BPK BANJARBARU

Download Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. No. .... Potensi Etnobotani Kalimantan Sebagai Sumber Penghasil...

0 downloads 418 Views 2MB Size
VOLUME 1 NOMOR 2, DESEMBER 2015 DAFTAR ISI

1.

2.

ETNOBOTANI TUMBUHAN HUTAN BERKHASIAT OBAT DI DESA MANDIANGIN BARAT KECAMATAN KARANG INTAN KABUPATEN BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti.............................................................................................

1-7

PERTUMBUHAN TANAMAN GAHARU PADA TEGAKAN JATI DI DESA PULAU KUU KECAMATAN MUARA UYA KABUPATEN TABALONG KALIMANTAN SELATAN Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta.............................................

8-11

3.

HAMA UTAMA TANAMAN LAMTORO (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) DAN ASPEK PENGENDALIANNYA Yeni Nuraeni................................................................................................ 12-16

4.

KANDUNGAN HARA TANAH DI BAWAH TEGAKAN TENGKAWANG ALAM DAN TANAMAN DENGAN KARAKTERISTIK TAPAK YANG BERBEDA Tri Wira Yuwati............................................................................................. 17-22

5.

SUMUR BOR DANGKAL: SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT Eko Priyanto, Yusnan.................................................................................... 23-28

6.

PERBANDINGAN SIFAT FISIS SEEDBALL AEROSEEDING DARI BEBERAPA FORMULA PEMBENTUK SERTA KETEBALAN SEEDBALL Safinah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah..................................

7.

29-34

PERSIAPAN LAHAN DAN POLA PERTUMBUHAN PADA TANAMAN PULAI (Alstonia angustiloba Miq.) Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati........................................ 35-43

i

ii

Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ... Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti

ETNOBOTANI TUMBUHAN HUTAN BERKHASIAT OBAT DI DESA MANDIANGIN BARAT KECAMATAN KARANG INTAN KABUPATEN BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Syaifuddin1), Edi Suryanto1), Nur Muchammad Azizi Kurniawan2), Siska Fitriyanti2) 1) Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km.28,7 Guntung Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721 Email : [email protected]

2)

Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

ABSTRAK Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar adalah salah satu desa yang berada di sekitar Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam Provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan ini memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat sudah sejak jaman dulu. Kearifan lokal tersebut diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi secara tidak langsung. Agar tetap lestari, perlu dilakukan kajian etnobotani tentang pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kegunaan, cara penggunaan, dan mengidentifikasi tumbuhan hutan berkhasiat obat. Metode yang digunakan adalah survey eksploratif dan metode Participatory Rural Appraisal. Penentuan sampel menggunakan metode Purposive Sampling. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini ditemukan 24 species tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat Desa Mandiangin Barat. Kata Kunci: Etnobotani, Tumbuhan hutan berkhasiat obat

I.

PENDAHULUAN Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar adalah salah satu desa yang berada di sekitar Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam Provinsi Kalimantan Selatan (Wiki, 2015) dan (BPS, 2012). Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan ini memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan hutan. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan hutan untuk pengobatan secara tradisional. Masyarakat melakukannya sudah sejak jaman dulu, kearifan lokal tersebut diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi secara tidak langsung (CIFOR, 2007). Tidak ada suatu wadah khusus dalam proses pewarisan ilmu pengobatan tradisional tersebut. Hal ini mengakibatkan ilmu pengobatan tradisional dari generasi ke generasi mengalami penyusutan dan pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat akan terus berkurang (Noorcahyati, 2011). Namun pengkajian etnobotani tentang tumbuhan hutan berkhasiat obat di Desa Mandiangin Barat belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian etnobotani terhadap ilmu pengobatan tradisional masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kegunaan, cara

1

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

penggunaan dan mengidentifikasi tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat Desa Mandiangin Barat. Manfaat dari penelitian ini adalah ilmu pengobatan tradisional di Desa Mandiangin Barat tetap lestari, dan bisa dikembangkan untuk masyarakat luas. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2014 di Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey eksploratif dan metode Participatory Rural Appraisal, yaitu proses pengkajian melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam penelitian (Kandowangko, 2011). Penentuan informan kunci menggunakan metode Purposive Sampling. Informan kunci merupakan masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang ilmu pengobatan tradisional dan mengetahui tumbuhan hutan berkhasiat obat (Setiawan, 2005). Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara. Data yang dikumpulkan berupa informasi jenis-jenis tumbuhan hutan apa saja yang berkhasiat obat, bagian tumbuhan yang digunakan, cara pengolahan, dan jenis penyakit yang diobati. Setelah itu, dilakukan pengambilan spesimen tumbuhan hutan berkhasiat obat di tempat tumbuh alaminya dan dicatat titik koordinat tempat tumbuhan tersebut ditemukan. Proses pengambilan spesimen didampingi oleh informan kunci. Spesimen tumbuhan yang sudah didapat, dibuat herbarium. Kemudian dilakukan identifikasi terhadap koleksi herbarium berdasarkan morfologi dan dengan menggunakan buku kunci determinasi dan studi literatur untuk mengetahui nama latinnya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan, diperoleh 24 spesies tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat. Spesies tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Spesies Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Nama Tumbuhan No.

2

Daerah

Botani

Famili

Habitus

Kegunaan

Menis.

W. Cl.

Liver

1

Akar kuning laki

Arcangelisia flava

2

Banglai

Zingiber cassumunar

Zing.

H.

Gatal kulit karena alergi

3

Bungur

Lagerstroemia sp.

Lyth.

T.

Diabetes

4

Carikan habang

Derris sp.

Faba.

W. Cl.

Batuk, berak darah

5

Carikan putih

Derris sp.

Faba.

W. Cl.

Berak darah

Bagian yang digunakan

Cara penggunaan dan pemakaian

Batang direndam, air rendaman diminum Rimpang Rimpang diparut, akar parutan dioleskan Kulit batang Kulit batang direbus, air rebusan diminum Batang dipotong, air yang menetes Batang dari batang diminum Batang dipotong, air yang menetes Batang dari batang diminum Batang

Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ... Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti

Nama Tumbuhan No.

6

Daerah Cawat hanoman

Botani

Tetrastigma sp.

Famili

Vita.

Habitus

W. Cl.

Kegunaan

Batuk

Bagian yang digunakan

Cara penggunaan dan pemakaian

Batang

Batang yang sudah dipotong, kulit batangnya dibuang, direbus, diminum airnya Pucuk daun diremas-remas, dioleskan ke bagian tubuh yang luka Buah masak berwarna merah tua sampai hitam, ditelan langsung Akar direndam, air rendaman diminum Buah ditumbuk, ditelan langsung Biji ditumbuk, direndam dengan air panas, air rendaman diminum

7

Girang-girang

Leea sp.

Leeac.

Sh.

Obat luka

Pucuk daun

8

Kilayu

Aglaia sp.

Mel.

T.

Diare

Buah

9

Limpasu walang

T.

Demam

Akar

10

Marsihung

Brucea javanica

Simarou.

Sh.

Malaria

Buah

11

Mata bulanang

Adenanthera sp.

Faba.

T.

Berak darah, batuk darah

Biji

Aster.

Sh.

Pengobatan untuk ibu yang baru melahirkan

Seluruh bagian tumbuhan

Satu tumbuhan direbus, air rebusan diminum

Arec.

Palm.

Diare

Buah

T.

Diare

Buah

T.

Penambah stamina

Akar

Buah dimakan langsung Buah dimakan langsung Akar dibersihkan, dipotong pangkal akar, direbus, diminum airnya Batang dilukai, tetesan air yang keluar dikumpulkan, diminum Air yang keluar dari batang Sembilikan yang telah dipotong diteteskan ke mata Direndam dengan air panas, air rendaman diminum Pucuk daun (segar atau kering) direndam dengan air panas, air rendaman diminum

Baccaurea javanica Phyllant.

12

Pacing-pacing

13

Palas

14

Paler warik

15

Pasak bumi

16

Pelawan

Tristaniopsis sp.

Myrt.

T.

Sakit paru-paru (asma), liver

Batang

17

Sembilikan

Caesalpinia sp.

Caes.

W. Cl.

Obat mata

Batang

18

Sampai ringan

Schizaea digitata

Schiz.

Fn.

Pelancar kencing

Akar

19

Serangkai

Sh.

Dapat diolah menjadi teh

Pucuk daun

Areca sp.

Eurycoma longifolia Simarou.

3

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Nama Tumbuhan No.

20

Daerah

Botani

Sungkai

Peronema canescens

Famili

Habitus

Kegunaan

Bagian yang digunakan

Verb.

T.

Malaria

Pucuk daun

Getah batang

Batang

21

Tampar badak

Tabernaemontana sp.

Apocyn.

T.

Keracunan, penangkal rampisan (minyak racun yang menyerang tenggorokan)

22

Tatau

Derris sp.

Faba.

W. Cl.

Berak darah, luka dalam

T.

Pengobatan untuk ibu yang baru melahirkan campuran membuat bedak dingin - sebagai pengharum

23

24

Teja

Temulawak

Ziziphus sp.

Curcuma zantorrhiza

Rham.

Zing.

Sumber: Data primer, diolah 2014. Keterangan habitus: Fn.

: Paku (Fern)

H.

: Herba

Sh.

: Semak (Shrub)

T.

: Pohon (Tree)

Cl.

: Merambat (Climber)

W.Cl.

: Berkayu merambat (Woody climber)

Palm.

: Palem (Palma)

4

H.

Penambah nafsu makan, hepatitis

Cara penggunaan dan pemakaian Pucuk daun ditumbuk, ditelan langsung Batang disadap, tetesan getah dikumpulkan dalam satu wadah yang sudah diberi gula pasir (agar getah tidak membeku), kemudian getah diminum Batang dipotong, air yang menetes dari batang diminum

Akar

Akar direbus, air rebusan diminum.

Kulit batang

Kulit batang ditumbuk, dicampurkan bedak dingin

Rimpang akar

Rimpang akar ditumbuk, direbus atau direndam air panas, air diminum

Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ... Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti

Gambar 1. Habitus dari 24 jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat Cara pemakaian tumbuhan hutan berkhasiat obat berbeda-beda. Pemakaian dengan cara ditelan (Oral) sebesar 84%, dan penggunaan untuk obat luar sebesar 16%.

Gambar 2. Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan untuk obat adalah bagian batang sebanyak 7 jenis (28%). Bagian akar sebanyak 6 jenis (24%), buah sebanyak 4 jenis (16%), daun sebanyak 3 jenis (12%), kulit batang sebanyak 2 jenis (8%). Sedangkan bagian tumbuhan yang paling sedikit digunakan masing-masing 1 jenis (4%) adalah bagian getah, biji, dan seluruh bagian tumbuhan. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 3.

5

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Gambar 3. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat Tumbuhan hutan berkhasiat obat untuk mengobati penyakit dalam sebesar 84%, dan penyakit luar sebesar 16%. Penyakit dalam yang bisa diobati dengan tumbuhan hutan berkhasiat obat tersebut di atas adalah liver, diabetes, berak darah, batuk, demam, malaria, sakit setelah melahirkan, diare, stamina menurun, asma, kencing kurang lancar, keracunan, nafsu makan kurang, dan hepatitis. Sedangkan penyakit luar yang bisa diobati adalah gatal kulit karena alergi, sakit mata, dan luka pada kulit.

Gambar 4. Teja (Ziziphus jujuba)

6

Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ... Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti

IV. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah didapatkan 24 spesies tumbuhan hutan berkhasiat obat untuk pengobatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap tumbuhan hutan berkhasiat obat tersebut mengenai uji fitokimia, cara pemakaiannya dengan dosis yang tepat untuk keamanan bagi masyarakat yang menggunakannya. DAFTAR PUSTAKA BPS, 2012. Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar. Martapura. CIFOR, 2007. Center of International Forestry Research. Infobrief. Mei 2007, No.11. Kandowangko, N. Y., Solang, M., dan Ahmad, J. (2011). Kajian Etnobotani Tanaman Obat Oleh Masyarakat Kabupaten Bonebolango Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian. Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo. Noorcahyati, Arifin, Z., dan Ningsih, M. K., (2011). Potensi Etnobotani Kalimantan Sebagai Sumber Penghasil Tumbuhan Berkhasiat Obat. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Balikpapan. Setiawan, N. (2005). Diklat Metodologi Penelitian Sosial: Teknik Sampling. Parung Bogor, 25-28 Mei 2005. Universitas Padjadjaran. Wiki. 2015. Taman Hutan Raya Sultan Adam. . Maret 2015.

7

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

PERTUMBUHAN TANAMAN GAHARU PADA TEGAKAN JATI DI DESA PULAU KUU KECAMATAN MUARA UYA KABUPATEN TABALONG KALIMANTAN SELATAN

Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta ABSTRAK Harga dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan minat masyarakat akan gaharu tinggi. Seiring dengan semakin sulitnya mencari gaharu di alam maka di kalangan masyarakat berkembang budidaya gaharu baik yang didukung oleh pemerintah daerah atau hasil swadaya masyarakat. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui pertumbuhan tanaman gaharu hasil swadaya masyarakat di desa Kuu Kecamatan Muara Uya. Pengukuran pertumbuhan tanaman dilakukan pada ketiga posisi tanaman yaitu bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah. Pertumbuhan tanaman gaharu yang dicampur dengan tanaman jati mempunyai riap diameter sebesar 1,66 cm/tahun pada lahan bagian bawah, dan terendah pada lahan bagian atas sebesar 1,22 cm/ tahun. Secara umum kecenderungan tanaman pada bagian bawah pertumbuhannya lebih baik dibanding pada bagian lahan atas.

PENDAHULUAN Harga tinggi dan permintaan pasar yang besar akan gaharu telah menarik masyarakat untuk melakukan eksploitasi yang besar-besaran terhadap gaharu. Harga gaharu kualitas super di Samarinda, Tarakan, Nunukan dapat mencapai Rp. 40.000.000 s/d Rp. 50.000.000 per kg. Untuk kualitas kemedangan dihargai sekitar Rp. 1.000.000 s/d Rp. 4.000.000, per kg (Susmianto dan Santoso, 2014). Akibatnya populasi gaharu dari tahun ke tahun semakin menurun bahkan terancam punah sehingga pada tahun 1994 pada pertemuan CITES ke IX di Florida, Amerika Serikat, Aquilaria malaccencis dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah. Bahkan sejak tahun 2004 seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CiTES (Siran, 2014). Pemerintah Daerah (khususnya dinas-dinas Kehutanan) melalui progam-program penghijauan memasukkan tanaman gaharu sebagai salah satu andalan untuk menarik minat masyarakat menanam gaharu. Selain itu ada juga pihak swasta yang dengan swadaya menanam gaharu. Berdasarkan pengamatan di lapangan biasanya penanaman yang dilakukan atas keinginan sendiri atau dengan modal sendiri keberhasilannya lebih tinggi dibanding dengan petani yang mendapat bantuan dari pemerintah. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Universitas Lambung Mangkurat gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan untuk kabupaten Banjar, Tapin, Balangan, Tabalong, dan Kotabaru (Fauzi, et

8

Pertumbuhan Tanaman Gaharu pada Tegakan Jati di Desa Pulau Kuu ... Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta

al., 2014). Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman gaharu yang ditanam dengan campuran tanaman jati pada ketiga ketinggian. Plot yang diamati adalah plot swadaya masyarakat. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Pulau Kuu Kecamatan Muara Uya Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Kabupaten Tabalong termasuk salah satu kabupaten pengembangan tanaman gaharu di Kalimantan Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2015. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan tanaman gaharu yang dicampur dengan tanaman Jati dengan umur yang sama yaitu tujuh (7) tahun. Alat yang digunakan kegiatan ini adalah GPS, clinometer, phiband, kamera, buku lapangan, dan alat tulis. C. Metode Pengumpulan Data Data mengenai informasi tanaman gaharu diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Tabalong. Berdasarkan hasil wawancara dan tinjauan ke lapangan didapatkan plot tanaman gaharu yang dicampur dengan tanaman jati. Penananam gaharu dan jati tersebut ditanam pada lahan yang berbeda kelerengannya. Berdasakan tapak tersebut pengambilan data tanaman dilakukan pada tiga kondisi yaitu plot bagian atas, tengah dan bawah. Pola tanam yang dilakukan adalah jati dan gaharu di tanam pada jalur berselang seling artinya setelah tanaman jati diselingi satu jalur gaharu. Jarak tanam jati dan gaharu 4 x 3 m. Masing-masing plot tersebut diambil 30 tanaman gaharu. Total tanaman gaharu pada ketiga plot sebanyak 90 tanaman. Pengukuran diameter dilakukan dengan alat phiban pada tinggi batang 1,3 m. Untuk tinggi tanaman diukur dengan alat clinometer dengan tinggi total. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 1. Dapat dilihat pertumbuhan tanaman pada ketiga posisi tanaman. Tabel 1. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman gaharu pada ketiga posisi tanaman tinggi (m)

diameter (cm)

riap Tinggi (m/tahun)

riap diameter (cm/tahun)

rata-rata

8,80

8,51

1,26

1,22

Maksimal

12

13,3

1,71

1,90

Minimal

5

3,70

0,71

0,53

1,52

2,54

0,22

0,36

rata-rata

7,95

9,93

1,14

1,42

Maksimal

11,5

19,1

1,64

2,73

Posisi/nilai Atas (100% hidup)

Stdv Tengah (96,7% hidup)

9

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

tinggi (m)

diameter (cm)

riap Tinggi (m/tahun)

riap diameter (cm/tahun)

Minimal

2,5

1,40

0,36

0,20

Stdv

2,41

4,05

0,34

0,58

rata-rata

8,71

11,61

1,24

1,66

Maksimal

12

19,8

1,71

2,83

Minimal

6

6,70

0,86

0,96

1,23

2,96

0,18

0,42

Posisi/nilai

bawah (86,7% hidup)

Stdv

Pada tabel di atas terlihat daya hidup tertinggi terdapat pada bagian atas lahan tanaman yaitu 100% tanaman hidup. Persen hidup tanaman menurun seiring dengan posisi tanaman tersebut dimana pada bagian tengah persen hidup sebesar 96,7% dan terendah pada bagian bawah lahan dengan daya hidup 86,7%. Pada bagian bawah tanaman gaharu memiliki daya hidup rendah diduga tanaman tersebut kurang dapat cahaya karena ternaungi oleh tanaman jati. Hal sesuai dengan pernyataan dari milang bahwa intensitas cahaya yang relatif rendah akan menghambat fotosintesis sehingga suplai makanan terhadap daun berkurang yang menyebabkan daun rontok (Millang, et al., 2011). Untuk parameter tinggi tanaman gaharu tertinggi pada bagian atas yaitu rata-rata tinggi tanaman gaharu sebesar 8,80 m kemudian diikuti pada bagian bawah 8,71 m dan terendah pada bagian tengah yaitu 7,95 m. Tanaman gaharu tertinggi berada pada posisi tanaman di bagian atas dan bagian bawah setinggi 12 m. Untuk tinggi tanaman terendah berada pada posisi tanaman bagian tengah yaitu setinggi 2,5 m. Untuk bagian bawah dan atas tanaman terendah berturut-turut sebesar 6 m dan 5 m. Dilihat dari nilai standar deviasinya memiliki nilai terbesar artinya parameter tinggi pada posisi bagian tengah lebih besar keragamannya dibanding pada dua posisi lainnya. Nilai standar deviasi terendah pada bagian bawah menunjukkan keragaman nilai tinggi tanaman gaharu lebih beragam dan selangnya tidak terlalu jauh. Rata-rata diameter tanaman gaharu tertinggi ditunjukkan pada lahan bagian bawah sebesar 11,61 cm kemudian diikuti berturut-turut bagian tengah sebesar 9,93 cm, dan bagian atas sebesar 8,51 cm. Diameter tertinggi pada lahan bagian bawah sebesar 19,8 cm dan terendah sebesar 6,70 cm. Untuk lahan bagian tengah diameter tertinggi sebesar 19,1 cm dan terendah sebesar 1,40 cm. Pada bagian atas diameter tertinggi sebesar 13,3 cm dan terendah 3,70 cm. Dilihat dari standar deviasinya terbesar pada lahan bagian tengah dikarenakan selang nilainya ada yang terlalu jauh selangnya. Standar deviasi terendah pada bagian lahan atas dimana standar deviasinya sebesar 2,54. Untuk riap tinggi terbesar pada bagian lahan tanaman bagian atas dimana riap tinggi sebesar 1,26 m/ tahun. Riap tinggi terendah pada lahan bagian tengah sebesar 1,14 m/tahun. Untuk riap tinggi bagian bawah sebesar 1,24 m/tahun. Riap diameter tertinggi pada lahan bagian bawah sebesar 1,66 cm/tahun dan terendah pada lahan bagian atas sebesar 1,22 cm/tahun. Untuk lahan bagian tengah riap diameter sebesar 1, 42 cm/ tahun. Riap diameter gaharu di desa Kuu pada bagian bawah lebih tinggi dibanding pada riap diameter gaharu yang ada di Desa Giri Agung Kalimantan Timur dimana riap diameter gaharu pada bagian puncak sebesar 1,47 cm/tahun dan bagian lereng riap diameternya sebesar 1,49 cm/tahun. Rata-rata diameter gaharu pada umur 6 tahun untuk tanaman yang di puncak diameter rata-rata 8,80 cm dan diameter ratarata tanaman di lereng sebesar 8,96 (Pramana, et al., 2012). Hal ini sama dengan pertumbuhan diameter

10

Pertumbuhan Tanaman Gaharu pada Tegakan Jati di Desa Pulau Kuu ... Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta

di desa kuu dimana pada tanaman yang berada di bawah memiliki diameter yang lebih tinggi dibanding diameter yang berada di bagian atas/puncak. Berdasarkan data pertumbuhan gaharu di tempat lain maka pertumbuhan gaharu ini masih berada pada rata-rata pertumbuhan gaharu. Pada plot gaharu yang diukur kegiatan pemeliharaan tanaman dilakukan rutin sehingga pertumbuhannya baik dan bahkan melebihi riap diameter di tempat lain. Secara umum pertumbuhan tanaman gaharu di bagian bawah kecenderungannya lebih baik dibanding pada bagian atas lahan. KESIMPULAN Pertumbuhan tanaman gaharu yang dicampur dengan tanaman jati di Desa Kuu Kecamatan Muara Uya mempunyai riap diameter sebesar 1,66 cm/tahun pada lahan bagian bawah, dan terendah pada lahan bagian atas sebesar 1,22 cm/tahun. DAFTAR PUSTAKA Fauzi, H., Aryadi, M. Dan Satriadi, T. 2014. Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan Provinsi Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional “Peranan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam meningkatkan daya guna kawasan (hutan). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, November 2014. Millang, S., Bachtiar, B. dan Makmur, A. 2011. Awal Pertumbuhan Pohon Gaharu (Gyrinops sp.) Asal Nusa Tenggara Barat di Hutan Pendidikan Universitas Hasanudin. Jurnal Hutan dan Masyarakat., Volume 6, No. 2 Agustus 2011. Pramana, D. B., Jumani dan Emawati, H. 2012. Pertumbuhan Tanaman Gaharu (Aquilaria sp.) di Desa Giri Agung Kecamatan Sebulu Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur. Agrifor Vol 11, No. 2 (2012): Oktober page. 110-114. Siran, S. S. 2010. Pengembangan Pemanfaatan Gaharu. Buku Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Susmianto, A. dan Santoso, E. 2014. Ketika Gaharu menjadi Booming. Buku Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Editor Susmianto, Turjaman, M., dan Setio, P. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Forda Press. Bogor.

11

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

HAMA UTAMA TANAMAN LAMTORO (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) DAN ASPEK PENGENDALIANNYA

Yeni Nuraeni Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu no. 5, Bogor 16618 Email: [email protected]

ABSTRAK Tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) termasuk ke dalam famili Fabaceae, merupakan tanaman yang multi guna sebagai pakan ternak, bahan bangunan, meubel, kayu bakar dan arang. Penanaman tanaman lamtoro juga tidak luput dari berbagai kendala yang dihadapi diantaranya adalah serangan hama utamanya yaitu kutu loncat (Heteropsylla cubana Crawford). H. cubana termasuk ke dalam ordo Hemiptera famili Psyllidae, biasanya menyerang lamtoro pada bagian tangkai, kuncup daun, tunas dan daun muda sehingga dapat menghambat pertumbuhan lamtoro. Aspek pengendaliannya dapat dilakukan secara alami dengan menggunakan musuh alamnya sebagai predator yaitu dengan menggunakan Curinus coeruleus Muslant. Kata kunci : Lamtoro, Heteropsylla cubana, hama utama, musuh alami

I.

PENDAHULUAN Tanaman lamtoro merupakan tanaman legume yang multiguna, selain daunnya dapat dijadikan sebagai pakan ternak, kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, meubel, kayu bakar dan arang. Tanaman lamtoro mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai hijauan penghasil ternak sepanjang tahun, hijauan segar yang dapat dihasilkan sebanyak 70 ton atau bahan kering sekitar 20 ton/Ha/Tahun. Bahan kering dari tanaman ini mengandung komposisi zat kimia berupa 25,90% protein kasar, 20,40% serat kasar dan 11% abu (2,3% Ca dan 0,23% P), karotin 530.000 mg/kg dan tannin 10,15% mg/ kg (NAS, 1984). Penanaman tanaman lamtoro juga tidak luput dari berbagai kendala yang dihadapi diantaranya yaitu serangan hama kutu loncat yang merupakan hama utama pada tanaman lamtoro, serangan hama kutu loncat ini pertama kali terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1980’an yang menyebabkan kerugian. Major pest/main pest key pest atau hama penting/ utama adalah serangga hama yang selalu menyerang tanaman dengan intensitas serangan yang berat sehingga diperlukan pengendalian. Hama utama itu akan selalu menimbulkan masalah setiap tahunnya dan selalu menimbulkan kerugian cukup besar. Biasanya

12

Hama Utama Tanaman Lamtoro (Leucaena Leucocephala (Lam.) De Wit) ... Yeni Nuraeni

ada satu atau dua spesies serangga hama di suatu daerah. Hama utama di setiap daerah dapat sama atau berbeda dengan daerah lain pada tanaman yang sama (Susniahti et al, 2005). II. DISTRIBUSI DAN KARAKTERISTIK LAMTORO Klasifikasi secara umum dari tanaman lamtoro (Leucaena leucophala) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliphyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Family : Fabaceae Genus : Leucaena Spesies : Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)) dikenal dengan nama kemlandingan, latoro (Jawa), peteuy selong (Sunda), kalandingan (Madura). Tersebar secara luas di Meksiko dan Amerika Tengah pada tahun 1520, pada akhir abad ke 20 menyebar luas sampai ke Filipina sebagai peneduh tanaman perkebunan, kayu bakar dan hijauan pakan ternak. Lamtoro merupakan tanaman yang mudah tumbuh, akarnya dapat menembus lapisan tanah yang keras. Tanaman ini tahan terhadap kekeringan dengan curah hujan 200 mm/thn, terutama setelah tinggi pohonnya mencapai 1m. Dapat tumbuh baik di daerah dengan curah hujan 600 – 1500 mm/th. Mempunyai akar tunggang yang kuat dan berakar serabut sedikit, biasanya panjang akarnya mencapai 2/3 tinggi pohonnya, sehingga lamtoro dapat menghisap dan zat-zat makanan jauh ke dalam tanah dimana tanaman lain tidak dapat mencapainya (Benge, 1982). Lamtoro masih tumbuh baik pada ketinggian tempat 1500 mdpl, ketinggian tempat lebih dari itu sudah tidak sesuai untuk pertumbuhan lamtoro karena suhu udara terlalu rendah, kurang sinar matahari dan tanahnya terlalu asam. Lamtoro tidak tahan terhadap tanah becek, tetapi di Muangthai terdapat jenis lamtoro yang tumbuh di tepi-tepi sungai (Benge, 1982). III. SERANGGA HAMA UTAMA PADA TANAMAN LAMTORO Hama utama tanaman lamtoro adalah hama kutu loncat (Heteropsylla cubana Crawford atau Heteropsylla incisa Sulc) termasuk kedalam ordo Hemiptera famili Psyllidae. Kutu loncat biasanya menyerang lamtoro pada bagian tangkai, kuncup daun, tunas dan daun muda sehingga dapat menghambat pertumbuhan lamtoro (Panjaitan et al, 2012). H. cubana merupakan hama penting bagi tanaman lamtoro di perkebunan sejak pertengahan tahun1980’an di Cuba (Nair, 2007). Dari habitat asli di Amerika Latin H. cubana menyebar di seluruh wilayah tropis, serangan terjadi pertama kali di Meksiko dan di Florida pada tahun 1983. Kemudian muncul di Hawai pada April tahun 1984, sejak saat itu telah menyebar ke arah barat dan secara progresif menyebar ke seluruh dunia. Pada tahun 1985 tersebar ke pulau-pulau kecil di Pasifik dan mencapai Filipina dan Taiwan. Pada tahun 1986 diketahui menyerang di Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar Selatan, Selatan Cina dan negara-negara tegangga. Pada tahun 1987 terjadi serangan di Kepulauan Andaman, India dan Sri Lanka. Tahun 1988 menyerang menenajung India Selatan. Pada tahun 1992 menyebar di benua Afrika meliputi Tanzania, Uganda, Kenya dan Burundi serta pada tahun1994 menyebar ke Sudan dan Zambia. Dengan demikian dalam waktu kurang dari 10 tahun, H.

13

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

cubana telah menyebar dari daerah asalnya di daerah Amerika tropis menyebrang ke Pasifik, Asia dan Afrika (Nair, 2007). Di Indonesia di kenal dengan nama kutu loncat lamtoro, hama ini popular di Indonesia sejak sekitar tahun 1986 karena merusak sebagian besar tanaman lamtoro yang ditanam sebagai penaung pada perkebunan kopi dan cokelat (Sallata, 2003). Tanaman inang H. cubana yaitu Leucaena spp. khususnya Leucaena leucocephala tetapi juga dapat menyerang L. trichodes, L. pulverulenta, L. diversifolia, L. salvadorensis. Serangga ini dapat memakan semua 13 spesies Leucaena dan juga pada Samanea saman (Nair, 2007). H. cubana merupakan serangga kecil dengan panjang sekitar 1,5 – 2 mm, biasanya berwarna hijau kekuningan (Gambar 1). Nimpa dan dewasa secara berkelompok makan pada terminal tunas menghisap getah daun dan bunga (Gambar 2). Betina dewasa meletakan rata-rata sekitar 240, telur menetas setalah 3 hari dan nimpa menghisap getah daun dan bunga. H. cubana melewati 5 instar dalam sekitar 8 hari. Dewasa hidup sekitar 10 – 15 hari. Serangga melewati banyak generasi yang tumpang tindih per tahun dan setiap tahap kehidupan biasanya dapat ditemukan bersama-sama di terminal tunas (Nair, 2007).

Gambar 1. Heteropsylla cubana (Foto: Yeni Nuraeni)

Gambar 2. H. cubana hidup berkelompok (Foto: Yeni Nuraeni)

14

Hama Utama Tanaman Lamtoro (Leucaena Leucocephala (Lam.) De Wit) ... Yeni Nuraeni

Dewasa dan nimpa menghisap getah daun, tunas dan daun dari tanaman inang yang mengurangi bunga dan produksi benih dan menyebabkan tunas baru serta daun menjadi kerdil cacat. Selain itu sekrsesi yang dihaslkan oleh serangga ini dapat menyebabkan tumbuhnya jamur jelaga (Gambar 3) yang mencegah cahaya mencapai permukaan daun sehingga menyebabkan berkurangnya fotosintesis dan produksi tanaman. Serangan berulang-ulang menyebabkan layu, defoliasi, cabang dieback atau kematian pohon inang.

Gambar 3. Embun jelaga pada tanaman lamtoro (Foto: Yeni Nuraeni) IV. ASPEK PENGENDALIAN HAMA UTAMA TANAMAN LAMTORO Pengendalian hama kutu loncat H. cubana secara alami dapat dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan musuh alaminya sebagai predator, di Indonesia sendiri pemerintah telah membentuk Tim Kerja Nasional Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro (TKN-PHKLL) yaitu penjabaran sistem pengendalian hama terpadu. Komponen-komponen pengendalian ini yaitu dengan menggunakan predator yang dipadukan dengan pestisida. Pengendalian dengan menggunakan predator dilakukan dengan cara mendatangkan Curinus coeruleus Muslant dan Olla abdominalis Say dari Hawai (TKN-PHKLL, 1987). Curinus merupakan kumpang pemangsa kutu loncat muda (Sallata, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yasin, 2006. Curinus selama hidupnya mampu memangsa rata-rata sebanyak 1.798,9 ekor H. cubana. V. PENUTUP Heteropsylla cubana Crawford merupakan hama utama yang cukup merusak dan dapat menyebabkan defoliasi serta pada serangan yang hebat dapat menyebabkan kematian pada tanaman lamtoro yang merupakan salah satu tanaman yang multi guna baik sebagai tanaman peneduh atau sebagai pakan ternak. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh alaminya sebagai predator.

15

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

DAFTAR PUSTAKA Benge, M.D. 1982. Lamtoro Gung Leucaena leucocephala Tanaman Bahan Makanan Ternak yang Amat Baik. Technical Series Buletin No. 25. Office of Agricultur. Bureau for Science and Tecnology. Agency for International Development. Washington, D.C. 20523. Nair, K.S.S. 2007. Tropical Forest Insect Pests, Ecologi, Impact and Management. Cambridge University Press. National Academy of Science. 1984. Leucaena: Promising Forage and Tree for the Tropic. National Academy of Science, Washington, D.C. Panjaitan, T.S., Sutarta., M. Fauzan dan Prisdiminggo. 2012. Perbanyakan Lamtoro melalui Persemaian. www. litbang.pertanian.go.id. Tanggal akses 18 Juni 2015. Sallata, M.K. 2003. Kutu Loncat Lamtoro.Info Mini Salam No. 4 : Hal. 23. www.agriculturesnetwork.org. Diakses tanggal 23 Juli 2015. Susniahti, N., H. Sumeno dan Sudrajat. 2005. Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan. Universitas Padjadjaran Fakulta Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Bandung. TKN-PHKLL (Tim Kerja Nasional Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro). 1987. Pedoman Pembiakan dan Pelepasan Curinus coeruleus Muslant Pemangsa (Predator) Hama Kutu Loncat Lamtoro Heteropsylla spp. Lembar Informasi Teknis No. 3. Hal: 16. Yasin, N. 2006. Perkembangan Hidup dan Daya Mangsa Curinus coeruleus Muslant pada Beberapa Kutu Tanaman. Jurnal HPT Tropika Vol. 6 (2): Hal. 79-86.

16

Kandungan Hara Tanah di Bawah Tegakan Tengkawang Alam ... Tri Wira Yuwati

KANDUNGAN HARA TANAH DI BAWAH TEGAKAN TENGKAWANG ALAM DAN TANAMAN DENGAN KARAKTERISTIK TAPAK YANG BERBEDA

Tri Wira Yuwati Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70721 E-mail : [email protected]

I.

PENDAHULUAN Tengkawang (Shorea stenoptera Burck) atau yang biasa disebut Meranti Merah/ Light Red Meranti merupakan anggota family Dipterocarpaceae yang menghasilkan buah (Illipe Nuts) dan minyak tengkawang (Borneo Tallow); yang digunakan sebagai bahan dasar kosmetik, pembuatan coklat, industri margarine, sabun dan lilin (Tantra, 1981 dalam Heriyanto dan Mindawati, 2008). Spesies ini termasuk ke dalam sub family Dipterocarpoideae yang merupakan jenis yang endemik Borneo (Kalimantan Barat). Jenis ini sangat dikenal di Kalimantan Barat dengan nama Tengkawang Tungkul (Heyne, 1987). Habitat dari tengkawang tungkul adalah hutan primer dataran rendah Kalimantan Barat dan Serawak Malaysia.Jenis ini tumbuh subur di tanah berpasir atau di tanah alluvial. Ditinjau dari segi kayunya, tengkawang tungkul kayunya ringan dengan berat jenis 0,49 kelas kuat III dan kelas awet IV. Pemanfaatan kayunya biasanya untuk konstruksi ringan yaitu kayu lapis, perabot rumah tangga, dinding rumah dan bahan kertas. Saat ini kelestarian dari jenis ini terancam punah karena adanya eksploitasi kayu oleh penduduk terutama di Kalimantan Barat.Jenis ini biasa dibudidayakan oleh masyarakat Kalimantan Barat di dalam bentuk kebun campuran.Akan tetapi, karena harga buah tengkawang yang turun drastis membuat masyarakat Kalimantan Barat mulai menebangi pohon tengkawang mereka. Menurut Ashton (1998), spesies ini masuk ke dalam kategori Endangered (Genting) IUCN Red List Species yang artinya bahwa kondisi dimana tumbuhan yang tumbuh di habitat asli jika tidak kritis memiliki kemungkinan kepunahan di alam dalam kurun waktu 10 tahun akan berkurang sebanyak 50%. Di Indonesia, Shorea stenoptera ini termasuk jenis yang dilindungi dengan SK Menteri Kehutanan No. 261/ Kpts-IV/1990 tanggal 18 Mei 1990. Dalam rangka peningkatan produktivitas dan pelestarian jenis Shorea stenoptera (Tengkawang), pengetahuan tentang teknik manipulasi lingkungan perlu diketahui. Lebih lanjut, untuk merumuskan teknik manipulasi lingkungan yang tepat bagi peningkatan pertumbuhan tengkawang, maka perlu diketahui informasi status nutrisi tanaman tengkawang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur hara makro pada tanah di bawah tegakan tengkawang.

17

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

METODE PENELITIAN Tegakan alam dan tanaman tengkawangdilihat sebaran kelas peningginya, kemudian dikelompokkan menjadi 3 jenis tapak yaitu baik, sedang dan jelek. Sesuai dengan pendapat Sturtevant dan Seagle (2004) yang menyatakan bahwa site index akan berbeda antara satu jenis dengan yang lain karena dipengaruhi oleh rata-rata pertumbuhan tinggi maksimum. Untuk tiap sampelnya, pengambilan dilakukan dibawah tegakan alam dan tanaman tengkawang dari 3 titik yang dikomposit dengan total tanah yang diambil sebanyak 1 kg tanah. Pengambilan sampel tanah dari bawah tegakan tanaman tengkawangdilakukan di Sanggau Kalbar dan di KHDTK Kintap Kalsel.Setiap tapak diambil tiga sampel tanah, sehingga secara totalterdapat 18 sampel tanah. Analisa yang dilakukan adalah : N total, P total, P-Bray I, K total, Basa tukar (K, Na, Ca,Mg). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kriteria penilaian tapak tengkawang (baik, sedang dan jelek) dilakukan berdasarkan peninggi tegakan tengkawang.Karakteristik peninggi tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel dan Sanggau Kalbar disajikan pada Tabel 1 dan 2.Hasil analisa kimia tanah dibawah tegakan tanaman tengkawang umur 7 tahun di KHDTK Kintap Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 3.Sedangkan analisa kimia tanah dibawah tegakan tengkawang di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 4.Rata-rata tinggi peninggi tengkawang untuk tapak baik di KHDTK Kintap Kalimantan Selatan adalah 11 m sedangkan diameter ratarata adalah 10.61 cm. Sedangkan untuk tapak sedang, rata-rata tinggi peninggi adalah 7.5 m sedangkan rata-rata diameter adalah 7.42 cm. Pada tapak jelek, rata-rata tinggi peninggi adalah 6 m sedangkan ratarata diameter adalah 4.56 cm. Tabel 1. Karakteristik peninggi tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel Tapak

Tinggi (m)

Diameter (cm)

Baik 1

10

10,19

Baik 2

12

13,37

Baik 3

11

8,28

Sedang 1

7,5

7,64

Sedang 2

7

6,68

Sedang 3

8

7,96

Jelek 1

8

5,41

Jelek 2

6

5,73

Jelek 3

4

2,55

Rata-rata tinggi peninggi tanaman tengkawang untuk tapak baik di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat adalah 28,3 m sedangkan rata-rata diameter adalah 39,3 cm. Rata-rata tinggi peninggi untuk tapak sedang adalah 19 m dan rata-rata diameter adalah 21,67 cm. Rata-rata tinggi peninggi tengkawang untuk tapak jelek adalah 8,3 m dan rata-rata diameter adalah 12,3 cm.

18

Kandungan Hara Tanah di Bawah Tegakan Tengkawang Alam ... Tri Wira Yuwati

Tabel 2. Karakteristik peninggi tegakan tengkawang di kab.Sanggau Kalbar Tapak

Tinggi (m)

Diameter (cm)

Baik 1

30

40

Baik 2

30

42

Baik 3

25

36

Sedang 1

20

25

Sedang 2

17

20

Sedang 3

20

20

Jelek 1

8

10

Jelek 2

10

12

Jelek 3

7

15

Dari hasil analisa kimia tanah dapat dilihat perbedaan status hara di bawah tegakan tengkawang di Kalsel dan Kalbar. Tabel 3. Sifat kimia tanah dibawah tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalimantan Selatan Tapak Tanaman Tengkawang

Sifat tanah

Baik

Sedang

Jelek

pH H2O

4,68

rendah

4,56

Rendah

4,72

rendah

N (%)

0,06

sangat rendah

0,06

sangat rendah

0,09

sangat rendah

K-dd (cmol(+)/kg)

0,07

sangat rendah

0,04

sangat rendah

0,06

sangat rendah

Na-dd (cmol(+)/kg)

0,09

sangat rendah

0,08

sangat rendah

0,11

sangat rendah

Ca-dd (cmol(+)/kg)

0,05

sangat rendah

0,07

sangat rendah

0,03

sangat rendah

Mg-dd(cmol(+)/kg)

0,22

sangat rendah

0,15

sangat rendah

0,14

sangat rendah

KTK (cmol(+)/kg)

16,96

sedang

14,95

Rendah

18,16

sedang

PBray1 (ppm P)

0,32

sangat rendah

0,63

sangat rendah

0,46

sangat rendah

P potensial (mg/100g)

5,23

sangat rendah

5,09

sangat rendah

5,73

sangat rendah

K potensial (mg/100g)

2,1

sangat rendah

1,97

sangat rendah

2,27

sangat rendah

KB (%)

2,6

sangat rendah

2,37

sangat rendah

1,93

sangat rendah

Kriteria penilaian sifat kimia tanah menggunakan Kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983) Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983), secara keseluruhan, tanah pada tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel memiliki pH yang termasuk kategori rendah (4,5- 5), kandungan N termasuk kategori sangat rendah (0,1 – 0,2), basa tukar (K,Na,Ca dan Mg) sangat rendah, P tersedia, P total dan K total sangat rendah. Yang membedakan tapak baik dengan tapak sedang hanya nilai KTKnya yaitu sedang sampai rendah.

19

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Tabel 4. Sifat kimia tanah di bawah tegakan tengkawang di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Tapak Tanaman Tengkawang

Sifat tanah

Baik

Sedang

Jelek

N(%)

0,14

rendah

0,048

sangat rendah

0,13

rendah

K-dd (cmol(+)/kg)

0,5

sangat rendah

0,056

sangat rendah

0,32

sangat rendah

Na-dd (cmol(+)/kg)

0,21

sangat rendah

0,147

sangat rendah

0,188

sangat rendah

Ca-dd (cmol(+)/kg)

0,31

sangat rendah

0,028

sangat rendah

0,064

sangat rendah

Mg-dd (cmol(+)/kg)

0,93

sangat rendah

0,301

sangat rendah

1,17

sangat rendah

P Bray 1 (ppm P)

40,68

sangat tinggi

1,01

sangat rendah

0,93

sangat rendah

P potensial (mg/100g)

6,07

sangat rendah

0,37

sangat rendah

0,96

sangat rendah

K Potensial (mg/100g)

38,61

sedang

3,56

sangat rendah

17,04

rendah

Kriteria penilaian sifat kimia tanah menggunakan Kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983) Sifat kimia tanah di bawah tegakan tengkawang di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat memiliki kandungan N dari rendah sampai sangat rendah. Secara umum, basa tukar (K, Na,Ca,Mg) dan P total sangat rendah. Yang membedakan antara tapak baik, sedang dan jelek adalah kandungan P tersedia (PBray1) dan K total.Pada tapak baik, P tersedia adalah memiliki kriteria sangat tinggi, sedangkan tapak sedang dan jelek memiliki kriteria sangat rendah.Sedangkan untuk K total, tapak baik memiliki kriteria sedang, sedangkan tapak sedang dan jelek memiliki kriteria sangat rendah dan rendah. PEMBAHASAN Kapasitas Tukar Kation (KTK), P tersedia (P Bray1) dan K-potensial atau K total merupakan pembatas pertumbuhan tanaman Shorea stenoptera di lapangan. Hal ini sesuai dengan penelitian Juliaty et al (1999) yang menyatakan bahwa status kesuburan tanah di bawah tegakan dipterokarpa sangat rendah dengan faktor pembatas rendahnya KTK.Sedangkan menurut Ashton dan Hall (1992)P adalah unsur pembatas pada penyebaran pohon tropis dan pertumbuhan hutan. Lebih lanjut, telah diketahui bahwa dipterokarpa memiliki asosiasi obligat dengan ektomikoriza yang berfungsi dalam membantu penyerapan unsur P dari tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Brundrett et al, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan unsur P menjadi pembatas bagi pertumbuhan tanaman dipterokarpa di lapangan. Lambers et al (2008) juga menegaskan bahwa keberadaan hara membatasi produktivitas hutan pada tegakan tua di tanah tropis dengan tingkat pelindihan yang tinggi. Pada tanaman S. stenoptera yang memiliki pertumbuhan yang baik, kandungan K potensialnya adalah termasuk kriteria “sedang”. Sesuai dengan pendapat Rosmarkam (2001) bahwa fungsi utama unsur K adalah memperkuat tegaknya batang tanaman. KESIMPULAN Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah: Tanah di bawah tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel dan Sanggau Kalbar memiliki kandungan hara makro yang rendah. Sehingga bibit tengkawang yang akan ditanam pada tapak tersebut perlu diberi tambahan pupuk makro pada periode awal pertumbuhan.

20

Kandungan Hara Tanah di Bawah Tegakan Tengkawang Alam ... Tri Wira Yuwati

DAFTAR PUSTAKA Arnon, D. I. 1950.Criteria of essentiality of inorganic nutrients for plants with special reference to molybdenium. Lotsya 3: 31-38. Ashton, P. 1998. Shorea stenoptera. In: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species version 2013:2 (www. iucnredlist.org). Ashton, P.S. dan Hall, P. 1992.Comparison of structure among mixed dipterocarps forest of north-western Borneo. Journal of Ecology 80: 459-481 Brundrett, M. Bougher, N., Dell, B. Grove, T. and Malajczuk, N. 1996. Working with mycorrhiza in forestry and agriculture. ACIAR. Campo J, Solis E & Gallardo JF. 2012. Effects of fertilization on soil nutrient characteristics and the growth of tree stand in secondary seasonally dry tropical forests in Mexico. Journal of Tropical Forest Science 24: 408-415 Chapin, F.S. 1980. The mineral nutrition of wild plants. Annual Review of Ecological and Systematic 11:233260. Gunatilleke CVS, Gunatilleke IAUN, Perera GAD, Burslem DFRP, Ashton PMS, Ashton PS. 1997. Responses to nutrient addition among seedlings of eight closely related species of Shorea in Sri Lanka.Journal Ecology 85: 301-311 Herdiana N, Lukman AH, Mulyadi K. 2008.Pengaruh dosis dan frekuensi aplikasi pemupukan NPK terhadap pertumbuhan bibit Shorea ovalis Korth.(Blume) asal anakan alam di persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam vol. V no.3: 289-296 Heriyanto, N.M. dan Mindawati, N. 2008.Konservasi jenis tengkawang (Shorea spp.) pada kelompok hutan sungai jelai-sungai delang-sungai seruyan hulu di Provinsi Kalimantan Barat. Info Hutan Vol V No.3: 281-287 Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta Juliaty, N., Mulyadi, D., Arruan dan Ernayati. 1999. Kajian dan Penilaian Kesuburan Tanah Tegakan Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae di Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Vol 13.No.2: 27-41. Junaedi, A. 2012.Pengaruh kompos dan pupuk NPK terhadap peningkatan kualitas bibit cabutan Shorea leprosula Miq. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 : 373-383 Kramer, P.J. dan Kozlowski, T.T. 1979. Physiology of Woody PlantsAcademic Press Inc. London Lambers, H., Raven, J.A., Shaver, G.R. dan Smith, S.E. 2008.Plant-nutrition acquisition strategic change with soil age. Trends in Ecology and Evolution 23: 95-103. Lee, S.S. 1998. Root Symbiosis and Nutrition. In: Appanah, S. and Turnbull, J.M. (eds.).1998. A Review of Dipterocarps: Taxonomy, ecology and silviculture. CIFOR. Bogor Mengel, K dan Kirkby, E.A. 1978.Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. Switzerland. Rosmarkam, A. 2001. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta Santiago LS, Wright J, Harms KE, Yavitt JB, Korine C, Garcia, MN & Turner BL. 2012. Tropical tree seedling growth responses to nitrogen, phosphorus and potassium addition.Journal of Ecology 100: 309-316. Sturtevant, B.R. dan Seagle, S.W. 2004. Comparing estimates of forest site quality in old second-growth oak forests. Forest Ecology and Management 191: 311-328.

21

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Sundralingam P, Hotta I, Osumi Y. 1985. Assessment of the nitrogen and phosphorus requirements of Shorea ovalis using sand culture.Malaysia Forester 48: 314-323 Sundralingam, P. 1983. Responses of potted seedlings of Dryobalanops aromatica and Dryobalanops oblongifolia to commercial fertilizers. Malaysian Forester 46: 86-92 Susanti, P.D. dan Basiang, H.A. 2012.Evaluasi Kandungan Status Hara Tanah pada Hutan Tanaman Industri Nyawai. In: Arifin, Y.F., Savitri, E.S. dan Akbar, A. (eds.) 2012. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru “Dukungan BPK Banjarbaru dalam Pembangunan Kehutanan di Kalimantan:, 25-26 Oktober 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Tisdale, S.L. dan Nelson, W.L. 1956.Soil fertility and Fertilizers.The Mac Millan Company. Canada. Vincent A & Davies SJ. 2003. Effects of nutrient addition, mulching and planting-hole size on early performance of Dryobalanops aromatica and Shorea parvifolia in secondary forest in Sarawak, Malaysia. Forest Ecology and Management180: 261-271 Vitousek, P.M. 1984. Litterfall, nutrient cycling and nutrient limitation in tropical forests. Ecology 65: 285298. Wan Juliana WA., Burslem, D.F.R.P. dan Swaine, M.D. 2009. Nutrient Limitation of Seedling Growth on Contrasting Soils from Pasoh Forest Reserve, Peninsular Malaysia. Journal of Tropical Forest Science 21 (4): 316-327. Widiyatno S, Purnomo B, Soekotjo M , Hardiwinoto S & Kasmujiono B. 2013. The growth of selected Shorea spp in secondary tropical rainforest: the effect of silviculture treatment to improve growth quality of Shorea spp. Procedia Environmental Sciences 17 ( 2013 ) 160 – 166 Winarni, I., Sumadiwangsa, E.S. dan Setyawan, D. 2004. Pengaruh tempat tumbuh, jenis dan diameter batang terhadap produktivitas penghasil tengkawang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2(1): 23 Yap SW, Moura_costa P. 1996. Effects of nitrogen fertilization and soil texture on growth and morphology of Dryobalanops lanceolata seedlings pp.189-196 in Appanah S, Khoo KC (Eds.) Proceedings of the Fifth Round-Table Conference on Dipterocarps, Dorest Research Institute of Malaysia, November 7-10, Chiang Mai, Thailand Yuwati, T.W., Susanti, P.D., Hermawan, B. 2010. Studi Nutrisi Tanaman Meranti Rawa dan Jelutung Rawa. Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru (tidak dipublikasikan)

22

Sumur Bor Dangkal: Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan ... Eko Priyanto, Yusnan

SUMUR BOR DANGKAL: SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Eko Priyanto*, Yusnan* (*Teknisi Litkayasa Pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru)

ABSTRAK Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut memiliki tingkat kesulitan tersendiri, dimana dalam pelaksanaannya sangat tergantung dengan ketersediaan air, hal ini disebabkan tipe kebakaran tidak hanya dapat terjadi dipermukaan saja namun juga bisa mencapai kebakaran api dalam. Ketersediaan sumber air menjadi hal utama yang harus tersedia disamping ketersediaan peralatan pemadaman seperti mesin pompa pemadam dan kelengkapannya. Saat kebakaran terjadi seringkali air selalu menjadi kendala, oleh karena itu pemanfaatan sumur bor dangkal sebagai fungsi hydrant untuk kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sangat penting. Sumur bor dangkal ini dapat mensuplay keperluan air untuk kegiatan pemadaman sehingga kegiatan pemadaman akan menjadi lebih efektif, selain itu sumur bor dangkal ini dapat dibuat pada lokasi yang dinilai rawan kebakaran sehingga bila sewaktu-waktu terjadi kebakaran tidak perlu lagi mencari sumber air untuk kegiatan pemadaman. Kata kunci : pemadaman, kebakaran hutan dan lahan gambut, sumber air, sumur bor dangkal

I.

Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan gambut saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang perlu dicari jalan keluarnya, hal yang terbaik memang perlu dicari formula yang tepat untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun tindakan awal untuk pemadaman sebelum api kebakaran menjadi tidak terkendali yang dampaknya akan menyulitkan kegiatan pemadaman, karakteristik api kebakaran di hutan dan lahan gambut memang agak berbeda dibandingkan kebakaran yang terjadi ditanah mineral, dimana kebakaran dilahan gambut dapat terjadi sampai kebakaran api dalam sehingga dapat menyebabkan kabut asap yang pekat (Anwar I., E. Priyanto, 2014). Kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut memerlukan perlakuan yang sangat khusus dimana ketika melakukan aktifitas pemadaman tidak cukup memastikan api telah padam namun juga harus memperhatikan bara-bara yang masih terjadi terutama pada batang-batang pohon maupun pada serasah-serasah yang menempel pada pangkal pohon/tanaman, karena bila kegiatan

23

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

pemadaman dilakukan secara tidak tuntas (benar-benar padam) maka bara-bara ini akan terus melakukan proses pemanasan sehingga bila mencapai titik bakar kembali maka api kebakaran seringkali akan timbul kembali dilokasi yang sebelumnya telah dilakukan kegiatan pemadaman (Aprianto, et al. 2002). Hambatan yang sering terjadi pada saat melakukan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut adalah tidak tersedianya sumber air dan akses jalan yang sulit, hal ini menyebabkan seringkali kegiatan pemadaman hanya dilakukan pada lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber air (sungai, kanal, embung dll), walaupun ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan mesin pemadam telah ada namun bila pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat sumber air maka bisa dikatakan api kebakaran dihutan dan lahan gambut masih terus terjadi dimana api kebakaran telah masuk kedalam yang jaraknya jauh dari jalan terdekat, hal ini ditandai kabut asap yang belum berhenti walaupun upaya pemadaman telah dilakukan, seperti kasus bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan sampai dengan bulan Oktober 2015, dimana kabut asap masih terjadi didaerah yang terdapat hutan dan lahan gambut seperti Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sementara itu upaya pemadaman dengan metode water bombing dengan menggunakan helikopter dan pesawat udara juga megalami kesulitan yang cukup tinggi hal ini disebabkan lokasi kebakaran yang tertutup kabut asap sehingga cukup menyulitkan kegiatan pemadaman dari udara. Upaya pembuatan kanal-kanal sebagai sumber air juga dinilai memiliki resiko tinggi terhadap kelestarian ekosistem lahan gambut, karena dengan adanya kanal-kanal ini dapat memperburuk kondisi hutan dan lahan gambut karena gambut dapat menjadi kering hal ini disebabkan kehilangan air gambut yang keluar melalui kanal-kanal ini, padahal disisi lain kita harus tetap mempertahankan kelembaban lahan gambut untuk mencegah terjadinya kebakaran. Keperluan akan air yang cukup untuk kegiatan pemadaman dilahan gambut perlu disikapi dengan penyediaan sumber air yang dapat memenuhi kebutuhan saat kegiatan pemadaman dilaksanakan. Alternatif yang dapat dikembangkan adalah pembuatan sumur bor dangkal pada hutan dan lahan gambut untuk dijadikan sumber air saat kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Tujuan pembuatan sumursumur bor ini sebagai hydrant yaitu sebagai sumber air dan pensuplai air bila kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi. Dengan tersedianya sumur bor dangkal sebagai sumber air dapat mempermudah kegiatan pemadaman, karena sumber air telah tersedia dilokasi kejadian kebakaran sehingga kegiatan pemadaman akan lebih maksimal. II. Mengenal Sumur Bor dangkal di Lahan Gambut Sumur bor dangkal ini sebenarnya bukanlah inovasi baru namun telah lama juga digunakan khususnya untuk keperluan air bagi kebutuhan manusia untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan memasak didaerah lahan gambut. Namun demikian pemanfaatan sumur bor dangkal sebagai fungsi hydrant untuk ketersediaan sumber air guna kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut ini yang perlu disosialisasikan. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah melakukan kegiatan dalam rangka penelitian dan pengembangan teknologi penggendalian kebakaran hutan dan lahan, pada saat tahun 2000an metode sumur bor dangkal ini belum menjadi prioritas sebagai sumber air, karena pada saat itu pembuatan sumber air cukup dilakukan dengan cara yang sangat sederhana yaitu pembuatan sumur gali yang berukuran 2 x 2 x 1,5m dan mampu sebagai penyedia sumber air saat kegiatan pemadaman (Faidil, S, et al, 2000).

24

Sumur Bor Dangkal: Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan ... Eko Priyanto, Yusnan

Gb 1. Sumur gali manual di lahan gambut Namun saat ini penggunaan sumur gali manual ini sudah tidak efektif karena ketersediaan airnya sudah sangat minim, hal ini diduga akibat proses pengeringan dilahan gambut yang terus terjadi dimana air keluar melalui kanal-kanal yang telah dibuat sebelumnya (study kasus kondisi lahan gambut didaerah Tumbang Nusa Kalimantan tengah). Oleh sebab itu keberadaan sumur bor dangkal dapat menjadi satu solusi dalam rangka penyedian sumber air untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut (BPBD Kab. Kotawaringin Timur yang dikutip dalam www.antarakalteng.com tanggal 3 Oktober 2015) . Sampai dengan saat ini memang belum ada study yang meneliti tentang dampak keberadaan sumur bor dangkal terhadap kerusakan lahan gambut, hal ini dinilai menjadi penting karena diharapkan sumur bor dangkal ini dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran dihutan dan lahan gambut khususnya pada aspek penyediaan sumber air. Sumur bor dangkal memiliki kedalaman yang bervariasi antara 20-25m, dalam proses pembuatannya sumur bor dangkal di lahan gambut ini dapat dibuat sendiri dan walaupun dibuat oleh orang yang ahli biayanya juga tidak telalu besar berkisar antara 1-1,5 juta rupiah persumur. Didalam sumur bor ini menggunakan pipa air ukuran 2 inch yang nantinya akan dihubungkan pada selang hisap mesin pompa pemadam saat proses pemadaman dilakukan. Sumur-sumur bor ini dapat dibuat pada lokasi yang jauh dari sumber air alam ataupun buatan (sungai, kanal, embung dll), sehingga diharapkan bila kebakaran terjadi permasalahan sumber air untuk kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut sudah dapat teratasi. Selain dapat menjadi sumber air keberadaan sumur bor ini juga berfungsi sebagai penyuplay air pada lokasi yang jauh dari titik keberadaan sumur bor, hal ini dapat dilakukan dengan metode estafet. Ketersediaan sumber air berupa sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut bukan menjadi patokan bahwa kebakaran yang terjadi dihutan dan lahan gabut sudah dapat diatasi namun dengan tersedianya sumur bor dangkal ini yang ditempatkan pada lokasi-lokasi rawan terjadinya kebakaran sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya kebakaran selain itu akan mempermudah cara kerja pada saat kegiatan pemadaman dilakukan karena sumber airnya telah tersedia.

25

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Gb2. Sumur bor dengan selang 2 inch III. Penggunaan Sumur Bor Dangkal dalam Rangka Pemadaman Cara penggunaan sumur bor dangkal sebagai sumber air langsung untuk kegiatan pemadaman bukan hal yang dirasa sulit, karena metodenya tinggal menghubungkan pipa pada sumur bor tersebut dengan selang hisap pada mesin pompa pemadam dan kemudian sumur bor ini dapat digunakan. Oleh sebab itu ketersediaan mesin pompa pemadam menjadi hal utama untuk dapat menggunakan sumur bor dangkal ini. Mesin pompa pemadam yang digunakan juga tidak harus memiliki spek khusus untuk dapat mengoperasikan sumur bor ini, karena standar mesin pompa pemadam yang tersedia umum dipasaran saat ini sudah dapat digunakan untuk penggunaan sumur bor ini dalam kegiatan pemadaman kebakaran.

Gb 3. Mesin pompa yang telah dihubungkan pada pipa sumur bor Prosedur kerja dan kelengkapan yang harus diperhatikan dalam rangka penggunaan sumur bor ini untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut dapat diuraikan sebagai berikut :

26

Sumur Bor Dangkal: Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan ... Eko Priyanto, Yusnan

1.

Pastikan titik keberadaan sumur bor yang akan digunakan sebagai sumber air untuk kegiatan pemadaman 2. Cek kondisi mesin pompa yang akan digunakan (kondisi selang hisap, bbm, karet klep dll) 3. Lepaskan saringan pada selang hisap mesin pompa, karena dalam penggunaan sumur bor ini tidak menggunakan saringan yang terdapat pada ujung selang hisap. 4. Sambungkan selang hisap pada ujung pipa sumur bor. 5. Ikat kencang sambungan selang hisap dan pipa sumur bor dengan menggunakan tali karet bekas ban dalam bekas, pastikan tidak ada rongga udara pada sambungan ini karena dapat mempengaruhi kualitas hisap mesin pompa pada sumur. 6. Masukan air pancingan pada mesin pompa atau pada mesin yang telah memuliki pompa, maka lakukan kegiatan memompa air. Hal ini perlu dilakukan agar waktu menyalakan mesin dan keluarnya air menjadi lebih singkat. 7. Hal yang perlu diperhatikan bila mesin pompa pemadam yang digunakan tidak tersedia alat pompa untuk memompa air, maka untuk memancing air harus tersedia air telebih dahulu yang dimasukan pada lubang pancingan yang tersedia pada mesin pompa pemadam. 8. Sambungkan selang pemadam pada mesin pompa pemadam dan pada ujung selang pasangan nozzel pemadam, bila kurang panjang selang dapat disambungkan pada selang lain yang telah disiapkan sebelumnya. 9. Nyalakan mesin dengan cara menarik tali starter, sebelumnya pastikan mesin dalam kondisi on dan chock mesin dibuka. 10. Setelah mesin menyala perlahan-lahan naikan gas, setalah air dirasa sudah naik (terhisap) maka buka kran pada mesin agar air keluar pada selang pemadam, dan kegiatan pemadaman dapat dilakukan.

Gb4. Pemadaman dengan sumber air dari sumur bor Berdasarkan hasil pengamatan oleh tim pemadaman kebakaran hutan dan lahan BPK Banjarbaru pada saat kegiatan pemadaman dengan pemanfaatan sumur bor dangkal ini kegiatan pemadaman dapat dilakukan terus-menerus ( 6 jam) ketersediaan air pada sumur bor masih terpenuhi. Hal ini dinilai efektif

27

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

dibandingkan bila menggunakan sumber air dari sumur gali manual ataupun menunggu suplay air. Namun demikian catatan yang perlu diperhatikan agar kegiatan pemadaman dengan menggunakan sumur bor dangkal ini menjadi efektif hendaknya saat pembuatan sumur bor ini menggunakan pipa ukuran 2 inch, hal ini disebabkan mesin pompa yang tersedia dipasaran umumnya berukuran pipa hisap 2 inch dan selang lemparnya berukuran 1,5 inch. IV. Penutup Keberadaan sumur bor dangkal ini dapat menjadi solusi kebutuhan air saat kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu menjadi perhatian bahwa posisi sumur-sumur bor yang telah dibuat sebelumnya perlu diberi tanda maupun lokasinya perlu dikoordinasikan dengan instansi terkait sehingga siapapun yang melakukan kegiatan pemadaman dapat menggunakan sumber air melalui sumur bor ini, selain itu perlu kegiatan kajian yang lebih mendalam agar sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan dalam rangka kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut. Daftar Pustaka Aprianto D., et al. 2002. Teknik Pengendalian Kebakaran dilahan Gambut. Prosiding Gelar Teknologi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Adinugroho W.C. et al. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands Intertational. Bogor. Anwar I., E. Priyanto, 2014. Taktik dan teknik pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Bahan pelatihan MPA (masyarakat peduli api) se Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Faidil S. et al, 2000. Teknik Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Faidil S., 2000. Pengenalan Sifat-Sifat Api. Pelatihan Pencegahan dan Kebakaran Hutan Tingkat Pelaksana Lapangan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Harun M.K., 2015. Rencana kegiatan pemeliharaan dan penataan KHDTK Tumbang Nusa Tahun 2015 Zaini M.,1998. Panduan Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran. Penerbit Abdi Tandur Jakarta. www.antarakalteng.com tanggal 3 Oktober 2015.

28

Perbandingan Sifat Fisis Seedball Aeroseeding dari Beberapa Formula ... Safinah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah

PERBANDINGAN SIFAT FISIS SEEDBALL AEROSEEDING DARI BEBERAPA FORMULA PEMBENTUK SERTA KETEBALAN SEEDBALL

Safinah S. Hakim; Purwanto B Santosa; Dewi Alimah ABSTRAK Aeroseeding merupakan salah satu cara dalam merehabilitasi lahan rawa gambut. Agar hasil aerosseding lebih efektif, digunakan seedball. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sifat fisis seedball yang dibuat dari tiga kombinasi formula yakni (A) gambut (B) liat, dan (C) talc yang dicampurkan dengan kompos dengan perbandingan 1:1 , serta dibentuk menjadi ketebalan berbeda yakni 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Hasil analisis sifat fisis menunjukkan formula A (Gambut dan kompos) memiliki keunggulan dibandingkan dengan formula lainnya karena memiliki kadar air (91.1%), bulk density (0.81%) dan porositas (58.47%) yang lebih sesuai untuk perkecambahan benih dibandingkan dengan formula lainnya. Selain itu, formula A juga memiliki berat yang ringan sehingga meningkatkan efisiensi pada saat penaburan benih yang dilakukan pada kegiatan rehabilitasi melalui aeroseeding. Kata kunci : rehabilitasi, seedball, kadar air, lahan gambut

PENDAHULUAN Lahan rawa gambut merupakan komponen penting dalam ekosisitem dunia. Dari sudut pandang ekologis, lahan rawa gambut memiliki peran sebagai habitat flora fauna, pengatur hidrologis serta sebagai pool carbon. Namun, adanya kegiatan pembakaran lahan serta alih fungsi lahan rawa gambut menyebabkan menurunnya luasan lahan rawa gambut di Indonesia. Oleh karena itu, rehabilitasi lahan rawa gambut merupakan salah satu prioritas yang harus dilakukan dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Sayangnya, praktik rehabilitasi lahan rawa gambut terkadang tidak bisa dilakukan secara konvensional akibat kondisi lahan yang susah dijangkau. Salah satu cara untuk rehabilitasi lahan dengan kondisi medan yang sulit adalah dengan metode aeroseeding. Aeroseeding merupakan satu cara rehabilitasi yang awalnya dikembangkan di daerah Amerika pada lahan-lahan pasca kebakaran hutan, salah satunya di daerah DAS South Fork Trinity (Miles et al., 1987). Di Indonesia sendiri, kegiatan aeroseeding sudah dilakukan, antara lain di hutan kota Palangkaraya (Tim Aerial Seeding Jurusan Kehutanan Universitas Palangkaraya, 2011), Balangpulang dan di Pegunungan Willis (Millang, 2010). Dalam pelaksanaannya, aeroseeding dilakukan dengan dua cara yakni dengan menebarkan benih secara langsung dari pesawat, dan dibungkus dengan bahan tertentu. Pembuatan seedball untuk penanaman pertama dilakukan dengan menggunakan campuran benih, tanah, air dan lumpur (Fukuoka, 1992). Seedball mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan benih

29

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

untuk berkecambah Pada aeroseeding, seedball dibuat dengan beberapa tujuan. Pertama, menambah massa benih agar jatuh pada lokasi target rehabilitasi. Kedua, memberikan kondisi yang lebih kondusif bagi benih untuk berkecambah dan bertahan sehingga mampu bertahan hingga benih berkecambah (Priadi, 2010). Saat ini, sudah terdapat beberapa penelitian tentang pembuatan seedball aeroseeding. Terdapat beberapa bahan organik yang sering digunakan antara lain kompos, gambut, dan liat. Terdapat perbedaan kualitas pertumbuhan dan perkecambahan pada jenis benih dan jenis bahan organik pembawa yang berbeda. Hasil lain dikemukakan oleh Alimah (2010), bahwa formula pembawa tidak berpengaruh terhadap tingkat perkecambahan benih. Dari beberapa penelitian yang ada, aspek fisis dari formula seedball yang dibuat kurang diperhatikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aspek fisis seedball yang dibuat dari formula pembentuk serta ketebalan yang berbeda. Hasil akhir dari penelitian terkait aspek fisis seedball ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pada proses rehabilitasi melalui metode aeroseeding. BAHAN DAN METODE Tabel 1. Formula yang digunakan dalam pembuatan seedball aeroseeding Jenis Formula

Media Pembungkus

Jumlah Takaran

Kompos

A

Tanah Gambut

1

1

B

Tanah Liat

1

1

C

Talk Powder

1

1

Seedball dibuat dengan tujuan untuk memberikan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh benih untuk berkecambah serta memberikan kondisi lingkungan yang lebih mendukung dalam perkecambahan. Oleh karena itu, seedball dibuat dengan bahan-bahan organik. Pada penelitian ini, bahan organik yang digunakan adalah gambut, kompos, tanah liat, dan talk. Talk sendiri merupakan bahan yang sudah sangat umum digunakan sebagai coating biji pada tanaman pertanian (Madsen et al., 2012). Terdapat tiga jenis formula yang digunakan untuk pembuatan seedball (Tabel 1). Prosedur pembuatan seedball dilakukan dengan mencampurkan bahan penyusun sesuai dengan komposisinya, diaduk perlahan, diambil gumpalangumpalan (Gambar 1). Keseluruhan proses ini dilakukan dengan cara non-mekanis. Seedball dibentuk menjadi ukuran bulat-bulat dengan kombinasi diameter seedball yakni 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Penentuan diameter seedball dilakukan dnegna menggunakan jangka sorong (Gambar 2). Uji sifat fisis media dilakukan terhadap media yang dibuat dengan formula dan ketebalan yang berbeda. Uji fisis yang dilakukan meliputi uji kadar air, berat jenis partikel, bulk density, dan porositas dan massa tanah. Analisis dilakukan Metode pengujian yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti pedoman yang diberikan oleh Puja (2008). Selain itu ditambahkan pula pengukuran massa seedball dari formula dan ketebalan seedball yang berbeda. Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium tanah Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

30

Perbandingan Sifat Fisis Seedball Aeroseeding dari Beberapa Formula ... Safinah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah

Gambar 1. Pencampuran Bahan Pembuat Seedball

Gambar 2. Pengukuran Diameter Seedball HASIL DAN PEMBAHASAN Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa sifat tanah dibagi menjadi tiga karakter yakni sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologis. Sifat fisis tanah merupakan komponen yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penanaman karena sifat fisis ini mempengaruhi penetrasi akar, retensi air, drainase, dan aerasi tanaman. Pentingnya mengetahui sifat fisis tanah juga berlaku bagi pembuatan seedball karena seedball dibuat sebagai media tumbuh benih yang digunakan dalam proses rehabilitasi. Seedball dibuat dengan komposisi yang berbeda yakni kompos dan gambut (formula A), kompos dan liat (formula B), serta kompos dan talc (Fomula C). Berdasarkan analisis fisik yang dilakukan terhadap tiga jenis formula pembungkus (Tabel 2), diketahui bahwa formula A memiliki kadar air paling tinggi. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah gambut dalam mengikat air. Tanah gambut memiliki kemampuan

31

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

menyerap dan menyimpan air sebanyak 13 kali dari bobotnya (Agus dan Subiksa 2008). Tabel 2. Hasil uji fisis media seedball pada komposisi media berbeda No 1 2

Formula

Parameter Kadar Air (%) 3

Berat Jenis Partikel (g/cm ) 3

Gambut+kompos

Tamah Liat + Kompos

Talk + Kompos

91,1

46,4

32,58

1,39

2,13

2,56

3

Bulk Density (g/cm )

0,81

0,86

1,41

4

Porositas (%)

58,47

40,52

55,13

Berat jenis partikel dan bulk density tanah sangat menentukan porositas tanah. Bulk density atau dikenal juga dengan berat volume tanah merupakan perbandingan berat tanah dengan volume total tanah (Pandutama et al., 2003). Bulk density sangat berpengaruh pada porositas tanah, pergerakan air, peredaran udara, serta penetrasi akar tanaman. Penelitian Skinner et al.(2009) menunjukkan bahwa penetrasi akar ke dalam tanah secara linear berkurang seiring dengan peningkatan bulk density. Jika ketiga formula pembungkus seedball dibandingkan, diketahui besarnya bulk density media dari yang terkecil hingga terbesar adalah Formula A, Formula B, dan Formula C. Jika ditinjau dari bulk density masing-masing tipe seedball, maka pembungkus dengan formula A, merupakan yang paling baik karena nilai bulk density yang rendah yakni sebesar 0,81 g/cm3. Porositas tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen di dalam formula pembungkus seedball. Porositas paling rendah terdapat pada formula B yang tersusun atas kompos dan liat. Hal ini dikarenakan tanah liat atau clay memiliki diameter partikel yang sangat kecil yakni < 0.002 mm (Hardjowigeno, 2003).

Gambar 3. Perbandingan Berat seedball dari formula dan ketebalan yang berbeda Berat seedball merupakan pertimbangan penting dalam kegiatan penanaman dengan aeroseeding. Sebagai contoh, kegiatan aerosseding yang dilakukan di Sulawesi utara dengan menggunakan pesawat

32

Perbandingan Sifat Fisis Seedball Aeroseeding dari Beberapa Formula ... Safinah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah

CASA 212-200 TNI-AU dengan dengan kemampuan angkut 1500 kg/flight (Millang 2010). Dari pengukuran yang dilakukan, berat seedball dari formula dan diameter berbeda disajikan pada Gambar 3. Diketahui bahwa berat seedball paling ringan adalah berat seedball yang dibuat dengan formula A yang merupakan pencampuran kompos dan gambut dengan berat rata-rata pada diameter 2 cm, 3 cm dan 4 cm berturut turut adalah 6.7 g; 22,51 g; dan 39.13 g. Informasi mengenai berat seedball dapat digunakan sebagai referensi dalam pengangkutan seedball pada saat proses pelaksanaan aeroseeding. Jika dipandang dari segi kepraktisan dan pendanaan, seedball dengan berat paling ringan tentu saja lebih efektif dibandingkan dengan seedball dengan berat yang besar .

Gambar 4. Jumlah seedball/ kilogram dari formula dan ketebalan seedball yang berbeda Setiap kali terbang, jumlah seedball dengan ukuran ringan akan membawa lebih banyak benih dibandingkan tipe seedball dengan massa yang labih besar. Pada masing-masing formula, jumlah seedball setiap kilogram ditampilkan pada Gambar 4. Berdasarkan data tersebut, jenis A merupakan jenis yang paling ringan sehingga jumlah seedball setiap kilogramnya adalah 149 butir (d=2 cm), 44 (d=3 cm), dan 25 butir (d= 4cm). Hasil ini menandakan bahwa diantara ketiga formula, seedball yang dibuat dari Formula A dengan diameter seedball ukuran 2 cm merupakan pilihan yang paling efektif. Jika diasumsikan penebaran seedball dilakukan dengan pesawat CASA 212-200 TNI-AU dengan dengan kemampuan angkut 1500 kg/flight maka jumlah seedball yang diangkut sekali terbang adalah sebanyak 223,500 buah seedball. Selain efektif dalam pengangkutan, seedball dengan diameter 2 cm juga diasumsikan lebih baik untuk kegiatan rehabilitasi. Hal ini karena seedball dengan diameter besar akan memberikan tekanan yang lebih besar pada benih. Semakin tebal seedball, tekanan media terhadap biji semakin besar sehingga energi yang dibutuhkan oleh benih untuk mematahkan soil penetration resistance semakin tinggi. Hal ini juga dikemukakan oleh Skinner (2009) yang mengemukakan bahwa pertumbuhan akar terbatas pada tanah dengan tekanan sebesar 1MPa, serta kemampuan benih berkecambah tidak berhasil jika tanah memiliki tekanan sebesar 1 hingga 2 MPa (Skinner et al. 2009).

33

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Seedball merupakan salah satu alternative metode yang digunakan untuk meningkatkan rehabilitasi dengan eroseeding. Seedball dapat dibuat dengan menggunakan bebrbagai alternative bahan pembentuk. Berdasarkan hasil analisis fisik yang dilakukan pada penelitian ini, diketahui bahwa seedball dengan bahan pembentuk yang berasal dari kompos dan tanah gambut memiliki keunggulan dibandingkan dnegna seedball lain yang dibuta dari bahan liat dan talk. Seedball dengan bahan pembentuk kompos dan gambut (Formula A) memiliki kadar air, porositas, bulk density yang lebih sesuai untuk mendukung pertumbuhan benih dibandingkan dengan seedball yang dibuat dari bahan pembentuk tanah liat dan talc. Selain itu, berdasarkan beratnya, seedball dengan formula A lebih efektif saat pengangkutan sehingga bisa menekan biaya operasional dan mendukung keberhasilan kegiatan rehabilitasi. Saran Untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi dnegan menggunakan aeroseeding sebaiknya dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ketebalan dan formula seedball tehadap perkecambahan benih. Daftar Pustaka Agus F dan Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor : World Agroforestry Centre. Alimah D. 2010. Ujicoba Jenis Tanaman dan Formula Pembungkus Benih Untuk Aerialseeding di Hutan Rawa Gambut Terdegradasi. Laporan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Tidak Dipublikasikan. Fukuoka M. 1992. The One-Straw Revolution. India : Other India Press Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis Edisi Revisi. . Akademika Presindo. Jakarta. Madsen MD, Davies KW, William JC, Svejcar TJ. 2012. Agglomerating Seeds to enhance native seedling emergence and growth. Journal of Applied Ecology. doi:10.1111/j.1365-2664.2012.02118.x Millang S. 2010. Rehabilitasi Hutan dan Lahan melalui metode air seeding dan ball seeding di Sulawesi Selatan dalam Prosiding Dies Natalis Universitas Hasanudin ke 54. Diunduh pada 3 Agustus 2015. Tersedia pada http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/2876 Pandutama MH, Mudjiharjati, Suyono, Wustamidin. 2003. Buku Ajar Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jember : Universitas Jember Priadi D.2010. Aplikasi Teknik Enkapsulasi pada benih sengon (Paraserienthes falcataria) . Teknologi Indonesia 33(2) : 92-99 Puja IN. 2008. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Denpasar : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Skinner AK, Lunt ID, Spooner P, McIntyre S. 2009. The effect of soil compaction on germination and early growth of Eucalyptus albens and exotic annual grass. Austral Ecology 34: 698-704. Tim Aerial Seeding Jurusan Kehutanan Univeristas Palangkarya. 2011. Ujicoba Reforestasi Hutan Rawa Gambut Tropika Dengan Metode Aerial Seeding (Penaburan Udara). (diunduh pada 3 Agustus 2015). Tersedia pada : https://kehutananunpar.files.wordpress.com-pembentukan-tim-aerial-seeding.pdf

34

Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.) Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati

PERSIAPAN LAHAN DAN POLA PERTUMBUHAN PADA TANAMAN PULAI (Alstonia angustiloba Miq.)

Purwanto Budi Santosa1, Rusmana1, Tri Wira Yuwati1 1 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A.Yani Km 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru, Kalsel. Telp. 0511 - 4707872 Email: [email protected]

ABSTRAK Pulai (Alstonia angustiloba) merupakan salah satu jenis yang potensial untuk dikembangkan dalam pembuatan hutan tanaman dan berpotensi sebagai obat. Saat ini kayu A. angustiloba telah banyak dimanfaatkan untuk bahan baku komoditas yang bernilai ekonomis seperti pembuatan pensil slate, bahan baku pembuatan kerajinan topeng dan serta beragam kegunaan yang lain. Mengingat jenis ini merupakan jenis yang memberikan harapan untuk dikembangkan pada program hutan tanaman, maka teknik budidaya ini perlu dilakukan. Pada tulisan ini disampaikan penelitian persiapan lahan dan pola pertumbuhan tanaman pulai (Alstonia angustiloba) di KHDTK Riam Kiwa Kalimantan Selatan dan informasi pola pertumbuhannya. Persiapan lahan yang digunakan adalah dengan cara mekanis dan herbisida dengan dosis 7 liter/ha. Penampilan tinggi tanaman, tinggi bebas cabang (tbc), diameter 30 cm dari permukaan tanah dan diameter setinggi dada A angustiloba umur 35 bulan tidak menunjukkan perbedaan nyata antara persiapan lahan mekanis dan herbisida. Pola pertumbuhan tanaman A angustiloba sebagian besar mempunyai model pertumbuhan batang dalam 2 tahap, mempunyai batang tunggal dan terjadi pruning alami Kata kunci : persiapan lahan, pola pertumbuhan, pulai (A angustiloba).

PENDAHULUAN Hutan tanaman diharapkan mampu berperan dalam menyediakan 75% kebutuhan bahan baku industri perkayuan (Anonim, 2009). Namun saat ini realisisasi ini masih rendah yaitu sampai tahun 2009, hutan tanaman yang ada baru seluas 4,31 juta ha dari 9,16 juta ha, terdiri dari 231 perusahaan (Anonim, 2011). Program hutan tanaman yang pada awalnya ditujukan untuk merehabilitasi lahan-lahan hutan yang kritis dan tidak produktif, pada perkembangannya menjadi diharapkan menjadi penyeimbang terhadap kebutuhan bahan baku kayu untuk industri (Arisman, 2001). Indonesia sebagai negara yang mempunyai keanekaragaman jenis cukup tinggi menyimpan potensi yang besar pada jenis-jenis aslinya. Potensi indigenious species yang dapat dikembangkan pada hutan tanaman masih cukup banyak, salah satunya adalah pulai (Alstonia angustiloba). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada bagian kulit dan akar beberapa genus Alstonia mempunyai potensi anti kanker dan anti malaria (Wong et al., 2011) dan menurut Ku et al., (2011) terdapat potensi kandungan 20 jenis alkaloid A. angustiloba terkandung yang terdapat pada kulit kayunya yang berpotensi sebagai obat. Jenis

35

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

ini selain telah lama dikenal masyarakat sebagai bahan pengobatan tradisional, masyarakat juga telah memanfaatkan kayunya untuk berbagai keperluan seperti furniture, peti kayu, rak, cetakan logam serta diambil getahnya. Menurut Imam dan Lukman (2007) tanaman A. Angustiloba mempunyai pertumbuhan riap diameter sebesar 3,43 cm/tahun dan dapat dipanen dalam 10-12 tahun dengan volume berkisar 260 m3 /ha. A. Angustiloba termasuk dalam genus Alstonia family Apocynaceae yang berhabitus berupa semak atau pohon yang tersebar di Amerika Tengah, Asia dan Afika (Sidiyasa, 1998) Tujuan penanaman A. angustiloba adalah diambil produk kayunya, sehingga diharapkan pada saat produksi diperoleh batang yang lurus dengan diameter besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persiapan lahan yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan pola pertumbuhan tanaman A. Angustiloba. BAHAN DAN METODE a. Bahan : Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tegakan A.angustiloba. Desain plot penelitian adalah RCBD dengan perlakuan persipan lahan yaitu persiapan lahan mekanis dan persiapan lahan herbisida. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Jarak tanam adalah 3 x 3 meter. b.

Motode : Persiapan lahan yang digunakan adalah persiapan lahan tanaman yang dilakukan secara mekanis dan herbisida. Vegetasi awal lokasi adalah alang-alang dengan topografi datar. Persiapan lahan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan traktor dengan tahapan kegiatan yaitu : bajak- dengan kedalaman olah tanahmencapai kedalaman 25 cm, 1 (3 bulan sebelum tanam), bajak-2 (2 bulan sebelum tanam dan harrow (1 bulan sebelum tanam). Sedangkan secara herbisida (1 bulan sebelum tanam) dengan dosis 7 liter / ha. Untuk mengetahui pola pertumbuhan dilakukan pendataan terhadap jumlah cabang, cabang plagiotrop dan autotroph tanaman A. Angustiloba pada masing-masing persiapan lahan.

A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di KHDTK Riam Kiwa yang terletak di Desa Lubang Baru Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Secara geografis terletak pada 3o30 LS dan 115o15BT. Vegetasi awal di lokasi penelitian adalah alang-alang dengan topografi datar. Rataan curah hujan di Kecamatan Pengaron pada bulan mencapai 1813 mm, dimana 80% curah hujan terjadi pada bulan Oktober – April. Namun demikian, terjadi variasi curah hujan dan musim hujan dari tahun ke tahun. Suhu rata-rata tahunan adalah 26,6oC. Tabel 1. Kandungan hara, tekstur dan struktur tanah di lokasi penelitian pH Perlakuan

%

P total

KTK

BD

PD

C N (gr/ (gr/ H2O KCL Organik total (mg/100gr) (me/100gr) cm3) cm3)

porositas

tekstur

(%)

% Pasir

% Debu

% Liat

Herbisida 5,45 4,35

0,97

0,15

10,787

14

1,05

2,4

56,25

35,16

36,02

28,82

Mekanis

0,23

0,14

10,757

12,5

1,05

2,24

53,13

50,81

30,4

18,79

36

5,34 4,13

Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.) Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati

B. Analisis Data Analsis data pertumbuhan tanaman menggunakan uji-t. Sedangkan data model pertumbuhan tanaman secara diskriptif dibandingkan dengan acuan pertumbuhan tanaman meneurut Halle at al. (1978). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Pada Persiapan Lahan Mekanis dan Herbisida Persiapan lahan yang digunakan adalah mekanis dan herbisida. Perlakuan mekanis dengan bajak 1 (T-3), bajak 2 (T-2) dan harrow (T-1), sedangkan persiapan lahan secara herbisida dilakukan dengan menyemprot lahan menggunakan herbisida sistemik berbahan aktif glophosat 480 AS dengan dosis 7 liter/ha. Penanaman dilakukan pada lubang tanam ukuran (20 x20x20 cm) yang dibuat dengan cara dicangkul. Pupuk dasar yang digunakan adalah NPK 15:15:15 sebanyak 50 gram/tanaman. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara menebas gulma dan menyemprot herbisida (7 liter/ha). Penampilan tanaman pada umur 35 bulan disajikan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Penampilan tinggi (cm), tinggi bebas cabang (tbc) (cm), diameter 30 cm dari permukaan tanah (cm) dan diameter setinggi dada (cm) A. angustiloba umur 35 bulan Secara statistik (uji-t) penampilan tinggi tanaman, tinggi bebas cabang (tbc) , diameter 30 cm dari permukaan tanah dan diameter setinggi dada A angustiloba umur 35 bulan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Persiapan lahan mekanis dan herbisida menunjukkan tinggi 3,98 m dan 3,91 m. Tinggi bebas cabang dan diameter 30 cm dari permukaan tanah masing-masing sama antara perlakuan persiapan lahan yaitu 85cm dan 11 cm. Menurut Imam dan Lukman (2007) pertumbuhan A.angustiloba memiliki riap sebesar 3,43 cm/tahun dan 1,52 m/tahun. Namun menurut Otsamo et al., (1995) persiapan lahan secara mekanis dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jenis-jenis pioner yang lebih baik daripada herbisida. Pengaruh persiapan lahan secara mekanis yang dilakukan secara intensif dapat menekan pertumbuhan gulma alangalang (Imperata cylindrica) pada fase awal pertumbuhan tanaman (Otsamo et al, 1995). Pertumbuhan tanaman tinggi A. angustiloba dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

37

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Gambar 2. Pertumbuhan tinggi tanaman A.angustiloba umur 35 bulan Pertumbuhan tanaman diameter A. Angustiloba dari umur 0 bulan sampai dengan 35 bulan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Pertumbuhan diameter tanaman pulai (A.angustiloba) umur 35 bulan B. Model Pertumbuhan A.angustiloba Alstonia angustiloba mempunyai pola arsitektur yang khas dimana pada ruas / buku-buku serta cabangnya tumbuh cabang /ranting plagiotroph yang berjumlah 4 ruas yang masing-masing mempunyai ukuran yang sama besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya. A.angustiloba mempunyai arsitektur pohon berbentuk Prevost’s model, dimana pertumbuhannya mengikuti modul-modul yang khas sejak awal pertumbuhannya. Percabangan terbentuk setelah pertumbuhan batangnya. Pola pertumbuhan tinggi A. angsutiloba akan terhenti seiring dengan munculnya percabangan

38

Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.) Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati

berkarang, dan kemudian akan mengalami pertumbuhan dan berlanjut seiring dengan munculnya trubusan (tunas) sebagai bakal batang pokok ke arah vertikal (ortotrophik ) (Sutisna et al, 1998). Model arsitektur Prevost’s dicirikan mempunyai batang sympodial dan ortotropik. Pada model ini terlihat adanya batang yang tumbuh proleptik di bagian bawah batang utama. Batang tersebut merupakan batang kedua dan seperti pada batang pertama, batang kedua inipun terhenti dan kemudian disusul oleh pertumbuhan cabang. Batang ketiga tumbuh di bawah percabangan dari batang kedua dan seterusnya. Pola pertumbuhan model Prevost’s dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber : Halle et all (1978) Gambar 4. Dinamika pertumbuhan tanaman model Prevost’s Pada kegiatan penelitian ini, tanaman A.angustiloba saat pengamatan ini berumur 35 bulan dengan persiapan lahan yaitu secara mekanis dan herbisida. Pola pertumbuhan tanaman dilapangan jenis A. angustiloba pada umur 35 bulan mempunyai 2 model pertumbuhan tanaman seperti Gambar 5.

Model 1

Model 2

Gambar 5. Model pertumbuhan pulai (Alstonia angustiloba) umur 35 bulan

39

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Model 1 terdapat 2 strata tajuk / percabangan atau terdapat “2 payung” dan telah tumbuh 1 batang baru (ortotropik), atau dapat juga dikatakan terdiri dari 2 tahapan pertumbuhan percabangan dan 3 tahapan pertumbuhan batang pokok. Pada model 2 terdapat 2 payung dan belum terdapat batang baru atau terdiri 2 tahapan pertumbuhan percabangan dan 2 tahapan pertumbuhan batang pokok. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada lahan mekanis dan lahan herbisida pertumbuhan A.angustiloba menunjukkan bahwa model 2 mempunyai prosentase lebih tinggi dibanding model 1. Secara umum, rata –rata model pertumbuhan pada umur 35 bulan adalah 74 % model 2 dan 26 % model 1 seperti pada Gambar 6 berikut. Lahan Herbisida

Lahan Mekanis

Gambar 6. Prosentase model tanaman Alstonia angustiloba umur 35 bulan. C. Percabangan Tanaman A.angustiloba Umur 35 Bulan A.angustiloba mempunyai pola arsitektur yang khas dimana pada ruas / buku-buku serta cabangnya tumbuh cabang /ranting plagiotroph yang berjumlah 4 ruas yang masing-masing mempunyai ukuran yang sama besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya seperti pada Gambar 7 berikut :

Keterangan : No. 1-4 cabang plagiotroph No. 5 cabang (calon batang) autrotoph

Gambar 7. Pola percabangan A.angustiloba Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada tanaman A.angustiloba berumur 35 bulan dengan melakukan survey pohon-pohon yang mempunyai batang lebih dari satu, kemudian dipilih dan diberi tanda / kode perlakuan yang akan dilakukan. Selanjutnya, dicatat data awal pohon tersebut dengan melakukan pengukuran tinggi (m), diameter batang pokok (30 cm dari atas tanah) dan diameter setinggi dada (dbh). Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang pokok (30 cm) dan diameter setinggi dada (1,3 m) .

40

Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.) Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati

Alstonia angustiloba mempunyai pola arsitektur yang khas dimana pada ruas / buku-buku serta cabangnya tumbuh cabang dan ranting plagiotroph yang masing-masing mempunyai ukuran yang sama besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya. Hasil pendataan yang dilakukan pada plot tanaman A. angustiloba umur 35 bulan dapat disajikan pada Gambar 8 berikut.

Gambar 8. Jumlah batang pokok A. angustiloba Pada proses pertumbuhannya batang baru tanaman A.angustiloba muncul setelah percabangan sympodial. Tunas baru muncul dibawah ruas percabangan yang terus berkembang menjadi batang pokok (autotroph). Pada beberapa tanaman, munculnya tunas baru tidak hanya 1 buah bahkan 2-3 batang sehingga batang pokok baru yang terbentuk tidak satu batang saja. Berdasarkan pengamatan di lapangan, prosentase tanaman berbatang pokok 1 buah adalah 64% sedangkan berjumlah 2 buah dan 3 buah adalah sebesar 18%. Menurut Imam dan Lukman (2007) pola pertumbuhan percabangan tanaman A. angustiloba mempunyai korelasi yang sangat erat dengan umur tanaman (r=0,93), yaitu bekas percabangan semakin banyak sebanding dengan bertambahnya umur tanaman, sehingga umur tanaman A.angustiloba dapat dilihat dari banyaknya bekas percabangan yang terdapat pada batang pokok tanaman.

Gambar 9. Jumlah percabangan Alstonia angustiloba umur 35 bulan

41

Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Alstonia angustiloba mempunyai sifat khas pertumbuhan cabang sympodial yang sama besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya. Pada tanaman muda akan terbentuk 4 buah percabangan. Berdasarkan pengukuran, pada umur 35 bulan, A.angustiloba yang mempunyai percabangan 0 sebesar 39%, cabang 1 sebesar 28%, cabang 2 sebesar 3%, cabang 3 sebesar 8% dan cabang 4 sebesar 22%. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pruning alami (self pruning) dimana tanaman yang bercabang kurang dari 4 (cabang 0 sampai 3 buah) sebesar 78%, sedangkan yang bercabang 4 sebesar 22%. Hal ini sesuai dengan Muslimin dan Lukman (2011) yang melaporkan bahwa abang tanaman A.angustiloba mempunyai kemampuan untuk meluruhkan diri (self pruning), yang ditandai adanya batang bebas cabang yang tinggi KESIMPULAN 1. Tidak ada perbedaan antara penyiapan lahan mekanis dan herbisida terhadap penampilan tinggi, tinggi bebas cabang, diameter 30 cm dari permukaan tanah dan diameter setinggi dada pada Alstonia angustiloba umur 35 bulan. 2. Model pertumbuhan Alstonia angustiloba umur 35 bulan yaitu 74 % mempunyai model pertumbuhan batang 2 tahap dan 26 % mempunyai model pertumbuhan batang 3 tahap dan 2 tahap pertumbuhan cabang 3. Tanaman Alstonia angustiloba yang mempunyai batang pokok 1 buah adalah 64% sedangkan yang mempunyai batang pokok 2 buah dan 3 buah masing-masing adalah sebesar 18%. 4. Tanaman Alstonia angustiloba umur 35 bulan terjadi 78% terjadi self pruning sedangkan 22% tidak terjadi self pruning. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta. Arisman, H. 2001. Pandangan Dunia Usaha Perkayuan Terhadap Penyelenggaraan HTI. Prosiding Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Halle,F., R.A.A.A., Oldeman, and P.B. Tomlinson.,1978. Tropical Tres and Forest an Architectural Analysis. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York Ku, W.F., Tan, S.J., Low, Y. Y., Komiyama, K, Kam, T.S. 2011. Angustilobine and andranginine type indole alkaloids and an uleine–secovallesamine bisindole alkaloid from Alstonia angustiloba Phytochemistry 72:pp 2212–2218 Otsamo, A., Adjers, G., Hadi, T. S., Kuusipalo, J., Tuomelaa,K., and Vuokko, R, 1995. Effect of site preparation and initial fertilization on the establishment and growth of four plantation tree species used in reforestation of Imperata cylindrica (L.) Beauv. dominated grasslands. Forest Ecology and Management 3 :271-277 Sidiyasa, K., 1998. Taxonomy, Phylogeny, and Wood Anatomy of Alstonia (Apocynaceae). Blumea Supplement 11. Rijksherbarium/Hortus Botanius, The Netherlands, pp. 1–230. Muslimin, I. dan Lukman, A. H,. 2007. Pola pertumbuhan pulai darat (Alstonia angustiloba Miq) di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan

42

Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.) Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati

Palembang. Wong, S.K, Lim,Y.Y., Abdullah,N.R., Nordin,F.J., 2011., Assessment of antiproliferative and antiplasmodial activities of five selected Apocynaceae species. Complementary and Alternative Medicine 11:3 Sutisna, Uhaedi, Titi Kalima dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Yayasan PROSEA dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor

43

44