BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.id

dilakukan mengingat sangat terbatasnya referensi yang terfokus pada bidang ilmu perikanan. Dalam penyusunan buku ajar ini ... BAB 3 LOGIKA DAN ... fil...

65 downloads 757 Views 737KB Size
BUKU AJAR FILSAFAT ILMU

Oleh : Prof.Dr.Ir. M. Natsir Nessa, M.Si. Prof. Dr. Ir. Najamuddin, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Sudirman, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Syamsu Alam Ali, MSi.

PROGRAM STUDI S2 ILMU PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2014

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. sebab dengan rakhmat dan hidayat-Nya jualah sehingga penyusunan buku ajar ini dapat diselesaikan. Buku ajar Filsafat Ilmu pada program S2 ilmu perikanan sangat mendesak untuk dilakukan mengingat sangat terbatasnya referensi yang terfokus pada bidang ilmu perikanan.

Dalam penyusunan buku ajar ini penulis banyak menerima bantuan dari

berbagai pihak.

Oleh karena itu dari lubuk hati yang paling dalam disampaikan

penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih kepada : 1.

Bapak Rektor Unhas Universitas Hasanuddin beserta jajarannya atas kepercayaan yang diberikan kepada penulis

2.

Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya atas kepercayaan, persetujuan dan pengesahan yang diberikan kepada penulis

3.

Ketua program studi S2 Ilmu perikanan atas kepercayaan yang diberikan untuk menyusun buku ajar ini serta arahan yang telah diberikan sehingga modul ini dapat diselesaikan pada waktunya.

4.

Kepada semua anggota tim pengajar atas partisipasi dan kerjasamanya dalam penulisan buku ajar ini.

5.

Kepada semua pihak yang tidak sempat disebut satu persatu. Penyusunan buku ajar ini melalui proses yang panjang dan melalui pengayaan

informasi dari berbagai pihak dan juga berkat dorongan dari teman-teman staf FIKP UNHAS. Oleh karena itu penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam penyusunan buku ajar ini. Semoga Allah SWT. membalasnya dengan pahala yang setimpal. Amien !!! Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa modul ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan demi penyempurnaan dimasa mendatang. Semoga bermanfaat.

Makassar, Oktober 2014 Penyusun

DAFTAR ISI URAIAN

Hal

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii

BAB 1

1

PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3

BAB 2

BAB 3

BAB 4

BAB 5

BAB 6

BAB 7

BAB 8

BAB 9

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

1 2 20

PERBEAAN ILMU DAN PENGETAHUAN

22

2.1 2.2 2.3

22 23 29

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

LOGIKA DAN PENALARAN ILMIAH

32

3.1 3.2 3.3

32 33 45

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

PERKEMBANGAN ILMU

48

4.1 4.2 4.3

48 49 56

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

ILMU DAN NILAI : Aliran dan Tokoh Filsafat Ilmu

59

5.1 5.2 5.3

59 60 64

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN

66

6.1 6.2 6.3

67 68 73

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

DASAR-DASAR ILMU

76

7.1 7.2 7.3

76 77 86

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

SARANA ILMIAH

88

8.1 8.2 8.3

89 90 98

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

HAKEKAT ILMU

100

9.1

101

Pendahuluan

9.2 9.3 BAB 10

Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

102 114

ILMU DAN MORAL

116

10.1 10.2 10.3

116 117 128

Pendahuluan Uraian Bahan Pembelajaran Penutup

DAFTAR PUSTAKA

128

BAB 1

PENDAHULUAN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengetahuan tentang filsafat ilmu semakin dirasakan manfaatnya mengingat

seiring

dengan

menyimpang jauh dari filsafat.

perkembangan

ilmu

pengetahuan

semakin

Pada awalnya, filsafat mengkaji ilmu dengan

tujuan untuk mensejahterakan ummat manusia.

Aspek penyadaran akan

penyimpangan ilmu sangat dibutuhkan bagi mahasiswa, sehingga mereka tidak mengulangi hal yang sama dimasa mendatang. terasa pada saat akan melakukan penelitian.

Manfaatnya akan semakin

Pengetahuan yang memadai

sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti tidak memahami dengan baik rencana penelitian yang telah dibuat, sehingga pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan penelitian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan. Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang bagaimana perkembangan ilmu dari dulu sampai saat ini, dan bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan jika disandingkan dengan filsafat.

B. Ruang Lingkup Isi 

Ruang lingkup filsafat ilmu



Pengertian filsafat dan ilmu



Garis Besar Rencana pembelajaran (GBRP)



Kontrak Pembelajaran

C. Kaitan Modul Pendahuluan merupakan modul pertama yang akan memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang filsafat, ilmu dan ruang lingkupnya.

2

D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat: 

Menjelaskan ruang lingkup filsafat ilmu.



Menjelaskan pengertian filsafat.



Menjelaskan rencana pembelajaran selama 1 semester



Menguraikan kontrak perkuliahan.

II. PEMBELAJARAN RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU A.

ILMU SEBAGAI OBYEK KAJIAN FILSAFAT

Ilmu terdiri atas obyek material yang merupakan sasaran penyelidikan dan obyek formal yaitu metode pendekatan untuk memahami obyek material, seperti pendekatan induktif ataupun deduktif. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, yang tampak seperti empiris, yang tidak tampak seperti alam metafisika. Filsafat merupakan induk ilmu, lebih luas dari ilmu, mencakup yang empiris dan non empiris. Ilmu berasal dari filsafat karena filsafatlah yang membahas segala hal yang ada secara sistematis, rasional, logis dan empiris yang kemudian bercabang, berkembang dan berspesialisasi. B.

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

1.

Filsafat dan Hikmah

Dalam bahasa Inggris filsafat berarti philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani berarti philosophia yang terdiri atas philos = cinta atau philia = persahabatan (tertarik kepada) dan kata sophos = hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Beberapa pengertian tentang filsafat : 1.

Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan

lengkap tentang realitas.

3

2.

Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar dan nyata.

3.

Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan

(sumber, hakikat, keabsahan dan nilainya) 4.

Penyelidikan kritis atas pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh

pengetahuan 5.

Disiplin ilmu yang membantu melihat apa yang dikatakan dan untuk

mengatakan apa yang dilihat. Sedangkan menurut Moh. Hatta dan Langeveld, secara terminology definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam mendefinisikannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Menurut Al Farabi (950 M), filsafat adalah ilmu tentang alam yang maujud, bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Sedangkan menurut Ibnu Rusyd (1126 – 1198), filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan ‘otonom’ yang perlu dikaji oleh akal manusia. Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa filsafat adalah berfikir dengan insaf,

sedangkan

H.

Hamersama

menyatakan

bahwa

filsafat

artinya

pengetahuan metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang seluruh kenyataan. Filsafat menurut Sidi Gazalba adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam mencari kebenaran, inti atau hakikat tentang segala sesuatu yang ada. Salah satu makna filsafat adalah mengutamakan dan mencintai hikmah. Menurut Fuad Iframi al Bustani, hikmah adalah ungkapan atau pemikiran yang sesuai dengan kebenaran pendapat yang valid. Sedangkan menurut Ibnu Mundzir, hikmah berarti terhindar dari kerusakan dan kezaliman karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan bermanfaat. al Jurjani mendefinisikan hikmah artinya ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia sedangkan Ibnu Sina mengartikan hikmah berarti mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik

4

sesuai kadar kemampuan manusia. Dari rumusan tadi, hikmah terdiri atas : masalah, fakta dan data, serta analisis ilmuwan dengan teori. Sementara Al syaybani menyatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah tapi cinta terhadap hikmah, berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan mencari sikap positif terhadapnya. Iapun menambahkan bahwa filsafat berarti

mencari

hakikat

sesuatu,

menautkan

sebab-akibat,

dan

menginterpretasikan pengalaman manusia.

2.

Pengertian Ilmu

Ilmu berasal dari bahasa Arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dan wazan fa’ila, yaf’alu yang artinya mengerti, memahami dengan benar. Dalam bahasa Inggris berarti science, bahasa Latin berarti scintia (pengetahuan) dan scire (mengetahui). Dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya pengetahuan suatu bidang secara sistematis berdasarkan metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang itu. Ciri-ciri ilmu menurut terminology : a.

Koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktika.

b.

Koherensi sistematik

c.

Tidak memerlukan kepastian lengkap menurut penalaran perorangan.

d.

Metode yang berhasil harus terbuka.

e.

Metodologi

f.

Bersumber di dalam kesatuan obyeknya.

Definisi ilmu menurut beberapa ahli : -

Mohammad Hatta, ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang

pekerjaan hukum kausal dalam masalah yang sama tabiatnya, kedudukannya yang tampak dari luar dan bangunannya dari dalam. -

Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah yang empiris,

rasional, umum dan sistematik, yang keempatnya serentak. -

Ashley Montagu, ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu

system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang diuji.

5

-

Karl Pearson, ilmu adalah lukisan atau keerangan yang komprehensif

dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. -

Alfanasyef, ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat

dan pikiran. -

Harsojo, ilmu adalah :

1.

Akumulasi pengtahuan yang sistematis.

2.

Pendekatan atau metode pendekatan seluruh dunia empiris.

3.

Cara menganalisis yang mengizinkan ahlinya untuk menyatakan :

‘JikaB., makaB.” Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklarifikasi, tersistem, terukur, dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sedangkan pengetahuan adalah informasi berupa common sense, keseluruhan pengetahuan yang belum, tersusun baik metafisik maupun fisik. Kedudukan ilmu lebih tinggi dari pengetahuan karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Landasan ilmu perlu menjawab persoalan berikut : 1.

Landasan ontologis, seperti : obyek apa yang ditelaah? Bagaimana

wujud hakiki dari obyek tersebut ? 2.

Landasan epistemologis : bagaimana prosedur dan mekanismenya ?

3.

Landasan aksiologis, seperti : untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu

digunakan ? Adapun persamaan filsafat dan ilmu : 1.

Mencari rumusan yang sebaik-baiknya, selengkap-lengkapnya sampai

ke akar-akarnya. 2.

Memberikan pengertian mengenai hubungan yang ada antara kejadian

dan menunjukkan sebab-sebabnya. 3.

Memberikan sintesis yaitu pandangn yang bergandengan.

4.

Mempunyai metode dan system

5.

Memberikan penjelasan tentang kenyataan yang timbul dari hasrat

manusia terhadap pengetahuan yang mendasar. Sedangkan perbedaan filsafat dan ilmu : Filsafat

Ilmu

6

Obyek material : khusus dan empiris

1.

Obyek material : universal

2.

Obyek formal : nonfragmantis, Fragmantis, spesifik, intensif, teknik.

luas, mendalam dan mendasar 3.

Menonjolkan

spekulasi, Riset melalui trial and error.

daya

kritis dan pengawasan 4.

Pertanyaan

lebih

jauh

dan Diskursif, logis, tidak tahu menjadi tahu

mendalam berdasarkan realitas 5.

Penjelasan

terakhir,

mendalam (primary causa)

mutlak, Penyebab tidak terlalu mendalam lebih

dekat

yang

(secondary cause)

sekunder

KOMPETENSI PENDUKUNG

KOMPETENSI UTAMA

KOMPETENSI

KELOMPOK

mampu melakukan rekayasa dalam pengelolaan dan Ilmu Perikanan dan pembudidayaan biota perairan secara terpadu dan berkelanjutan,

5

mampu menerapkan ilmu dan teknologi dalam pengelolaan dan Ilmu Perikanan dan pembudidayaan biota perairan secara terpadu dan berkelanjutan,

3

mampu menganalisis dan menysun rencana, strategi dan kebijakan pengelolaan dan Ilmu Perikanan dan pembudidayaan biota perairan secara terpadu dan berkelanjutan,

mampu mengidentifikasi dan menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan, Ilmu Perikanan dan pembudidayaan biota perairan secara terpadu dan berkelanjutan,

2

4

mampu merencanakan, melaksanakan dan mengelola penelitian dan pengkajian sumberdaya perikanan dan lingkungannya secara terpadu dan berkelanjutan,

RUMUSAN KOMPETENSI

1

No

KOMPETENSI Lulusan Program Studi

UNIVERSITAS HASANUDDIN

KOMPETENSI LULUSAN PROGRAM STUDI S2 ILMU PERIKANAN





a











b











c











d

ELEMEN KOMPETENSI

7











e

• • • •

mampu merencanakan, membangun dan mengelola suatu sistim informasi perikanan secara terpadu dan berkelanjutan,

FILSAFAT ILMU PERIKANAN

RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS KBK MATAKULIAH

Landasan kepribadian; Penguasaan ilmu dan ketrampilan; Kemampuan berkarya; Sikap dan prilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan ketrampilan yang dikuasai; Pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya

7

mampu merencanakan pengembangan dan pembangunan suatu industri perikanan secara terpadu dan berkelanjutan





Kompetensi Utama :Kemampuan dalam memahami hakekat ilmu pengetahuan dan kebenaran ilmiah Kompetensi Pendukung : Kemampuan bekerjasama, berkomunikasi dan beradaptasi dalam lingkungan kerja Kompetensi Tambahan : Kemampuan berkarya secara individu atau tim dalam usaha perikanan berkelanjutan Kompetensi Institusi : Kemampuan bekerja sama, menyesuaikan diri, mengembangkan diri dan berfikir logis, analitis & profesional.

a. b. c. d. e.

ELEMEN KOMPETENSI :

KOMPETENSI TAMBAHAN

6





8



Kuliah

Kuiah+kerja kelompok+Presentasi (Collaborative learning)

Kuliah + diskusi

Kuliah+kerja individu+tutorial project based learning)

Perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan

Logika dan penalaran ilmiah

Perkembangan ilmu pengetahuan: (1) eksistensi ilmu pengetahuan; (2) batas-batas; (3) pluralitas dan spesialisasi; (4) logika kebenaran dan kepastian

2

3.

4

(3)

Kontrak Pembelajaran

(2)

(1)

Metode Pembelajaran

1

Pokok Bahasan (PB)

Miggu ke

Kejelasan uraian tentang perkembangan ilmu pengetahuan: (1) eksistensi ilmu pengetahuan; (2) batas-batas; (3) pluralitas dan spesialisasi; (4) logika kebenaran dan kepastian

Kejelasan uraian tentang : proposisi, logika deduktif, logika induktif, penalaran, kesesatan dalam penalaran, penalaran ilmiah.

Menjelaskan : proposisi, logika deduktif, logika induktif, penalaran, kesesatan dalam penalaran, penalaran ilmiah.

Menguraikan perkembangan ilmu pengetahuan: (1) eksistensi ilmu pengetahuan; (2) batasbatas; (3) pluralitas dan spesialisasi; (4) logika kebenaran dan kepastian

Kejelasan perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan

Kejelasan kontrak perkuliahan

Mampu menjelaskan kontrak pembelajaran, kompetensi yg akan dicapai Mampu menjelaskan : (1) kodrat manusia ingin tahu; (2) pengaruh mistik; (3) filsafat sebagai ilmu; (4) alasan terjadinya ilmu pengetahuan; (5) kedudukan filsafat ilmu pengetahuan

(5)

Indikator Penilaian Capaian Outcome

(4)

Hasil Pembelajaran (Learning Outcome)

5

5

5

(6)

Bobot Nilai (%)

9

Kuliah + diskusi

Kuliah + diskusi

Kuliah + diskusi

Pengetahuan dan ukuran kebenaran

Dasar-dasar ilmu

Sarana Ilmiah

Hakekat ilmu, menentukan objek tujuan, cara pencapaian tujuan dan pemanfaatan; obyek materi; obyek forma; aspek aksiologi, aspek etik; aspek epistemologi; ilmu teoritis & terapan; teknologi

6

7

8

9

Kuliah + diskusi

Kuliah + diskusi

Ilmu dan Nilai : aliran dan tokohtokoh filsafat ilmu

5

Kejelasan menguraikan sarana ilmiah meliputi : bahasa, matematika, statistik dan logika

Menjelaskan sarana ilmiah meliputi : bahasa, matematika, statistik dan logika

Kejelasan menguraikan hakekat ilmu, menentukan objek tujuan, cara pencapaian tujuan dan pemanfaatan; obyek materi; obyek forma; aspek aksiologi, aspek etik; aspek epistemologi;

Mampu menjelaskan dasardasar ilmu dari segi : ontologi, epistemologi dan aksiologi

Menjelaskan dasar-dasar ilmu dari segi : ontologi, epistemologi dan aksiologi

Menjelaskan hakekat ilmu, menentukan objek tujuan, cara pencapaian tujuan dan pemanfaatan; obyek materi; obyek forma; aspek aksiologi, aspek etik; aspek epistemologi;

Kejelasan uraian tentang pengetahuan dan ukuran kebenaran: definisi dan jenis pengetahuan; hakekat dan sumber pengetahuan; ukuran kebenaran; klasifikasi dan hakekat ilmu

Kejelasan uraian tentang Ilmu dan Nilai : aliran dan tokohtokoh filsafat ilmu. Aliran-aliran dan tokoh-tokoh filsafat ilmu; ilmu dan nilai; kajian filsafat; ilmu dan agama

Menjelaskan pengetahuan dan ukuran kebenaran: definisi dan jenis pengetahuan; hakekat dan sumber pengetahuan; ukuran kebenaran; klasifikasi dan hakekat ilmu

Menjelaskan Ilmu dan Nilai : aliran dan tokoh-tokoh filsafat ilmu. Aliran-aliran dan tokohtokoh filsafat ilmu; ilmu dan nilai; kajian filsafat; ilmu dan agama

6

5

5

5

5

10

Kuliah + diskusi

Kuliah + diskusi

Kebenaran ilmiah; pengertian sistem, jenis-jenis sistem

Kebenaran ilmiah bidang studi; sumber kebenaran, teori kebenaran

Etika dan estetika dalam pengembangan ilmu bidang studi khusus dan pemanfaatannya: etika dan estetika ilmu pengetahuan bidang studi khusus; pengembangan ilmu bidang studi khusus & tanggungjawab ilmiah; manfaat ilmu pengetahuan bidang studi kasus

Tantangan dan masa depan ilmu

11

12-13

14-15

16

Kuliah + diskusi

Kuliah+kerja individu+tutorial (project based learning)

Menjelaskan perkembangkan metode keilmuan bidang studi; hakekat metode; sumber metode; bentuk metode

Kuliah+kerja individu+tutorial (project based learning)

Perkembangan metode keilmuan bidang studi; hakekat metode; sumber metode; bentuk metode

10

Kejelasan uraian etika dan estetika dalam pengembangan ilmu bidang studi khusus dan pemanfaatannya: etika dan estetika ilmu pengetahuan bidang studi khusus; pengembangan ilmu bidang studi khusus & tanggungjawab ilmiah; manfaat ilmu pengetahuan bidang studi kasus Kejelasan uraian tentang tantangan masa depan ilmu: kemajuan ilmu dan krisis

Menjelaskan tantangan masa depan ilmu: kemajuan ilmu dan krisis kemanusiaan; agama ilmu

Kejelasan uraian kebenaran ilmiah bidang studi; sumber kebenaran, teori kebenaran

Kejelasan menguraikan kebenaran ilmiah; pengertian sistem, jenis-jenis sistem

Kejelasan menguraikan metode keilmuan bidang studi; hakekat metode; sumber metode; bentuk metode

ilmu teoritis & terapan; teknologi & perkembangannya

Menjelaskan etika dan estetika dalam pengembangan ilmu bidang studi khusus dan pemanfaatannya: etika dan estetika ilmu pengetahuan bidang studi khusus; pengembangan ilmu bidang studi khusus & tanggungjawab ilmiah; manfaat ilmu pengetahuan bidang studi kasus

Menjelaskan kebenaran ilmiah bidang studi; sumber kebenaran, teori kebenaran

Menjelaskan kebenaran ilmiah; pengertian sistem, jenis-jenis sistem

ilmu teoritis & terapan; teknologi & perkembangannya

& perkembangannya

6

9

9

5

5

11

III. PENUTUP

Presentasi & Ujian tulis

Pendahuluan memberikan gambaran penting secara menyeluruh materi yang akan dipelajari selama 1 semester

Evaluasi

kemanusiaan; agama ilmu dan masa depan manusia 25

DAFTAR PUSTAKA

Aceng Rahmat, Conny Semiawan, Diana Nomida, Ismail Arianto, Kinayati Djoyosuroto, Nadiroh, Nusa Putra, Sabarti akhadiah, 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Van Melsen. 1989. Ilmu pengetahuan dan tanggungjawab kita (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Andi Yokyakarta.

Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Sinar Harapan, Jakarta.

Jujun S. Suriasumantri. 1993. Ilmu dalam perspektif. PT. Gramedia, Jakarta.

Suparlan Suhartono, 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Konsep Dasar. Unhas.

Amsal Bahtiar, 2011. Filsafat Ilmu. Rajawali Press. Jakarta.

perencanaan dan strategi menghadapi perkuliahan.

perkuliahan, termasuk tugas – tugas yang akan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa dapat membuat

17

dan masa depan manusia

12

13

II. PENGETAHUAN DAN UK URAN KEBENARAN II.

PENDAHULUAN

D. Latar Belakang Pengetahuan tentang metode penelitian semakin dirasakan manfaatnya dan telah menjadi perangkat yang penting bagi mahasiswa dan para peneliti. Manfaatnya akan semakin terasa pada saat akan melakukan penelitian. Pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti tidak memahami dengan baik rencana penelitian yang telah dibuat, sehingga pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan penelitian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan. Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar metode penelitian dan wawasan ilmu pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang cara berfikir ilmiah dan mendapatkan kebenaran ilmiah melalui penelitian .

E. Ruang Lingkup Isi 

Definisi penelitian ilmiah



Wawasan ilmu pengetahuan



Garis Besar Rencana pembelajaran (GBRP)



Kontrak Pembelajaran

F. Kaitan Modul Pendahuluan merupakan modul pertama yang akan memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang metode penelitian dan wawasan ilmu penetahuan.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

14

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat: 

Menjelaskan definisi penelitian ilmiah.



Menjelaskan wawasan ilmu pengetahuan.



Menjelaskan rencana pembelajaran selama 1 semester



Menguraikan kontrak perkuliahan.

II. PEMBELAJARAN A. DEFINISI DAN JENIS PENGETAHUAN Pengetahuan secara etimologi yaitu knowledge (bahasa Inggris), dalam Encyclopedia of Filosophy adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Secara terminology, menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Dalam arti luas berarti kehadiran internasional obyek dalam subyek, dalam arti sempit berarti kebenaran, kepastian. Pengetahuan dapat juga berarti pengalaman sadar, harus benar agar tidak kontradiksi. 1. Jenis pengetahuan Menurut Burhanuddin Salam jenis pengetahuan manusia antara lain : a. Pengetahuan biasa, common sense, good sense, diperoleh dari pengalaman sehari-hari. b. Pengetahuan

ilmu,

usaha

untuk

mengorganisasikan

dan

mensistemasikan common sense dari pengalaman dan pengamatan sehari-hari. c. Pengetahuan

filsafat,

pemikiranbersifat

yaitu

kontemplatif

pengetahuan dan

yang

spekulatif,

diperoleh

menekankan

dari pada

universalitas kajian mendalam. d. Pengetahuan agama, berasal dari Tuhan melalui utusannya. 2. Perbedaan Pengetahuan dan Ilmu Dalam bahasa Inggris, pengetahuan artinya knowledge, sedangkan ilmu artinya science. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau

15

perbuatan manusia untuk memahami obyek tertentu, berwujud barang fisik, pemahaman melalui cara persepsi lewat indra, akal atau masalah kejiwaan. Memiliki obyek tertentu, runtut, memiliki metode yang umum. Ilmu menurut Carles Siregar, ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Sedangkan menurut Liang Gie ilmu adalah aktivitas manusia sehingga memperoleh pengetahuan , lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan nanti, untuk beradaptasi, mengubah lingkungan dan sifat-sifatnya. Ilmu dan pengetahuan berbeda karena ciri sistematisnya dan cara memperolehnya. Dalam bahasa pengetahuan dan ilmu bersinonim arti, sedangkan dalam arti material, keduanya berbeda.

B. HAKIKAT DAN SUMBER PENGETAHUAN 1. Hakikat Pengetahuan Dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan yaitu : a. Realisme, gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata sehingga pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan, mempertajam perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Tidak mementingkan pada subyek tapi obyek. b. Idealisme, pengetahuan adalah proses mental psikologis yang subyektif. Dunia dan bagiannya adalah satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Mementingkan subyek dibandingkan obyek sehingga tidak mengakui kebenaran universal, kebenaran menjadi relative. 2. Sumber Pengetahuan a. Empirisme, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, bukan bawaan. Tokohnya : John Locke, David Hume. b. Rasionalisme, pengetahuan diperoleh dengan akal. Tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. c. Intuisi, hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi (Henry Bergson), mengatasi

sifat

lahiriah

pengetahuan

simbolis

yang

bersifat

16

analisis,menyeluruh, mutlak tanpa penggambaran simbolis, personal, tidak bisa diramalkan, tidak dapat diandalkan, hanya sebatas hipotesa. d. Wahyu, berasal dari Tuhan melalui para nabi.

C. UKURAN KEBENARAN Ada 3 jenis kebenaran, yaitu : kebenaran epistemologis, berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran ontologism yaitu kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan, dan kebenaran semantic yaitu kebenaran yang terdapat dan melekat pada tutur kata dan bahasa. Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis antara lain : 1. Teori Korespondensi, keadaan dianggap benar jika ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan obyek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran antara subyek dan obyek. Umumnya dianut pengikut realism. 2. Teori Koherensi (konsistensi) tentang Kebenaran, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lain (fakta, realitas) tetapi atas hubungan antar putusan itu sendiri. 3. Teori Pragmatisme tentang Kebenaran, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, hanya bergantung pada asas manfaat. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. 4. Agama sebagai Teori Kebenaran, sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

D. KLASIFIKASI DAN HIERARKI ILMU Al Farabi mengklasifikasi ilmu secara filosofis seperti ilmu matematika, ilmu alam, metafisika, ilmu politik dan terakhir yurisprudensi dan teologis dialektis. Al Ghazali membagi ilmu secara filosofis ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah. Muh. Al Bahi membagi ilmu yaitu yang bersumber dari Tuhan dan

17

yang bersumber dari manusia. Al Jurjanni membagi ilmu menjadi ilmu Qadim dan ilmu Hadis. Islam mengenal hierarki keilmuan yakni terdapat hierarki dalam obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui. Adanya pengakuan wawasan Yang Kudus menjabarkan secara hierarkis ke dalam berbagai bidang keilmuan. E. Indikator Penilaian Akhir Sesi Pembelajaran

No

NIRM

NAMA MAHASISWA

Merumuskan Hipotesis (15%) Kecermatan Ketepatan Kerjasama dalam penjelasan kelompok merumuskan

1

III. PENUTUP Pendahuluan memberikan gambaran penting secara menyeluruh materi yang akan dipelajari selama 1 semester perkuliahan, termasuk tugas – tugas yang akan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa dapat membuat perencanaan dan strategi menghadapi perkuliahan. DAFTAR PUSTAKA Amsal Bahtiar, 2011. Filsafat Ilmu. Rajawali Press. Jakarta. Suparlan Suhartono, 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Konsep Dasar. Unhas. Jujun S. Suriasumantri. 1993. Ilmu dalam perspektif. PT. Gramedia, Jakarta. Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Sinar Harapan, Jakarta. Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Andi Yokyakarta. Van Melsen. 1989. Ilmu pengetahuan dan tanggungjawab kita (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

18

Aceng Rahmat, Conny Semiawan, Diana Nomida, Ismail Arianto, Kinayati Djoyosuroto, Nadiroh, Nusa Putra, Sabarti akhadiah, 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

19

III.

PENDAHULUAN

G. Latar Belakang Pengetahuan tentang metode penelitian semakin dirasakan manfaatnya dan telah menjadi perangkat yang penting bagi mahasiswa dan para peneliti. Manfaatnya akan semakin terasa pada saat akan melakukan penelitian. Pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti tidak memahami dengan baik rencana penelitian yang telah dibuat, sehingga pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan penelitian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan. Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar metode penelitian dan wawasan ilmu pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang cara berfikir ilmiah dan mendapatkan kebenaran ilmiah melalui penelitian .

H. Ruang Lingkup Isi 

Definisi penelitian ilmiah



Wawasan ilmu pengetahuan



Garis Besar Rencana pembelajaran (GBRP)



Kontrak Pembelajaran

I. Kaitan Modul Pendahuluan merupakan modul pertama yang akan memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang metode penelitian dan wawasan ilmu penetahuan.

D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

20



Menjelaskan definisi penelitian ilmiah.



Menjelaskan wawasan ilmu pengetahuan.



Menjelaskan rencana pembelajaran selama 1 semester



Menguraikan kontrak perkuliahan.

II. PEMBELAJARAN Sejarah Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005). Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat

21

yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis

hukum-hukum

fisika

sebagai

Philosophiae

Naturalis

Principia

Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika. Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

22

Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis

ada

yang

cenderung

menyebutnya

sebagai

pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahapmistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segalagalanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan

23

kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa

tahap

ontologis

dianggap

merupakan

tonggak

ciri

awal

pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara

itu,

ketika

kita

membicarakan

tahap-tahap

perkembangan

24

pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi Tahapan Ontologi (Hakikat Ilmu) �� Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? �� Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? �� Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? �� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? �� Bagaimana prosedurnya? Epistimologi (Cara Mendapatkan Pengetahuan)

25

�� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? �� Bagaimana prosedurnya? �� Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar? �� Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? �� Apa kriterianya? �� Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Aksiologi (Guna Pengetahuan) �� Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan? �� Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? �� Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? ��

Bagaimana

kaitan

antara

teknik

prosedural

yang

merupakan

operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? Sumber: Suriasumantri, 1993 Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif akan memberikan jawaban ”YA”. Sumber-Sumber Pengetahuan Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum

rasionalis

mengembangkan

rasionalisme,

dan

pengalaman

mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang

26

diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme). Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi. Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatic bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya secara kritis. Masalah lainnya yang muncul adalah

27

menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya

seperti

metode

intuitif.

Masalah

terakhir

adalah

sulitnya

mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia. Sejarah Perkembangan Ilmu A. Zaman Yunani Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri. Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003). Filosof alam ternyata tidak dapat

28

memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis: - Semua manusia akan mati (premis mayor). - Socrates seorang manusia (premis minor). - Socrates akan mati (konklusi). Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Sejarah Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

29

Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire.

Namun

ilmu

memiliki

ruang

lingkup

yang

berbeda

dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural

philosophy)

dan

nama

asal

ekonomi

adalah

filsafat

moral

(moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam

fungsinya

sebagai Professor

of

Moral

Philosophy di

Universitas

Glasgow. Agus

Comte

Science, 1963

dalam Scientific membagi

Metaphysic, tiga

Philosophy,

tingkat

pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif.

Religion

perkembangan Dalam

tahap

and ilmu

awal

asas

religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi.

Tahap

berikutnya

orang

mulai

berspekulasi

tentang

metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang

30

terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas

yang digunakan diuji secara positif dalam

proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika. Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology danontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara

31

sistematis-metodologis

ada

yang

cenderung

menyebutnya

sebagai

pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahapmistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segalagalanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa

tahap

ontologis

dianggap

merupakan

tonggak

ciri

awal

pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum.

32

Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara

itu,

ketika

kita

membicarakan

tahap-tahap

perkembangan

pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek

33

prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi Tahapan Ontologi(Hakikat Ilmu) �� Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? �� Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? �� Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? �� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? �� Bagaimana prosedurnya? Epistimologi (Cara Mendapatkan Pengetahuan) �� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? �� Bagaimana prosedurnya? �� Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar? �� Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? �� Apa kriterianya? �� Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

34

Aksiologi (Guna Pengetahuan) �� Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan? �� Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? �� Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? �� Bagaimana

kaitan

antara

teknik

prosedural

yang

merupakan

operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? Sumber: Suriasumantri, 1993 Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif akan memberikan jawaban ”YA”. Sumber-Sumber Pengetahuan Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum

rasionalis

mengembangkan

rasionalisme,

dan

pengalaman

mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme). Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m Masalah

yang

muncul

dalam

sumber

pengetahuan

adalah

dikotomi

atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum

35

(imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi. Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatic bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya secara kritis. Masalah lainnya yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya

seperti

metode

intuitif.

Masalah

terakhir

adalah

sulitnya

mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia. Sejarah Perkembangan Ilmu A. Zaman Yunani Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir

36

mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri. Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003). Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. Ilmu

juga

mendapat

ruang

yang

sangat

kondusif

dalam

pemikiran

kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia.

37

Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis: - Semua manusia akan mati (premis mayor). - Socrates seorang manusia (premis minor). - Socrates akan mati (konklusi). Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. E. Indikator Penilaian Akhir Sesi Pembelajaran

No

NIRM

NAMA MAHASISWA

Merumuskan Hipotesis (15%) Kecermatan Ketepatan Kerjasama dalam penjelasan kelompok merumuskan

1

III. PENUTUP Pendahuluan memberikan gambaran penting secara menyeluruh materi yang akan dipelajari selama 1 semester perkuliahan, termasuk tugas – tugas yang akan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa dapat membuat perencanaan dan strategi menghadapi perkuliahan.

38

DAFTAR PUSTAKA Amsal Bahtiar, 2011. Filsafat Ilmu. Rajawali Press. Jakarta. Suparlan Suhartono, 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Konsep Dasar. Unhas. Jujun S. Suriasumantri. 1993. Ilmu dalam perspektif. PT. Gramedia, Jakarta. Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Sinar Harapan, Jakarta. Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Andi Yokyakarta. Van Melsen. 1989. Ilmu pengetahuan dan tanggungjawab kita (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta. Aceng Rahmat, Conny Semiawan, Diana Nomida, Ismail Arianto, Kinayati Djoyosuroto, Nadiroh, Nusa Putra, Sabarti akhadiah, 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

39

SARANA BERFIKIR ILMIAH Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah seperti perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur, menjugi hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah berfikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan

ilmiah

secara

baik,

sedangkan

tujuan

mempelajari

ilmu

dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. Ditinjau dari pola berfikirnya, maka maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika indukti. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistik.

DEFINISI HAKIKAT SARANA BERFIKIR ILMIAH Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung

jawabkan,

selain

itu

menggunakan

akal

budi

untuk

mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang

40

akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi. Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari

pernyataan-pernyataan

atau

kasus-kasus

yang

bersifat

khusus,

sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah. Pengertian Sarana Berfikir Ilmiah menurut para ahli : 1. Menurut Salam (1997:139): Berfikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk menemukan/mendapatkan ilmu. Berfikir ilmiah adalah proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. 2. Menurut Jujun S.Suriasumantri. Berpikir merupakan kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi. 3. Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah 2006:118). Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian. 4. Menurut

Eman

Sulaeman.

berfikir/pengembangan

pikiran

Berfikir yang

ilmiah

tersusun

merupakan

secara

sistematis

proses yang

berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.

Ilmu pengetahuan telah didefenisikan dengan beberapa cara dan defenisi untuk operasional. Berfikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan atau generalisasi. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan

41

mengendalikan gejala alam. Adapun pengetahuan adalah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi tentang kebenaran atau fakta. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya setiap pengetahuan belum tentu ilmu. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berpikir ilmiah yaitu bahasa, matematika, dan statistika.. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif. Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Salah satu langkah kearah penguasaan adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Untuk itu terdapat syarat-syarat yang membedakan ilmu (science), dengan pengetahuan (knowledge), antara lain : 1. Menurut Prof.Dr.Prajudi Atmosudiro, Adm. Dan Management Umum 1982. Ilmu harus ada obyeknya, terminologinya, metodologinya, filosofinya dan teorinya yang khas. 2. Menurut Prof.DR.Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial 1985. Ilmu juga harus memiliki objek, metode, sistematika dan mesti bersifat universal.

Sumber-sumber pengetahuan manusia dikelompokkan atas: ¬ Pengalaman. ¬ Otoritas . ¬ Cara berfikir deduktif. ¬ Cara berfikir induktif . ¬ Berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari sarana berpikir ilmiah adalah : 1. Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmu. 2. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik.

42

Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta

menggunakan

akalnya

semaksimal

mungkin

Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan

yang penuh kepalsuan dan kesesatan.

Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan

alam, dan arti

keberadaan dirinya di dunia. Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”. Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu keharusan, karena tanpa adanya penguasaan sarana ilmiah, maka tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dengan berbagai langkah yang harus ditempuh. Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yaitu : bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk menelaah ilmu secara baik.

Sedangkan tujuan mempelajari ilmu

dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari-hari.

43

Fungsi berfikir ilmiah , sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan dalam kaitan kegiatan ilmiah secara keseluruhan. Dalam hal ini berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan metode ilmiah. Pada hakikatnya sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari sarana-sarana berpikir ilmiah ini kita harus

dapat

menguasai

langkah-langkah

dalam

kegiatan

langkah

berfikir tersebut. Sebagai makhluk hidup yang paling mulia, manusia dikaruniai kemampuan untuk mengetahui diri dan alam sekitarnya. Melalui pengetahuan, manusia dapat mengatasi kendala dan kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Karenanya tidak salah jika Tuhan menyatakan manusialah yang memiliki peran sebagai wakil. Tuhan dibumi, melalui penciptaan kebudayaan. Proses penciptaaan kebudayaan dan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia di mulai dari sebuah proses yang paling dasar, yakni kemampuan manusia untuk berfikir. Meskipun sebenarnya hewan memiliki kemampuan yang sama dengan manusia dalam hal berfikir, tetapi makhluk yang terakhir hanya dapat berfikir dengan kemampuan terbatas pada instink dan demi kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan hewan, manusia dalam proses berfikir melampaui diri dan kelangsungan hidupnya, bahkan hingga menghadirkan kebudayaan dan peradaban yang menakjubkan. Sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat dilakukan oleh makhluk Tuhan yang lain. Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat disebut sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan intuisi dan berfikir berdasarkan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang

melibatkan

pengalaman

langsung

dalam

mendapatkan

suatu

pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar

44

ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat menyebutkannya dan hanya beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke tempat anaknya, ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berfikir sang Ayah mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berfikir ilmiah, karena tidak memenuhi suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis terdapat peristiwa ini. Uraian

mengenai

hakikat

berfikir

ilmiah

atau

kegiatan

penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya, kegiatan berfikir adalah proses

dasar

pengetahuan

dari yang

pengetahuan ilmiah

dan

manusia. pengetahuan

kita

membedakan

non-ilmiah.

Hanya

antara saja,

pemahaman kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar. Perbedaan berfikir ilmiah dari berfikir non-ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor mendasar yaitu: 1. Sumber pengetahuan Berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman manusia, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan sumber pengetahuan pada perasaan manusia. 1. Ukuran kebenaran Berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.

PERAN BAHASA DALAM SARANA BERFIKIR ILMIAH Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota

suatu

masyarakat

untuk

bekerja

sama,

berinteraksi,

dan

45

mengidentifikasikan diri. Jadi bahasa menekankan pada bunyi, lambang, sistematika, komunikasi. Adapun ciri-ciri bahasa di antaranya yaitu: 1. Sistematis artinya memiliki pola dan aturan. 2. Arbitrer (manasuka) artinya kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan apa yang disimbolkannya. 3. Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi 4. Sebagai symbol yang mengaju pada objeknya dan lain sebagainya.

Kelemahan

bahasa

dalam

menghambat

komunikasi

ilmiah

yaitu

:

Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisahpisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya. Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan symbol. Bahasa Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai secara sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan, syarat-syarat bebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan eksplisit. Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli

46

bahasayang telah memberikan uraiannya tentang pengertiannya tentang pegertian

bahasa.

Pernyataan

tersebut

tentunya

berbeda-beda

cara

menyampikannya. Seperti pendapat Bloch and Trager mengatakan bahwa : a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which asocial group cooperates (bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi). Peran bahasa disini adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah dan sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa tiada komunikasi. Adapun ciri-ciri bahasa ilmiah yaitu: 1. Informatif yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalah pahaman Informasi. 2. Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. 3. Intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung maknamakna yang sama bagi para pemakainya 4. Antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.

Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat-syarat: Bebas dari unsur emotif, Reproduktif, Obyektif, Eksplisit. Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni, 1. Sebagai sarana komunikasi antar manusia. 2. Sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.

47

Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan.

Pada

pengungkapan

waktu

nilai-nilai

yang

budaya,

sama

bahasa

pikiran,

dan

merupakan nilai-nilai

sarana

kehidupan

kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

menuntut

adanya

perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit. Berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi oleh bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir ilmiah dalam hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta modernisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, mutu dan kemampuan bahasa Indonesia ditingkatkan.

sebagai Bahasa

sarana

komunikasi

Indonesia

harus

keagamaan dibina

dan

perlu

pula

dikembangkan

sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan tegas, jelas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak. Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah : 1. Koordinator kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. 2. Penetapan pemikiran dan pengungkapan. 3. Penyampaian pikiran dan perasaan 4. Penyenangan jiwa 5. Pengurangan kegonjangan jiwa Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu: 1. Simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah. 2. Emotif menonjol dalam komunikasi estetik.

48

3. Afektif (George F. Kneller dalam jujun, 1990, 175). Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsurunsur informatife. Menurut Jujun S. Suriasumantri, 1990, 175, dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut: 1. Instrumental yaitu: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal

yang

bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya. 2. Fungsi Regulatoris yaitu: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku. 3. Fungsi

Interaksional

yaitu:

penggunaan

bahasa

untuk

saling

mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain. 4. Fungsi Personal yaitu: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran. 5. Fungsi Heuristik yaitu : penggunaan bahasa untuk

mengungkap tabir

fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya. 6. Fungsi Imajinatif yaitu: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata). 7. Fungsi Representasional yaitu: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan. 8. Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa.

Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu : 1. Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibagi menjadi dua yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa.

49

2. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah dan bahasa antifisial atau bahasa simbolik.

Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut: 1. Bahasa alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung. 2. Bahasa buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.

Dari uraian diatas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah. Dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan, bahasa buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan istilahistilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu. Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik mengunakan bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya ilmiah.

PERAN MATEMATIKA DALAM BERFIKIR ILMIAH Untuk melakuakan kegiatan ilmiah secara lebih baik diperlukan sarana berfikir salah

satunya

adalah

Matematika.

Sarana

tersebut

memungkinkan

dilakukannya penelahaan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan secara berfikir ini ada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Matematika adalah bahasa yang melambaikan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artificial

yang baru

mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.

50

Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan kita berpaling kepada matematika. Matematika adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Umpamanya: kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek kecepatan jalan kaki seorang anak dilambangkan x, dalam hal ini maka x hanya mempunyai arti yang jelas yakni kecepatan jalan kaki seorang anak. Demikian juga bila kita hubungkan kecepatan jalan kaki seorang ana dengan obyek lain misalnya: jarak yang ditempuh seorang anak”yang kita lambangkan dengan y, maka kita lambangkan hubungan tersebut dengan z = y / x dimana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z = y / x tidak mempunyai konotasi emosional, selain itu bersifat jelas dan spesifik. Matematika

merupakan

salah

satu

puncak

kegemilangan

intelektual.

Disamping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk kekuasaan. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan macam-macam ilmu pengetahuan. Matematika dalam perkembangannya memberikan masukan-masukan pada bidang-bidang keilmuan yang lainnya. Konstribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam lebih ditandai dengan pengunaan lambang-lambang bilangan untuk menghitung dan mengukur, objek ilmu alam misal gejala-gejalah alam yang dapat diamatidan dilakukan penelaahan secara berulang-ulang. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki objek penelaahan yang kompleks dan sulit melakukan pengamatan. Disamping objeknya yang tak terulang maka kontribusi matematika tidak mengutamakan pada lambang-lambang bilangan. Matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu dengan lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten. Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan efisien.

Begitu

pentingnya

matematika

sehingga

bahasa

matematika

51

merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama sebagai sarana untuk memecahkan masalah baik pada matematika maupun dalam bidang. Peranan Matematiki sebagai sarana berfikir ilmiah dapat menggunakan alatalat yang mempunyai kemampuan sebagai berikut: 1. Menggunakan algoritma. 2. Melakukan manupulasi secara matematika. 3. Mengorganisasikan data. 4. Memanfaatkan symbol, table dan grafik. 5. Mengenal dan menenukan pola. 6. Menarik kesimpulan. 7. Membuat kalimat atau model matematika. 8. Membuat interpretasi bangun geometri. 9. Memahami pengukuran dan satuanya. 10. Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.

Adapun kelebihan dan kekurangan matematika: 1. Kelebihan matematika adalah: tidak memiliki unsur emotif dan bahasa matematika sangat universal. 2. Kelemahan dari matematika adalah bahwa matematika tidak mengandung bahasa emosional (tidak mengandung estetika) artinya bahwa matematika penuh dengan simbol yang bersifat artifersial dan berlaku dimana saja.

PERAN STATISKA DALAM BERFIKIR ILMIAH Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada dasarnya didasarkan

52

pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi tingkat ketelitian tersebut dan sebaliknya 1. Menurut Anas Sudiono dalam bakhtiar, 2010, 198, secara etimologi kata statistik berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan bagi suatu negara. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka data kuantitatif saja. 2. Sedangkan menurut (Sudjana 1996 : 3) Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengelolaan

atau

penganalisiannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang dilakukan.

Jadi

statistika

pengetahuan

merupakan

sekumpulan

metode

dalam

memperoleh

untuk mengelolah dan menganalisis data dalam mengambil

suatu kesimpulan kegiatan ilmiah. Untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam

kegiatan

ilmiah

diperlukan

data-data,

metode

penelitian

serta

penganalisaan harus akurat. Statistika diterapkan secara luas dan hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang manajemen. Peranan statiska diterapkan dalam penelitian pasar, produksi, kebijaksanaan penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan ekonomi, auditing, pemilihan resiko dalam pemberian kredit dan lain sebagainya. Peranan Statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan: 1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populas. 2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen.. 3. Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif. 4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan.

53

Adapun hubungan statiska antara Sarana berfikir Ilmiah Bahasa, Matematika dan Statistika, yaitu sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah, dimana bahasa menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dan ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan yang memiliki ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduktif, merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan memakai pola berpikir silogismus.

PENUTUP Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan

kehidupan

sehari-hari

dari

pengaruh

alam

sekelilingnya.

Sedangkan berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Adapun salah satu pendapat dari para ahli mendefinisikan atau berpendapat bahwa berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis masuk akal, empiris dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan . Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga (3) yaitu : Bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah, Matematika sebagai sarana berfikir ilmiah,dan Statistika sebagai sarana befikir ilmiah. 1. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah. 2. Matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan

54

3. Statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum.

DAFTAR PUSTAKA Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press. Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.

55

Metode Ilmiah dan kebenaran ilmiah PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang besar. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk

memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini

menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah Sedangkan Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan

negara akan menghalalkan tindakan

terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran. Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri, yang menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika. Ketika ditelusuri

alasan anak tersebut

mogok belajar karena seorang guru

matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut

56

dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai pembohong.[1] Ilustrasi

tersebut

jika diuji

materil

kebenaran

dengan

pendekatan

matematika semua yang disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta didik menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif maupun positif dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral. Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat Islam. METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH A. Metode Ilmiah 1. Pengertian Metode Ilmiah Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Juga dapat diartikan bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.”[2] Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut: a. Berdasarkan fakta b. Bebas dari prasangka c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa d. Menggunakan hipolesa

57

e. Menggunakan ukuran objektif f. Menggunakan teknik kuantifikasi[3] Adapun Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi tujuh tahap, yaitu : a.

Merumuskan

masalah.

Masalah

adalah

sesuatu

yang

harus

diselesaikan. b.

Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.

c.

Menyusun hipotesis.Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.

d.

Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.

e.

Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan kesimpulan.Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).

f.

Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.

g.

Menulis laporan Ilmiah.Untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada orang lain sehingga orang lain tahu bahwa kita telah melakukan suatu penelitian ilmiah.[4] Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah : 1.

Rasa ingin tahu

2.

Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-

ada) 3.

Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh

perasaan pribadi)

58

4.

Tekun (tidak putus asa)

5.

Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)

6.

Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)[5]

Salah satu hal yang penting dalam dunia ilmu adalah penelitian (research). Research berasal dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari, sehingga research atau penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu

usaha

untuk

mengembangkan

dan

mengkaji

kebenaran

suatu

pengetahuan. Research, menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1961) ialah penyelidikan atau pencarian yang seksama untuk memperoleh fakta baru dalam cabang ilmu pengetahuan. Menurut Fellin, Tripodi dan Meyer (1969) riset adalah suatu cara sistematik untuk maksud meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disampaikan (dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi) oleh peneliti lain. Ciri-ciri riset adalah sebagai berikut, yaitu bahwa riset: (Abisujak, 1981) a. Dilakukan dengan cara-cara yang sistematik dan seksama. b. Bertujuan meningkatkan, memdofikasi dan mengembangkan pengetahuan (menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan) c. Dilakukan melalui pencarian fakta yang nyata d. Dapat disampaikan (dikomunikasikan) oleh peneliti lain e. Dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) oleh peneliti lain[6] 2. Penelitian Ilmiah Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu: a.

Sistematik, Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan

secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.

59

b.

Logis, Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan

berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum. c.

Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman

sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian. d.

Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu

tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis. e.

Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji

kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.[7] 3. Jenis-Jenis Penelitian Ilmiah Ada tiga tingkatan penelitian ilmiah untuk sampai kepada perwujudan ilmu/teori, yaitu : a. Penelitian Eksploratif,Penelitian ekploratif adalah penelitian dalam untuk upaya mencari masalah/menjajagi masalah. b. Penelitian Pengembangan c. Penelitian Verifikasi . B. Kebenaran Ilmiah 1. Pengertian Kebenaran Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.[8]

60

Sebelum

mencapai

kebenaran

yang

berupa

pernyataan

dengan

pendekatan teori ilmiah sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu pengetauan ini bersifat logis, rasional tidak. Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir sebagai berikut: a. Yang logis ialah yang masuk akal b. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional c. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam d. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam. e. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra rasional.[9] Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain, Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu: 1. Keadaan yang benar

( cocok dengan hal atau

keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar ( sunguh-sungguh ada, betul demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4. Selalu izin,perkenan, 5. Jalan kebetulan.[10] Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu UGM, kebenaran dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Sedangkan

kebenaran

metafisik

berkaitan

dengan

yang

ada

sejauh

berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.[11] Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran

61

metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada. Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi kebenaran bersumber dari Allah Swt. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya

yang

perlu

dibenahi,

juga

model

logika

pembuktian

kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia Islam adalah logika formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal dengan pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan pembuktian probabilitas.[12] Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat, pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang terbentang di muka kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.[13] Pandangan Ibnu

Rushd

yang menyatakan

bahwa

jalan filsafat

merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh

Ibnu

Rushd

sudah

dikemukakan

pula

oleh

Al

Kindi

dalam

bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).[14] Dengan

menggunakan

berbagai

pendekatan

kebenaran

dalam

mendapatkan pengetahuan, maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik dengan cara mengadakan penelitian atau

62

mengadakan perenungan. Dalam pendekatan ini dibedakan menjadi dua pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah akan dijelaskan secara rinci dalam makalah ini. Sedangkan kebenaran non ilmiah juga ada di masyarakat, akan tetapi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara kajian ilmiah. Kebenaran non ilmiah antara lain: T

Kebenaran karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Misalnya radio tidak ada suaranya, dipukul, kemudian bunyi.

T

Kebenaran karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercaya dapat memecahkan masalah secara praktis. Contoh kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat. Akan tetapi penelitian psikologi membuktikan hal tersebut tidak benar, bahkan lebih membahayakan masa depan peserta didik.

T

Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang.

T

Kebenaran karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan parameterparameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Hal ini membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi.

T

Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat dan biaya lebih rendah.

T

Kebenaran karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang tertentu. Kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.

T

Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi

63

sebagian yang lain tidak. Manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap kebenaran dari Allah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur`an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw diyakini kebenarannya bagi kaum muslimin, tetapi tidak diyakini kebenaran bagi yang non muslim. Begitu juga kebenaran pada kitab yang lainnya.[15] Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah paling tidak kita dapat membedakan segala kebenaran yang berada di masyarakat tersebut tidak teruji secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah sekarang bagaimana kebenaran ditinjau dari pendekatan ilmiah. 2. Kriteria Kebenaran Ilmiah Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkan pada saat itu. Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya tidak dapat diukur dengan standar yang sama (incommensurable), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya. Misal kata ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi bermakna keteraturan ( kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.[16] Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Sebagai

gambaran

perhatikan

tahapan

dalam

penelitian

untuk

mendapatkan kebenaran adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan, proses, dan hasil

64

Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta. Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada asumsi metafisis tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka secara epistemology kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. [17] Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai kata-kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti. Contoh kalimat yang tidak memiliki arti adalah: “5 mencintai 7.” Secara umum dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata-kata yang memiliki arti yang dapat berupa: _ Pertanyataan, dengan contoh: “Pintu itu tertutup”, _ Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”, _ Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun _ Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.” Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan,

matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya sering menggunakan

beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun hanya

pernyataan

saja

yang

menjadi

perhatian

mereka

dalam

mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya, setiap ilmuwan, matematikawan,

65

ataupun ahli-ahli lainnya akan berusaha untuk menghasilkan suatu pernyataan atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang memuat suatu teori telah menjadi pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu kala. Beberapa nama menurut Yuyun S Suriasumantri yang patut diperhitungkan karena telah berjasa untuk kita adalah Plato (427 – 347 SM), Aristoteles (384 − 322 SM), Charles

S

Peirce

(1839



1914),

dan

Bertrand

Russell

(1872



1970).[18] Paparan berikut akan membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu pernyataan yang dimuat di dalam suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah. Kriteria kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori kebenaran

yaitu

terori

koherensi

dan

teori

korespondensi.

Teori

koherensi adalah suatu teori yang menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita mengganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori lainnya adalah teori korespondensi dengan tokohnya Bertrand Russel (1872-1970 ), pernyataan dianggap benar jika materi yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan ) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya Jika “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” merupakan pernyataan yang benar sebab pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Dan sekiranya ada orang yang menyatakan “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung , maka pernyataan tersebut tidak benar.[19] Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak awal ( sebelum abad modern ) mensyaratkan kebenaran

pengetahuan

diketahuinya.[20]

harus

sesuai

dengan

kenyataan

yang

66

Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya. Bagaimana dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran koherensi

yang berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila

terdapat

kesesuaian

antara

pernyataan

yang

satu

dengan

pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu system pengetahaun yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu system yang unsurunsurnya berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional menurut Imam wahyudi.[21] Kelemahan dari teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran. Kedua teori

inilah yaitu teori

koherensi dan korespondensi yang

dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan

fakta-fakta

yang

mendukung

suatu

pernyataan

tertentu

menggunakan teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran pragmatis. Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar , jika pernyataan itu atau konsekuensi dari

pernyataan

manusia.[22]

itu

mempunyai

kegunaan

praktis

dalam

kehidupan

67

Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri

yang

menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Menurut Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah ( scientific methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan yang semakian lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah banyaknya teori baru yang semakin canggihnya teknologi. Akan tetapi semakin berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta ilmu-ilmu lainnya, tidak jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai missal, Biologi berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu organisma, bukan sebagai makhluk yang berbudaya, begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan peningkatan kesejehateraan manusia, bukan pada peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan keagamaan. Dengan keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum seluruh pengalaman, pengetahuan, cita-cita , keindahan dan kasih sayang yang terdapat dapat diri manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan melalui pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat menjangkau kebenaran pada wilayah yang logis dan supra logis.[23] Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu. Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika jika penelitian ulang orang lain menurut langkah-langkah sama akan yang serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten) atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir

68

setiap

orang, karena pendekatan yang digunakan tidak diwarnai oleh

keyakinan pribadi, bias, dan perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan subyektif. Atau kebenaran ilmiah terbuka untuk diuji oleh siapapun yang menghendaki untuk mengujinya.[24] Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan

yang

sebenarnya”

dari

objek

pengetahuan

walaupun tetap

memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal. Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam

pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan

karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.

PENUTUP Berdasarkan uraian bahasan “Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran Ilmiah” dapat disimpulkan bahwa : 1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiahesuai dengan tujuan dan fungsinya. Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah

69

2. Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah kebenaran yang bersifat mutlak dengan pembuktian dengan melalui beberapa tahapan atau proses menuju pencapaian kebenaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, H.M. 1997 “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta, Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Mohammad,1979, Prof.Dr., Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet-1. Arikunto, Suharsini, Prof.Dr.,2006, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta. Bertrand Russel, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet-3. Keraf ,Sonny dan Mikhael Dua,2002, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisiusn Jakarta Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, Menyemai Benih Pendidikan, Jakarta, Pustekom Diknas. Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta, cet-2 Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet. 3. Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI. Suriasumantri, Jujun.S.,2010, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet.22. Suryabrata, Sumardi, Drs.BA,MA,Ed.S.,Ph.D, 2010, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada. Tafsir, Ahmad, Prof. Dr, 2009, Filasafat Ilmu, Bandung, Remaja Rosdakarya Tafsir , Ahmad, Dr., 1995, Epistemologi untuk ilmu pendidikan Islam, Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, 2010, Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Wahyudi, Imam, 2004, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Filsafat, Desember, Jilid 38, Nomor 3,

Jurnal

70

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PENDAHULUAN Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan normanorma moral/professional?[1] Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuanpengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu? A.

Ontologi

71

Ontologi dalam filsafat ilmu mempelajari hakikat apa atau objek apa yang dipelajari oleh ilmu. Pertanyaan itu kemudian diuraikan lagi menjadi Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Dan bagaimana hubungan objek tadi dengan daya tangkap manusia. Sedangkan dari segi istilah ontologi berarti studi yang membahas sesuatu yang ada. Ontologi merupakan bagian dari metafisika. Metafisika mengkaji mengenai realitas atau kenyataan; mengkaji alam di balik realitas dan menyelidiki hakikat di balik realitas. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah sumber dari suatu realitas, apakah Tuhan ada. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di balik realitas. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. 1.

Objek Formal

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam

72

tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental. 2.

Metode dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Contoh :

Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P) Badan itu sesuatu yang lahiri

(S-Tt)

Jadi, badan itu fana’

(S-P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut: Contoh :

Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan

(Tt-S) (Tt-P) (S-P)

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a

73

posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2] Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.

B.

Epistemologi

Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya. Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3] Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan a.

Empirisme

Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,

74

seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalamanpengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b.

Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. c.

Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk

75

sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman. d.

Intusionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif. Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidaktidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbiyang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya. e. C.

Dan masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology. Aksiologi

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan

76

saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.” Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

77

Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?). Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[4] PENUTUP 1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. 2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Halhal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana

apa

yang

pengetahuan yang berupa ilmu?.

membantu

kita

dalam

mendapatkan

78

3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah

moral?

Bagaimana

penentuan

objek

yang

ditelaah

berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan normanorma moral?[5]

DAFTAR PUSTAKA Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996. Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001. Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.

79

Pengaruh Ilmu Dan Moral, Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan Terhadap Revolusi Genetika Dan Perkembangan IPTEK

PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial, serta revolusi genetika adalah hal yang saling berhubungan. Terdapat beberapa pertanyaan yang menggelitik, pertama benarkah makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia dengan penalaran tinggi lalu makin berbudi atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini akan diuraikan mengenai ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika. 2.

Pengertian Aksiologi

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 : 234). Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan

80

membahas nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu. (Ihsan, 2010 :231) Dari definisi-definisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. 3.

Pengertian ilmu

kata ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan (http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu). Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari , mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan, 2010:108). Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan

81

bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis (Surajiyo, 2009:56-57). Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects) (Ihsan, 2010 :111-112). 4.

Pengertian Moral

Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo, 2009:147). Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan, 2010:271). Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo, 2009:147). Jadi, moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang

82

berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. 5.

Hubungan antara Ilmu dan Moral

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri, 2000 : 229). Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu. Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan

masalah

kebudayaan

dari

pada

masalah

moral.

Artinya,

dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri, 2000:234). Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.

83

Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri, 2000:235). Secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang

diperoleh.

Setiap

pengetahuan,

termasuk

pengetahuan

ilmiah,

mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah. Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan

dan

memperkokoh

eksistensi

manusia

bukan

untuk

menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan, 2010:280). Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk

84

menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih lanjut. Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak berilmu. 6.

Tanggung jawab sosial Ilmuwan

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. (Suriasumantri,1998:244) Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang baik. Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah.

85

Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap, berpihak kepada kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu, apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian. Seorang ilmuwan juga mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri yang memberikan nilai. 7.

Pengaruh Ilmu, Moral dan tanggung jawab sosial Ilmuwan terhadap

revolusi genetika Hamid dalam Kamusnya mengartikan revolusi adalah perubahan yang berlangsung secara cepat, sedangkan genetika adalah cabang biologi yang menyelidiki hereditas serta segala seluk beluknya secara ilmiah; ajaran tentang pewarisan (Hamid : 170 & 553). Bisa dikatakan bahwa revolusi genetika adalah sebuah penelitian yang membahas tentang rekayasa genetik (keturunan). Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah

86

ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu sudah banyak

sekali,

namun

penelaahan-penelaahan

ini

dimaksudkan

untuk

mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung, dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguangangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri

sekarang menjadi

objek

penelaahan

yang akan

menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Revolusi genetika, seperti kemajuan reproduksi dan rekayasa manusia oleh manusia adalah sebuah contoh dari pengaruh pesatnya ilmu (Ihsan, 2010 : 273). Dengan kata lain, Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan

(dehumanisme)

dan

mengubah

hakikat

kemanusiaan

menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains, disamping tanggung jawab dan moral ilmuan. Jika sains melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi-fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains. Yang jadi pertanyaan sekarang sejauh mana penjelajahan sains dan teknologi. Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah

87

satu aspek pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi yang sebelumnya telah dibahas. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas menyatakan sikap menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal ilmu. Menghadapi Ilmu dan teknologi yang telah berkembang begitu pesat yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita mempergunakan teknologi untuk keluhuran martabat manusia. Menghadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, dan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan dalam menangani revolusi genetika. Aksiologi memandang permasalahan diatas dapat dilihat dari baik buruknya seorang ilmuwan itu sendiri yang mempunyai ilmu dan moral serta tanggung jawab sosial dalam menyikapi revolusi genetika. 8. Dilema Penerapan IPTEK Era

modern

acapkali

merujuk

kepada

kemajuan

sangat

pesat

ilmu

pengetahuan dan teknologi (iptek). Istilah modern itu sendiri sebenarnya mulai memasuki kawasan perdebatan intelektual Eropa Barat pada abad ketujuh belas, yang diartikan sebagai peristiwa yang sedang terjadi atau sedang

berlangsung, atau mutakhir. Dari sini, kadang kemodernan sering

disalah-artikan sebagai lawan dari tradisional, antik dan klasik,

ketinggalan

zaman, kuno dan sejenis itu (Bauman, 1993: 592). Dari

aspek

perkembangan

keilmuan,

era

modern

ditandai

dengan

perubahan paradigma berpikir terhadap sesuatu baik berupa fenomena kealaman maupun sosial. Zygmunt Bauman (1993:592).berpendapat bahwa perkembangan keilmuan modern menjadi melalui

sebuah konsep yang militan

kemajuan penemuan cara-cara keilmuan setelah René Descartes

di Perancis dan Isaac Newton (juga Francis Bacon) di Inggris. Figur-figur inilah

yang

kemudian menjadi simbol kompetisi perkembangan ilmu era

modern oleh para generasi berikutnya, terutama di bidang ilmu pasti-alam.

88

Kemajuan peradaban umat manusia di era (modern) ini secara esensial merupakan penerapan akal manusia (rasionalisasi)

terhadap tugas untuk

menciptakan dunia yang lebih baik demi memenuhi kebutuhan hidup umat manusia itu sendiri. Untuk itulah, proses kreatif manusia melalui serangkaian

observasi,

eksperimentasi

dan

evaluasi,

pada

akhirnya

menemukan sejumlah instrumentasi kehidupannya dari berbagai teknologi modern yang ia buat seperti saat sekarang. Sayangnya, kemajuan tersebut menjadi dilematis. Di satu sisi membawa kemudahan-kemudahan bagi keperluan umat manusia. Tapi di sisi lain, ada dampak buruk yang diakibatkan oleh penerapan ilmu pengetahuan dalam bentuk teknologi modern, seperti: maraknya nilai-nilai kemanusiaan

dalam

bentuk

krisis lingkungan; krisis

pelanggaran

hak

asasi

manusia

dengan makin meningkat jumlah penggunaan senjata pembunuh massal; dan krisis moral. Krisis lingkungan pada skala global seperti dampak penipisan lapisan ozon (ozon depletion), perubahan

iklim

(climate

skala regional seperti dampak hujan asam (acid rain),

change),

di

serta di tingkat lokal

seperti polusi oleh limbah domestik, limbah bahan berbahaya beracun (B3), kerusakan terumbu

hutan, dan berkurangnya ketersediaan air bersih, serta kerusakan karang,

telah

menimbulkan

keprihatinan

masyarakat

global.

Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan sejak 1972 di Stockholm hingga Konferensi yang sama di Rio de Jeneiro

pada bulan

Juni 1992 (Brown, 1995: 2-3) mencerminkan betapa krisis lingkungan hidup bukan semata persoalan lokal-nasional, tetapi sudah menjadi persoalan mondial bersama umat manusia. Sedangkan krisis banyaknya

sebagai

contoh, tampak

rezim suatu negara mempergunakan

senjata perang ketentraman

kemanusiaan, modern,

yang

semula

dari

perangkat

“diniatkan”

untuk

betapa teknologi menjaga

warga negara, dan membela diri dari kemungkinan serangan

pihak asing, tetapi justru diselewengkan untuk menindas kelompok minoritas (etnis/agama)

di negerinya. Penggunaan

pemerintahan

Saddam

Hussen

di

senjata

bio-kimia

Irak terhadap

etnis

oleh Kurdi,

merupakan salah satu contoh saja. Pada taraf tertentu, teknologi modern dipergunakan negara untuk mengekang kebebasan politik warga negara,

89

sehingga hampir-hampir tak ada ruang kemerdekaan bergerak karena selalu diintai oleh teknologi

intelijen

yang mampu menyadap

“gerakan-

gerakan subversif”. Di bagian lain, kecanggihan

teknologi cyberspace

seperti internet selain

menyuguhkan informasi-informasi penting bagi para penggunanya, tapi juga sekaligus pada bersamaan menghidangkan “wacana tandingan” berupa sajian situs-situs hanyalah

cabul

(cyberporns)

yang

dapat

merusak

akhlak.

satu contoh betapa teknologi modern telah menghadapkan

pilihan tindakan yang pada

satu

sisi

mendukung

tingginya

Ini dua

moralitas,

ataupun krisis (merosotnya) moralitas pada sisi lainnya.. Dari uraian di atas,

pertanyaan lanjutan yang perlu dikemukakan adalah:

Mengapa kemajuan iptek telah membawa sejumlah krisis? Bagaimana seharusnya iptek dibangun? Lalu,

bagaimana nilai-nilai moral mengeliminir

dampak buruk (negatif) penggunaan iptek tersebut? 9. Nilai dan Tanggung Jawab Moral IPTEK Sebagaimana Etika, ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. Kenneth Boulding

(Wilardo,

1997:

241)

mengatakan

bahwa

sebagian

besar

dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah berkat tat nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan (Wilardo, 1997: 241). Namun, kebenaran bukanlah satu-satunya

nilai yang seharusnya dijunjung

tinggi oleh para ilmuwan. Di samping itu nilai-nilai yang perlu dijadikan panduan dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah etika keilmuan. Adalah penting dikemukakan pesan historis Albert Einstein di hadapan para mahasiswa California Intitute of Technology pada Perang Dunia II tengah

berlangsung

(1938),

saat

di mana patut dijadikan

pesan moral dalam pengembangan Iptek. Einstein mengatakan bahwa: "Btidak cukup kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus

90

selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan darui pengaturan kerja dan pemerataan benda agar buah ciptaan dari pemikiran berkah

dan bukan

kutukan

kita

akan merupakan

terhadap kemanusiaan" (Einstein, 1997: 248-

249). Nilai dan tanggung keharusan yang mengisahkan

jawab moral terhadap

iptek, tentu saja menjadi satu

semestinya dimiliki. Tragedi lakon "Frankeisten", yang

egoisme

seorang

ilmuwan

untuk menciptakan

makhluk

"manusia baru" dari jenazah pesakitan tanpa mengindahkan norma dan etika seorang ilmuwan, pada akhirnya menciptakan bumerang bagi dirinya sendiri.

"Makhluk ciptaan" ilmuwan tadi kemudian membunuh "sang

penciptanya" itu sendiri, yaitu sang ilmuwan egois tadi. Hal ini sejalan dengan apa yang selalu diperingatkan Einstein (1950) tentang bahaya penggunaan teknologi

nuklir.

Ia

dengan

pedasnya

mengecam

penerapan

dan

penyalahgunaan senjata nuklir. Di antara pengecam bahaya penyalahgunaan nuklir, misalnya Jacques Monod (dan 2100 ilmuwan lain yang menandatangani Deklarasi Menton), Robert March (yang meskipun kalah tetapi sempat dan masih terus berjuang melawan Himpunan Fisika Amerika [American Physical Society]

yang

berkuasa dan sok legalistis) dan beberapa belas ilmuwan di Kampus Berkeley (yang

menyelenggrakan

rangakaian

kuliah

tentang

tanggung

jawab

kemasyarakatan para ilmuwan). Di samping itu masih ada lagi, misalnya: para pengikut "Summer Science Institue" pertama tentang hubungan timbal balik antara ilmu dan masyarakaat (yang diselenggarakan di Knox College dan

menghasilkan seperangka

resolusi

melontarkan gagasannya tentang "sikap

tajam),

Jonas

humanologis",

dan

Salk

yang

berpuluh-

puluh ilmuwan dari 50 negara yang bersama-sama membentuk wadah kegiatannya,

yakni

"Perkumpulan

demi Tanggung Jawab Keilmuan"

(Association for Scientific Responsibility). Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik masyarakat dewasa ini maupun angkatan-angkatan yang akan datang) ilmu dapat menghindaarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk

91

mengabdi kepada kemanusiaan. Kalau tidak demikian, maka membayanglah resiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang berhaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada para jenderal yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus (Wilardjo, 1993: 243-244).

10. Mengembalikan Nilai IPTEK Konsekuensi moral terhadap dampak penyalahgunaan iptek mengakibatkan perlunya alternatif-alternatif

yang dipilih untuk menjadikan iptek bernilai bagi

kemaslahatan manusia dan alam semesta. Tanpa pertimbangan berdasarkan nilai-nilai akan berakibat berulangnya tragedi yang disebabkan oleh dampat penerapan iptek seperti dikemukakan di atas. Tawaran Hidajat Nataatmadja (Kummadin,1995:92-93) tampak cukup berguna untuk

mengembalikan

iptek

menjadi

bernilai.

Hidajat

Nataatmadja

mencoba menegakkan realisme, bahwa ilmu (sains) hanyalah merupakan salah satu manifestasi dari fitrah manusia, sehingga bukan ilmu yang harus menerangkan manusia apa adanya, melainkan manusialah yang harus menerangkan

ilmu

dalam kehidupan

itu

empiris

apa.

Yaitu,

adalah

bahwa

menunjukkan

aktualnya

fitrah manusia

keimanan

religius

dan

keimanan akan transendensi, yaitu suatu the feeling of dependence dan the feeling creature terhadap Sumber Agung (Allah); dengan menganggap relatif segala kekuasaan, segala kekayaan dan segala pengetahuan. Ini berarti pikiran manusia harus berpijak pada dua dasar pikiran, yakni iman dan transendensi,

sehingga

agama benar-benar menjiwai seluruh

perikehidupan manusia. Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah: pertama, mencari titik lemah ilmu dan bagaimana titik lemah ini dapat kita perbaiki.

Titik

lemah

itu

terdapat

pada

landasan

dogmatiknya

(paradigma), misalnya ilmu itu universal benar, objektivitas, netralitas etik, rasionalisme, empirisme, relativisme, dan lain-lain, yang kesemuanya itu seakan-akan menjamin kebenaran

ilmu. Tapi sebenarnya,

semua dogma-

dogma itu sama dengan mitos yang diyakini manusia primitif. Ini sebagai bukti

92

bahwa manusia telah menggantungkan diri secara mutlak tanpa syarat kepada pikirannya sendiri. PENUTUP Dari penyajian makalah tentang ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika dapat kami tarik kesimpulan bahwa : 1.

Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk

menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak. 2.

Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban

seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena

dia

mempunyai

fungsi

tertentu

dalam

kelangsungan

hidup

bermasyarakat. 3.

Revolusi genetika adalah pengaruh dari pesatnya perkembangan ilmu

dan moral serta tanggung jawab seorang ilmuwan. Aksiologi memandang hal ini dari permasalahan objek etika dan estetika atau baik buruknya seorang ilmuwan dalam menyikapi Revolusi genetika

93

DAFTAR PUSTAKA Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hamid Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya : Penerbit Apollo http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu diakses tanggal 26 nopember 2011 Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010. Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2009. Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.