BOBOT LAHIR BEBERAPA GENOTIPE KAMBING HASIL PERSILANGAN

Download murni (LL) dan persilangan antara betina kambing PE dengan pejantan PE untuk melengkapi data sebagai pembanding. Penelitian ini bertujuan u...

0 downloads 453 Views 161KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

BOBOT LAHIR BEBERAPA GENOTIPE KAMBING HASIL PERSILANGAN (Average Birth Weight of Several Crossing of Goat Genotipes) SIMON ELIESER, MERUWALD DOLOKSARIBU, FERA MAHMILIA, ANDI TARIGAN dan ENDANG ROMJALI Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1, Galang, Sumatera Utara

ABSTRACT A Study of birth weight of several goat crossings was conducted at Lolit Kambing Potong Sei Putih. Data of birth weight were obtained for 74 lambs generated of goat Kacang (100 %); LB1 (crossing of 50% Kacang x 50% Boer); LB2 (crossing of 25% Kacang x 75% Boer), which were crossed with ram Boer goat (B). Beside that, goat Kacang x Kacang (LL) and PE x PE (PE). Overall average birth weight were 2.777 ± 0.103 Kg, 2.342 ± 0.110 Kg, 2.195 ± 0.192 Kg, 1.860 ± 0.088 Kg, 1.854 ± 0.153 Kg and 1.411 ± 0.102 Kg for original Boer goat, LB2, LB3, LB1, PE and LL respectively. Data was analyzed by using SAS programme. The results showed that the average birth weight of original Boer (B) was significantly different (p<0.05) with all goat crossings. However, birth weight of LB3 was not significant different with LB1, LB2, and PE. Mean while, the birth weight of PE and LB1 was significant different to LB2, and birth weight of LL was significant (p<0.05) to all goat crossings. Further more, the only factor affecting (p‹ 0.05) birth weight was type of birth but not sex. It was concluded that crossing of local goat (Kacang) x Boer was able to increase the birth weight to approximately 30–60%. Key words: Crossing of Goat, birth weight, sex and litter size ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui bobot lahir beberapa bangsa kambing hasil persilangan telah dilakukan di Stasiun Percobaan Lolit Kambing Potong Sei Putih. Materi dan metodologi penelitian yang digunakan meliputi betina kambing kacang murni (100% darah kacang (L), betina Kambing kacang hasil persilangan (LB1 = 50% darah kacang, 50% darah Boer; LB2 = 25% darah kacang, 75% darah Boer) dikawinkan dengan pejantan Boer murni (B). Selain itu dilakukan juga persilangan antara betina kacang dengan pejantan kacang murni (LL) dan persilangan antara betina kambing PE dengan pejantan PE untuk melengkapi data sebagai pembanding. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot lahir beberapa bangsa kambing yang disilangkan . Dari data 74 ekor bobot lahir anak yang dianalisis dengan menggunakan model SAS diperoleh bahwa bobot lahir kambing Boer murni (B = 4 ekor anak) paling tinggi (2,777 ± 0,183 kg) kemudian diikuti oleh bobot lahir hasil persilangan LB1 dengan B (LB2 = 14 ekor anak) 2,342 ± 0,110 kg; persilangan LB2 dengan B (LB3 = 6 ekor anak) 2,195 ± 0,192 kg; persilangan L dengan B (LB1 = 21 ekor anak) 1,860 ± 0,088 kg; persilangan PE dengan PE ( PE = 7 ekor anak) 1,854 ± 0,153 kg dan yang paling rendah persilangan L dengan L (LL = 22 ekor anak) 1,411 ± 0,102 kg. Hasil analisis data dengan menggunakan model linear dari SAS (1994) menunjukkan bahwa bobot lahir kambing Boer murni (B) berbeda pada P<0,05 dibanding semua hasil persilangan. Bobot Lahir LB3 tidak berbeda dengan bobot lahir LB1, LB2 dan PE; namun bobot lahir PE dan LB1 berbeda dengan LB2. Bobot lahir LL berbeda pada P<0,05 dengan semua bobot lahir kambing hasil persilangan. Jenis kelamin tidak mempengaruhi bobot lahir betina (33 ekor = 2,019 ± 0,084 kg) dan jantan (41 ekor = 2,127 ± 0,071 kg). Sebaliknya tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir P<0,01 bobot lahir kembar (14 ekor = 1,820 ± 0,110 kg); tunggal (58 ekor = 2,327 ± 0,067 kg). Dari hasil analisis dapat disimpulkan sementara bahwa persilangan kambing lokal (kacang) dengan Boer meningkatkan bobot lahir berkisar 30 sampai 60%. Kata kunci: Kambing persilangan, bobot lahir, jenis kelamin dan tipe kelahiran

PENDAHULUAN Permintaan produk perternakan khususnya daging di Indonesia akhir-akhir ini semakin

meningkat, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor dalam bentuk ternak hidup. Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki prospek

369

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

pengembangan yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Populasi kambing di Indonesia mencapai 14,6 juta ekor (DITJEN PETERNAKAN, 2000) dan didominasi oleh jenis kambing lokal dengan ukuran tubuh yang relatif kecil, namun memiliki prolifikasi yang tinggi. Tingkat kepemilikan kambing yang secara rata-rata hanya berkisar antara 2−7 ekor menunjukan bahwa penyebaran ternak ini cukup luas dan melibatkan cukup banyak petani/peternak. Kondisi ini menempatkan ternak kambing dalam posisi yang penting dalam usaha tani, karena peningkatan atau penurunan produktivitas ternak ini akan memberi pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani/ peternak secara nasional. Berdasarkan kebutuahan pasar, permintaan ternak kambing dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu: 1). Permintaan lokal (dalam negeri) untuk kambing yang memiliki kondisi badan tidak terlalu besar namun masih memenuhi persyaratan terutama untuk tujuan upacara keagamaan dan juga untuk pedagang sate. 2). Pemintaan ekspor untuk kambing dengan ukuran tubuh yang lebih besar (35−40 kg). Bertolak dari permintaan pasar tersebut, maka arahan penelitian lebih ditekankan pada peningkatan produktivitas kambing lokal selain melalui seleksi didalam kambing Lokal sendiri untuk pemantapan sesuai permintaan lokal, juga dilakukan persilangan antara kambing lokal dengan kambing Boer terutama untuk pemenuhan permintaan ekspor. Salah satu bangsa kambing Lokal yang paling dominant dipelihara petani/peternak adalah kambing kacang. Kambing Kacang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan memiliki keunggulan pada tingkat kelahiran anak (litter size) yang cukup tinggi (OBST et al., 1980 dan SAKUL et al., 1994). Namun demikian kambing Kacang ini juga memiliki keterbatasan dengan rataan bobot badan dewasa yang cukup rendah yaitu sekitar 22 kg. Kambing Boer adalah kambing tipe pedaging yang telah berkembang di Afrika Selatan. Pemuliabiakan kambing Boer telah dilakukan lebih dari 50 tahun, sehingga kambing tersebut telah dianggap superior diantara kambing tipe pedaging lainnya. Kambing Boer betina dapat dikawinkan pada umur 10 bulan dengan jumlah anak sekelahiran

370

dari satu sampai tiga ekor. Rata-rata pertambahan bobot badan harian sampai umur 12 bulan adalah 200–250 g/hari. Bobot badan dewasa adalah 110–135 kg untuk jantan dan 90–100 kg untuk betina (MASON, 1988). Upaya peningkatan produktivitas kambing lokal telah dilakukan oleh DE HAAS (1978) dengan persilangan antara kambing kerdil Afrika (Small East African Goats) dengan kambing Boer. Hasil penelitian menunjukkan pertambahan bobot badan anak sampai disapih meningkat dari 32 g/hari pada kambing lokal menjadi 62 g/hari pada kambing persilangan. Hasil pengamatan pada generasi pertama (F1) persilangan Kacang dengan Boer (“KB”) menunjukan terjadi peningkatan yang nyata pada beberapa tolok ukur produktivitas. Rataan bobot sapih (umur 90 hari) kambing persilangan mencapai 13,02 ± 3,2 kg yaitu 38,6% lebih tinggi dibandingkan kambing Kacang, sedangkan bobot badan umur satu tahun 70-90% lebih tinggi dibandingkan kambing Kacang. Pengamatan pada generasi kedua F2 persilangan Kacang dengan Boer dengan melakukan interse mating menunjukan bahwa keragaan persilangan kambing Kacang dengan kambing Boer secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang. Penelitian terhadap persilangan antara kambing jantan “KB” dengan kambing Kacang dengan komposisi genotipa 25% Boer dan 75% Kacang menunjukan bahwa kinerja produksi kambing persilangan secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang (SETIADI et al., 2001). Rangkaian kegiatan penelitian ini nantinya diharapkan dapat terciptanya kambing kambing komposit (Kacang, Boer dan PE) yang memiliki keunggulan selain produktivitasnya yang tinggi juga mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis Indonesia. MATERI DAN METODE Materi kambing yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing yang digunakan dalam kegiatan Penelitian Peningkatan Produktivitas Kambing Potong Lokal Melalui Persilangan Antara Kambing Potong Lokal Dengan Kambing Unggul “Boer”. Materi yang digunakan meliputi kambing Kacang betina dikawinkan dengan kambing

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Kacang jantan dan Kambing PE betina dikawinkan dengan Kambing PE jantan yang digunakan sebagai kontrol. Kemudian dilakukan persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Boer (interse mating) untuk menghasilkan keturunan B1 (Kaboer 1), demikian juga dilakukan persilangan antara Kaboer1 dan Kaboer 2 dengan kambing Boer untuk menghasilkan kambing Kaboer 2 dan Kaboer 3. Data yang dikumpulkan meliputi: bobot lahir, tipe kelahiran, sex dan mortalitas anak saat dilahirkan. Kemudian data dianalisis dengan model linear dari SAS (1994) sebagai berikut: Yijkl = U + Ai + Bj + Ck + Dijkl dimana: Yijkl = Bobot Lahir U

= rataan umum

AI

= pengaruh bangsa

Bj

= pengaruh tipe kelahiran

Ck

= pengaruh sex

Dijkl = pengaruh sisa HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot lahir Selama tahun 2003 jumlah anak yang dilahirkan dan hidup sebanyak 74 ekor. Rataan bobot lahir anak yang paling tinggi dijumpai pada hasil perkawinan Kambing Boer dengan Boer (2,777 ± 0,183 kg) sedangkan bobot lahir yang paling kecil pada hasil perkawinan antara kambing kacang dengan kacang (1,411 ± 0,102). Tabel 1 berikut ini menyajikan hasil analisis bobot lahir beberapa bangsa kambing yang disilangkan (dikawinkan). Dari data pada Tabel 1 tampak bahwa bobot lahir kambing Boer murni paling tinggi dan menunjukkan perbedaan nyata (P‹0,05) dibanding bobot lahir pada jenis kambing lainnya. Bobot lahir kambing BB3 (2,195 ± 0,192 kg) berada diantara bobot lahir kambing BB1, PE dan BB2 dan secara statistik tidak berbeda. Terjadinya penurunan bobot lahir pada kambing BB3 diduga akibat terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding). Sesuai pendapat INIGUS et al. (1993) yang menyatakan inbreeding terjadi akibat dari proses acak yang terjadi pada populasi yang

kecil atau pada perkawinan langsung antara individu yang hubungannya dekat dalam populasi yang besar. Inbreeding mengurangi tingkat heterizigisitas dalam populasi. Inbreeding umumnya mengurangi produksi. Bobot lahir kambing BB2 (2,342 ± 0, 110 kg) berbeda dengan BB! (1,859 ± 0,088 kg) dan PE (1,853 ± 0,153 kg). Bobot lahir BB2 ini tidak jauh berbeda dari yang dilaporkan SETIADI et al. (2001) bahwa bobot lahir persilangan antara kambing Boer dengan kambing Kacang sebesar 2, 42 ± 0,60 kg. Tabel 1. Pengaruh bangsa terhadap bobot lahir anak Bangsa anak

Uji statistik

Rataan bobot lahir (kg)

Notasi

Ulangan (n)

(LSMEAN)

a b c bc d B

4 21 14 6 22 7

2,777 ± 0,183 1,859 ± 0,088 2,342 ± 0, 110 2,195 ± 0,192 1,411 ± 0,102 1,853 ± 0,153

BB BB1 BB2 BB3 LL PE

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada P <0,05) BB BB1 BB2 BB3 LL PE

= Boer murni = Boer 50%; Lokal 50% = Boer 75%; Lokal 25% = Boer 87,5% ; Lokal 12,5% = Lokal murni (kambing kacang) = Peranakan Etawah 100%

Jenis kelamin Dari 33 ekor anak kambing betina dan 41 ekor anak kambing jantan yang diamati ternyata secara statistik tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap bobot lahir. Namun secara angka bobot lahir jantan (rataan bobot lahir 2,127 ± 0,071 kg) relatif lebih tinggi dibanding bobot lahir betina (rataan bobot lahir 2,019 ± 0,084 kg) sesuai dengan yang dilaporkan SETIADI et al. (2001) bahwa bobot lahir anak jantan lebih besar dibanding anak betina tetapi secara statistik tidak menunjukkan perbedaan. Tabel 2 berikut ini menyajikan pengaruh jenis kelamin terhadap bobot lahir anak.

371

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Tabel 2. Pengaruh jenis kelamin terhadap bobot lahir anak Jenis kelamin

Uji statistik Notasi

Ulangan (n)

Rataan bobot lahir (kg) (LSMEAN)

Betina

a

33

2,019 ± 0,084

Jantan

a

41

2,127 ± 0,071

Sex = Tidak berbeda (ns)

Tipe kelahiran

karena kondisi ternaknya. Kambing kacang dan PE yang dimiliki saat ini merupakan kambing yang baru pertama kali beranak sehingga mortalitasnya anaknya akan lebih tinggi bila dibanding kambing yang telah beranak 3 sampai 4 kali. Keadaan ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan MARAI et al. (2001) bahwa mortalitas pada beranak pertama dan kedua akan kemudian akan menurun seterusnya pada beranak ke tiga sampai ke enam dan akan naik kembali pada kambing yang bernak ke tujuh dan seterusnya. Untuk lebih lengkapnya lihat Tabel 4.

Hasil uji statistik terhadap tipe kelahiran menunjukkan bahwa, tipe kelahiran sangat bepengaruh terhadap bobot lahir anak (P‹0,01). Rataan bobot lahir anak tipe tunggal (n = 58 ekor) adalah 2,326 ± 0,067 kg jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot lahir anak tipe kembar (n = 14 ekor) 1,820 ± 0,110 kg. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan SETIADI et al. (2001) bahwa bobot lahir anak tunggal jauh lebih tinggi dibanding anak yang kelahiran kembar. Tabel 3 menampilkan pengaruh tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak.

Tabel 4. Mortalitas anak saat lahir beberapa genotipe kambing hasil persilangan

Tabel 3. Pengaruh tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak

Mortalitas anak hasil perkawinan kacang dengan kacang cukup tinggi diduga diakibatkan karena kambing kacang tersebut kebanyakan baru beranak pertama.

Tipe kelahiran

Uji statistik

Rataan bobot lahir (kg)

Notasi

Ulangan (n)

(LSMEAN)

Tunggal

A

58

2,326 ± 0,067

Kembar

B

16

1,820 ± 0,110

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada P<0,01

Bangsa anak

Anak hidup (ekor)

Anak mati (ekor)

BB

4

1

25

BB1

21

3

14,3

BB2

14

2

14,3

BB3

6

1

16,7

LL

22

8

36,4

PE

7

2

28,6

KESIMPULAN Dari hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan sementara sebagai berikut: 1.

Persilangan Kambing Kacang dengan kambing unggul Boer meningkatkan bobot lahir anak sekitar 40−60% dibanding dengan perkawinan antara kambing kacang dengan kacang.

2.

Tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir anak. Tipe kelahiran tunggal lebih berat dibandingkan dengan kembar.

3.

Bobot lahir persilangan Boer dengan Kacang (anak 50% Boer dan 50% Kacang; 87,5% Boer dan 12,5% Kacang) tidak menunjukkan perbedaan dengan bobot lahir anak hasil perkawinan PE dengan PE.

Mortalitas anak Mortalitas anak saat dilahirkan secara total mencapai 18,7% (lahir 91 ekor mati 17 ekor). Mortalitas paling tinggi dijumpai pada anak hasil perkawinan kambing kacang dengan kacang 36,4 % kemudian diikuti mortalitas hasil perkawinan PE dengan PE 28,6% sedang yang paling kecil dijumpai pada persilangan kambing kacang dengan Boer 14,3%. Tingginya mortalitas ini diakibatkan terutama

372

Mortalitas (%)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

DAFTAR PUSTAKA ---------------------. Evaluasi Peningkatan Kambing Persilangan. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/ 2000. Edisi Khusus. Buku 1. Penelitian Ternak Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan ABDUL WAHID, T.K. MUKHERJEE and M.M. DAHLAN. 1978. Breeding and selection for improvement of goats in Malaysia. In: Breeding for ruminant production in the tropics. KASSIM B. (Ed.). Proc. of the workshop organised jointly by the Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO) and the Malaysian Society of Animal Production. pp. 19−41. AMIR, P. and H.C. KNIPSCHEER. 1989. Conducting On-farm Animal Research: Procedures and Economic Analysis. Winrock Intern. Inst. For Agric. Devel. Res. Centre. Singapore National Printers Ltd., Singapore. ANONYMOUS. 2000. Buku Statistik Peternakan 2000. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. ANONYMUS. 2000. Buku Statistik Peternakan 2000. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. DE

HAAS, H.J. 1978. Growth of the Boer goat crosses in comparison with indegenous Small East African goats in Kenya. Tropenlandwrit 79: 7−12 (ABA 47,1861).

INIGUEST, L., W.A PATTIE dan B. GUNAWAN. 1993. Aspek-aspek pemuliaan domba ditekankan terutama pada lingkungan tropis yang lembab di Indonesia.

MARAI, I.F., F.I. ABOU-FANDOUD, A.H. DAADER and A.A. ABU-ELLA. 2001. Reproductive doe traits of Nubian (Zaraibi) goats breed, under Nile Delta conditions. Small Ruminant Research. Thed J. of the International Goat Association. MASON, I.L. 1988. American Boer Goat Association. 2002. Brochure. OBST, J.M., T. BOYER and T. CHANIAGO. 1980. Reproductive performances of Indonesian sheep and goats. Proc. Australian Society of Anim. Prod. 13: 321−324. SAKUL, H., G.E. BRADFORD and SUBANDRIYO. 1994. Prospects for genetic improvement of small ruminants in Asia. Proc. Symposium: Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and Pasific. SR-CRSP Univ. Calif. Davis. SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIJAYA, K. DIWYANTO, I-K SUTAMA, U. ADIATI, D. YULISTIANI, L. PRAHARANI dan D. PRIYANTO. 2001. Analisis keunggulan genetik kambing persilangan. No. Protokol RK/BRE/I-01/ APBN 2000. Laporan Kegiatan Penelitian APBN T.A. 2000. Balai Penelitian Ternak. SOESETYO, R.H.B. and I.W, NURSITA. 1989. Small Ruminan Research and Development in East Java. In: Subandriyo, A. Djajanegara and I.W. Mathius (ed.). Sheep and Goats Research for Development. Proceedings of a Workshop, Bogor, West Java, Indonesia, October 18−19. pp. 9−19. STATISTICAL ANALYSIS SYSTEM. 1994. SAS/STAT Guide for Personal Computers. Version 6th Ed. SAS Institute Inc. Carry, NC., USA. WELLER, J.I. 1994. Economic Aspects of Animal Breeding. Chapman & Hall, London.

DISKUSI Pertanyaan: 1.

Kambing kacang sebagai plasma nutfah perlu dilestarikan, sehingga persilangan antara Kacang X Boer cukup sampai F1 saja untuk disebarkan ke lapangan, karena ada pengalaman di Sulawesi Tengah sudah sulit untuk mendapatkan domba ekor gemuk.

2.

Apakah kambing Boer dapat beradaptasi baik dengan kondisi di Indonesia?

3.

Apakah tidak diuji interaksi antara jenis kelamin dengan bangsa dan lainnya?

4.

Di dalam masyarakat disebutkan non signifikan, tetapi ada pernyataan seperti angka bobot lahir anak jantan lebih tinggi dari betina.

5.

Dilakukan seleksi pada kambing kacang tetapi tidak disebutkan bagaimana kriteria seleksinya?

373

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

6.

Kambing Boer lebih baik dari kambing lokal dimana hanya dilihat dari bobot lahir saja, kemudian bagaimana dengan faktor lainnya setelah di lapangan karena dikhawatirkan malah kambing Boer akan lebih rendah dengan kambing lokal ?

7.

Apakah dilihat juga faktor kesehatan terutama ketahanan terhadap endoparasit?

8.

Pemberian nama “KABOER” jangan diganti sebagai penghargaan kepada peneliti sebelumnya (B. Setiadi).

9.

Apakah kambing Boer cukup tahan terhadap panas dan apakah juga faktor pertumbuhannya harus diperhatikan juga?

Jawaban: 1.

Kelestarian plasma nutfah kambing kacang akan tetap diperhatikan karena koleksi kambing Kacang di kantor kami sekitar 100 ekor.

2.

Kambing Boer di Sumatera Utara cukup baik beradaptasi karena keberadaannya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.

3.

Tidak diuji interaksinya karena data yang diperoleh masih minim sehingga tidak ada manfaatnya.

4.

Terima kasih atas sarannya dan akan dikoreksi pada makalah.

5.

Untuk kriteria KABOER 1, 2 dan 3 yang terbaik berdasarkan produksi induk yang tinggi dan anak yang tinggi, saran-saran yang lain akan ditambahkan dalam masalah.

6.

Kami akan berhati-hati sehingga di lapang akan dilihat faktor sosial budaya masyarakat dan kesehatan ternak, karena jika yang dikembangkan di lapangan hasil terbaik dari lokasi penelitian, maka masyarakat akan kesulitan karena input yang harus dikeluarkan juga tinggi.

7.

Masalah kesehatan akan diperhatikan sebelum disebar ke lapangan.

8.

Pemberian nama tidak akan diganti.

9.

Faktor adaptasi akan mendapat perhatian, karena dari pengalaman menunjukkan bahwa 3 bulan pertama kambing Boer tidak tahan terhadap panas, tetapi setelah 3 bulan pertama sudah terbiasa dengan kondisi setempat.

374