat………………………………………………………… Peremajaan Spesies Bakteri …………………………………………… Preparasi Inokulum pada Media Kaya dan Media Minimal.................... Pengujian Spesies Bakteri……………………………………………… Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Spesies Tunggal.... Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Kombinasi Spesies Bakteri...................................................................................................... Pengukuran pH………………………………………………………… Pengukuran TPH Fasa Cair …………………………………………… Pengukuran TPH Fasa Padat ………………………………………….. Pengukuran Populasi Bakteri………………………………………….. Pengukuran Kadar COD ………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan Pemeliharaan Spesies Bakteri…………………………………………. Pengujian Spesies Bakteri…………………………………………….. Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat…………………………… Pertumbuhan Bakteri dari Spesies Tunggal dan Campuran Selama Proses Biodegradasi………………………………………………… Nilai pH Spesies Tunggal dan Campuran………………………….. Nilai TPH Fasa Padat Spesies Tunggal dan Campuran…………….. Nilai TPH Fasa Cair Spesies Tunggal dan Campuran……………… Nilai COD Spesies Tunggal dan Campuran………………………… Simpulan……………………………………………………………………. Daftar Pustaka……………………………………………………………… Lampiran……………………………………………………………………

118 119 120 121 123 123 126 126 128

137 139 140 140 140 141 141 142 142 142 143 143 144 144 145 147 151 151 153 155 157 158 159 159 167

6 PEMBAHASAN UMUM…………………………………………………. Daftar Pustaka………………………………………………………………

169 179

7 SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………..

180

iii

DAFTAR TABEL Halaman 1.1

Perbandingan biaya berbagai teknologi remediasi tanah ………………..

3

2.1

Tegangan permukaan maksimum dan minimum dari larutan surfaktan…

24

2.2

Nilai pH surfaktan anionik dan nonionik pada variasi kecepatan pengadukan………………………………………………………………

30

3.1

Komposisi bioremediasi dengan teknik landfarming................................ 61

3.2

Persamaan regresi penurunan TPH dari berbagai perlakuan dengan Teknik landfarming.................................................................................... 73

3.3

Senyawa yang hilang pada akhir pengukuran selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming ………………………………..

81

Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan LMB dengan kompos…..

82

Uji konfirmasi isolat menggunakan senyawa model fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena......................................................................

117

3.4

4.1

4.2

Hasil uji aktifitas emulsifikasi dari supernatan isolat hasil isolasi............. 118

4.3

Hasil identifikasi molekuler 3 isolat unggul……………………………..

125

5.1

Komposisi media kaya dan media minimal...............................................

141

5.2

Hasil pengujian daya hambat 3 spesies unggul terhadap berbagai jenis minyak……………………………………………………………………

148

5.3

Kemampuan degradasi hidrokarbon oleh Pseudomonas dan Enterobacter............................................................................................... 153

6.1

Beberapa hasil penelitian teknologi biormediasi........................................ 174

6.2

Perbandingan teknik landfarming dan bioslurry………………………… 178

iv

DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1

Diagram alir kerangka pikir penelitian..................................................

13

2.1

Tegangan permukaan larutan surfaktan anionik………………..……..

25

2.2

Tegangan permukaan larutan surfaktan nonionik…………………….

25

2.3

Struktur molekul surfaktan LAS, NDS, Tween 80 dan Brij 35……….

26

2.4

Stabilitas emulsi LAS dan NDS pada berbagai konsentrasi..................

27

2.5

Stabilitas emulsi Tween 80 dan Brij 35 pada berbagai konsentrasi......

28

2.6

Perubahan tinggi busa maksimum dan tinggi busa setelah 5 menit pada perlakuan dengan LAS dan NDS……………………………….

29

Perubahan tinggi busa maksimum dan tinggi busa setelah 5 menit pada perlakuan dengan Tween 80 dan Brij 35……………………….

29

Pengaruh penambahan LAS dan NDS dan kecepatan pengadukan terhadap konsentrasi TPH fasa cair dan TPH fasa padat…………….

33

Pengaruh penambahan Tween 80 dan Brij 35 dan kecepatan pengadukan terhadap konsentrasi TPH fasa cair dan TPH fasa padat

33

2.1 0

Perubahan nilai COD pada surfaktan anionik dan pada surfaktan anionik terhadap kecepatan pengadukan……………………………..

34

3.1

Pencuplikan gas CO 2 dan NH 3 selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming…………………………………………………..... 62

3.2

Proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dari limbah minyak berat pada hari ke-3................................................................................ 64

3.3

Pertumbuhan populasi bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry......................................................................................

2.7

2.8

2.9

65

3.4

Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry…. 66

3.5

Perubahan nilai TPH fasa cair selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry......................................................................................

67

Penurunan TPH fasa padat selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry………………………………………………………..

68

3.6

v

3.7

Perubahan pH selama proses bioremediasi teknik landfarming pada berbagai perlakuan………………………………………………….. 68

3.8

Perubahan kadar air selama proses bioremediasi teknik landfarming pada berbagai perlakuan……………………………………………. 69

3.9

Perubahan suhu selama proses bioremediasi teknik landfarming pada berbagai perlakuan……………………………………………. 70

3.10 Perubahan Nilai TPH selama proses bioremediasi pada berbagai perlakuan.............................................................................................

72

3.11 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi terminal....................

74

3.12 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi subterminal..............

74

3.13 Degradasi benzena menjadi katekol melalui reaksi hidroksilasi aromatik...............................................................................................

75

3.14 Degradasi senyawa aromatik dua cincin (naftalen) menjadi katekol

76

3.15 Degradasi senyawa aromatik 3 cincin (fenantren) menjadi katekol

76

3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol……………………

77

3.17 Jalur pemecahan meta untuk katabolisme katekol…………………..

77

3.18

Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat pada awal perlakuan ............................................................................................

79

3.19 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat + kompos diakhir perlakuan..............................................................................................

80

3.20 Produksi gas CO 2 dengan teknik landfarming selama proses bioremediasi pada berbagai perlakuan……………………………..

83

3.21

4 .1

4.2

4.3

vi

Produksi gas NH 3 dengan teknik landfarming pada berbagai perlakuan…………………………………………………………….

86

Populasi mikroba pada campuran LMB dengan kotoran sapi dan kuda dan colony library pada medium marine agar…….....................................

115

Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model dibenzotiofena..........................................................................

116

Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model dibenzotiofena ............................................................................

116

4.4

Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model dibenzotiofena fluorena.......................................................... 116

4.5

Pemurnian isolat menggunakan metode gores pada senyawa dibenzotiofena, fluorena, dan fenantrena ……………………………

117

4.6

Pertumbuhan isolat bakteri pada media LMB 5%...........................

119

4.7

Perubahan pH isolat bakteri pada media LMB 5% .............................

120

4.8

Perubahan TPH fasa padat bakteri pada media LMB 5%.................

121

4.9

Persen degradasi isolat bakteri pada media LMB 5%.......................

122

4.10 Perubahan Nilai COD isolat bakteri pada media LMB 5%..............

123

4.11

Hasil purifikasi 3 isolat unggul dengan PEG precipitation method

124

5.1

Pertumbuhan bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis dan Ochrobactrum anthropi pada media minimal dengan menggunakan minyak diesel 5%......................................................... 145

5.2

Pengujian bakteri Ochrobactrum anthropi, Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis pada berbagai minyak………………………

147

5.3

Pengujian biodegradasi spesies bakteri dan campurannya pada konsentrasi 5% minyak diesel………………………………………. 150

5.4

Populasi bakteri dari spesies tunggal dan campuran............................ 152

5.5

Perubahan pH media fermentasi dengan menggunakan spesies tunggal dan campuran selama proses bioremediasi………………….

154

Persen TPH fasa padat dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari………………………………………………………………..

155

5.7

Persen degradasi dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari

156

5.8

Persen TPH fasa cair dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari.......................................................................................................

157

Perubahan nilai COD dari spesies tunggal dan campuran…………..

158

5.6

5.9

vii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 2.1

Penentuan densitas larutan LAS.........................................................

37

2.2

Penentuan densitas larutan NDS........................................................

37

2.3

Penentuan densitas larutan Tween 80………………………………

38

2.4

Penentuan densitas larutan Brij 35………………………………….

38

2.5

Penentuan tegangan permukaan LAS dengan metode Du Noűy……

39

2.6

Penentuan tegangan permukaan NDS dengan metode Du Noűy…… 39

2.7

Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode Du Noűy 39

2.8

Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode Du Noűy…

40

2.9

Pengukuran stabilitas emulsi LAS......................................................

41

2.10

Pengukuran stabilitas emulsi NDS………………………………….

41

2.11

Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80…………………………….

41

2.12 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35………………………………..

42

2.13

Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K2 Cr 2 O 7 42 0.0250 N..............................................................................................

2.14 Pengukuran busa LAS......................................................................... 43 2.15 Pengukuran busa NDS………………………………………………

44

2.16 Pengukuran busa Tween 80................................................................

45

2.17 Pengukuran busa Brij 35……………………………………………. 45 2.18

Pengukuran TPH fasa padat sampel awal........................................... 2.19 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada LAS dan NDS………………………………………………………………… 2.20 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada Tween 80 dan Brij 35 2.21 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan LAS 0.04%............

46

2.22 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan NDS 0.15%............

47

viii

46 46 47

2.23 Pengukuran TPH fasa cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35.........................................................

48

2.24

48

Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan LAS 0.04%..........

2.25 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan NDS 0.15%.......... 49 2.26 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35...................................................................................... 49 2.27 Pengukuran COD dengan penambahan LAS 0.04%..........................

50

2.28 Pengukuran COD dengan penambahan NDS 0.15%..........................

51

2.29 Pengukuran COD dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35.................................................................................................

52

2.30 Uji ANOVA nilai TPH fasa cair LAS dan NDS................................

53

3.1

Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming….

91

3.2

Nilai kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming…………………………………………………………. 92

3.3

Nilai suhu selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming

93

3.4

Nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming

94

3.5

Nilai persen degradasi selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming…………………………………………………………. 94

3.6

Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan akhir pengukuran…………………………………………………..

95

3.7

Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi pada awal pengukuran……..

97

3.8

Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di akhir pengukuran pada berbagai perlakuan…………………………………………………..

98

3.9

Perubahan area senyawa yang terdeteksi dengan GCMS selama proses bioremediasi…………………………………………………. 100

3.10 Konsentrasi gas CO 2 (mg/m3) selama proses bioremediasi dengan landfarming…………………………………………………………

104

Konsentrasi Gas NH 3 (μg/m3) selama proses bioremediasi dengan landfarming…………………………………………………………

105

3.11

ix

4.1

Komposisi media marine agar……………………………………… 128

4.2

Perubahan nilai TPC pada proses seleksi isolat..................................

129

4.3

Perubahan nilai pH pada proses seleksi isolat………………………

130

4.4

Perubahan nilai TPH fasa padat pada proses seleksi isolat................. 131

4.5

Perubahan persen degradasi pada proses seleksi isolat...................... 132

4.6

Perubahan nilai COD pada proses seleksi isolat……………………. 133

4.7

Pohon Filogenetik Bacillus altitudinis……………………………… 134

4.8

Pohon Filogenetik Ochobactrum anthropi………………………….

4.9

Pohon Filogenetik Salipiger sp. PR55-4……………………………. 135

134

4.10 Pohon Filogenetik 3 Isolat Campuran………………………………. 136 5.1

Komposisi media marine broth……………………………………..

162

5.2

Persen TPH fasa padat (%b/b) dari spesies tunggal dan campuran…

163

5.3

Persen TPH fasa cair (%b/v) dari spesies tunggal dan campuran….. 164

5.4

Persen degradasi TPH dari spesies tunggal dan campuran………….

5.5

Nilai COD (mg/mL) dari spesies tunggal dan campuran…………… 166

5.6

Nilai TPC(CFUg/mL) dari spesies tunggal dan campuran………….

167

5.7

Nilai pH dari spesies tunggal dan campuran………………………..

167

x

165

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak bumi merupakan sumber energi utama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat ini maupun pada masa yang akan datang. Permintaan terhadap minyak bumi semakin besar sejalan dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat yaitu sebesar 35000 juta ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ini akan meningkatkan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan serta penyimpanan. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi memproduksi 988000 barrel per hari pada tahun 2008 untuk memenuhi permintaan minyak dunia (Priyono 2009). Semakin besar produksi minyak bumi, semakin berpotensi untuk mencemari lingkungan bila minyak bumi tumpah atau terbuang ke lingkungan. Minyak bumi tersebut akan menjadi limbah yang dapat menjadi pencemar yang berbahaya dan beracun dan akan berpengaruh terhadap kehidupan tanaman, hewan maupun manusia. Limbah minyak bumi dapat berasal dari tumpahan, ceceran ataupun buangan dari minyak bumi maupun produk-produk yang dihasilkan, minyak bekas pakai, dan minyak yang terkandung dalam limbah dari suatu kegiatan industri. Limbah tersebut akan menimbulkan masalah apabila memiliki kandungan TPH lebih besar dari 1% dan total PAH lebih besar dari 10 ppm bila dibiarkan akan mengganggu dan merusak ekosistem lingkungan, bila dibakar akan menimbulkan pencemaran udara dan bila didaur ulang memerlukan teknologi dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu limbah minyak bumi bila terbuang ke lingkungan perlu ditanggulangi semaksimal mungkin (MenLH 2003). Apabila limbah tersebut tidak dikelola, maka akan menimbulkan masalah lingkungan yang tidak saja mengganggu keindahan alam tetapi dapat menimbulkan masalah yang lebih serius yaitu tercemarnya air, tanah dan udara. Akibat selanjutnya adalah terganggunya kehidupan makhluk di muka bumi bahkan dapat memusnahkan spesies atau komunitas tertentu (Anas 1998).

2

Problem pencemaran lingkungan akibat tingginya kegiatan produksi minyak bumi dan konsumsi bahan bakar minyak semakin terasa dampaknya. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan produksi minyak bumi dan konsumsi bahan bakar minyak terhadap lingkungan seperti emisi SO 2 , NO x , hidrogen sulfida, hidrokarbon, CO, CO 2 , gas metan, tumpahan minyak, efluen gas serta efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan pemanasan global secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup secara mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas tersebut tidak hanya menimbulkan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi, yang disebabkan oleh efek rumah kaca (green house effect) dan penipisan ozon. Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan asam, dan dampaknya menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme hidup (Yetti 2008). Bila hal ini tidak segera ditanggulangi, pada waktu singkat laju pencemaran akan menjadi tidak terkendali. Upaya-upaya penanggulangan pencemaran secara konvensional yang berdasarkan kepada proses mekanik, fisik, dan kimia, selama ini sering kurang memuaskan dan tidak memadai lagi (Udiharto 1992). Penanggulangan tumpahan minyak bumi secara fisika, biasanya digunakan pada awal penanganan. Pada penanganan ini tumpahan minyak bumi diisolasi secara cepat sebelum minyak bumi menyebar kemana-mana. Minyak bumi yang berkumpul di permukaan dapat diambil kembali misalnya dengan oil skimmer, sedangkan yang mengendap sulit diambil secara fisika. Pengambilan minyak di permukaan tidak dapat dilakukan secara tuntas. Apabila minyak sudah menyebar kemana-mana cara ini akan sulit dilakukan (Prince et al. 2003). Penanggulangan secara kimia dilakukan dengan mencari bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi minyak. Tetapi pemakaian senyawa kimia hanya bersifat memindahkan masalah, di satu pihak perlakuan dispersan dapat mendispersi minyak bumi sehingga menurunkan tingkat pencemaran, tetapi di lain pihak penggunaan dispersan telah dilaporkan bersifat sangat toksik pada biota laut (Fahruddin 2004).

3

Penanganan limbah minyak bumi secara fisika dan kimia tidak tuntas karena masih meninggalkan residu. Untuk itu salah satu alternatif yang dikembangkan saat ini adalah proses bioremediasi yang merupakan teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis. Bioremediasi relatif memiliki biaya penanganan yang lebih murah dibandingkan dengan teknologi alternatif lainnya serta sangat aman dan tidak merusak lingkungan (Morgan dan Watkinson 1994). Biaya remediasi tanah sangat tergantung pada teknologi yang digunakan, kisaran biaya dan nilai tengah biaya dari berbagai teknologi remediasi tanah berdasarkan Walter dan Crawford (1995) dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Perbandingan biaya berbagai teknologi remediasi tanah Kisaran biaya (US $/m3) Insinerasi 350-1600 Landfill 100-600 Thermal desorption 50-200 Pencucian tanah 125-350 Bioremediasi 40-150 Sumber : Walter dan Crawford (1995) Teknologi remediasi

Nilai tengah biaya (US $/m3) 975 350 125 237.5 95

Berdasarkan laporan Cookson (1995) tentang perbandingan efektivitas biaya terhadap metode-metode penanganan limbah yaitu insinerasi, landfill, thermal desorption, pencucian tanah dan bioremediasi per tahun per kubik yard, diketahui pada tahun pertama biaya yang bisa dihemat bila menggunakan bioremediasi adalah sekitar 67 % bila dibandingkan dengan insenerasi atau sekitar 74% bila dibandingkan dengan landfill. Selain biaya yang lebih murah, output yang dihasilkan tidak bersifat toksik dan ramah lingkungan karena proses bioremediasi menggunakan kemampuan mikroba untuk mendegradasi hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak bumi. Kemampuan suatu mikroba dalam mendegradasi suatu senyawa kompleks, merupakan refleksi dari kemampuan metabolik dari mikroba tersebut (Cookson 1995). Dalam sistem tanah-air, salah satu faktor penting yang mempengaruhi kecepatan biodegradasi minyak bumi adalah tingkat kelarutan. Untuk itu maka penggunaan senyawa seperti surfaktan atau biosurfaktan yang

4

dapat meningkatkan kelarutan hidrokarbon minyak bumi sangat diperlukan (Jacobussi et al. 2001). Wisjnuprapto et al. (2005) berhasil mengisolasi bakteri yang memiliki lapisan ekskret yang dapat berfungsi sebagai biosurfaktan yaitu bakteri dari genus Azotobacter.

Azotobacter sp mampu mengeksresikan beberapa jenis asam

organik seperti asam pantotenat, asam glukoronat dan senyawa eksopolisakarida (EPS) yang tersusun dari unit-unit glukosa, rhamnosa, galaktosa dan fruktosa. Senyawa-senyawa ini dapat berfungsi sebagai biosurfaktan. Hasil penelitian Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa penggunaan biosurfaktan yang diisolasi dari Pseudomonas sp akan memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak mentah dibandingkan dengan tanpa penambahan biosurfaktan. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Firdaus (2005) dengan menggunakan strain Pseudomonas aeruginosa BLCC 11060, Bacillus alvei BLCC 11042 dan Micrococcus varians BLCC 13044 terbukti toleran terhadap minyak bumi dan dapat memproduksi biosurfaktan yang potensial untuk hidrokarbon minyak bumi dan dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja sistem. Penelitian yang dilakukan oleh Helmy (2006) juga dapat membuktikan bahwa dengan penambahan surfaktan (Tween 80) dapat meningkatkan proses biodegradasi sludge minyak bumi oleh konsorsium bakteri petrofilik. Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan diatas menunjukkan bahwa dengan penambahan surfaktan akan mempengaruhi kinerja dari biodegradasi minyak bumi beserta turunannya oleh suatu bakteri. Hal tersebut diatas mendasari dilakukan penelitian pendahuluan dengan menggunakan surfaktan untuk meningkatkan dispersi limbah minyak bumi yang akan mempengaruhi kemampuan mikroba dalam melakukan degradasi minyak bumi. Kemampuan mikroba dalam mendegradasi hidrokarbon telah dieksploitasi sejak tahun 70-an dan 80-an pada lahan pertanian tempat pembuangan minyak. Mikroba yang digunakan dapat berupa kultur tunggal maupun kultur campuran yang mampu mendegradasi minyak bumi. Mikroba yang digunakan dalam mendegradasi limbah minyak biasanya memiliki kemampuan yang lebih tinggi jika digunakan sebagai kultur konsorsium atau kultur campuran. Menurut

5

Mangkoedihardjo (2005) mikroba pengurai minyak tidak bekerja secara individu/spesies tetapi berupa konsorsium multi spesies. Menurut Sanchez (2006), konsorsium adalah kelompok mikroba yang saling menguntungkan satu dengan lainnya dan melaksanakan proses dimana masing-masing organisme tidak dapat melakukannya secara terpisah. Konsorsium mikroba sering disebut juga dengan kultur

campur

(mixed

culture).

Konsorsium

mikroba

dibuat

dengan

mempertimbangkan bahwa antara mikroba yang merupakan anggota konsorsium tidak berkompetisi dalam melakukan suatu proses tertentu, melainkan diharapkan antara anggota konsorsium akan mempunyai kerja yang sinergis. Mikroba memanfaatkan bahan organik baik dalam bentuk limbah maupun nutrien pendukung lainnya untuk dijadikan sumber karbon atau energi. Keanekaragaman jenis mikroba memungkinkan untuk menguraikan ribuan jenis senyawa organik yang berbeda-beda. Setiap mikroba melakukan reaksi oksidasi dan reduksi dengan mekanisme yang spesifik. Kemampuan tiap-tiap mikroba yang berbeda-beda ini, apabila digabung dalam suatu kultur campuran diharapkan mempunyai kemampuan untuk mendegradasi senyawa organik yang sangat komplek. Penelitian yang dilakukan Ghazali (2004), dengan menggunakan konsorsium mikroba yang terdiri atas Pseudomonas aeruginosa, Bacillus sp. Micrococcus sp. dapat mendegradasi limbah minyak bumi yang terdiri atas senyawa hidrokarbon n-alkana dengan C10 hingga C28 selama 30 hari. Mikroba ini bekerja secara sinergis dengan memotong senyawa hidrokarbon pada tempat yang berbeda, kemudian menggunakan senyawa sederhana hasil degradasi sebagai sumber hidrokarbon dan energinya untuk proses degradasi berikutnya. Mikroba yang banyak hidup dan berperan di lingkungan hidrokarbon sebagian besar adalah bakteri (Kadarwati et al. 1994) dan kapang (Yuliar 1995). Bakteri yang dominan dalam mendegradasi hidrokarbon aromatik seperti fenol adalah spesies Pseudomonas, Mycobacterium, Acinobacter, Arthobacter, Bacillus (Alexander 1977). Menurut hasil penelitian dari lapangan minyak Cepu, Cirebon, Rantau dan Prabumulih diperoleh isolat unggul yaitu Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus coagulans (Anonim 1995). Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi

6

oleh nutrien, oksigen, pH, temperatur dan karakteristik tanah (Margesin dan Schinner 1997). Limbah minyak bumi yang dihasilkan dari industri minyak bumi dapat berupa limbah minyak ringan (light oil) dan limbah minyak berat (heavy oil). Chaerun et al. (2007) melaporkan bahwa limbah minyak berat dari tumpahan minyak Nakhodka dapat didegradasi oleh konsorsium bakteri selama 429 hari. Bakteri pendegradasi heavy oil ini bekerja pada pH basa-netral yaitu sekitar 7-7,8. Komponen hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat dari tumpahan minyak Nakhodka berada pada C 16 -C 32 . Selama proses bioremediasi dengan menggunakan konsorsium bakteri indigen, bakteri ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendegradasi C 16 -C 21 , dan kemampuan degradasinya menurun untuk senyawa hidrokarbon C 22 -C 32 . Sebagai upaya pemulihan lingkungan khususnya tanah yang tercemar limbah minyak berat, perlu diterapkan teknologi bioremediasi yang menggunakan bakteri pendegradasi hidrokarbon indigen, karena teknologi bioremediasi merupakan suatu teknologi yang ramah lingkungan, relatif murah, dan tidak memiliki dampak negatif terhadap biota yang ada di lingkungannya.

Potensi

kemampuan bakteri hidrokarbonoklastik (pendegradasi hidrokarbon) yang diisolasi dari konsorsium bakteri yang berasal dari limbah minyak berat, dan kotoran hewan perlu dipelajari melalui serangkaian penelitian sehingga dapat digunakan sebagai agen bioremediasi untuk mengatasi pencemaran limbah minyak berat pada lingkungan disekitarnya.

Untuk itu perlu dilakukan studi

bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat menggunakan konsorsium bakteri indigen untuk menanggulangi pencemaran lingkungan oleh limbah minyak bumi.

Permasalahan Limbah minyak bumi yang mengandung hidrokarbon dan beberapa unsur lain seperti sulfur, nitrogen, oksigen dan logam-logam termasuk logam berat diketahui bersifat racun terhadap makhluk hidup. Limbah minyak berat mengandung komponen-komponen hidrokarbon aromatik seperti benzena,

7

toluene, xylene, naftalena, fenantrena, dibenzotiofena, fluorena, dan sebagainya dapat menimbulkan permasalahan terhadap makhluk hidup, bila minyak bumi fraksi berat ini tumpah akibat aktivitas industri petroleum. Lingkungan yang tercemar oleh limbah minyak bumi terutama fraksi berat perlu mendapat penanganan yang sangat serius. Penanganan limbah minyak berat lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan jenis limbah minyak bumi yang lain, karena minyak bumi fraksi berat mengandung

hidrokarbon

aromatik

dan

hidrokarbon

berantai

panjang.

Hidrokarbon aromatik lebih sulit didegradasi oleh mikroba dibandingkan hidrokarbon alifatik. Oleh karena itu harus dicari teknik bioremediasi yang tepat agar degradasi hidrokarbon dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Demikian juga limbah minyak berat yang digunakan dalam penelitian merupakan limbah minyak berat yang bercampur dengan tanah liat sehingga dalam teknik bioremediasi yang digunakan memerlukan penanganan tersendiri. Tekstur limbah minyak berat yang liat menyebabkan pencampuran air atau tanah sulit untuk dilakukan, untuk itu dilakukan upaya meningkatkan kelarutan limbah minyak bumi dalam air dan dalam tanah dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan merupakan senyawa yang memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan. Lapisan antar-muka merupakan batas permukaan antara dua fasa yang berbeda yang tidak dapat menyatu. Kehadiran surfaktan dapat menurunkan energi antar permukaan sehingga antara kedua lapisan tersebut dapat menyatu. Tujuan penggunaan surfaktan dalam teknologi bioremediasi adalah untuk meningkatkan bio-availability senyawa polutan yang memiliki kadar solid yang tinggi sehingga dapat menjadikannya lebih terlarut dalam media. Bakteri yang digunakan sangat berperan penting dalam proses biodegradasi. Bakteri yang berperan dalam biodegradasi minyak bumi dan turunannya dapat berupa bakteri indigen ataupun eksogen, juga dapat berupa isolat tunggal atau konsorsium. Bakteri tunggal memiliki kemampuan yang terbatas dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon, sedangkan konsorsium bakteri memiliki tingkat degradasi yang tinggi untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon baik

8

hidrokarbon alifatik maupun aromatik. Bakteri konsorsium bekerja secara sinergis dalam mendegradasi senyawa hidrokabon yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi. Konsorsium bakteri yang digunakan untuk mendegradasi senyawa hirokarbon selama proses bioremediasi, dapat dilakukan dengan teknik teknik bioslurry dan landfarming. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ±8 bulan untuk menurunkan TPH ≈ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Mencari spesies bakteri yang berperan aktif dalam mendegradasi senyawa poliaromatik yang terdapat pada limbah minyak berat dan menguji kemampuan spesies bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon dalam bentuk tunggal dan campuran. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Mencari surfaktan yang mampu meningkatkan dispersi limbah minyak berat yang tercampur tanah liat, sehingga bakteri dapat efektif digunakan dalam proses biodegradasi. 2. Menentukan teknik bioremediasi yang efektif untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. 3. Mencari spesies bakteri yang berperan dalam proses biodegradasi senyawa hidrokabon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. 4. Menguji kemampuan spesies tunggal dan campuran (konsorsium bakteri) dalam mendegradasi hidrokarbon dari limbah minyak berat.

9

Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah melakukan bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat dengan menggunakan konsorsium bakteri. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendapatkan surfaktan yang terbaik untuk meningkatkan dispersi limbah minyak berat yang tercampur tanah liat kedalam fasa air agar proses biodegradasi berlangsung secara efektif. 2. Mendapatkan teknik bioremediasi yang paling efektif (bioslurry/landfarming) dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. 3. Mengisolasi, seleksi dan identifikasi bakteri yang berperan aktif dalam mendegradasi senyawa Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. 4. Menguji kemampuan isolat tunggal dan campuran bakteri dalam mendegradasi

senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat . Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat memberikan alternatif pemecahan pengolahan limbah minyak berat (minyak bumi fraksi berat) khususnya bagi dunia industri perminyakan dan lahan tercemar limbah minyak berat secara umum. 2. Memberikan manfaat praktis di bidang pengelolaan lingkungan dengan metode bioremediasi limbah minyak berat. 3. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang bioremediasi limbah minyak berat. 4. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang mikrobiologi lingkungan

10

Kebaruan Penelitian Bakteri sangat berpotensi sebagai agen bioremediasi pada pencemaran minyak bumi baik di tanah maupun di perairan. Penelitian mengenai potensi bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik alifatik maupun aromatik akibat tumpahan minyak bumi diperairan telah banyak dilakukan. Diantaranya adalah potensi bakteri laut pendegradasi poliaromatik hidrokarbon yang diisolasi dari air laut tercemar daerah pelabuhan Kumai. Uji tingkat biodegradasi terhadap senyawa fenantren dari isolat terpilih Pseudomonas sp Kalp3b22 dapat mendegradasi Fenantren sebesar 59,5% selama 29 hari kultivasi. Akan tetapi, hingga hari ke-29, bakteri ini tidak mampu mendegradasi fenantren secara total. Bakteri ini hanya mampu mendegradasi senyawa fenantren menjadi senyawa 1naftalenol (Murniasih et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Supriyati (2009), mengatakan bahwa mikroba laut Alkanivorax borkumensis M5 berperan dalam degradasi fenantren, tumbuh optimum pada salinitas 3,3 % , suhu 30oC dan pH mendekati netral (7.8) Kemungkinan isolat

M5

mampu

membentuk PHB (polyhydrxybutirate)

merupakan salah satu senyawa penting yang berperan sebagai elektron aseptor pada proses anaerobik-aerobik. Tantowi (2008) melaporkan bahwa Genus Alcanivorax dari kelas γ-proteobakteria yang berasal dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa alkana (parafin dan pristan) serta poliaromatik hidrokarbon (fenantren, dibenzotipfen, fluoren, fenotazin, piren dan fluoranten). Bakteri ini mampu mendegradasi parafin hingga bersisa sekitar 1-6% selama 9 hari inkubasi dan mendegradasi pristan hingga bersisa berkisar 40%. Silvia (2010) mengisolasi bakteri yang berasal dari ladang minyak Minas PT Chevron Pacific Indonesia. Ditemukan tiga spesies bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi hidrokarbon minyak bumi yaitu

Alcaligenes sp,

Bacillus sp dan Corynebacterium sp. Biodegradasi hidrokarbon minyak bumi selama tiga hari oleh masing-masing spesies bakteri yaitu bakteri Alcaligenes sp sebesar 33.95%, Bacillus sp sebesar 44.02% dan Corynebacierium sp sebesar 44.54%. Minyak bumi yang dihasilkan dari ladang minyak Minas tergolong

11

minyak ringan (light oil) yang mengandung senyawa hidrokarbon alifatik (parafin). Sedangkan limbah minyak bumi yang digunakan dalam penelitian adalah limbah minyak bumi yang dihasilkan dari lapangan minyak Duri PT Chevron Pacific Indonesia. Minyak bumi yang dihasilkan dari lapangan minyak Duri PT Chevron Pacific Indonesia ini tergolong minyak berat (heavy oil). Minyak berat mengandung senyawa aromatik yang sulit didegradasi oleh bakteri. Hanya bakteri tertentu yang dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat. Penelitian Suardana et al. (2002) yang menggunakan limbah minyak Duri menghasilkan biodegradasi limbah minyak bumi dengan cara bioremediasi konvensional sebesar 11.6%. Hasil biodegradasi cara tersebut dapat ditingkatkan menjadi maksimal sebesar 29% dengan penambahan konsentrasi surfaktan LAS 2.25% dan EM4 sebanyak 250 ml dalam waktu 31 hari. Penambahan surfaktan LAS menyebabkan Iuas permukaan antara minyak dengan air semakin besar sehingga mampu meningkatkan ketersediaan biologis kontaminan tersebut untuk keperluan metabolisme mikroba yang diindikasikan dengan adanya penurunan tegangan permukaan minyak bumi dan peningkatan persentase penurunan kadar TPH. Chaerun et al. (2007) melaporkan bahwa limbah minyak berat dari tumpahan minyak Nakhodka dapat didegradasi oleh konsorsium bakteri selama 429 hari. Hao dan Lu (2008) berhasil mengisolasi bakteri halofilik strain TM-1 dari ladang minyak Shengli (China). Bakteri halofilik strain TM-1 mampu mendegradasi minyak berat yang dihasilkan dari ladang minyak Shengli. Penelitian-penelitian diatas menghasilkan biodegradasi yang relatif masih rendah dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Untuk itu dilakukan penelitian biodegradasi senyawa hidrokarbon pada tanah tercemar limbah minyak berat menggunakan konsorsium bakteri ini untuk dapat memberikan informasi tentang:

12

1. Teknologi pretreatment tanah tercemar limbah minyak berat pada proses biodegradasi dengan teknik bioslurry. 2. Penemuan 3 spesies bakteri yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam merombak Poliaromatik Hidrokarbon (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, Ochrobactrum anthropi). Ruang Lingkup Penelitian Konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan (sapi dan kuda) dikembangkan pada media yang mengandung senyawa organik berupa minyak bumi mentah (minyak diesel). Konsorsium ini diterapkan pada bioremediasi tanah terkontaminasi minyak fraksi berat pada skala lab dan pilot.

Pada skala lab dipelajari aspek biodegradasi polutan terhadap jenis

konsorsium bakteri.

Pada skala pilot dikaji aspek teknik pengembangan

konsorsium bakteri, laju degradasi dengan pengaruh bioaugmentasi menggunakan spesies bakteri yang didapat dari limbah minyak berat dan kotoran hewan, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Kerangka Pemikiran Salah satu dampak negatif akibat adanya ekplorasi minyak bumi adalah limbah minyak bumi yang dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Limbah minyak bumi yang berupa limbah minyak berat mengandung senyawa aromatik yang bersifat toksik dan karsinogenik. Tanah yang terkontaminasi minyak bumi fraksi berat ini merupakan masalah yang cukup serius bagi industri yang melakukan penambangan minyak. Untuk itu harus dilakukan upaya pengelolaan sesuai dengan Kepmen LH No 128 Tahun 2003 yaitu pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis, sehingga TPH yang terkandung dalam tanah terkontaminasi kurang dari 1%. Pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis dilakukan karena cara ini lebih ekonomis dan ramah lingkungan dibandingkan dengan cara kimia maupun fisika. Menurut Yetti (2008), dampak yang harus dikelola dan dipantau dalam mencegah kerusakan lingkungan terdapat dalam RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan

13

Hidup) yang disusun pada dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Akan tetapi dalam dokumen tersebut tidak disebutkan teknologi yang digunakan untuk membersihkan

lingkungan dari tanah yang

tercemar

limbah minyak bumi. Oleh karena itu pada penelitian ini, untuk meremediasi tanah tercemar minyak bumi dilakukan melalui proses teknologi bioremediasi dengan teknik bioslurry dan landfarming menggunakan konsorsium bakteri. Limbah minyak bumi yang mengandung fraksi berat hidrokarbon ini lebih sulit untuk didegradasi oleh bakteri, sehingga diperlukan konsorsium bakteri yang memiliki kinerja tinggi dalam melakukan proses biodegradasi. Untuk itu dilakukan pengembangan konsorsium bakteri yang mampu mendegradasi minyak bumi fraksi berat dan mempelajari teknologi bioremediasi (landfarming dan bioslurry) pengolahan tanah terkontaminasi minyak bumi fraksi berat. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 dibawah ini.

Aktifitas Penambangan Minyak Bumi

Pengelolaan

Bioteknologi

Limbah Minyak Bumi Fraksi Berat Kelarutan Minyak Bumi Fraksi Berat

Kepmen LH No 128 Tahun 2003 tentang tata cara persyaratan teknis pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis

Bioremediasi dengan menggunakan mikroba

Spesies bakteri

Konsorsium bakteri Pengolahan Limbah Minyak Berat dengan Teknologi Bioslurry

Pengolahan Limbah Minyak Berat dengan Teknologi Landfarming

Teknik Bioremediasi yang efektif Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian

14

DAFTAR PUSTAKA Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York Anas I. 1998. Bahan Kuliah Bioteknologi Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. IPB. Bogor Anonim 1995. Karakteristik beberapa mikroba lapangan minyak Indonesia dalam perspektif MEOR. Kumpulan makalah simposium III Lemigas. Jakarta Chaerun SK, Asada R, Tazaki K. 2007. Biodegradation of heavy oil the Nakhodha oil spill by indigenous microbial consortia. International journal of applied environmental sciences. Volume 2: 1 (pp 19-30) Cookson JT. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. New York. Mc. Graw-Hill. Fahruddin. 2004. Dampak tumpahan minyak pada biota laut. www.kompas.co/kompas-cetak/0403/17/ilpeng/918248.html [20 mei 2008]. Firdaus M. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Pendegradasi Minyak Bumi. Institut Teknologi Bandung. (Tidak dipublikasikan) Ghazali FM. 2004. Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons by Microbial Consortia. Faculty of Science and Environmental Studies. Universiti Putra Malaysia. Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi Kasus Bioremediasi pada Tumpahan Minyak-Hidrokarbon yang Mencemari Suatu Lokasi Tumpahan Minyak Mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India. Hao R, Lu A. 2008. Biodegradation of Heavy Oils by Halophilic Bacterium. Progress in Natural Science 19: 997-1001 Helmi Q. 2006. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Biodegradasi Sludge Minyak Bumi oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik [Tesis]. Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. ITB. Jacobucci DFC, Vasconcflos CK, Matsuura AB, Falconi FA, Durrant LR. 2001. Degradation of Diesel Oil by Biosurfactant-Producing Bacteria Strains. Campinas States University-Unicamp. Brazil. Kadarwati S, Udiharto M, Legowo EH, Bagio E, Rahman M, Jasjfi E. 1994. Aktivitas Mikroba dalam Transformasi Substitusi di Lingkungan Hidrokarbon. Lembaran Publikasi Lemigas, Jakarta. 2:28-38.

15

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup. Mangkoedihardjo S. 2005. Seleksi teknologi pemulihan untuk ekosistem laut tercemar. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan. Institut Teknologi 10 November Surabaya. Margesin R, Schinner F. 2001. Bioremediation (Natural attenuation and biostimulation) of diesel-oil-contaminated soil in an Alpine glacier skiing area. Appl. Environ. Microbiol. 67(7):3127-3133 Morgan P, Watkinson RJ. 1994. Biodegradation of Component Petroleum. C. Railedge (ed). Biochemistry of Microbial Degradation. Kluwer Academic Publishers, Belanda. Murniasih T, Yopi, Budiawan. 2009. Biodegradasi Fenantren oleh Bakteri Laut Pseudomonas sp KalP3b22 Asal Kumai Kalimantan Tengah. Makara Sains. 13(1): 77-80

Prince RC, Clark JR, Lee K. 2003. Bioremediation Effectiveness: Removing Hydrocarbons While Minimizing Environmental Impact. 9th International Petroleum Environmental Conference, IPEC (Integrated Petroleum Environmental Consortium), Albuquerque, NM. Priyono R. 2008. Target 2008 tercapai, 202 sumur ekplorasi dibor tahun 2009. Buletin BPMIGAS No 54. Hal 3-5. Sanchez O. 2006. A consortium of bacteria to degrade petrol. Departement de Genetica de Microbiologia, Universitat Autonoma de Barcelona. Silvia S. 2010. Biodegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi Menggunakan Isolat Bakteri dari Limbah Minyak Bumi PT Chevron Pacific Indonesia [Skripsi]. Teknik Lingkungan Universitas Andalas Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta Supriyati D. 2009. Biodegradasi Fenantren oleh Mikroba Laut M5 (Alcanivorax Borkumensis) yang diisolasi dari Teluk Jakarta. J. Biol. Indon. 6 (1):143151

16

Thontowi A. 2008. Potensi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon Alkana sebagai Agen Bioremediasi Pencemaran Minyak di Laut Indonesia [Tesis]. Program Studi Bioteknologi IPB Udiharto M. 1992. Aktivitas Mikroba dalam Degradasi Minyak Bumi. Diskusi Ilmiah VIII. Jakarta. PPPTMGB LEMIGAS. Walter MV, Crawford RL. 1995. Overview : Biotransformation and Biodegradation. dalam Hurst CJ. Manual of Environmental Microbiology. ASM Press, Washington DC. Wisjnuprapto, Kardena E, Suryaatmana P, Gladys S, Kristanti N. 2005. Bioremediation of Petroleum Oil Contaminated Soils. Proceeding of the COE Joint Symposium on Environmental Engineering between Hokkaido University, Chungbuk National University and Bandung Institut of Technology. Sapporo. Japan Yuliar G, Kartina, Sugiarto A. 1995. Inventarisasi kapang pendegradasi petroleum. Laporan teknik penelitian, pengembangan, dan pendayagunaan biota Indonesia Pusat penelitian dan pengembangan biologi. LIPI. Bogor. Yetti Y. 2008. Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha MIGAS. [Disertasi]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasajana IPB.

BAB II PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT KE DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN ABSTRAK Proses degradasi limbah minyak berat oleh bakteri terjadi jika bakteri dapat memanfaatkan hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat sebagai sumber karbon. Untuk terjadinya degradasi harus ada kontak antara bakteri dan hidrokarbon itu sendiri. Penambahan surfaktan dapat meningkatkan dispersitas limbah minyak berat dalam matriks tanah kedalam air sehingga dapat memudahkan kontak antara bakteri dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Pada penelitian ini, surfaktan yang dikaji adalah surfaktan anionik (Linear Alkil Sulfonat (LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS)) dan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35). Parameter yang diamati adalah konsentrasi surfaktan dan laju pengadukan. Konsentrasi surfaktan ditentukan dari nilai tegangan permukaan dan stabilitas emulsi. Stabilitas emulsi tertinggi yaitu sebesar 1.58% didapatkan dari penambahan surfaktan LAS pada konsentrasi 0.04%. Laju pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140 rpm. Laju pengadukan optimum diperoleh pada kecepatan pengadukan 140 rpm, hal ini didasarkan pada nilai TPH pada fasa cair. Nilai TPH fasa cair pada laju 140 rpm untuk LAS dan NDS masing-masing adalah 1.33% dan 1.68%. Sedangkan untuk Tween 80 dan Brij 35 adalah 0.40% dan 0.74%. Nilai TPH fasa cair menggambarkan banyaknya minyak yang terdispersi ke dalam air. Parameter lain seperti TPH fasa padat dan chemical oxygen demand (COD) yang diperoleh untuk laju 140 rpm adalah 10.20% dan 33258 mg/L untuk LAS, sedangkan untuk NDS sebesar 9.12% dan 35909 mg/L. Untuk Tween 80 adalah 15.56% dan 41235 mg/L, sedangkan untuk Brij 35 sebesar 16.55% dan 41717 mg/L. Surfaktan LAS pada kosentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS, Tween 80 dan Brij 35.

19

PENDAHULUAN Biodegradasi limbah minyak bumi

merupakan suatu proses yang

kompleks, dan tergantung kepada komunitas bakterinya, kondisi lingkungan dan limbah minyak bumi yang akan didegradasi. Limbah minyak bumi yang digunakan adalah limbah minyak berat (minyak bumi fraksi berat) yang terdapat

pada

biodegradasi

bongkahan-bongkahan menggunakan

bakteri

tanah,

sehingga

diperlukan

dalam

penanganan

proses khusus.

Biodegradasi limbah minyak bumi di lingkungan air terjadi pada bagian antarmuka lapisan air dan minyak. Oleh karena itu, biodegradasi akan lebih cepat terjadi bila limbah minyak tersebut dalam bentuk terdispersi dalam air. Kondisi ini akan memudahkan penyediaan oksigen dan unsur-unsur makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba (Udiharto 1996). Bakteri dapat bekerja jika terdapat kontak dengan senyawa hidrokabon. Dalam proses tersebut terjadi penguraian hidrokarbon oleh bakteri yang telah teradaptasi dengan baik di lingkungan tersebut. Dispersi minyak bumi ke dalam medium air lebih mudah terjadi bila ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya. Surfaktan dapat mengikat minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain surfaktan juga dapat mengikat air yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat memudahkan kontak antara mikroba dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik dan nonionik karena surfaktan anionik dan nonionik umumnya bersifat biodegradabel, tidak bersifat toksik terhadap mikroba, dan harganya relatif murah (Kosswig dan Marl 2003) jika dibandingkan dengan surfaktan kationik yang bersifat toksik terhadap mikroba (Tharwat 2005). Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penambahan surfaktan anionik dan nonionik yang disertai pengadukan agar membantu kecepatan dispersi limbah minyak bumi ke dalam air sehingga mempercepat proses degradasi. Penelitian bertujuan menentukan konsentrasi optimum surfaktan anionik dan nonionik sebagai pendispersi limbah minyak bumi dalam air serta laju pengadukan optimum yang mendukung dipersi limbah minyak bumi dalam air.

20

METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah surfaktan anionik, yaitu LAS dan NDS, surfaktan nonionik, yaitu Tween 80 dan Brij 35, heksana, silika gel, Na 2 SO 4 anhidrat, 5% (b/v) limbah minyak berat yang berasal dari lapangan minyak di Duri Riau, larutan K2 Cr 2 O 7 , ferroamonium sulfat, H 2 SO 4 pekat, K 2 Cr 2 O 7 -HgSO 4 , Ag 2 SO 4, dan H 2 SO 4 . Alat-alat yang digunakan adalah alatalat gelas, hot plate, waterbath, ultrasonic homogenizer, oven, magnetic stirrer , turbidimeter, piknometer dan surface tensiometer Model 20. Prosedur Analisis Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan Surfaktan Piknometer kosong ditimbang, lalu diisi dengan akuades sampai penuh dan ditimbang kembali. Bobot akuades merupakan selisih antara bobot piknometer yang berisi akuades dengan bobot piknometer kosong. Untuk penentuan bobot jenis surfaktan dilakukan dengan prosedur yang sama seperti bobot jenis akuades, pada suhu yang sama. Pengukuran Tegangan Permukaan Surfaktan (ASTM 2001) Surfaktan LAS dilarutkan dalam akuades dengan ragam konsentrasi 0.01, 0.02, 0.03, 0.06, 0.13, 0.25, dan 0.50 (% b/v). Surfaktan NDS dilarutkan dalam akuades dengan ragam konsentrasi 0.10, 0.15, 0.20, 0.25, 0.30, 0.35, dan 0.40 (% b/v). Surfaktan Tween 80 dan Brij 35 dilarutkan dalam akuades dengan ragam konsentrasi 0.0025, 0.0050, 0.0075, 0.01, 0.0125, 0.015, 0.0175, 0.02, 0.0225, 0.025, 0.0275, 0.03, 0.035 dan 0.04 (% b/v). Cincin Pt-Ir yang bersih dikaitkan pada kail. Sebanyak 40 mL dispersi dipindahkan ke dalam gelas kimia dan ditempatkan sampai

cairan ada

inchi. Tangan torsi diatur dengan

pada

meja

di bawah cincin dilepaskan

dan

sampel. Meja

sampel

digerakkan

Pt-Ir. Cincin

tercelup

sekitar 1/8

alat

diatur

ke

posisi nol,

posisi

tombol putar bagian kanan sampai garis dan jarum penunjuk

berimpit. Tombol putar di bawah skala depan diputar sampai skala vernier pada skala luar dimulai dari nol. Meja sampel diturunkan sampai cincin berada di permukaan cairan. Permukaan cairan akan menjadi gelembung, kemudian

21

dilanjutkan dengan dua pengaturan bersama sampai lapisan gelembung pada permukaan cairan pecah. Skala yang terbaca pada titik pecah lapisan gelembung adalah tegangan permukaan terukur. Pengukuran Busa Larutan Surfaktan (ASTM 2002) Dari stok surfaktan anionik (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35) dibuat lima konsentrasi yang memiliki nilai tegangan permukaan mendekati konsentrasi misel kritis (KMK), kemudian 20 mL surfaktan dengan masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam botol khusus (volume 500 mL). Botol tersebut ditempatkan pada waterbath (25 ± 1ºC) selama 1 jam. Suhu dalam waterbath diukur dan diatur menjadi 25 ± 1ºC. Botol dikeluarkan dari penangas dan ditandai tinggi cairan 1 mm di atas permukaan cairan (I). Tanda kedua dibuat 10 mm lebih tinggi dari tanda pertama. Botol tersebut dikocok dengan kuat (minimal 40 kali) dalam waktu kurang dari 10 detik. Tinggi total busa ditandai (1 mm di atas permukaan busa), tinggi ini disebut dengan tinggi total busa pada waktu nol (M). Pencatat waktu dinyalakan. Botol diletakkan di meja dan dicatat waktu turunnya busa sampai tanda kedua. Jika tinggi busa melebihi tanda 10 mm tersebut, tinggi busa dicatat sebagai tinggi total setelah 5 menit (R). Suhu pengukuran dicatat. Tinggi busa maksimal (F M ) dan tinggi busa setelah 5 menit (FR ) dihitung dengan rumus sebagai berikut: F M = M-I F R = R-I Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap Stabilitas Emulsi Dari stok surfaktan anionik (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35) dibuat lima konsentrasi yang memiliki nilai tegangan permukaan mendekati konsentrasi misel kritis (KMK), kemudian 50 mL surfaktan dengan masing-masing konsentrasi tersebut dicampurkan dengan 14.7059 gram tanah tercemar minyak bumi. Larutan tersebut dihomogenkan dengan menggunakan ultrasonic homogenizer masing-masing selama 5 menit pada frekuensi 25 kHz, kemudian diukur turbiditasnya dengan menggunakan turbidimeter. Setiap emulsi yang sudah dibuat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus selama

22

45 menit pada kecepatan 2000 rpm, kemudian diukur kembali turbiditasnya dengan menggunakan turbidimeter. Stabilitas emulsi dihitung dengan rumus sebagai berikut: % Stabilitas emulsi =

turbiditas akhir emulsi X 100% turbiditas awal emulsi

Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Dispersi Minyak dalam Air Sebanyak 200 mL larutan surfaktan (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35) dengan konsentrasi stabilitas emulsi paling tinggi kemudian dicampur dengan 58.8235 gram tanah tercemar minyak bumi kemudian diaduk dengan magnetic stirrer dan diatur kecepatan pengadukan dengan laju 100, 120, dan 140 (rpm) selama 1 jam. Masing-masing perlakuan dianalisis TPH fasa padat, TPH fasa cair, pH, dan COD. Pengukuran TPH Fasa Padat (US EPA Method 1998) Tanah tercemar minyak bumi sebanyak 5 gram diekstraksi dengan Soxhlet menggunakan 100 mL heksana. Kandungan air pada ekstrak dihilangkan dengan menambahkan Na 2 SO 4 anhidrat, kemudian disaring. Pelarut diuapkan setelah itu dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C. Sampel hasil pengeringan dilarutkan kembali dengan 100 mL heksana dan ditambahkan silika gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan kembali dan dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C, bobot yang terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai TPH dihitung dengan rumus sebagai berikut: %TPH (g/g) =

bobot min yak bobot sampel awal

x 100%

Pengukuran TPH Fasa Cair (US EPA Method 1999) Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan tanah tercemar minyak bumi disaring kemudian diekstrak dengan corong pisah menggunakan 25 mL heksana sebanyak dua kali. Kandungan air pada ekstrak dihilangkan dengan menambahkan Na 2 SO 4 anhidrat, kemudian disaring. Pelarut

23

diuapkan setelah itu dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C. Sampel hasil pengeringan dilarutkan kembali dengan 50 mL heksana dan ditambahkan silika gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan kembali dan dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C, bobot yang terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai TPH dihitung dengan rumus sebagai berikut %TPH (g/mL) =

bobot min yak bobot sampel

x 100%

Pengukuran pH Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan tanah tercemar minyak bumi dimasukkan ke dalam gelas piala 100 mL kemudian dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan indikator pH universal. Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah pengadukan. Pengukuran COD (Clesceri et al. 2005) Sebanyak 10 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung COD, ditambahkan 5 mL larutan campuran kalium dikromat-merkuri, ditambahkan 10 mL larutan campuran asam sulfat-perak sulfat dan campuran diaduk kemudian ditutup. Tahap diatas diulangi pada 10 mL air suling sebagai blanko. Setelah masing-masing unit pengaman pada tutup dipasang, tabung dimasukkan ke dalam oven pada suhu 150°C. Setelah 2 jam, tabung COD dikeluarkan dari dalam oven dan dibiarkan hingga dingin. Campuran dari tabung COD dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer 100 mL dan dibilas dengan 10 mL air suling. 2 mL asam sulfat pekat dan 3 tetes larutan indikator feroin ditambahkan secara berturut-turut ke dalam campuran. Campuran dititrasi dengan larutan baku fero amonium sulfat 0.05 N yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi merah coklat lalu dicatat volume pemakaian larutan baku fero amonium sulfat. Nilai COD dapat dihitung dengan menggunakan rumus: COD (mg/L) = ( A − B ) x N x1000 x BE oksigen xfp Volume sampel (mL )

A = volume FAS yang terpakai (blanko) B = volume FAS yang terpakai (sampel)

24

HASIL DAN PEMBAHASAN Tegangan Permukaan Larutan Surfaktan Pengukuran tegangan permukaan larutan surfaktan anionik dan nonionik ini menggunakan metode cincin du Nouy. Prinsip metode cincin Du Noűy adalah gaya yang diperlukan untuk menarik cincin sebanding dengan tegangan permukaan. Nilai tegangan permukaan larutan surfaktan anionik dan nonionik dikoreksi dengan hasil pengukuran bobot jenis atau densitas larutan surfaktan yang dapat dilihat pada Lampiran 2.1 sampai Lampiran 2.4. Hasil pengukuran tegangan permukaan yang terlampir pada Lampiran 2.5 sampai Lampiran 2.8 menunjukkan bahwa penurunan tegangan permukaan maksimum untuk LAS diperoleh pada konsentrasi 0.06% dan untuk NDS diperoleh pada konsentrasi 0.20%, sedangkan untuk Tween 80 dan Brij 35 diperoleh pada konsentrasi 0.0175% (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Tegangan permukaan maksimum dan minimum dari larutan surfaktan Surfaktan LAS

NDS

Tween 80

Brij 35

Konsentrasi(% b/v) 0.00 0.01 0.06 0.00 0.10 0.20 0.00 0.0025 0.0175 0.00 0.0025 0.0175

Tegangan Permukaan(dyne/cm) 72.93 62.95 28.99 71.62 31.77 25.10 71.71 71.34 49.50 71.71 49.77 31.29

Dari grafik pada Gambar 2.1 dan 2.2 terlihat mula-mula terjadi penurunan tegangan permukaan yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena molekulmolekul surfaktan teradsorpsi pada antar-muka sistem yang tidak saling campur (air-minyak-tanah). Jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan lagi, maka sebagian molekul-molekul surfaktan akan membentuk misel, yaitu gerombol kecil molekul yang bagian hidrofobiknya (nonpolar) berada di bagian tengah dan bagian

25

hidrofiliknya (polar) berada di bagian luar. Misel-misel itu tersolvasi oleh molekul air. Oleh karena itu, kenaikan konsentrasi surfaktan akan meningkatkan jumlah

Tegangan Permukaan (dyne/cm)

misel yang terbentuk, sehingga tegangan permukaan menjadi semakin rendah.

80 60 40 20 0 0,00

0,20

0,40

0,60

Kosentrasi (%) Gambar 2.1 Tegangan permukaan larutan LAS (■) dan NDS (♦)

Tegangan Permukaan (dyne/cm)

80 60 40 20 0 0

0,01

0,02

0,03

0,04

Kosentrasi (%) Gambar 2.2 Tegangan permukaan larutan Tween 80 (●) dan Brij 35 (▲) Konsentrasi surfaktan pada saat pertama kali terbentuk misel disebut konsentrasi misel kritis (KMK). Pada saat KMK terjadi nilai tegangan permukaan hampir mencapai jenuh. Pada konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi, hampir semua molekul surfaktan membentuk misel dan hanya sedikit molekul yang

26

teradsorpsi pada antar-muka sistem air-minyak-tanah, sehingga hanya sedikit terjadi penurunan tegangan permukaan. Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan bahwa tegangan permukaan tanpa penambahan surfaktan adalah yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena air memiliki tegangan permukaan yang lebih besar 72.75 dyne/cm (Atkins 1999) dibandingkan larutan surfaktan dan kebanyakan cairan lain karena gaya kohesinya yang lebih besar berdasarkan ikatan hidrogennya. KMK LAS terjadi pada konsentrasi yang lebih rendah (0.06%) dibandingkan dengan KMK NDS, Tween 80, dan Brij 35, disebabkan karena perbedaan struktur LAS dengan struktur surfaktan yang lainnya (Gambar 2.3). Struktur LAS mengandung benzena sedangkan NDS, Tween 80 dan Brij 35 strukturnya hanya berupa rantai alkil linier. Adanya benzena pada struktur LAS akan menstabilkan muatan pada gugus polar sehingga LAS lebih mudah larut pada sistem air-minyak-tanah. O

CH3

-

O S +

O

Na

CH3

Linear alkilbenzena sulfonat (LAS) O

Tween 80

O S

H3C

O

-

+

O Na

Natrium dodesil sulfat (NDS)

Brij 35

Gambar 2.3 Struktur molekul surfaktan LAS, NDS, Tween 80 dan Brij 35

27

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada Stabilitas Emulsi Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk melihat pengaruh stabilitas emulsi didasarkan pada nilai tegangan permukaan yang terkecil, yaitu 28.99 dyne/cm untuk LAS pada konsentrasi 0.06% dan 25.10 dyne/cm untuk NDS pada konsentrasi 0.20%. 49.58 dyne/cm untuk Tween 80 dan 31.29 dyne/cm untuk Brij 35 pada konsentrasi 0.0175%. Hasil pengukuran stabilitas emulsi dari dispersi limbah minyak berat yang dihomogenkan selama 5 menit pada frekuensi 25 kHz dan disentrifus selama 45 menit pada kecepatan 2000 rpm, kemudian diukur nilai kekeruhannya hanya mengubah stabilitas emulsi sedikit saja (Lampiran 2.9-2.12). Namun terlihat adanya kenaikan stabilitas emulsi sampai suatu titik, kemudian stabilitas emulsi cenderung tetap. Untuk surfaktan anionik, stabilitas emulsi maksimum pada LAS adalah 1.58% pada konsentrasi 0.04% dan untuk NDS adalah 0.45% pada konsentrasi 0.15%. Sedangkan untuk surfaktan nonionik, stabilitas emulsi maksimum untuk Tween 80 sebesar 0.24% pada konsentrasi 0.0175% dan Brij 35 sebesar 0.22% pada konsentrasi 0.0150%. Jika nilai ini dibandingkan dengan pengukuran tegangan permukaan sebelumnya, yaitu nilai KMK untuk LAS sekitar 0.06%, sekitar 0.20% untuk NDS, dan sekitar 0.0175% untuk Tween 80 dan Brij 35 (Tabel 2.1), hasil yang diperoleh sesuai dengan sifat surfaktan bahwa efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan

Stabilitas Emulsi (%)

permukaan tercapai di sekitar titik KMK. 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

Kosentrasi (%) Gambar 2.4 Stabilitas emulsi LAS (■) dan NDS (♦) pada berbagai kosentrasi

28

Gambar 2.4 dan 2.5 pada awalnya menunjukkan adanya kenaikan stabilitas emulsi, hal ini disebabkan karena molekul-molekul surfaktan teradsorpsi pada antarmuka air dan minyak. Adsorpsi ini terjadi berdasarkan pergerakan gugus hidrofobik untuk mencegah kontak dengan air dan mengarah ke minyak karena tarik-menarik antara minyak dan gugus hidrofobik, sedangkan gugus hidrofilik dari molekul surfaktan tarik-menarik dengan air. Adsorpsi yang terjadi ini menurunkan tegangan permukaan antarmuka minyak-air sehingga meningkatkan kestabilan emulsi yang terbentuk. Pada saat misel terbentuk, tegangan antarmuka minyak-air telah jenuh sehingga yang teradsorpsi pada antarmuka minyak-air juga lebih sedikit. Akibatnya kemampuannya dalam menurunkan tegangan antarmuka juga lebih kecil atau tidak mampu lagi menurunkan tegangan antarmuka sehingga stabilitas emulsi tetap setelah mencapai maksimum.

Stabilitas Emulsi (%)

0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0

0,005

0,01

0,015

0,02

0,025

Kosentrasi (%) Gambar 2.5 Stabilitas emulsi Tween 80 (●) dan Brij 35 (▲) pada berbagai kosentrasi Dari ke-4 surfaktan yang digunakan pada penelitian ini, surfaktan LAS memiliki stabilitas emulsi tertinggi yaitu sebesar 1.58% pada konsentrasi yang lebih rendah dari NDS yaitu pada konsentrasi 0.04%. Pengukuran Tinggi Busa Untuk melihat pembentukan busa pada surfaktan ini digunakan metode shaker. Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk pengukuran tinggi busa sama dengan

29

pengukuran stabilitas emulsi. Hasil pengukuran tinggi busa dari larutan surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan 2.7. Dari hasil tersebut terlihat semakin tinggi konsentrasi surfaktan, maka semakin tinggi busa yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena semakin rendah konsentrasi, maka nilai viskositas larutan akan semakin kecil, faktor inilah yang menyebabkan pembentukan busa pada konsentrasi rendah semakin sedikit. Nilai viskositas yang rendah akan mempermudah tumbukan antar lapisan tipis yang berdekatan. Tinggi busa maksimum untuk LAS yaitu 5.33 cm pada konsentrasi 0.10%, sedangkan untuk NDS yaitu 11.80 cm pada konsentrasi 0.25%, dan secara keseluruhan, tinggi busa

12 10 8 6 4 2 0

Tinggi Busa (cm)

Tinggi Busa (cm)

Tween 80 lebih besar dibandingkan dengan Brij 35 (Lampiran 2.14-2.17). 12 10 8 6 4 2 0

0,02 0,04 0,06 0,08 0,10

0,15

0,2

0,25

Konsentrasi LAS (%)

Konsentrasi NDS (%)

(a)

(b)

Gambar 2.6 Perubahan tinggi busa maksimum (■) dan tinggi busa setelah 5 menit (■) pada perlakuan dengan LAS (a) dan NDS (b) Tinnggi busa (mm)

Tinggi busa (mm)

25 20 15 10 5 0

25 20 15 10 5 0

0.0125 0.0150 0.0175 0.020 0.0225

0.0125 0.0150 0.0175 0.020 0.0225

Konsentrasi Tween 80 (%)

Konsentrasi Brij 35 (%)

(a)

(b)

Gambar 2.7 Perubahan tinggi busa maksimum (■) dan tinggi busa setelah 5 menit (■) pada perlakuan dengan Tween 80 (a) dan Brij 35 (b)

30

Hal ini disebabkan perbedaan jumlah atom karbon pada kedua surfaktan. Molekul LAS dan Tween 80 memiliki atom karbon lebih banyak dibandingkan dengan NDS dan Brij 35. Jumlah atom karbon yang semakin banyak akan menyebabkan semakin banyak jumlah lapisan tipis yang terbentuk dan hal ini akan berakibat pula pada semakin banyaknya jumlah gas atau udara yang terjerap dalam lapisan tipis tersebut, sehingga busa yang terbentuk akan semakin banyak. Pengukuran pH pada Variasi Kecepatan Pengadukan Nilai pH diukur pada kecepatan pengadukan 100 rpm, 120 rpm dan 140 rpm. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah pengadukan, untuk mengamati perubahan pH terhadap kecepatan pengadukan yang dilakukan. Tabel 2.2

Nilai pH surfaktan anionik dan nonionik pada variasi kecepatan pengadukan

Kecepatan Pengaduka n (rpm) 100 120 140 Kecepatan Pengaduka n (rpm)

pH sebelum pengadukan Surfaktan Anionik Surfaktan Nonionik Blanko 6 5 5

LAS 5 6 6

NDS Blanko T80 B35 5 4 4 4 6 4 4 4 6 4 4 4 pH setelah pengadukan Surfaktan Anionik Surfaktan Nonionik

Blanko LAS NDS Blanko T80 100 6 5 5 4 3 120 5 5 5 4 4 140 5 5 5 4 4 Keterangan: B = blanko, L = 0.04% LAS, N = 0.15% NDS T80 = Tween 80 (0.0175%), B35 = Brij 35 (0.0150%)

B35 3 4 4

Tabel 2.2 menunjukkan perubahan pH sebelum dan sesudah proses pengadukan. Dari Tabel 2.2 terlihat bahwa pengadukan berpengaruh terhadap nilai pH. Nilai setelah pengadukan lebih kecil dibandingkan sebelum pengadukan. Kecepatan pengadukan diatas 140 rpm tidak berpengaruh terhadap nilai pH (Lampiran 2.19-2.20). Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi oleh nilai pH yang terjadi pada lingkungan tersebut (Zhu et al., 2001). Nilai pH berhubungan dengan jumlah

31

asam yang terkandung dalam tanah. Mayoritas mikrorganisme tanah akan tumbuh dengan subur pada pH antara 6 sampai 8. Nilai pH pada semua tanah yang diberi perlakuan tersebut hanya berkisar antara 6 - 5. Pada rentang pH ini, mikroba yang berada pada tanah tetap dapat mendegradasi walaupun tidak menutup kemungkinan ada beberapa jenis bakteri yang dapat mati pada pH 5.

Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai TPH Parameter yang paling tepat untuk menggambarkan proses biodegradasi limbah minyak bumi ialah TPH. TPH menggambarkan jumlah hidrokarbon dengan berbagai macam panjang rantainya tanpa melihat jenisnya yaitu alisiklik, aromatik atau alifatik. Kandungan hidrokarbon pada tanah yang digunakan dalam penelitian ini tergolong tinggi yaitu sekitar 17 % (Lampiran 2.18). Tingginya nilai TPH awal proses biodegradasi ini membuat laju degradasi tidak optimum karena menurut Vidali (2001) kondisi optimum biodegradasi terjadi pada total kontaminan (TPH) sebesar 5 – 10 %. Untuk mengoptimalkan proses biodegradasi, maka minyak yang ada pada tanah harus terdispersi ke dalam media air sehingga bakteri dapat mendegradasi minyak tersebut. Salah satu caranya yaitu dengan menambahkan surfaktan dan melakukan pengadukan. Surfaktan yang ditambahkan dalam penelitian ini adalah LAS dan NDS untuk surfaktan anionik dan untuk surfaktan nonionik digunakan Tween 80 dan Brij 35, serta kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140 rpm. Hasil dari perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8a dan 2.9a. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa nilai TPH fasa cair yang ditambah NDS lebih tinggi dibandingkan LAS. Kecepatan pengadukan juga mempengaruhi nilai TPH fasa cair. Untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%) memberikan nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan blanko. Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar

32

dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35. Kecepatan pengadukan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap nilai TPH fasa cair, seperti terlihat pada Gambar 2.8a dan 2.9a. Semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka semakin banyak minyak yang terlepas dari tanah dan terdispersi ke dalam air. TPH fasa cair blanko menunjukkan kenaikan dengan semakin tingginya kecepatan pengadukan, namun kenaikan ini secara umum tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang ditambahkan surfaktan. Nilai TPH fasa cair yang tertinggi pada surfaktan anionik

yaitu pada perlakuan

penambahan 0.15% NDS dan kecepatan pengadukan 140 rpm sebesar 1.68%, sedangkan untuk penambahan LAS 0.04% dan kecepatan pengadukan 140 rpm hanya sebesar 1.33%. Nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS menghasilkan data yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji analysis of variance (ANOVA). Uji ANOVA dilakukan pada data perlakuan laju 140 rpm karena data ini memiliki nilai TPH terbesar (Lampiran 2.30). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002), biodegradasi limbah minyak bumi dengan cara bioremediasi konvensional menghasilkan persen degradasi sebesar 11,6%. Hasil biodegradasi cara tersebut dapat ditingkatkan menjadi maksimal sebesar 29% dengan penambahan konsentrasi surfaktan LAS 2.25% dan EM4 sebanyak 250 ml dalam waktu 31 hari. Penambahan surfaktan LAS menyebabkan luas permukaan antara minyak dengan air semakin besar sehingga mampu meningkatkan ketersediaan biologis kontaminan tersebut untuk keperluan metabolisme mikroba yang diindikasikan dengan adanya penurunan tegangan permukaan minyak bumi dan peningkatan persentase penurunan kadar TPH. Untuk surfaktan nonionik, TPH fasa cair tertinggi dengan penambahan Brij 35 (0.0150%) pada kecepatan 140 rpm, yaitu sebesar 0.70% dan penambahan Tween 80 (0.0175%) pada kecepatan 140 rpm sebesar 0.40%. Penambahan Brij 35 dengan konsentrasi lebih rendah (0.0150%) daripada Tween 80 (0.0175%) seperti yang terlihat pada Lampiran 2.23.

33

15 TPH fasa padat (%)

TPH fasa cair (%)

2 1,5 1 0,5 0

10 5 0

100

120

140

100

Kecepatan Pengadukan (rpm)

120

140

Kecepatan Pengadukan (rpm)

(a)

(b)

Gambar 2.8 Pengaruh penambahan LAS 0.04% (■), NDS 0.15% (■), blanko (■) dan kecepatan pengadukan terhadap kosentrasi TPH fasa cair (a) dan TPH fasa padat (b) 20 TPH fasa padat (%)

TPH fasa cair (%)

2 1,5 1 0,5 0

15 10 5 0

100

120

140

Kecepatan Pengadukan (rpm)

100

120

140

Kecepatan Pengadukan (rpm)

(a) (b) Gambar 2.9 Pengaruh penambahan Tween 80 (0.0175%) (■) dan Brij 35 (0.0175%) (■), blanko (■) dan kecepatan pengadukan terhadap kosentrasi TPH fasa cair (a) dan TPH fasa padat (b) Dari grafik pada Gambar 2.8b dan 2.9b serta pada Lampiran 2.24-2.26, semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka nilai TPH fasa padat akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena pengadukan dan penambahan surfaktan menyebabkan minyak dari limbah minyak bumi terdispersi ke dalam air sehingga nilai TPH fasa padat berkurang dan nilai TPH fasa cair meningkat. Pada penelitian ini, kecepatan 140 rpm belum dapat dikatakan sebagai kecepatan optimum, karena nilai TPH fasa cair yang lebih besar masih mungkin diperoleh pada kecepatan yang lebih tinggi.

34

Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai COD Pengukuran COD dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode refluks tertutup yang diikuti dengan metode titrimetri. Semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka nilai CODnya semakin besar pula. Hal ini disebabkan semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka semakin banyak senyawa organik yang terkandung dalam limbah minyak masuk ke media air. Nilai ini menunjukkan bahwa limbah minyak tersebut banyak mengandung senyawa organik berupa hidrokarbon, nitrogen, sulfur, dan oksigen. Sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa tersebut menjadi CO 2 dan H 2 O semakin tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002) penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel penelitian ini mampu meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak secara berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang digunakan didalam penelitian ini, semakin besar efek pendispersian minyak bumi didalam air sehingga nilai COD akan semakin tinggi.

40000

30000

COD (mg/mL)

COD (mg/mL)

40000

20000 10000 0

30000 20000 10000 0

100

120

140

Kecepatan Pengadukan (rpm)

(a)

100

120

140

Kecepatan Pengadukan (rpm

(b)

Gambar 2.10 Perubahan nilai COD pada surfaktan anionik (a) yaitu dengan penambahan LAS 0.04% (■), NDS 0.15% (■), blanko (■) dan pada surfaktan anionik (b) yaitu dengan penambahan Tween 80 (0.0175%) (■) dan Brij 35 (0.0175%) (■), blanko (■) terhadap kecepatan pengadukan Gambar 2.10 menunjukkan nilai COD blanko lebih rendah dibandingkan dengan penambahan surfaktan NDS, LAS, Tween 80 dan Brij 35. Hal ini

35

memperlihatkan bahwa penambahan surfaktan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap nilai COD. Penambahan surfaktan akan menambah senyawa organik yang harus dioksidasi, karena surfaktan sendiri adalah senyawa organik. Penambahan NDS memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS, dan penambahan Brij 35 memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan Tween 80. Hal ini terkait dengan konsentrasi surfaktan yang ditambahkan, konsentrasi NDS yaitu sebesar 0.15% sedangkan konsentrasi LAS sebesar 0.04%. Nilai COD tertinggi terjadi pada kecepatan pengadukan 140 rpm, yaitu 20485 mg/L untuk blanko, 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan 35909 mg/L untuk 0.15% NDS. Penambahan Brij 35 pada 140 rpm memberikan nilai COD terbesar (41717 mg/L) dibandingkan dengan surfaktan Tween 80, LAS dan NDS (Lampiran 2.27-2.29).

SIMPULAN Penambahan surfaktan dan pengaruh kecepatan pengadukan terbukti mampu meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam media air. Penggunaan LAS lebih baik dibandingkan NDS, Tween 80 dan Brij 35 karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan NDS (0.45%), Tween 80 (0.24%) dan Brij 35 (0.22%).

DAFTAR PUSTAKA [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2001. D 1331-89. Standard Test Methods for Surface and Interfacial Tension of Solutions of Surface Active Agents. West Conshohocken, PA19428-2959, West Conshohocken: ASTM. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2002. D 3601-88. Standard Test Methods for Foam In Aqueous Media. West Conshohocken, PA194282959, West Conshohocken: ASTM. Atkins PW. 1999. Kimia Fisik Edisi keempat Jilid 1. Irma I. Kartohadiprodjo, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry. Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005. Standard Method for Examination of Water and Wastewater 21th .5220.C- Clossed Reflux, Titrimetri Method. APHA, AWWA, WEF.

36

Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365. Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta. Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. [US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1998. Method 1664, Revision A: n-Hexane Extractable Material (HEM; Oil and Grease) and Silica Gel Treated n-Hexane Extractable Material (SGT­HEM; Non-polar Material) by Extraction and Gravimetry. Washington DC: U.S.EPA. [US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1999. Method 9071B, n-Hexane Extractable Material (HEM) for Sludge, Sediment, and, Solid Samples. Washington DC: U.S.EPA. Udiharto M. 1996. Bioremediasi Minyak Bumi. Di dalam: Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peran Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”; Cibinong, 24-28 Juni 1996. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – Hans Seidel Foundation Jerman hlm: 24-39. Vidali M. 2001. Bioremediation. An Overview. Department of Inorganic Chemical. University of Padova, Padova. Zhu X, Venosa AD, Suidan MT, Lee K. 2001. Guidelines For The Bioremediation of Marine Shorelines and Freshwater Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati.

37

Lampiran 2.1 Penentuan densitas larutan LAS [LAS] (% b/v)

0.50 0.25 0.13 0.06 0.03 0.02 0.01 0.00

Densitas larutan (g/mL)

I 1.0079 0.9736 1.0083 0.9741 1.0072 0.9734 0.9727 0.9738

II 1.0080 0.9736 1.0083 0.9741 1.0071 0.9733 0.9729 0.9738

III 1.0080 0.9736 1.0084 0.9741 1.0072 0.9735 0.9728 0.9739

Rerata densitas (g/mL) 1.0080 0.9736 1.0083 0.9741 1.0072 0.9735 0.9728 0.9738

Lampiran 2.2 Penentuan densitas larutan NDS [NDS] (% b/v)

0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.00

Densitas larutan (g/mL)

I 1.0078 0.9733 1.0077 0.9732 1.0072 0.9732 1.0072 0.9727

II 1.0077 0.9733 1.0077 0.9732 1.0072 0.9732 1.0073 0.9726

III 1.0077 0.9733 1.0077 0.9731 1.0072 0.9731 1.0073 0.9727

Rerata densitas (g/mL) 1.0078 0.9733 1.0077 0.9732 1.0073 0.9732 1.0073 0.9727

38

Lampiran 2.3 Penentuan densitas larutan Tween 80 [Tween 80] Densitas Tween 80 (g/mL)

(% v/v) 0.0000 0.0025 0.0050 0.0075 0.0100 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225 0.0250 0.0275 0.0300 0.0350 0.0400

Densitas Tween 80 rerata

Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 3 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 1.0243 1.0246 1.0234 1.0235 1.0235 1.0238 1.0242 1.0240 1.0243 1.0243 1.0244 1.0246 1.0245 1.0249 1.0246 1.0249 1.0246 1.0243 1.0243 1.0243 1.0233 1.0233 1.0235 1.0228 1.0232 1.0232 1.0228 1.0230 1.0231 1.0236 1.0236 1.0238 1.0239 1.0240 1.0240 1.0240 1.0241 1.0242 1.0240 1.0242 1.0239

(g/mL) 1.0242 1.0244 1.0235 1.0240 1.0243 1.0247 1.0247 1.0243 1.0234 1.0230 1.0230 1.0237 1.0240 1.0241 1.0240

Lampiran 2.4 Penentuan densitas larutan Brij 35 [Brij 35]

Densitas Brij 35 (g/mL)

(% v/v) 0.0000 0.0025 0.0050 0.0075 0.0100 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225 0.0250 0.0275 0.0300 0.0350 0.0400

Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 3 1.0241 1.0242 1.0242 1.0239 1.0237 1.0238 1.0236 1.0238 1.0237 1.0241 1.0242 1.0242 1.0237 1.0240 1.0238 1.0235 1.0237 1.0238 0.9720 0.9728 0.9721 1.0237 1.0238 1.0238 0.9719 0.9719 0.9718 1.0236 1.0238 1.0238 0.9714 0.9715 0.9716 1.0236 1.0237 1.0238 0.9720 0.9720 0.9723 1.0240 1.0239 1.0242 0.9716 0.9720 0.9717

Densitas Brij 35 rerata (g/mL) 1.0242 1.0238 1.0237 1.0242 1.0238 1.0237 0.9723 1.0238 0.9719 1.0237 0.9715 1.0237 0.9721 1.0240 0.9717

39

Lampiran 2.5 Penentuan tegangan permukaan LAS dengan metode Du Noűy [LAS] (% b/v) 0.50 0.25 0.13 0.06 0.03 0.02 0.01 0.00

P (dyne/cm) I 34.5 34.8 32.3 32.3 39.9 60.3 67.5 77.5

II 34.5 34.9 32.8 32.7 39.1 60.7 67.5 77.6

III 34.3 34.9 32.3 32.6 39.9 60.6 67.9 77.6

IV 34.7 35.0 32.9 32.8 39.9 60.4 67.3 77.4

P rerata (dyne/cm)

Fr

γ = P x Fr (dyne/cm)

34.52 34.94 32.62 32.54 39.68 60.50 67.62 77.52

0.8920 0.8940 0.8897 0.8910 0.8983 0.9234 0.9309 0.9408

30.7918 31.2364 29.0220 28.9931 35.6445 55.8657 62.9475 72.9308

V 34.6 35.1 32.8 32.3 39.6 60.5 67.9 77.5

Lampiran 2.6 Penentuan tegangan permukaan NDS dengan metode Du Noűy [NDS] (% b/v) 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.00

P (dyne/cm) I 33.1 33.5 31.5 30.5 28.1 35.8 35.9 76.0

II 33.8 33.1 31.5 30.8 28.0 35.4 35.4 76.2

III 33.8 33.7 31.3 30.9 28.8 35.0 35.3 76.2

IV 33.3 33.5 31.1 30.3 28.9 35.6 35.7 76.3

V 33.4 33.8 31.6 30.5 28.1 35.3 35.5 76.4

P rerata (dyne/cm)

Fr

γ = P x Fr (dyne/cm)

33.48 33.52 31.40 30.60 28.38 35.42 35.56 76.22

0.8908 0.8923 0.8882 0.8885 0.8844 0.8947 0.8933 0.9396

29.82 29.91 27.89 27.19 25.10 31.69 31.77 71.62

Lampiran 2.7 Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode cincin Du Noűy [Tween 80] (% v/v) 0.0000 0.0025 0.0050 0.0075 0.0100 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225 0.0250 0.0275 0.0300 0.0350 0.0400

I 76.70 76.00 69.50 68.20 63.40 62.90 61.10 54.30 55.30 62.80 61.60 62.40 60.00 57.00 59.40

P (dyne/cm) II III IV 76.70 76.70 76.20 76.60 76.10 76.10 69.60 69.40 69.10 68.00 68.30 68.60 63.40 63.40 63.60 62.30 62.20 62.50 61.60 61.70 61.60 54.60 54.20 53.70 55.60 55.50 55.70 62.60 62.70 62.30 61.90 61.70 61.80 62.20 62.40 62.40 59.80 59.70 60.00 57.50 57.30 57.30 59.40 59.20 59.30

V 76.70 76.40 69.80 68.40 63.50 62.10 61.70 54.50 55.70 62.40 61.60 62.60 59.60 57.40 59.60

P rerata (dyne/cm) 76.60 76.24 69.48 68.30 63.46 62.40 61.54 54.26 55.56 62.56 61.72 62.40 59.82 57.30 59.38

Fr 0.9361 0.9357 0.9293 0.9281 0.9233 0.9221 0.9212 0.9137 0.9152 0.9224 0.9215 0.9222 0.9195 0.9169 0.9191

γ = P x Fr (dyne/cm) 71.71 71.34 64.57 63.39 58.59 57.54 56.69 49.58 50.85 57.71 56.87 57.55 55.00 52.54 54.58

40

Lampiran 2.8 Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode cincin Du Noűy [Brij 35] (% v/v) 0.0000 0.0025 0.0050 0.0075 0.0100 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225 0.0250 0.0275 0.0300 0.0350 0.0400

I 76.70 54.40 49.40 49.70 44.30 44.80 44.20 35.10 37.20 36.90 43.50 42.50 39.50 40.00 40.30

P (dyne/cm) II III IV 76.70 76.70 76.20 54.50 54.30 54.40 49.40 50.00 49.70 49.70 49.30 49.50 43.80 44.30 44.50 45.10 44.90 45.10 44.10 44.50 44.30 35.00 35.20 35.10 37.30 37.30 37.50 37.00 37.00 37.10 43.50 43.50 43.60 42.40 42.50 42.30 39.40 39.40 39.40 40.10 40.00 39.90 40.20 40.20 40.20

V 76.70 54.70 49.90 49.50 43.90 45.00 44.10 35.00 37.50 36.90 43.70 42.40 39.30 40.00 40.30

P rerata (dyne/cm) 76.60 54.46 49.68 49.54 44.16 44.98 44.24 35.08 37.36 36.98 43.56 42.42 39.40 40.00 40.24

Fr 0.9361 0.9139 0.9088 0.9086 0.9026 0.9036 0.9054 0.8921 0.8971 0.8943 0.9046 0.9007 0.8996 0.8979 0.9006

γ = P x Fr (dyne/cm) 71.71 49.77 45.15 45.01 39.86 40.64 40.05 31.29 33.52 33.07 39.40 38.21 35.44 35.91 36.24

Contoh perhitungan: Keliling cincin = 5.9450 r/R = 0.0187 Densitas udara = 0.0012 g/mL  0.01452 P 1.679r   Fr = 0.7250 +  2 + 0.04534 − R   C (D − d )   0.01452 x54.46 + 0.04534 − (1.679 x0.0187)  Fr = 0.7250 +  2  5.9450 (1.0238 − 0.0012 ) 

Fr = 0.9139 γ

= P x Fr = 54.46 x 0.9139 = 49.77 dyne/cm

41

Lampiran 2.9 Pengukuran stabilitas emulsi LAS Konsentrasi LAS (%) 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10

Kekeruhan Sebelum Sentrifugasi (NTU) I II III 663 758 836 923 963 931

668 759 832 922 967 922

661 754 837 918 953 919

Kekeruhan Setelah Sentrifugasi

Stabilitas Emulsi (%)

III

Rerata

0.58 0.87 13.1 2.19 1.36 5.43

0.603333 1.003333 13.20000 2.300000 1.383333 5.070000

Rerata

I

(NTU) II

664.0000 757.0000 835.0000 921.0000 961.0000 924.0000

0.66 1.19 13.4 2.34 1.30 4.88

0.57 0.95 13.1 2.37 1.49 4.90

0.09 0.13 1.58 0.25 0.14 0.55

Lampiran 2.10 Pengukuran stabilitas emulsi NDS Konsentrasi NDS (%) 0.00 0.15 0.18 0.20 0.23 0.25

Kekeruhan Sebelum Sentrifugasi (NTU) I II III 663 520 454 553 621 511

668 526 457 552 620 519

661 524 457 544 622 519

Kekeruhan Setelah Sentrifugasi

Stabilitas Emulsi (%)

III

Rerata

0.58 2.34 0.73 0.67 0.67 0.53

0.603333 2.330000 0.680000 0.666667 0.696667 0.546667

Rerata

I

(NTU) II

664.0000 523.3333 456.0000 549.6667 621.0000 516.3333

0.66 2.29 0.62 0.69 0.7 0.56

0.57 2.36 0.69 0.64 0.72 0.55

0.09 0.45 0.15 0.12 0.11 0.11

Lampiran 2.11 Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80 [Tween 80] (% v/v) 0.0000 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225

Kekeruhan sebelum sentrifugasi (NTU) I II III 488 489 481 732 737 738 555 534 558 412 418 416 622 624 625 382 384 383

Rerata (NTU) 486 736 549 415 624 383

Kekeruhan setelah sentrifugasi (NTU) I II III 0.11 0.10 0.12 0.20 0.21 0.25 0.79 0.74 0.75 0.97 1.00 1.02 0.56 0.56 0.56 0.30 0.29 0.31

Rerata (NTU) 0.11 0.22 0.76 1.00 0.56 0.30

Stabilitas emulsi (%) 0.02 0.03 0.14 0.24 0.09 0.08

42

Lampiran 2.12 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35 [Brij 35] (% v/v) 0.0000 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225

Kekeruhan sebelum sentrifugasi (NTU) I II III 488 489 481 473 476 474 674 674 672 538 536 540 507 505 510 563 569 567

Rerata (NTU) 486 474 673 538 507 566

Kekeruhan setelah sentrifugasi (NTU) I II III 0.11 0.10 0.12 0.57 0.57 0.57 1.48 1.44 1.50 0.17 0.18 0.20 0.21 0.18 0.20 0.15 0.16 0.17

Rerata (NTU) 0.11 0.57 1.47 0.18 0.20 0.16

Stabilitas emulsi (%) 0.02 0.12 0.22 0.03 0.04 0.03

Contoh perhitungan: % Stabilitas emulsi = turbiditas akhir emulsi X 100% turbiditas awal emulsi

% Stabilitas emulsi =

1.47 673

X 100%

% Stabilitas emulsi = 0.22 % Lampiran 2.13 Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K 2 Cr 2 O 7 0.0250 N Ulangan 1 2 3

Meniskus Awal (mL) 1.7 6.9 12.1

Meniskus Akhir (mL) 6.9 12.1 17.4

Contoh perhitungan: V FAS x N FAS = V K2Cr2O7 x N

K2Cr2O7

5.2 mL x N FAS = 10 mL x 0.0252 N 10 mL x 0.0252 N 5.2 mL = 0.0482 N

N FAS = N FAS

Volume Terpakai (mL) 5.2 5.2 5.3

Volume K 2 Cr 2 O 7 (mL) 10 10 10

Konsentrasi FAS 0.0485 0.0485 0.0475 0.0482

43

Lampiran 2.14 Pengukuran busa LAS Konsentrasi LAS 0.10% Ulangan 1 2 3

M (cm) 11.4 11.3 11.4

t=26.5°C R (cm) 11 10.7 11

Konsentrasi LAS 0.08% Ulangan 1 2 3

M (cm) 10.3 9.8 10.2

M (cm) 9.7 9.6 9.4

R (cm) 9.8 9.1 9.5

M (cm) 8.8 8.4 8.7

R (cm) 9.3 9.1 8.8

M (cm) 7.5 7.6 7.2

FM=M-I FR=R-I 3.9 3.4 3.7 3 3.9 3.2 3.8 3.2

I (cm) 6.2 6.4 6.3

FM=M-I FR=R-I 3.5 3.1 3.2 2.7 3.1 2.5 3.3 2.8

t=27.0°C R (cm) 8.3 8.4 8.8

Konsentrasi LAS 0.02% Ulangan 1 2 3

I (cm) 6.4 6.1 6.3

t=27.5°C

Konsentrasi LAS 0.04% Ulangan 1 2 3

FM=M-I FR=R-I 5.4 5 5.1 4.5 5.5 5.1 5.3 4.9

t=27.5°C

Konsentrasi LAS 0.06% Ulangan 1 2 3

I (cm) 6 6.2 5.9

I (cm) 6.1 6 6.2

FM=M-I FR=R-I 2.7 2.2 2.4 2.4 2.5 2.6 2.5 2.4

t=26.5°C R (cm) 7 7.2 6.9

I (cm) 6.1 6.3 6.2

FM=M-I FR=R-I 1.4 0.9 1.3 0.9 1 0.7 1.2 0.8

44

Lampiran 2.15 Pengukuran busa NDS Konsentrasi NDS 0.25% Ulangan 1 2 3

M (cm) 17.8 18.3 17.8

t=25.5°C R (cm) 15.8 16.2 15.5

Konsentrasi NDS 0.23% Ulangan 1 2 3

M (cm) 14.1 14.4 14.7

M (cm) 13.2 12.9 13.1

R (cm) 13.2 12.8 13.4

M (cm) 12.9 12.6 12.3

R (cm) 11.5 11.5 12.4

M (cm) 11.7 11.3 10.8

I (cm) 6 6 6.5

FM=M-I 8.1 8.4 8.2 8.2

FR=R-I 7.2 6.8 6.9 7.0

I (cm) 6.5 6 6.5

FM=M-I 6.7 6.9 6.6 6.7

FR=R-I 5 5.5 5.9 5.5

FM=M-I 6.8 6.2 6.2 6.4

FR=R-I 4.9 4.3 4.7 4.6

FM=M-I 5.3 5.2 4.5 5.0

FR=R-I 4.4 4.6 4.1 4.4

t=26.5°C R (cm) 11 10.7 10.8

Konsentrasi NDS 0.15% Ulangan 1 2 3

FR=R-I 9.8 10.2 9 9.7

t=25.5°C

Konsentrasi NDS 0.18% Ulangan 1 2 3

FM=M-I 11.8 12.3 11.3 11.8

t=25.5°C

Konsentrasi NDS 0.20% Ulangan 1 2 3

I (cm) 6 6 6.5

I (cm) 6.1 6.4 6.1

t=25.5°C R (cm) 10.8 10.7 10.4

I (cm) 6.4 6.1 6.3

45

Lampiran 2.16 Pengukuran busa Tween 80 [Tween 80] Ulangan (% v/v) 0.0125

0.0150

0.0175

0.0200

0.0225

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

I

M

R

FM

FM rerata

FR

FR rerata

(mm) 57 57 57 56 57 56 57 57 57 57 57 57 57 57 56

(mm) 80 79 80 81 79 80 82 82 81 84 83 83 85 84 83

(mm) 77 76 77 77 77 77 78 78 77 80 81 79 80 79 79

(mm) 23 22 23 25 22 24 25 25 24 27 26 26 28 27 27

(mm) 23

(mm) 20 19 20 21 20 21 21 21 20 23 24 22 23 22 23

(mm) 20

24

25

26

27

21

21

23

23

Lampiran 2.17 Pengukuran busa Brij 35 [Brij 35] Ulangan (% v/v) 0.0125 1 2 3 0.0150 1 2 3 0.0175 1 2 3 0.0200 1 2 3 0.0225 1 2 3

I (mm) 57 57 57 56 56 56 57 57 57 56 56 56 57 57 57

M (mm) 79 79 78 78 78 78 80 79 80 79 80 80 82 83 83

Keterangan: F M : Tinggi busa maksimum M : Tinggi total maksimum busa pada waktu nol I : Tinggi awal cairan F R : Tinggi busa tersisa setelah 5 menit R : Tinggi total busa setelah 5 menit T : 26 º C

R (mm) 77 78 76 76 76 76 78 77 78 76 77 77 79 80 80

FM (mm) 22 22 21 22 22 22 23 22 23 23 24 24 25 26 26

FM rerata (mm) 22

22

23

24

26

FR (mm) 20 21 19 20 20 20 21 20 21 20 21 21 22 23 23

FR rerata (mm) 20

20

21

21

23

46

Contoh perhitungan: FM = M - I F M = (79 – 57) mm F M = 22 mm FR = R – I F R = (77 – 57) mm F R = 20 mm

Lampiran 2.18 Pengukuran TPH fasa padat pada sampel awal Ulangan 1 2

TPH (%) 17.45 16.99 17.22

Contoh perhitungan: %TPH (g/g) =

bobot min yak X 100% bobot sampel

%TPH (g/g) =

1.7799 gram X 100% 10.2000 gram

%TPH (g/g) = 17.45 %

Lampiran 2.19 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada LAS dan NDS Laju Pengadukan (rpm) 100 120 140

pH sebelum pengadukan Blanko 0.04% 0.15% LAS NDS 6 5 5 5 6 6 5 6 6

pH setelah pengadukan Blanko 0.04% 0.15% LAS NDS 6 5 5 5 5 5 5 5 5

Lampiran 2.20 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada Tween 80 dan Brij 35 Laju pengadukan (rpm) 100 120 140

pH sebelum Pengadukan Blanko Tween 80 Brij 35 0.0175% 0.0150% 4 4 4 4 4 4 4 4 4

pH sesudah Pengadukan Blanko Tween 80 Brij 35 0.0175% 0.0150% 4 3 3 4 4 4 4 4 4

47

Lampiran 2.21 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan LAS 0.04% Laju Ulangan Pengadukan (rpm) 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

100

120

140

TPH (%)

Rerata TPH (%)

Keterangan

0.52

Blanko

0.68

Sampel

0.57

Blanko

0.72

Sampel

0.70

Blanko

1.33

Sampel

0.5514 0.4792 0.6708 0.6848 0.5586 0.5826 0.7138 0.7178 0.7230 0.6790 1.4940 1.1590

Contoh perhitungan: %TPH (g/mL) =

bobot min yak X 100% volume sampel

%TPH (g/mL) =

0.2757 gram X 100% 50 mL

%TPH (g/mL) = 0.55%

Lampiran 2.22 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan NDS 0.15% Laju Ulangan Pengadukan (rpm)

100

120

140

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

TPH (%) 0.5514 0.4792 0.8556 0.7404 0.5586 0.5826 0.9604 1.0524 0.7230 0.6790 1.6514 1.7110

Rerata TPH (%)

Keterangan

0.52

Blanko

0.80

Sampel

0.57

Blanko

1.00

Sampel

0.70

Blanko

1.68

Sampel

48

Lampiran 2.23 Pengukuran TPH fasa cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35 Laju pengadukan (rpm) 100

Sampel

Ulangan

Blanko

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Tween 80 Brij 35 120

Blanko Tween 80 Brij 35

140

Blanko Tween 80 Brij 35

TPH (% b/v) 0.09 0.11 0.25 0.25 0.39 0.34 0.19 0.15 0.35 0.29 0.63 0.47 0.24 0.23 0.41 0.39 0.79 0.70

TPH rerata (% b/v) 0.10 0.25 0.36 0.17 0.32 0.55 0.24 0.40 0.74

Lampiran 2.24 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan LAS 0.04% Laju Ulangan Pengadukan (rpm)

100

120

140

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

TPH (%) 13.20 13.15 11.10 11.05 13.11 13.12 10.90 10.97 12.51 12.48 10.25 10.15

Rerata TPH (%)

Keterangan

13.18

Blanko

11.08

Sampel

13.11

Blanko

10.94

Sampel

12.49

Blanko

10.20

Sampel

49

Lampiran 2.25 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan NDS 0.15% Laju Ulangan Pengadukan (rpm)

100

120

140

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

TPH (%) 13.20 13.15 10.98 11.01 13.11 13.12 10.83 10.78 12.51 12.48 9.08 9.17

Rerata TPH (%)

Keterangan

13.18

Blanko

11.00

Sampel

13.11

Blanko

10.80

Sampel

12.49

Blanko

9.12

Sampel

Lampiran 2.26 Pengukuran TPH fasa padat setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35 Laju pengadukan (rpm) 100

Sampel

Ulangan

Blanko

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Tween 80 Brij 35 120

Blanko Tween 80 Brij 35

140

Blanko Tween 80 Brij 35

TPH (% b/b) 16.68 15.89 13.32 12.94 16.71 17.11 16.84 15.42 18.10 15.27 16.79 16.71 16.14 16.05 15.84 15.29 16.04 17.05

TPH rerata (% b/b) 16.29 13.13 16.91 16.13 16.69 16.75 16.10 15.56 16.55

50

Lampiran 2.27 Pengukuran COD dengan penambahan LAS 0.04% Laju Pengadukan (rpm)

100

120

140

Ulangan

Volume FAS awal (mL)

Volume FAS akhir (mL)

Volume FAS terpakai (mL)

Volume Sampel (mL)

COD (mg/mL)

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

14.2 23.5 0.0 9.0 33.8 17.1 0.0 8.2 43.2 25.6 12.5 31.0

23.5 32.7 9.0 18.1 42.2 25.6 8.2 16.5 48.7 31.0 15.2 33.8

9.3 9.2 9.0 9.1 8.4 8.5 8.2 8.3 5.5 5.4 2.7 2.8

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

1928 2410 3374 2892 6266 5784 7230 6748 20244 20726 33740 33258

Rerata COD (mg/mL)

Keterangan

2169

Blanko

3133

Sampel

6025

Blanko

6989

Sampel

20485

Blanko

33499

Sampel

51

Lampiran 2.28 Pengukuran COD dengan penambahan NDS 0.15% Laju Pengadukan (rpm)

Ulangan

Volume FAS awal (mL)

Volume FAS akhir (mL)

Volume FAS terpakai (mL)

Volume Sampel (mL)

COD (mg/mL)

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

14.2 23.5 18.1 25.8 33.8 17.1 16.5 23.2 43.2 25.6 10.3

23.5 32.7 25.8 33.4 42.2 25.6 23.2 29.8 48.7 31.0 12.5

9.3 9.2 7.7 7.6 8.4 8.5 6.7 6.6 5.5 5.4 2.2

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

1928 2410 9640 10122 6266 5784 14460 14942 20244 20726 36150

2

14.5

16.8

2.3

10

35668

100

120

140

Contoh perhitungan: Volume FAS (Ferro ammonium sulfat) untuk titrasi blanko (A) = 9.7 mL Volume FAS untuk titrasi sampel (B) = 7.7 mL Faktor pengenceran = 125 kali COD (mg/mL) =

( A − B ) x N x 1000 x BE oksigen xfp Volume Sampel (mL )

= 9640 mg/mL

=

(9.7 − 7.7 ) x 0.0482 x 1000 x 8 x125 10 mL

Rerata COD (mg/mL)

Keterangan

2169

Blanko

9881

Sampel

6025

Blanko

14701

Sampel

20485

Blanko

35909

Sampel

52

Lampiran 2.29 Pengukuran COD setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35 Laju pengadukan (rpm) 100

Sampel

Ulangan

Blanko

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Tween 80 Brij 35 120

Blanko Tween 80 Brij 35

140

Blanko Tween 80 Brij 35

Volume Volume FAS FAS 0.05 N 0.05 N awal (ml) akhir (ml) 20.20 26.85 26.85 33.55 12.20 18.70 18.70 25.30 25.30 31.80 31.80 38.20 23.45 28.85 28.85 33.45 24.20 28.25 28.25 32.50 39.60 43.65 43.65 47.85 20.30 23.30 23.35 26.70 11.90 13.35 13.35 14.85 17.50 18.95 19.00 20.30

Volume FAS 0.05 N terpakai (ml) 6.65 6.70 6.50 6.60 6.50 6.40 5.40 4.60 4.05 4.25 4.05 4.20 3.00 3.35 1.45 1.50 1.45 1.30

Volume sampel (ml) 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Contoh perhitungan: Volume FAS (Ferro ammonium sulfat) untuk titrasi blanko (A) = 10.03 mL Volume FAS untuk titrasi sampel (B) = 5.40 mL Faktor pengenceran = 125 kali COD (mg/L) = ( A − B ) x N x 1000 x BE oksigen xfp

Volume sampel (mL ) COD (mg/L) = (10.03 − 5.40) x 0.0482 x 1000 x 8 x125 10 mL

COD (mg/L) = 22317 mg/L

COD (mg/ml) 16292 16051 17015 16533 17015 17497 22317 26173 28824 27860 28824 28101 33885 32198 41356 41115 41356 42079

COD rerata (mg/ml) 16171 16774 17256 24245 28342 28462 33041 41235 41717

53

Lampiran 2.30 Uji ANOVA nilai TPH fasa cair LAS dan NDS MTB > AOVOneway 'LAS' 'NDS'; SUBC> CIMean 99.0. One-way ANOVA: LAS, NDS Source DF SS MS F P Factor 1 0.1258 0.1258 4.35 0.172 Error 2 0.0579 0.0289 Total 3 0.1837 S = 0.1701 R-Sq = 68.49% R-Sq(adj) = 52.73% Individual 99% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+LAS 2 1.3265 0.2369 (----------------*----------------) NDS 2 1.6812 0.0421 (----------------*----------------) --------+---------+---------+---------+0.70 1.40 2.10 2.80 Pooled StDev = 0.1701 Hipotesis: α = 1%

H0 : LAS = NDS H1 : LAS ≠ NDS

H0 diterima jika p value > α H1 diterima jika p value < α Nilai p value = 0.172 Nilai p value > α (0.172 > 0.01), sehingga H0 diterima. Simpulan: Nilai TPH fasa cair LAS dan NDS memberikan hasil yang tidak berbeda nyata.

BAB III BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI DENGAN TEKNIK BIOSLURRY DAN LANDFARMING ABSTRAK Bioremediasi limbah minyak berat telah dilakukan dengan menggunakan konsorsium bakteri dengan teknik bioslurry dan landfarming. Teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air pada perbandingan 4:25, ditambahkan starter konsorsium bakteri (bioaugmentasi) sebanyak 10% (v/v). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan bakteri, pH, TPH pada fasa padat dan TPH pada fasa cair setiap 3 hari sekali selama 1 bulan. Teknik landfarming dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat, tanah liat dan kompos dengan berbagai perbandingan dan menambahkan 10% (v/v) konsorsium bakteri. Setiap minggu selama 4 bulan dilakukan pengamatan kadar air, pH, populasi bakteri, TPH fasa padat dan cair serta produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi berlangsung. Komposisi hidrokarbon pada limbah minyak berat sebelum dan sesudah bioremediasi ditetapkan dengan menggunakan peralatan GC-MS. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik mencapai 3.47 x 1010 CFU/mL, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11% berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Sebaliknya dengan teknik landfarming sampai 4 bulan pengamatan, persentase TPH masih cukup tinggi yaitu 5.58%. Hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan ditunjukkan oleh produksi gas CO 2 dan NH 3 selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GCMS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.

57

PENDAHULUAN Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-situ. Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatil. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan atau air yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah mikroba yang dapat terurai secara alami (Budianto 2008). Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming dan bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi ex-situ dimana dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk pembersihan lahan yang terkontaminasi dibandingkan dengan secara fisika, kimia, dan biologi. Teknik landfarming ini membutuhkan penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk dicampur dan diatur kelembabannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996). Menurut Garcia et al. (2005), teknik landfarming merupakan metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi hidrokarbon, karena relatif lebih murah, dan berpotensi tinggi berhasil. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan TPH sampai sekitar 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang efektif dengan modifikasi yang dilakukan untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang banyak mengandung mikroba. Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran hewan juga memiliki kandungan

58

nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba. Secara umum, kotoran segar hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6% nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam bentuk P 2 O 5 , 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk K2 O (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Beberapa spesies bakteri yang terkandung dalam limbah kotoran sapi (Bawono 1988 dalam Srimulyati 2000) antara lain Escherichia coli, Citrobacter freundii, Pseudomonas putrefasciens, Enterobacter cloacae, Proteus morganii,

Salmonella

spp,

Enterobacter

aerogenes,

Flavobacterium,

Pseudomonas fluorescens, dan Providencia alcalifasciens. Menurut Norman (1985), mikroba yang terkandung di dalam sekum, kolon, dan tinja ternak kuda antara lain Entamoeba caprae, Calismatix equi, dan Entamoeba equi. Bahan organik penting dalam meningkatkan produktivitas tanah dan merupakan sumber kehidupan bagi bermacam-macam mikroba. Komposisi kimia kotoran kuda, ditemukan kandungan protein dalam jumlah rendah namun kandungan selulosa dan hemiselulosanya tinggi. Berbeda dengan kotoran sapi yang cenderung memiliki komposisi kandungan hemiselulosa, selulosa, lignin, total protein, dan kadar abu yang seimbang (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry) Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk fase cairan dan slurry namun juga limbah padat/tanah. Menurut Banerji (1997) fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai udara atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Selain itu juga dilakukan pengadukan secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair; kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik; mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan berpotensial dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu.

59

Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi bioremediasi yang terus dikembangkan hingga saat ini. Metode landfarming maupun slurry bioreaktor dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak bumi karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana polutan (hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroba menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO 2 dan H 2 O. Baik landfarming maupun slurry bioreaktor memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk itu perlu dikaji metoda mana yang lebih efektif dalam menangani limbah minyak bumi ini. Seberapa efektif bioremediasi dalam merombak hidrokarbon dari limbah minyak bumi pada fase slurry dan fase padat merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan.

METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tanah tercemar limbah minyak berat

yang diperoleh dari industri perminyakan, konsorsium

mikroba yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran hewan (sapi dan kuda) yang diambil dari Fakultas Peternakan IPB, urea, SP36, glukosa, NaOH, CaCO 3 teknis, air laut, marine agar, nutrient broth, heksana, Na 2 SO 4 , silika gel, dan akuades. Peralatan yang digunakan meliputi rotary evaporator, seperangkat alat Soxhlet, oven, sentrifus, autoclave, inkubator, cawan petri, mikropipet, tabung ulir, erlemeyer 500 mL, spektrofotometer, GC-MS dan peralatan gelas lainnya. Prosedur Analisis Pengembangan Konsorsium Bakteri Pengembangan konsorsium bakteri menggunakan kotoran sapi dan kuda (segar) dilakukan dalam media kaya dan media minimal. Sebanyak 400 g contoh kotoran sapi dan kuda dilarutkan dalam 4 L air laut dalam ember dan ke dalamnya ditambahkan 200 g gula, 20 g urea, 2 g SP36. Contoh disimpan di laboratorium pada temperatur ruang (25-27 oC) dan diaerasi selama 1 minggu. Setiap hari

60

dilakukan pengukuran pH contoh, bila pH terlalu asam atau terlalu basa ditambahkan H 2 SO 4 6 N atau NaOH 6 N sampai pH normal. Konsorsium segar ini dimasukkan kedalam media minimal yang terdiri dari air laut sebanyak 4 liter dan ditambahkan dengan solar 5 % (v/v), 8 g urea, 0.8 g SP36 dan diaerasi selama 3 minggu. Setiap hari diamati pH dan setiap minggu diamati TPC. Konsorsium bakteri dari kotoran sapi dan kuda (stater) ini digunakan pada proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dan landfarming. Bioremediasi dengan teknik bioslurry Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25 pada bioreaktor yang bervolume 50 liter. Sebanyak 10% konsorsium bakteri dan 0.04% surfaktan LAS dimasukkan ke dalam reaktor dan dilakukan pengadukan (K5). Hal yang sama juga dilakukan untuk kontrol (D5), tanpa penambahan konsorsium bakteri. Aerasi diberikan dengan menggunakan aerator. Bahan lain yang turut dicampurkan pada bioslurry tersebut yaitu urea dan SP 36. Setiap 3 hari selama 1 bulan dilakukan penyamplingan dan dianalisa jumlah koloni (TPC), pH, TPH fasa padat dan TPH fasa cair. Bioremediasi dengan teknik landfarming Konsorsium bakteri yang telah digunakan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan teknik bioslurry diuji juga kemampuannya dengan menggunakan teknik landfarming. Landfarming yang dilakukan adalah dengan sistem tertutup menggunakan wadah plastik tertutup. Pengerjaan dilakukan secara duplo dan waktu pengambilan sampel dilakukan sekali seminggu selama 4 bulan pengamatan. Perlakuan penelitian dengan teknik landfarming bertujuan untuk mendapat media pencampur yang efisien dengan komposisi yang terdapat pada Tabel 3.1.

61

Tabel 3.1 Komposisi bioremediasi dengan teknik landfarming Komposisi (kg) LMB Tanah Liat Kompos K 10 0 0 A 10 0 0 B 5 0 5 C 5 5 0 D 5 2.5 2.5 Keterangan: K = Kontrol LMB = Limbah Minyak Berat A = LMB Kode

Keterangan Tanpa penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri B = LMB + Kompos C = LMB + Tanah liat D = LMB + Kompos +Tanah liat

Tanah liat yang digunakan adalah tanah yang tidak tercemar limbah minyak berat yang berasal dari sekitar ladang minyak Duri PT CPI. Sedangkan kompos yang digunakan adalah kompos yang memiliki komposisi: pupuk kandang, kotoran cacing, tanah humus, jerami, sekam, dan fermentasi EM4. Aerasi dilakukan dengan menggunakan aerator. Sampling tanah (padatan) dan udara dilakukan setiap minggu. Terhadap sampel tanah di analisa pH, kadar air, TPC, TPH, dan komposisi senyawa hidrokarbon. Sedangkan sampel udara dilakukan analisa kandungan CO 2 dan NH 3 . Pencuplikan Gas Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung impinger diisi dengan larutan penjerapnya masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya ditentukan dengan alat flow meter sebesar 0.2 L/menit. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam, dan setelah itu larutan penjerap yang telah berisi gas dimasukkan ke dalam botol film, lalu impinger dibilas dengan akuades. Pencuplikan gas seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.

62

Gambar 3.1 Pencuplikan gas CO 2 dan NH 3 selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Analisis Gas CO 2 (Eaton et al. 2005) Sampel yang berupa larutan penjerap

berisi gas dimasukkan ke dalam

erlenmeyer dan ditambahkan indikator PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0.025 N yang telah distandardisasi terlebih dahulu. Larutan penjerap CO 2 diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan indikator PP dan dititrasi dengan HCl 0.025 N. Larutan penjerap CO 2 yaitu larutan Na 2 CO 3 0,0245% (b/v) digunakan sebagai blanko.

Keterangan:

A = mL HCl yang terpakai (blanko) B = mL HCl yang terpakai (sampel) V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] = mg sampel yang didapat

Analisis Gas NH 3 (Lodge 1989) Gas NH 3

ditentukan dengan

mereaksikan gas NH 3

metode

indofenol,

prinsipnya

ialah

dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat yang akan

memproduksi senyawa kompleks biru indofenol yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada λ 635.5 nm. Deret standar dibuat dengan memasukkan

0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.8, dan 1. 2 mL larutan induk standar

63

dengan konsentrasi 2 mg/L ke dalam labu takar 25 mL. Larutan penjerap NH 3 (H 2 SO 4 0.1N) ditambahkan sebanyak 5 mL, natrium fenolat sebanyak 1 mL, larutan nitroprussida sebanyak 1 mL dan larutan pengoksidasi sebanyak 2.5 mL kemudian ditera dengan akuades. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan sama seperti standar. Larutan standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam dan dibaca nilai serapannya pada λ 635.5 nm dengan peralatan spektrofotometer UV. Nilai NH 3 dihitung dengan rumus:

Keterangan V = Volume dalam liter [laju alir x t (menit)] = µg sampel yang didapat dari kurva kalibrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry Aplikasi biodegradasi limbah minyak berat menggunakan metode bioslurry dilakukan selama 1 (satu) bulan. Selama dalam jangka waktu 1 bulan setiap 3 hari sekali dilakukan penyamplingan dan diamati : pH, pertumbuhan bakteri, dan TPH (baik padat maupun cair).

Penambahan LMB 5 % (b/v) pada K5 dan D5

didasarkan pada penelitian yang dilakukan Wulandari (2010). Penggunaan Konsorsium mikroba kotoran sapi dan kuda pada penambahan LMB 5 % (b/v) lebih baik dibandingkan dengan dengan 10%. Persen degradasi TPH pada penambahan LMB 5% lebih tinggi dibandingkan dengan LMB 10%. Hal ini karena toksisitas yang rendah pada LMB 5 %. Eris (2006) juga menyatakan bahwa penambahan limbah minyak diesel yang optimum pada teknik bioslurry didapat pada kandungan 9.09%, karena limbah minyak diesel mengandung minyak bumi fraksi ringan. Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25. Banerji (1997) menyatakan bahwa fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Degradasi hidrokarbon pada persen padatan kurang dari 10% dan lebih dari 40% mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena pada persen padatan kurang dari 10% tidak

64

dapat dikatakan sebagai fase slurry namun berupa fase cair sedangkan persen padatan lebih dari 40% sifatnya cenderung kental sehingga sulit untuk dilakukan agitasi menggunakan shaker akibatnya kandungan oksigen pada keadaan ini sangat rendah. Berikut ini merupakan aplikasi bioslurry setelah pencampuran limbah minyak berat dengan air.

K5

D5

minyak

Gambar 3.2 Proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dari limbah minyak berat pada hari ke-3 Keterangan : K5 = Bioslurry tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol) D5 = Bioslurry dengan penambahan konsorsium bakteri

Bioslurry yang telah ditambahkan konsorsium menampakkan butiranbutiran minyak pada permukaan slurry sedangkan pada kontrol tidak terlihat sama sekali minyak yang keluar dari limbah minyak berat (Gambar 3.2). Keluarnya minyak dari limbah minyak berat merupakan kontribusi dari bakteri yang telah dicampurkan sebelumnya. Bakteri menghasilkan biosurfaktan yang dapat membuat minyak bumi fraksi berat yang terdapat dalam limbah terdispersi ke dalam air, hal ini akan mempermudah kerja bakteri untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi fraksi berat tersebut. Penambahan surfaktan mempercepat limbah minyak berat untuk terdispersi ke dalam air. Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa biodegradasi hidrokarbon minyak bumi terjadi bila mikroba menempel di permukaan butiranbutiran minyak karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk memecah rantai karbon sifatnya terikat pada membran sel.

65

Pertumbuhan Bakteri Bakteri merupakan faktor penting dalam proses biodegradasi, baik itu bakteri indigen maupun bakteri yang telah dikembangkan sendiri. Konsorsium bakteri yang berasal dari starter (bakteri yang dikembangkan sendiri) dan bakteri indigen yang terdapat dalam limbah minyak berat sangat berperan dalam proses biodegradasi. Pertumbuhan konsorsium bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan

Populai Bakteri (log CFU/mL)

kontrol sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.3.

12 10 8 6 K5

4

D5

2 0 0

3

6

9 12 15 18 21 24 27 30 Waktu (hari)

Gambar 3.3 Pertumbuhan populasi bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry. Pada Gambar 3.3 populasi bakteri per ml menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri. Peningkatan jumlah sel ini merupakan indikasi bahwa bakteri tumbuh dengan mengkonsumsi sumber karbon dari hidrokarbon. Sedangkan adanya peningkatan jumlah sel bakteri pada kontrol dikarenakan adanya bakteri yang dapat hidup namun tidak secara efektif menggunakan hidrokarbon sebagai sumber makanannya. Pengontrolan pH Selama proses aplikasi bioslurry berlangsung, dilakukan pengontrolan pH untuk

mempertahankan

kondisi

optimum

bakteri

dalam

mendegradasi

hidrokarbon. Bakteri dapat optimum mendegradasi senyawa hidrokarbon pada pH 6-8. Jika pH pada bioslurry bernilai di bawah 6 maka ditambahkan NaOH sehingga pH naik menjadi 7 atau 8. Pada bioslurry dengan menggunakan

66

konsorsium bakteri,

pH menunjukkan nilai yang relatif stabil yaitu sekitar 8.

Dari Gambar 3.4 yang disajikan terlihat bahwa bakteri pendegradasi hidrokarbon pada aplikasi biodegradasi senyawa hidrokarbon dengan penambahan konsorsium bakteri (D5) bekerja pada kondisi basa yaitu pada pH sekitar 7.5 sampai 8.5.

9 8 7

pH

6 5 4 K5

3

D5

2 1 0 0

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

Waktu (hari)

Gambar 3.4 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry

Penurunan TPH Jumlah hidrokarbon yang ada pada cairan dan padatan dari slurry tersebut dapat dilihat dari nilai TPH yang diukur pada jangka waktu tertentu dari aplikasi bioslurry. Nilai TPH pada padatan dapat menunjukkan kecepatan degradasi hidrokarbon pada limbah minyak berat. Pada Gambar 3.6, terlihat bahwa sampel D5 mengalami penurunan sebanyak 99.46 % selama 1 bulan yaitu dari TPH sebesar

207139.87 ppm atau 20.71% menjadi 1108.55 ppm atau 0.11% dan

kontrol (K5) sendiri mempunyai nilai TPH yang relatif stabil sampai hari ke 21. Dengan waktu inkubasi yang semakin meningkat, nilai TPH pada kontrol menunjukkan penurunan sampai pada nilai 60792.23 ppm atau 6.08%. Nilai TPH pada hari ke 28 pada D5 yang disajikan mempunyai nilai 1108.55 ppm atau 0.11 % yang berarti jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan pada Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm

67

atau 1 %. Untuk TPH pada fasa cair berada pada kisaran nilai yang kecil (kurang dari 2100 ppm), hal ini diduga senyawa hidrokarbon yang berasal dari limbah minyak berat tersebut langsung terdegradasi ketika senyawa hidrokarbon tersebut lepas dari limbah minyak berat ke fasa cair. Hasil penelitian Eris (2006) pada skala laboratorium dengan menggunakan slurry bioreaktor 500 ml menunjukkan bahwa hidrokarbon pada limbah minyak diesel dapat terdegradasi secara optimal hingga sebesar 85.29% pada kombinasi perlakuan 9.09% tingkat cemaran dalam tanah dan 32.62% padatan. Perlakuan optimal dari hasil penelitian skala laboratorium yang dikembangkan pada skala 16 liter diperoleh hasil bahwa dengan penambahan konsorsium bakteri Pseudomodas pseudomallei dan Enterobacter agglomerans serta kotoran hewan, hidrokarbon dalam limbah minyak diesel mampu terdegradasi hingga 91.6% (dari 13964 ppm menjadi 1167 ppm) selama 20 hari.

TPH Fasa Cair (ppm)

2400 2100

K5

1800

D5

1500 1200 900 600 300 0 0

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

Waktu (hari)

Gambar 3.5 Perubahan nilai TPH fasa cair selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry

68

25

TPH Fasa Padat (%)

K5

20

D5

15 10 5 0 0

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

Waktu (hari)

. Gambar 3.6 Penurunan TPH fasa padat selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry

Bioremediasi dengan Teknik Landfarming Perubahan pH Nilai pH mempengaruhi kemampuan bakteri dalam menjaga kelangsungan aktivitas-aktivitas seluler, transpor membran sel, dan kesetimbangan reaksi yang dikatalis enzim-enzimnya. Berdasarkan pengukuran pH yang dilakukan setiap minggu, pH yang terukur berkisar antara 4 sampai 7 (Gambar 3.7). pH 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0

2

4

6 8 10 Waktu (minggu)

12

14

16

Gambar 3.7 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)

69

Menurut Cookson (1995) pH yang optimum bagi pertumbuhan bakteri adalah 7 dan memiliki rentang pH antara 4 sampai 10 sedangkan untuk oksidasi nitrogen berkisar antara 6 sampai 8. Degradasi hidrokarbon lebih cepat bila dilakukan pada kondisi pH di atas 7 dibandingkan dengan pH di bawah 5. Dengan demikian, apabila dalam larutan media terkandung bahan organik dengan konsentrasi tinggi sehingga menurunkan alkalinitas larutan, maka ke dalam larutan tersebut perlu ditambahkan CaCO 3 atau basa lainnya sampai pH larutan kembali normal. Kecenderungan penurunan pH teramati pada setiap sampel dengan nilai penurunan yang hampir sama. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa akumulasi asam-asam organik sebagai hasil akhir metabolisme meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Nilai pH yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh pelepasan amonia dari substrat atau efek kation yang tersisa setelah metabolisme asam-asam organik. Perubahan Kadar Air Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroba. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, kadar air yang terukur berkisar antara 10.10–32.67% seperti yang tertera pada Gambar 3.8 dan

Kadar Air (%)

Lampiran 3.2. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0

2

4

6 8 10 Waktu (minggu)

12

14

16

Gambar 3.8 Perubahan kadar air selama proses bioremediasi teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)

70

Nilai yang bervariasi ini diakibatkan karena perbedaan perlakuan pada tiap sampel. Setiap minggunya dilakukan penambahan air pada sampel secara teratur. Menurut Fletcher (1992) selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk kedalam tanah sedangkan tanpa air mikroba tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Menurut Dibble dan Bartha (1979) kadar air yang dibutuhkan bakteri untuk metabolisme dalam mendegradasi hidrokarbon berkisar antara 30–90%. Perubahan Suhu Suatu proses degradasi, temperatur akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia komponen-komponen minyak, kecepatan degradasi oleh mikroba, dan komposisi komunitas mikroba. Berdasarkan pengukuran suhu yang dilakukan setiap minggu, suhu yang terukur berkisar antara 27–51°C (Gambar 3.9).

SuhuoC 60 50 40 30 20 10 0 0

2

4

6

8

10

12

14

16

Waktu(minggu) Gambar 3.9 Perubahan suhu selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦) Menurut Leahly dan Colwell (1990) temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30–40°C. Pada penelitian ini didapatkan suhu yang berfluktuasi (Gambar 3.9 dan Lampiran 3.3), karena pada proses biodegradasi terjadi pemutusan rantai hidrokarbon yang akan menghasilkan energi sehingga

71

suhu menjadi naik, kemudian suhu kembali turun ke suhu ruang jika proses biodegradasi terhenti atau berjalan sangat lambat. Pada temperatur rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan

volatilitas alkana rantai

pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Efek penghambatan tersebut juga disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim mikrobial.

Perubahan TPH TPH merupakan parameter penting yang menunjukkan keberhasilan proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 4 bulan pengamatan. Pada perlakuan

penambahan konsorsium

bakteri terhadap limbah minyak berat (LMB), nilai TPH awal yang terukur adalah sebesar 15.32% dan diakhir pengukuran sebesar 12.61%. Untuk perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol), persen TPH awal yang terukur adalah sebesar 15.84% dan diakhir pengukuran sebesar 13.43%. Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran kompos dan penambahan konsorsium bakteri dapat menurunkan nilai TPH dari 11.96% menjadi 5.58%. Adanya penambahan kompos dapat meningkatkan proses biodegradasi. Sedangkan untuk perlakuan limbah minyak berat yang dicampur dengan tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri memiliki nilai TPH awal sebesar 8.73% dan diakhir pengukuran sebesar 5.78%. Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri menghasilkan persen TPH awal yang terukur sebesar 6.52% dan diakhir pengukuran 4.87%. Hasil pengukuran TPH secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.10 dan Lampiran 3.4.

72

TPH (%)

18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0

2

4

6

8

10

12

14

16

Waktu (minggu)

Gambar 3.10 Perubahan nilai TPH selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦) TPH yang terukur pada semua perlakuan menunjukkan grafik turun naik. Penurunan nilai TPH karena dalam proses biodegradasi menghasilkan senyawa hidrokarbon rantai pendek yang bersifat volatil, sedangkan peningkatan nilai TPH diduga terjadi karena adanya insersi O 2 dan H 2 O kedalam senyawa organik sehingga dihasilkan senyawa organik yang memiliki berat molekul yang lebih tinggi. Fluktuasi nilai TPH disebabkan oleh kerja mikroba yang berbeda-beda. Biodegradasi minyak bumi oleh mikroba bisa terjadi di bawah kondisi aerobik maupun anaerobik, dan aktivitas degradasi tersebut merupakan reaksi yang umum terjadi di alam. Kondisi lingkungan yang berbeda akan mempengaruhi perbedaan aktivitas mikroba dalam mendegradasi senyawa polutan. Terdapat perbedaan antara hasil perlakuan dengan penambahan bakteri dan kontrol, hal ini dapat ditunjukkan dengan slope yang dihasilkan pada persamaan regresi (Tabel 3.2). Walaupun perbedaan tidak terlalu signifikan, tapi terbukti pada hasil akhir TPH pada penambahan konsorsium bakteri lebih kecil dibandingkan dengan tanpa penambahan konsorsium bakteri. Hal ini terjadi pada semua perlakuan, slope yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.

73

Tabel 3.2 Persamaan regresi penurunan TPH dari berbagai perlakuan dengan teknik landfarming Perlakuan Kontrol

Persamaan Regresi y= -0.124x + 15.21

Slope -0.124

LMB

y= -0.162x + 15.68

-0.162

LMB + Kompos

y= -0.277x + 9.748

-0.277

LMB + Tanah liat

y= -0.143x + 7.897

-0.143

LMB + Tanah liat + Kompos

y= -0.179x + 6.773

-0.179

Dari slope yang dihasilkan, perlakuan campuran LMB dan kompos memiliki kemiringan garis yang lebih curam dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini mengindikasikan perubahan TPH diawal dan diakhir cukup besar sehingga persen degradasi yang dihasilkan cukup tinggi. Besarnya persen degradasi yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah minyak berat dengan penambahan kompos yaitu sebesar 53.35%, disebabkan kerja bakteri yang lebih baik. Pada perlakuan menggunakan campuran kompos, kompos dapat dijadikan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena terdapat nutrien yang bisa digunakan sebagai bahan makanan oleh bakteri. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan kompos paling baik dalam menyimpan kadar air (Gambar 3.10). Menurut Daubaras dan Chakrabarty (1992) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan juga akan mempengaruhi aktivitas mikroba di dalamnya. Aktivitas tersebut meningkat karena adanya ekspresi gen-gen tertentu untuk memproduksi enzim-enzim yang sesuai. Dengan demikian, pada degradasi minyak , di mana 90% komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang banyak berperan adalah enzim-enzim oksigenase. Terdapat 2 macam enzim oksigenase yaitu

monooksigenase dan

dioksigenase. Enzim monooksigenase banyak berperan dalam degradasi hidrokarbon alifatik sementara enzim dioksigenase pada hidrokarbon siklik. Keduanya berfungsi pada tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon. Pada n-alkana insersi molekul oksigen ke

74

dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995) seperti yang reaksi yang dijelaskan oleh Hurtig dan Wagner (1992) (Gambar 3.11 dan Gambar 3.12). CH3(CH2)nCH3 alkana 1/2 O2

CH3(CH2)nCH OH 2 alkohol primer H2 CH3(CH2)nCHO aldehid 1/2 O2

CH3(CH2)nCOOH asam lemak

reaksi

β -oksidasi

CH3COOH asam asetat

CO2 + energi

Gambar 3.11 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Terminal (Hurtig dan Wagner 1992) R-CH2-CH2-CH3 alkana

OH

O2 +2H+ -H2 O

R-CH2-CH-CH3 alkohol sekunder -2H+

O R-CH2-O-C-CH3 asetil ester

O2 +2H+ -H2 O

O R-CH2-C-CH3 metil keton

+H2 O

R-CH2-OH + alkohol primer

CH3-COOH asam asetat

β -oksidasi

-2H+

R-CHO aldehid

-H2 O -2H+

CO2 + energi

R-COOH asam karboksilat

Gambar 3.12 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Subterminal (Hurtig dan Wagner 1992)

75

Mekanisme

degradasi hidrokarbon

alkana

melalui oksidasi terminal

akan mengalami tahapan perubahan berturut-turut menjadi alkohol primer, aldehid, dan asam lemak. Pada tahapan terakhir asam lemak melalui reaksi βoksidasi diubah menjadi asam asetat (asam lemak dengan dua atom karbon) yang akan didegradasi lebih lanjut di dalam sel menghasilkan karbon dioksida dan energi. Oksidasi alkana subterminal akan mengalami tahapan perubahan berturutturut menjadi alkohol sekunder, metilketon, asetilester, alkohol primer, aldehid dan asam lemak atau asam karboksilat. Asam lemak ini melalui reaksi β-oksidasi akan didegradasi menghasilkan karbon dioksida dan energi (Atlas and Bartha, 1998). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai CO 2 melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988). Proses degradasi senyawa aromatik yang terdapat pada minyak bumi fraksi berat sangat ditentukan oleh tipe, jumlah dan posisi gugus yang tersubtitusi pada cincin aromatik tersebut. Gugus yang biasanya tersubtitusi pada cincin aromatik seperti benzen adalah :-OH, -CH 3 , -COOH, -CH 2 OH, -NH 2 , dan -SO 3 H. Pada proses degradasi senyawa aromatik akan dihasilkan senyawa antara, yang jenisnya tergantung dari senyawa asal yang didegradasi. Namun secara

umum

senyawa

antara

yang

terbentuk

dapat

demikian,

dikelompokan

menjadi tiga yaitu : katekol, asam protokatekuat , dan asam gentisat. Beberapa reaksi degradasi senyawa aromatik dengan satu, dua dan tiga berurutan

cincin, secara

benzen, naftalen, dan fenantren akan menghasilkan senyawa antara

berupa katekol (Alexander 1977). Mekanisme benzen, naftalen, dan fenantren menjadi senyawa antara katekol dapat dilihat pada Gambar 3.13, 3.14 dan 3.15.

H2O2 benzena

H C OH C OH H

3,5 sikloheksadiena 1,2 diol

OH OH

katekol

Gambar 3.13 Degradasi benzen menjadi katekol melalui reaksi hidroksilasi aromatik (Alexander 1977) A

76

OH OH naftalena

1,2-Dihidroksinaftalena

OH

COOH OH

OH asam salisilat

Katekol

Gambar 3.14 Degradasi senyawa aromatik dua cincin (naftalen) menjadi katekol (Alexander 1977)

OH

OH

OH

COOH

Fe nantrena

1- Hidroksi-2-as am naftoat

COOH

OH OH

Ka te kol

1,2-Dihidroksinaftalena

OH as am salisila t

Gambar 3.15 Degradasi senyawa aromatik 3 cincin (fenantren) menjadi katekol (Alexander 1977)

Katekol dikatabolisme melalui pemecahan cincin, yang menyebabkan cincin aromatik pecah. Pemecahan cincin dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu : jalur pemecahan orto dimana cincin aromatik terbagi diantara dua atom karbon yang menghasilkan kelompok hidroksil, jalur kedua adalah jalur pemecahan meta dimana cincin benzena diputus diantara atom karbon terhidroksilasi dan atom karbon yang berdekatan atau pembukaan cincin benzena terjadi pada posisi meta.

77

Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol.

Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)

Gambar 3.17 Jalur pemecahan meta untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)

78

Masing-masing

reaksi

pemecahan

cincin

dikatalisis

oleh

enzim

dioksigenase. Jalur metabolik selanjutnya sangat berbeda tapi keduanya menuju ke intermediat sklus TCA (asetat dan suksinat) atau ke subsrat yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi intermediat siklus TCA (piruvat dan asetaldehid). Jalur pemecahan orto (juga disebut jalur ketoadipat) ditunjukkan pada Gambar 3.16 dan jalur pemecahan meta ditunjukkan pada Gambar 3.17. Higgins et al. (1984) dalam Pritchard et al. (1993) menyatakan bahwa berbagai spesies bakteri yang mengoksidasi hidrokarbon rantai pendek (metana, etana, propana, butana, etilen, propilen, dan asetilen) tidak mengoksidasi alkana rantai panjang. Kondisi tersebut terutama berlaku pada kelompok bakteri metanotrop. Degradasi hidrokarbon rantai pendek lainnya bisa terlaksana melalui proses kometabolisme. Cookson (1995) memberikan contoh mikroba yang mampu melakukan kometabolisme hidrokarbon rantai pendek yaitu Pseudomonas methanic. Pseudomonas methanic menggunakan metan sebagai substrat primer, di samping itu juga mengoksidasi substrat-substrat sekunder seperti etana, propana, dan butana menjadi alkohol, aldehid, dan asam. Senyawa-senyawa nitrogen juga mengalami perubahan selama proses pengayaan. Menurut Chayabutra dan Ju (2000), senyawa nitrogen yang berasal dari sisa-sisa protein dan asam amino dalam kotoran hewan dan pupuk yang ditambahkan, juga mengalami perubahan. Di mana reaksi berlangsung secara anaerobik, ion amoniak akan dimanfaatkan oleh populasi anaerobik, namun bila jumlah ion-ion amoniak tersebut terlalu banyak maka akan menghambat asam organik, produksi asam lemak dan metanogenesis. Walaupun variasi populasi mikroba dalam kotoran hewan relatif tinggi, banyak diantara mikroba tersebut yang mati selama proses dekomposisi berlangsung yang kemudian akan digantikan oleh mikroba lain yang lebih sesuai dengan komposisi kimia yang ada pada lingkungan tersebut (Waksman 1957). Perubahan Senyawa Hidrokarbon Berdasarkan data kromatogram hasil GC-MS dapat dilihat perubahan senyawa hidrokarbon dari luas area yang terukur. Penentuan senyawa hidrokarbon berdasarkan data yang terdapat pada library menggunakan CAS Number. Hasil

79

identifikasi sampel senyawa dari library dipilih yang memiliki kemiripan lebih dari 90. Perubahan senyawa hidrokarbon pada keseluruhan sampel dapat dilihat pada Lampiran 3.8.

Gambar 3.18 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat pada awal perlakuan Kromatogram GCMS pada awal perlakuan (Gambar 3.18) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah minyak berat, baik senyawa hidrokarbon alifatik maupun aromatik. Menurut Lestari (2003), minyak bumi mengandung ratusan komponen yang bervariasi bergantung daerah asalnya: alifatik, alisiklik, aromatic dan senyawa non hidrokarbon seperti naftenat, fenol, tiol dan senyawa sulfur. Suardana (2002) menyatakan bahwa fraksi minyak berat Duri mengandung senyawa aromatik, paraffin, naftenik, dan aspaltena serta senyawa non aromatik seperti Senyawa N, S dan O. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hirdrokarbon dari C-6 sampai C-35. Pada semua sampel proses biodegradasinya cukup beragam (Komatogram pada Lampiran 3.5). Kromatogram GCMS pada diakhir perlakuan pada penambahan kompos (Gambar 3.19) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang dengan berkurangnya peak yang dihasilkan. Adanya penambahan kompos akan mempercepat proses biodegradasi.

80

Gambar 3.19 Kromatogram GCMS dari limbah minyak berat + kompos pada akhir perlakuan Setelah pengukuran pada minggu ke-16 atau akhir banyak senyawa yang hilang. Pada data kromatogram Lampiran 34 dapat dilihat penurunan kelimpahan atau abundance. Hal ini menunjukkan terjadinya proses degradasi senyawa hidrokarbon. Pada degradasi n-alkana insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai CO 2 melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988). Perubahan senyawa hidrokarbon pada perlakuan penambahan konsorsium terhadap limbah minyak berat (LMB) saja hampir sama dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat, begitu juga dengan perlakuan campuran LMB dengan kompos mirip dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos. Dari semua sampel yang paling rendah mengalami perubahan yaitu perlakuan LMB tanpa campuran. Hal ini dapat dilihat dari hasil akhir pengukuran. Pada Lampiran 3.8 masih terdapat hidrokarbon rantai panjang, contohnya dokosana (C-22) dengan luas puncak 0.25%.

81

Pengukuran pada minggu akhir banyak senyawa yang hilang. Walaupun pada perlakuan LMB tanpa campuran

dan pada perlakuan campuran LMB

dengan tanah liat terjadi perubahan luas area, tetapi tidak terlalu signifikan. Sedangkan pada perlakuan campuran LMB dengan kompos

dan perlakuan

campuran LMB dengan tanah liat dan kompos terjadi perubahan luas area yang signifikan (Lampiran 3.8). Hilangnya senyawa-senyawa pada akhir pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.3 Senyawa yang hilang pada akhir pengukuran selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming LMB tetrahydro 2-5 dimetil furan oktametil Siklotetra siloksan pentatriacontana metil heksadekanoat

LMB + Kompos tetrahydro 2-5 dimetil furan oktametil siklotetra siloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontana nonadekana metil heksadekanoat Eikosana heneikosana dokosana

LMB + Tanah Liat tetrahydro 2-5 dimetil furan dekametil siklopentasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana pentatriacontana dokosana 1-nonadekana

LMB + Kompos + Tanah Liat dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana dokosana

Hilangnya senyawa tersebut karena terjadi proses degradasi.

Pada

perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat dan penambahan konsorsium bakteri terhadap pencampuran LMB dan kompos tidak terlalu banyak senyawa yang hilang. Pada perlakuan

perlakuan penambahan

konsorsium bakteri terhadap LMB saja hanya 4 senyawa yang hilang dan 8 senyawa pada perlakuan LMB + Tanah liat. Pada perlakuan LMB + kompos yang merupakan penurunan TPH paling baik ditemukan banyak senyawa yang hilang (13 senyawa), hal ini disebabkan bakteri bekerja lebih baik dan bakteri yang ada dalam kompos juga ikut mendegradasi hidrokarbon. Senyawa-senyawa yang masih terdapat pada akhir pengukuran dapat dikatakan sebagai hidrokarbon yang sulit didegradasi oleh bakteri. Sebagai contoh pada perlakuan LMB + kompos

82

senyawa hidrokarbon aromatik yaitu dodekametil sikloheksasiloksan dengan luas puncak 0.20%, pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB saja dengan contoh senyawa yang sama masih memiliki luas puncak yang cukup besar yaitu 1.61% (Tabel 3.3). Tabel 3.4 Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan campuan LMB dengan kompos Area (%) Senyawa hidrokarbon Tetrahidro 2-5 dimetil furan Toluene Heksametil siklotrisiloksana Oktametil siklotetrasiloksana Dekametil siklopentasiloksana Dodekana Dodekametil sikloheksasiloksana Tetradekana Pentadekana Heksadekana Heptadekana Oktadekana Pentatriakontana Nonadekana Metil heksadekanoat Eikosana Heneikosana Dokosana

Diakhir

C ke-n

Waktu retensi

C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-22

7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.781 19.438 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 28.217

LMB awal

LMB Akhir

0.39 td td 0.15 0.33 td 0.82 0.57 1.11 1.28 1.49 0.43 0.18 1.8 0.32 1.66 1.83 0.56

td td 0.62 td 0.25 0.08 1.61 0.04 0.32 0.26 0.15 0.34 td 0.62 td 0.49 0.59 0.25

LMB + Kompos akhir td 0.20 1.77 td 0.18 0.8 td td td td td td td td td td td td

perlakuan (minggu ke-16) pada campuran LMB dan kompos

didapatkan 4 senyawa hidrokarbon dengan luas puncak berkisar antara 0.18% 1.77%. Analisa Gas Selama Proses Biodegradasi Produksi Gas CO 2 Pembentukan gas CO 2 disebabkan terjadinya proses aerobik di dalam biodegradasi limbah tanah yang tercemar minyak bumi ini. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri aerob. Menurut Atlas dan Bartha (1987) dalam proses biodegradasi rantai alkana dioksidasi membentuk alkohol, aldehida dan asam

83

lemak, setelah terbentuk asam lemak proses katabolisme terjadi secara β oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak dikonversi oleh asil koenzim A yang merupakan enzim membentuk asetil koenzim A dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya yang berlangsung secara berulang-ulang. Asetil koenzim A diubah menjadi CO 2 melalui siklus tricarboxylic acid.

4500 4000

CO2 (mg/m3)

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0

K

A

B

C

D

Perlakuan Gambar 3.20 Produksi gas CO 2 selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (A), LMB + Kompos (B), LMB + Tanah liat (C), LMB + Kompos + Tanah liat (D), dan Kontrol (K) . Berdasarkan penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO 2 ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon. Gambar 3.20 menunjukkan hasil produksi gas CO 2 dari minggu ke-0 sampai dengan minggu ke-16. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat pada Gambar 3.20 terjadi peningkatan dan penurunan produksi gas CO 2 dari setiap minggunya. Pada kontrol dan perlakuan LMB tanpa campuran didapat kadar CO 2 tidak begitu tinggi. Secara umum dari setiap perlakuakn, tiga minggu pertama produksi gas CO 2 mengalami peningkatan, tetapi mulai menurun pada minggu ke-4, kemudian meningkat lagi pada minggu ke-6 sampai minggu ke-9, dan minggu selanjutnya kembali mengalami fluktuasi.

84

Penurunan produksi gas CO 2 menunjukkan bahwa proses aerobik mengalami penurunan. Pada perlakuan kontrol, terlihat bahwa setiap minggu terjadi fluktuasi dari produksi CO 2 , hampir sama dengan yang terjadi pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak minyak berat tanpa pencampur. Penelitian Ramos et al. (2009) menerangkan bahwa adanya produksi gas pada tanah tercemar hidrokarbon yang mengandung PAH, tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat yang dicampur dengan kompos menghasilkan gas CO 2 yang cukup tinggi, hal ini dimungkinkan karena adanya penambahan kompos. Adanya kompos ini dapat menjadi faktor yang sangat mendukung untuk berlangsungnya proses degradasi oleh bakteri, karena pada kompos terdapat nutrien yang dapat dijadikan bahan makanan bagi mikroba. Selain nutrien, pada kompos juga terdapat bakteri yang dapat menambah populasi mikroba di dalamnya. Gas CO 2 yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah minyak berat dengan tanah liat tidak begitu tinggi, Hal ini dimungkinkan karena tanah liat tingkat porositasnya lebih kecil daripada kompos, sehingga penyebaran nutrien tidak dapat secara mudah terjadi. Perlakuan campuran limbah minyak berat dengan tanah liat dan kompos tidak terlalu berbeda dengan perlakuan campuran limbah minyak berat dengan tanah liat. Nilai rata-rata gas CO 2 yang dihasilkan tidak jauh berbeda untuk kedua perlakuan. Dari keseluruhan data yang didapatkan, produksi gas CO 2 yang paling tinggi terdapat pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap campuran limbah minyak berat dan kompos yaitu sebesar 4156.3 mg/m3. Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa adanya produksi CO 2 merupakan penunjuk dari adanya tingkat respirasi pada mikroba, yang diproduksi selama proses bioremediasi. Kao dan Wang (2000) juga mengungkapkan demikian, dan menerangkan bahwa gas CO 2 merupakan hasil dari semua proses bioremediasi intrinsik. Tingginya produksi gas yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk proses bahwa proses bioremediasi intrinsik ini berlangsung. Peningkatan kelarutan CO 2 pada air dalam tanah menunjukkan adanya proses biodegradasi. Degradasi pada

85

hidrokarbon berhubungan dengan respirasi dari mikroba dan hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO 2 ini. Produksi Gas NH 3 Gas NH 3 dihasilkan dari adanya proses degradasi hidrokarbon yang mengandung gugus N, karena seperti yang diketahui bahwa minyak bumi tidak hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen, tetapi juga mengandung unsur nitrogen sekitar 0.11–1.70%. Terdeteksinya gas NH 3 ini menunjukkan bahwa terjadi proses anaerobik pada proses biodegradasi tersebut. Penelitian ini sebenarnya berjalan secara aerobik, akan tetapi gas-gas yang dihasilkan melalui proses anaerobik, seperti H 2 S dan NH 3 ikut terdeteksi, dan hal ini menunjukkan terjadinya juga proses anaerobik. Diperlukan adanya inlet oksigen yang lebih banyak untuk menjaga agar proses aerobik tetap berlangsung, karena oksigen juga merupakan salah satu faktor yang mendukung proses biodegradasi ini. Gas NH 3 yang dihasilkan mengalami fluktuasi dan secara umum grafik yang dihasilkan berbentuk sinusoidal seperti halnya pada produksi gas CO 2 . Pada kontrol, gas yang dihasilkan cukup tinggi dilihat dari kumulatifnya, yaitu sebesar 1.9404 mg/m3. Produksi gas yang cukup tinggi dapat menandakan bahwa pada limbah minyak berat yang didegradasi mengandung jumlah N yang cukup tinggi. Gambar 3.9 menunjukkan grafik dari produksi gas yang dihasilkan untuk gas NH 3 ini. Gas yang dihasilkan pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri pada limbah minyak berat tanpa pencampuran lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 2.5658 mg/m3. Sama seperti pada kontrol, kemungkinan kandungan nitrogen pada limbah minyak berat cukup tinggi, kemudian juga ditambah adanya aktivitas dari bakteri, yang menjadikan keluaran gas NH 3 pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri pada limbah minyak berat tanpa pencampuran menjadi lebih tinggi. Grafiknya disajikan pada Gambar 3.21.

86

3

NH3 (mg/m3)

2,5 2 1,5 1 0,5 0

K

A

B

C

D

Perlakuan Gambar 3.21 Produksi gas NH 3 selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (A), LMB + Kompos (B), LMB + Tanah liat (C), LMB + Kompos + Tanah liat (D), dan Kontrol (K) . Kumulatif gas NH 3

yang dihasilkan pada perlakuan penambahan

konsorsium bakteri terhadap campuran limbah minyak berat dan kompos lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu dengan rerata sebesar 1426.8 μg/m3. Hal ini dapat dijelaskan karena adanya penambahan kompos, aerasi berjalan dengan baik sehingga biodegradasi terjadi secara aerobik, ditunjukkan dengan tingginya gas CO 2 yang dihasilkan (Gambar 3.20), sehingga gas NH 3 yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.21. Produksi kumulatif gas NH 3 pada perlakuan pencampuran limbah minyak berat dengan kompos dan tanah liat adalah sebesar 1.7764 mg/m3, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan campuran limbah minyak berat dan kompos. Begitu juga dengan gas NH 3 yang dihasilkan pada perlakuan pencampuran limbah minyak berat dengan tanah liat, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan limbah minyak berat tanpa campuran yaitu sebesar 2.5824 mg/m3. Hal ini disebabkan karena aerasi tidak sempurna, sehingga biodegradasi berjalan secara anaerobik menyebabkan gas NH 3 yang dihasilkan lebih tinggi.

87

SIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan pada teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik dengan populasi mencapai 3.47 x 1010, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11%

berada jauh dibawah ambang batas yang

ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Teknik bioslurry lebih efektif dibandingkan dengan teknik landfarming. Menggunakan teknik landfarming pada 4 bulan pengamatan didapat persentase TPH yang masih cukup tinggi yaitu 5.58%, hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, didukung juga dengan kadar pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan adanya gas CO 2 dan NH 3 yang dihasilkan selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GCMS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.

DAFTAR PUSTAKA Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroba Pendegradasi Diesel dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB. Atlas MR, Bartha R. 1987. Transport and Transformation of Petroleum Biological Processes. Washington DC: United States Enviromental Protection Agency. Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th edition. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Baptista JS, Cammarota MC, Dias D. 2005. Production of CO 2 in crude oil bioremediation in clay soil. Braz Arch Biol Technol 48:249-255. Bailey JE, Ollis DF. 1988. Dasar-Dasar Rekayasa Biokimia. (terjemahan). PAU IPB.

88

Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences. Budianto H. 2008. Perbaikan Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi Secara Bioremediasi. Jakarta: Indonesia Environment Consultant. Chayabutra C, Ju LK. 2000. Degradation of n-Hexadecane and Its Intermediates by Pseudomonas aeruginosa under Microaerobic and Anaerobic Denitrifying Condotion. Aplied and Environmental Microbiology. Feb 2000. P.493-498 Citroreksoko P. 1996. Pengantar Bioremediasi Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong 24-28 Juni 1996. LIPI-BPPT-HSF. Cookson JT. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. USA : McGraw-Hill Companies, Inc. Daubaras D, Chakrabarty AM. 1992. The Environment, Microbes and Bioremediation: Microbial Activities Modulated by the Environment. J Biodegradation 3: 125-135. Kluwer Academic Publisher. Netherland. Dibble JT, Bartha R. 1979. Effect of Environmental Parameters on The Biodegradation of Oil Sludge. Applied Environ. Microbiol. 37:729-739. Doelle HW. 1994. Microbial Process Development. World Scientific. Hongkong. pp. 170 – 175. Eaton AD, Aesceri LS, Rice EW, Greenberg AE. 2005. Standar Methods For the Examination of Water and Wastewater. Washington DC: American Public Health Association. Eris FR. 2006. Pengembangan Teknik Bioremediasi dengan Slurry Bioreaktor untuk Tanah Tercemar Minyak Diesel. Pascasarjana IPB Fletcher RD. 1991. Practical Consideration During Bioremediation. dalam Wise DL, Trantolo DJ. 1992. Remediation of Hazardous Waste Contaminated Soils. Marcel Dekker, Inc. New York. Hong Kong Garcia C, Marin JA, Hernandez T. 2005. Bioremediation of oil refinery sludge by landfarming in semiarid conditions: Influence on soil microbial activity. Environ Res 98:185–195. Higgins IJ, Gilbert PD. 1978. The Biodegradation of Hydrocarbons. The Oil Industry and Microbial Ecosystem. Proceedings of the Meeting Organized

89

by the Institute of Petroleum and Held at the University of Warwick England. Hyden and Son Limited, London. Hurtig RM, Wagner F. 1992. Microbial Degradation of Aliphatic Hydrocarbons and its Environmental Importance. Dalam R.K. Finn, P. Prave, M. Schlingmann, W. Crueger, K. Esser, R. Thauer dan F. Wagner (Eds.). Biotechnology Focus 3 Fundamentals Applications Information. Hanser Publisher. Barcelona. Hal. 318 – 327. Kao CM, Wang CC. 2000. Control of BTEX migration by intrinsic bioremediation at a gasoline spill site. Wat Res 34 (13):3413-3423. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup. Leahly JG, Colwell RR. 1990. Microbial Degradation of Hydrocarbon in The Environment. Microbiological Reviews. 54 (3): 305-315. Lodge JP. 1989. Methods of Air Sampling and Analysis. New York: Lewis. Poon CP. 1996. Completion Report : Landfarming Technology For On-Site Bioremediation Of Hydrocarbon-Contaminated Soils : Laboratory And Field-Scale Evaluation. University of Rhode Island : Water Resources Centre. Lestari Y. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB. Pritchard PH, Muller JQ, Lantz SE, Santavy DL. 1993. The Potential Importance of Biodiversity in Environmental Biotechnology Application: Bioremediation of PAH-Contaminated Soil and Sediments. Paper in Alsopp, D., R.R. Colwell dan D.C. Hawksworth (editor). 1993. Microbial Diversity and Ecosystem Function, CAB International in Association With UNEP, UK. Ramos SM, Bernal DA, Molina JA, Cleemput OW, Dendooven L. 2009. Emission of nitrous oxide from hydrocarbon contaminated soil amended with waste water sludge and earthworms. Appl Soil Ecol 4:69-76.

90

Rosenberg E, Ron EZ. 1998. Bioremediation of Petroleum Contamination. dalam Crawford, R.L. and D.L. Crawford (ed.). Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. Cambridge. Saputra H. 2006. Penerapan biofilter untuk penghilangan NH 3 dan H 2 S dengan menggunakan bakteri Nitrosomonas sp dan Thiobacillus sp. di pabrik lateks pekat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saenz DR, Segura PBZ, Barajas CG, Pena EIG. 2009. H 2 S and volatile fatty acids elimination by biofiltration: Clean-up process for biogas potential use. J Hazardous Materials 163:1272–1281. Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta. Takeshita T, Higuchi S, Hanashima M. 2008. Investigation of hydrogen sulfide generation and degradation properties using experimental landfill leachate. J Biol Sci 8:73-79. Wulandari EN. 2010. Pengujian Konsorsium Mikroba dari Kotoran Sapi dan Kuda pada Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat (LMB). FMIPA IPB.

91

Lampiran 3.1 Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming

Minggu Kontrol LMB LMB + keKompos 0 5 5 6 1 5 5 6 2 4 4 6 3 4 4 6.5 4 4 4 6 5 4 4 6 6 4 4 6.5 7 4 4 7 8 4 4 5.5 9 6 6 6.5 10 6 6 7 11 7 6 6 12 6 6 7 13 6 6 7 14 5.5 5.5 6.5 15 5.5 5.5 6.5 16 5.5 5.5 6.5 Keterangan: LMB = Limbah Minyak Berat

LMB + Tanah liat 5 5 4.75 4.5 5 4.5 5 4 4 6 6 6 6 6 6 6 6

LMB + Kompos + Tanah liat 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 5.5 5.5 5.5

92

Lampiran 3.2 Nilai kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Kontrol

LMB

LMB + LMB + Kompos Tanah liat 10.41 11.40 32.76 13.07 16.53 17.45 33.98 11.05 12.64 11.23 30.51 11.42 19.99 11.01 29.07 10.35 15.42 13.27 32.67 12.63 12.88 18.22 31.56 11.36 10.72 15.92 25.33 11.05 12.26 18.02 26.48 10.30 15.42 19.19 22.97 14.61 18.85 18.24 20.31 17.47 17.54 18.27 21.26 14.24 14.69 11.42 20.92 13.17 10.28 11.84 27.44 19.84 13.43 10.10 27.17 19.41 18.46 18.05 32.18 12.75 19.88 17.16 31.18 11.24 18.77 19.38 26.29 12.16 Keterangan: LMB = Limbah Minyak Berat

LMB + Kompos + Tanah liat 20.00 18.19 15.50 17.66 22.86 18.43 14.96 14.64 17.27 14.37 19.44 22.35 22.00 17.02 13.33 10.20 18.25

93

Lampiran 3.3 Nilai suhu (oC) selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Kontrol 42 42 31.5 37 31.5 30 39 38 49.5 45 45.5 38 40.5 45.5 38.5 31.5 28

LMB 41.75 41.75 31.75 36.5 31.75 29.5 38.5 37.5 49.5 47.5 43.75 38 41 45.75 38.75 31.5 27.75

LMB + Kompos 33.75 33.75 31.5 28.75 30 27.5 39 47.75 43.5 40.5 35 35.5 32.25 39.5 34.75 34.5 32

LMB + Tanah Liat 36.5 36.5 32 35.5 31.75 30.5 31.25 37.75 51.25 45.25 38.5 44.25 36.25 41 40.5 33.25 29.5

LMB + Kompos + Tanah Liat 32.75 32.75 31 28.75 30.5 28.75 35.25 41.75 45.25 38 35.5 36 33.5 38.25 36 31.5 30.75

94

Lampiran 3.4 Nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke-

Kontrol

0 1 2 3 4 6 8 10 12 14 16

15.84 16.72 13.47 14.20 13.87 11.91 15.26 14.69 16.55 13.02 13.43

LMB

LMB + Kompos

LMB + Tanah Liat

15.32 13.31 15.14 15.25 15.25 13.16 14.60 14.12 15.16 13.70 12.62

11.96 8.43 9.59 8.77 7.96 6.79 7.53 9.04 6.59 6.22 5.58

8.73 7.28 7.47 6.59 6.60 4.65 5.21 7.46 5.48 4.01 5.78

LMB + Kompos + Tanah Liat 6.52 7.94 7.61 7.84 6.45 5.55 5.54 6.38 4.43 5.93 4.87

Lampiran 3.5 Persen degradasi selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke0 1 2 3 4 6 8 10 12 14 16

Kontrol

LMB

0.00 0.00 14.96 10.39 12.46 24.82 3.70 7.31 0.00 17.80 15.23

0.00 13.07 1.12 0.45 0.43 14.09 4.66 7.79 1.02 10.55 17.60

LMB + Kompos 0.00 29.55 19.80 26.65 33.49 43.26 37.05 24.42 44.87 48.00 53.35

LMB + Tanah Liat 0.00 16.66 14.39 24.55 24.46 46.69 40.33 14.59 37.17 54.06 33.81

LMB + Kompos + Tanah Liat 0.00 0.00 0.00 0.00 1.01 14.81 14.99 2.09 32.08 9.05 25.26

95

Lampiran 3.6 Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan akhir pengukuran

Data kromatogram perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB tanpa pencampur pada minggu ke- 0

Data kromatogram perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB tanpa pencampur pada minggu ke-16

96

Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan kompos pada minggu ke-16

Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan tanah liat pada minggu ke-16

Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos pada minggu ke-16

97

Lampiran 3.7 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi pada awal pengukuran Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-0

Senyawa hidrokarbon Tetrahydro 2-5 dimetil furan Oktametil siklotetra siloksan Dekametil siklopentasiloksan Dodekametil sikloheksasiloksan Tetradekana Pentadekana Heksadekana Heptadekana Oktadekana Pentatriakontana Nonadekana Metil heksadekanoat Eikosana Heneikosana Dokosana 1-nonadekana

Waktu retensi 7.585 12.565 15.170 17.781 19.400 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.300 28.217 30.812

Area 0.39 0.15 0.33 0.82 0.57 1.11 1.28 1.49 0.43 0.18 1.80 0.32 1.66 1.83 0.56 1.39

98

Lampiran 3.8 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di akhir pengukuran pada berbagai perlakuan Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan LMB tanpa pencampur

Senyawa hidrokarbon heksametil siklotrisiloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana nonadekana eikosana heneikosana dokosana trikosana 1-nonadekana

Waktu retensi 9.446 15.165 16.455

Area(%) 0.62 0.25 0.08

17.776 19.401 20.717 21.828 23.128 24.255 25.255 26.331 27.295 28.223 29.104 29.261

1.61 0.04 0.32 0.26 0.15 0.34 0.62 0.49 0.59 0.25 0.42 0.30

Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan kompos

Senyawa hidrokarbon toluene heksametil siklotrisiloksan dekametil siklopentasiloksan dodekametil sikloheksasiloksan

Waktu retensi 8.709 9.453

Area(%) 0.20 1.77

15.377

0.18

17.966

0.20

99

Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat

Senyawa hidrokarbon heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetrasiloksan benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan heptadekana oktadekana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana oktadecenoic acid, metil ester 1-oktadekana 2-etilheksiltrans-4metoksinamat

Waktu Area(%) retensi 9.460 1.08 12.579 0.18 17.470 0.10 17.973 23.341 24.457 25.516 25.763 26.528 27.493

0.66 0.10 0.06 0.07 0.14 0.22 0.70

27.519 28.468

0.54 1.30

29.616

0.12

Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos

Senyawa hidrokarbon tetrahydro 2-5 dimetil furan toluene benzene, 1,3 dimetil oktametil siklotetrasiloksan dekametil siklopentasiloksan

Waktu retensi 7.599 8.715 10.781 12.568 15.378

Area(%) 0.19 0.07 0.42 0.19 0.11

100

Lampiran 3.9 Perubahan area senyawa yang terdeteksi dengan GCMS selama proses bioremediasi Perubahan area pada perlakuan LMB tanpa pencampur Senyawa hidrokarbon tetrahidro 2-5 dimetil furan toluene heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriacontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana metal oktadekanoat dokosana 1-oktadekana 1-nonadekana heksakosana

C ke-n C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-7 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-19 C-26

Waktu retensi 7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.47 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 30.812 32.029

Area minggu ke0 16 0.39 td td td td 0.62 0.15 td 0.33 0.25 td 0.08 td td 0.82 1.61 0.57 0.04 1.11 0.32 1.28 0.26 1.49 0.15 0.43 0.34 0.18 td 1.8 0.62 0.32 td 1.66 0.49 1.83 0.59 td td 0.56 0.25 td td 1.39 0.30 td td

101

Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan kompos Senyawa hidrokarbon tetrahidro 2-5 dimetil furan toluene heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneicosana metal oktadekanoat Dokosana 1-oktadekana 1-nonadekana Heksakosana Keterangan : td = tidak terdeteksi

C ke-n C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-7 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-19 C-26

Waktu retensi 7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.47 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 30.812 32.029

Area minggu ke0 16 td 0.39 td 0.20 td 1.77 td 0.15 0.33 0.18 td td td td 0.82 0.20 0.57 td 1.11 td 1.28 td 1.49 td 0.43 td 0.18 td 1.8 td 0.32 td 1.66 td 1.83 td td td 0.56 td td td 1.39 td td td

102

Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat Senyawa hidrokarbon tetrahidro 2-5 dimetil furan toluene heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana Pentatriacontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana metal oktadekanoat dokosana 1-oktadekana oktil metoksisinamat 1-nonadekana heksakosana Keterangan : td = tidak terdeteksi

C ke-n C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-7 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-18 C-19 C-26

Waktu retensi 7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.47 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 29.616 30.812 32.029

Area minggu ke0 16 0.39 td td td td 1.08 0.15 0.18 td 0.33 td td Td 0.10 0.82 0.66 td 0.57 td 1.11 td 1.28 1.49 0.10 0.43 0.06 0.18 td 1.8 0.07 0.32 0.14 1.66 0.22 1.83 0.70 td 0.54 0.56 td td 1.30 td 0.12 1.39 td td Td

103

Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos Senyawa hidrokarbon tetrahydro 2-5 dimetil furan heptana toluene 1,3 dimetil benzene oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontane nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana metal oktadekanoat dokosana 1-oktadekana 1-nonadekana heksakosana Keterangan : td = tidak terdeteksi

C ke-n C-6 C-7 C-7 C-8 C-8 C-10 C-12 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-19 C-26

Waktu retensi 7.585 7.373 8.716 10.781 12.565 15.165 16.455 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 30.812 32.029

Area minggu ke0 16 0.39 0.19 td 0.13 td 0.07 td 0.42 0.15 0.19 0.33 0.11 td td td 0.82 td 0.57 td 1.11 td 1.28 td 1.49 td 0.43 td 0.18 td 1.8 td 0.32 td 1.66 td 1.83 td td td 0.56 td td td 1.39 tTd td

104

Lampiran 3.10 Konsentrasi gas CO 2 (mg/m3) selama proses bioremediasi dengan landfarming Konsentrasi CO 2 (mg/m3) Kode

Minggu Ke0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

K

Ttd

184.1

229.5

228.9

18.7

340.3

86.4

124.4

59.5

225.0

161.7

177.0

28.9

220.5

254.0

140.5

92.6

A

14.5

152.5

147.6

214.3

290.8

195.5

153.3

157.8

161.3

212.0

121.5

165.1

140.1

103.1

175.1

107.7

62.5

B

297.4

339.8

208.5

102.2

169.3

259.0

348.0

276.7

391.9

317.9

367.2

306.3

98.6

173.2

239.0

129.9

131.4

C

85.0

252.2

321.4

30.7

360.9

158.7

175.5

169.6

129.7

102.8

153.4

129.3

135.6

115.9

103.8

70.4

324.9

D

366.9

336.3

313.3

Ttd

210.1

250.8

245.5

315.0

164.4

253.6

225.4

161.6

136.7

225.1

223.5

49.2

184.6

.

Keterangan: ttd = tidak terdeteksi K = kontrol A = LMB B = LMB + kompos C = LMB + tanah liat D = LMB + kompos + tanah liat

105

Lampiran 3.11 Konsentrasi Gas NH 3 (μg/m3) selama proses bioremediasi dengan landfarming Konsentrasi NH 3 (µg/m3) Kode

Minggu Ke0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

K

240.1

247.0

46.1

99.1

97.4

46.6

35.5

197.6

170.3

201.7

91.9

221.5

153.7

ttd

ttd

14.3

77.6

A

178.7

206.5

47.9

66.2

31.4

126.0

46.3

265.1

187.9

168.1

211.3

120.1

319.4

159.9

160.9

270.1

79.5

B

Ttd

136.2

59.7

60.3

25.8

98.9

42.7

124.6

121.3

85.5

221.5

81.1

87.7

79.9

78.7

102.6

20.3

C

79.5

362.5

81.8

237.6

58.1

292.9

17.1

144.8

230.0

88.7

152.6

65.3

187.1

80.3

200.9

141.5

161.7

D

98.9

258.0

130.4

58.9

39.7

167.4

26.2

115.7

95.0

95.0

170.4

92.9

100.5

141.7

45.9

68.5

71.3

Keterangan: ttd = tidak terdeteksi K = kontrol A = LMB B = LMB + kompos C = LMB + tanah liat D = LMB + kompos + tanah liat

BAB IV ISOLASI, SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT ABSTRAK Limbah minyak berat (LMB) terutama komponen hidrokarbon aromatiknya sulit didegradasi oleh bakteri, hanya bakteri tertentu yang dapat mendegradasinya. Untuk itu dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon aromatik pada tanah tercemar limbah minyak berat. Bakteri diisolasi dari limbah minyak berat yang berasal dari industri minyak bumi dan kotoran hewan. Isolasi dilakukan dalam medium minimum ONR7a. Pemurnian dilakukan dengan menggunakan metode gores pada medium marine agar. Isolat yang sudah murni, dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan kemampuan biakan terseleksi dalam mendegradasi PAH dengan melakukan subkultur ke dalam medium cair ONR7a yang mengandung senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Terhadap isolat yang sudah murni juga dilakukan pengukuran aktivitas emulsifikasi menggunakan parafin padat. Aktivitas emulsifikasi diukur dengan menggunakan metode Johnsons. Isolat yang diperoleh diseleksi berdasarkan kemampuan bertahan hidup dan tumbuh pada medium yang mengandung limbah minyak berat serta kemampuan untuk mendegradasi limbah minyak berat. Terhadap isolat mikroba yang didapat dilakukan identifikasi secara molekular dengan 16S rDNA. Dari hasil isolasi yang telah dilakukan didapat 11 isolat yang mampu mendegradasi senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Dari 11 isolat yang didapat maka diperoleh 3 isolat yang memiliki kinerja terbaik dalam mendegredasi limbah minyak berat yaitu isolat dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4, bakteri MY12 dengan Bacillus altituditis, dan bakteri MYFlr dengan Ochrobactrum anthropi.

109

PENDAHULUAN Penanganan limbah minyak berat dengan menggunakan konsorsium bakteri pendegradasi senyawa hidrokabon dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan oleh limbah minyak bumi. Banyaknya spesies bakteri yang mampu mendegradasi hidrokarbon kemungkinan berhubungan dengan ketersediaan hidrokarbon secara universal di alam sebagai hasil dekomposisi tumbuhan dan pelepasan minyak bumi dari cadangan geologis (Pritchard 1993). Adanya peningkatan produksi dan konsumsi minyak mentah dan turunannya serta transportasi bahan tersebut ke berbagai lokasi yang jauh dalam jumlah besar, membuat peran hidrokarbon sebagai substrat potensial bagi oksidasi mikrobial menjadi semakin penting. Dengan demikian, wajar saja bila bakteri pendegradasi hidrokarbon telah banyak ditemukan dari berbagai lokasi, baik lingkungan akuatik maupun terestrial (Rosenberg dan Ron 1998). Salah satu sumber mikroba pendegradasi minyak bumi yang telah banyak dieksplorasi adalah lingkungan tercemar limbah minyak bumi.

Isolat

yang

mendominasi di lingkungan tersebut terdiri atas beberapa genera, yaitu Alcaligenes, Arthrobacter, Acinetobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, dan Pseudomonas. Di samping itu juga ditemukan sejumlah jamur pendegradasi minyak bumi, yaitu dari genera Aureobacterium, Candida, Rhodotorula, Sporobolomyces yang diisolasi dari laut serta Trichoderma dan Mortierella yang diisolasi dari tanah. Penelitian pada isolat Aspergillus dan Penicillium yang diisolasi dari laut dan tanah menunjukkan bahwa kedua mikroba ternyata juga berperan dalam proses degradasi minyak bumi (Leahy dan Colwell 1990). Menurut Waksman (1957), mikroba yang berperan dalam proses tersebut berasal baik dari kotoran itu sendiri maupun dari tanah di sekitarnya. Mikrobamikroba tersebut dapat tumbuh dengan subur dengan memanfaatkan kandungan karbohidrat dan protein dari kotoran hewan untuk keperluan sintesis sel mikrobial. Kandungan hidrokarbon pada lingkungan yang tercemar minyak relatif lebih tinggi dibandingkan lingkungan normal. Pada keadaan tersebut, mikroba yang

110

dapat bertahan adalah yang memiliki kemampuan untuk merubah proses biokimia dan molekulernya sebagai respon adaptif terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Pada penelitian ini digunakan limbah minyak berat yang mengandung senyawa poliaromatik hidrokarbon sehingga lebih sulit didegradasi oleh bakteri. Hanya bakteri tertentu yang dapat mendegradasi senyawa aromatik yang terdapat dalam limbah minyak bumi fraksi berat. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan isolasi, seleksi dan identifikasi senyawa pendegradasi hidrokarbon tingkat tinggi ini dari limbah minyak berat yang terdapat pada industri perminyakan. Diharapkan isolat murni yang memiliki kinerja yang tinggi dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon aromatik dapat digunakan untuk mengatasi masalah pencemaran yang yang disebabkan oleh limbah minyak berat.

METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah kotoran segar sapi dan kuda dari Fakultas Peternakan IPB Darmaga, limbah minyak berat diambil dari industri minyak bumi di Riau, senyawa PAH (fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena) dan bahan-bahan analisis seperti media mineral, media ONR7, minyak diesel, air laut, marine agar (Lampiran 4.1), marine broth, gel agarose, tris-EDTA, heksana, spiritus, Na 2 SO 4 anhidrat, silika gel, NaCl, larutan baku ferroamoniumsulfat (FAS), indikator ferroin, H 2 SO 4 , Ag 2 SO 4 , K2 Cr 2 O 7 , dan indikator universal. Alat-alat yang digunakan adalah penggiling daging, rotary evaporator, shaker, autoklaf, PCR, inkubator dan Spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu. Pengambilan Sampel Contoh kotoran segar sapi dan kuda diambil dari kandang (sapi dan kuda) Fakultas Peternakan IPB, Darmaga. Kotoran sapi dan kuda yang masih segar mempunyai kadar nitrogen (amonia, urin) yang tinggi yang dibutuhkan oleh sejumlah mikroba untuk keperluan metabolismenya.

Limbah minyak berat

111

diperoleh dari ladang minyak duri PT Chevron Pacific Indonesia. Limbah minyak berat memiliki kandungan karbon yang cukup tinggi

yang dibutuhkan oleh

sejumlah mikroba untuk hidup. Sebanyak 200g berat basah masing-masing contoh kotoran sapi dan kuda dilarutkan dalam 4L air (1:10) dalam toples plastik 8L

dan kedalamnya

ditambahkan media mineral yang mengandung (mg/L): FeSO 4 .7H 2 O (200), ZnSO 4 .7H 2 O (10), MnCl2 .4H 2 O (3), CoCl2 .6H 2 O (20),

CuCl2 .2H 2 O (1),

NiCl2 .6H 2 O (2), Na 2 MoO 4 .2H 2 O (500), H 3 BO 3 (30), dan 5 ml minyak diesel(% v/v) sebagai sumber karbon. Penggunaan minyak diesel ini dilakukan untuk adaptasi konsorsium mikroba sebelum digunakan limbah minyak berat. Contoh disimpan di laboratorium pada temperatur ruang (25-27 oC) selama 2 minggu dan diberi aerasi. Setelah 2 minggu ditambahkan 5% limbah minyak berat (b/b). Setiap hari dilakukan pengukuran pH contoh, bila pH terlalu asam atau terlalu basa ditambahkan H 2 SO 4 8N atau NaOH 6N sampai pH normal. Isolasi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon Sebanyak 1 gram lumpur konsorsium diencerkan sebesar 105 kali dengan larutan garam fisiologis (0.85% NaCl steril) kemudian diinokulasikan dengan metode tuang pada cawan petri. Media yang digunakan adalah nutrien agar (NA) dan marine agar (MA). Setiap cawan diberi label berdasarkan jenis media. Cawan diinkubasikan secara terbalik pada suhu 30oC selama satu minggu. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap koloni-koloni yang baru tumbuh. Setiap koloni yang muncul diberi kode, diisolasi dengan menggunakan media minimum ONR7a yang kemudian ditambahkan senyawa PAH (fenantrena,

dibenzotiofena, dan

fluorena) dengan menggunakan teknik sublimasi. Teknik sublimasi dilakukan dengan pemanasan senyawa fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena pada suhu optimum tertentu, untuk menguapkan senyawa tersebut. Senyawa PAH yang menguap tadi akan segera menyublim dan tertangkap pada media ONR7a yang diberi pendingin es batu. Setelah menemukan zona bening di sekitar biakan potensial yang telah terisolasi, secara aseptik diinokulasikan kembali ke medium ONR7a. Inkubasi pada suhu normal selama 24-72 jam. Kemudian dimurnikan dengan menggunakan metode gores pada medium marine agar. Isolat yang sudah

112

murni, dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan kemampuan biakan terseleksi dalam mendegradasi PAH dengan melakukan subkultur ke dalam 5 ml medium cair ONR7a yang mengandung 5 mg kristal senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Terhadap isolat yang sudah murni juga dilakukan pengukuran aktivitas emulsifikasi menggunakan parafin padat. Aktivitas emulsifikasi diukur dengan menggunakan metode Johnsons et al.(1992). 4,5ml supernatan ditambah dengan 0,5ml hidrokarbon uji (parafin padat). Setelah divorteks selama 1 menit, campuran tersebut diukur kestabilan emulsinya dengan mengukur nilai OD campuran setelah inkubasi selama 2 jam, pada panjang gelombang 610nm. Kontrol terdiri dari air mineral dan hidrokarbon uji. Seleksi Isolat Bakteri Isolat yang diperoleh diseleksi berdasarkan kemampuan bertahan hidup dan tumbuh pada medium yang mengandung limbah minyak berat serta kemampuan untuk mendegradasi limbah minyak berat. Seleksi mikroba dilakukan berdasarkan kemampuannya menurunkan pH, meningkatkan populasi mikroba dan persen biodegradasi minyak pada media minimal dengan sumber karbon dari limbah minyak berat. Isolat diinkubasi pada suhu 30oC selama 1 bulan. TPC, pH dan TPH diamati pada hari ke 0, 3, 7, 14, 21 dan 28. Identifikasi Biakan Murni Terseleksi Pendegradasi Hidrokarbon Terhadap isolat yang terseleksi dilakukan dentifikasi secara molekular (16s rDNA) Analisis molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekuensing. 1. Ekstraksi DNA dan Amplifikasi. Ekstraksi DNA menggunakan intragene matrix kit (Biorad) dilanjutkan dengan amplifikasi. Hasil optimasi PCR diperoleh komposisi per reaksi sebesar 25 µL menggunakan Primer 9 F (5`GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan 1510 R (5` GGCTACCTTGTTACGACTT) 20 pmol masing-masing sebesar 1.25 µL, DNA templete 2.5 µL, Go Taq® master mix (Promega) sebesar 12.5 µL dan 7.5 µL air deionisasi. Reaksi PCR dengan menggunakan Thermalcycler (Shuzo T) selama 35 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 94 ºC selama 5 menit, kemudian dilanjutkan

113

dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi 1 menit pada suhu 94 ºC, annealing 1 menit pada suhu 56 ºC dan 2 menit ekstensi pada suhu 72 ºC. Setelah 35 siklus selesai, diikuti 4 menit pada suhu 72 ºC dan pendinginan pada suhu 4 ºC selama 30 menit. Hasil amplifikasi di fraksinasi secara elektroforesis menggunakan Mupid Mini Cell (Exu) pada gel agarose 1% dalam buffer TEA (Tris-EDTA) selama 20 menit pada 100 V. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi 1 µL/100 mL selama 15 menit. Hasil pemisahan divisualisasi pada Gel Doc Printgraph (Bioinstrument, ATTO) menggunakan UV transluminator dengan menggunakan standar 100 bp DNA ladder (Promega) untuk mengetahui hasil dan ukuran pita DNA hasil amplifikasi. 2. Purifikasi Produk PCR Purifikasi DNA produk PCR dilakukan dengan metode presipitasi. Produk PCR ditambah dengan 0.1 dan 2 kali total volume dengan 3M Na-asetat pH 5.2 dan 95% etanol kemudian didinginkan pada suhu -20 ºC selama 1 jam. Tahap selanjutnya adalah disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 xg selama 30 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan dicuci dengan 85% ethanol untuk kemudian disentrifugasi ulang 10.000 xg selama 45 menit. Supernatan dibuang dan pelet dipresipitasi pada suhu ruang. Pelet DNA dilarutkan dengan 15 µL air deionisasi. 3. Cycle Sekuensing Tahap selanjutnya adalah cycle sekuensing dengan menggunakan primer tunggal 9 F. Komposisi yang digunakan untuk tiap tabung adalah 1 µL primer 5 pmol, 150 ng DNA hasil purifikasi, 0.2 µL Big Dye Terminator sequen premix kit (Applied Biosystems), 5 kali sequen bufer 2 µL dan air deionisasi sampai volume 10 µL. Selanjutnya dilakukan amplifikasi dengan PCR sebanyak 30 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 96 ºC selama 20 detik diikuti dengan siklus yang terdiri dari denaturasi 10 detik pada suhu 96 ºC, annealing 5 detik pada suhu 50 ºC dan 4 menit ekstensi pada suhu 60 ºC.

114

4. Preparasi dan Sekuensing Preparasi dilakukan dengan mencampurkan 10 µL produk cycle sekuensing dengan 1 µL 3M Na-asetat dan 25 µL etanol absolut kemudian di vortex dan didiamkan selama 15 menit. Tahap berikutnya dilakuan sentrifugasi 16.000 xg selama 20 menit pada temperatur ruang. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 70% etanol untuk kemudian disentrifugasi ulang 16.000 xg selama 5 menit. Supernatan diuang dan pelet dipresipitasi selama 5 menit. Pelet DNA yang sudah kering ditambah dengan 15 µL HiDi-Formamide (Applied Biosystems) dan di vortex. Sampel kemudian dipanaskan 95 ºC selama 2 menit dan segera didinginkan dalam es. Tahap selanjutnya sampel diinjeksi dengan sekuenser model ABI 3130 (Applied Biosystems). 5. Analisis Filogenetik Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada Bank Gen NCBI dataLibrary. Filogenetik analisis menggunakan program multiple aligment Clustal X versi 1.83. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan jarak kekerabatan genetik dengan metode Neighbor joining.

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon Bakteri pendegradasi senyawa hidrokabon diisolasi dari konsorsium bakteri yang berasal limbah minyak berat dan kotoran hewan (sapi dan kuda). Populasi bakteri dari sampel dengan metode Total Plate Count (TPC) berjumlah 1.12 x 108 CFU/ml dengan representatif koloni yang tumbuh di representasikan pada Gambar 4.1. Total bakteri yang aktif akan menentukan kemampuan bakteri untuk mendegradasi polutan. Jumlah sel yang memungkinkannya untuk dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yaitu 1 x 106 cfu/g sampai 1 x 108 cfu/g (Trinidade et al. 2002). Populasi bakteri pada limbah minyak berat dapat optimal

115

mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah karena memiliki populasi bakteri sebesar 1.12 x 108 CFU/ml.

(A)

(B)

Gambar 4 .1 Populasi mikroba pada campuran LMB dengan kotoran sapi dan kuda (A) dan Colony Library pada medium marine agar (B)

Bakteri yang terkandung dalam limbah minyak berat ini diduga potensial sebagai pendegradasi senyawa PAH, untuk itu pada proses isolasi ditambahkan PAH dengan menggunakan teknik sublimasi dengan menggunakan

medium

minimum ONR7a. Teknik sublimasi dilakukan dengan pemanasan PAH pada suhu optimum tertentu, hal ini dilakukan bertujuan untuk menguapkan senyawa PAH tersebut. Senyawa PAH yang menguap tadi akan segera menyublim dan tertangkap pada media ONR7a yang diberi pendingin es batu. Kemampuan bakteri mendegradasi senyawa PAH ditunjukkan dengan adanya zona bening pada bakteri pendegradasi senyawa fenantrena dan perubahan warna pada bakteri pendegradasi senyawa dibenzotiofena. Setelah menemukan zona bening dan adanya perubahan warna di sekitar biakan potensial yang telah terisolasi, secara aseptik diinokulasikan kembali biakan-biakan potensial tersebut ke medium ONR7a. Inkubasi pada suhu normal selama 24-72 jam, kemudian dipindahkan bakteri potensial tersebut ke media minimum ONR7a kembali. Uji kemurnian biakan dengan menanamnya di medium kaya (medium marine agar). Isolat yang sudah murni, disubkultur ke dalam 5 ml medium cair ONR7a yang mengandung 5 mg kristal senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena, kemudian dilakukan uji konfirmasi untuk

116

memastikan kemampuan biakan terseleksi dalam mendegradasi PAH fenantrena. Uji konfirmasi yang pertama, dilakukan dengan menginokulasikan kembali biak terseleksi pada medium ONR7a tersublimasi fenantrena, dan diamati zona bening atau perubahan warna medium ONR7a.

Gambar 4.2 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model fenantrena

Gambar 4.3 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model dibenzotiofena

Gambar 4.4 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model fluorena

117

Hasil uji konfirmasi isolat menggunakan senyawa model ditampilkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Uji konfirmasi isolat menggunakan senyawa model fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Kode isolat MY 1 MY 3 MY 5 MY 6 MY 7 MY 8 MY 9 MY10 MY11 MY12 MYFlr

Senyawa PAH yang dapat didegradasi Fenantrena Fenantrena Dibenzotiofena Dibenzotiofena + Fenantrena Dibenzotiofena + Fenantrena Dibenzotiofena + Fluorena Dibenzotiofena Dibenzotiofena Dibenzotiofena Dibenzotiofena Fluorena

Setelah dilakukan uji konfirmasi, isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa-senyawa model kemudian dimurnikan pada medium kaya nutrien yaitu marine agar. Gambar 4.5 menunjukkan proses pemurnian isolat dengan menggunakan metoda gores. a

b

c

Gambar 4.5 Pemurnian isolat menggunakan metode gores pada senyawa dibenzotiofena (a), fluorena (b), dan fenantrena (c)

118

Pengukuran aktivitas emulsifikasi menggunakan parafin padat

Aktivitas emulsifikasi diukur dengan menggunakan metode Johnsons et al.(1992). 4.5 ml supernatan ditambah dengan 0.5 ml hidrokarbon uji (parafin padat, C=23). Setelah divorteks selama 1 menit, campuran tersebut diukur kestabilan emulsinya dengan mengukur nilai OD campuran setelah inkubasi selama 2 jam, pada panjang gelombang 610 nm. Kontrol terdiri dari air mineral sintetis dan hidrokarbon uji.

Hasil uji aktivitas emulsifikasi dari supernatan

ditampilkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil uji aktifitas emulsifikasi dari supernatan isolat hasil isolasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Kode isolat MY1 MY3 MY5 MY6 MY7 MY8 MY9 MY10 MY11 MY12 MYFlr

OD (610 nm) 0,463 0,592 0,465 0,427 0,662 0,437 0,150 0,286 0,421 0,189 0,318

Dari hasil spektrofotometri dengan panjang gelombang 610 nm, isolat dengan kode MY7 memiliki kemampuan melarutkan parafin padat lebih besar dibandingkan dengan isolat lainnya. Hal ini sejalan dengan kemampuan isolat tersebut yang juga memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon fenantrena dan dibenzotiofena. Seleksi Isolat Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon Kemampuan isolat bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah minyak berat dilakukan untuk menyeleksi isolat yang akan digunakan untuk proses selanjutnya dengan mengamati isolat yang memiliki kinerja terbaik yang dapat dilihat dari TPH terkecil. Dari 11 isolat yang diperoleh, dilakukan proses seleksi terhadap isolat yang memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa dibenzotiofena yaitu isolat dengan kode MY5, MY9,

119

MY10, MY11 dan MY12. Dari ke-5 isolat tersebut, isolat dengan kode MY12 memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon dengan persen TPH sebesar 0.26%. Selanjutnya dilakukan seleksi terhadap 7 isolat lainnya yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa

fenantrena,

dibenzotiofena dan fluorena. Dari seleksi isolat MY1, MY3, MY6, MY7, MY8, MY12 dan MFlr akan didapat 3 isolat yang memiliki kinerja terbaik dengan mengamati 5 parameter selama 1 bulan pengamatan yaitu populasi bakteri, pH, TPH padat dan cair, dan COD. Populasi Bakteri pada Seleksi Isolat Pertumbuhan sel bakteri yang optimum akan meningkatkan tingkat degradasi hidrokarbon atau semakin menurunnya nilai TPH dalam limbah minyak berat. Besarnya populasi bakteri dipengaruhi oleh kondisi pH lingkungannya. Apabila kondisi pH berada pada rentang normal atau netral, maka pertumbuhan sel isolat akan tumbuh dengan baik.

Pada hari ke-28 jumlah sel pada masing-

masing isolat masih menunjukkan nilai pertumbuhan sel yang baik. Jumlah sel pada masing-masing isolat tunggal optimum pada waktu yang berbeda-beda (Gambar 4.6 dan Lampiran 4.2). Isolat MY1 dan MY7 tumbuh optimum pada hari ke-21. Sedangkan isolat lainnya tumbuh optimum pada hari

Populasi bakteri (log CFU/ml)

ke-14, kecuali MY8 tumbuh optimum pada hari ke-28. 10 8 6 4 2 0 0

7

14

Waktu (hari)

21

28

Gambar 4.6 Pertumbuhan isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5%

120

Limbah minyak berat mengandung senyawa-senyawa toksik dengan konsentrasi tinggi sehingga isolat membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungannya (Cookson 1995). Isolat MY12 memiliki pertumbuhan sel paling baik karena populasi bakteri pada isolat MY12 lebih besar dibandingkan isolat lainnya. Hal ini menunjang visualisasi pertumbuhan yang memperlihatkan bahwa isolat MY12 lebih mengalami kekeruhan pada medianya dibandingkan isolat lainnya. Perubahan pH pada Seleksi Isolat Bakteri Kondisi pH yang normal atau netral membuat pertumbuhan sel

isolat

optimum. Jumlah sel isolat yang optimum akan meningkatkan kemampuan isolat dalam

degradasi

senyawa

hidrokarbon.

Peningkatan

tingkat

degradasi

diindikasikan dari penurunan nilai TPH setiap harinya. Pada hari ke-0 dan hari ke3 isolat tunggal cenderung belum menunjukkan kemampuannya dalam menurunkan TPH. Hal ini dikarenakan nilai pH pada hari ke-0 dan ke-3 masih rendah dengan nilai berkisar antara 4.5 dan 6.5 (Gambar 4.7 dan Lampiran 4.3). Nilai pH yang rendah akan menyebabkan isolat terhambat pertumbuhannya. Hal ini terlihat dari populasi bakteri hari ke-0 dan hari ke-3, pertumbuhan sel isolat masih sangat rendah. Setelah hari ke-3, nilai pH mengalami peningkatan maupun

pH

penurunan setelah sebelumnya nilai pH dinetralkan. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0

7

14 Waktu (hari)

21

28

Gambar 4.7 Perubahan pH isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲),

MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο)

pada media LMB 5%

121

Jika dalam proses biodegradasi terjadi kenaikan ataupun penurunan pH, pH dikontrol dengan menambahkan NaOH atau HCl sampai menjadi pH normal atau netral (pH 7). Nilai TPH pada Seleksi Isolat Nilai TPH menjadi acuan dalam menentukan tiga isolat pendegradasi hidrokarbon terbaik yang dilakukan. Semakin besar penurunan TPH yang terjadi maka kemampuan isolat dalam mendegradasi hidrokarbon dalam limbah minyak berat semakin baik. Besarnya penurunan TPH terlihat dari besarnya tingkat degradasi TPH. Berdasarkan penurunan nilai TPH atau besarnya tingkat degradasi TPH, tiga isolat terbaik dalam proses biodegradasi adalah MY7, MY12, dan MYFlr. Tingkat degradasi TPH MY12 terbesar pada hari ke-28 sebesar 65.42%, dengan nilai TPH akhir sebesar 6.54% (b/b) dari TPH awal sebesar 18,91% (b/b) (Gambar 4.8). Penurunan TPH yang paling drastis terjadi pada hari ke-14, selanjutnya penurunan TPH berlangsung konstan. Hal ini terlihat dari jumlah sel MY12 pada hari ke-14 paling besar yaitu sebesar 2.2 x 1010 cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah sel isolat maka semakin besar penurunan TPH yang terjadi.

TPH fasa padat (%)

25 20 15 10 5 0 0

7

14

21

28

Waktu (hari) Gambar 4.8 Perubahan TPH fasa padat isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5%

122

70

Persen Degradasi

60 50 40 30 20 10 0 0

7

14

21

28

Waktu (hari) Gambar 4.9 Persen degradasi isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5% Isolat terbaik kedua adalah MYFlr dengan tingkat degradasi terbesar pada hari ke-14, yaitu sebesar 47.16% (Gambar 4.9) dengan nilai TPH akhir sebesar 9.11% (b/b) dari TPH awal sebesar 19,34% (b/b) (Lampiran 4.4). Isolat terbaik ketiga adalah MY17 dengan tingkat degradasi TPH sebesar 38.66 % (Lampiran 4.5) dengan nilai TPH akhir sebesar 15,71% dari TPH awal sebesar 24.43%. Semakin besar penurunan dan tingkat degradasi TPH, maka semakin baik kemampuan isolat tersebut dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi. Tingkat degradasi TPH optimum pada waktu yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan kemampuan adaptasi setiap isolat berbeda-beda. Kemampuan adaptasi suatu isolat ditunjukkan dari populasi bakteri. Kenaikan nilai TPH yang terjadi pada proses biodegradasi dikarenakan bakteri telah melewati fase stasioner sehingga terjadi penurunan jumlah sel bakteri dan kemampuan bakteri dalam degradasi hidrokarbon ikut menurun. Anomali tingkat degradasi TPH yang terjadi pada MY1 dikarenakan kandungan hidrokarbon pada LMB tidak merata sehingga terjadinya perbedaan total hidrokarbon yang menyebabkan nilai negatif.

123

Nilai COD pada Seleksi Isolat Bakteri Isolat MY12 dan MYFlr

memiliki nilai COD yang lebih rendah

dibandingkan dengan isolat tunggal lainnya (Lampiran 4.6). Nilai COD yang rendah menunjukkan bahwa senyawa organik yang terdapat dalam sampel lebih sedikit, hal ini sesuai dengan penurunan persen TPH yang dialami oleh isolat MY12 dan MY Flr.

COD (1000mg/l

100 80 60 40 20 0 0

7

14 21 Waktu (hari ke-)

28

Gambar 4.10 Perubahan Nilai COD isolat MY1 (■), MY3 (□), MY6(▲), MY7 (∆), MY8 (●), MYFlr (○), dan MY12 (♦) pada media LMB 5% Dari parameter yang diamati maka isolat MY7, MY12 dan MYFlr memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi limbah minyak berat. Untuk selanjutnya ke-3 isolat ini diidentifikasi untuk mengetahui spesies bakteri yang masing-masing terkandung dalam isolat tersebut.

Identifikasi Isolat MY7, MY12 dan MYFlr Identifikasi bakteri dilakukan secara molekuler berdasarkan analisis genetika secara parsial pada 16S ribosomal DNA bakteri. Isolasi DNA diawali dengan menumbuhkan isolat bakteri dalam media Marine Agar dan diinkubasi selama 72 jam. Ekstraksi DNA bakteri dilakukan dengan menggunakan GES method (Pitcher et al, 1989).

124

Amplifikasi PCR menggunakan Primer 20 F (5’-GATTTTGATCCTGGC TCAG–3’) dan 1500 R (5-GTTACCTTGTTACGACTT–3’). 1

2

3

4

5

Keterangan: 1. Marker 2. MY 12 3. MY Flr 4. MY 7 5. Marker

Gambar 4.11 Hasil purifikasi 3 isolat unggul dengan PEG precipitation method Purifikasi hasil PCR dilakukan dengan PEG precipitation method (Hiraishi et al., 1995) dan dilanjutkan dengan siklus sekuensing dengan primer 520 F (5’GTGCCAGCAGCCGCGG-3’), 920 R (5’-GTCAATTCCTTTGATTT-3’). Hasil siklus sekuensing dipurifikasi kembali dengan etanol purification method. Analisis pembacaan urutan basa nitrogen menggunakan automated DNA sequencer (ABI PRISM 3130 Genetic Analyzer). Data mentah hasil sekuensing selanjutnya di trimming dengan program MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan selanjutnya dikonfersi dalam bentuk fasta format. Hasil sekuensing DNA dalam bentuk fasta format selanjutnya di blast untuk mencari homologi secara on line di pusat data base DNA di DDBJ (http://www.ddbj.nig.ac.jp).

125

Tabel 4.3 Hasil identifikasi molekuler 3 isolat unggul Kode Sampel MY7

Salipiger sp. PR 55-4

Homologi 100%

MY12

Bacillus altitudinis

Homologi 97%

MYFlr

Ochrobactrum anthropi

Homologi 97%

Takson Bakteri Terdekat Hasil Homologi BLAST di DDBJ

Ochrobactrum anthropi adalah bakteri gram negatif, aerobik, dan merupakan bakteri oksidase (Yu et al. 2007). Ochrobacrum sp. mampu memanfaatkan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs), seperti fenantrena, pyrene dan fluoranthene sebagai sumber karbon dan sumber energi (Yirui et al. 2009). Uji konfirmasi menunjukkan bahwa bakteri Ochrobactrum anthropi dapat mendegradasi senyawa fluorena yang terdapat dalam limbah minyak berat. Salipiger sp.PR55-4 adalah bakteri gram-negatif yang berbentuk batang dan termasuk bakteri aerobik chemoheterotrophic (tidak dapat tumbuh dalam kondisi anaerob). Menghasilkan enzim katalase dan fosfatase dan tidak menghasilkan asam dari karbohidrat. Tidak dapat tumbuh dengan karbohidrat atau asam amino sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi serta tumbuh terbaik pada 9-10 % (b/v) NaCl dan membutuhkan keberadaan Na+ (Martinez 2004). Dari uji konfirmasi yang dilakukan, bakteri Salipiger sp. PR55-4 ini dapat mendegradasi dibenzotiofena dan fenantrena. Bacillus altitudinis adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang (Shivaji et al. 2006), yang hanya dapat mendegradasi dibenzotiofena saja. Bacillus pumilus yang memiliki kekerabatan cukup dengan dengan Bacillus altitudinis memiliki kemampuan mendegradasi senyawa naftalena yang terdapat pada limbah minyak bumi (Calvo et al.2004) Tahap akhir adalah analisis kekerabatan dan pembuatan pohon filogenetik dengan menggunakan program Clustal X dan NJ plot. Bacillus altitudinis yang terdapat pada tanah tercemar minyak berat ini memiliki kekerabatan dengan Bacillus aerophilus, Bacillus stratospericus dan Bacillus pumilus (Lampiran 4.7). Bakteri Ochrobactrum anthropi

memiliki kekerabatan dengan Ochrobactrum

tritici, Ochrobactrum intermedium, Ochrobactrumcytisi dan Ochrobactrum lupine (Lampiran 4.8).

126

SIMPULAN Dari tanah tercemar limbah minyak berat berhasil diisolasi 11 isolat bakteri yang mampu mendegradasi senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Dari 11 isolat yang didapat, bakteri yang memiliki kinerja terbaik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat adalah isolat bakteri dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat kesamaan 97%.

DAFTAR PUSTAKA Erlich HA. 1989. PCR technology: Principle and applications for DNA amplification. Stockton Press, London: x + 246 p. Davis LG, Kuehl WM, Battey JF. 1994. Basic methods in molecular biology. 2nd ed. Prentice-Hall International Inc., USA: xiii + 777 p. Hiraishi A, Kamagata Y, Nakamura N. 1995. Polymerase chain reaction amplification and restriction fragment length polymorphism analysis of 16S rRNA genes from methanogens. Journals of Fermentation Bioengineering. 79: 523--529. Leahly JG, Colwell RR. 1990. Microbial Degradation of Hydrocarbon in The Environment. Microbiological Reviews. 54 (3): 305-315. Moore D, Frazer LN. 2002. Essential fungal genetics. Springer-Verlag, New York: vii + 357 p. Pritchard PH, Mueller JQ, Lantz SE, Santavy DL. 1993, The Potential Importance od Biodiversity in EnvironmentalBiotechnology Apllication : Bioremediation of PAH-Contaminated Soil and Sediments. Paper in Alsopp, D., R.R. Colwell & D.C. Hawksworth (editor). 1993. Microbial Diversity and Ecosystem Function, CAB International in association with UNEP, UK.

127

Rosenberg E, Ron EZ. 1998. Bioremediation of Petroleum Contamination. dalam Crawford, R.L. and D.L. Crawford (ed.). Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. Cambridge. Sato H. 2007. Workshop on: Molecular Approaches for The Identification of Microorganisms. NITE & Research Center for Biotechnology-LIPI, Cibinong: 11-13 July 2007. Trinidade P, Sobral LG, Rizzo AC, Leite SGF, Lemos JLS, Milloilli VS, Soriano AU. 2002. Evaluation of The Biostimulation and Bioaugmentation Techniques in The Bioremediation Process of Petroleum Hydrocarbon Contaminated Soils. 9th International Petroleum Environmental Conference, IPEC (Integrated Petroleum Environmental Consortium), Albuquerque, NM. Viljoen GJ, Nei LH, Crowther JR. 2005. Molecular diagnostic PCR handbook. Springer, The Netherlands: xviii + 307 p. Yu MW, Sohn K, Rhee J, Oh WS, Peck KR, Lee NY, Song J. 2007. Spontaneous Bacterial Peritonitis due to Ochrobactrum anthropi. University School of Medicine, Seoul. Yirui WU, He T, Zhong M, Zhang Y, Li E, Huang T, Hu Z. 2009. Isolation of marine benzo[a]pyrene-degrading Ochrobactrum sp. BAP5 and proteins characterization. Journal of Environmental Sciences. 21(10), 14461651. Elsevier.

128

Lampiran 4.1 Komposisi media marine agar (Atlas 1995) Bahan Komposisi (g/1000 ml) Yeast extract 1.0 Pepton 5.0 Besi sitrat 0.1 Natrium klorida 19.45 Magnesium klorida 8.8 Natrium sulfat 3.24 Kalsium klorida 1.88 Kalium klorida 0.55 Natrium Karbonat 0.16 Stronium klorida 0.034 Asam Borat 0.022 Natrium silikat 0.004 Natrium flourida 0.0024 Amonium nitrat 1.6 Natrium fosfat 0.008 Agar *) 15-20 Keterangan : *) tidak ditambahkan pada marine broth

129

Lampiran 4.2 Perubahan populasi bakteri pada proses seleksi isolat Waktu (hari ke-)

TPC (cfu/ml) MY 1

MY 3

MY 6

MY 7

MY 8

MY Flr

MY 12

1.7x10 8.0x107

5

1.0x10 1.0x105

1.0x105 1.0x105

1.0x105

4.0x107

1.0x105

1.0x105

6.3x106 5.0x106

1.0x105 1.0x105

1.0x105 1.0x105

4.4x108 1.1x108

1.0x109 9.0x108

1.0x105

5.7x106

1.0x105

1.0x105

2.8x108

9.5x108

7

4.3x107 5.7x107

3.5x107 3.3x107

5.3x106 3.4x107

1.2x107 7.7x107

2.5x109 2.1x109

9.4x108 8.1x108

1.0x109 3.5x109

Rerata

5.0x107

3.4x107

2.0x107

4.5x107

2.3x109

8.8x108

2.3x109

14

2.7x107 1.4x107

1.2x108 2.8x108

2.5x107 2.8x107

1.2x109 2.8x108

1.1x109 3.1x108

2.3x109 2.6x109

1.9x1010 2.5x1010

Rerata

2.1x107

2.0x108

2.7x107

7.4x108

7.1x108

2.5x109

2.2x1010

21

1.5x108 8.8x108

1.7x108 1.5x108

2.6x107 2.7x107

2.2x108 6.4x109

2.4x109 1.1x109

1.7x109 1.7x109

9.3x109 8.7x109

Rerata

5.2x108

1.6x108

2.7x107

3.3x109

1.8x109

1.7x109

9.0x109

28

2.1x108 2.7x108

1.9x108 1.3x108

8.8x106 1.0x107

3.1x108 1.4x108

2.7x109 2.5x109

1.7x109 3.4x108

8.3x108 3.5x108

Rerata

2.4x108

1.6x108

9.4x106

2.3x108

2.6x109

1.0x109

5.9x108

5

1.0x10 1.0x105

5

1.0x10 1.0x105

5

1.0x10 1.0x105

5

0

1.0x10 1.0x105

5

Rerata

1.0x105

1.0x105

1.0x105

3

1.0x105 1.0x105

1.0x105 1.0x105

Rerata

1.0x105

130

Lampiran 4.3 Perubahan nilai pH pada proses seleksi isolat pH

Waktu (hari ke-)

MY 1

MY 3

MY 6

MY 7

MY 8

MY Flr

MY 12

0

5.0 5.0

5.0 5.0

5.0 5.0

5.0 5.0

5.0 5.0

5.5 5.5

5.5 5.5

Rerata

5.0

5.0

5.0

5.0

5.0

5.5

5.5

3

5.0 5.0

4.5 4.5

5.5 5.5

4.5 4.5

4.5 4.5

7.5 7.5

7.0 7.0

Rerata

5.0

4.5

5.5

4.5

4.5

7.5

7.0

7

7.0 7.0

7.5 7.0

6.5 7.0

7.5 7.5

7.5 7.5

7.5 7.5

8.0 8.0

Rerata

7.0

7.3

6.8

7.5

7.5

7.5

8.0

14

6.5 6.5

7.0 7.0

5.5 5.5

7.5 7.5

7.0 7.0

7.5 7.5

8.0 8.0

Rerata

6.5

7.0

5.5

7.5

7.0

7.5

8.0

21

5.5 5.5

6.0 6.0

6.5 5.5

6.5 6.5

7.0 7.0

8.0 8.0

8.0 8.0

Rerata

5.5

6.0

6.0

6.5

7.0

8.0

8.0

28

6.0 6.0

6.5 6.5

6.5 5.5

6.5 6.5

8.0 6.0

8.0 8.0

8.5 8.5

Rerata

6.0

6.5

6.0

6.5

7.0

8.0

8.5

131

Lampiran 4.4 Perubahan nilai TPH fasa padat pada proses seleksi isolat

Waktu (Hari ke-)

TPH (%b/b) MY 1

MY 3

MY 6

MY 7

MY 8

MY Flr

MY 12

18.09

18.87

20.23

24.43

21.04

16.65

19.34

0

18.35

19.06

18.40

21.97

21.53

17.84

18.48

Rerata

18.19

18.96

19.32

23.2

21.28

17.24

18.91

3

17.79 19.65

21.10 21.78

21.81 22.22

24.17 22.35

22.42 20.79

14.62 17.30

17.73 17.29

Rerata

18.72

21.44

22.01

23.26

21.61

15.96

17.51

7

18.05 18.85

18.68 18.35

19.65 17.39

17.64 18.19

19.16 19.13

9.13 18.56

15.39 9.76

Rerata

18.45

18.52

18.52

17.91

19.14

13.84

12.58

19.46

16.43

16.52

15.38

17.54

8.10

8.17

14

21.32

20.18

17.05

17.24

16.55

10.13

7.40

Rerata

20.39

18.30

16.78

16.31

17.05

9.11

7.78

21

17.31 10.06

21.65 15.81

16.99 11.31

15.50 16.13

18.77 15.89

12.97 11.89

7.93 7.35

Rerata

13.69

18.73

14.15

15.81

17.33

12.43

7.64

28

18.28 14.08

15.52 16.93

14.99 13.38

14.23 17.20

16.11 19.07

12.64 7.79

9.26 6.54

Rerata

16.18

16.23

14.18

15.71

17.59

10.22

7.90

132

Lampiran 4.5 Perubahan persen degradasi pada proses seleksi isolat TPH (%b/b)

Waktu (hari ke-)

MY 1

MY 3

MY 6

MY 7

MY 8

MY Flr

MY 12

3 7 14 21 28

4.84 11.05

2.32 3.48 13.34 14.40

4.14 13.15 26.76 26.60

22.80 29.70 33.19 38.66

10.06 19.88 18.56 24.30

7.42 19.72 47.16 27.90 40.72

7.40 33.47 58.86 59.60 65.42

133

Lampiran 4.6 Perubahan nilai COD pada proses seleksi isolat Waktu (Hari ke-)

COD (mg/L) Blanko

0 Rerata

7989

3 Rerata

8160

7 Rerata

14688

14 Rerata

55760

21 Rerata

69360

28 Rerata

87720

MY 1

MY 3

MY 6

MY 7

MY 8

MY Flr

MY 12

6923 6923

3728 2663

1598 2663

5326 5858

3728 3195

5712 8160

9520 12240

6923

3196

2131

5592

3462

6936

10880

6528 14688

11424 13056

16320 17952

8160 16320

17952 1632

8160 10608

8160 9792

10608

12240

17136

12240

9792

9384

8976

11424 22848

19584 29376

19584 299376

19584 21216

8160 14688

20400 18360

32640 28560

17136

22032

24480

20400

11424

19380

30600

62560 57120

59840 59840

43520 54400.

48960 43520

57120 53040

28560 28560

16320 12240

59840

59840

48960

46240

55080

28560

14280

95880 83640

95880 65280

48960 34680

38760 63240

63240 59160

16320 16320

16320 20400

89760

80580

41820

51000

61200

16320

18360

95880 75480

71400 67320

59160 83640

51000 71400

51000 42840

8160 8160

8160 8160

85680

69360

71400

61200

46920

8160

8160

134

Lampiran 4.7 Pohon Filogenetik Bacillus altitudinis FJ768457 1-1 Bacillus pumilus

AJ831841 1-1 Bacillus stratospericus

AJ831844 1-1 Bacillus aerophilus

MY 12

FM955870 1-1 Bacillus altitudinis

Lampiran 4.8 Pohon Filogenetik Ochobactrum anthropi AM 490622 1-1 Ochrobactrum intermedium

EU999218 1-1 Ochrobactrum tritici MY Flr FJ873801 1-1 Ochrobactrum anthropi EU826069 1-1 Ochrobactrum cytici AY457038 1-1 Ochrobactrum lupini

135

Lampiran 4.9 Pohon Filogenetik Salipiger sp. PR55-4 RMY-7 08110 EU440999 1-1 Salipiger sp.PR55-4 DO178660 1-1 Pelagibaca bermudensis

AB302368 1-1 Alpha protecbacterium B33 EU69081 1-1 Rhodobactereaceae bacteriumF9 EU440958 1-1 Citrecella thiooxidana

FJ752525 1-1 Marinovum algicola

AM905330 1-1 Ruegeria soottomolicae

136

Lampiran 4.10 Pohon Filogenetik 3 Isolat Campuran RMY-7 08110 EU440999 1-1 Salipiger sp.PR55-4 DO178660 1-1 Pelagibaca bermudensis AB302368 1-1 Alpha protecbacterium B33 EU697081 1-1 Rhodobactereaceae bacteriumF9 EU440958 1-1 Citrecella thiooxidana FJ752525 1-1 Marinovum algicola AM905330 1-1 Ruegeria soottomolicae AM 490622 1-1 Ochrobactrum intermedium

AY457038 1-1 Ochrobactrum lupini EU999218 1-1 Ochrobactrum tritici EU826069 1-1 Ochrobactrum cytici MY Flr FJ873801 1-1 Ochrobactrum anthropi FJ768457 1-1 Bacillus pumilus AJ831841 1-1 Bacillus stratospericus AJ831844 1-1 Bacillus aerophilus FM955870 1-1 Bacillus altitudinis MY12

BAB V KEMAMPUAN SPESIES TUNGGAL DAN CAMPURAN DALAM MENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA LIMBAH MINYAK BERAT ABSTRAK Tiga spesies bakteri (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi) yang diisolasi dari limbah minyak berat dapat mendegradasi senyawa PAH. Terhadap ke-3 spesies bakteri tersebut diuji kemampuan kinerja spesies bakteri baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk konsorsium (campuran). Kemampuan dari spesies tunggal dan campuran dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon dipantau melalui parameter %TPH pada fasa padat dan pada fasa cair, populasi bakteri, pH, dan COD selama proses biodegradasi. Analisa TPH dilakukan dengan metoda gravimetri, populasi bakteri (TPC) dengan metode cawan tuang, pH dengan kertas pH, serta COD dengan metode refluk. Dari hasil penelitian diketahui spesies tunggal Salipiger sp. PR554, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi memiliki % degradasi sebesar 51.65% ; 54.26% ; dan 46.76%. Spesies campuran Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis memiliki persen degradasi sebesar 60.13%, untuk campuran bakteri Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 57.00%, dan untuk campuran bakteri Bacillus altitudinis dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 62.47%. Spesies campuran bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 81.52%. Dibandingkan dengan spesies tunggal dan spesies campuran 2 jenis bakteri, spesies campuran dengan 3 jenis bakteri memiliki % degradasi terbesar sehingga kombinasi terbaik untuk mendegradasi limbah minyak berat adalah campuran bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi.

PENDAHULUAN Kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon berbedabeda sesuai dengan aktifitas enzim yang dihasilkan dan kondisi lingkungan yang mendukung seperti temperatur, pH, nutrisi dan oksigen. Beberapa penelitian menunjukkan kemampuan spesies bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Anggraeni (2003) melaporkan Pseudomonas

pseudomallei,

Pseudomonas

tiga jenis spesies tunggal, yaitu aeruginosa

dan

Enterobacter

agglomerans memiliki kemampuan mendegradasi minyak diesel. Menurut Lee et al. (2002), Enterobacter agglomerans yang merupakan spesies pendegradasi toluena, benzena, dan etilbenzena memiliki kemampuan untuk mendegradasi campuran benzena, etilbenzena dan xilena (BTX). Menurut Citroreksoko (1996), kemampuan biodegradasi mikroba terhadap beberapa senyawa berbeda-beda. Beberapa kecenderungan yang terjadi pada degradasi hidrokarbon, yaitu hidrokarbon alifatik pada umumnya mudah didegradasi dibandingkan dengan senyawa aromatik, hidrokarbon alifatik rantai lurus pada umumnya lebih mudah terdegradasi daripada hidrokarbon rantai bercabang, hidrokarbon jenuh lebih mudah terdegradasi daripada hidrokarbon tak jenuh dan hidrokarbon rantai panjang lebih mudah terdegradasi daripada rantai pendek. Hidrokarbon dengan panjang rantai kurang dari sembilan karbon sukar didegradasi karena senyawa ini bersifat toksik bagi mikroba. Limbah minyak berat yang digunakan adalah limbah minyak bumi yang berasal dari industri perminyakan yang berada di Duri dengan komposisi hidrokarbon sebagai berikut: paraffin dan naftenik 37%, aromatik 12% dan aspaltena 10%. Senyawa hidrokarbon aromatik dan aspaltena lebih sulit didegradasi oleh bakteri dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon paraffin dan naftenik. Pengujian kemampuan degradasi spesies tunggal terhadap limbah minyak berat perlu dilakukan. Akan tetapi, kombinasi spesies bakteri lebih mampu mendegradasi suatu hidrokarbon dari minyak bumi dibandingkan spesies tunggal. Secara umum dipercaya bahwa konsorsium akan memiliki kemampuan degradasi

139

140

yang lebih baik karena gabungan mikroba memiliki profil enzimatik yang lebih luas untuk degradasi. Konsorsium mikroba asli (indigen) yang diperoleh memiliki kemampuan degradasi paling baik diantara semua kombinasi, campuran dua atau tiga spesies memiliki kemampuan degradasi lebih baik dibanding spesies tunggal (Kanaly et al. 2002). Oleh karena itu, kombinasi beberapa spesies tunggal perlu diuji untuk mendapatkan kombinasi terbaik dalam mendegradasi hidrokarbon dari limbah minyak berat yang terdapat pada lahan tambang minyak bumi.

METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang akan digunakan adalah spesies yang telah diisolasi dari tanah tercemar yang telah diberi kotoran sapi dan kuda, limbah minyak berat (LMB) diperoleh dari industri minyak

di Riau, solar, air laut, marine broth

(Lampiran 5.1), linier alkilbenzena sulfonat (LAS), heksana, spirtus, Na 2 SO 4 anhidrat, silika gel, NaCl, larutan baku ferroammonium sulfat (FAS), indikator feroin, H 2 SO 4 pekat, Ag 2 SO 4 , K2 Cr 2 O 7 , indikator universal, akuades, alumunium foil, dan kertas saring. Alat-alat yang digunakan adalah Erlenmeyer, desikator, neraca analitik, penggiling, sarung tangan, masker, gelas ukur, labu bulat, refluks, sumbat kapas, buret, pipet volumetrik, pipet mohr, pipet mikro,tip, pemanas, radas uap putar, shaker inkubator, autoklaf, cawan petri, labu takar, inkubator, tabung COD, dan kondensor tegak. Peremajaan Spesies Bakteri (Hadioetomo 1998) Bakteri yang digunakan sebanyak 3 spesies yang telah diisolasi dari tanah tercemar dan diketahui memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon tertentu. Peremajaan masing-masing spesies dilakukan pada media miring marine agar (Lampiran 4.1). Sebanyak 100 ml marine agar disiapkan di dalam erlenmeyer kemudian sebanyak 5 ml marine agar dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung biakan atau tabung reaksi. Tabung tersebut disumbat kapas dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Setelah disterilisasi, tabung diletakkan pada papan miring dan dibiarkan menjadi dingin

dan padat. Secara aseptis masing-masing bakteri diinokulasikan pada agar miring tersebut dan inkubasi pada suhu 30 °C selama 24 jam. Bakteri tersebut masingmasing ditumbuhkan dalam agar miring sebagai stok. Preparasi Inokulum pada Media Kaya dan Media Minimal Sebelum diaplikasikan pada limbah minyak berat, masing-masing spesies ditumbuhkan terlebih dahulu pada media kaya dan media minimal. Media kaya dibuat dalam erlenmeyer 250 ml dan diberi sumbat kapas dengan komposisi pada Tabel 5.1 dan disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit, kemudian secara aseptis bakteri diinokulasikan dengan ose pada media kaya tersebut dan diinkubasi goyang pada suhu kamar dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 3 hari. Tabel 5.1 Komposisi media kaya dan media minimal Bahan

Komposisi (dalam 100 ml air laut) Media kaya (g)

Media minimal (g)

Yeast ekstrak

1,5

0,5

Pepton

0,3

0,1

Setelah ditumbuhkan selama 3 hari pada media kaya, kemudian bakteri sebanyak 1 mL dipindahkan ke dalam media minimal yang telah disterilisasi. Sebanyak 5 ml solar yang telah disterilisasi dengan sinar UV selama 15 menit ditambahkan pada media minimal. Media minimal lalu diinkubasi goyang dengan kecepatan 200 rpm pada suhu kamar selama 7 hari. Penumbuhan bakteri pada media minimal dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah ditumbuhkan pada media minimal, bakteri siap digunakan untuk diaplikasikan pada tanah tercemar. Pengujian Spesies Bakteri Pengujian spesies tunggal dilakukan untuk mengetahui kemampuan spesies untuk tumbuh pada beberapa substrat minyak bumi seperti

minyak goreng,

pertamak, limbah minyak berat (LMB), oli, minyak tanah, solar, dan ekstrak limbah minyak berat. Pengujian dilakukan pada cawan petri yang telah ditumbuhkan spesies tunggal dengan media marine agar. Ke dalam cawan petri

141

142

tersebut ditempatkan bulatan kertas saring yang telah dicelupkan. pada beberapa substrat minyak bumi seperti minyak goreng, pertamak, limbah minyak berat (LMB), oli, minyak tanah, solar, dan ekstrak limbah minyak berat. Kemudian diamati munculnya zona bening disekitar substrat minyak bumi tersebut. Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Spesies Tunggal Limbah tanah tercemar yang digunakan yaitu limbah minyak berat (LMB). LMB yang telah digiling kemudian ditimbang sebanyak 25 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang diberi sumbat kapas. LMB tersebut kemudian disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit. Media minimal baru tanpa solar yang telah disterilisasi, secara aseptis dimasukkan dan spesies tunggal bakteri hasil pemindahan pada media minimal sebanyak 3 kali diinokulasikan sebanyak 200 μl pada LMB tersebut. Campuran tersebut kemudian diinkubasi goyang dengan kecepatan 200 rpm pada suhu kamar selama 21 hari. Setiap hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21, aplikasi tersebut secara rutin dianalisis TPH fasa padat , TPH fasa cair, TPC, COD, dan pH. Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Kombinasi Spesies Bakteri Sebanyak 3 spesies bakteri (Salipiger sp PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi) dengan kinerja degradasi hidrokarbon terbaik kemudian dikombinasikan untuk mengetahui kemampuannya dalam berinteraksi dengan kombinasinya yaitu Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis, Salipiger sp. PR55-4 + Ochrobactrum anthropi, Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi dan Salipiger sp PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi. Tiga spesies tersebut merupakan 3 spesies dengan daya degradasi terbaik dari 11 spesies yang telah di uji kemampuannya. Langkah pembuatan slurry sama seperti aplikasi spesies tunggal. Setiap hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21, aplikasi tersebut secara rutin dianalisis TPH fasa cair dan padat, TPC, COD, dan pH. Pengukuran pH Nilai pH diukur dengan mengunakan indikator pH universal.

Pengukuran TPH Fasa Cair (EPA 1999) Sebanyak 50 ml sampel yang telah dicampur dengan limbah minyak disaring kemudian diekstrak dengan corong pisah menggunakan 25 ml heksana sebanyak dua kali. Kandungan air pada ekstrak dihilangkan dengan menambahkan Na 2 SO 4 anhidrat, kemudian disaring. Pelarut diuapkan setelah itu dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C. Sampel hasil pengeringan dilarutkan kembali dengan heksana dan ditambahkan silika gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan kembali dan dipanaskan dalam oven. Bobot yang terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai TPH dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% TPH (g/ml) =

Bobot Minyak Volume sampel

x 100%

Pengukuran TPH Fasa Padat (EPA 1998) Nilai TPH diukur menggunakan metode gravimetri dan dilakukan setiap minggu selama ± 2 bulan. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dibuat timbel. Timbel yang telah dibuat tersebut dimasukan dalam Soxhlet dan diekstrak dengan pelarut n-heksana 125 ml selama ± 4 jam. Ekstrak yang diperoleh dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat dan disaring, kemudian dihilangkan hidrokarbon berantai panjang dan bergugus fungsi (grease) dengan silika gel 60 dan disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam labu bundar dan dipekatkan dengan penguap putar (rotary evaporator) hingga pekat atau sudah terpisah dengan pelarutnya. Kemudian labu bundar yang berisi sampel uang sudah terekstrak dipanaskan dalam oven pada suhu 70 ºC selama 10 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar TPH dihitung sebagai: m1 Kadar TPH (%) =

x 100 % m2

dengan m1 = Bobot ekstrak (g) m2 = Bobot sampel awal (g)

143

144

Pengukuran Populasi Bakteri (Hadioetomo 1998) Larutan fisiologis NaCl 0,85% dipipet ke dalam tabung ulir (dengan label 10-1 sampai 10 -8) sebanyak 9 ml. Selanjutnya tabung ulir berisi larutan fisiologis disterilisasi beserta cawan petri, marine agar yang telah disiapkan dan tip untuk mikropipet pada suhu 121°C selama 15 menit. Setelah sterilisasi, tabung ulir didinginkan. Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam tabung ulir dengan label 10-1, lalu tabung ulir tersebut dikocok hingga homogen. Sebanyak 1 ml dari tabung ulir berlabel 10 -1 dimasukkan ke dalam tabung ulir yang berlabel 10-2. Tabung ulir berlabel 10 -2 tersebut dikocok lalu 1 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung ulir yang berlabel 10 -3. Pemipetan dan pengocokan ini dilakukan pada setiap tabung ulir sampai pengenceran/tabung ulir berlabel 10-8. Dari semua tabung ulir (10-1 – 10-8), masing-masing dipipet sebanyak 1 ml ke dalam cawan petri steril terpisah yang telah dilabeli 10-1 – 10-8, kemudian larutan marine agar (MA) dituang. Setelah agar padat cawan diinkubasi terbalik pada suhu 30°C selama 24-48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh pada cawan petri tersebut dihitung. Jumlah koloni yang dapat diterima antara 30-300. Pengukuran Kadar COD (Clesceri et al. 2005) Sampel diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung COD, kemudian ditambahkan larutan campuran kalium dikromat-merkuri sulfat ke dalam sampel. 10 ml larutan campuran asam sulfat-perak sulfat dan campuran diaduk dimasukkan kedalam tabung

COD kemudian ditutup. Tahap di atas

diulangi pada air suling sebagai blanko. Setelah masing-masing unit pengamat pada tutup dipasang, tabung dimasukkan ke dalam oven pada suhu 150 °C. Setelah 2 jam, tabung COD dikeluarkan dari oven dan dibiarkan dingin. Campuran dari tabung COD dipindahkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan dibilas dengan air suling. Sebanyak 2 ml asam sulfat pekat dan 3 tetes larutan indikator feroin ditambahkan secara berturut-turut ke dalam campuran. Campuran dititrasi dengan larutan baku fero amonium sulfat 0,05 N yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi merah coklat lalu dicatat volume pemakaian larutan baku fero amonium sulfat.

COD = (Vb-Vs) x N x 8000 x fp Vs Keterangan: Vb = volume blanko Vs = volume sampel N = kosentrasi Ferroammonium sulfat Fp = faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeliharaan Spesies Bakteri Pemeliharaan

bakteri

pendegradasi

hidrokarbon

dilakukan

dengan

menumbuhkan kembali spesies bakteri menggunakan media minimal cair serta ditambahkan 5% minyak diesel (v/v).

(a) Salipiger sp. PR55-4 Gambar 5.1

(b) Bacillus altitudinis

(c) Ochrobactrum anthropi

Pertumbuhan (a) Salipiger sp. PR55-4 (b) Bacillus altitudinis (c) Ochrobactrum anthropi pada media minimal dengan menggunakan minyak diesel 5% (v/v)

Pemeliharaan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan jumlah spesies bakteri tersebut. Pengamatan dilakukan terhadap kekeruhan setiap hari, pada saat tingkat kekeruhan pada media lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol maka memperlihatkan adanya pertumbuhan spesies. Spesies yang tumbuh tersebut ditumbuhkan kembali pada media yang sama dengan jumlah minyak diesel yang sama pula, kemudian ditumbuhkan juga pada media marine agar untuk mengetahui secara pasti pertumbuhan spesies bakteri tersebut. Pertumbuhan ketiga spesies bakteri pada media marine agar dapat dilihat pada Gambar 5.1. Pada pengamatan yang dilakukan terhadap perubahan kekeruhan, adanya perubahan kekeruhan pada media minimal yang ditambah 5% minyak diesel mengindikasikan adanya pertumbuhan bakteri. Walaupun dalam minyak diesel banyak senyawa yang bersifat toksik seperti hidrokarbon rantai pendek 145

146

(Citroreksoko 1996) dan BTEX (benzena, toluena, etilbenzenaa, xilena) (Rosenberg dan Ron 1998; Goudar dan Strevett 1998). Ketiga spesies tersebut terbukti mampu memanfaatkan minyak diesel sebagai sumber karbonnya dengan cara memproduksi enzim oksidase. Senyawa-senyawa toksik tersebut terkandung dalam konsentrasi relatif tinggi, hal ini mengakibatkan spesies bakteri membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Daubaras dan Chakrabarty (1992) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan juga akan mempengaruhi aktivitas mikroba di dalamnya. Aktivitas tersebut meningkat karena adanya ekspresi gen-gen tertentu untuk memproduksi enzim-enzim yang sesuai. Dengan demikian, pada degradasi minyak bumi dimana 90 persen komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang berperan adalah enzim-enzim oksigenase. Ada dua macam enzim oksigenase yaitu monooksigenase dan dioksigenase. Monooksigenase sangat berperan dalam degradasi hidrokarbon

alifatik,

sedangkan dioksigenase pada hidrokarbon alisiklik. Keduanya berfungsi pada tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon. Pada n-alkana, insersi tersebut bisa terjadi pada gugus metil terminal maupun pada gugus metil subterminal. N-alkana dioksigenasi menjadi alkohol, kemudian menjadi asam karboksilat. Apabila suatu senyawa organik telah terdegradasi sampai ke bentuk asamnya, reaksi degradasi selanjutnya berlangsung melalui pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang umum pada metabolisme sel hidup dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi. Disebut demikian karena oksidasi terjadi pada gugus metil beta dalam n-alkana menjadi keton. Reaksi degradasi senyawa hidrokarbon lain seperti alkena, hidrokarbon dengan rantai bercabang, alisiklik dan aromatik pada prinsipnya sama. Perbedaannya terletak pada preferensi mikroba selama proses biodegradasi berlangsung begitu pula dengan jalur biokimia dan enzim-enzim spesifik yang terlibat didalamnya (Cookson 1995). Setelah pengamatan visual selama satu minggu terlihat adanya perubahan warna pada larutan media. Larutan media minimal untuk minyak bumi yang

bening lama-kelamaan menjadi keruh. Sementara itu, minyak diesel yang semula menyatu dan membentuk lapisan tersendiri dipermukaan larutan media lamakelamaan terpecah menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Terbentuknya butiran-butiran kecil itu disebabkan oleh kerja surfaktan yang ditambahkan dan biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri. Pemeliharaan tersebut dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk menjaga kemampuan spesies tersebut agar tetap menghasilkan enzim oksigenase yang diperlukan untuk mendegradasi minyak bumi Pengujian Spesies Bakteri Pada biodegradasi limbah minyak bumi spesies tersebut diuji dengan ditumbuhkan pada beberapa substrat minyak bumi (diesel, crude oil, pelumas, minyak tanah dan bensin) pada cawan petri. Pengujian dilakukan dengan menggunakan media marine agar (Gambar 5.2).

(a)

(b)

(c) Gambar 5.2 Pengujian ketiga spesies (a) Ochrobactrum anthropi (b) Salipiger sp. PR55-4 (c) Bacillus altitudinis pada berbagai minyak (MG=minyak goreng; PX=pertamax; MT=minyak tanah; HOK=LMB kasar; O=oli;HOT=LMB hasil ekstrak S=solar)

147

148

Hasil Pengujian Spesies bakteri terlihat pada Tabel 5.2 berikut ini. Tabel 5.2 Hasil pengujian daya hambat 3 spesies unggul terhadap berbagai jenis minyak Spesies

MG

PX

MT

HOK

O

HOT

S

Salipiger sp. PR55-4

+

-

+

-

+

+

+

Ochrobactrum anthropi

-

-

-

-

-

+

+

Bacillus altitudinis

+

-

+

-

-

+

+

Keterangan : MG=minyak goreng; PX=pertamax; MT=minyak tanah; HOK=LMB kasar; O=oli; HOT= TPH dan S=solar Pengamatan dilakukan pada daerah sekitar bulatan kertas saring yang berisi substrat minyak. Apabila spesies bakteri dapat tumbuh di sekitar bulatan atau bahkan dapat tumbuh di atas bulatan kertas saring menandakan bahwa bakteri tersebut dapat menggunakan atau mendegradasi substrat minyak bumi. Pertumbuhan spesies bakteri di sekitar bulatan tersebut dapat diartikan sebagai perbesaran maupun perbanyakan bakteri. Dikatakan perbesaran apabila terjadi perbesaran volume sel, sedangkan perbanyakan terjadi pada saat sel membelah diri. Sejak diinokulasikan ketiga spesies bakteri tersebut tumbuh secara cepat dengan mengkonsumsi sumber karbon yang dikandung oleh media tersebut sebelum memanfaatkan sumber karbon berupa butiran-butiran kertas saring yang mengandung minyak sampai hari ke tiga spesies bakteri tumbuh. Setelah sumber karbon pada media berkurang maka ketiga spesies bakteri menggunakan substrat minyak sebagai sumber karbonnya. Ketiga spesies bakteri tersebut mampu tumbuh pada minyak bumi fraksi berat (HOT) dan solar (S). Pada pengujian dengan mempergunakan media minimal spesies bakteri ditumbuhkan

dengan

ditambahkan

5

persen

minyak

diesel,

kemudian

dibandingkan dengan kontrol substrat tanpa bakteri, hal ini untuk mengetahui pertumbuhan spesies dalam mendegradasi minyak diesel. Kecepatan pelarutan minyak dalam media dan adanya oksidasi minyak oleh bakteri diamati secara fisikokimia yaitu terlihat adanya perubahan pada kekeruhan media dan pH.

Dari hasil pengujian diketahui bahwa kelarutan minyak pada media cair semakin meningkat setelah 72 jam terutama pada Bacillus altitudinis dibandingkan dengan Salipiger sp PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Peningkatan kelarutan tersebut diduga oleh enzim membrane-bound oxygenase yang dikeluarkan oleh bakteri untuk meningkatkan kontak secara langsung antara minyak dengan bakteri, sehingga bakteri dapat memanfaatkan minyak tersebut sebagai sumber karbon. Menurut Rosenberg dan Ron (1998) dua cara biologis yang dilakukan bakteri untuk meningkatkan kontak antara minyak dengan bakteri yaitu melalui mekanisme spesifik adhesi/adsorpsi yang disebabkan oleh interaksi hidrofobik dan mengemulsi minyak. Dalam melakukan adhesi bakteri memiliki lapisan hidrofobik pada bagian permukaan membran luar sel mengandung protein dan lemak yang menyebabkan terjadinya interaksi hidrophobik antara sel dengan minyak. Minyak diesel yang mula-mula menyatu dan membentuk lapisan tersendiri dipermukaan larutan media lama-kelamaan terpecah menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Terbentuknya butiran-butiran minyak yang lebih kecil disebabkan oleh adanya produksi biosurfaktan oleh bakteri.

Secara umum struktur dari

biosurfaktan termasuk bagian dari hidrophilik yang terdiri dari asam amino atau peptida, anion atau kation, mono, di, atau polisakarida. (Georgiou et al. 1992 dalam Banat, 1994). Struktur biosurfaktan juga terdiri dari amophilik atau hidrophilik peptida (Morkes 1993 dalam Banat, 1994). Beberapa biosurfaktan juga dapat memproduksi senyawa seperti glukosa, sukrosa , gliserol atau etanol yang mampu larut dalam air (Banat 1994) Menurut Udiharto (1996) minyak diesel terdiri atas hidrokarbon C 12 -C 18 dari normal alkana (lebih ringan dari kerosin). Disamping itu juga mengandung sikloalkana, olefin, dan campuran aromatik dengan olefin (seperti stirena) dan BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena) (Rosenberg dan Ron 1998). Kehadiran senyawa-senyawa tersebut membuat bakteri membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitarnya.

149

150

Menurut Wubah et αl. (1994) dalam Oetomo (1997), untuk bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan, mikroba memerlukan waktu untuk : (1) pertumbuhan awal populasi yang mendegradasi sampai menjadi ukuran yang cukup besar untuk mempengaruhi degradasi; (2) induksi, (3) perubahan genetik dalam populasi yang mendegradasi; dan (4) penggunaan substrat pengganti oleh mikroba yang mendegradasi. Setelah dilakukan pengujian pada media cair minimal maka dilakukan kombinasi antar ketiga spesies bakteri tersebut. Kombinasi yang diperoleh antara lain adalah Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis (AB); Salipiger sp. PR554 + Ochrobactrum anthropi (AC), Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi (BC); Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis +Ochrobactrum anthropi (ABC).

Gambar 5.3. Pengujian biodegradasi ketiga spesies serta campurannya pada konsentrasi 5 persen minyak diesel 1. Blanko 2. Salipiger sp. PR55-4; 3. Bacillus altitudini; 4. Ochrobactrum anthropi; 5. Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis; 6. Salipiger sp. PR55-4 + Ochrobactrum anthropi; 7. Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi; 8. Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis +Ochrobactrum anthropi Adanya surfaktan dalam media terlihat dengan terjadinya perubahan pada lapisan antara minyak dengan media. Minyak diesel yang mula-mula membentuk lapisan tersendiri lama-kelamaan akan menyatu dengan media. Kemudian pada lapisan antara minyak diesel dengan media terbentuk butiran-butiran kecil yang disebabkan oleh adanya surfaktan (LAS) yang ditambahkan dan biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri (Gambar 5.3).

Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat Untuk mengetahui proses biodegradasi limbah minyak berat oleh ke 3 spesies yang digunakan baik secara tunggal maupun campuran dapat dipantau dengan beberapa parameter yaitu nilai dari TPH fasa padat, TPH fasa cair, COD, dan TPC selama proses biodegradasi berlangsung. Pertumbuhan Bakteri dari Spesies Tunggal dan Campuran Selama Proses Biodegradasi Pertumbuhan bakteri dari spesies tunggal dan campuran selama proses biodegradasi diamati dari populasi bakteri. TPC merupakan cara perhitungan jumlah koloni bakteri yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu yang ditetapkan. Total mikroba yang aktif akan menentukan kemampuan mikroba untuk dapat mendegradasi polutan. Tingkat degradasi hidrokarbon dipengaruhi oleh jumlah populasi bakteri (MECHEA 1991). Jumlah sel yang memungkinkannya untuk dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yaitu 1 x 106 cfu/ml sampai 1 x 10 8 cfu/ml dan jumlah sel optimum dalam mendegradasi hidrokarbon menurut Trinidade et al. (2002) adalah sebesar 1 x 108 cfu/ml. Jumlah sel pada masing-masing spesies bakteri optimum pada waktu yang berbeda-beda (Gambar 5.1). Setiap spesies bakteri mengalami penaikan jumlah sel seiring dengan bertambahnya waktu. Baik spesies tunggal maupun campuran memiliki jumlah sel optimal pada hari ke-14, dan mengalami penurunan jumlah sel pada hari ke-21. Penurunan jumlah sel menandakan fase pertumbuhan spesies telah melewati fase stasioner menuju fase kematiannya (MECHEA 1991). Pada Gambar 5.4 terlihat bahwa dari ketiga spesies tunggal yang digunakan, Bacillus altitudinis memiliki jumlah koloni yang lebih besar dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Pertumbuhan Bacillus altitudinis lebih baik dibandingkan dengan 2 spesies lainnya, hal ini juga ditunjukkan dari tingkat kekeruhan yang dihasilkan pada Gambar 5.3. Bakteri Bacillus altitudinis lebih keruh dibandingkan dengan bakteri Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi.

151

Populasi Bakteri (log CFU/ml)

152

12 10 8 6 4 2 0 0

7

14 Waktu (Hari)

21

Salipiger sp PR55-4 Bacillus altitudinis Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis Salipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropi Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi

Gambar 5.4 Populasi bakteri dari spesies tunggal dan campuran Jumlah koloni Salipiger sp. PR55-4 paling sedikit diantara ke 3 spesies tunggal, hal ini disebabkan sulitnya adaptasi diawal pertumbuhannya. Akan tetapi setelah melewati fasa lag bakteri dapat tumbuh dengan baik, artinya bakteri telah melewati masa adaptasi dan menggunakan hidrokarbon dari limbah minyak berat sebagai sumber energinya. Kombinasi ke-3 spesies memberikan populasi bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi 2 spesies dan spesies tunggal, Pertumbuhan kombinasi spesies lebih cepat dibandingkan dengan spesies tunggal. Pada hari ke 15 terlihat kombinasi 3 spesies (Salipiger sp.PR55-4. Bacillus antitudinis dan Achrobactrum anthropi) memiliki pertumbuhan tertinggi diantara spesies dan kombinasi yang lain. Pada fase pertumbuhan, salah satu dari kedua spesies memproduksi senyawa antara yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri lain secara kometabolisme atau sinergisme (Yu et al.,2001). Asosiasi sinergis memberikan kemampuan pada kombinasi populasi mikroba untuk melakukan sintesa suatu produk yang tidak bisa dilakukan sendiri (Atlas dan Bartha 1998).

Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa kombinasi antara kedua spesies atau lebih memiliki kemampuan mendegradasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies tunggalnya. Seiring dengan tingginya persen degradasi yang dihasilkan dari kombinasi 3 spesies bakteri ini. Hal ini dibuktikan dengan penelitianpenelitian yang lain dimana Pseudomonas sp dan Arthrobacter sp dapat tumbuh dengan baik pada crude oil dibandingkan dengan spesies tunggalnya yang menunjukkan terjalinnya sinergisme (Yu et al. 2001). Kemampuan Degradasi hidrokarbon oleh Pseudomonas dan Enterobacter dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Kemampuan Degradasi hidrokarbon oleh Pseudomonas dan Enterobacter Tipe hidrokarbon yang didegradasi Pseudomonas aeruginosa Lelehan mentega dari susu LP602 hewan, minyak kastor, minyak kelapa, minyak zaitun, minyak kedelai, minyak ikan tuna, minyak beras. Pseudomonas putida F1 Benzen, toluen, xylen. Pseudomonas putida B2 2-nitrofenol Pseudomonas aeruginosa n-heksadekana dan metabolit hidrokarbon Enterobacter agglomerans gliserol Spesies

Enterobacter cloaceae

Enterobacter aerogenes

Nitrofuran, nitroamidazola, turunan nitrobenzen, dan quinon. Diklorodifenil-trikloroetana (DDT)

Sumber Dharmsthiti dan Kuhasuntisuk, 1998

Yu et αl., 2002 Folsom, 1997 Chayabutra dan Ju, 2000 Barbarito et αl., 1996 Bryant dan Deluca (1991) dalam Funk et αl. (1995) Cookson, 1995

Nilai pH Spesies Tunggal dan Campuran Kondisi pH mempengaruhi pertumbuhan bakteri serta kemampuan bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi. Kondisi pH yang normal atau netral membuat pertumbuhan sel

spesies optimum. Jumlah sel spesies yang

optimum akan meningkatkan kemampuan spesies dalam degradasi senyawa hidrokarbon. Peningkatan tingkat degradasi diindikasikan dari penurunan nilai TPH setiap harinya. Kondisi optimum pH dalam tingkat degradasi TPH yang baik adalah pH 7-7,5 (Aditiawati 2007; Zam 2006). pH berperan dalam transpor 153

154

membran, fungsi sekuler, dan keseimbangan reaksi katalis di dalam sel (Zam 2006). Tingkat keasaman (pH) dapat berubah selama pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, kondisi pH perlu dikontrol ketika proses biodegrasi berlangsung. Jika dalam proses biodegradasi terjadi kenaikan ataupun penurunan pH, pH dikontrol dengan menambahkan NaOH atau HCl sampai menjadi pH normal atau netral (pH 7). Peningkatan pH dapat terjadi jika adanya proses reduksi nitrat membentuk amonia atau gas nitrogen, sedangkan penurunan pH terjadi bila terbentuknya asam-asam organik sebagai hasil proses fermentasi (Tanner 1997). 10 8 pH

6 4 2 0 0

7

14

21

Waktu (hari) Blanko Salipiger sp PR55-4 Bacillus altitudinis Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis Salipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropi Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Gambar 5.5 Perubahan pH media fermentasi dengan menggunakan spesies tunggal dan campuran selama proses bioremediasi Nilai pH spesies tunggal dan campuran berada pada rentang 6-8, dimana mayoritas mikrorganisme tanah akan tumbuh dengan subur pada pH antara 6 sampai 8. Selama proses biodegradasi berlangsung, nilai pH spesies tunggal dan campuran turun. Hal ini menandakan adanya degradasi senyawa hidrokarbon menghasilkan asam-asam organik sehingga terjadi penurunan pH. Adanya proses

degradasi juga dapat dilihat dari penurunan TPH dan

kenaikan persentase

degradasinya seperti yang disajikan pada Gambar 5.5. Nilai TPH Fasa Padat Spesies Tunggal dan Campuran TPH atau Total Petroleum

Hydrocarbon

merupakan

salah

satu

parameter keberhasilan proses bioremediasi limbah minyak bumi yang nilai akhirnya harus sesuai dengan nilai yang diperkenankan dalam peraturan perundang-undangan. TPH menggambarkan jumlah hidrokarbon dengan berbagai macam panjang rantai tanpa melihat jenisnya, yaitu alisiklik, aromatik atau alifatik.

TPH fasa padat (%)

14 12 10 8 6 4 2 0 0

7 Waktu (Hari) 14

21

Salipiger sp PR55-4 Bacillus altitudinis Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis Salipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropi Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Blanko

Gambar 5.6 Persen TPH fasa padat dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari Diantara 3 spesies tunggal yang digunakan, terlihat bahwa spesies bakteri Salipiger sp. PR55-4 memiliki persen TPH fasa padat yang lebih rendah dibandingkan dengan 2 spesies tunggal lainnya. Hal ini disebabkan karena persen TPH awalnya juga lebih rendah, dan persen degradasinya sampai hari ke-21 juga lebih rendah (51.65%) dibandingkan dengan dari bakteri Bacillus altirudinis yang memiliki persen degradasi sebesar 54.26%. Pada Gambar 5.7 terlihat bahwa,

155

156

Bacillus altitudinis memiliki persen degradasi tertinggi diantara 2 spesies tunggal lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus altitudinis

memiliki

kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi hidrokarbon yang terdapat pada limbah minyak berat dibandingkan Salipiger sp. PR55-4 dan Achrobactrum anthropi. Kemampuan degradasi yang lebih baik dari Bacillus altitudinis disebabkan oleh pertumbuhannya

lebih baik dibandingkan dengan bakteri

Salipiger sp. PR55-4 dan Achrobactrum anthropi. Sesuai dengan uji konfirmasi yang dilakukan, bakteri Bacillus altitudinis

ini dapat mendegradasi PAH yaitu

phenanthrene. Walaupun Salipiger sp. PR55-4 dapat mendegradasi 2 senyawa PAH yaitu dibenzotiofena dan fenantrena, akan tetapi karena jumlah koloninya lebih sedikit maka kemampuan mendegradasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan Bacillus antitudinis. 100

Persen Degradasi

80 60 40 20 0 0

Waktu (hari) 7 14 21 Salipiger sp PR55-4 Bacillus altitudinis Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus anthropi Salipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropi Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Blanko

Gambar 5.7 Persen degradasi dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari Spesies campuran 3 jenis bakteri yaitu Salipiger sp. PR55-4, Bacillus antitudinis dan Achrobactrum anthropi memberikan persen degradasi tertinggi dibandingkan dengan campuran 2 jenis bakteri dan spesies bakteri tunggal. Persen degradasi yang dihasilkan oleh konsorsium 3 jenis bakteri (Salipiger sp. PR55-4,

Bacillus antitudinis dan Achrobactrum anthropi) mencapai 81.52% dengan TPH akhir sebesar 2.33% (b/b) dari TPH awal sebesar 12.61%(b/b). Hal ini didukung oleh Hikmatulloh (2004), menyatakan bahwa kombinasi spesies bakteri lebih mampu mendegradasi suatu hidrokarbon dari minyak bumi dibandingkan spesies tunggal. Bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus antitudinis dan Achrobactrum anthropi bersinergis untuk mendegradasi dibenzotiofena, penantrena, dan fluorena. Nilai TPH Fasa Cair Spesies Tunggal dan Campuran Nilai TPH fasa cair sangat kecil dan mengalami fluktuasi (Gambar 5.8). Hal ini dikarenakan minyak yang terdispersi dari fase padat ke fase cair jumlahnya sedikit atau minyak yang terdispersi pada fase cair telah didegradasi oleh bakteri tersebut sehingga jumlah hidrokarbon pada fase cair sangatlah rendah. Biosurfaktan yang dihasilkan oleh spesies dan surfaktan yang ditambahkan akan membuat minyak yang terdapat pada padatan terdispersi ke fase cairnya. Sesuai dengan penelitian sebelumnya adanya penambahan surfaktan dapat meningkatkan kelarutan limbah minyak bumi dalam air. 6

TPH fada cair (%)

5 4 3 2 1 0 0

7 Waktu (hari) 14

21

Salipiger sp PR55-4 Bacillus altitudinis Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis Salipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropi Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Blanko

Gambar 5.8 Persen TPH fasa cair dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari

157

158

Nilai TPH fasa cair meningkat di hari ke-3 (Gambar 5.8) kemudian mengalami penurunan hingga hari ke-21. Hal ini dikarenakan pada hari ke-3 terjadi peningkatan kontak antara spesies dan minyak sehingga jumlah senyawa hidrokarbon mulai berkurang. Penurunan TPH fasa cair terbesar terjadi pada kombinasi tiga spesies, yaitu sebesar 1.68% (b/b) di hari ke-21. Nilai COD Spesies Tunggal dan Campuran Waktu inkubasi mempengaruhi nilai COD pada proses biodegradasi. Semakin lama waktu inkubasi dengan proses pengadukan maka nilai COD setiap spesies mengalami peningkatan (Gambar 5.9). 400000

COD (ppm)

300000 200000 100000 0 0

7

14

21

Waktu (hari) Salipiger sp PR55-4 Bacillus altitudinis Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis Salipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropi Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Salipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi Blanko

Gambar 5.9 Perubahan nilai COD dari spesies tunggal dan campuran Dalam kurun waktu 21 hari nilai COD mengalami peningkatan, dikarenakan selama kurun waktu tersebut terjadi proses biodegradasi yang menghasilkan asam-asam organik sehingga nilai COD meningkat. Hal ini juga didukung oleh penurunan pH yang terjadi selama kurun waktu tersebut.

Kombinasi tiga spesies memiliki nilai COD yang paling rendah, yaitu sebesar 246456 mg/L di hari ke-21. Nilai COD ini sebanding dengan nilai TPH fasa cair kombinasi tiga spesies yang lebih rendah dari spesies tunggal dan kombinasi dua spesies (Lampiran 5.3). Hal ini terjadi karena senyawa hidrokarbon yang ada di dalam cairan didegradasi oleh spesies bakteri, terutama kombinasi tiga spesies.

SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan spesies tunggal Saipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi pada bioremediasi limbah minyak berat selama 21 hari menunjukkan % degradasi sebesar 51.65%, 54.26%, dan 46.76% sedangkan spesies kombinasi memiliki % degradasi sebesar 60.13%

untuk

kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis, 57.00% untuk kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Dibandingkan dengan spesies tunggal, spesies campuran memiliki % degradasi yang lebih baik. Kombinasi terbaik untuk mendegradasi limbah minyak berat adalah kombinasi bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi dengan % degradasi terbesar yaitu sebesar 81.52% pada hari ke 21.

DAFTAR PUSTAKA Anggraeni D. 2003. Isolasi Bakteri dan Kapang Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Diesel dari Kotoran Hewan. [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th edition. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Barbarito, Fabien, Soucaille P, Bories A. 1996. Physiologic Mechanisms Involved in Accumulation of 3-Hydroxypropionaldehyde during Fermentation of Glycerol by Enterobacter angglomerans. Aplied and Enviromental Microbiology. Dec. 1996. 12 (62): 4405-4409. Chayabutra C, Ju LK. 2000. Degradation of n-Hexadecane and Its Intermediates by Pseudomonas aeruginosa under Microaerobic and Anaerobic Denitrifying Condotion. Aplied and Environmental Microbiology. Feb 2000. P.493-498

159

160

Citroreksoko P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong 24-28 Juni 1996. LIPI-BPPT-HSF. Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005. Standard Method for Examination of Water and Wastewater 21th .5220.C- Clossed Reflux, Titrimetri Method. APHA, AWWA, WEF. Cookson JT. 1995. Bioremediatian Engineering design and Application. New York: McGraw-Hill, Inc. Daubaras D, Chakrabarty AM. 1992. The Environment, Microbes and Bioremediation: Microbial Activities Modulated by the Environment. J Biodegradation 3: 125-135. Kluwer Academic Publisher. Dharmsthiti S, Kuhasuntisuk B. 1998. Lipase from Pseudomonas aeruginosa LP602: biochemical properties and application for wastewater treatment. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology. 21: 75-80 Folsom BR. 1997. Characterization of Pseudomonas putida B2. Journal Biotechnology. 19: 123-129

2-nitrophenol uptake systera of of Industrial Microbiology &

Funk SB, Crawford DL. 1996. Bioremediation of Nitroaromatic Compounds. Ch. 6 in Bioremediation Principles and Aplications. Cambridge University Press. Cambridge. Goudar CT, Strevett KA. 1998. Comparison of Relative Rates of BTEX Biodegradation using Respirometry. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology .21:11-18. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hikmatuloh YA. 2004. Kajian Kombinasi Bakteri Pada Proses Biodegradasi Minyak Diesel (Skripsi). FATETA-IPB. Kanaly RA, Bartha R, Watanabe K, Harayama S. 2002. Rapid mineralization of benzo[a]pyrene by microbial consortium growing on diesel fuel. Applied and Environmental Microbiology 66(10): 4205-4211. Lee EY, Jun YS, Cho KS. 2002. Degradation Characteristics of Toluene, Benzene, Ethylbenzene, and Xylene by Stenotrophomonas maltophilia T3-c. J. Air & Waste Manage. Assoc. 52:400-406. [MECHEA] Maxus Energy Corporation Health and Environmental Affairs. 1991. Alpha Environmental. Colorado. Alpha Environmental Midcontinent Inc. Rosenberg E, Ron EZ. 1996. Bioremediation: Principles and Applications, Bioremediation of Petroleum Contaminant. UK: Cambridge University Press. Trinidade P, Sobral LG, Rizzo AC, Leite SGF, Lemos JLS, Milloilli VS, Soriano AU. 2002. Evaluation of The Biostimulation and Bioaugmentation Techniques in The Bioremediation Process of Petroleum Hydrocarbon

Contaminated Soils. 9th International Petroleum Environmental Conference, IPEC (Integrated Petroleum Environmental Consortium). Yu H, Kimand BJ, Rittmann BE. 2001. A Two-Step Model for The Kinetics of BTX Degradation and Intermediate Formation by Pseudomonas putida F1. Biodegradation 12 : 455-463.

161

162

Lampiran 5.1 Komposisi media marine broth (Atlas 1995) Bahan

Komposisi (g/1000 ml)

Yeast extract

1

Pepton

5

Ferric citrate NaCl

0.1 19.45

MgCl2

8.8

Na 2 SO 4

3.24

CaCl2

1.88

KCl

0.55

Na 2 CO 3

0.16

SrCl2

0.034

Asam Borat

0.022

Natrium silikat

0.004

Natrium flourida

0.0024

Amonium nitrat

1.6

Na 2 PO 4

0.008

Lampiran 5.2 Persen TPH fasa padat (%b/b) dari spesies tunggal dan campuran Sampel Blanko A B C AB AC BC ABC

0 12.47 11.51 12.69 11.63 12.53 11.97 12.74 12.61

Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4

B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan : TPH (%b/b) =

163

bobot min yak X 100% bobot sampel

3 11.36 10.41 11.10 11.12 11.23 11.57 10.60 10.34

Hari ke7 10.59 9.82 8.83 8.61 8.53 8.89 7.72 8.61

14 9.57 7.84 6.95 7.20 6.13 6.67 6.19 5.72

21 8.22 5.57 5.80 6.19 4.99 5.15 4.78 2.33

164

Lampiran 5.3 Persen TPH fasa cair (%b/v) dari spesies tunggal dan campuran Sampel Blanko A B C AB AC BC ABC

0 1.79 2.45 1.63 1.58 1.67 1.53 1.56 1.67

Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4

B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan : TPH (%b/v) =

bobot min yak X 100% volume sampel

3 3.86 4.26 3.72 3.46 3.10 3.68 3.57 2.42

Hari ke7 4.77 5.44 3.43 4.20 2.88 3.35 3.20 2.62

14 5.33 4.85 2.88 3.67 2.49 3.16 2.63 2.07

21 5.08 4.41 2.24 3.87 2.12 2.67 2.33 1.68

Lampiran 5.4 Persen degradasi TPH dari spesies tunggal dan campuran Sampel

Hari ke3

7

14

21

Blanko

8.92

15.08

23.26

34.09

A

9.63

14.75

31.90

51.65

B

12.49

30.38

45.24

54.26

C

4.45

25.99

38.08

46.76

AB

10.33

31.92

51.09

60.13

AC

3.34

25.71

44.26

57.00

BC

16.79

39.40

51.41

62.47

ABC

17.99

31.71

54.62

81.52

Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4

B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan : Persentase degradasi (%) = Ket : n adalah jumlah hari

165

TPH H 0 − TPH H n TPH H 0

X 100%

166

Lampiran 5.5 Nilai COD (mg/mL) dari spesies tunggal dan campuran Sampel Blanko A B C AB AC BC ABC

0 114240 116280 153000 114240 110160 114240 110160 112200

3 138720 187680 110160 146880 134640 175440 177480 132600

Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4

B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan : COD (mg/mL) =

( A − B ) x N x 1000 x BE oksigen xfp Volume Sampel (mL )

Hari ke7 242544 305136 226896 258192 242544 219072 219072 219072

14 250368 367728 211248 281664 273840 258192 234720 226896

21 258192 250368 277752 301224 250368 281664 293400 246456

Lampiran 5.6 Populasi bakteri(CFUg/mL) dari spesies tunggal dan campuran Sampel 0 1.00x105 4.24x105 4.32x104 2.61x105 1.36x103 2.88x105 2.65x106

A B C AB AC BC ABC

3 1.36x105 1.38x109 1.56x107 1.15x109 1.52x106 5.28x108 6.90x108

Hari ke7 1.64x106 1.67x109 8.52x107 1.34x108 1.05x108 7.30x109 9.80x109

14 1.60x108 6.49x109 6.00x109 6.04x109 2.71x109 6.42x109 7.10x1010

21 8.20x107 1.25x109 1.61x109 2.46x109 1.01x109 3.79x109 4.07x109

Hari ke7 7.0 7.5 7.5 7.5 7.5 8.0 7.5 7.5

14 6.5 7.5 7.5 7.5 7.5 75. 75. 7.5

21 6.0 7.0 7.0 6.0 7.0 7.0 7.0 7.0

Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4

B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Lampiran 5.7 Nilai pH dari spesies tunggal dan campuran Sampel 0 6.5 7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 7.5 7.5.

Blanko A B C AB AC BC ABC Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4

B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi

167

3 7.0 7.5 7.5 7.5 7.5 7.5 8.0 8.0

BAB VI PEMBAHASAN UMUM Aktivitas penambangan minyak bumi akan menghasilkan limbah minyak bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat toksik terhadap lingkungan disekitarnya seperti tanah, air tanah, dan tanaman. Tanah yang tercemar limbah minyak berat ini memiliki pH yang cukup rendah yaitu 5, kandungan hidrokarbon yang tinggi yaitu 30.32%, dan teksturnya yang liat menyebabkan sulit untuk diolah dengan sistem bioremediasi, dimana bakteri yang yang bekerja sebagai pendegradasi hidrokarbon dalam sistem bioremediasi dapat optimal bekerja pada pH 6-8 dan kandungan hidrokarbon tak lebih dari 15%. Untuk menurunkan kandungan hidrokarbon minimal sampai 15% dilakukan pengenceran dengan air dalam sistem bioslurry dan dengan tanah dalam sistem landfarming. Karena tingginya kandungan hidrokarbon dan teksturnya yang liat maka pencampuran air atau tanah sulit untuk dilakukan, untuk itu dilakukan upaya meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam air dan dalam tanah dengan menambahkan surfaktan. Dispersi minyak bumi ke dalam medium air akan lebih mudah bila ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya. Surfaktan dapat mengikat minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain surfaktan juga dapat mengikat air yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat memudahkan kontak antara mikroba dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik dan nonionik karena surfaktan anionik dan nonionik umumnya bersifat biodegradabel, tidak bersifat toksik terhadap mikroba, dan harganya relatif murah (Kosswig dan Marl 2003) jika dibandingkan dengan surfaktan kationik yang bersifat toksik terhadap mikroba (Tharwat 2005). Surfaktan anionik yang digunakan adalah linear alkilbenzene sulphonate LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS) dan surfaktan non ionik yang digunakan adalah Tween 80 dan Brij 35. Dengan meningkatnya kelarutan limbah minyak

berat akan mempengaruhi kinerja bakteri dalam proses biodegradasi limbah minyak berat. Biodegradasi akan lebih mudah dan cepat terjadi bila minyak dalam bentuk terdispersi. Hasil penelitian Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa penggunaan

biosurfaktan

yang

diisolasi

dari

Pseudomonas

sp

akan

memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak mentah dibandingkan dengan tanpa penambahan biosurfaktan. Helmy (2006) juga mengatakan bahwa penambahan surfaktan (Tween 80) meningkatkan proses biodegradasi sludge minyak bumi oleh konsorsium bakteri petrofilik. Parameter peningkatan dispersi limbah minyak berat dilihat dari nilai COD, total petroleum hydrocarbon (TPH) padat dan cair dalam berbagai laju pengadukan. Hasil penelitian (Gambar 2.8 dan 2.9) memperlihatkan bahwa semakin tinggi laju pengadukan, maka nilai TPH fasa padat semakin kecil dan nilai TPH fasa cair semakin besar. Nilai TPH fasa padat dan fasa cair dari penambahan surfaktan LAS pada pengadukan 140 rpm adalah 10.20% dan 1.33%, sedangkan dengan penambahan surfaktan NDS adalah 9.12% dan 1.68%. TPH fasa cair dari penambahan surfaktan NDS lebih tinggi dibandingkan dengan LAS, hal ini berkorelasi dengan nilai COD yang dihasilkan (Gambar 2.10). Penambahan NDS memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS. Nilai COD tertinggi terjadi pada laju pengadukan 140 rpm, yaitu 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan 35909 mg/L untuk 0.15% NDS. Semakin tinggi laju pengadukan, maka nilai COD semakin besar pula. Hal ini disebabkan semakin tinggi laju pengadukan, maka semakin banyak senyawa organik yang terkandung dalam limbah minyak bumi masuk ke media air. Nilai ini menunjukkan bahwa limbah minyak bumi tersebut banyak mengandung senyawa organik berupa hidrokarbon aromatik maupun hidrokarbon alifatik. Sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana semakin tinggi. Sedangkan untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%) memberikan nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan blanko. Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar

172

dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35. Akan tetapi kosentrasi yang tinggi dapat menghasilkan busa yang lebih banyak sehingga mengganggu proses aerasi dan biodegradasi menjadi tidak optimal. Berdasarkan uji ANOVA (analysis of variance) yang dilakukan pada data perlakuan laju 140 rpm, nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS menghasilkan data yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2.30). Untuk itu dalam perlakuan selanjutnya digunakan surfaktan LAS karena pada kosentrasi yang lebih kecil akan menghasilkan busa yang lebih sedikit sehingga tidak menganggu dalam proses aerasi. Surfaktan

LAS pada konsentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi

limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS, Tween 80, dan Brij 35. Penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002) menunjukkan bahwa penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel penelitian ini mampu meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak bumi secara berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang digunakan didalam penelitian ini, semakin besar efek pendispersian minyak bumi didalam air sehingga akan memperluas kontak permukaan antara limbah minyak bumi dengan nutrisi, air dan oksigen yang pada akhirnya mikroba di lingkungan tersebut mampu untuk meningkatkan hasil proses biodegradasi yang terjadi. Akan tetapi konsentrasi surfaktan yang tinggi akan membuat busa lebih banyak pada saat pengadukan sehingga menghalangi proses aerasi dalam biodegradasi. Tahap

penelitian

selanjutnya

adalah

melakukan bioremediasi tanah

tercemar limbah mimyak berat dengan teknik bioslurry dan teknik landfarming. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Dengan menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan TPH ≈ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin

menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang banyak mengandung mikroba. Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran hewan juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba. Secara umum, kotoran segar hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6% nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam bentuk P 2 O 5 , 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk K 2 O (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Anggraeni (2003) mengisolasi mikroba pendegradasi minyak bumi dari kotoran hewan dan mengidentifikasi 3 isolat yaitu

Pseudomonas pseudomallei, Pseudomonas aeruginosa, dan

Enterobacter agglomerans. Hikmatulloh (2004) dan Zaky (2005) mengujicobakan isolat pendegradasi tersebut pada minyak diesel. Kotoran sapi dan kuda merupakan sumber isolat mikroba yang dapat dimaanfaatkan dalam mendegradasi minyak bumi. Isolat-isolat ini dapat digunakan untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon secara spesifik, baik dalam keadaan tunggal maupun campuran. Penelitian ini menggunakan teknik bioremediasi bioslurry dan lanfarming dengan konsorsium bakteri yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Dalam penelitian ini bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat menurunkan persentasi TPH sampai mencapai 0.11% dari persentase TPH awal sebesar 20.71% dalam waktu 1 bulan, berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Artinya dengan teknik bioslurry, selama 1 bulan pengamatan memiliki persen degradasi sebesar 99.47%. Bioremediasi dengan teknik bioslurry lebih cepat daripada teknik lanfarming. Banerji (1996) mengatakan bahwa proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor memiliki keuntungan sebagai berikut: mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair: kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik; mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan berpotensi dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu. Akan tetapi dengan teknik bioslurry ini dibutuhkan alat yang lebih kompleks, penanganannya lebih rumit dan biaya operasional yang mahal, sehingga industri perminyakan lebih memilih teknik landfarming yang membutuhkan alat yang lebih sederhana, penanganan yang lebih mudah dan biaya operasionalnya jauh lebih murah. Teknik

174

landfarming yang digunakan diberi perlakuan untuk meningkatkan persen degradasi dengan menambahkan tanah liat dan kompos pada berbagai variasi. Selama 4 bulan pengamatan didapat persen degradasi dari limbah minyak berat yang dicampur dengan tanah liat sebesar 33.79%. Ketika dicampur dengan kompos, persen degradasi meningkat menjadi 53.34% dari konsentrasi TPH awal sebesar 11.96% turun menjadi 5.58% (Lampiran 3.4). Penambahan kompos dapat meningkat kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon, selain memiliki porositas yang cukup tinggi sehingga kelembaban terjaga, bakteri juga memanfaat kompos yang mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri. Berdasarkan data kromatogram GCMS dapat dilihat perubahan senyawa hidrokarbon. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35, setelah 4 bulan proses bioremediasi hanya teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari

C-6 sampai C-12, ada 8 senyawa hidrokarbon yang tidak

terdeteksi lagi. Hilangnya senyawa pada akhir pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3.2. Hilangnya senyawa hidrokarbon tersebut karena terjadi proses degradasi oleh bakteri menjadi senyawa hidrokarbon rantai pendek atau menjadi senyawa yang lebih sederhana. Dari proses biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai panjang dan bobot molekul yang tinggi dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini dihasilkan gas CO 2 dan NH 3 yang merupakan indikasi dari adanya proses degradasi. Bioremediasi dengan konsorsium bakteri menggunakan teknik landfarming hanya dapat menurunkan TPH sampai 5.58% dalam waktu 4 bulan. Akan tetapi waktu yang dibutuhkan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan konsorsium

bakteri

yang

digunakan

lebih

cepat

dibandingkan

apabila

menggunakan bakteri indigen saja. Bioremediasi dengan teknik landfarming menggunakan bakteri indigen (biostimulasi) membutuhkan waktu 8 bulan untuk menurunkan konsentrasi TPH sampai 4% atau persen degradasi sebesar 11.60% (Suardana 2002). Dibandingkan dengan teknik landfarming, teknik bioslurry jauh lebih efektif dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Dengan teknik bioslurry, persen degradasi TPH selama 1 bulan dapat mencapai 99.46%.

Beberapa hasil penelitian mengenai pemanfaatan teknologi bioremediasi dalam mendegradasi bahan-bahan berbahaya disajikan pada Tabel 6.1. Dari Tabel 6.1 tampak bahwa dengan memanfaatan slurry bioreaktor proses degradasi dapat berlangsung cepat dengan persentase bahan terdegradasi lebih tinggi dari teknologi bioremediasi lainnya. Pada penelitian oleh Yerushalmi et al. (2003) dengan memanfaatkan slurry bioreaktor tanpa perlakuan tingkat cemaran dalam tanah dan perlakuan persen padatan TPH terdegradasi sebesar 70% selama 45 hari, sedangkan dengan memperbaiki kondisi tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan seperti yang dilakukan pada penelitian ini, TPH mampu terdegradasi hingga 85.29% dalam waktu empat hari. Tabel 6.1. Beberapa hasil penelitian teknologi bioremediasi Jenis Polutan Bahan peledak

TPH

Jenis Polutan BTEX PAH PAH

Teknologi Bioremediasi Composting Landfarming Slurry Bioreaktor Bioaugmentasi pada Tanah Slurry Bioreaktor Teknologi Bioremediasi Bioremediasi in situ Slurry Bioreaktor Slurry Bioreaktor

98% 32%

Lamanya waktu 153 hari 235 hari

Skala Penelitian 14 kubik yard 1 kubik yard

99%

53 hari

400 gal

49%

60 hari

220 g

70%

45 hari

120 ml volume kerja 45 ml

Hasil

Lamanya waktu

Skala Penelitian

79%

300 hari

500 kubik yard

96%

14 hari

Pilot scale

30%

4 hari

-

Hasil

Referensi Craig et al., 1995

Yerushalmi et al., 2003

Referensi Scalzi et al., 2001 U.S. EPA, 2003 Brown et al., 1999

Untuk mengetahui spesies bakteri yang berperan aktif dalam proses biodegradasi ini maka dilakukan isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan isolasi, seleksi dan karakterisasi

bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon.

Dari hasil isolasi

176

didapatkan 11 isolat yang kemudian diseleksi untuk mendapatkan isolat-isolat yang memiliki kinerja yang baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik hidrokarbon alipatik maupun aromatik yang terdapat dalam limbah minyak berat. Dari 11 isolat yang diseleksi didapatkan 3 isolat yang dapat menurunkan persen TPH yang paling rendah yaitu isolat dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Pada tahap seleksi ini isolat MY7 dapat menurunkan persen TPH dari 23.2% TPH awal menjadi 15.71% TPH akhir, solat MY12 dapat menurunkan persen TPH dari 18.91% TPH awal menjadi 7.90% TPH akhir, dan isolat MYFlr dapat menurunkan persen TPH dari 17.24% TPH awal menjadi 10.22% TPH akhir. Semakin rendah persen TPH maka semakin banyak senyawa hidrokarbon yang terdegradasi oleh isolat bakteri tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana. Kemampuan untuk menurunkan persen TPH sejalan dengan jumlah koloni yang dimiliki oleh ketiga isolat ini. Ketiga isolat ini memiliki pertumbuhan bakteri yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya (Gambar 4.8). Ketiga isolat ini memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa polyromatic hydrocarbon (PAH) yang terdapat dalam limbah minyak bumi fraksi berat. Dari Uji konfirmasi diketahui bahwa isolat dengan kode MY7 dapat mendegradasi senyawa dibenzotiofena dan fenantrena,

isolat dengan kode MY12 dapat mendegradasi

senyawa fenantrena, sedangkan isolat dengan kode MYFlr dapat mendegradasi senyawa fluorena. Identifikasi dilakukan secara molekular 16S rDNA. Analisis molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekunsing. Data mentah hasil sekuensing selanjutnya di-trimming dengan program MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan selanjutnya dikonfersi dalam bentuk FASTA format. Hasil sekuensing DNA dalam bentuk FASTA format selanjutnya di-BLAST untuk mencari homologi secara on line di pusat data base DNA di DDBJ atau di NCBI. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai

tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat kesamaan 97%. Salipiger sp. PR55-4

merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk

batang dan termasuk bakteri aerobik chemoheterotrophic (tidak dapat tumbuh dalam kondisi anaerob). Bacillus altitudinis merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang dan Ochrobactrum anthropi adalah bakteri gram negatif yang bersifat aerobik dan

merupakan

bakteri

oksidase

(Yu et al. 2007).

Ochrobactrum sp. mampu memanfaatkan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) seperti fenantrena, pyrene dan fluorantena sebagai sumber karbon dan sumber energi (Yirui et al. 2009). Kemampuan isolat bakteri dalam mendegradasi senyawa PAH berbeda satu sama lain, sangat tergantung kepada aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri . Oleh karena itu, bakteri yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Kemampuan degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti temperatur, nutrisi, dan oksigen (Eweis et al. 1998). Degradasi suatu senyawa hidrokarbon berhubungan dengan populasi bakteri (Gambar 5.4). Pada tahap awal, bakteri beradaptasi di lingkungan minyak, kemudian pada saat pertumbuhan sel bakteri berada pada fase pertumbuhan logaritmik maka senyawa hidrokarbon yang ada akan semakin berkurang akibat aktivitas bakteri dan pada saat bakteri tersebut sudah tidak mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon yang ada maka pertumbuhannya akan terus menurun dan akhirnya sel bakteri tersebut akan inaktif atau mati. Faktor yang mendukung proses bioremediasi minyak adalah faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor fisik-kimia adalah komposisi kimia minyak, kondisi fisik minyak, konsentrasi minyak, suhu, oksigen, nutrisi, salinitas, tekanan, air aktivitas, dan pH, sedangkan faktor biologi adalah kemampuan bakteri itu sendiri. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan uji kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat

178

dalam limbah minyak berat baik dalam bentuk spesies

tunggal maupun

campuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis

memiliki

kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Bacillus altitudinis dapat menurunkan persen TPH sampai

5.8% dari TPH awal 12.69% atau memiliki persen degradasi sebesar

54.26%. Bacillus altitudinis memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Pengamatan secara visual pada Gambar 5.3 menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4

dan

Ochrobactrum anthropi. Dibandingkan dengan spesies tunggal, campuran spesies bakteri jauh lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat. Bacillus altitudinis bersinergis dengan Salipiger sp. PR55-4 untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon sehingga dapat menurunkan persen TPH sampai 4.99% dari TPH awal 12.53% atau memiliki persen degradasi sebesar 60.13%. Akan tetapi Bacillus altitudinis bersinergis lebih baik dengan Ochrobactrum

anthropi

untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon, karena

dapat menurunkan persen TPH sampai 4.78% dari TPH awal 12.74% sehingga memiliki persen degradasi lebih tinggi yaitu sebesar 62.47% (Lampiran 5.2 dan 5.4). Tabel 6.2 menyajikan perbandingan teknik landfarming dan bioslurry, teknik bioslurry membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik landfarming.

Tabel 6.2 Perbandingan teknik landfarming dan bioslurry Teknik Bioremediasi

Bioaugmentasi/ Biostimulasi

Landfarming

Biostimulasi Konsorsium Bakteri 1 spesies bakteri 2 spesies bakteri 3 spesies bakteri Konsorsium Bakteri

Bioslurry

% Degradasi

11.60% 53.34% 54.26% 62.47% 81.52% 99.46%

Waktu

8 bulan 4 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan

Campuran 3 spesies bakteri ini memiliki kinerja yang paling tinggi dibandingkan dengan campuran 2 spesies bakteri dan spesies tunggalnya. Konsorsium bakteri Ochrobactrum sebesar

Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis dan

anthropi memiliki persen degradasi yang lebih tinggi yaitu

81.56%. Menurut Loser et al. (1998), bakteri tunggal memiliki

kemampuan yang terbatas dalam mendegradasi fraksi-fraksi dalam hidrokarbon. Hasil penelitian Ward et al. (2003) juga menunjukkan bahwa konsorsium mikroba memiliki tingkat degradasi yang tinggi dalam mendegradasi senyawa BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena) yaitu sebesar >90%. Sedangkan tingkat degradasi bakteri tunggal seperti Rhodococcus sp. dan Pseudomonas sp. hanya sebesar 45% dan 55%. Hal ini disebabkan kemampuan ketiga bakteri ini untuk bersinergis dalam mendegradasi senyawa hidrokabon. Dijelaskan oleh Atlas dan Bartha (1998) bahwa proses biodegradasi senyawa hidrokarbon sampai terurai sempurna (termineralisasi) tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis bakteri, tetapi selalu dilakukan oleh suatu konsorsium bakteri secara sinergistik. Banyak bakteri yang mampu mendegradasi senyawa alifatik maupun aromatik, tetapi tidak dapat menggunakan hasil degradasinya sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Disinilah peran konsorsium bakteri dimana bakteri yang satu menggunakan hasil degradasi dari bakteri yang lain sebagai sumber karbon dan begitu seterusnya. Menurut Yani et al. (2003), limbah minyak bumi yang terdiri atas berbagai jenis komponen mulai dari C 4 -C 40 , didegradasi oleh mikroba menjadi senyawa sederhana seperti CO 2 , asam organik sederhana dan biomassa sel. Namun demikian, selalu terdapat senyawa-senyawa yang tidak dapat didegradasi oleh

180

mikroba. Sekumpulan mikroba tertentu akan mendegradasi komponen minyak bumi secara berurutan dan berantai.

DAFTAR PUSTAKA Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroorganisme Pendegradasi Diesel dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB. Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th edition. Benjamin Cummings Publishing Company, Inc. Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences. Brown DG, Guha S, Jafee PR. 1999. Surfactant-Enhanced Biodegradation of PAH in Soil Slurry Reactors. Abstract. Bioremediation J., Vol. 3(3): 269283. www.lehigh.edu/~dgb3/Research/SEB%20Project% 20Summary.pdf. (14 Juli 2005). Craig HD, Sisk WE, Nelson MD, Dana WH. 1995. Bioremediation of Explosives Contaminated Soils: A Status Review. Proceedings of the 10th Annual Conference on Hazardous Waste Research. www.engg.ksu.edu/HSRC/95Proceed/craig.pdf. (14 Mei 2008). Eweis JB, Sarina JE, Daniel PYC, Schroeder ED.1998. Bioremediation Principles. Mc Graw-Hill. Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi Kasus Bioremediasi pada Tumpahan Minyak-Hidrokarbon yang Mencemari Suatu Lokasi Tumpahan Minyak Mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India. Helmy Q, 2006. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Biodegradasi Sludge Minyak Bumi oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik (Tesis). Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. ITB. Hikmatuloh YA. 2004. Kajian Kombinasi Bakteri Pada Proses Biodegradasi Minyak Diesel [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah

Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup. Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365. Scalzi M, Xandra TPE, Eric A. 2001. A Systems’ Approach to In-Situ Bioremediation: Full Scale Application. Sixth Annual In-Situ and On-Site Bioremediation Conference, San Diego, CA. www.environmentalexpert.com/articles/article1050/SCALZI%20TURNER%20and%20ANDRE WS%20-%20B2001%20-%20Paper.pdf. [14 Mei 2008]. Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta. Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta. Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. [U.S.EPA]. 2003. Site Technology Profile: Ecova Corporation (Bioslurry Reactor). www.epa.gov/ORD/NRMRL/pubs/540r03501/540R03501c-e.pdf. (14 Mei 2008). Ward W, Singh A, Van Hamme J. 2003. Accelerated Biodegradation of Petroleum Hydrocarbon Waste. J. Ind. Microbiol. Biotechnol., 30, 260. Yani M, Fauzi AM, Aribowo F. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB. Yerushalmi L, Rocheleau S, Cimpoia R, Sarrazin M, Sunahara G, Peisajovich A, Leclair G, Guiot SR. 2003. Enhanced Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons in Contaminated Soil. Bioremediation J., Vol. 7 (1), 2003. www.uttu.engr.wisc.edu/UT18n3.pdf. (14 Mei 2008). Yirui WU, He T, Zhong M, Zhang Y, Li E, Huang T, Hu Z. 2009. Isolation of marine benzo[a]pyrene-degrading Ochrobactrum sp. BAP5 and proteins characterization. Journal of Environmental Sciences. 21(10), 14461651. Elsevier.

182

Yu MW, Sohn K, Rhee J, Oh WS, Peck KR, Lee NY, Song J. 2007. Spontaneous Bacterial Peritonitis due to Ochrobactrum anthropi. University School of Medicine, Seoul. Zaki M. 2005. Produksi dan Karakterisasi Inokulum Serta Aplikasinya dalam Mendegradasi Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penambahan surfaktan anionik LAS dengan konsentrasi 0.04% lebih baik dalam meningkat dispersi limbah minyak berat dalam air dibandingkan dengan surfaktan NDS, Tween 80 dan Brij 35. Peningkatan dispersi limbah minyak berat dalam air dapat meningkatkan persen degradasi hidrokarbon. Adanya surfaktan dapat mempermudah kontak antara bakteri dengan hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat. Bakteri ini dapat mendegradasi limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang terdiri atas senyawa polyaromatic hydrocarbon (PAH). Bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat menurunkan TPH dari 20.71% menjadi 0.11% berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 1 %, dengan degradasi sebesar 99.46%. Sedangkan dengan teknik landfarming pada 4 bulan pengamatan didapat TPH yang masih cukup rendah yaitu 5.58%. Hasil isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri pendegradasi minyak bumi dari konsorsium bakteri didapat 3 spesies bakteri (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi) yang memberikan kinerja terbaik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat. Diantara ketiga spesies bakteri tersebut Bacillus altitudinis memiliki kinerja yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokabon yang terdapat dalam limbah minyak berat dengan persen degradasi sebesar 54.26%. Dibandingkan dengan spesies tunggalnya, campuran spesies bakteri lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Campuran ketiga spesies bakteri ini dapat menurunkan TPH dengan persen degradasi sebesar 81.52%.

Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka disarankan: 1. Konsorsium

bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan

Ochrobactrum anthropi

dalam mendegradasi senyawa PAH yang terdapat

pada limbah minyak berat dapat diterapkan pada skala pilot maupun skala

184

lapangan 2. Menggunakan

konsorsium

bakteri

dengan

teknik

bioslurry

untuk

mendegradasi limbah minyak berat dari sumber lain 3. Memanfaatkan konsorsium bakteri ini untuk mendegradasi senyawa PAH yang terdapat dalam limbah industri lain. 4. Penggunaan kompos untuk mempercepat proses biodegradasi limbah minyak berat dengan teknik landfarming.

106