EPIDEMIOLOGI SUSI FEBRIANI YUSUF.M.PH
Darmais Press-Padangsidimpuan
ISBN 1 2 3 4 5 6 - 1 8
EPIDEMIOLOGI Oleh : Susi Febriani Yusuf.M.PH Copyright@2015 Darmais Press Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa izin tertulis dari penerbit Hak Cipta dilindungi Undang-undang Rencana Kulit : Abim Layout, Montase, Setter : Abim Diterbitkan Oleh : Darmais Press STIKes Darmais Padangsidimpuan Jl. Belibis No. 1 Perumahan Sopo Indah Siguling Kec. Padangsidimpuan Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Kami panjatkan ke Hadirat Tuhan ynag maha Esa, Karena berkat limpahan Rahmat dan karuniya-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini dengan baik. Dalam buku ini kami membahas tentang Epidemiologi. Buku ini dibuat dengan berbagai informasi, masukan serta dorongan dari berbagai pihak, kami mengucapkan terimakasih terutama kepada Ketua dan Pembina Yayasan Perguruan Karya Bunda Langga Padangsidimpuan yang telah memberikan darongan dan bantuan baik moril maupun spiritual. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada buku ini. Oleh karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami, kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan buku selanjutnya. Akhir kata semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Padangsidimpuan, 2015
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...........................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
..............................................................
1
1.1
Pengertian Epidemiologi Menurut Asal Kata ......................
1
1.2
Pengertian Epidemiologi Menurut Pendapat Para Ahli.......
1
BAB II SEJARAH EPIDEMIOLOGI ................................................
7
A. Jenis-jenis Penelitian Ilmiah .....................................................
7
1. Kedokteran Yunani Kuno Dan Epidemiologi…………………… .
7
2. Empedocles (490-430 Sm)…………………… ...........................
8
3. Aristoteles (384-322 SM)…………………… ..............................
10
4. Humoralisme …………………… ...............................................
11
5. Hippocrates (377-260 SM)…………………… ...........................
14
B. Era Romawi ……………. ..........................................................
17
1. The Balck Death…………………… ...........................................
17
2. Cacar dan Vaksinasi Edward Jenner……………………...........
21
3. Edward Jenner (1749-1823)…………………… .........................
24
4. Pandemi Kolera……………………............................................
29
5. Influenza Besar (1918-1919)…………………… ........................
29
C. Perkembangan Statistik Vital ……………. ...............................
31
D. Epidemiologi Modern ……………. ............................................
34
1. John Snow (1813-1858)…………………… ...............................
34
2. William Farr (1807-1883)…………………… ..............................
38
E. Teori Kuman (The Germ Theory) ……………. ..........................
42
1. Anton Van Leeuwenhoek (1632-1723)…………………… .........
43
2. Louis Pasteur (1822-1895)…………………… ...........................
43
3. Robert Koch (1843-1910)…………………… .............................
46
i
4. Ilya Ilyich Mechnikov(1845-1916)…………………… .................
47
F. Era Epidemiologi Penyakit Kronis ……………. .........................
49
G. Framingham Heart Study ……………. .....................................
51
H. The British Doctors Study ……………. .....................................
57
I. Epidemiologi Sosial ……………. ..............................................
67
J. Epidemiologi Nutrisi ……………. ...............................................
69
K. Epidemiologi Molekuler ……………. .........................................
70
L. Life Course Epidemiology ……………. .....................................
73
M. Biostatistik ……………. ............................................................
80
N. Epidemiologi Klinik …………….................................................
83
O. Sejarah Perkembangan Epidemiologi ……………....................
90
BAB II PERANAN
&
PENGERTIAN
EPIDEMIOLOGI
DALAM
KESEHATAN MASYARAKAT ........................................................
98
2.1 Peran dan Pengertian Epidemiologi .........................................
98
2.2 Masalah Kesehatan Masyarakat Yang Sering Terjad di Masyarakat . ........................................................................... 100 2.3 Peranan Epidemiologi Dalam Pemecahan Masalah Kesehatan Masyarakat ........................................................... 101 Bab III DINAMIKA PENULARAN PENYAKIT DAN AGENT DINAMIKA PENULARAN PENYAKIT ………………… ........... 105 Bab IV UKURAN PENYAKIT DAN KEMATIAN………………… ......... 107 4.1 Pengertian Rasio, Proporsi Angka / Rate ………………………. 107 4.2 Pengertian Insidensi dan Prevalensi ………………..…………. . 108 4.3 Hubungan Antara Insidensi dan Prevalensi ………..…………. . 113 Bab V RIWAYAT ALAMIAH DAN SCREENING POPULASI ………………… ........................................................... 117 5.1 Riwayat Alamiah Penyakit ……. ............................................... 117 5.2 Screening …………………. ...................................................... 121
ii
5.3 Tujuan Screening …………………............................................ 124 5.4 Sasaran Screening …………………. ........................................ 125 Bab VI DESAIN STUDI CROSS SEKSIONAL DAN STUDI EKOLOGI…………………
........................................................... 131
Bab VII DESAIN STUDI KASUS KONTROL ………………… ............ 134 Bab VIII DESAIN STUDI KOHORT ………………… ........................ 141 Bab IX DESAIN STUDI EXPERIMENT ………………… .................. 147 Bab X BIAS INFORMASI ………………… ...................................... 152 Bab XI INFERENSI KAUSAL DAN MODEL KAUSALITAS ………………… ...................................................... 160 Bab XII KONFOUNDING ………………… ...................................... 174 Bab XIII INVESTIGASWI OUTBREAK ………………… ................... 177 Bab XIV PENYAJIAN DATA EPIDEMIOLOGI ………………… ........ 186 DAFTAR PUSTAKA ………………………. ........................................... 191
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
PENGERTIAN EPIDEMIOLOGI MENURUT ASAL KATA Jika ditinjau dari asal kata Epidemiologi berasal dari bahasa Yunai yang terdiri
dari 3 kata dasar yaitu EPI yang berarti PADA atau TENTANG, DEMOS yang berati PENDUDUK dan kata terakhir adalalah LOGOS yang berarti ILMU PENGETAHUAN. Jadi EPIDEMILOGI adalah ILMU YANG MEMPELAJARI TENTANG PENDUDUK. Sedangkan dalam pengertian modern pada saat ini EPIDEMIOLOGI adalah : “Ilmu yang mempelajari tentang Frekuensi dan Distribusi (Penyebaran) serta Determinat masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat serta Determinannya (Faktor – factor yang Mempengaruhinya). Suatu ilmu yang awalnya mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan pada penyakit infeksi menular. Tapi dalam perkembangannya hingga saat ini masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Oleh karena itu, epidemiologi telah menjangkau hal tersebut.
1.2.
PENGERTIAN EPIDEMIOLOGI MENURUT PENDAPAT PARA AHLI Sebagai ilmu yang selalu berkembang, Epidemiologi senantiasa mengalami
perkembangan pengertian dan karena itu pula mengalami modifikasi dalam batasan/definisinya. Beberapa definisi telah dikemukakan oleh para pakar epidemiologi, beberapa diantaranya adalah :
1
1. Greenwood ( 1934 ) Mengatakan bahwa Epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian yang mengenai kelompok ( herd ) penduduk.
Kelebihannya
adalah
adanya
penekanan
pada Kelompok
Penduduk yang mengarah kepada Distribusi suatu penyakit. 2. Brian Mac Mahon ( 1970 ) Epidemiology is the study of the distribution and determinants of disease frequency in man. Epidemiologi adalah Studi tentang penyebaran dan penyebab frekwensi penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi semacam itu. Di sini sudah mulai menentukan Distribusi Penyakit dan mencari Penyebab terjadinya Distribusi dari suatu penyakit. 3. Wade Hampton Frost ( 1972 ) Mendefinisikan Epidemiologi sebagai Suatu pengetahuan tentang fenomena massal ( Mass Phenomen ) penyakit infeksi atau sebagai riwayat alamiah ( Natural History ) penyakit menular. Di sini tampak bahwa pada waktu itu perhatian epidemiologi hanya ditujukan kepada masalah penyakit infeksi yang terjadi/mengenai masyarakat/massa. 1. Anders Ahlbom & Staffan Norel ( 1989 ) Epidemiologi adalah Ilmu Pengetahuan mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia. 5. Gary D. Friedman ( 1974 ) Epidemiology is the study of disease occurance in human populations. 6.
Abdel R. Omran ( 1974 )
Epidemiologi adalah suatu ilmu mengenai terjadinya dan distribusi keadaan kesehatan,
penyakit
dan
perubahan
pada
penduduk,
begitu
juga
determinannya serta akibat – akibat yang terjadi pada kelompok penduduk. 7. Barbara Valanis 2
Epidemiology is term derived from the greek languang ( epid = upon ; demos = people ; logos = science ). 8. Last ( 1988 ) Epidemiology is study of the distribution and determinants of health – related states or events in specified population and the application of this study to control of problems. 9. Elizabeth Barrett Epidemiology is study of the distribution and causes of diseases. 10. Hirsch ( 1883 ) Epidemiologi adalah suatu gambaran kejadian, penyebaran dari jenis – jenis penyakit pada manusia pada saat tertentu di berbagai tempat di bumi dan mengkaitkan dengan kondisi eksternal 11. Judith S. Mausner ; Anita K. Bahn Epidemiology is concerned with the extend and types of illness and injuries in groups of people and with the factors which influence their distribution. 12. Robert H. Fletcher ( 1991 ) Epidemiologi adalah disiplin riset yang membahas tentang distribusi dan determinan penyakit dalam populasi. 13. Lewis H. Rohf ; Beatrice J. Selwyn Epidemiology is the description and explanation of the differences in accurence of events of medical concern in subgroup of population, where the population has been subdivided according to some characteristic believed to influence of the event. 14. Lilienfeld ( 1977 )
3
Epidemiologi adalah suatu metode pemikiran tentang penyakit yang berkaitan dengan penilaian biologis dan berasal dari pengamatan suatu tingkat kesehatan populasi. 15. Moris ( 1964 ) Epidemiologi adalah suatu pengetahuan tentang sehat dan sakit dari suatu penduduk. 1.3.
PENGERTIAN EPIDEMIOLOGI DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK 1. Aspek Akademik Secara akademik, epidemiologi berarti Analisa data kesehatan, sosial-ekonomi, dan trend yang terjadi untuk mengindentifikasi dan menginterpretasi perubahan-perubahan kesehatan yang terjadi atau akan terjadi pada masyarakat umum atau kelompok penduduk tertentu. 2. Aspek Klinik Ditinjau dari aspek klinik, Epidemiologi berarti Suatu usaha untuk mendeteksi secara dini perubahan insidensi atau prevalensi yang dilakukan melalui penemuan klinis atau laboratorium pada awal timbulnya penyakit baru dan awal terjadinya epidemi. 3. Aspek praktis Secara praktis epidemiologi berarti ilmu yang ditujukan pada upaya pencegahan penyebaran penyakit yang menimpa individu, kelompok penduduk atau masyarakat umum. 4. Aspek Administrasi Epidemiologi secara administratisi berarti suatu usaha mengetahui keadaan masyarakat di suatu wilayah atau negara agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
4
1.4.
PENGERTIAN
EPIDEMIOLOGI
MENURUT
CENTER
OF
DISEASE
CONTROL (CDC) 2002 Adapun definisi Epidemiologi menurut CDC 2002, Last 2001, Gordis 2000 menyatakan bahwa EPIDEMIOLOGI adalah : “ Studi yang mempelajari Distribusi dan
Determinan
penyakit
dan
keadaan
kesehatan
pada
populasi
serta
penerapannya untuk pengendalian masalah – masalah kesehatan “. Dari pengertian ini, jelas bahwa Epidemiologi adalah suatu Studi ; dan Studi itu adalah Riset. Kemudian apakah Riset itu…..?? Menurut Leedy (1974), Riset adalah “ a systematic quest for undiscovered truth”. ( Artinya : Pencarian sistematis terhadap kebenaran yang belum terungkap ).
1.5.
PENGERTIAN EPIDEMIOLOGI MENURUT WHO Epidemiologi sebagai ilmu yang mempelajari distribusi dan determinant dari
factor yang berhubungan kesehatan dan aplikasi bagian hasil studi untuk mengendalikan masalah kesehatan. Perspektive epidemiologi menggambarkan bahwa Epidemiologi adalah sebuah cara berfikir tentang kesehatan sebagai human ekologi, selain itu epidemiologi sangat mempertimbangkan tentang konteks, heterogenity, dinamika dan inferensi. Serta lebih dari sekedar kumpulan metode tetapi bagaimana menggunakan metode tersebut. 1. Tujuan epidemiologi adalah untuk: a. Menggambarkan status kesehatan populasi b. Menentukan “sebab” masalah kesehatan c. Menentukan riwayat alamiah suatu penyakit d. Mengevaluasi suatu tindakan intervensi kesehatan e. Meramalkan terjadinya masalah kesehatan di populasi 5
f. Menanggulangi masalah kesehatan yang terjadi dengan tindakan pencegahan atau pengobatan 2. Kegunaan Kegunaan epidemiologi makin meluas tidak hanya mengenai penyakit tetapi mengenai masalah-masalah keshatan lainnya. Epidemiologi tidak hanya digunakan untuk keadaan-keadaan kesehatan yang bersifat populasi tetapi juga di klinik kedokteran yang umumnya bersifat individual atau bersifat populasi maka populasinya terbatas dan berciri khusus yaitu para penderita klinik tersebut. Epidemiologi juga banyak digunakan untuk mengevaluasi programprogram pelayanan kesehatan. Selain perannya yang tradisional yaitu mencari dan atau menentukan etiologi penyakit. Last dalam tahun 1987 menyatakan bahwa epidemiologi berguna dalam 9 hal, yaitu; a. Penelitian sejarah- apakah kesehatan masyarakat membaik atau menjadi lebih buruk ? b. Diagnosis komunitas-masalah kesehatan yang aktual dan yang potensial ? c. Kerjanya pelayanan kesehatan-Efficacy, Effectiveness, Efficiency d. Resiko individual dan peluang-Actuarial risks, penilaian bahaya kesehatan Melengkapi gambaran klinik-penampilan penyakit yang berbeda e. Identifikasi sindroma- “Lumping and spitting” f. Mencari penyebab- Case control and cohort studies h. Mengevaluasi simptoms dan tanda-tanda i. Analisis keputusan klinis
6
BAB II. SEJARAH EPIDEMIOLOGI
A. SEJARAH EPIDEMIOLOGI AWAL Epidemiologi tidak berkembang dalam ruang hampa. Aneka ilmu dan peristiwa, seperti kedok-teran, kedokteran sosial, revolusi mikrobiologi, demografi, sosiologi, ekonomi, statistik, fisika, kimia, biologi molekuler, dan teknologi komputer, telah mempengaruhi perkembangan teori dan metode epidemiologi. Demikian pula peristiwa besar seperti The Black Death (wabah sampar), pandemi cacar, revolusi industri (dengan penyakit okupasi), pandemi Influenza Spanyol (The Great Influenza) merupakan beberapa contoh peristiwa epidemiologis yang mempengaruhi filosofi manusia dalam memandang penyakit dan cara mengatasi masalah kesehatan populasi. Sejarah epidemiologi perlu dipelajari agar orang mengetahui konteks sejarah, konteks sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang melatari perkembangan epidemiologi, sehingga konsep, teori, dan metodologi epidemiologi dapat diterapkan dengan tepat (Perdiguoero et al., 2001).
1. KEDOKTERAN YUNANI KUNO DAN EPIDEMIOLOGI Setiap mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat dan kedokteran pasti mengenal dan mempelajari epidemiologi. Tetapi bahwa prekursor (cikal-bakal) disiplin ilmu itu sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman kedokteran kuno Yunani, mungkin banyak yang tidak menyadarinya. Cara orang memandang penyakit, penyebab terjadinya penyakit, dan upaya untuk mengendalikannya, bisa dirunut ke belakang telah dimulai sejak zaman kedokteran Yunani kuno, lebih dari duapuluempat abad yang lampau. Terdapat beberapa teori/ hipotesis yang 7
berhubungan dengan kesehatan dan penyakit pada manusia yang dibahas pada bagian ini: Teori Kosmogenik Empat Elemen, Teori Generasi Spontan, Teori Humor, dan Teori Miasma.
2.EMPEDOCLES (490–430 SM). Empedocles adalah seorang filsuf pra-Socrates, dokter, sastrawan, dan orator Yunani, yang tinggal di Agrigentum, sebuah kota di Sisilia (Gambar 1). Para ahli sejarah menemukan sekitar 450 baris puisi karyanya yang ditulis pada daun papirus. Dari kumpulan puisi itu diketahui bahwa Empedocles memiliki pandangan tentang berbagai isu yang berhubungan dengan biologi modern, khususnya biologi genetik dan molekuler tentang terjadinya kehidupan, fisiologi komparatif dan eksperimental, biokimia, dan ensimologi (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010).
Gambar Empedocles (490-430 SM). Sumber: Genesis Park, 2001 Lebih khusus, Empedocles adalah penggagas teori Kosmogenik Empat Elemen/ Akar Klasik (Classical Roots): bumi, api, air, dan udara. Menurut Empedocles, tumbuhan, binatang, termasuk manusia, diciptakan dari empat elemen 8
itu. Jika dikombinasikan dengan cara yang berbeda, maka kombinasi itu akan menghasilkan aneka ragam spesies tumbuhan dan binatang di muka bumi. Campuran keempat elemen itu merupakan basis biologi genetik dan herediter yang terwujud dalam organ atau bagian tubuh manusia (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010). Di bagian lain puisi Empedocles menunjukkan, dia telah mempraktikkan epidemiologi terapan. Pada masa itu penduduk sebuah kota dekat dengan Agrigentum, yaitu Selinunta, tengah dilanda epidemi penyakit dengan gejala panas seperti malaria. Empedocles mendeteksi, penyebabnya terletak pada genangan air dan rawa yang berisi air terkontaminasi. Empedocles mengatasi masalah itu dengan membuka kanal (terusan) dan mengosongkan genangan air ke laut. Dengan membuka dua sungai besar dan menghubungkannya dengan laut, mengeringkan rawa, Empedocles berhasil menurunkan epidemi yang menjangkiti penduduk Selinunta. Empedocles berhasil membuat Selinunta sebuah kota sehat dengan sistem irigasi yang dibiayainya. Karya sanitasi ini bisa dipandang sebagai Projek Kesehatan Masyarakat pertama di muka bumi (Stathakou et al., 2007). Pada baris puisi lainnya Empedocles menyebutkan, ―Miserable men, wholly miserable, restrain your hands from beans ―. Baris itu merujuk kepada suatu penyakit defisiensi genetik G6PD di dalam sel darah merah. Penyakit itu menyebabkan anemia hemolitik pada individu yang sensitif jika mengkonsumsi sejenis kacang- kacangan atau terpapar oleh bunga tanaman tersebut. Studi epidemiologi beberapa tahun yang lalu menunjukkan, terdapat sekitar 2% hingga 30% populasi di Sisilia (tergantung daerahnya) menderita penyakit defisiensi genetik G6PD. Diduga Empedocles membuat anjuran pencegahan penyakit itu berdasarkan
9
pada pengamatan epidemiologis dan pengalaman klinis (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010). Empedocles juga dikabarkan telah melakukan penyembuhan sampar di kota Athena dengan menggunakan api. Dia melakukan cara serupa, yaitu metode disinfeksi menggunakan asap, untuk mengatasi sampar di kota kelahirannya. Secara keseluruhan pandangan dan karya Empedocles merupakan prekursor kedokteran modern dan epidemiologi, mendahului Hippocrates yang lebih dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010).
3.ARISTOTELES (384-322 SM). Aristoteles adalah seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, berasal dari Stagira. Anak seorang dokter, Aristoteles merupakan murid Plato. Tetapi berbeda dengan gurunya dalam penggunaan metode untuk mencari pengetahuan, Aristoteles berkeyakinan, seorang dapat dan harus mempercayai panca-indera di dalam mengivestigasi pengetahuan dan realitas. Aristoteles merupakan filsuf dan ilmuwan serba-bisa. Tulisannya mencakup aneka subjek. Tulisan resminya tentang anatomi manusia tidak diketemukan, tetapi banyak karyanya tentang binatang menunjukkan bahwa dia telah menggunakan pengamatan langsung dan perbandingan anatomis antar spesies melalui diseksi (penyayatan). Aristoteles memberikan fondasi bagi metode ilmiah. Di
sisi
lain
Aristoteles
juga
melakukan
sejumlah
kekeliruan.
Dia
mengkompilasi dan memperluas karya para filsuf alam Yunani sebelumnya, dan merumuskan hipotesis bahwa materi mati dapat ditransformasikan secara spontan oleh alam menjadi binatang hidup, dan proses itu bisa terjadi di mana saja dalam kehidupan
sehari-hari.
Teori
itu
disebut
Generasi
Spontan
(―spontaneous 10
generation‖, ―equivocal generation‖, abiogenesis), yang bertolak belakang dengan teori ―univocal generation‖ (teori reproduksi, biogenesis) bahwa kehidupan berasal dari reproduksi benda hidup. Sampai duaratus tahun yang lampau sebagian ilmuwan klasik percaya kepada vitalisme, suatu gagasan bahwa materi mati seperti kotoran, rumput mati, daging yang membusuk, memiliki vitalitas di dalamnya, yang memungkinkan terciptanya kehidupan -sederhana‖ secara spontan (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010). Setelah bertahan berabad-abad lamanya, akhirnya hipotesis generasi spontan digerus oleh bukti empiris baru yang membuktikan bahwa hipotesis itu salah. Pada abad ke 17 Francisco Redi melakukan eksperimen yang memeragakan bahwa larva terjadi bukan dari daging, melainkan karena lalat yang meletakkan telurnya di atas daging. Pada 1858 Rudolf Virchow memperkuat kesimpulan itu dalam publikasi epigramnya berjudul ―Omnis cellula e cellula‖ ("setiap sel berasal dari sel lainnya yang serupa‖). Pada 1860 Louis Pasteur melakukan sterilisasi nutrien dan menyimpannya ke dalam botol bersegel, ternyata tidak terjadi kuman. Temuan itu memeragakan bahwa ―hanya kehidupan yang bisa menghasilkan kehidupan‖ (omne vivum ex ovo‖), disebut hukum biogenesis (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris; Wikipedia, 2010).
4.HUMORALISME. Humoralisme atau Humorisme adalah teori yang menjelaskan bahwa tubuh manusia diisi atau dibentuk oleh empat bahan dasar yang disebut humor (cairan). Keempat humor itu adalah empedu hitam, empedu kuning, flegma (lendir), dan darah (Gambar 2). Pada orang yang sehat, keempat humor berada dalam keadaan seimbang. Sebaliknya semua penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan humor, 11
sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah satu dari keempat humor itu. Defisit itu bisa disebabkan oleh uap yang dihirup atau diabsorbsi oleh tubuh (Wikipedia, 2010). Konsep empat humor berasal dari Yunani kuno dan Mesopotamia, tetapi baru dikonseptualisasi secara sistematis oleh para filsuf Yunani kuno, termasuk Hippocrates sekitar 400 SM. Para filsuf Yunani menghubungannya dengan Teori Empat Elemen: bumi, api, air, dan udara. Bumi terutama berada dalam empedu hitam, api di dalam empedu kuning, air dalam lendir, dan semua elemen ada di dalam darah (Wikipedia, 2010). Komunitas medis Yunani, Romawi, dan kemudian Muslim dan Eropa Barat, selama berabad-abad mengadopsi dan mengadaptasi filosofi kedokteran klasik. Humoralisme sebagai sebuah teori kedokteran populer selama beberapa abad, terutama karena pengaruh tulisan Galen (131–201). Menurut Galen, kesehatan dihasilkan dari keseimbangan humor, atau eukrasia. Sebaliknya ketidakseimbangan humor, atau diskrasia, dipandang merupakan kausa langsung semua penyakit. Kualitas humor mempengaruhi sifat penyakit yang dihasilkan. ―Empedu kuning‖ menyebabkan penyakit panas, dan ―flegma‖ menyebabkan penyakit dingin. Menurut Galen, aneka jenis makanan memiliki potensi yang beragam untuk menghasilkan berbagai humor. Demikian juga musim sepanjang tahun, periode kehidupan, area geografis, dan jenis pekerjaan, mempengaruhi sifat humor yang terbentuk. Sebagai contoh, makanan hangat (misalnya, cabe dan lada di Barat disebut ―hot‖) cenderung menghasilkan empedu kuning‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim dingin. Makanan dingin cenderung menghasilkan ―flegma‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim panas. Pada zaman yang hampir bersamaan, kedokteran kuno di India juga mengembangkan Ayurveda yang 12
menggunakan teori tiga humor, yang berkaitan dengan lima unsur Hindu (Wikipedia, 2010). Pada 1912, Fahreus, seorang dokter Swedia yang menciptakan tingkat sedimentasi eritrosit, mengemukakan bahwa konsep keempat humor mungkin didasarkan pada fenomena pembekuan darah yang bisa diamati pada botol transparan. Jika darah diletakkan ke dalam sebuah botol kaca dan dibiarkan tanpa diganggu selama sekitar satu jam, akan terlihat empat lapis yang berbeda. Bentuk beku berwarna hitam pada dasar (empedu hitam‖). Di atas bekuan terdapat lapisan sel darah merah (darah‖). Di atasnya terdapat lapisan putih (flegma‖, lendir‖). Lapisan paling atas adalah serum berwarna kuning jernih (empedu kuning) (Wikipedia, 2010). Doktrin patologi humoral mendapat sanggahan ketika Rudolf Virchow (18211902) pada 1858 mengemukakan teori baru tentang penyakit dalam bukunya ―Cellular Pathology‖. Virchow menerapkan Teori Sel yang menekankan bahwa penyakit timbul tidak di dalam organ atau jaringan secara umum, melainkan pada masing-masing sel. Virchow mengibaratkan tubuh sebagai ―sebuah negara sel di mana masing-masing sel merupakan warga‖. Menurut Virchow, penyakit terjadi karena ―terdapat konflik antar warga-warga di dalam negara, yang disebabkan oleh kekuatan dari luar‖ (Wikipedia, 2010). Dewasa ini sains kedokteran modern memandang doktrin patologi humoral keliru.
Meskipun
demikian
keberadaan
humoralisme
dalam
sejarah
telah
memberikan kontribusi dari kedokteran berdasarkan tahayul menuju kedokteran modern. Sejak timbulnya teori humoral, para ilmuwan kedokteran mulai mencari kausa biologis penyakit dan memberikan pengobatan secara biologis ketimbang
13
mencari solusinya pada ranah supernatural. Kini sisa-sisa teori humoralisme masih bisa diidentifikasi dalam bahasa kedokteran. Sebagai contoh, praktisi kedokteraan menggunakan terma imunitas humoral atau regulasi humoral untuk merujuk kepada substansi yang beredar di seluruh tubuh (misalnya, hormon dan antibodi). Demikian juga masih dikenal istilah diskrasia darah untuk merujuk kepada penyakit atau abnormalitas darah. Demikian juga bagi epidemiologi, teori humoralisme merupakan sebuah kemajuan
menuju
pandangan
modern
tentang
kesehatan
manusia.
Teori
humoralisme telah memainkan peran penting dalam menggantikan pandangan superstitif sebelumnya yang mencoba menjelaskan penyakit sebagai akibat dari ruh jahat.
5.HIPPOCRATES (377-260 SM). Hippocrates adalah seorang filsuf dan dokter Yunani pasca-Socrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern (Gambar 3). Hippocrates telah membebaskan hambatan filosofis cara berpikir orang-orang pada zaman itu yang bersifat spekulatif dan superstitif (tahayul) dalam memandang kejadian penyakit. Hippocrates memberikan kontribusi besar dengan konsep kausasi penyakit yang dikenal dalam epidemiologi dewasa ini, bahwa penyakit terjadi karena interaksi antara ‘host-agent-environment‘ (penjamu-agen-lingkungan). Dalam bukunya yang "On Airs, Waters and Places" (Tentang Udara, Air, dan Tempat‖) yang diterjemahkan Francis Adam, Hipoccrates mengatakan, penyakit terjadi karena kontak dengan jazad hidup, dan berhubungan dengan lingkungan eksternal maupun internal seseorang (Rocket, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010). 14
Gambar Hippocrates (260-377SM) Sumber: The Independent, 2010
Pandangan Hippocrates tentang kausa penyakit dipengaruhi oleh filsafat Empat Elemen dan Humoralisme Yunani kuno. Sebagai contoh, Hippocrates menegaskan peran penting iklim, sifat-sifat udara, angin, kualitas udara dan air, bagi kesehatan. Sebuah kutipan dari buku itu menyebutkan, ―Whoever wishes to investigate medicine properly should proceed thus: in the first place to consider the seasons of the year, and what effects each of them produces. Then the winds,the hot and the cold, especially such as are common to all countries, and then such as are peculiar to each locality…‖ Artinya, siapapun yang ingin mempelajari ilmu kedokteran dengan benar hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama-tama pertimbangkan musim sepanjang tahun dan efek yang dihasilkannya. Lalu angin, yang panas maupun dingin, terutama yang dialami oleh semua negara, lalu yang dialami secara khusus oleh daerah setempat (Rocket, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
15
Hippocrates mengemukakan teori ‘miasma‘, bahwa suatu materi bisa mengkontaminasi udara dan jika materi itu memasuki tubuh manusia, maka akan terjadi penyakit. ‘Miasma‘ atau ‘miasmata‘ berasal dari kata Yunani yang berarti ‘something dirty‘ (sesuatu yang kotor) atau ‘bad air‘ (udara buruk). Sebagai contoh, Hippocrates menyebutkan, di dalam luka terdapat miasmata yang menyebabkan penyakit jika memasuki tubuh… Sejak itu teori miasma digunakan untuk menerangkan penyebab penyakit. Dua puluh tiga abad kemudian, berkat penemuan mikroskop oleh Anthony van Leuwenhoek, Louis Pasteur menemukan bahwa materi yang disebut ‘miasma‘ tersebut sesungguhnya merupakan ‘mikroba‘, sebuah kata Yunani yang artinya kehidupan mikro (small living) (Rockett, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003). Kausa penyakit menurut Hippocrates tidak hanya terletak pada lingkungan, tetapi juga dalam tubuh manusia. Sebagai contoh, dalam bukunya On the Sacred Disease‖ Hippocrates menyebutkan bahwa epilepsi bukan merupakan penyakit yang berhubungan dengan tahayul atau agama, melainkan suatu penyakit otak yang diturunkan. Dalam bidang psikiatri, Hippocrates mendahului teori Sigmund Freud dengan hipotesisnya bahwa kausa melankoli (suatu gejala kejiwaan atau emosi akibat depresi) yang dialami putra Raja Perdica II dari Macedonia adalah depresi yang dialami Perdica karena jatuh cinta secara rahasia dengan istri ayahnya (ibu tirinya) (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010). Kontribusi Hippocrates untuk epidemiologi tidak hanya berupa pemikiran tentang kausa penyakit tetapi juga riwayat alamiah sejumlah penyakit. Dia mendeskripsikan perjalanan hepatitis akut pada bukunya ‗About Diseases‘: ―ikterus akut dengan cepat menyebar…urine menunjukkan warna agak kemerahan…panas 16
tinggi, rasa tidak nyaman. Pasien meningga l dalam waktu 4 hingga 10 hari‖ (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003).
B. ERA ROMAWI Empedocles,
Galen,
Hippocrates,
dan
filsuf
Yunani
lainnya
telah
menunjukkan sejumlah determinan penting kesehatan manusia. Tetapi sebuah metode esensial epidemiologi modern yang belum mereka tunjukkan adalah kuantifikasi. Kuantifikasi kasus penyakit penting untuk menilai beratnya masalah kesehatan pada populasi maupun mengetahui etiologi penyakit pada level populasi. Temuan sejarah menunjukkan, pada abad ketiga, sekitar 800 tahun pasca Hippocrates, orang-orang Romawi telah membuat cacah jiwa tentang kehidupan mereka. Catatan kuantitatif cacah jiwa tersebut dapat dipandang merupakan prekursor tabel hidup (life table) dalam bentuk yang paling primitif. Tabel hidup dalam arti yang sesungguhnya, yaitu tabel yang berisi proporsi (probabilitas) orang untuk melangsungkan hidupnya pada tiap-tiap umur, baru diciptakan 13 abad kemudian oleh John Graunt di Inggris (Rockett, 1999).
1. The Black Death Pada abad ke 13-14 terjadi epidemi penyakit dengan mortalitas tinggi di seluruh dunia, disebut The Black Death (penyakit sampar, pes, Bubonic plague). Penyakit sampar atau pes disebabkan oleh Yersinia pestis yang menginfeksi rodensia (terutama tikus), lalu menular ke manusia melalui gigitan kutu (flea). Penyakit sampar menyebabkan demam, pembengkakan kelenjar limfe, dan bercakbercak merah di kulit, sehingga wabah sampar disebut Bubonic Plague (‘bubo‘ 17
artinya inflamasi dan pembengkaan kelenjar limfe). The Black Death membunuh hampir 100 juta penduduk di seluruh dunia dalam tempo 300 tahun. Hampir sepertiga populasi Eropa (sekitar 34 juta) meninggal karena penyakit tersebut. Kematian dalam jumlah serupa terjadi pada penduduk China dan India. Timur Tengah dan benua Afrika juga mengalami epidemi tersebut. Meskipun jumlah total tidak diketahui, outbreak 1348 - 1349 diperkirakan telah membunuh 400,000 orang di Suriah (Rice dan McKay, 2001; Epic Disasters, 2010; Edmonds/ howstuffworks, 2010).
The Black Death dimulai pada awal 1330 ketika wabah sampar yang mematikan meletus di China. Pada waktu itu China merupakan pusat perdagangan paling ramai di dunia, sehingga epidemi sampar dengan cepat meluas ke Asia Barat dan Eropa. Pada Oktober 1347, sejumlah kapal dagang Italia kembali dari pelayaran di Laut Hitam yang merupakan kunci penghubung perdagangan Eropa dengan China. Ketika kapal berlabuh di bandar Messina di Sicilia, banyak penumpang kapal telah meninggal karena penyakit itu. Dalam waktu beberapa hari, penyakit menyebar ke seluruh kota dan sekitarnya. Korban penyakit sampar meninggal dengan cepat sehingga dilukiskan dengan ironis oleh penulis Italia, Giovanni Boccaccio, dalam bukunya ‘The Decameron‘ tahun 1351: "ate lunch with their friends and dinner with their ancestors in paradise..." para korban makan siang bersama teman-teman dan makan malam bersama nenek-
18
moyang di nirwana (Gambar 4)(Rice dan McKay, 2001; Epic Disasters, 2010; Edmonds/ howstuffworks, 2010). Mula-mula penduduk percaya, penyakit sampar disebabkan kutukan Tuhan‖. Salah satu cara yang dilakukan penduduk untuk mencegah epidemi adalah mengubur korban sampar yang meninggal secepatnya. Tetapi upaya itu ternyata tidak membantu menurunkan wabah. Orang menarik pelajaran bahwa satu-satunya cara yang efektif untuk mengatasi The Black Death adalah mengisolasi individu yang terkena penyakit sampar dan keluarganya atau bahkan seluruh penduduk desa ke dalam karantina selama 40 hari. Periode karantina pertama kali diberlakukan Oleh otoritas kesehatan di kota-kota Italia Utara pada akhir abad ke 14, kemudian secara bertahap diadopsi oleh seluruh Eropa selama 300 tahun sampai wabah sampar menghilang. Periode karantina 40 hari ditentukan berdasarkan pengamatan para dokter dan pejabat kesehatan di Italia pada masa itu bahwa waktu yang diperlukan sejak terpapar oleh agen infeksi hingga kematian berkisar 37-38 hari. Di kemudian hari diketahui dengan lebih terinci bahwa periode waktu itu terdiri atas periode laten 10-12 hari (sejak terpapar hingga terinfeksi), disusul dengan periode infeksi asimtomatis 20-22 hari (sejak terinfeksi hingga timbul tanda dan gejala klinis), disusul dengan 5 hari gejala klinis sebelum kematian. Jadi penderita mempunyai waktu 32 hari untuk membawa infeksi tanpa seorangpun mengetahuinya (Rice dan McKay, 2001; Connor, 2001; University of Liverpool, 2005) Secara tradisi The Black Death diyakini disebabkan oleh salah satu dari tiga bentuk Yersinia pestis (bubonik, pnemonik, dan spetikemik). Tetapi beberapa ilmuwan dewasa ini menduga, penyakit itu disebabkan suatu virus yang menyerupai Ebola atau antraks. Dua peneliti biologi molekuler dari Universitas Liverpool, 19
Profesor Christopher Duncan dan Susan Scott, menganalisis sejarah Bubonic Plague dan menerapkan biologi molekuler dengan modeling menggunakan komputer. Berdasarkan analisis, Duncan dan Scott mengemukakan teori bahwa agen penyebab wabah sampar bukan suatu bakteri melainkan filovirus yang ditularkan langsung dari manusia ke manusia. Filovirus memiliki pertalian dengan virus Ebola yang melanda beberapa negara Afrika akhir abad ke 20. Menurut Profesor Duncan, gejala The Black Death ditandai oleh demam mendadak, nyeri, perdarahan organ dalam, dan efusi darah ke kulit yang menimbulkan bercak-bercak di kulit, khususnya sekitar dada. Karena itu Duncan dan Scott menamai epidemi penyakit sampar ‘wabah hemoragis‘ (haemmorhagic plague), bukan Bubonic Plague yang lebih menonjolkan aspek pembesaran kelenjar limfe. Hasil riset Scott dan Duncan dipublikasikan dalam buku ‗Biology of Plagues‘, diterbitkan oleh Cambridge University Press (Connor, 2001; University of Liverpool, 2005).
2. CACAR DAN VAKSINASI EDWARD JENNER Pandemi Cacar. Cacar merupakan sebuah penyakit menular yang menyebabkan manifestasi klinis berat dan sangat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus Variola major atau Variola minor. Cacar disebut Variola atau Variola vera, berasal dari kata Latin ‘varius‘ yang berarti bercak, atau ‘varius‘ yang berarti gelembung kulit. Terma ‘smallpox‘ dalam bahasa Inggris digunakan pertama kali di Eropa pada abad ke 15 untuk membedakan cacar dengan ‘great pox‘ (sifilis). Masa inkubasi sekitar 12 hari. Virus cacar menempatkan diri di dalam pembuluh darah kecil di bawah kulit, mulut dan tenggorokan. Pada kulit penyakit ini menyebabkan keropeng (ruam) berbentuk makulopapular, kemudian membentuk gelembung kulit berisi cairan. Penderita cacar mengalami keropeng kulit, sehingga disebut ‘speckled monster‘ (monster bernoda). 20
Selain itu cacar menyebabkan kebutaan karena ulserasi kornea dan infertilitas pada penderita pria. Variola major lebih sering dijumpai, menyebabkan bentuk klinis yang berat, dengan lebih banyak keropeng kulit, panas yang lebih tinggi, dengan case fatality rate 30-35%. Angka kematian karena Variola major pada anak bisa mencapai 80%. Variola minor memberikan manifestasi klinis yang lebih ringan disebut alastrim, lebih jarang terjadi, dengan angka kematian sekitar 1% dari korban. Gambar 5 menunjukkan seorang gadis muda Bangladesh yang terinfeksi variola tahun 1973 (Wikipedia, 2010).
Gambar Seorang gadis Bangladesh terinfeksi cacar, Sumber: Wikipedia, 2010 Para ahli memperkirakan virus cacar mulai berevolusi dari bentuk virus yang menyerupai variola, ditularkan oleh sebuah rodensia (binatang pengerat) kuno di Afrika antara 16,000 dan 68,000 tahun yang lalu. Bentuk yang lebih berat diduga berasal dari Asia antara 400 dan 1600 tahun yang lalu. Alastrim minor, bentuk yang kedua ditemukan di Afrika barat dan benua Amerika, diduga telah berevolusi antara 1,400 dan 6,300 tahun yang lalu (Wikipedia, 2010). Cacar diduga telah menjangkiti populasi manusia sekitar 10,000 SM. Catatan sejarah dari Asia menunjukkan bukti adanya penyakit menyerupai cacar di China 21
kuno (1122 SM) dan India (1500 SM). Bukti fisik tertua tentang cacar ditunjukkan oleh lesi kulit pada mumi Firaun Ramses V dari Mesir yang meninggal 1157 SM. Terdapat spekulasi bahwa pedagang Mesir membawa cacar ke India selama milenium pertama SM, dan cacar menjadi penyakit endemik di India selama sedikitdikitnya 2000 tahun. Tetapi sumber lain mengatakan, cacar dibawa ke India oleh orang-orang Portugis. Gambaran cacar yang meyakinkan ditemukan pada abad ke 4 di China dan ke 7 di India. Cacar diduga memasuki China selama abad pertama dari arah Barat Daya, dan pada abad ke 6 dibawa dari China ke Jepang. Di Jepang epidemi 735-737 diyakini telah membunuh lebih dari sepertiga penduduk. Sekurangkurangnya tujuh dewa didedikasikan untuk cacar, seperti dewa Sopona di daerah Yoruba. Di India, dewi Hindu cacar, Sitala Mata, dipuja di candi-candi di seluruh negeri (Wikipedia, 2010aa; The College of Physicians of Philadelphia, 2010). Sejarah kehadiran cacar di Eropa dan Barat Daya Asia tidak begitu jelas. Cacar tidak disebut-sebut dalam Kitab Perjanjian Lama maupun Baru, maupun dalam literatur Yunani dan Romawi. Para ilmuwan sepakat bahwa tidak mungkin Hippocrates tidak mendeskripsikan penyakit yang serius itu jika memang terdapat di daerah Mediterania. Para sejarawan menduga wabah Antonia (Antonine Plague) yang melanda Kekaisaran Roma pada 165–180 mungkin disebabkan oleh cacar, dan bala tentara Arab untuk pertama kali membawa cacar dari Afrika ke Barat Daya Eropa selama abad ke 7 dan 8. Pada abad ke 9, seorang dokter Persia, Rhazes, memberikan gambaran yang jelas tentang cacar dan merupakan orang pertama yang membedakan cacar dengan campak dan cacar air (varicella, chickenpox) dalam Kitab fi al-jadari wa-al-hasbah‖ (―Buku Cacar dan Campak‖) yang ditulisnya (Wikipedia, 2010).
22
Pada Abad Pertengahan, cacar menyerang secara berkala di Eropa, menjadi endemis setelah jumlah penduduk meningkat dan perpindahan penduduk meningkat pada zaman Perang Salib. Pada abad ke 16 cacar melanda sebagian besar Eropa. Di India, China, dan Eropa, cacar terutama menjangkiti anak-anak, dengan epidemi berkala yang menyebabkan kematian 30% dari yang terinfeksi. Pada 1545 epidemi cacar di Goa, India, menelan korban 8,000 anak meninggal. Secara epidemiologis timbulnya cacar di Eropa memiliki arti penting, sebab gelombang eksplorasi dan kolonisasi yang terus menerus dilakukan orang-orang Eropa pada abad ke 16 telah menyebarkan penyakit itu ke seluruh dunia. Selama abad ke 18 penyakit ini membunuh sekitar 400,000 penduduk Eropa per tahun (meliputi masa pemerintahan lima kerajaan), dan menyebabkan sepertiga di antaranya buta (Wikipedia, 2010; The College of Physicians of Philadelphia, 2010). Pada akhir abad ke -18, sekitar 400,000 orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia karena cacar. Pada abad ke 20 cacar menyebabkan sekitar 300–500 juta kematian. Belum terlalu lama, pada 1967, World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta penduduk terjangkit penyakt itu dan 2 juta meninggal tahun itu. Setelah keberhasilan kampanye vaksinasi abad ke 19 dan 20, WHO menyatakan terbasminya cacar pada 1979. Dewasa ini cacar merupakan satu-satunya penyakit infeksi pada manusia yang telah terbasmi penuh dari alam. Sejak 430 SM, orang telah mencoba menemukan penyembuhan penyakit cacar. Pada zaman pertengahan, berbagai pengobatan herbal, pengobatan dingin, dan pakaian khusus, telah digunakan untuk mencegah atau mengobati cacar. Dr.Sydenham
(1624–1689)
mengobati
pasien-pasiennya
dengan
cara
menempatkannya di ruang tanpa pemanas api, membiarkan jendela-jendela terbuka selamanya, meletakkan kain seprei lebih rendah daripada pinggang penderita, dan 23
memberikan ―duabelas botol kecil bir setiap duapuluhempat jam sekali‖. Tetapi, cara yang paling berhasil untuk melawan cacar sebelum ditemukan vaksinasi adalah inokulasi. Terma inokulasi berasal dari kata Yunani ‗inculare‘, artinya mencangkok. Inokulasi adalah pencangkokan virus cacar subkutan pada individu non-imun. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan lanset yang dibasahi dengan materi segar yang diambil dari pustula (nanah) matang dari seorang penderita cacar. Lalu materi itu dimasukkan di bawah kulit pada lengan atau tungkai orang yang non-imun. Terma ‘inokulasi‘ digunakan bergantian dengan ‗variolasi‘ untuk merujuk kepada pengertian yang sama. Inokulasi telah diterapkan di Afrika, India, dan China, jauh hari sebelum diperkenalkan di Eropa pada abad ke 18. Variolasi bisa menurunkan kematian sampai sebesar 2 hingga 3% pada orang-orang yang divariolasi. Variolasi dengan cepat menjadi populer di semua strata, termasuk di kalangan aristokrat (karena banyak raja, pangeran, dan keluarga bangsawan terjangkit cacar) di Inggris, Perancis, Rusia, Prusia, bagian Eropa lainnya. Variolasi diperkenalkan di Amerika Utara melalui Boston. Tetapi variolasi bukan tanpa risiko. Sejumlah individu menjadi kebal, tetapi banyak pula yang menderita cacar, meninggal, atau menyebarkan cacar kepada orang lain. Bahkan penerima dapat menyebarkan penyakit lain seperti sifilis dan tuberkulosis melalui jalan darah (Riedel, 2005).
3. EDWARD JENNER (1749–1823). Edward Jenner adalah penemu metode pencegahan cacar yang lebih aman, disebut vaksinasi (Gambar 6). Jenner lahir di Berkeley, Gloucestershire pada 1749, anak seorang pendeta komunitas gereja (Parish) setempat bernama Stephen Jenner. Pada 1764 ketika berusia 14 tahun, dia magang pada seorang dokter bedah setempat bernama George Harwicke. Selama beberapa tahun dia banyak 24
memperoleh pengetahuan tentang praktik bedah dan kedokteran. Pada usia 21 tahun Jenner sekolah kedokteran di St. George‘s Hospital di London, dan menjadi murid John Hunter, seorang ahli bedah termashur, ahli biologi, anatomi, dan ilmuwan eksperimen. Pada 1772 dia kembali ke Berkely dan menghabiskan sebagian besar karirnya sebagai dokter di kota kelahirannya.
Gambar Edward Jenner (1749 – 1823). Sumber: BBC, 2010 Di masa remaja Jenner beredar keyakinan di kalangan penduduk pedesaan bahwa wanita pemerah susu yang pernah menderita cowpox (cacar sapi) ringan akan terlindungi dari penyakit cacar. Dia mendengar pengakuan salah seorang pemerah susu: "I can't take the smallpox for I have already had the cowpox". Cerita itu menimbulkan ide pada Jenner bahwa pencegahan cacar mestinya bisa dilakukan dengan cara memberikan bahan yang diambil dari penderita cowpox kepada individu sehat, dan terdapat mekanisme proteksi yang ditularkan dari orang yang terlindungi ke orang lain. Setelah melalui proses yang panjang baru pada 1796 Jenner mengambil langkah pertama yang berpengaruh besar dalam sejarah kemanusiaan. 25
Pada Mei 1796 Jenner melakukan eksperimen pertamanya yang kemudian menjadi sangat termashur. Jenner menemukan mengalami lesi seorang wanita muda pemerah susu, Sarah Nelms, yang tengah baru cowpox pada lengan dan tangannya. Jenner mengambil pus (nanah) dari pustula pada pemerah susu itu dan mencangkokkannya pada lengan seorang anak berusia 8 tahun bernama James Phipps. Anak tersebut mengalami demam ringan dan ketidaknyamanan pada ketiaknya. Sembilan hari setelah prosedur, anak itu mengalami kedinginan dan kehilangan selera makan, tetapi hari berikutnya merasa jauh lebih baik. Pada Juli 1796 Jenner melakukan inokulasi lagi, tetapi kali ini dengan materi segar dari lesi cacar. Ternyata Phipps tidak mengalami penyakit cacar, sehingga Jenner mengambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah terlindungi dengan sempurna (Gordis, 2000; Riedel, 2005) Temuan Jenner dicemoohkan. Kritik terutama dilancarkan oleh para pendeta yang menyatakan bahwa mencangkokkan materi dari hewan mati kepada seorang manusia merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak tidak diberkati Tuhan. Bahkan pada 1802 muncul sebuah kartun satiris yang menggambarkan orang-orang yang telah divaksinasi berkepala sapi. Pada 1797 Jenner mengirimkan sebuah paper berisi laporan pendek kepada the Royal Society tentang hasil eksperimen dan pengamatannya. The Royal Society menolak paper itu. Lalu setelah menambahkan beberapa kasus baru pada eksperimennya, Jenner menerbitkan sebuah buku pada 1798 bertajuk ―An Inquiry into the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae, a Disease Discovered in Some of the Western Counties of England, Particularly Gloucestershire and Known by the Name of Cow Pox‖. Jenner menamai prosedur baru itu vaksinasi, berasal dari kata latin ‘vacca‘ artinya sapi, dan ‘vaccinia‘ artinya cacar sapi (cowpox) (Rieldel, 2005). 26
Setelah
puluhan
tahun
dicemoohkan
akhirnya
Jenner
mendapatkan
pengakuan melalui bukti nyata tentang keuntungan dan proteksi yang dihasilkan vaksinasi yang lebih efektif dan aman daripada variolasi dan cara lainnya. Prosedur vaksinasi kemudian diterapkan secara luas di Inggris dan banyak negara lain. Meskipun mendapat pengakuan dan kehormatan di seluruh dunia, Jenner tidak mencoba memperkaya diri dengan penemuannya. Dia dedikasikan waktunya untuk meneliti vaksin cacar dan melayani vaksinasi gratis bagi orang miskin yang dilakukannya pada gubuk ‘Temple of Vaccinia‘ di tempat praktik di kota kelahirannya Berkeley.
Dia
meninggal
26
Januari
1823.
Berangsur-angsur
vaksinasi
menggantikan variolasi di Inggris dan dunia. Di India vaksinasi diperkenalkan pada 1802 oleh seorang dokter, Jean de Carro, untuk menggantikan variolasi. Variolasi dilarang dilakukan di Inggris pada 1840 (Riedel, 2005, BBC, 2010; The College of Physicians of Philadelphia, 2010). Pada akhir abad ke 19 disadari bahwa vaksinasi tidak memberikan imunitas seumur hidup, sehingga diperlukan revaksinasi. Mortalitas karena cacar telah menurun, tetapi epidemic yang masih terjadi menunjukkan bahwa penyakit itu belum dapat dikendalikan sepenuhnya. Pada 1950an setelah dilakukan sejumlah langkahlangkah pengendalian, cacar telah berhasil dibasmi di banyak daerah di Eropa dan Amerika Utara. Gerakan global pembasmian cacar dicanangkan pada sidang the World Health Assembly pada 1958 setelah diterima laporan tentang akibat-akibat katasrofik dari cacar yang terjadi di 63 negara. Kampanye global melawan cacar yang dipimpin WHO akhirnya berhasil membasmi cacar pada 1977. Pada Mei 1980, WHO mengumumkan bahwa dunia telah bebas dari cacar dan merekomendasikan agar semua negara berhenti melakukan vaksinasi. Pernyataan WHO: The world and all its people have won freedom from smallpox, which was the most devastating 27
disease sweeping in epidemic form through many countries since earliest times, leaving death, blindness and disfigurement in its wake‖ (Riedel, 2005; BBC, 2010). Edward Jenner dengan eksperimennya telah berjasa besar menyelamatkan ratusan juta manusia di seluruh dunia dari kecacatan dan kematian karena cacar. Satu hal perlu dicatat, pada era Jenner (abad ke 17) belum dikenal virologi. Jenner sendiri meskipun diakui sebagai Bapak Imunologi, sesungguhnya bukan ahli virologi dan tidak tahu menahu tentang virus maupun biologi penyakit cacar. Virologi baru dikenal abad ke 18, dan virus cacar baru ditemukan beberapa dekade setelah Jenner meninggal. Tetapi kemajuan-kemajuan ilmiah yang terjadi selama dua abad sejak eksperimen Edward Jenner pada James Phipps telah memberikan bukti-bukti bahwa Jenner lebih banyak benarnya daripada salahnya. Teori kuman (Germ Theory) tentang penyakit, penemuan dan studi tentang virus, serta pengetahuan modern tentang imunologi, semuanya cenderung mendukung konklusi Jenner (Riedel, 2005; BBC, 2010). Jenner sebenarnya bukan orang pertama yang melakukan vaksinasi. Menurut Riedel (2005),
ada orang yang
lebih dulu melakukan vaksinasi
dengan
menggunakan materi cacar sapi, yaitu Benjamin Jesty (1737–1816). Ketika daerahnya pertama kali dilanda cacar pada 1774, Jesty berikhtiar melindungi nyawa keluarganya. Jesti menggunakan kelenjar susu ternak sapi yang dia yakini mengandung cacar sapi, dan memindahkan materi itu dengan sebuah lanset kecil ke lengan istri dan kedua anak laki-lakinya. Ketiga serangkai terbebas dari cacar meskipun di kemudian hari beberapa kali terpapar cacar. Tetapi Jestypun bukan orang pertama dan terakhir yang melakukan eksperimen vaksinasi. Cara berpikir Jenner yang bebas dan progresif telah berhasil memanfaatkan data eksperimental dan observasi untuk upaya pencegahan penyakit. Selain itu Jenner berhasil 28
meyakinkan dunia bahwa prosedur ilmiahnya benar. Tulis Francis Galton: ―In science credit goes to the man who convinces the world, not the man to whom the idea first occurs‖ (Riedel, 2005; BBC, 2010).
4. PANDEMI KOLERA Pada 1816-1826 terjadi pandemi pertama kolera di berbagai bagian dunia. Penyakit itu menyerang korban dengan diare berat, muntah, sering kali berakibat fatal. Pandemi dimulai di Bengal (India), lalu menyebar melintasi India tahun 1820. Sebanyak 10,000 tentara Inggris dan tak terhitung penduduk India meninggal selama pandemi tersebut. Pandemi kolera meluas ke China, Indonesia (lebih dari 100,000 orang meninggal di pulau Jawa saja), dan Laut Kaspia, sebelum akhirnya mereda. Kematian di India antara 1817-1860 diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta jiwa. Sebanyak 23 juta jiwa lainnya meninggal antara 1865-1917. Kematian penduduk di Rusia pada periode yang sama mencapai lebih dari 2 juta jiwa. Pandemi kolera kedua terjadi 1829-1851, mencapai Rusia, Hungaria (sekitar 100,000 orang meninggal) dan Jerman pada 1831, London pada 1832 (lebih dari 55,000 orang meninggal di Inggris), Perancis, Kanada (Ontario), dan Amerika Serikat (New York) pada tahun yang sama, pantai Pasifik Amerika Utara pada 1834. Outbreak selama dua tahun terjadi di Inggris dan Wales pada 1848 dan merenggut nyawa 52,000 jiwa (Wikipedia, 2010a).
5. INFLUENZA BESAR (1918 - 1919 ) Pada Maret 1918 hingga Juni 1920 terjadi pandemi luar biasa yang disebut Influenza Besar (Flu Spanyol, The Great Influenza) (Gambar 7). Peristiwa itu dianggap pandemi yang paling mematikan dalam sejarah kemanusiaan. Penderita 29
flu meninggal dalam tempo beberapa hari atau beberapa jam sejak gejala klinis. Virus influenza strain subtipe H1N1 yang sangat virulen diperkirakan menyerang 500 juta orang di seluruh dunia dan membunuh 50 hingga 100 juta orang hanya dalam waktu 6 bulan. Tidak seperti outbreak influenza lainnya, wabah Flu Spanyol tidak hanya menyerang orang dewasa tetapi juga anak-anak. Sebuah studi mengatakan, wabah itu menyerang 8-10 persen dari semua dewasa muda (eHow, 1999; Epic Disasters, 2010)
Pandemi Flu diperparah karena kondisi selama Perang Dunia I, khususnya berkumpulnya sejumlah besar pemuda di barak-barak militer. Flu tersebut dimulai dari mutasi terbatas di Haskell Country, Kansas (AS), lalu ditularkan melalui perpindahan masif serdadu Amerika dari basis ke basis, selanjutnya disebarkan ke seluruh dunia melalui perjalanan internasional para serdadu. Salah satu penderita adalah Presiden AS waktu itu, Woodrow Wilson, yang terkena flu pada akhir perang. Untuk mencegah penularan dianjurkan untuk tidak melakukan pertemuan kelompok, dan pemakamam wajib dilakukan dalam tempo 15 menit (eHow, 1999; Epic Disasters, 2010). Sebuah riset yang dilakukan dengan menggunakan sampel jaringan beku dari korban untuk mereproduksi virus, menyimpulkan, virus membunuh korban via ―badai 30
sitokin‖ (over-reaksi sistem imun tubuh dengan terbentuknya sitokin proinflamasi). Temuan itu dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa virus flu tersebut menjadi sangat virulen, dan mengapa distribusi penyakit terkonsentrasi pada kelompok umur tertentu. Over-reaksi sistem imun menyebabkan kerusakan dahsyat pada tubuh dewasa muda (seperti serdadu AS) yang memiliki sistem imun kuat, tetapi menyebabkan jumlah kematian yang lebih sedikit pada anak-anak dan dewasa tua yang memiliki sistem imun lebih lemah (Wikipedia, 2010). Pandemi flu besar memang dahsyat, karena pada waktu itu jumlah penduduk di dunia hanya 1.8 milyar. Seandainya Flu Spanyol itu terjadi sekarang dengan cara transmisi sama, maka wabah seperti itu bisa menyebabkan kematian 350 juta orang dalam tempo 6 bulan. Skenario seperti itu menyebabkan media massa dan banyak kalangan khawatir akan terulang ketika epidemi flu burung merebak pada pertengahan dekade 2000.
C.PERKEMBANGAN STATISTIK VITAL John Graunt (1620-1674). Sejak 1538 setiap pemakaman jenazah pada komunitas-komunitas gereja (Parish) di Inggris harus disertai dokumen agar pemakaman tersebut legal. Dokumen itu merupakan prekursor (cikal) surat kematian modern yang dikenal dewasa ini. Para carik (clerk, juru tulis) dari masing-masing Parish mengkompilasi jumlah kematian setiap minggu dan setiap tahun. Kompilasi itu disebut Bills of Mortality. Bills of Mortality dibuat secara teratur tiap minggu, dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada otoritas dan penduduk tentang peningkatan atau penurunan jumlah kematian, khususnya sehubungan dengan wabah sampar (The Black Death) yang tengah melanda Inggris dan Eropa pada masa itu. Sejak 1570 Bills of Mortality 31
mencatat pula pembaptisan (umumnya kepada bayi, kadang-kadang orang dewasa), 1629 tentang kausa kematian, dan awal abad ke 18 tentang umur saat kematian (Answers Corporation, 2010; Last, 2010). Medio abad ke 17 seorang pedagang pakaian (haberdasher) di London bernama John Graunt tertarik untuk memperbaiki Bills of Mortality di London. John Graunt memanfaatkan catatan kelahiran dan kematian untuk mempelajari fluktuasi epidemi sampar dan pengaruhnya terhadap jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Graunt meragukan klaim estimasi jumlah penduduk London yang dianggapnya terlalu besar. Karena itu dia menciptakan metode untuk menghitung populasi berdasarkan jumlah kelahiran dan pemakaman mingguan yang terdaftar pada Bills of Mortality. Populasi London menurut hitungannya 384,000 orang, jauh lebih rendah daripada taksiran sebelumnya sebesar 2 juta jiwa (Answers Corporation, 2010). Graunt menggunakan sejumlah tabel untuk lebih memperjelas analisis perhitungannya. Sebagai contoh, dengan sebuah tabel Graunt menunjukkan, kelahiran anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, tetapi jumlah lakilaki tidak lebih banyak daripada perempuan ketika mereka melewati masa kanakkanak. Analisis Graunt, hal itu terjadi karena laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar daripada perempuan untuk berpindah, mengalami kecelakaan, meninggal karena perang, atau dihukum mati. Graunt juga menemukan, angka kematian lebih tinggi pada daerah urban daripada rural, dan bervariasi menurut musim (Rocket, 1999; Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010). Graunt
sampai
pada
kesimpulan
bahwa
kelahiran
dan
kematian
sesungguhnya bervariasi secara teratur, karena itu dapat diramalkan. Lalu Graunt menciptakan sebuah tabel untuk memeragakan berapa banyak individu dari sebuah populasi terdiri atas 100 individu yang akan bertahan hidup pada umur-umur 32
tertentu. Tabel temuan John Graunt ini disebut ‘tabel hidup‘ (life table, tabel mortalitas). Dengan tabel hidup dapat diprediksi jumlah orang yang akan mampu melangsungkan hidupnya pada masing-masing usia dan harapan hidup kelompokkelompok orang dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, dengan tabel hidup dapat diestimasi berapa proporsi dari anak yang lahir hidup akan meninggal sebelum mencapai usia 6 tahun. Estimasi Graunt, 36% anak lahir hidup akan meninggal karena semua sebab sebelum mencapai usia 6 tahun.
Gambar Natural and Political Observations oleh John Graunt (Sumber: Wikipedia, 2010e)
Graunt
mempublikasikan
karyanya
dalam
Natural
and
Political
Observations … Made upon the Bills of Mortality‖ pada 1662 (Gambar ). Buku tersebut sangat populer dan diterima oleh banyak kalangan, sehingga diterbitkan sampai 5 edisi. Karena buku itu maka Graunt diangkat sebagai anggota the Royal Society dengan rekomendasi langsung Charles II, suatu kehormatan yang tidak biasa dianugerahkan kepada seorang pedagang di London. Graunt sendiri sesungguhnya tidak memiliki pendidikan formal matematika. Para ahli sejarah menduga, buku Graunt banyak mendapatkan bantuan dari temannya yang 33
berpendidikan lebih tinggi, William Petty (1623-1687) (Rockett, 1999; Saracci, 2010; Wikipedia, 2010e; Answers Corporation, 2010). Pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 tabel hidup Graunt disempurnakan oleh matematikawan dan astronom termashur Edmund Halley (1656–1742) dan Antoine de Parcieux. Dewasa ini tabel hidup yang diciptakan John Graunt masih merupakan salah satu instrumen utama dalam demografi, epidemiologi, dan sains aktuarial (misalnya, asuransi). Ahli epidemiologi menggunakan tabel hidup untuk menghitung harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) sebagai salah satu indikator utama status kesehatan populasi.
Tabel
hidup
juga
digunakan
untuk
menganalisis
probabilitas
kelangsungan hidup seorang pasien dengan suatu diagnosis penyakit dengan atau tanpa pengobatan. Karena penemuannya yang signifikan di bidang statistik vital, maka John Graunt disebut ―Columbus biostatistik‖(Rocket, 1999; Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010; Videojug, 2010).
D.EPIDEMIOLOGI MODERN 1. JOHN SNOW (1813-1858). Pada paroh pertama abad ke 19 terjadi pandemi kolera di berbagai belahan dunia. Epidemi kolera menyerang London pada tahun 1840an dan 1853 - 1854. Pada zaman itu sebagian besar dokter berkeyakinan, penyakit seperti kolera dan sampar (The Black Death) disebabkan oleh ‘miasma‘ (udara kotor) yang dicemari oleh bahan organik yang membusuk. Seorang dokter bernama John Snow memiliki pandangan yang sama sekali berbeda dengan dokter lainnya (Gambar ). Pada waktu itu belum dikenal Teori Kuman (Germ Theory).
34
John Snow tidak mengetahui agen etiologis yang sesungguhnya menyebabkan penyakit. Tetapi berdasarkan bukti-bukti yang ada, Snow yakin bahwa penyebab penyakit bukan karena menghirup udara kotor. Snow, yang juga dikenal sebagai pendiri
anestesiologi,
megmeukakan
hipotesis
bahwa
penyebab
yang
sesungguhnya adalah air minum yang terkontaminasi tinja (feses). Snow mempublikasikan teorinya untuk pertama kali dalam sebuah esai "On the Mode of Communication of Cholera" pada 1849. Edisi kedua diterbitkan pada 1855, memuat hasil investigasi yang lebih terinci tentang efek suplai air pada epidemi 1854 di Soho, London (Rockett, 1999; Wikipedia, 2010b; Academic dictionaries and encyclopedias, 2010) September 1854, Snow melakukan investigasi outbreak kolera di distrik Soho, London. Hanya dalam tempo 10 hari 500 orang meninggal karena penyakit itu. John Snow, menggambarkan keadaan itu "the most terrible outbreak of cholera which ever occurred in the United Kingdom". Hasil analisis Snow menemukan, kematian karena kolera mengelompok di seputar 250 yard dari sumber air minum yang banyak digunakan penduduk, yaitu pompa air umum yang terletak di Broad Street (kini Broadwick Street) (Gambar). 35
Snow mendeskripsikan pola penyebaran kasus kolera dan lokasi pompa air minum dalam sebuah spotmap. Spotmap merupakan sebuah metode yang lazim digunakan dalam investigasi outbreak dewasa ini. Snow melaporkan temuan
kepada
pihak
berwenang
setempat,
disertai
dugaan
tentang
penyebabnya. Dia meminta otoritas setempat untuk melarang penggunaan pompa Broad Street. Hasil investigasi Snow rupanya cukup meyakinkan para otoritas sehingga penggunaan pompa air umum dihentikan, dan segera setelah itu tidak ada lagi kematian karena kolera di Soho dan sekitarnya (Rockett, 1999; Wikipedia, 2010b). John Snow melanjutkan investigasinya dengan sebuah riset epidemiologi yang lebih formal dan terkontrol, disebut eksperimen alamiah (natural experiment) di London pada 1854. Investigasi itu bertujuan menguji hipotesis bahwa kolera ditularkan melalui air yang terkontaminasi. Pada waktu itu, rumah tangga di London memperoleh air minum dari dua peru-sahaan air minum swasta: Lambeth Company. Southwark-Vauxhall. Air yang disuplai berasal dari bagian hilir Sungai Thames yang paling tercemar. Suatu saat Lambeth Company mengalihkan sumber air ke bagian hulu Sungai Thames yang kurang tercemar, sedang Southwark-Vauxhall tidak memindahkan lokasi sumber air. Jadi investigasi Snow disebut eksperimen karena meneliti efek dari perbedaan sumber air minum sebagai suatu intervensi yang diberikan kepada populasi -populasi yang berbeda. Eksperimen itu disebut alamiah karena Snow sebagai peneliti tidak dengan sengaja membuat terjadinya perbedaan suplai air minum. Tetapi Rothman (1986) dalam bukunya ‘Modern Epidemiology‘ mengatakan, studi Snow yang disebut natural experiment itu sesungguhnya sama sebangun dengan studi kohor yang 36
dikenal setengah abad kemudian pada awal abad ke 20. Snow merumuskan hipotesis,
kematian
karena
kolera
lebih
rendah
pada
penduduk
yang
mendapatkan air dari Lambeth Company daripada memperoleh air dari Southwark-Vauxhall. Dalam mengumpulkan data, John Snow berjalan kaki dari rumah ke rumah, melakukan wawancara dengan setiap kepala rumah tangga, menghitung kematian karena kolera pada setiap rumah, dan mencatat nama perusahaan penyedia air minum yang memasok masing-masing rumah, sehingga kegiatannya itu terkenal dengan sebutan ‘shoe-leather epidemiology‘ (Gordis, 2000; Last, 2001). Menunjukkan, angka kematian karena kolera pada distrik yang disuplai air minum dari Southwark and Vauxhall Company 5.0 per 1000 populasi, jadi 5 kali lebih banyak daripada distrik yang disuplai Lambeth Company. Angka kemaian itu dua kali lebih besar daripada distrik yang disuplai oleh kedua perusahaan air minum. Hasil pengamatan itu konsisten dengan hipotesis Snow bahwa risiko kematian karena kolera lebih tinggi pada penduduk yang mendapatkan air minum dari Southwark-Vauxhall Company ketimbang penduduk yang memperoleh air dari Lambeth Company (Saracci, 2010). Modern. Ketiga tokoh bersama-sama membawa epidemiologi dari ‘sekedar‘ berfungsi untuk mendeskripsi distribusi penyakit dan kematian pada populasi, menjadi epidemiologi yang berfungsi untuk menganalisis dan menjelaskan kausa distribusi penyakit dan kematian pada populasi. Kontribusi epidemiologis ketiga tokoh tersebut mencakup konsep pengujian hipotesis, suatu metode ilmiah yang diperlukan untuk memajukan sains apapun (Rockett, 1999; Wikipedia, 2010).
37
2. WILLIAM FARR (1807 -1883). Tahun 1839-1880 seorang dokter bernama William Farr mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Statistik pada General Register Office (Kantor Registrasi Umum) di Inggris dan Wales (Gambar ). William Farr yang merupakan kawan John Snow, adalah seorang ahli demografi, ilmuwan aktuarial, ahli statistik kedokteran, pembuat teori epidemi, reformis sosial, dan aktivis kemanusiaan. Farr memberikan
dua
buah
kontribusi
penting
bagi
epidemiologi,
yaitu
mengembangkan sistem surveilans kesehatan masyarakat, dan klasifikasi penyakit yang seragam. Dengan jabatan yang diembannya, selama 40 tahun Farr mengembangkan sistem pengumpulan data rutin statistik vital tentang jumlah dan penyebab kematian, dan menerapkan data tersebut untuk mengevaluasi masalah kesehatan masyarakat, yang dewasa ini dikenal sebagai surveilans kesehatan masyarakat. Surveilans kesehatan masyarakat menurut definisi sekarang adalah ―pengumpulan, analisis dan interpretasi data (misalnya, tentang agen/ bahaya, faktor risiko, paparan, peristiwa kesehatan) secara terus-menerus dan sistematis, yang esensial untuk perencanaan, implementasi, dan evaluasi praktik kesehatan masyarakat, diintegrasikan dengan diseminasi data dengan tepat waktu kepada mereka yang bertanggungjawab dalam pencegahan dan pengendalian penyakit‖ (CDC, 2010). Alexander Langmuir dalam artikelnya bertajuk ―William Farr: Founder of Modern Concepts of Surveillance‖ pada International Journal of Epidemiology 1976, memberikan kredit kepada William Farr sebagai patron yang patut diteladani tentang bagaimana seharusnya mengimplementasi surveilans. Sebagai Kepala Bagian Statistik Kantor Registrasi Umum, Farr tidak hanya mempengaruhi dan menentukan karakter dan kualitas data yang dikumpulkan tentang kelahiran, 38
kematian, dan perkawinan, tetapi juga mengontrol analisisnya. William Farr telah memeragakan nilai surveilans dalam praktik kesehatan masyarakat. Kunci keberhasilan Farr dalam mengoptimalkan penggunaan hasil surveilansnya terletak pada hubungan kerja yang baik, kontinu, berjangka panjang, yang dibinanya dengan Registrar General, yaitu Walikota George Graham (Langmuir, 1976). Berikut disajikan ilustrasi salah satu analisis data vital yang dilakukan Farr. William Farr hidup sezaman dengan John Snow. Di London waktu itu tengah dilanda epidemi kolera. Seperti halnya Snow, Farr melakukan analisis data epidemi kolera. Dia mengemukakan teori bahwa epidemi disebabkan oleh ―miasma‖ yang artinya ―udara buruk‖. Farr mengemukakan ―hukum epidemi‖ (Farr‘s law of epidemics) bahwa risiko kolera berhubungan terbalik dengan ketinggian. Penduduk yang bermukim di tempat rendah (yaitu, tempat yang berkualitas udara lebih buruk) berisiko lebih besar untuk terkena kolera (dan kematian karena kolera) daripada tempat tinggi (udara lebih baik). Farr mengumpulkan data. Data menunjukkan terdapat korelasi kuat antara kejadian kolera yang teramati dan diprediksi berdasarkan tingkat elevasi di atas Sungai Thames (Gambar). Data tersebut mendukung hipotesis Farr bahwa makin rendah elevasi, makin tinggi risiko kematian karena kolera.
39
Kematian per 10,0 00pe ndud ukKematianko lerap er10 .00
0
100
*
80 *
60 °
40 *
*
*
°
°
20
*
* °
20
40
60
80
100
120
340
360
Ketinggian dari permukaan hilir S. Thames (kaki)
Ketinggian dari permukaan hilir Sungai Thames (kaki)
*
*
Kematian teramati Kematian yang teramati
°
°
Prediksi kematian menurut Teori Miasma
Kematian yang diprediksi oleh Teori Miasma
Sumber: Langmuir, 1961
Gambar Korelasi kematian karena kolera dan ketinggian (Sumber: Langmuir, 1976) Beberapa puluh tahun kemudian diketahui bahwa bukan elevasi tempat ataupun udara yang memiliki hubungan kausal dengan kematian kolera, melainkan suatu mikroba spesifik yang disebut Vibrio cholera, sehingga teori miasma gugur. Suatu jenis kesalahan metodologis yang bisa terjadi pada studi ekologis (studi korelasi) yang menarik kesimpulan tentang hubungan paparanpenyakit pada level individu berdasarkan hasil analisis hubungan paparanpenyakit pada level ekologis, kini dikenal sebagai ‘kesalahan ekologis‘ (ecologic fallacy). Meskipun demikian kekeliruan itu tidak mengecilkan kontribusi besar William Farr. Pada zaman William Farr belum tersedia data tentang agen spesifik etiologi kolera, tetapi Farr telah memanfaatkan data epidemiologi yang tersedia dengan optimal untuk menganalisis tentang penyebab epidemi kolera. Sebagai seorang ilmuwan Farr segera merevisi kesimpulannya ketika tersedia data baru yang lebih baik. Diskrepansi antara hukum epidemi yang dikemukannya dan merebaknya outbreak di Inggris tahun 1866 telah membuat Farr menyimpulkan bahwa miasma bukan agen etiologi kolera. William Farr juga menunjukkan
40
profesionalisme dengan kesediaannya memberikan data mortalitas untuk kepentingan studi Snow yang termashur tentang kolera di London. Farr memberikan dukungan kepada hipotesis Snow dengan menunjukkan bahwa perusahaan air minum tertentu di London telah lalai memasarkan dan memasok air minum yang tidak difiltrasi, sehingga menjebabkan penularan bakteri kolera. Karena kontribusi besar yang diberikan dalam pengembangan surveilans modern, yaitu pengumpulan data rutin dan analisis data statistik vital yang memudahkan studi epidemiologi dan upaya kesehatan masyarakat, maka William Farr disebut sebagai Bapak Konsep Surveilans Modern (Langmuir, 1976; Lilienfeld, 2007). Kontribusi Farr lainnya yang penting untuk epidemiologi adalah klasifikasi penyakit dan kausa kematian yang seragam sehingga statistik vital yang dihasilkan dapat diperbandingkan secara internasional. Pada Annual Report of the Registrar General yang pertama, Farr menyatakan: ―The advantages of a uniform statistical nomenclature, however imperfect, are so obvious, that it is surprising no attention has been paid to its enforcement in Bills of Mortality…..Nomenclature is of as much importance in this department of inquiry as weights and measures in the physical sciences and should be settled without delay‖
Keuntungan nomenklatur (penamaan) statistik yang seragam, meski
belum sempurna, sudah jelas, sehingga mengherankan penegakannya tidak mendapatkan perhatian dalam Bills of Mortality…Nomenklatur sama pentingnya dalam upaya mencari pengetahuan dengan bobot dan ukuran dalam ilmu fisika, dan hendaknya ditentukan tanpa penundaan‖ (Langmuir, 1976; Lilienfeld, 2007, WHO, 2010).
41
Farr merealisasi gagasannya dengan mengembangkan sebuah sistem baru nosologi. Nosologi (dari kata Yunani ―nosos‖ - penyakit, dan ―logos‖- ilmu) adalah cabang kedokteran yang mempelajari klasifikasi penyakit. Pada Kongres Statistik Internasional kedua di Paris 1855, Farr mengemukakan klasifikasi penyakit ke dalam lima kelompok: penyakit epidemik, penyakit konstitusional (umum), penyakit lokal yang ditata menurut lokasi anatomis, penyakit terkait dengan perkembangan (development), dan penyakit akibat langsung dari kekerasan. Delegasi dari Geneva, Marc d'Espine, mengusulkan klasifikasi penyakit menurut sifatnya (gouty, herpetik, hematik, dan sebagainya). Kongres itu akhirnya mengadopsi daftar kompromi yang terdiri atas 139 rubrik (kategori). Sistem klasifikasi penyakit dan cedera yang dikembangkan William Farr (dan Marc d'Espine) merupakan prekursor International Classification of Diseases (ICD) dan International List of Causes of Death yang digunakan negara-negara dewasa ini untuk mencatat kejadian penyakit, maupun kausa morbiditas dan mortalitas (Langmuir, 1976; Lilienfeld, 2007; WHO, 2010).
E. TEORI KUMAN (THE GERM THEORY) Teori Kuman (The Germ Theory, Pathogenic Theory of Medicine ) adalah teori yang menyatakan bahwa beberapa penyakit tertentu disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke dalam tubuh. Abad ke 19 merupakan era kejayaan Teori Kuman di mana aneka penyakit yang mendominasi rakyat berabad-abad lamanya diterangkan dan diperagakan oleh para ilmuwan sebagai akibat dari mikroba. Epidemiologi berkembang seiring dengan berkembangnya mikrobiologi dan parasitologi. Jacob Henle (1809-1885?), Louis Pasteur (1822–1895), Robert Koch (1843 –1910), dan Ilya Mechnikov (1845–1916) merupakan beberapa di antara 42
figur sentral di era kuman (Gerstman, 1998). Teknologi yang memungkinkan timbulnya Teori Kuman dan mikroskop dan biakan (kultur) kuman.
1. ANTON VAN LEEUWENHOEK (1632-1723). Figur yang berjasa bagi kemanusiaan karena menemukan mikroskop adalah Anton van Leeuwenhoek. Van Leeuwenhoek seorang saudagar dari Delft, Holland. Van Leeuwenhoek berasal dari keluarga pedagang, tidak menyandang gelar sarjana, tidak menguasai bahasa lain kecuali bahasa Belanda. Latar belakang tersebut menyebab-kan sepanjang hidupnya teralienasi dari komunitas ilmiah. Tetapi berkat keterampilan, ketekunan, rasa keingintahuan (curiosity) yang kuat, serta pikiran yang terbuka dan bebas dari dogma ilmiah di masanya, Leeuwenhoek menemukan banyak temuan yang sangat penting dalam sejarah biologi. Leeuwenhoek adalah orang yang pertama kali menemukan bakteri, parasit yang hidup bebas bernama protista, nematoda dan rotifera mikroskopis, sel sperma, sel darah, dan masih banyak lagi. Anton van Leeuwenhoek beruntung karena akhirnya mendapatkan pengakuan dan pujian karena penemuannya. Hasil-hasil risetnya dipublikasikan, disebarluaskan, dan membuka mata para ilmuwan tentang luasnya kehidupan di bawah mikroskop. Anton van Leeuwenhoek dikenal sebagai Bapak Mikrobiologi (UC at Berkeley, 2007).
2. LOUIS PASTEUR (1822 – 1895). Louis Pasteur adalah ahli kimia dan mikrobiologi dari Perancis, lahir di Dole (Gambar ). Dia dikenang karena terobosannya monumental di bidang kausa dan pencegahan penyakit. Pasteur memeragakan bahwa fermentasi (peragian) disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme. Melalui eksperimen Pasteur 43
membuktikan bahwa timbulnya bakteri pada agar nutrien bukan disebabkan oleh Pertumbuhan Spontan melainkan proses biogenesis (omne vivum ex ovo) melalui reproduksi.
Pertumbuhan
Spontan
(Spontaneous
Generation,
Equivocal
Generation, abiogenesis) merupakan teori kuno bahwa kehidupan (khususnya penyakit) berasal dari benda mati, dan proses ini bisa terjadi pada kehidupan sehari-hari. Teori itu dikompilasi oleh filsuf Yunani, Aristoteles. Temuan Pasteur membuktikan kebenaran Teori Kuman dan menjatuhkan teori Pembentukan Spontan tentang terjadinya penyakit (Wikipedia, 2010). Sumbangan Pasteur yang signifikan lainnya terletak pada penemuan cara yang efektif pencegahan penyakit infeksi. Pasteur menciptakan vaksin pertama untuk rabies, antraks, kolera, dan beberapa penyakit lainnya. Temuan Pasteur tentang vaksin merupakan karya revolusioner, karena berbeda dengan cara yang dilakukan Edward Jenner sebelumnya, dia menciptakan vaksin secara artifisial. Pasteur tidak menggunakan materi virus cacar sapi dari sapi yang sakit, melainkan menumbuhkan virus pada kelinci, lalu melemahkannya dengan cara mengeringkan jaringan syaraf yang terkena. Dengan cara yang sama Pasteur bersama seorang dokter Perancis dan rekan Pasteur, Emile Roux, menciptakan vaksin rabies. Produk itu diberi nama vaksin untuk menghormati Edward Jenner (Wikipedia, 2010). Seperti yang dilakukan Jenner, vaksin rabies pertama kali dicobakan pada manusia pada anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Joseph Meister pada 1885. Anak itu baru saja mendapat gigitan parah dari seekor anjing gila. Pasteur mempertaruhkan
dirinya
ketika
melakukan
eksperimen
itu,
sebab
dia
sesungguhnya bukan seorang dokter yang berizin praktik, sehingga berisiko menghadapi tuntutan hukum karena mengobati anak itu. Setelah berkonsultasi 44
dengan
para
rekan
sejawat,
Pasteur
memutuskan
untuk
meneruskan
pengobatannya. Beruntung Meister tidak mengalami penyakit. Pasteur dianggap telah menyelamatkan nyawa anak tersebut, meskipun anggapan itu belum tentu benar, karena risiko untuk terkena rabies setelah paparan (meskipun tanpa vaksinasi) diperkirakan sekitar 15%. Pasteur dipuji sebagai pahlawan dan tidak menghadapi tuntutan hukum. Keberhasilan pembuatan vaksin secara artifisial itu meletakkan dasar bagi produksi vaksin dalam skala besar dewasa ini (Wikipedia, 2010). Selain vaksin, Pasteur (bersama dengan Claude Bernard) dikenal oleh masyarakat luas karena menemukan metode untuk membunuh bakteri dalam susu dan anggur dengan pemanasan sehingga tidak menyebabkan penyakit pada 1862, disebut pasteurisasi (Wikipedia, 2010). Pasteur bukan orang pertama yang mengemukakan Teori Kuman. Sejumlah ilmuwan lainnya lebih dulu mengemukakannya, seperti Francesco Redi, Girolamo
Fracastoro,
Agostino
Bassi,
Friedrich
Henle.
Tetapi
Pasteur
mengembangkan Teori Kuman, melakukan eksperimen yang membuktikan kebenaran teori itu, dan berhasil meyakinkan sebagian besar Eropa bahwa Teori Kuman benar. Kini Louis Pasteur dipandang sebagai salah satu Bapak Teori Kuman, Pendiri Mikrobiologi dan Bakteriologi, bersama dengan Ferdinand Cohn dan Robert Koch. Selama lebih dari seabad lembaga riset biomedis yang didirikannya, yaitu Institut Pasteur, beserta jaringannya yang tersebar di seluruh dunia, berada di garis terdepan dalam gerakan melawan penyakit infeksi. Selama puluhan tahun Institut Pasteur menemukan terobosan-terobosan dalam studi biologi, mikro-organisme, penyakit, dan vaksin, yang memungkinkan sains kedokteran mengendalikan berbagai penyakit virulen, seperti difteri, tetanus, 45
tuberkulosis, poliomyelitis, influenza, demam kuning, dan sampar. Institut Pasteur merupakan yang pertama mengisolasi HIV, virus penyebab AIDS, pada 1983. Sejak 1908 delapan ilmuwan Pasteur menerima Hadiah Nobel untuk kedokteran dan fisiologi (Wikipedia, 2010abc; Academic Dictionaries and Encyclopedias, 2010).
3. ROBERT KOCH (1843-1910). Robert Koch adalah serorang ahli bakteriologi Jerman (Gambar 14). Dia belajar di Göttingen di bawah bimbingan mentornya, Jacob Henle . Sebagai praktisi di pedalaman di Wollstein, Posen (kini Wolsztyn, Polandia), Koch mengabdikan sebagian besar waktunya untuk melakukan studi mikroskopis tentang bakteri. Koch tidak hanya menciptakan metode pewarnaan dengan pewarna anilin tetapi juga teknik kultur bakteri, suatu teknik standar mikrobiologi yang masih digunakan sampai sekarang. Koch menemukan bakteri dan mikroorganisme penyebab berbagai penyakit infeksi, meliputi antraks (1876), infeksi luka (1878), tuberkulosis (1882), konjunktivitis (1883), kolera (1884), dan beberapa lainnya (Encyclopedia, 2010; Wikipedia, 2010). Robert Koch adalah professor pada Universitas Berlin dari 1885 sampai 1891, menjabat Kepala Institut Penyakit Infeksi yang didirikannya, dari 1891 sampai 1904. Dalam rangka investigasi bakeriologis untuk pemerintah Inggris dan Jermaan, dia melakukan perjalanan ke Afrika Selatan, India, Mesir, dan negara lain, melakukan aneka studi yang penting tentang penyakit sulit tidur, malaria, sampar (bubonic plague), dan penyakit lainnya. Untuk karyanya menemukan tes tuberkulin Koch menerima Hadian Nobel di bidang Fisiologi dan Kedokteran pada 1905 (Encyclopedia, 2010). 46
Pada 1890 Robert Koch dan Friedrich Loeffler pada 1884 merancang empat kriteria untuk menentukan hubungan kausal antara suatu mikroba kausal dan penyakit, disebut Postulat Koch. Koch menerapkan postulat itu untuk menentukan etiologi antraks, tuberkulosis, dan penyakit lainnya. Postulat ini masih digunakan dewasa ini untuk membantu menentukan apakah suatu penyakit yang baru ditemukan disebabkan oleh mikroorganisme (Encyclopedia, 2010; Wikipedia, 2010).
4. ILYA ILYICH MECHNIKOV (1845 – 1916). Ilya Ilyich Mechnikov adalah seorang ahli biologi, zoologi, protozoologi, dan fisiologi Rusia, lahir di Ivanovka dekat Kharkoff, Rusia/ Ukraina (Gambar 15). Mechnikov dikenal sebagai perintis riset sistem imun dan penerima Hadiah Nobel bidang Kedokteran pada 1908 bersama dengan Paul Ehrlich untuk karyanya dalam riset imunologi, khususnya penemuan fagositosis. Fagositosis merupakan suatu mekanisme di mana sel darah putih tertentu menelan dan menghancurkan materi seperti bakteri. Pada waktu itu kebanyakan ilmuwan, termasuk ahli bakteriologi termashur Louis Pasteur dan Emil Adolf von Behring (1854-1917), berpikir bahwa sel fagosit manusia hanya membawa materi asing ke seluruh tubuh, sehingga menyebarkan penyakit. Mechnikov yakin dengan teorinya bahwa fagositosis memiliki fungsi protektif tubuh untuk melindungi diri dari organisme penyebab penyakit (Wikipedia, 2010ddd; BookRags, 2010). Di kemudian hari dalam masa hidupnya pada 1903 Mechnikov memperkenalkan gerontologi, yaitu ilmu tentang penuaan dan umur panjang. Dia tertarik untuk mempelajari efek nutrisi terhadap penuaan dan kesehatan. Dia mempelajari flora di dalam usus manusia. Mechnikov mengemukakan teori 47
bahwa senilitas (penuaan) disebabkan oleh bakteri toksik di dalam usus dan bahwa asam laktat bisa memperpanjang usia. Jadi untuk mencegah multiplikasi organisme itu dia menyarankan suatu diet yang berisi susu yang difermentasi bakteri, sehingga menghasilkan sejumlah besar asam laktat. Berdasarkan teori ini dia minum susu asam setiap hari (Wikipedia, 2010; BookRags, 2010; Nobelprize, 2010). Mechnikov menulis tiga buku: Immunity in Infectious Diseases‖, The Nature of Man ‖, dan The Prolongation of Life: Optimistic Studies ‖. Buku yang terakhir
berisi
hasil
riset
tentang
bakteri
asal
laktat
yang
berpotensi
memperpanjang umur. Buku itu kemudian mengilhami seorang ilmuwan Jepang Minoru Shirota untuk meneliti hubungan kausal antara bakteri dan kesehatan usus. Riset itu akhirnya menghasilkan produk Kefir dan minuman fermentasi susu lainnya seperti yoghurt, yakult, maupun probiotik. Kefir dan minuman fermentasi susu itu memiliki sifat-sifat antimutagenik dan antioksidan. Mechnikov menerima banyak penghargaan atas berbagai karyanya, antara lain dari Universitas Cambridge, the Royal Society (di London), the Academy of Medicine di Paris, the Academy of Sciences dan Academy of Medicine di St. Petersburg, the Swedish Medical Society, di samping Hadiah Nobel. (Wikipedia, 2010; BookRags, 2010; Nobelprize, 2010). Pengaruh Teori Kuman dan penemuan mikroskop sangat besar dalam perkembangan epidemiologi penyakit infeksi. Berkat Teori Kuman etiologi berbagai penyakit infeksi bisa diidentifikasi. Bahkan kini telah diketahui sedikitnya 15% kanker di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi, misalnya Human Papilloma Virus (HPV) adalah agen etiologi kanker serviks uteri (Hall et al., 2002) . Berkat Teori Kuman maka banyak penyakit kini bisa dicegah dan disembuhkan. Teori 48
Kuman memungkinkan penemuan obat-obat antimikroba dan antibiotika, vaksin, sterilisasi, pasteurisasi, dan program sanitasi publik. Pendekatan mikroskopik mendorong
ditemukannya
mikroskop
elektron
berkekuatan
tinggi
dalam
melipatgandakan citra, sehingga memungkinkan riset epidemiologi hingga level molekul sejak akhir abad ke 20. Di sisi lain, penerapan Teori Kuman yang berlebihan telah memberikan dampak kontra-produktif bagi kemajuan riset epidemiologi. Pengaruh Teori Kuman yang terlalu kuat mengakibatkan para peneliti terobsesi dengan keyakinan bahwa mikroorganisme merupakan etiologi semua penyakit, padahal diketahui kemudian tidak demikian. Banyak penyakit sama sekali tidak disebabkan oleh kuman atau disebabkan oleh kuman tetapi bukan satu-satunya kausa. Untuk banyak penyakit, mikroba merupakan komponen yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan penyakit. Tahun 1950-an seiring dengan meningkatnya insidensi penyakit non-infeksi, muncul teori kausasi yang mengemukakan bahwa sebuah penyakit atau akibat dapat memiliki lebih dari sebuah kausa, disebut etiologi multifaktorial atau kausasi multipel. Teori kausasi multipel tidak hanya memandang kuman tetapi juga faktor herediter, kesehatan masyarakat, status nutrisi/ status imunologi, status sosio-ekonomi, dan gaya hidup sebagai kausa penyakit (Last 2001; Wikipedia, 2010; Citizendium, 2010).
F. ERA EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KRONIS Pada pertengahan abad ke 20, morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi mengalami penurunan signifikan di negara-negara Barat, khususnya di Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Upaya kesehatan masyarakat yang dilakukan sebelum 49
Perang Dunia ke II telah berhasil mengendalikan kejadian penyakit infeksi. Epidemi penyakit infeksi serius seperti kolera, tifus, dan tuberkulosis menurun sejak abad ke 19 karena diciptakannya metode penyaringan air minum, sistem pembuangan limbah, dan gerakan kesehatan masyarakat untuk kebersihan. Penemuan vaksin untuk difteri dan demam tifoid pada akhir abad ke 19, vaksin untuk tetanus di sekitar Perang Dunia ke I, penemuan obat sulfa dan penisilin pada Perang Dunia ke II, telah memberikan kontribusi besar terhadap penurunan angka kematian. Demikian pula standar hidup dan nutrisi yang lebih baik telah menurunkan dengan mantap kejadian penyakit infeksi selama separoh pertama abad ke 20 (Andersen, 2007; Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010). Tetapi
masalah
morbiditas
dan
mortalitas
beralih
ke
penyakit
kardiovaskuler. Pasca Perang Dunia ke II kehidupan di AS menjadi lebih baik. ―Booming‖ ekonomi telah mengubah Amerika menjadi negara makmur, dengan mobil, televisi, sigaret, daging dan telur. Tetapi kemakmuran itu harus dibayar dengan harga mahal. Makin banyak orang meninggal karena serangan jantung. Pada 1950 satu dari tiga orang laki-laki di Amerika Serikat mengalami penyakit kardiovaskuler sebelum mencapai usia 60 tahun. Prevalensi penyakit itu dua kali lebih besar daripada kanker, dan penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab paling utama kematian di AS. Demikian pula angka kejadian penyakit kardiovaskuler dan kanker paru terus meningkat di Inggris. Masalahnya menjadi makin besar karena pada zaman itu hanya sedikit yang telah diketahui tentang kausa penyakit kardiovaskuler dan kanker paru, alih-alih cara mencegah penyakit itu. Implikasinya, epidemiologi penyakit kronis merupakan bidang baru riset pada
50
pertengahan abad ke 20 (Richmond, 2006; Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010).
G. FRAMINGHAM HEART STUDY. Dengan latar belakang masalah meningkatnya kejadian penyakit kronis, khususnya penyakit kardiovaskuler, Pemerintah AS cq US Public Health Service menginstruksikan National Heart, Lung, and Blood Institute (pendahulu National Institute of Health), untuk memulai suatu projek riset yang disebut Framingham Heart Study (FHS). FHS merupakan sebuah studi kohor multi-generasi yang terlama dan paling komprehensif di dunia yang dimulai tahun 1948 pada penduduk sebuah kota kecil
dekat
Boston,
Massachussettes,
bernama
Framingham (Gambar ). Tujuan studi epidemiologi ini adalah meneliti aneka faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Pada awal studi, FHS mengikutsertakan 5,209 subjek dewasa pria dan wanita sehat berusia 30 hingga 60 tahun, dari kota Framingham yang berpenduduk 28,000 jiwa. Hingga kini studi tersebut telah mengikutsertakan tiga generasi subjek penelitian. Studi tersebut secara sistematis mencatat data tentang umur, diet, aktivitas fisik, merokok, riwayat keluarga, dan pemakaian obat. Setiap peserta studi penelitian juga menjalani pemeriksaan fisik ekstensif dua tahun sekali. Data yang diperiksa mencakup berat badan, tekanan darah, profil darah, fungsi tiroid, diabetes melitus, dan gout. Riset tersebut terus berkembang, di kemudian Kota Framingham dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki sejumlah karakteristik yang menguntungkan untuk studi epidemiologi jangka panjang (Feinlieb, 1983). Pertama, Framingham memiliki jumlah penduduk yang cukup untuk memberikan cukup banyak individu untuk
studi.
Kedua,
Framingham
memiliki
populasi
relatif
stabil
yang 51
memudahkan follow up jangka panjang, karena Framingham merupakan kota industri yang menyediakan cukup banyak kesempatan kerja, sehingga dapat mencegah peserta penelitian untuk berpindah ke luar kota. Ketiga, penduduk kota itu terdiri atas aneka kelompok sosio-ekonomi dan etnis sehingga memungkinkan analisis terhadap berbagai kelompok yang berbeda. Keempat, prevalensi penyakit jantung di Framingham tinggi, merepresentasikan epidemi penyakit jantung yang tengah terjadi di AS waktu itu. Kelima, Framingham, seperti kebanyakan kota di Massachusetts, memiliki daftar tahunan penduduk. Staf kantor statistik kependudukan dan kesehatan membantu memberikan informasi tentang statistik vital. Keenam, kota itu terletak dekat Universitas Harvard, dengan sebuah pusat medis dan para ahli kardiologi yang bisa memberikan konsultasi dan pendidikan staf penelitian yang diperlukan dalam studi. Keenam, dokter dan tenaga kesehatan profesional di kota itu sangat mendukung tercapainya tujuan studi. Ketujuh, Framingham memiliki 2 buah rumahsakit yang dapat memberikan pelayanan medis yang diperlukan, meskipun salah satu di antaranya ditutup tidak lama setelah dimulai studi. Kedelapan, Framingham dan penduduknya memiliki pengalaman melakukan studi komunitas sebelumnya, yaitu studi tentang tuberkulosis selama hampir 30 tahun. Pengalaman itu penting untuk memelihara semangat partisipasi penduduk dalam studi itu (Richmond, 2006; Framingham Heart Study, 2010). Pada 1951 FHS menerbitkan untuk pertama kali laporan hasil studi dari keseluruhan 2,000 paper yang dipublikasikan pada jurnal. Pada 1957 FHS menemukan bahwa risiko penyakit jantung meningkat dengan meningkatnya tekanan darah dan kadar kolesterol. Pada 1958 FHS menemukan bahwa seperempat dari semua serangan jantung tidak menyebabkan nyeri dada 52
(asimtomatis), dan bahwa hampir 40% dari penderita diabetes mengalami serangan jantung (Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010). Pada 1961 direktur FHS, Roy Dawber, dan wakil direktur pada waktu itu, William Kannel, untuk pertama kali mengemukakan terma baru ―faktor risiko‖ dalam sebuah paper tentang etiologi penyakit jantung koroner. Pada 1962 FHS menemukan, merokok sigaret meningkatkan risiko serangan jantung fatal sebesar lima kali lipat. Lima tahun kemudian Menteri Kesehatan AS mengeluarkan laporan yang menghubungan merokok dengan penyakit jantung. Pada 1967 FHS menemukan, aktivitas fisik menurunkan risiko penyakit jantung (Slomski, 2008; Husten, 2005; Framingham Heart Study, 2010). Pada 1971 Framingham Offspring Study mulai merekrut generasi kedua peserta penelitian, yaitu 5,124 orang yang merupakan anak dari peserta awal studi. Pada 1974 studi Framingham menemukan, diabetes meningkatkan risiko penyakit arteri besar sebesar dua kali, dan meningkatkan risiko penyakit vaskuler perifer dan amputasi (Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010). Pada 1985 FHS menemukan, terapi sulih hormon (hormone-replacement therapy)
pada
wanita
pascamenopause
meningkatkan
risiko
penyakit
kardiovaskuler sebesar lebih dari 50% dan risiko mengalami serangan jantung meningkat lebih dari dua kali lipat. Temuan Ini merupakan satu-satunya dari 16 studi serupa yang menunjukkan efek yang merugikan dari terapi sulih hormon. Pada 1987 mulai tersedia statin pertama, disebut levostatin, untuk menurunkan kolesterol tinggi. Sebelum 1979 para dokter mengklasifikasikan seorang dengan kolesterol total kurang dari 300mg/dl sebagai normal. Tetapi data FHS menunjukkan, 35 persen dari serangan jantung terjadi pada orang-orang yang berkolesterol total hanya sebesar 150 hingga 200mg/dl.menunjukkan salah satu 53
temuan FHS tentang hubungan dosis-repons antara kadar trigliserida dan risiko penyakit kardiovaskuler. Kadar trigilserida 200mg/dl pada pria meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler satu setengah kali lebih besar daripada 100mg/dl. Risiko pada wanita lebih tinggi daripada pria, dan tampaknya perbedaan itu makin besar dengan meningkatnya kadar trigliserida, suatu keadaan yang menunjukkan kemungkinan modifikasi efek trigliserida terhadap risiko penyakit kardiovaskuler oleh jenis kelamin (Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010). Pada 1995 Framingham‘s Omni Study merekrut dan meneliti peserta penelitian dari kelompok minoritas di AS, dengan tujuan meneliti hubungan antara ras dan penyakit jantung. Pada 2002 FHS mulai melakukan studi generasi ketiga, merekrut 4,095 orang yang merupakan cucu dari relawan penelitian pada awal FHS 1948 (Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010). Dengan bertambahnya usia peserta studi, berkembangnya berbagai penyakit yang dialami peserta studi, dan ditemukannya alat-alat diagnostik baru, maka para peneliti Framingham mengumpulkan data baru dan memperluas studi meliputi berbagai penyakit lainnya, seperti Alzheimer, osteoporosis, artritis, dan kanker. Pada 2007 FHS memperluas basis penelitiannya, melakukan ―genomewide association study‖ (GWAS), meneliti hubungan antara gen dan penyakit, melibatkan 9,300 peserta dari tiga generasi. Jika FHS ―klasik‖ meneliti aneka faktor risiko ―tradisional‖, FHS ―modern‖ memperluas lingkup risetnya untuk meneliti ―variasi genetik dan biomarker‖ yang melatari tekanan darah, lipid, obesitas, penyakit jantung koroner, stroke, gangguan darah, densitas tulang, dan demensia. Dewasa ini banyak terdapat riset tentang gen penyebab penyakit, tetapi hanya sedikit yang menggunakan populasi berskala besar seperti studi Framingham. Dengan data ribuan DNA peserta studi dari tiga generasi, studi 54
Framingham memiliki posisi yang unik untuk memberikan kontribusi besar kepada eksplorasi biomedis di masa mendatang untuk mengungkapkan basis molekuler terjadinya penyakit (Jaquish, 2007; Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010). Framingham Heart Study merupakan pioner riset di bidang epidemiologi kardiovaskuler. FHS dapat dipandang sebagai sebuah investigasi klinis pada level komunitas yang memberikan informasi bagi para dokter untuk berorientasi pencegahan. Kekayaan data ilmiah yang dihasilkan studi itu selama lebih dari 5 dekade
telah
memberikan
kontribusi
yang
sangat
signifikan
terhadap
pengetahuan dan pencegahan penyakit kardiovaskuler di dunia yang belum diketahui sebelumnya. Sir Michael Marmot, profesor epidemiologi dan kesehatan masyarakat pada University College London, mengatakan bahwa Framingham Heart Study merupakan standar emas (benchmark) bagi studi epidemiologi tentang penyakit kardiovaskuler (Richmond, 2006). FHS telah membuka pengetahuan baru tentang prevalensi, insidensi, manifestasi klinis, prognosis, dan faktor risiko predisposisi yang dapat diubah pada penyakit kardiovaskuler. FHS menghasilkan banyak temuan monumental yang dewasa ini sudah diketahui umum, seperti efek penggunaan rokok tembakau, diet tak sehat, inaktivitas fisik, obesitas, kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan diabetes, terhadap penyakit kardiovaskuler. Kini berdasarkan
pengetahuan
tersebut,
semua
negara
dapat
memusatkan
perhatiannya kepada upaya pencegahan yang efektif untuk menurunkan beban penyakit kardiovaskuler dan penyakit utama non-menular lainnya. FHS juga telah mengubah dominasi paradigma lama Teori Kuman bahwa kausasi penyakit bersifat ―one cause one effect‖. FHS memeragakan bahwa etiologi penyakit non55
infeksi bersifat multifaktor yang tidak dapat diterangkan dengan Teori Kuman. Paradigma baru tentang kausasi yang disebut "multivariate risk"—faktor penyebab penyakit yang bersifat majemuk, telah mempengaruhi perkembangan desain studi dan metode analisis data (Husten, 2005; Slomski, 2008; Mendis, 2010; Framingham Heart Study, 2010; Blackburn, 2010). Projek FHS tidak akan ada tanpa inisiasi dan kepemimpinan dari direktur pertama FHS, Thomas Dawber (1913-2005) (Gambar 18). Thomas Royal ―Roy‖ Dawber lahir di Duncan, British Columbia, Kanada. Ayahnya seorang pendeta Methodist Setelah emigrasi ke Kanada, keluarganya beremigrasi kembali ke Philadelphia, AS. Dawber menyesaikan pendidikan dokter di Harvard Medical School pada 1937. Karirnya dimulai dengan bekerja selama 12 tahun pada Brighton Marine Hospital, dekat Boston. Kemudian dia bekerja selama dua dekade untuk US National Heart Institute, dalam projek riset Framingham Heart Study. Dawber menerima banyak penghargaan dan dinominasi hadiah Nobel sebanyak tiga kali. Dawber seorang yang bersahaja, tanpa pamrih, dan tidak suka membanggakan diri dengan prestasinya. Di samping ―menukangi‖ Framingham Heart Study, Dawber seorang tukang kayu (carpenter) yang terampil, penggemar Elvis, dan memainkan piano. Setelah pensiun di usia 67 tahun, Dawber pindah ke Naples, Florida, di sebuah rumah menghadap teluk, dan menghabiskan waktunya untuk berlayar. Pada usia 90 tahun dia mengalami penyakit Alzheimer (kepikunan) dan masuk ke panti jompo (nursing care home), tempat dia meninggal pada usia 95 tahun (Richmond, 2006). Tentang jasa Thomas Dawber, mantan direktur FHS lainnya, Dr William Castelli, menyatakan kepada the Associated Press, "Jika bukan karena Dawber, 56
anda tidak akan pernah mendengar Framingham Heart Study. Kontribusinya sangat besar sehingga anda akan menempatkannya di antara para dokter paling terkemuka dalam sejarah “AS" (Husten, 2005).
H. THE BRITISH DOCTORS STUDY. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Framingham Heart Study berlangsung suatu projek riset besar epidemologi lainnya di Inggris yang disebut The British Doctors Study. The British Doctors Study merupakan sebuah studi kohor prospektif, dimulai 1951 hingga 2001. Studi ini dilatari dengan masalah epidemi kanker paru di Inggris. Pada waktu itu belum diketahui dengan jelas mengapa terjadi peningkatan angka kejadian kanker paru. Terdapat kecurigaan tentang kemungkinan hubungan antara merokok dan berbagai penyakit tetapi belum ada bukti ilmiah yang mendukung hipotesis itu. Sampai pada dekade 1950an merokok tidak dianggap sebagai suatu masalah kesehatan masyarakat. Bahkan sejumlah iklan menayangkan kebiasaan merokok sebagai suatu perilaku yang sehat. Dengan latar belakang itu Departemen Kesehatan Inggris meminta Medical
Research
Council
(MRC)
untuk
memberikan
opininya
tentang
peningkatan kejadian kanker paru. MRC menginstruksikan Statistical Research Unit (kelak menjadi Clinical Trial Service Unit yang berpusat di Oxford) untuk melakukan studi prospektif tentang hubungan antara merokok dan kanker paru. Pada Oktober 1951 dimulai studi prospektif yang disebut The British Doctors Study. Riset besar yang diikuti oleh hampir 40,000 dokter di Inggris itu dipimpin oleh Richard Doll dan Austin Bradford Hill . Para peneliti menulis surat kepada semua dokter pria yang terdaftar di Kerajaan Inggris untuk kesediaannya 57
mengikuti riset. Duapertiga di antara mereka, yakni sebesar 34,439 orang dokter memberikan respons kesediaan untuk berpartisipasi. Dokter Inggris dipilih sebagai subjek penelitian karena follow up terhadap mereka akan sangat mudah dilakukan, sebab para dokter harus senantiasa mendaftarkan nama mereka agar bisa menjalankan praktik klinis. Kelompok dokter yang menjadi subjek riset ini merupakan sebuah kohor. Berbeda dengan Framingham Heart Study, dalam perjalanan waktu The British Doctors Study tidak merekrut kohor baru. Kohor tersebut distratifikasi, dianalisis menurut dekade kelahiran, kausa spesifik mortalitas, kesehatan fisik secara umum, dan kebiasaan merokok saat itu. Perkembangan kohor diikuti dengan sejumlah kuesioner pada 1957, 1966, 1971, 1978, 1991, dan akhirnya 2001. Tingkat respons (response rate) subjek penelitian sangat tinggi, sehingga memungkinkan analisis statistik dengan baik. Pada 1971 Richard Peto bergabung dengan tim peneliti pada 1971. Bersama dengan Doll, Peto mempersiapkan publikasi laporan riset.
1. RICHARD DOLL (1912- 2004). Richard Doll, lengkapnya Sir William Richard Shaboe Doll, adalah seorang dokter, ahli fisiologi, dan ahli epidemiologi terkemuka di Inggris. Doll lahir di Hampton, Inggris. Berasal dari keluarga kaya, ayah seorang dokter, Doll menyelesaikan studi kedokteran pada St Thomas's Hospital Medical School, King's College London tahun 1937 (Kinlen, 2005; Wikipedia, 2010). Pada 1948 mentornya - Professor Austin Bradford Hill – memintanya bergabung untuk mengivestigasi kanker paru. Doll memutuskan mengakhiri praktik klinisnya dan bersama dengan Hill melakukan sebuah studi kasus kontrol, 58
meneliti pasien kanker paru di 20 buah rumahsakit di London. Pada 1950 Doll dan Hill mempublikasikan paper mereka pada British Medical Journal yang termashur tentang hasil studi yang menyimpulkan, merokok menyebabkan kanker paru. Pada artikel tersebut Doll menyimpulkan: Risiko mengalami penyakit kanker paru meningkat secara proporsional dengan jumlah rokok yang diisap. Perokok yang mengisap 25 atau lebih sigaret memiliki risiko 50 kali lebih besar daripada bukan perokok‖. Pada bagian lain Doll menyimpulkan, ―Merokok selama 30 tahun memberikan efek yang merugikan sekitar 16 kali lebih besar daripada merokok 15 tahun‖.Tidak seorangpun mempercayai hasil riset mereka. Doll sendiri berhenti merokok karena temuannya (Wikipedia, 2010). Empat tahun kemudian pada 1954 dipublikasikan hasil The British Doctors Study, yang menguatkan temuan penelitian sebelumnya. Tetapi baru pada 1956 publik mulai memberikan apresiasi hasil riset Doll dan Hill ketika The British Doctors Study memberikan bukti statistik yang meyakinkan bahwa merokok tembakau meningkatkan risiko kanker paru dan ‘trombosis koroner‘ (terma yang kemudian dikenal sebagai infark myokard). Hubungan dosis-respons yang kuat antara kanker paru dan merokok sigaret, standar tinggi desain dan pelaksanaan studi, dan penilaian yang seimbang terhadap temuan pada berbagai paper, berhasil meyakinkan komunitas ilmiah dan badan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. MRC memberikan pernyataan resmi yang sependapat dengan temuan Doll dan Hill bahwa merokok menyebabkan kanker paru. Berdasarkan hasil The British Doctors Study, pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan resmi bahwa merokok berhubungan dengan angka kejadian kanker paru. Dalam sejarah tercatat suatu peristiwa yang agak menggelikan. Ketika memberikan konferensi pers yang menyatakan bahwa pemerintah Inggris 59
menerima hasil The British Doctors Study bahwa merokok merupakan kausa kanker paru, Menteri Kesehatan menyampaikan pernyataan itu dengan sebatang rokok sigaret terselip dibibirnya (Kinlen, 2005; Wikipedia, 2010) Hasil-hasil The British Doctors Study dipublikasikan setiap sepuluh tahun sekali untuk menyampaikan informasi terbaru tentang akibat merokok. Salah satu kesimpulan penting menyatakan, merokok menurunkan masa hidup sampai 10 tahun. Besarnya mortalitas tergantung lamanya memiliki kebiasaan merokok. Rata-rata merokok hingga usia 30 tidak mempercepat kematian dibandingkan tidak merokok. Tetapi merokok sampai usia 40 tahun mengurangi masa hidup sebesar 1 tahun, merokok sampai usia 50 tahun mengurangi masa hidup sebesar 4 tahun, dan merokok sampai usia 60 tahun mengurangi masa hidup sebesar 7 tahun (Wikipedia, 2010). Pada 1961-1969 Richard Doll ditunjuk sebagai Direktur Medical Research Council (MRC) Statistical Research Unit di London. Pada 1969 Doll pindah ke Oxford, menjabat Profesor Kedokteran pada Universitas Oxford. Doll menerima berbagai penghargaan presitius dari seluruh dunia. Doll telah mengubah epidemiologi menjadi sebuah sains yang kuat. Bersama dengan Ernst Wynder, Bradford Hill dan Evarts Graham, Doll diakui sebagai orang-orang yang pertama kali membuktikan bahwa merokok menyebabkan kanker paru dan meningkatkan risiko penyakit jantung. Para peneliti Jerman sesungguhnya lebih dulu menemukan hubungan itu pada dekade 1930an, tetapi karya mereka baru diketahui umum belakangan ini. Richard Doll juga telah merintis karya riset penting tentang hubungan antara radiasi dan leukemia, antara asbestos dan kanker paru, dan antara alkohol dan kanker payudara. Pada 1955 Doll
60
melaporkaan hasil sebuah studi kasus kontrol yang menetapkan hubungan antara asbestos dan kanker paru (Kinlen, 2005; Wikipedia, 2010). Pada 1956 Doll menerima penghargaan dari Kerajaan Inggris Officer of the Order of the British Empire (OBE). Pada 1966 Doll terpilih sebagai Fellow of the Royal Society. Doll dinilai memberikan kontribusi besar dalam riset epidemiologi, khususnya epidemiologi kanker. Doll dalam 10 tahun terakhir telah memainkan peran penting dalam menjelaskan kausa kanker paru pada industri asbestos, nikel, tar batubara, dan khususnya dalam hubungannya dengan merokok sigaret. Doll telah memberikan kontribusi besar dalam investigasi leukemia khususnya dalam hubungannya dengan radiasi, di mana Doll menggunakan mortalitas pasien yang diobati dengan radioterapi untuk menaksir secara kuantitatif efek leukemogenik dari radiasi. Richard Doll diangkat sebagai Knight Commander of the Order of the British Empire (KBE) pada 1971. The Royal College of Physicians memberikan Medali Bisset Hawkins atas kontribusi Doll kepada kedokteran pencegahan. Pada 1981 Doll menerima penghargaan Edward Jenner Medal dari Royal Society of Medicine. Penghargaan internasional meliputi Presidential Award dari New York Academy of Sciences, dan United Nations Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), atas riset terkemuka tentang kausa dan pengendalian kanker (Kinlen, 2005; Wikipedia, 2010). Untuk menghormati Richard Doll, sebuah gedung dibangun dengan nama The Richard Doll Building. Gedung itu, dibuka tidak lama sebelum Doll meninggal pada 2004. Gedung itu kini digunakan untuk Clinical Trial Service Unit, Cancer Epidemiology Unit dan National Perinatal Epidemiology Unit. Visi dan komitmen Doll yang jelas tentang kedokteran pencegahan dan kesehatan masyarakat
61
(‘prolonging life‘) tersirat dalam sebuah plakat di dalam gedung yang berisi kutipan dari Doll:
"Death in old age is inevitable, but death before old age is not. In previous centuries 70 years used to be regarded as humanity's allotted span of life, and only about one in five lived to such an age. Nowadays, however, for non-smokers
Dokter lahir 1900-1930
countries,
the
in
Western
situation
is
Persenkelangsunganhidupdariumur35tahun
reversed: only about one in five will die before 70, and the nonBukan Perokok
smoker death rates are still decreasing,
offering
the
promise, at least in developed
Perokok
countries, of a world where
10 tahun
death before 70 is uncommon. For this promise to be properly realised, ways must be found to limit the vast damage that is now being done by tobacco and Umur (tahun) Gambar The British Doctors Study: Kelangsungan hidup sejak usia 35 tahun pada dokter perokok dan non-perokok. Sumber: Doll et al. (2004)
to bring home, not only to the many millions
of people in
developed countries but also the Far
larger
populations
elsewhere, the extent to which
those who continue to smoke are shortening their expectation of life by so doing."
62
Kematian di hari tua tidak bisa dihindari, tetapi kematian sebelum di hari tua bisa (dihindari). Pada abad yang lampau usia 70 tahun biasa dipandang sebagai umur hidup manusia. Hanya satu dari lima orang bisa hidup sampai usia itu. Tetapi kini bagi orang yang tidak merokok di negara-negara Barat, situasinya telah berbalik: hanya satu dari lima orang akan meninggal sebelum usia 70 tahun, dan angka kematian pada orang yang tidak merokok terus menurun, (sehingga) memberikan harapan setidaknya di negara maju suatu dunia di mana kematian sebelum usia 70 tahun merupakan suatu hal yang tidak lazim. Agar harapan itu bisa direalisasi, perlu ditemukan cara-cara untuk membatasi kerusakan luas yang tengah dilakukan oleh tembakau dewasa ini, dan (cara) untuk mengembalikan tidak hanya jutaan orang di negara maju tetapi juga populasi yang lebih luas di mana saja, agar harapan hidupnya tidak diperpendek oleh asap dari para perokok (Wikipedia, 2010). Kutipan pernyataan Doll dibuat berdasarkan salah satu temuan The British Doctors Study. Gambar 22 menunjukkan, persentase bukan perokok untuk bisa hidup hingga usia 70 tahun adalah 81%, dengan kata lain hanya satu dari lima orang akan meninggal sebelum usia 70 tahun jika tidak merokok. Gambar juga menunjukkan, pada usia 70 tahun, rata-rata orang yang bukan perokok akan hidup 10 tahun lebih panjang daripada perokok (Doll et al., 2004).
63
2. BRADFORD HILL (1897-1991). Bradford
Hill,
lengkapnya Sir Austin Bradford Hill,
adalah
seorang
statistikawan kedokteran yang brilian, ahli epidemiologi, dan ahli kesehatan masyarakat. Hill merupakan pelopor randomized controlled trial (RCT). Bersama dengan Richard Doll seorang dokter muda yang bekerja untuk Medical Research Council, Bradford Hill merintis sejumlah studi kasus kontrol untuk menentukan hubungan antara merokok sigaret dan kanker paru. Paper pertama yang dipublikasikan bersama Richard Doll pada 1950 menunjukkan bahwa kanker paru berhubungan erat dengan merokok (Information Services, 2010; Wikipedia, 2010). Bradford Hill adalah anak seorang ahli fisiologi terkemuka, Sir Leonard Erskine Hill, lahir di London tahun 1897. Dia menyelesaikan studi ekonomi. Tahun 1922 Hill bekerja pada Industry Fatigue Research Board, berkenalan dengan statistikawan kedokteran, Major Greenwood. Untuk meningkatkan pengetahuan statistik, Hill mengikuti kuliah statistikawan termashur Karl Pearson. Ketika Greenwood diterima sebagai Ketua London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) yang baru didirikan, Hill mengikuti Greenwood. Pada 1947 Hill menjabat Profesor Statistik Kedokteran di universitas itu (Wikipedia, 2010). Hill memiliki karier gemilang di bidang riset dan pendidikan. Dia menulis buku teks laris, Principles of Medical Statistics‖. Tetapi kemashuran Hill diperoleh terutama karena dua karya riset penting sehingga dia terpilih
64
sebagai anggota the Royal Society pada 1954 dengan Ronald Aylmer Fisher sebagai promotor. Pertama, Hill merupakan statistikawan pada Medical Research Council (MRC) dalam studi eksperimental tentang manfaat streptomisin untuk mengobati tuberkulosis. Studi itu dipandang merupakan randomized clinical trial pertama pada riset kedokteran. Penggunaan randomisasi telah dirintis lebih dulu oleh Ronald Aylmer Fisher pada eksperimen pertanian. Kedua, Hill bekerja sama dengan Richard Doll melakukan serangkaian studi tentang merokok dan kanker. Paper pertama mereka dipublikasikan pada 1950 merupakan hasil studi kasus kontrol yang membandingkan pasien kanker paru dengan kontrol yang dicocokkan (matched controls). Lalu Doll dan Hill melakukan studi prospektif jangka panjang tentang merokok dan kesehatan yang disebut The British Doctors Study, melibatkan hampir 40,000 dokter Inggris (Wikipedia, 2010) Pada 1950-1952 Hill menjabat presiden the Royal Statistical Society dan mendapatkan Medali Emas Guy pada 1953. Dia diangkat sebagai Knight Commander of the Order of the British Empire (KBE) pada 1961. Pada 1965 Hill mengemukakan ―kriteria Bradford Hill‖, yaitu sekelompok kondisi untuk menentukan hubungan kausal. Daftar kriteria itu sebagai berikut: (1) Kekuatan asosiasi; (2) Konsistensi; (3) Spesifisitas; (4) Hubungan temporal; (5) Gradien biologis (hubungan dosis-respons); (6) Masuk akal secara biologis; (7) Koherensi; (8) Eksperimen; (9)Analogi (pertimbangan tentang penjelasan alternatif). Pada prosesi kematian Hill, Peter Armitage – penerusnya pada
65
LSHTM menulis, ―bagi siapapun yang terlibat di bidang statistik kedokteran, epidemiologi, atau kesehatan masyarakat, Bradford Hill jelas merupakan statistikawan kedokteran yang paling terkemuka di dunia‖ (Wikipedia, 2010).
3. RICHARD PETO (1943). Richard Peto, lengkapnya Sir Richard Peto, adalah Profesor Statistik Kedokteran dan Epidemiologi pada Universitas Oxford (Gambar). Dia mendapat pendidikan menengah di Taunton's School di Southampton, lalu melanjutkan studi tentang Ilmu Pengetahuan Alam (Natural Sciences) di Universitas Cambridge, Inggris. Karirnya meliputi kolaborasi dengan Richard Doll yang dimulai di Medical Research Council Statistical Research Unit di London. Lalu Peto mendirikan Clinical Trial Service Unit (CTSU) di Oxford pada 1975 dan menjabat co-director (Wikipedia, 2010). Bersama dengan berbagai peneliti lainnya, Peto mempublikasikan banyak sekali hasil riset tentang merokok dan kanker paru, aneka kanker lainnya (kanker okupasi, kanker leher rahim, kanker payudara), efek betakaroten dan radioterapi terhadap kanker, penyakit kardiovaskuler (misalnya, tekanan darah, kolesterol, stroke, penyakit jantung koroner, simvastatin), diabetes, dan sejumlah isu metode epidemiologi (misalnya, RCT, meta-analisis, regression dilution bias). Pada 1989 diangkat sebagai Fellow of the Royal Society karena kontribusinya dalam pengembangkan meta-analisis. Meta-analisis merupakan sebuah studi epidemiologi yang menggabungkan
66
hasil-hasil dari sejumlah eksperimen serupa untuk mendapatkan sebuah penilaian yang dapat diandalkan (reliabel, konsisten) tentang efek dari suatu pengobatan. Peto diangkat sebagai Knight Commander of the Order of the British Empire (KBE) pada 1999 atas jasanya kepada epidemiologi dan pencegahan kanker. Perjalanan panjang The British Doctors Study tentang merokok dan kanker paru diteruskan oleh Richard Peto dengan studi tentang penyakit kardiovaskuler dalam Heart Protection Study (HPS, 2010; Wikipedia, 2010).
I. EPIDEMIOLOGI SOSIAL Emile
Durkheim
(1858-1917)
merampungkan
studinya
yang
menghubungkan bunuh diri dengan aneka keadaan psikopatologis (misalnya, kegilaan), ras, hereditas (keturunan), iklim, musim, perilaku imitatif, faktorfaktor egoistik (misalnya, agama), altruisme (lebih memprioritaskan kebutuhan dan perasaan orang lain ketimbang dirinya sendiri), anomie (instabilitas sosial), dan fenomena sosial lainnya. Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul "Suicide: A Study in Sociology" tahun 1897, merupakan contoh awal studi epidemiologi sosial, meneliti pengaruh faktor psiko-sosial terhadap kesehatan populasi (Gerstman, 1998). Tetapi nama "epidemiologi sosial" itu sendiri baru diperkenalkan pertengahan abad ke-20 oleh Alfred Yankauer dalam artikel yang diterbitkan oleh American Sociological Review tahun 1950, bertajuk "The relationship of
67
fetal and infant mortality to residential segregation: an inquiry into social epidemiology" (Krieger, 2001). Artinya, hubungan mortalitas fetus dan bayi dengan
segregasi
(keterpisahan)
tempat
tinggal:
sebuah
penelitian
epidemiologi sosial. Hipotesis yang diuji, keterpisahan sosial meningkatkan risiko kematian fetus dan bayi. Epidemiologi sosial berkembang seiring dengan makin diterimanya pandangan holistik tentang kesehatan dan berkembangnya "kedokteran sosial" sejak pertengahan Perang Dunia ke I dan II (Porter, 1997; Lawrence dan Weisz, 1998). Kini riset epidemiologi sosial telah jamak dijumpai dalam jurnal-jurnal internasional. Epidemiologi sosial meneliti pengaruh determinan sosioekonomi dan psiko-sosial terhadap ketimpangan distribusi kesehatan pada populasi. Terdapat dua buah teori terpenting yang digu-nakan untuk menjelaskan pengaruh disparitas sosio-ekonomi terhadap kesehatan individu: (1) Teori ―Cultural/ Behavioral‖; dan (2) Teori ―Materialist/ Structuralist. Teori ―Cultural/ Behavioral (Teori Budaya/ Perilaku) mengatakan bahwa disparitas sosial mempengaruhi distribusi perilaku kesehatan (health-behavior) seperti kebiasaan
merokok,
obesitas,
dan
akti-vitas
fisik,
yang
selanjutnya
mempengaruhi kesehatan individu. Teori ―Materialist/ Structuralist‖ (Teori Materialis-Strukturalis) mengatakan bahwa posisi seorang dalam hirarki pekerjaan, kekuasaan, atau status sosial, mempengaruhi akses orang tersebut
terhadap
sumberdaya
atau
materi
yang
diperlukan
untuk
68
menghasilkan kesehatan (dalam bahasa ekonomi kesehatan memproduksi kesehatan‖) (Frolich et al., 2006). Topik hangat lainnya dari epidemiologi sosial adalah pengaruh modal sosial (social capital) terhadap kesehatan. Pengaruh modal sosial terhadap kesehatan individu dapat diterangkan dengan Teori Budaya/ Perilaku maupun Teori Materialis/ Strukturalis. Modal sosial merupakan sumber daya yang tersedia bagi individu-individu dan masyarakat melalui hubungan sosial. Modal sosial tidak hanya berwujud variabel psiko-sosial, disebut elemen ―kognitif‖, seperti kepercayaan (trust), norma timbal-balik (norms
of
reciprocity), dan dukungan emosional (emotional support), tetapi juga faktorfaktor lain yang disebut elemen ―struktural, seperti akses terhadap pinjaman uang, pekerjaan dengan imbalan non-finansial (in-kind), dan akses kepada informasi. Teorinya, masyarakat dengan modal sosial tinggi memiliki tingkat kesehatan lebih baik (Kawachi et al., 2002).
J. EPIDEMIOLOGI NUTRISI Epidemiologi nutrisi adalah studi yang mempelajari faktor-faktor risiko nutrisional yang mempengaruhi status kesehatan dan penyakit pada populasi manusia. Epidemiologi nutrisi bukan merupakan barang baru. Dalam sejarah, epidemiologi nutrisi sudah dikenal sejak tiga abad yang lalu ketika James Lind (1716-1794) melakukan eksperimen yang memeragakan bahwa ―scurvy‖ yang banyak dijumpai pada masyarakat di Inggris dan Eropa waktu itu dapat
69
diobati dan dicegah dengan buah jeruk. Zat aktif dari konsentrat jeruk itu sendiri, yakni asam askorbat, baru ditemukan 175 tahun kemudian. Lantas pada 1914, Joseph Goldberger (1874-1927) menemukan, pellagra tidak disebabkan penyakit penularan melainkan kekurangan gizi, dan dapat dicegah dengan meningkatkan diet produk hewani dan protein kacang-kacangan. Hasil uji klinis Goldberg diterbitkan dan merupakan tonggak sejarah epidemiologi nutrisi. Niasin ditemukan 10 tahun kemudian (Gerstman, 1998). Kini hasil riset epidemiologi nutrisi sangat jamak dijumpai pada berbagai jurnal internasional. Contoh, Mai et al. (2005) melaporkan hubungan antara kualitas diet dan insidensi serta kematian karena kanker di kemudian hari pada sebuah kohor prospektif wanita. Kualitas diet diukur menggunakan recommended food score (RFS). Dengan median follow-up 9.5 tahun, para peneliti menyimpulkan, pola diet yang baik (skor RFS tinggi) berkorelasi dengan penurunan kematian pada wanita, khususnya kematian karena kanker paru, kolon/ rektum, dan payudara. Insidensi kanker menurun pada kanker paru. Hasil penelitian konsisten dengan hipotesis bahwa pola diet yang baik dapat menghambat progresi kanker dan memperpanjang kelangsungan hidup.
K.EPIDEMIOLOGI MOLEKULER Pada
1990
Rose,
seperti
dikutip
Spitz
dan
Bondy
(2010),
mengemukakan perlunya para ahli epidemiologi klasik (tradisional) untuk ―melihat apa yang terjadi di dalam kotak hitam tentang hubungan antara
70
paparan dan penyakit‖ dan perlunya para ahli biologi molekuler ―melihat apa yang terjadi di luar kotak hitam‖. Epidemiologi molekuler merespons kebutuhan itu dengan mengintegrasikan teknik biologi molekuler ke dalam riset
epidemiologi
klasik.
Epidemiologi
molekuler
merupakan
cabang
epidemiologi yang mempelajari efek interaksi gen-lingkungan terhadap risiko terjadinya penyakit. Epidemiologi molekuler berguna untuk mempelajari dengan etiologi, distribusi, dan pencegahan penyakit pada keluarga dan lintas populasi. Kata epidemiologi molekuler‖ sesungguhnya telah digunakan untuk pertama kali pada 1973 oleh Kilbourne dalam artikel bertajuk ―The molecular epidemiology of “influenza". Terma itu kemudian dipopulerkan oleh buku ―Molecular Epidemiology: “Principles and Practice" yang ditulis Schulte and Perera. Intinya buku itu mengulas pentingnya untuk mengukur dan mengekploitasi petanda (biomarker) sebagai alat ukur vital dalam upaya untuk memahami mekanisme terjadinya penyakit pada populasi. Epidemiologi molekuler makin populer. Sejak penggunaan terma epidemiologi molekuler pertama kali oleh Kilbourne hingga 2009 telah diterbitkan lebih dari 2500 artikel tentang epidemiologi molekuler. Epidemiologi molekuler berguna untuk meningkatkan pemahaman tentang patogenesis penyakit dengan cara mengidentifikasi molekul dan gen spesifik, serta mekanisme yang mempengaruhi risiko berkembangnya penyakit.
Jika
epidemiologi
klasik
menentukan
kerentanan
genetik
71
berdasarkan informasi antara (surrogate information), misalnya riwayat keluarga
tentang
kelainan
genetik,
maka
epidemiologi
molekuler
menggunakan petanda moleku-ler (molecular marker, biomarker) untuk menentukan kerentanan genetik. Epidemiologi mole-kuler menggunakan teknik molekuler seperti penjenisan DNA (DNA typing), biomarker dan genetika untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan mengukur berbagai struktur molekuler, baik normal, varian, atau rusak, berkaitan dengan penyakit atau paparan lingkungan. Berbeda dengan studi biologi molekuler, epidemiologi molekuler tidak sekedar mempelajari taksonomi molekuler, filogeni, atau genetika populasi, tetapi juga menerapkan teknik-teknik molekuler untuk mendiagnosis dini melalui skrining dan melakukan intervensi segera dalam rangka mencegah dan mengendalikan penyakit dengan lebih efektif pada populasi (Molecular Epidemiology Homepage, 2002; Susser, 1999; Hunter, 1999; Last, 2001; Foxman dan Riley, 2001; Slattery, 2002; Keavney, 2002; Shostak, 2003; Spitz dan Bondy, 2010). Contoh teoretis studi epidemiologi molekuler yang mempelajari pengaruh paparan spesifik lingkungan pre atau pasca-natal terhadap risiko terjadinya leukemia limfoblastik akut (ALL) pada anak (Vineis dan Perera, 2007). Lazimnya epidemiologi klasik menganalisis hubungan antara ALL dan paparan dengan menggunakan informasi antara (surrogate information) tentang riwayat genetik keluarga yang diperoleh melalui kuesioner, untuk mengukur dengan tak langsung paparan itu. Dengan epidemiologi molekuler,
72
sebuah
petanda
(glutathions
(biomarker)
S-transferase
kerentanan
M1),
genotipik,
misalnya
GSTM1
untuk
melengkapi
(bukan
digunakan
menggantikan) riwayat genetik keluarga, dalam rangka memprediksi risiko terjadinya ALL. Dalam contoh teoretis itu, suatu petanda tentang efek preklinis (TELAML1), metilasi DNA, dan ekspresi gen atau protein, yang digunakan untuk memprediksi ALL, dihubungkan dengan paparan spesifik lingkungan dalam sebuah studi kohor prospektif. Lalu keberadaan biomarker itu pada kasus ALL dibandingkan kontrol dalam sebuah studi retrospektif (kasus kontrol). Jika paparan tersebut dipastikan merupakan sebuah faktor risiko, maka paparan itu merupakan sasaran intervensi pencegahan ALL pada anak Epidemiologi molekul dapat digunakan untuk mempelajari efek interaksi lingkungan-gen terhadap terjadinya penyakit, karena memiliki sejumlah kemampuan sebagai berikut (Schulte, dikutip Spitz dan Bondy, 2010): (1) Mengidentifikasi
peristiwa
Mengidentifikasi
dan
pada
awal
merekonstruksi
riwayat dosis
alamiah
paparan;
(3)
penyakit;
(2)
Mengurangi
misklasifikasi variabel; (5) Mengidentifikasi mekanisme paparan-penyakit.
L.LIFE-COURSE EPIDEMIOLOGY Life-course epidemiology (epidemiologi sepanjang hayat) adalah ilmu yang mempelajari efek jangka panjang paparan fisik dan sosial selama gestasi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa muda, dewasa tua, terhadap
73
risiko mengalami penyakit kronis. Epidemiologi sepanjang hayat mempelajari mekanisme biologis, perilaku, dan psikososial yang beroperasi lintas perjalanan hidup individu, bahkan lintas generasi, untuk mempengaruhi terjadinya penyakit kronis di usia dewasa (Ben-Shlomo dan Kuh, 2002; Kuh et al.,
2003).
Pendekatan
sepanjang
hayat
memberikan
cara
baru
mengkonseptualisasi pengaruh determinan sosial dan lingkungan yang dialami pada berbagai fase perjalanan hidup terhadap perkembangan terjadinya penyakit kronis yang diperantarai oleh proses biologis spesifik proksimal
(misalnya,
hiperkolesterolemia,
hiperurisemia).
Pendekatan
sepanjang hayat epidemiologi menggunakan perspektif multi disipliner – baik biologi, perilaku, sosial, maupun psikologi - untuk memahami pentingnya waktu dan timing terjadinya paparan, seperti pertumbuhan fisik, reproduksi, infeksi, mobilitas sosial, transisi perilaku, dan sebagainya, terhadap perkembangan terjadinya penyakit kronis pada level individu dan populasi (Lynch dan Smith, 2005). Pendekatan
sepanjang hayat
sesungguhnya
bukan merupakan
gagasan yang sama sekali baru. Pada 1667 penyair John Milton menulis dalam buku kumpulan puisinya Paradise Lost,―The childhood shows the man.. As the morning shows the day‖. Tetapi apresiasi terhadap pendekatan life course epidemiology baru muncul kembali sejak publikasi Barker pada awal 1980an. Profesor David Barker, seorang peneliti di University of Southhampton, Inggris, dan kawan-kawannya, memperkenalkan hipotesis
74
Barker, disebut juga ―Fetal Origins‖ hypothesis, atau ―Thrifty Phenotype‖ hypothesis. Hipotesis itu menyatakan bahwa berkurangnya pertumbuhan fetus berhubungan kuat dengan terjadinya beberapa penyakit degeneratif kronis di usia dewasa, khususnya penyakit jantung koroner (PJK), stroke, diabetes melitus (DM), hipertensi, dan COPD (PPOK). Organisme memiliki kelenturan (plastisitas) selama perkembangan awal, sehingga dapat dibentuk oleh lingkungan. Menurut hipotesis Barker, paparan lingkungan yang buruk (misalnya,
kekurangan
gizi)
pada
periode
kritis
pertumbuhan
dan
perkembangan di dalam uterus memiliki efek jangka panjang terhadap terjadinya penyakit kronis di usia dewasa dengan cara ―pemrograman‖ struktur atau fungsi organ, jaringan, atau sistem tubuh. Adaptasi struktur, fisiologis, dan metabolis di awal kehidupan membantu kelangsungan hidup janin dengan cara memilih trayek (jalur) pertumbuhan yang tepat di masa mendatang. Tetapi ketika terdapat lingkungan yang tidak menguntungkan di awal
kehidupan
(misalnya,
kurang
nutrisi),
maka
fetus
terpaksa
ber‖kompromi‖ – yaitu beradaptasi pada keadaan yang tidak menguntungkan – dan memilih trayek yang sesuai (tetapi salah), yaitu melakukan ―trade off‖ dengan mengurangi perkembangan organ yang relatif ―non-esensial seperti ginjal (massa nefron) dan pankreas (massa sel beta), demi berkembangnya organ yang lebih esensial seperti otak, dan menyebabkan efek yang salah terhadap kesehatan di usia dewasa (Hales dan Barker, 1992; Godfrey dan Barker, 2001; Rasmussen, 2001; Kuh et al., 2003).
75
Termasuk periode kritis merujuk kepada periode waktu perkembangan biologis tertentu yang krusial di mana paparan yang terjadi pada periode itu akan memberikan dampak jangka panjang pada struktur anatomis dan fungsi fisiologis yang akhirnya bisa menyebabkan penyakit. Paparan infeksi atau obat-obatan prenatal (misalnya, penggunaan talidomid) yang terjadi pada periode
kritis
dapat
memberikan
dampak
hebat
berupa
kelainan
perkembangan yang permanen (misalnya, cacat anggota badan) . Tetapi jika paparan itu terjadi beberapa hari sebelumnya atau sesudahnya, maka paparan itu tidak memberikan dampak jangka panjang. Berbeda dengan periode kritis, periode sensitif merujuk kepada periode di mana paparan yang terjadi pada periode itu memberikan efek yang lebih besar daripada paparan yang sama terjadi pada periode lainnya. Pengaruh paparan yang berlangsung pada periode kritis maupun periode sensitif dapat dimodifikasi (diubah) oleh paparan di usia dewasa (Lynch dan Smith, 2005). Tidak hanya mempelajari efek jangka panjang paparan biologi dan sosial in utero, epidemiologi sepanjang hayat juga mempelajari efek faktor biologi dan sosial lintas generasi. Tulis Lynch dan Smith (2005), ―... More ambitiously, a life course approach also attempts to understand how such temporal processes across the life course of one cohort occur in previous and subsequent birth cohorts and are manifested in disease trends that are observed over time at the population level‖. Sebagai contoh, keadaan nutrisi, kesehatan, dan perkembangan yang buruk pada gadis dan wanita muda
76
menyebabkan perubahan fisiologi dan metabolisme yang permanen jangka panjang lintas generasi, menyebabkan fetus harus berkompromi dan memilih trayek yang salah untuk kelangsungan hidupnya, sehingga menyebabkan terjadinya penyakit dan kematian karena penyakit kardiovaskuler di usia dewasa (Hales dan Barker, 1992; Rasmussen, 2001; Kuh et al., 2003). Pendekatan epidemiologi sepanjang hayat bisa digunakan untuk mempelajari efek jangka panjang paparan agen infeksi dan agen non-infeksi pada berbagai tahap kehidupan terhadap risiko terjadinya penyakit infeksi di usia dewasa, melalui dua mekanisme: (1) akumulasi risiko, dan (2) ―pemrograman‖. Model akumulasi risiko mempelajari efek dari total jumlah paparan atau total sekuensi paparan yang terakumulasi sepanjang waktu selama perjalanan hidup. Model akumulasi risiko dapat menunjukkan hubungan ―dosis-respons‖, di mana kerusakan kesehatan meningkat dengan bertambahnya durasi atau jumlah paparan yang merugikan (Hall et al., 2002; Lynch dan Smith, 2005). Berbagai studi di berbagai negara telah memberikan bukti empiris yang mendukung hipotesis Barker tentang adanya hubungan terbalik antara berat badan bayi lahir prematur ataupun aterm dan peningkataan insidensi hipertensi, PJK, gangguan toleransi glukose, resistensi insulin, dan DM tipe 2. Hubungan tersebut tampaknya bukan merupakan hasil variabel-variabel perancu (confounding variables). Berdasarkan data baru yang dihasilkan dari riset lainnya, Barker memperluas hipotesisnya dengan membuat perbedaan
77
yang lebih spesifik efek kompromi pertumbuhan fetus pada berbagai periode gestasi. Menurut Barker, kompromi pertumbuhan fetus pada trimester pertama kehamilan menghasilkan stroke hemoragis via peningkatan tekanan darah; pada trimester kedua menghasilkan penyakit jantung koroner (PJK) via resistensi atau defisiensi insulin; pada trimester ketiga menghasilkan PJK dan stroke trombosis via resistensi atau defisiensi hormon pertumbuhan (Rasmussen, 2001, Godfrey dan Barker, 2001).
Kerangka Konsep Kesehatan Populasi Politik Sosial Kultural Ekonomi Spiritual Ekologi Teknologi
Negara Pengaruh
Provinsi Kota, kabupaten Komunitas Keluarga, rumahtangga
Status kesehatan
Pelayanan kesehatan
Perjalanan sepanjang hayat individu
Paparan lingkungan fisik & sosial
Bawaan genetik
Interaksi genlingkungan
Sebagian besar intervensi kesehatan masyarakat
Gambar Perspektif epidemiologi sepanjang hayat diletakkan dalam kerangka konsep kesehatan populasi. Sumber: CIHR, 2007 Epidemiologi sepanjang hayat
hendaknya tidak disalahtafsirkan
sebagai pendekatan deterministik pengaruh paparan di lingkungan prenatal
78
terhadap terjadinya penyakit kronis di usia dewasa. Pendekatan sepanjang hayat tidak menyangkal pengaruh paparan yang berlangsung pada usia dewasa.
Pendekatan
life
course
epidemiology
melengkapi
model
―konvensional‖ yang dikenal selama ini tentang efek gaya hidup dan perilaku di usia dewasa terhadap terjadinya penyakit kronis di usia dewasa. Dalam model konvensional, seperti dipopulerkan oleh Framingham Heart Study dan studi lainnya pasca Perang Dunia II, perilaku orang dewasa, seperti merokok, diet, aktivitas jasmani, konsumsi alkohol, dan hipertensi, merupakan prediktor penting dimulainya dan berkembangnya penyakit-penyakit kronis di usia dewasa. Life course epidemiology memadukan pentingnya kontribusi faktorfaktor risiko konvensional dengan kontribusi faktor-faktor risiko di awal kehidupan, bahkan kondisi fisik dan sosial wanita sebelum kehamilan. Paparan faktor risiko yang dialami di usia dewasa berpotensi memodifikasi efek jangka panjang dari paparan lingkungan prenatal. Kesimpulannya, lifecourse epidemiology memandang aneka faktor biologi dan sosial yang dialami sepanjang hayat memiliki pengaruh independen (tidak tergantung), akumulatif (bertambah dari waktu ke waktu), dan interaktif (mengubah/ memodifikasi pengaruh atau trayek) terhadap kesehatan dan penyakit di usia dewasa (Kuh et al., 2003; Lynch dan Smith, 2005). Gambar
menyajikan perspektif epidemiologi sepanjang hayat yang
diletakkan dalam kerangka konsep kesehatan populasi. Perhatikan bahwa paparan faktor lingkungan fisik dan sosial berinteraksi dengan bawaan genetik
79
untuk mempengaruhi kesehatan individu pada berbagai fase kehidupan. Pada dimensi lain, kekuatan sosial, ekonomi, politik di level populasi, misalnya kesenjangan pendapatan, kekayaan, pendidikan, dan kekuatan politik, mempengaruhi terjadinya perbedaan status kesehatan antar populasi, baik pada kurun waktu yang sama maupun pada waktu (kohor) yang berbeda (CIHR, 2007). Kontribusi aneka faktor yang saling berinteraksi pada masing-masing level dan antar level, untuk bersama-sama mempengaruhi kesehatan, telah mendorong dikembangkannya metode statistik baru untuk menganalisis data kompleks tersebut dalam model multi-level (Diez-Roux, 1998).
M.BIOSTATISTIK Tradisi kolaborasi antara para ahli epidemiologi dan ahli statistika makin kental mulai awal abad ke-20. Statistikawan (ahli statistika) dikenal ahli dalam mengembangkan metode-metode statistik untuk membuat kesimpulan tentang populasi besar, berdasarkan pengamatan-pengamatan pada individu. Banyak metode riset epidemiologi modern dikembangkan oleh para ahli statistika. Hill, Cornfield, Mantel, Cox, Breslow, Prentice, Miettinen, Greenland, Holland, hanya beberapa dari banyak ahli statistika terkemuka di dunia yang telah memberikan kontribusi besar bagi dunia epidemiologi. Kendati demikian, pengaruh cara berpikir statistik tidak selalu positif bagi per-kembangan epidemiologi. Secara intuitif para statistisi akan
80
menggunakan metode dan teknik statistik yang paling dikuasainya ketimbang yang tepat untuk digunakan dalam memecahkan masalah epidemiologi. Begitupun di pihak pengguna statistik sendiri sering ada sikap indiferen tentang kelayakan penggunaan metode statistik dalam konteks masalah penelitian yang sedang dihadapi. Pihak pengguna tidak dapat membedakan apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dengan statistik dalam metodologi penelitian. Kajian kritis Ross (1951), Badgley (1961), Schor dan Karten (1966), Gore et al. (1977) sebagaimana dikutip oleh Glantz (1989) terhadap ratusan laporan penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal medis dan kesehatan antara tahun 1950 dan 1976, mengungkapkan bahwa sekitar 55-75% di tahun 1950, sekitar 40-60% di tahun 1960, dan sekitar 3050% di tahun 1976 memuat berbagai kesalahan pemakaian metode statistik. Satu contoh pengaruh negatif statistik adalah dominasi uji statistik pada analisis data. Patokan "signifikan secara statistik" pada nilai p < 0.05 seolaholah kriteria sakral yang harus dipenuhi oleh setiap penelitian yang baik. Cara berpikir yang keliru seperti itu sering terungkap dalam seminar-seminar, diskusi, maupun ujian. Sejumlah "akademisi" secara tak sadar makin tersesat sampai pada tahap di mana persoalan kemaknaan statistik dianggap lebih penting ketimbang kajian validitas penelitian. Demikian pula halnya banyak peneliti dan editor jurnal mendewakan kemaknaan statistik, sehingga cenderung untuk hanya melaporkan atau menerbitkan temuan-temuan hubungan/
pengaruh
variabel
yang
secara
statistik
signifikan,
dan
81
menyembunyikan hasil-hasil yang secara statistik tidak signifikan, suatu tradisi keblinger yang disebut bias publikasi (publication bias). Padahal kemaknaan statistik dengan ―cut off‖ p=0.05 tidak ada hubungannya dengan kualitas penelitian. Nilai p tidak ada hubungannya dengan validitas maupun kemaknaan praktis hasil penelitian. Dalam penelitian hubungan faktor penelitian dan penyakit, nilai p<0.05 tidak dapat dengan sendirinya digunakan dasar untuk menyatakan bahwa hubungan yang tampak antara faktor penelitian dan penyakit adalah valid. Sebab nilai p tidak menunjukkan apakah penelitian yang bersangkutan mengalami bias maupun kerancuan (confounding) sebagai penyebab alternatif penyakit. Tidak jarang faktor risiko yang sesungguhnya penting dianggap tidak penting dan lolos dari perhatian, hanya karena tidak memenuhi kriteria kemaknaan p < 0.05. Lebih jauh lagi, betapapun validnya hubungan statistik antara paparan faktor penelitian dan penyakit (yakni, katakanlah semua bias disingkirkan dan semua kerancuan dikendalikan) tidak dengan sendirinya dapat diartikan bahwa hubungan tersebut kausal. Statistik merupakan alat penting dalam epidemiologi (Clayton dan Hills, 1998). Tetapi jika statistik sebagai alat dalam penelitian digunakan secara salah (misuse) atau disalahgunakan (abuse), maka nilai dan kegunaan penelitian
akan
rusak.
Menggunakan
statistik
secara
salah
ibarat
menggunakan kampak untuk diseksi kadaver, atau menggunakan skalpel untuk menggergaji kranium dalam operasi bedah syaraf.
82
N.EPIDEMIOLOGI KLINIK Epidemiologi tidak hanya bermanfaat untuk upaya peningkatan kesehatan
masyarakat
tetapi
juga
berguna
dalam
praktik
individual
kedokteran klinis. Penerapan konsep dan metode-metode yang logis dan kuantitatif dari epidemiologi untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam pelayanan klinis kepada pasien, baik masalah diagnostik, prognostik, terapetik, maupun preventif, disebut epidemiologi klinik. Contoh 1, ketika seorang dokter mendengar adanya bising sistolik apikal, yakni bunyi jantung abnormal berasal dari bagian puncak (apeks) jantung ketika jantung kontraksi, bagaimana ia bisa mengetahui bahwa tanda itu mengindikasikan adanya regurgitasi mitral (yakni, membaliknya aliran darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri)? Pengetahuan tersebut diperoleh bukan dari pengalaman memeriksa pasien, melainkan dari riset epidemiologi berbasis populasi yang menemukan adanya korelasi antara temuan-temuan auskul-tasi tentang bunyi jantung abnormal tersebut dan temuan-temuan patologis atau autopsi pada sekelompok besar pasien. Contoh 2, tatkala seorang klinisi memberikan informasi kepada pasien bahwa tanpa terapi antiretrovirus, waktu rata-rata perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS adalah 9 hingga 10 tahun. Rata-rata waktu kelangsungan hidup setelah mengidap AIDS adalah 9.2 bulan. Dari mana pengetahuan tentang prognosis tersebut diperoleh? Pengetahuan tersebut diperoleh bukan dari pengalaman pribadi memeriksa pasien dengan HIV/ AIDS, melainkan dari studi
83
epidemiologi berbasis populasi yang disebut analisis kelangsungan hidup/ survival analysis (misalnya, studi Fonseca et al., 1999, tentang prognosis/ kelangsungan hidup pasien dengan se-ropositif HIV asimtomatis di Brasil). Contoh 3, ketika klinisi memilih terapi berdasarkan ukuran-ukuran pengaruh seperti Relative Risk Reduction (RRR), Absolute Risk Reduction (ARR), dan Number Needed to Treat (NNT), dari mana ukuran-ukuran kuantitatif tersebut dikembangkan? Bukan dari klinisi murni, melainkan para klinisi yang belajar epidemiologi lalu mengadopsi prinsip dan metode epidemiologi untuk membantu pengambilan keputusan klinik, dalam subdisiplin yang disebut epidemiologi klinik. Epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip dan metode epidemiologi untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam kedokteran klinis (Fletcher et al., 1996). Epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip, metode, dan logika epidemiologi populasi untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi diagnosis dan prognosis, meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen terapi dalam praktik klinik (Sackett et al., 1991). Dalam perkembangan selanjutnya, awal tahun 90-an para tokoh epidemiologi klinik – Sackett, Haynes, Guyatt, dan Tugwell (1991) dan Evidence-Based Medicine Working Group (1992) dari Kanada dan Amerika Serikat memperkenalkan konsep evidence-based medicine (EBM). Evidencebased medicine menyediakan metode untuk memilih informasi yang bernilai tinggi sehingga intervensi yang diberikan klinisi kepada pasien memberikan hasil yang optimal. Dengan ―dipersenjatai‖ seperangkat metode EBM, para
84
klinisi diharapkan mampu menelusuri hasil-hasil penelitian, melakukan penilaian kritis, memadukan bukti-bukti yang kuat secara ilmiah, dan menerapkannya dalam keputusan praktik klinis (Shin et al., 1993; Davis et al., 1992; Davidoff et al., 1995). Masalah penelitian epidemiologi analitik mencakup pertanyaan tentang ada tidaknya hubungan/ pengaruh variabel (yakni, penelitian yang bertujuan menguji hipotetis), maupun pertanyaan tentang besarnya kekuatan hubungan/ pengaruh variabel (yakni, penelitian yang bertujuan mengestimasi besarnya hubungan/ pengaruh variabel). Epidemiologi klinik merupakan penerapan prinsip-prinsip dan metoda epidemiologi untuk masalah-masalah dalam ilmu kedokteran klinik. Tujuan dari epidemiologi klinik itu sendiri adalah untuk menggunakan metode epidemiologi dalam observasi klinik dan interpretasi yang mengacu pada suatu kesimpulan yang tepat berdasarkan prinsip dasar ilmiah, sehingga bisa menghasilkan
kesimpulan
yang
sahih
dalam
pengelolaan
pasien.
Epidemiologi klinik juga bertujuan menjembatani kedokteran klinik dengan ilmu dasar. Ciri pendekatan epidemiologi klinik yaitu : 1. Normalitas dan abnormalitas Normalitas dan abnormalitas seseorang ditentukan dengan distribusi kekerapan yaitu mean, median dan sebarannya. Namun untuk menetapkan kriteria abnormal tidak mudah karena penyakit terjadi secara bertahap. Dalam
85
fenomena kedokteran, kriteria normal atau abnormal biasanya ditetapkan melaluui alat ukur. 2. Perjalanan penyakit Merupakan waktu berlangsungnya suatu penyakit, dimulai dari onset biologis sampai penyakit berakhir (sembuh, cacat, atau mati). Perjalanan penyakit terdiri dari fase pre-patogenesa dan fase patogenesa (masa inkubasi, penyakit dini, penyakit lanjut dan akhir penyakit). Metoda penilaian dari perjalan penyakit bias dilakukan dengan observasi klinis, registrasi (kanker, CHD, stroke, dan lainnya), studi kohort atau studi kasus-kontrol. 3. Diagnosis Uji
diagnostik
diartikan
sebagai
hasil
tes
yang
dilakukan
di
laboratorium, atau informasi klinik yang didapat dari anamnesis (riwayat penyakit), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang/alat. Diagnosis merupakan proses yang tidak pasti, karena hanya berupa kemungkinan saja. Dalam mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya gold standard atau patokan emas dalam menentukan hasil diagnosis yang tepat yaitu tes yang sensitif (menyatakan adanya penyakit pada orang dengan hasil tes positif) dan tes spesifik (penyatakan tidak adanya penyakit pada orang dengan hasil tes negatif). 4. Kekerapan Hasil observasi klinik biasanya dinyatakan dalam bentuk ukuran-ukuran antara lain jumlah kasus proporsi, insidensi, prevalensi dan rasio.
86
5. Resiko penyakit Faktor resiko penyakit merupakan suatu kondisi atau sifat fisik atau perilaku yang dapat meningkatkan probabilitas kejadian penyakit pada manusia.
Faktor
mempelajari
resiko
penyebab
berguna penyakit,
dalam
prediksi
membantu
kejadian
menegakkan
penyakit, diagnosis,
menentukan prognosis dan untuk pencegahan penyakit. 6. Prognosis Merupakan prediksi perjalanan penyakit setelah penyakit timbul. Gambaran prognosis terdiri atas : a. Harapan hidup 5 tahun, yaitu persentase penderita yang mampu hidup selama 5 tahun dari saat tertentu dalam perjalanan penyakitnya. b. Kausa fatal, yaitu persentas penderita yang mati karena penyakit itu. c. Respon, yaitu persentase penderita yang menunjukkan adanya perbaikan setelah adanya intervensi. d. Remisi, yaitu persentase pasien yang mencapai fase dimana penyakit tidak dapat dideteksi. e. Kambuh, yaitu persentase penderita yang kembali sakit setelah lewat fase bebas penyakit. 7. Pengobatan/perawatan Merupakan upaya untuk penyembuhan dan untuk menghindari cacat dari penyakit, atau suatu teknik pengobatan yang diperoleh melalui uji klinik. 8. Pencegahan
87
Pencegahan bertujuan untuk tidak sakit dan mencegah perjalanan penyakit atau mencegah 6D, yaitu death (kematian), disease (sakit), disability (ketidak-mampuan),
discomfort
(ketidaknyamanan),
dissatisfaction
(ketidakpuasan), dan destitution (kemiskinan). Terdapat 3 macam pencegahan yang bisa dilakukan, yaitu : -
Pencegahan primer : menjauhkan kejadian sakit dengan cara menghilangkan faktor resiko.
-
Pencegahan sekunder : menemukan penyakit secara awal, saat masih tanpa gejala dan saat pengobatan awal.
-
Pencegahan tersier : berupa aktifitas klinik guna mengurangi komplikasi.
9. Kausa Merupakan kondisi yang menimbulkan penyakit dan patogenesis. Bukti suatu kejadian penyakit memiliki hubungan sebab-akibat, antara lain : -
Temporal, yaitu kausa mendahului efek
-
Kekuatan, resiko penyakit relative besar
-
Respon terhadap dosis, makin besar paparan maka kejadian penyakit semakin tinggi
-
Reversibilitas, yaitu penuruan paparan diikuti dg penurunan penyakit
-
Konsistensi, kejadian jika berulang akan menghasilkan dampak yang sama
88
-
Masuk akal secara biologis, yaitu sesuai dengan pengetahuan biologi (teoritis)
-
Spesifisitas, artinya satu penyebab hanya menimbulkan satu efek
-
Analogi, yaitu hubungan sebab-akibat telah terbukti untuk penyakit yang sama.
10. Ekonomi pengobatan/perawatan Pelayanan kesehatan harus efektif dan efisien untuk menghindari inefisiensi. Keputusan pengobatan harus berorientasi untuk kesembuhan pasien minimalisir biaya si pasien dan manfaat dari tindakan itu sendiri terhadap pasien. Sebagaimana
yang
telah
dijelaskan
secara
ringkas
mengenai
epidemiologi klinik, terlihat jelas bahwa epidemiologi klinik sangat bermanfaat dalam membantu kedokteran klinik. Selain itu, epidemiologi klinik juga bermanfaat bagi ilmu biomedik. Epidemiologi klinik mempelajari variasi luaran dan perjalanan penyakit pada perorangan atau sekelompok orang serta sebab variasi penyakit tersebut. Hasil observasi atau kajian dari epidemiologi klinik itu dapat dijadikan sebagai dasar dalam penelitian biomedik untuk menelaah kausa
penyakit
ditingkat
jaringan,
sel,
bahkan
genetiknya
secara
eksperimental di laboratorium. Kemudian hasil penelitian biomedik itu dapat digunakan dalam epidemiologi klinik sebagai sumber informasi untuk mendiagnosis atau mempelajari perjalanan penyakit.
89
O. SEJARAH PERKEMBANGAN EPIDEMIOLOGI Epidemiologi berasal dari suatu gagasan (idea), dikemukakan 2000 tahun yang lalu oleh Hippocrates dan lainnya, bahwa faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya suatu penyakit, seperti yang dikemukakannya dalam tulisan tentang “Udara, Air, Tempat” : Siapapun yang ingin mempelajari kedokteran dengan baik harus mempelajari hal-hal sebagai berikut . Pertama dia
harus
memperhatikan
akibat
dari
tiap
musim
tiap
tahun
dan
perbedaannya, kedua dia harus mempelajari angin panas dan dingin, yang terdapat umumnya disemua negara atau khas untuk suatu tempat tertentu, Terakhir,
akibat
air
terhadap
kesehatan
tidak
boleh
dilupakan
……………….kemudian pikirkan keadaan tanah, apakah gersang dan tanpa air, atau rimbun dengan pohon ……………….Akhirnya perhatikan kehidupan penduduknya, apakah mereka peminum berat senang makan dan akibatnya tidak tahan lelah, senang bekerja dan latihan , makan dengan bijak dan jarang-jarang minum. Para dokter di jaman dahulu tidak dapat berbuat apa-apa untauk meneliti epidemi yang terjadi, mereka umumnya lebih banyak menggunakan kesan daripada bilangan-bilangan, sehingga kemampuannya sangat terbatas. John Graunt, yang hidup di abad 17 sering dianggap sebagai penemu Vital
Statistic, sebab dia adalah orang pertama yang menggunakan cara-cara nemerikal seperti yang ditulisnya di dalam Natural and Political Observation
on the Bills of Mortality (1662).
90
Epidemiologi modern didasarkan pada pengamatan klinik yang cermat, perhitungan yang tepat kasus-kasus yang jelas, dan adanya hubungan antara kasus dan sifat-sifat populasi dimana kasus-kasus tersebut terdapat. Hal ini dimulai di abad 19 terutama oleh jasa John Snow yang meneliti kematian karena kholera di London, dan menghubungkannya dengansumber air minum. Dia juga membuktikan tentang jalan penyebaran penyakit kholera, 30 tahun sebelum Koch menemukan kuman vibrio penyebab kholera. John Snow mengunjungi rumah-rumah orang yang meninggal karena kholera dan menanyakan perusahaan air yang mana yang menyediakan air untuk rumah tersebut. Karena perusahaan air yang berbeda menyediakan air pada rumah-rumah di jalan yang sama. Perusahaan Southwark and Vauxhall memperoleh dari bagian hilir sungai Thames dan perusahaan Lambeth mendapat air dari bagian hulu sungai Thames. Pada tabel 1 digambarkan angka kematian karena kholera bagi distrik-distrik yang mendapat air hanya dari perusahaan Southwark and Vauxhall atau perusahaan Lambeth company, dan juga di distrik-distrik yang mendapat air dari kedua perusahaan tersebut. Di dalam distrik yang penyediaan airnya oleh kedua perusahaan yang berbeda adalah sama . Lagi pula angka kematian penduduk yang airnya disediakan oleh kedua
perusahaan tersebut hampir sama dengan
angka kematian di distrik yang mendapat air hanya dari perusahaan tertentu .(lihat Tabel 1 dan Tabel 2)
91
. Tabel 1 Kematian karena kholera di distrik-distrik di London yang airnya disediakan oleh perusahaan Southwork and Vauxhall Company dan Lamberth Company 8 Juli-Austus 26, 1854 Distrik airnya disediakan oleh perusahaan Hanya Shoutwark and Vauxhall Company Hanya Lambeth Company mpuran keduanya
Populasi, 1851
Kematian karena kholera
Rate per 1.000 penduduk
167.654
844
5,0
19.133
18
0,9
300.149
652
2,2
Tabel 2 Kematian karena kholera di London , 8 Juli-26 Agustus , 1854 Berkaitan dengan penyediaan air ke rumah-rumah dalam distrik-distrik yang airnya Disediakan oleh perusahaan Southwark and Vauxhall Company dan Lambeth Company Penyediaan air ke rumah-rumah Southwark and Vauxhall Company Lambeth Company
Populasi, 1851 98.862
Kematian karena kholera 419
Rate kematian per 1000 penduduk 4,2
154.615
80
0,5
Pada tahun 1950-an Doll,Hill dan lain-lain meneliti hubungan antara merokok dan kanker paru. Penelitian –penelitian ini telah meluaskan lingkup epidemiologi sehingga juga meliputi penyakit-penyakit kronis. Dari penelitianpenelitian ini jelas bahwa banyak faktor yang menjadi sebab suatu penyakit. Beberapa faktor merupakan faktor esensial dalam terjadinya suatu penyakit dan faktor-faktor lainnya hanya berperan dalam meningkatkan resiko (risk).
92
Metoda
baru epidemiologi
diperlukan untuk menganalisis
hubungan-
hubungan ini. Contoh yang telah dicapai oleh epidemiologi Dalam perkembangannya, khususnya
dalam
mengungkapkan
zaman
penyakit,
modern
ini,
faktor-faktor
epidemiologi resiko
telah
penyakit
membantu
tertentu
dan
berkontribusi dalam menentukan strategi pembasmian/pemberantas penyakitpenyakit tertentu. Dibawah ini disajikan bahan-bahan yang diterjemahkan (sebagian) dari buku BASIC EPIDEMIOLOGY, karangan R. Beaglehole, R. Bonita dan T. Kjellstrom, WHO, 1993.
a. Cacar Dalam tahun-tahun 1790-an telah dibuktikan bahwa infeksi karena cowpox dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit cacar (smallpox), tetapi baru 200 tahun kemudian prinsip ini diterima dan diterapkan diseluruh dunia sehingga penyakit cacar dapat dibasmi dari seluruh dunia (tahun 1978 sudah tidak ada lagi kasus cacar). Program pembasmian cacar ini dikoordinasikan oleh WHO dan dimulai pada tahun 1967 (suatu program pembasmian 10 tahun). Epidemiologi terutama berperan dalam hal : menentukan distribusi kasus , dan model ,mekanisma dan derajat penyebaran , dengan jalan pemetaan meletupnya penyakit tersebut , dan melakukan evaluation
program
penanggulangan.
Faktor-faktor
yang
menunjang
keberhasilan pembasman cacar adalah: kemauan polotik, tujuan yang jelas,
93
jadwal yang tepat, staf yang terlatih, dan strategi yang luwes, disamping itu juga terdapatnya vaksin yang tahan terhadap panas dan efektif.
b. Methymercury Mercury atau air raksa adalah logam yan bracun dan telah dikenal sjak abad pertengahan , sekarang dia merupakan simbol tentang bahaya polusi lingkungan. Dalam tahun 1950-an diketahui bahwa air raksa dibuang dalam limbah pabrik di Minamata, Jepang , ke dalam teluk kecil. Ini mengakibatkan bertumpuknya methilmercury dalam ikan yang kemudian menyebabkan keracunan yang hebat pada penduduk yang memakannya. Epidemiologi berperan dalam mengidentifikasi penyebabnya dan dalam penanggulangannya, suatu epidemi penyakit yang disebabkan oleh polusi lingkungan.
c. Rheumatic fever and rheumatic heart disease Rheumatic fever dan rheumatic heart disease berhubungan dengan kemiskinan , khususnya dengan perumahan yang buruk dan overcrowding, yang memudahkan penyebaran streptococcus yang menimbulkan infeksi pada jalan pernafasan bagian atas. Di negara-negara maju penyakit ini sudah hampir lenyap, tetapi di sebagian negara – negara berkembang rheumatic
heart disease merupakan penyakit jantung yang umum . Epidemiologi membantu pemahaman tantang sebab rheumatic fever dan rheumatic heart disease dan pengembangan cara-cara pencegahan
rheumatic heart disease. Epidemiologi juga mengungkapkan tentang peran
94
faktor-faktor sosial dan ekonomi dalam timbulnya kejadian luar biasa (KLB)
rheumatic fever dan penyebaran infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh streptococcus.
Jelas
bahwa
penyaebab
penyakit
ini
kompleks
bila
dibandingkan dengan keracunan methilmercury, yang mempunyai satu penyebab.
d. Iodine deficiency disease Defisiensi yodium yang umumnya terdapat pada daerah pegunungan tertentu, menyebabkan hilangnya energi jasmani dan mental dihubungkan dengan tidak cukupnya hormon thyroid yang mengandung yodium. Goite dan
cretinism telah digambarkan secara rinci kira-kira sejak 400 tahun yang lalu, tetapi baru di abad ke 20 diperoleh pengetahuan yang cukup untuk usahausaha pencegahan dan pemberantasannya. Dalam tahun 1915 endemic
goitre disebut sebagai penyakit yang paling mudah dicegah , dan diusulkan untuk menggunakan garam yang diberi yodium untuk pemberantasannya. Tidak lama setelah itu dilakukan uji coba pertama yang berskala besar di Akron , Ohio, USA. Uji coba ini melibatkan 5000 gadis berusia 11 sampai 18 tahun. Efek profilaktik dan terapoetiknya sangat mengesankan dan pada tahun 1924 garam yang diberi yodium yang diberikan kepada komunitas dilakukan pada banyak negara. Penggunaan garam beryodium dapat berhasil karena garam digunakan oleh semua kelompok masyarakat dengan kadar yang kira-kira sama sepanjkang tahun. Keberhasilan usaha ini tergantung pada pruksi yang
95
efektif, distribusi garam dan pelaksaan peratura, pengendalian mutu dan kesadaran masyarakat. Epidemiologi
membantu
mengidentifikasikan
dan
memecahkan
masalah defisiens yodium, memdemontrasikan tentang efekyifnya usahausaha pencegahan yang dapat digunakan pada skala uas , dan cara-cara memantau program pemberian yodium namun demikian , masih terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan dinegara-negara berkembang dimana berjuta-juta orang menderita defisiensi yodium masih endemik.
e. High blood pressure Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah masalah kesehatan yang penting , di negara maju maupun negara berkembang; sampai 20% penduduk berumur 35-64 tahun yang mempunyai tekanan darah tinggi dari Amerika Serikat sampai bagian –bagian tertentu dari Republik Rakyat Cina. Epidemiologi menjelaskan besarnya masalah,menetapkan riwayat alamiah penyakit, dan akibatnya bila hipertensi tidak diobati, menunjukan kegunaan pengobatan, dan membantu menentukan pada tekanan berapa (yang tepat) pengobatan
itu
harus
dimulai
dan
mengevaluasi
berbagai
strategi
pencegahan. Ketentuan tentang tekanan darah ini akan mempengaruhi perkiraan jumlah yang diobati dan juga biayanya. Di Amarika Serikat bila digunakan batas di atas 140/190, maka akan ada 53% penduduk kulit putih berumur 65-74 tahun yang harus diobati, padahal bila digunakan ketentuan yang lebih konservatif, angka akan sama dengan 17% (diatas 170/95).
96
f. Smoking asbestos and lung cancer Kanker paru biasanya jarang, tetapi sejak tahun 1930-an terjadi kenaikan yang mencolok terutama di negara-negara industri. Penelitian epidemiologi yang pertama yang mengkaitkan kanker dengan rokok dipublikasikan pada tahun 1950. Hasil-hasil yang kemudian menyusul menunjang kaitan ini dan ini terjadi di populasi yang berbeda-beda. Telah banyak bahan yang diidentifikasi yang dianggap dapat menyebabkan kanker paru. Sekarang ini sudah jelas bahwa rokok dapat menyebabkan kanker paru , tetapi masih bantak bahan lain yang dapat juga menyebabkan kanker paru seperti debu asbestos dan polusi udara di daerah perkotaan. Rokok dan asbestos berinteraksi, sehingga mereka yang merokok dan juga exposed terhadap asbestos mempunyai resiko tinggi. Penelitian epidemiologi dapat mengukur secara kwantitatif sumbangan berbagai factor lingkungan sebagai penyebab penyakit tertentu.
97
BAB II PERANAN DAN PENGERTIAN EPIDEMIOLOGI DALAM KESEHATAN MASYARAKAT
2.1.
PERAN DAN PENGERTIAN EPIDEMIOLOGI.
Epidemiologi adalah Ilmu yang mempelajari frekuensi dan penyebaran masalah
Kesehatan
pada
sekelompok
manusia
serta
faktor
yang
mempengaruhinya. Epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungannya.Mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian determinan-determinan penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang mmepelajari tentang
penyebaran
penyakit
serta
determinan-determinan
yang
mempengaruhi penyakit tersebut. Untuk dapat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan masyarakat perlu disediakan dan diselenggarakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat ( Public Health Service ) yang sebaik – baiknya. Oleh karena itu pelayanan kesehatan masyarakat yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ( Health Needs ) dari masyarakat.
98
Namun dalam praktek sehari – hari ternyata tidaklah mudah untuk menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat yang maksimal. Masalah pokok yang dihadapi adalah sulitnya merumuskan kebutuhan kesehatan yang ada dalam masyarakat karena pola kehidupan masyarakat yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan kebutuhan kesehatan yang ditemukan juga beraneka ragam. Untuk mengatasinya, telah diperoleh semacam kesepakatan bahwa perumusan kebutuhan kesehatan dapat dilakukan jika diketahui masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Misalnya ; apabila dalam suatu masyarakat banyak ditemukan masalah kesehatan berupa penyakit menular ( TBC ), maka pelayanan kesehatan yang disediakan akan lebih diarahkan kepada upaya untuk mengatasi masalah penyakit menular tersebut. Apabila hal ini kemudian dikaitkan dengan upaya untuk mengetahui Frekwensi, Penyebaran dan Faktor – factor yang mempengaruhi suatu masalah kesehatan dalam masyarakat, maka tercakup dalam suatu cabang Ilmu Khusus yang disebut dengan Epidemiologi. Dan Epidemiologi ini merupakan inti dari Ilmu Kesehatan Masyarakat. Kata
kunci
dari
epidemiologi
adalah
mengenai
frekuensi,penyebaran,dan faktor determinan. Frekuensi yaitu menemukan masalah kesehatan di masyarakat dan mengukur atau menghitung jumlah masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. Penyebaran yaitu menunjuk
99
kepada pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksudkan dalam epidemiologi adalah : a. Menurut Ciri – ciri Manusia ( MAN ) b. Menurut Tempat ( PLACE ) c. Menurut Waktu ( TIME )
Sedangkan yang dimaksud dengan factor determinan adalah menunjuk kepada factor penyebab dari suatu penyakit / masalah kesehatan baik yang menjelaskan Frekwensi, penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan yaitu : a. Merumuskan Hipotesa tentang penyebab yang dimaksud. b. Melakukan pengujian terhadap rumusan Hipotesa yang telah disusun. c. Menarik kesimpulan.
2.2.
MASALAH KESEHATAN MASYARAKAT YANG SERING TERJADI Dewasa ini di Indonesia terdapat beberapa masalah kesehatan
penduduk yang masih perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari semua pihak antara lain: anemia pada ibu hamil, kekurangan kalori dan protein pada bayi dan anak-anak, terutama di daerah endemic, kekurangan vitamin A pada anak, anemia pada kelompok mahasiswa, anak-anak usia sekolah, serta bagaimana mempertahankan dan meningkatkan cakupan imunisasi. Permasalahan tersebut harus ditangani secara sungguh-sungguh
100
karena dampaknya akan mempengaruhi kualitas bahan baku sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang.
2.3.
Peranan
Epidemiologi
Dalam
Pemecahan
Masalah
Kesehatan
Masyarakat Dari kata kunci epidemiologi yang sudah diterangkan pada poin A, dapat kita simpulkan bahwa dalam pemecehan masalah kesehatan masyarakat,kunci kata epidemiologi di atas tadi dapt kita aplikasikan. Sebagai contoh misalkan dalam penanganan kasus demam berdarah. Untuk menangani kasus demam berdarah,pertama kali kita harus menemukan dahulu masalah ini secara pasti,bahwa di desa X terdapat sekelompok orang menderita
demam
berdarah.
Setelah
itu,kita
hitung
berapa
banyak
masyarakat yang terkena penyakit demam berdarah ini. Kemudian kita selidiki bagaimana penyakit ini dapat menyebar dengan mencari siapa yang pertama kali
menyebarkan,dimana
penyebarannya.Lamgkah
tempat selanjutnya
penyebarannya adalah
factor
dan
kapan
determinan
waktu yaitu
merumuskan hipotesa atau dugaan kita tentang bagaimana penyebaran penyakit ini.kemudian setelah itu kita menguji hipotesa ini. Setelah didapatkan kebenaran pada hipotesa penyebaran penyakit demam berdarah pada desa X ini setelah itu kita dapat tarik kesimpulan bagaimana penyakit demam berdarah ini dapat menyebar. Setelah itu kita sebagai tenaga kesehatan kita harus melakukan berbagai cara agar penyakitini tidak menyebar lagi.
101
Contohnya dengan sosialisasi program 3M
dan mennghimbau agar
masyarakat senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatannya. Apabila Epidemiologi dapat dipahami dan diterapkan dengan baik, akan diperoleh berbagai manfaat yang jika disederhanakan adalah sebagai berikut : 1. Membantu Pekerjaan Administrasi Kesehatan. Yaitu membantu pekerjaan dalam Perencanaan ( Planning ) dari pelayanan kesehatan, Pemantauan ( Monitoring ) dan Penilaian ( Evaluation ) suatu upaya kesehatan. Data yang diperoleh dari pekerjaan epidemiologi akan dapat dimanfaatkan untuk melihat apakah upaya yang dilakukan telah sesuai dengan rencana atau tidak (Pemantauan) dan ataukah tujuan yang ditetapkan telah tercapai atau tidak (Penilaian). 2. Dapat Menerangkan Penyebab Suatu Masalah Kesehatan. Dengan diketahuinya penyebab suatu masalah kesehatan, maka dapat disusun langkah – langkah penaggulangan selanjutnya, baik yang bersifat pencegahan ataupun yang bersifat pengobatan. 3. Dapat Menerangkan Perkembangan Alamiah Suatu Penyakit. Salah satu masalah kesehatan yang sangat penting adalah tentang penyakit. Dengan menggunakan metode Epidemiologi dapatlah diterangkan Riwayat Alamiah Perkembangan Suatu Penyakit ( Natural History of Disease ). Pengetahuan tentang perkembangan alamiah ini amat penting dalam
102
menggambarkan perjalanan suatu penyakit. Dengan pengetahuan tersebut dapat dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit sedemikian rupa sehingga penyakit tidak sampai berkelanjutan. Manfaat / peranan Epidemiologi dalam menerangkan perkembangan alamiah suatu penyakit adalah melalui pemanfaatan keterangan tentang frekwensi dan penyebaran penyakit terutama penyebaran penyakit menurut waktu. Dengan diketahuinya waktu muncul dan berakhirnya suatu penyakit, maka dapatlah diperkirakan perkembangan penyakit tersebut. 4. Dapat Menerangkan Keadaan Suatu Masalah Kesehatan. Karena Epidemiologi mempelajari tentang frekwensi dan penyebaran masalah kesehatan, maka akan diperoleh keterangan tentang keadaan masalah kesehatan tersebut. Keadaan yang dimaksud di sini merupakan perpaduan dari keterangan menurut cirri – cirri Manusia, tempat dan Waktu. Perpaduan cirri ini pada akhirnya menghasilkan 4 ( empat ) Keadaan Masalah Kesehatan yaitu : a. EPIDEMI Adalah : Keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekwensi yang meningkat. b. PANDEMI Adalah : Suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang
103
singkat memperlihatkan peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya telah mencakup suatu wilayah yang amat luas. c. ENDEMI Adalah : suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang frekwensinya pada suatu wilayah tertentu menetap dalam waktu yang lama. d. SPORADIK Adalah : suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang ada di suatu wilayah tertentu frekwensinya berubah – ubah menurut perubahan waktu
104
BAB III DINAMIKA PENULARAN PENYAKIT DAN AGENT DINAMIKA PENULARAN PENYAKIT
Dinamika penularan penyakit merupakan suatu proses transmisi (perpindahan) penyakit dari sumber (resource) penular atau sering disebut dengan reservoar ke reservoar lainnya. Manusia sebagai reservoar adalah penyakit yang berasal dari manusia yang sedang mengalami infeksi dan dapat berupa hanya sebagai pembawa (carrier). Penularan penyakit didukung dengan keberadaan agen (penyebab penyakit) dan lingkungan. Penyakit menular pada manusia merupakan masalah penting yang dapat terjadi setiap saat, terutama di negara berkembang khususnya Indonesia. Dinamika penularan penyakit tetap urgen dipelajari karena penyakit meular masih mempunyai angka kematian (mortality) yang cukup tinggi, angka kesakitan (morbidity) dan kecacatan (disability) yang tinggi dan penyakit menular mempunyai kehilangan ekonomi (economic-loss) yang cukup tinggi. Secara umum dinamika penularan penyakit dapat didekati dengan mengidentifikasi cara penularan penyakit (mode of transmission), penyakit dapat ditularkan kepada manusia yang rentan melalui beberapa cara, baik terjadi secara langsung maupun tidak lansung dari orang ke orang lain dan penyebarannya di masyarakat, ditinjau dari aspek epidemiologi dapat bersifat lokal, regional maupun internasional.
105
Penularan langsung dari orang ke orang lain adalah agen penyakit ditularkan langsung dari seorang infektious ke orang lain melalui hubungan intim (kontak seks), penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain GO, syphilis, HIV. Penularan penyakit tidak langsung yakni penyakit menular dari orang ke orang lain dengan perantaraan media. Menular melalui media udara, penyakit yang bisa ditimbulkan adalah seperti TB, rubella, diphteria, influenza. Menular melalui media air, penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain diare, kolera, typhes. Menular melalui media tanah, penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain cacing. Menular melalui vektor, penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain malaria, filariasis, demam berdarah. Gambaran berbagai komponen yang terkait dengan dinamika penularan penyakit akan memberikan pemahaman bagi mahasiswa untuk lebih mengenali aspek-aspek penularan penyakit, dinamika penularan penyakit juga terkait langsung dengan jenis agen dan pola endemisitas penyakit tersebut.
106
BAB IV UKURAN PENYAKIT DAN KEMATIAN
Frekuensi terjadinya penyakit dan kematian pada penduduk bervariasi dari waktu ke waktu. Prinsip-prinsip dan metode epidemiologi digunakan untuk menjelaskan frekuensi dan determinan kejadian-kejadian tersebut. Pada bagian ini membahas mengenai ukuran-ukuran epidemiologi yang digunakan untuk mengukur frekuensi dari mortalitas dan morbiditas dalam sebuah populasi.
4.1. PENGERTIAN RASIO, PROPORSI, ANGKA/RATE Rasio adalah nilai relatif yang dihasilkan dari perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilangnya tidak merupakan bagian dari penyebut. Misalnya sebuah nilai kuantitatif A dan nilai kuantitatif lain adalah B, maka rasio kedua nilai tersebut adalah A/B. Proporsi adalah perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut. Pada proporsi, perbandingan menjadi : A/(A+B). Rate/angka
adalah
proporsi
dalam
bentuk
khusus,
dimana
perbandingan antara pembilang dan penyebut dinyatakan dalam batas waktu tertentu.
107
4.2.
PENGERTIAN INSIDENSI DAN PREVALENSI Insidensi merupakan kasus baru suatu penyakit yang terjadi dalam
kurun waktu tertentu. Batasan untuk angka insidensi adalah proposi kelompok individu yang terdapat dalam penduduk suatu wilayah atau negara yang semula tidak sakit dan menjadi sakit dalam kurun waktu tertentu dan pembilang pada proporsi tersebut adalah kasus baru. Rumusnya sebagai berikut :
p
=
d
xk
n
p : estimasi angka insidensi d : jumlah kasus baru n : jumlah individu yang awalnya tidak sakit k : konstanta
Atau jumlah kejadian dalam kurun waktu tertentu dibagi penduduk yang mempunyai risiko (population at risk) terhadap kejadian tersebut dalam kurun waktu tertentu dikalikan dengan konstanta “k”.
ℎ=
ℎ
108
Angka insidensi dalam epidemiologi merupakan ukuran yang penting dan banyak digunakan. Istilah-istilah yang banyak digunakan misalnya
incidence rate atau cummulative incidence rate, atau attack rate. Untuk memperoleh insidensi harus dilakukan dengan melakukan pengamatan kelompok penduduk yang mempunyai risiko terkena penyakit yang ingin dicari yaitu dengan cara mengikuti secara prospektif untuk menentukan insidensi kasus baru. Beberapa pertimbangan dalam menghitung angka insidensi adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan tentang status kesehatan populasi studi Kelompok individu dalam populasi harus ditentukan status kesehatannya dan diklasifikasikan menjadi “sakit” atau “tidak sakit”. Penentuan ini dapat dilakukan melalui catatan yang ada atau melalui penyaringan atau pemeriksaan lain. Hal ini penting untuk menentukan keadaan awal bahwa penyakit yang akan diteliti pada kelompok individu belum terjadi. Selain itu, penentuan keadaan awal tersebut juga penting bila hasilnya akan dibandingkan dengan kelompok lian karena kedua kelompok yang akan dibandingkan angka insidennya harus komparabel dengan variabel-variabel penting yang sama antara kedua kelompok. 2. Menentukan waktu awal penyakit Menentukan kriteria diagnostik saat mulai timbulnya penyakit bagi kelompok penduduk yang kan dicari insidensnya merupakan hal yang
109
sangat penting. Dalam beberapa hal, penentuan ini relatif mudah, kecuali pada pada penyakit kronis yang pada awalnya tidak menunjukkan gejala yang khas. Pada kejadian demikian hendaknya digunakan tanda-tanda sedini mungkin yang dapat ditentukan secara obyektif. 3. Spesifikasi penyebut Bila penelitian epidemiologis untuk mencari insidensi penyakit dilakukan dalam jangka waktu lama, maka ada kemungkinan ada subyek studi yang drop out. Dengan alasan lain dan hanya mengikuti pengamatan sebagian waktu maka batasan atau rumus angka insidensi yang telah dibahas sebelumnya harus diadakan perbaikan yanitu pada penyebut digunakan
person-time sehingga insidensi rate disebut person years incidence rate. Atau cummulative incidence rate. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Dimana: p : estimasi kumulatif insidensi rate d : jumlah kaasus baru n : jumlah person at risk w: jumlah yang mengundurkan diri Bila diasumsikan bahwa semua yang mengunduirkan diri terjadi pada pertengahan tahun pengamatan maka jumlah yang mengundurkan diri menjadi ½ w. 4. Spesifikasi pembilang yaitu jumlah orang vs jumlah kejadian Misalnya, dalam hal tertentu orang dapat mengalami sakit yang sama beberapa kali dalam kurun waktu tertentu, misalnya influenza. Hal ini
110
menimbulkan dua angka insidensi dari data yang sama, yaitu angka insidensi berdasarkan orang yang menderita dan angka insidensi berdasarkan kejadian penyakitnya. Angka insidensi berdasarkan penyakit dapat lebih besar dibandingkan dengan angka insidensi berdasarkan penderita karena dalam periode tertentu seseorang dapat menderita penyakit yang sama lebih dari satu kali, terutama penyakit-penyakit yang akut yang cepat sembuh dan sering relaps. 5. Periode pengamatan Angka insidensi harus dinyatakan dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun, tetapi dapat juga dalam periode waktu lain asalkan cukup panjang. Misalnya, pada penyakit dengan frekuensi yang sangat sedikit membutuhkan waktu bertahun-tahun. Pada populasi besar, penyebut hendaknya menggunakan penduduk hasil sensus, misalnya pada pengamatan insidensi penyakit TBC suatu kota. Pada populasi kecil atau terbatas seperti sekolah atau industri, untuk penyebut digunakan individu yang benar-benar tidak menderita sakit pada saat dilakukan pengamatan. Untuk penyakit dengan insidensi yang terjadi dalam waktu yang pendek digunakan istilah attack rate. Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Untuk prevalensi terdapat dua ukuran, yaitu point
prevalence
111
(prevalensi sesaat) dan period prevalence (prevalensi periode).
=
=
ℎ
ℎ
ℎ
ℎ
Secara skematis, insidensi, point prevalence, dan period prevalence digambarkan sebagai berikut :
1 2 4 3 5 6 7 8
9 31 Desember
1 Januari 2010
2010
112
Insidensi
: 2, 3, 4, 8, 9
Prevalensi sesaat
: 1 Januari : 1, 5, 7 31 Desember : 2, 5
Prevalensi periode : 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9
4.3.
HUBUNGAN ANTARA INSIDENSI DAN PREVALENSI
Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya penyakit. Lamanya
sakit
adalah
periode
mulai
didiagnosanya
penyakit
sampai
berakhirnya penyakit tersebut, yaitu sembuh, mati, atau kronis. Hubungan antara prevalensi, insidensi dan lamanya sakit dapat dinyatakan dalam rumus berikut : P=IxD Dimana
P
= Prevalensi
I
= Insidensi
D
= Lamanya sakit
Gambar berikut menunjukkan hubungan antara insidensi dan prevalensi.
Sumber : Bailey, L, et.al., Introduction to epidemiology, Open University Press, 2005.
113
Bila karena kemajuan teknologi bidang pengobatan suatu penyakit hanya dapat menghindarkan kematian tetapi tidak menyembuhkan maka pada keadaan ini prevalensi akan meningkat meskipun tidak terjadi peningkatan insidensi. Sebaliknya, adanya kemajuan teknologi kedokteran hingga suatu penyakit dengan cepat dapat disembuhkan atau suatu penyakit yang dengan cepat menimbulkan kematian maka prevalensi akan tetap, bahkan mungkin menurun meskipun terjadi kenaikan insidensi. Penurunan prevalensi dipengaruhi oleh : a. Menurunnya insidensi. Lamanya sakit yang menjadi pendek Perbaikan pelayanan kesehatan. Bila kita membandingkan prevalensi suatu penyakit antara beberapa wilayah, harus memperhatikan ketiga faktor tersebut. Angka kesakitan dan kematian merupakan indeks kesehatan yang penting dalam mempelajari epidemiologi untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. b. Morbiditas Morbiditas meliputi penyakit, cedera/ kecelakaan, dan cacat/disability. Angka-angka morbiditas yang sering digunakan adalah sebagai berikut : Angka morbiditas Proporsi insidensi (attack rate/ risk) Secondary attack rate Incidence time rate)
Pembilang Jumlah kasus baru pada interval waktu tertentu Jumlah kasus baru antara kontak rate(person- Jumlah kasus baru dalam interval waktu tertentu
Point prevalence
Jumlah semua (baru dan lama) tercatat pada tertentu
Penyebut Populasi dalam interval waktu tertentu Jumlah populasi kontak
jumlah penduduk/ ratarata populasi dalam intervalwaktu tertentu kasus Populasi penduduk pada yang waktu tertentu waktu
114
Period prevalence
Jumlah semua kasus Rata-rata yang tercatat (baru dan pertengahan lama) dalam periode populasi tertentu
atau interval
Sumber : US Department of Health and Human Services, Principles of Epidemiology in Public Health Practice, 3rd edition, CDC
c. Ukuran frekuensi mortalitas : mortality rate Merupakan ukuran dari kejadian kematian pada populasi tertentu pada waktu tertentu. Ukuran mortalitas dan morbiditas relatif sama, hanya tergantung pada apa yang ingin diukur, kesakitan atau kematian. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut : ℎ
n
x 10
= ℎ
Beberapa angka kematian yang sering digunakan : Angka kematian Angka kematian umum (CDR) Angka kematian khusus : Angka kematian bayi (AKB/IMR)
Pembilang Jumlah seluruh kematian dalam setahun
Penyebut Jumlah penduduk pertengahan tahun
Jumlah kematian bayi (umur <1 tahun)dalam 1 tahun
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
Jumlah kematian neonatal (umur < 29 hari) dalam 1 tahun
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama Jumlah seluruh kelahiran pada tahun yang sama
Angka kematian ibu (AKI/MMR)
Jumlah kematian perinatal (janin dalam kandungan usia 28 minggu sampai bayi usia 1 minggu) dalam 1 tahun Jumlah kematian ibu karena proses reproduksi dalam 1 tahun
Angka kematian sebab khusus (SCDR) Angka kematian pada penyakit tertentu (CFR)
Jumlah kematian karena satu sebab tertentu dalam satu tahun Jumlah kematian karena penyakit tertentu
Jumlah penduduk pertengahan tahun Jumlah penderia penyakit tersebut pada periode yang sama
Angka kematian neonatal (NMR) Angka kematian perinatal (PMR)
Jumlah kelahiran hidup tahun yang sama
Sumber : Noor, Nasry, Epidemiologi, 2004, HUP
115
Ciri dari analisis epidemiologi adalah perbandingan, seperti perbandingan pada
jumlah penyakit yang diamati pada populasi dengan jumlah yang
diperkirakan. Perbandingan dapat diukur dengan menggunakan ukuran-ukuran risk ratio, rate ratio, dan odds ratio. Ukuran- ukran ini memberikan bukti tentang hubungan kausal antara paparan dengan penyakit.
116
BAB V RIWAYAT ALAMIAH DAN SCREENING POPULASI
Riwayat perjalanan alamiah merupakan proses perkembangan suatu penyakit tanpa adanya intervensi yang dilakukan oleh manusia dengan sengaja dan terencana. Eksperimen alamiah ini dapat berupa patogenik dan patogresif.
5.1. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT Memengacu pada proses perkembangan penyakit pada individu dari waktu ke waktu, tanpa adanya pengobatan/treatment. Misalnya infeksi HIV yang tidak diobati menyebabkan spektrum masalah klinis awal pada saat serokonversi (HIV primer) dan berakhir dengan AIDS dan kematian. Beberapa penyakit memiliki karakteristik alami, meskipun kerangka waktu dan manifestasi spesifik penyakit dapat bervariasi dari individu ke individu dan dipengaruhi oleh tindakan pencegahan dan terapeutik. Perjalanan penyakit dimulai dari tahap peka, tahap pragejala, tahap klinis, dan tahap ketidakmampuan. Tahap peka, meliputi orang yang sehat tetapi mempunyai faktor risiko/ predisposisi untuk terkena penyakit. Faktor risiko dapat berupa : -
Genetik/ etnik
-
Kondisi fisik
-
Jenis kelamin
117
-
Umur
-
Kebiasaan hidup
-
Sosial-ekonomi Tahap pragejala/subklinis, yaitu tahap dimana telah terjadi infeksi tapi belum
menunjukkan gejala dan masih belum terjadi gangguan fungsi organ. Tahap klinis, dimana telah terjadi gangguan fungsi organ yang terinfeksi/ terkena dan menimbulkan gejala. Tahap ketidakmampuan, ketika telah terjadi keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sifat-sifat ketidakmampuan : -
Gangguan fungsi somatis atau psikis
-
Bersifat sementara atau menetap
-
Terjadinya lama atau singkat
Berikut adalah bagan riwayat alamiah penyakit :
Sumber : US Department of Health and Human Services, Principles of Epidemiology in Public Health Practice, 3rd edition, CDC
118
Proses ini dimulai dengan paparan yang sesuai atau akumulasi beberapa faktor yang cukup untuk menyebabkan sebuah proses penyakit pada pejamu yang rentan. Untuk penyakit menular, paparannya adalah mikroorganisme. Untuk kanker, paparannya mungkin saja merupakan faktor yang memulai proses, misalnya serat asbes atau komponen dalam asap tembakau (pada kanker paruparu), atau zat yang dapat mendorong/ meningkatkan proses alamiah penyakit, misalnya esterogen (pada kanker endometrium). Setelah proses penyakit dipicu, terjadi perubahan patologis tanpa disadari oleh pejamu tersebut. Pada tahap subklinis, mulai dari paparan hingga timbulnya penyakit biasa juga disebut sebagai masa inkubasi untuk penyakit menular. Dan periode latensi untuk penyakit kronis. Selama tahap ini, penyakit dinyatakan asimptomatik (tanpa gejala) atau innapparent. Periode ini bisa sangat singkat dan bisa pula sangat lama. Berikut adalah masa inkubasi dari beberapa paparan hingga menyebabkan penyakit : Paparan
Efek klinis
Masa inkubasi/latensi
Konsumsi organoposphorus
Mual, muntah, kram,
Beberapa menit - beberapa
sakit kepala, gugup, penglihatan kabur, nyeri dada,
jam
kebingungan, berkedut, kejang
Salmonella
Diare, biasanya dengan
Biasanya 6 – 48 jam
demam dan kram Virus varicella zoster
Cacar air
10-21 hari, biasanya 14 – 16
119
hari Treponema pallidum
Sifilis
10 - 90 hari, biasanya 3 minggu
Hepatitis A virus
Hepatits
14 - 50 hari, rata-rata 4 minggu
Hepatitis B virus (HBV)
Hepatitis
50 - 180 hari, biasanya 2-3 bulan
HIV
AIDS
<1tahun - >15 tahun
Radiasi bom atom (Jepang)
Leukimia
2 - 12 tahun
Sumber : US Department of Health and Human Services, Principles of Epidemiology in Public Health Practice, 3rd edition, CDC Walaupun penyakit-penyakit tersebut tidak jelas selama masa inkubasi, beberapa perubahan patologis dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium, radiografi, atau metode screening lainnya. Dari sejarah alamiah penyakit, intervensi yang dilakukan sejak tahap awal, akan lebih efektif daripada pemberian pengobatan setelah berkembang menjadi gejala penyakit (symptom). Timbulnya gejala menandai transisi dari fase subklinik menjadi fase klinik. Kebanyakan diagnosis dibuat pada fase klinik. Pada beberapa orang, proses penyakit mungkin tidak pernah berkembang menjadi penyakit klinis yang jelas. Pada orang lain, proses penyakit dapat berubah dari penyakit ringan menjadi berat bahkan fatal. Rentang ini disebut sebagai spektrum penyakit. Pada akhirnya, proses penyakit akan berakhir dengan sembuh, cacat, atau kematian. Untuk agen infeksius, infektivitas mengacu pada proporsi individu terpapar yang terinfeksi. Patogenesitas mengacu pada proporsi individu yang terinfeksi yang berkembang menjadi penyakit klinik yang jelas. Virulensi mengacu pada proporsi dari kasus klinik jelas yang parah atau fatal. Karena spektrum penyakit mencakup
120
penyakit asimptomatik (tanpa gejala) dan kasus ringan, diagnosis penyakit yang ditegakkan sering hanya mewakili puncak dari gunung es. Banyak kasus yang mungkin terlalu dini untuk didiagnosis atau tidak pernah berkembang menjadi kasus klinis. Sayangnya, orang yang berada pada fase tanpa gejala atau tidak terdiagnosis tetap berpotensi untuk menularkan penyakit/ infeksi kepada orang lain. Individu yang terinveksi penyakit tapi dalam fase subklinis disebut carrier. Tantangan bagi petugas kesehatan masyarakat adalah bahwa individu yang carrier tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi dan dapat menular ke orang lain, lebih mungkin tanpa disadari menyebarkan infeksi daripada orang dengan penyakit yang jelas. 5.2. SREENING Untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dan menemukan penyakit sebelum menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara berikut : 1. Deteksi tanda dan gejala dini Untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dibutuhkan pengetahuan tentang tanda dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru dapat segera diketahui dan diberikan pengobatan. Biasanya penderita datang untuk mencari pengobatan setelah penyakit menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan sehari-hari yang berarti penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan penderita. 2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala
121
Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan screening terhadap orang-orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit. Diagnosis dan pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang datang untuk mencari pengobatan setelah timbul gejala relatif sedikit sekali dibandingkan dengan penderita tanpa gejala. Tujuan screening adalah untuk mengidentifikasi penyakit yang tanpa gejala, atau faktor risiko untuk penyakit, dengan melakukan suatu uji pada suatu kelompok populasi yang belum berkembang menjadi gejala-gejala klinis. Sreening test biasanya dan biasanya berusaha untuk mengidentifikasi sebagian kecil individu yang berisiko tinggi untuk kondisi tertentu. Secara garis besar, screening adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita. Proses screening terdiri atas 2 tahap, tahap pertama yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kelompok penduduk yang dianggap memiliki risiko tinggi menderita penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang tersebut tidak menderita penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan mendapatkan pengobatan, tapi bila hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit. Bagi hasil pemeriksaan yang negatif dilakukan pemeriksaan ulang secara periodik.
122
Kelompok orang yang Tampak sehat
Hasil Test Negatif
Test
Hasil Test Positif
Pemeriksaan Diagnostik
Hasil Test
Hasil Test
Positif
Negatif
Pengobatan Intensif
Pemeriksaan yang biasa digunakan pada screening test laboratorium atau radiologis, misalnya : dapat berupa pemeriksaan Pemeriksaan gula darah Pemeriksaan radiologis untuk screening penyakit TBC Pemeriksaan tersebut harus dapat dilakukan : Dengan cepat dapat memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut (pemeriksaan diagnostik)
123
Tidak mahal Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa
Dasar pemikiran dilaksanakannya screening adalah : 1. Yang diketahui dari gambaran spektrum penyakit hanya merupakan sebagian kecil saja sehingga dapat diumpamakan sebagai puncak gunung es, sedangkan sebagian besar masih tersamar. 2. Diagnosis dini dan pengobatan secara tuntas memudahkan kesembuhan 3. Biasanya penderita mencari pengobatan setelah timbul gejala atau penyakit telah berada dalam stadium lanjut hingga pengobatan menjadi sulit atau penyakit menjadi kronis atau bahkan tidak dapat disembuhkan lagi 4. Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk menularkan penyakit
5.3.TUJUAN SCREENING 1. Deteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap orangorang yang tampak sehat tetapi mungkin menderita penyakit, yaitu orang mempunyai risiko tinggi untuk terkena penyakit (population at risk) 2. Dengan ditemukannya penderitta tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara tuntas hingga mudah disembuhkan dan tidak membahayakan dirinya maupun lingkungannya dan tidak menjadi sumber penularan hingga epidemi dapat dihindari.
124
5.4.SASARAN SCREENING Sasaran utama screening adalah penyakit kronis seperti : -
Infeksi bakteri (lepra, TBC, dll)
-
Infeksi virus (hepatitis)
-
Penyakit non-infeksi ; hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, karsinoma serviks, prostat, galukoma
-
AIDS
Pelaksanaan screening : -
Massal Screening ini dilakukan tanpa mempertimbangkan population at risk. Cara ini dimaksudkan
menjaring
sebanyak
mungkin
kasus
tanpa
gejala.
Untuk
melaksanakan screening secara massal, besarnya biaya dan banyaknya tenaga
yang
dibutuhkan hendaknya menjadi pertimbangan yang masak
sebelum dilaksanakan. -
spesifik Screening secara spesifik dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai risiko atau di kemudian hari dapat meningkatkan risiko terkena penyakit seperti hipertensi yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Uji tapis secara spesifik dilakukan dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis kelamin atau pekerjaan, dll. Lokasi screening
125
-
lapangan (screening TBC dengan rontgen foto “mobill”)
-
rumah sakit umum (screening ca.serviks dengan papsmear pada wanita yang datang ke RSU)
-
rumah sakit khusus (screening glaukoma di RS mata)
-
pusat pelayanan khusus (pusat pelayanan kanker dan penyakit jantung)
Kriteria evaluasi 1. validitas 2. reliablitas 3. yield (hasil) Validitas Validitas adalah kemampuan untuk memberikan indikasi individu yang sakit benarbenar sakit dan yang sehat benar-benar sehat. Komponen validitas adalah : -
sensitivitas, kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat, dengan hasil tes positif ,dan benar sakit.
-
Spesivisitas, kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat, dengan hasil negatif, dan benar tidak sakit.
Idealnya, hasil tes screening harus 100% sensitif dan 100% spesifik, tapi dalam praktik hal ini ada dan biasanya sensitivitas berbanding terbalik dengan spesifisitas. Misalnya, bila hasil tes mempunyai sensitivitas yang tinggi, akan diikuti oleh spesivisitas yang rendah, dan sebaliknya. Hal ini tampak jelas pada tes yang mmenghasilkan data kontinu seperti : -
Hb
126
-
Tekanan darah
-
Serum kolesterol
-
Tekanan intraokuler
Hasil tes
Keadaan penderita
Jumlah
Sakit
Tidak sakit
Positif Negatif
a c
b d
a+b c+d
Jumlah
a+c
b+d
N
a
: positif benar
b
: positif semu
c
: negatif semu
d
: negatif benar
n
= a+b+c+d
sensitivitas : a/(a+c) spesivisitas : d/(b+d) proporsi negatif semu : c/(a+c) proporsi positif semu : b/(b+d)
Kelemahan cara pengujian diatas adalah : -
Tidak semua hasil pemeriksaan dapat dinyatakan dengan tegas „ya‟ atau „tidak‟
-
Perhitungan ini tidak sesuai dengan kenyataan karena perhitungan sensitivitas dan spesivisitas setelah penyakit diketahui atau didiagnosis, sedangkan tujuan
127
screening adalah mendeteksi penyakit yang belum tampak dan bukan untuk menguji kemampuan alat tes yang digunakan Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan perhitungan sebagai berikut : Nilai kecermatan positif (positive accurracy), proporsi jumlah yang sakit terhadap semua hasil tes positif Nilai kecermatan negatif (negative accurracy), proporsi jumlah yang tidak sakit terhadap semuua hasil tes negatif False positive, jumlah hasil tes positif semu dibagi dengan seluruh hasil tes positif False negative, jumlah hasil tes negatif semu dibagi dengan jumlah seluruh hasil tes negatif
Reliabiliitas Reliabilitas adalah kemampuan suatu tes menunjukkan hasil yang konsisten walaupun dilakukan secara berulang. Reliabilitas dipengaruuhi oleh : 1. Variabilitas alat yang dapat dtimbulkan oleh stabilitas reagen dan sstabilitas alat ukur yang digunakan. 2. Variabilitas orang yang diperiksa 3. Variabilitas pemeriksa, dapat berupa variasi internal, yaitu variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulangoleh orang yang sama, dan variasi eksternal, yaitu variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang.
128
Upaya untuk mengurangi berbagai variasi : -
Standarisasi reagen dan alat ukur
-
Latihan intensif pemeriksa
-
Penentuan kriteria yang jelas
-
Penerangan kepada orang yang diperiksa
-
Pemeriksaan dilakukan dengan cepat
Yield Merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari screening. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh : -
Sensitivitas alat screening, bila alat yang digunakan memiliki sensitivitas yang rendah akan dihasilkan banyak negatif semu, yang berarti banyak penderita yang tidak terdiagnosis sehingga yield yang diperoleh rendah. Begitu pula sebaliknya.
-
Prevalensi penyakit yang tidak tampak, makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala di masyarakat akan meningkatkan yield,terutama penyakit kronik.
-
Screening yang dilakukan sebelumnya, maka yield akan rendah karena banyak yang telah terdiagnosis sebelumnya.
-
Kesadaran masyarakat
Beberapa pertimbangan pelaksanaan screening : 1. Biaya 2. Alat yang digunakan
129
3. Tes yang digunakan untuk screening hharus cepat agar hasilnya segera diketahui 4. Tes yang digunakan harus sesuai dengan selera masyarakat dan tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat 5. Penderita yang terdeteksi harus mendapatkan pengobatan dan besarnya biaya pengobatan menjadi pertimbangan karena hhasilnya akan sia-sia bila pengobatan dibebankan pada penderita yang tidak sanggup menanggung biayanya. 6. Menyediakan alat untuk diagnosis
Catatan : Pencegahan primer merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit, tetapi bila hal itu tidak mungkin dilakukan maka mendeteksi tanda dan gejala penyakit dan pengobatan secara tuntas merupakan pertahanan kedua.
130
BAB VI DESAIN STUDI CROSS SEKSIONAL DAN STUDI EKOLOGI
Penelitian kesehatan berorientasi atau memfokuskan kegiatannya pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan. Desain studi epidemiologi digunakan untuk penelitian kesehatan, kedokteran klinis dan biomedis lainnya. Desain studi ekologi termasuk bagian dari epidemiologi observasional analitik yang mempelajari mengenai kaitan faktor risiko dengan efek, dimana rancangan penelitian ekologi ini memakai sumber ekologi sebagai bahan untuk menyelidiki secara empiris faktor risiko atau karakteristik yang berada dalam keadaan konstan di masyarakat. Desain studi cross-sectional termasuk bagian dari epidemiologi observasional analitik yang mempelajari dinamika hubungan antara faktor risiko dengan efek dengan cara mengamati dan mengobservasi data dalam waktu yang bersamaan atau sering disebut „point time approach‟. Ruang lingkup bahasan desain studi ekologi dan cross-sectional akan membahas beberapa desain studi ekologi dan cross-sectional, antara lain: Desain time-series Studi prevalensi Dapat memahami prinsip dasar penelitian kesehatan dengan epidemiologi sebagai „tool‟ untuk mengidentifikasi dan menganalisis penyebab masalah kesehatan dengan melakukan riset, sehingga dapat diketahui kaitan antara
131
beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya masalah kesehatan (kejadian penyakit) di masyarakat. Salah satu prinsip desain studi ekologi adalah pengamatan yang dilakukan dengan melihat efek masalah kesehatan kaitannya dengan faktor alam (tanpa melakukan intervensi). Sedangkan desain coss-sectional mengamati perubahan (dinamika) masalah kesehatan dengan mengambil data (baik data faktor risiko, maupun data efek) dalam waktu tertentu dan bersamaan (point time). Dengan berbekal pemahaman mengenai desain studi ekologi dan cross-sectional studi, diharapkan mahasiswa dapat mengenali dinamika hubungan atau kaitan beberapa faktor risiko (faktor yang dianggap penyebab) dengan efek (kejadian penyakit atau masalah kesehatan) dan dapat mengoptimalkan pemahaman dan analisis kejadian masalah kesehatan di masyarakat. o Desain studi ekologi, sebagai contoh tingginya polusi udara kaitannya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan. o Desain studi cross-sectional, sebagai contoh tingginya prevalensi penyakit diare kaitannya dengan rendahnya higiene perorangan penduduk. o Keunggulan dan kelemahan ke dua desain ini. Desain
studi
ekologi
dan
cross-sectional,
merupakan
bagian
dari
epidemiologi analitik yang menguji hipotesis dan menaksir (mengestimasi) besarnya hubungan antara paparan dengan kejadian penyakit. Kedua desain studi ini dapat dipakai dalam mengestimasi prevalensi penyakit di masyarakat, dan juga dapat
132
dipakai untuk mengeksplorasi dan merumuskan hipotesis, mengenai besarnya paparan terhadap penyakit. Desain studi ekologi dan cross-sectional ini akan memberikan pemahaman bagi mahasiswa untuk lebih mengenali beberapa konsep/desain penelitian dalam bidang ilmu epidemiologi, desain ini akan mengantar mahasiswa untuk lebih mengenal dinamika hubungan antara faktor risiko/paparan dengan kejadian penyakit (masalah kesehatan).
133
BAB VII DESAIN STUDI KASUS KONTROL Dalam studi epidemiologi dikenal dua kriteria penelitian epidemiologi, yakni Observasional dan eksperimental ( Beaglehole, dkk, WHO 1993). Secara umum tujuan
penelitian epidemiologi adalah(1)
Menggambarkan status
kesehatan
populasi (2) Menjelaskan etiologi dan determinan dari penyakit tersebut
(3)
Memprediksi jumulah kejadian penyakit di populasi dan(4) Mengontrol distribusi penyakit di Masyarakat melalu pencegahan. (Kleinbaum dkk, 1982) Penelitian
Kasus
kontrol
yang
merupakan
bagian
dari
penelitian
epidemiologi observasional yang merupakan pengamatan epidemiologis untuk mempelajari hubungan serta besarnya risiko, antara tingkat keterpaparan dengan kejadian penyakit. Pengamatannya “menoleh kebelakang” yakni dimulai dengan mengidentifikasi kelompok dengan peyakit/efek (kasus) dan kelompok tanpa penyakit (kontrol), kemudian dilihat kebelakang faktor risikonya. Ruang lingkup ini membahas tentang pengertian kasus control, nama atau istilah lain kasus control, langkah-langkah studi kasus control, memilih subjek penelitian, cara mengambil sampel kasus, cara mengambil sampel control , mengatasi confounding pada kasus control dan perhitungan dan kelebihan serta kekurangan dari kasus control. Sasarannya telah memiliki konsep dasar sebab akibat dari beberapa penyakit yang cukup sehingga mampu merancang suatu desain penelitain kasus control dengan benar. Dapat mengaplikasi kompetansi pertama dank e dua yakni dapat melakukan identifikasi dan mendeskrifsikan masalah apa yang terjadi di masyarakat kemudian
134
melakukan Investigasi baik secara survailans maupun survai dengan melakukan penelitian yang sesuai dan dapat memberikan prediksi angka risiko dengan menghitung Odds Ratio. Desain studi Kasus Kontrol ini dapat memberikan pemahaman untuk lebih cara dan konsep/desain penelitian kasus control pada bidang ilmu epidemiologi, dan dapat mengaplikasikannya di lapangan sesuai dengan teori yang telah di berikan. Penelitian Kasus Kontrol yang merupakan suatu rancangan pengamatan epidemiologis untuk mempelajari hubungan serta besarnya risiko, antara tingkat keterpaparan dengan kejadian penyakit. Pengamatannya “menoleh kebelakang” yakni dimulai dengan mengidentifikasi kelompok dengan peyakit/efek (kasus) dan kelompok tanpa penyakit (kontrol), kemudian dilihat kebelakang faktor risikonya. Jenis penelitian ini mempunyai beberapa nama lain yakni Retrospektif, kasus kelola, case referent , atau case history.Disebut dengan Retrospektif karena arah penelitain ini melihat ke belangkang atau ke masa lalu mengenai keterpaparan atau penyebanya, sedangan di sebut dengan kasus kelola karena penelitian ini mengelola kasus terlebih dahulu baru dilihat kembali apa yang menyebabkan kasus tersebut, begitupula dengan istilah Case referent peneliti menjadikan kasus sebagai referensi yang pertama sebgai awal pijakan penelitian lalau di telusuri penbyebabnya dan disebut dengan case history karena penelti melihat sejarah dari factor risisko atau penyebab atau perjalanan penyakit si penderita. Dalam urutan tingkat kekuatan hubungan sebab akibat desain ini berada dibawah penelitian kohort & Eksperimen namun lebih kuat dari cross
135
sectional. Subyek yang didiagnosis menderita sakit (kasus ) adalah insiden (kasus Baru) .
136
Ada Tidaknya Faktor Risiko
Penelitian Mulai dari sini
PENLURURAN KEBELAKANG
Faktor Risiko + (A) Kasus (Ada penyakit) Faktor Risiko - (B) Faktor Risiko + (C ) Kontrol (Tak Ada penyakit) Faktor Risiko - (D)
Gambar 1. Skema rancangan desai kasus kontrol
Langkah –langkah penelitian kasus kelola adalah sebagai berikut : 1. Menetapkan pertanyaan penelitian beserta hipotesis penelitian Pada langkah pertama peneliti harus membuat pertanyaan penelitian apa yang akan di teliti dan bagaimana hipotesis atau dugaan penelitian tersebut berdasarkan teori yang ada. 2. Mendeskripsikan variabel penelitian : Efek dan Faktor Risiko (FR) Setelah melakukan langkah pertama peneliti harus mendeskipsikan penelitian yang mana sebagai variable dependen atau variable tergantung atau variable terikat, dan juga menetukan mana yang akan di jadikan variable independen atau variable bebas. 3. Menentukan
Populasi
dan
Sampel
(kasus-kontol)
dan
caranya
untuk
pemilihan subyek penelitian
137
6.1. Memilih Kasus Yang perlu Diperhatikan dalama memilih kasus adalah: a. Kriteria Diagnosis Menjelaskan yang sejelasnya kriteria dari “penyakit” b. Sumber Kasus Sumber Kasus dapat diperoleh dari “Hospital Base” atau “Population Base”
c. Jenis Data Penyakitnya Hati-hati dengan memilih Jenis datanya apakah data Insiden atau data prevalens 6.2. Memilih Kontrol Yang perlu Diperhatikan dalam memilih kontrol adalah: a. Memilih kontrol dari sumber karekteristik yang
sama dengan kasus
b. Keserupaan antara Kontrol dan kasus Yaitu dengan melakukan Matching antara kasus dan kontrol agar mempunya karekteristik yang sama matcing tersebut dapat mengurangi pengaruh variabel confounding/pengganggu. Yang perlu diperhatikan adalah agar tidak terjadi Overmatching 6.3. Menetapkan Jumlah Sampel Sampel ditentukan dengan Rumus Case Control
jika kasus sedikit maka
jumlah control dapat diperbesar dengan perbandingan 1:2 sampai 1: 4 6.4. Melaksanakan Pengukuran variabel Efek dan Faktor Risiko (FR)
138
Dalam pelaksanaan pengukuran variable peneliti melihat variable penyebab atau fakterisiko dibuat menjadi dikotom atau menjadi dua kategori dan begitu pula dengan variable efek.
6.5.Melakukan analisis Dalam melakukan analisi case control kita melakukan pencarian nilai Odds Ratio dimana kita menggunakan rumus dari table 2x2 sebagai berikut : Tabel 2x2
KASUS
KONTROL
TOTAL
Faktor risisko (+)
A
B
(A+B)
Faktor risisko (-)
C
D
(C+D)
(A+C)
(B+D)
(A+B+C+D)
A xD OR =
= Bx C
Untuk lebih memperjelas aplikasi rumus tersebut di atas maka dilakukan penegerjaan pencarian nilai OR dengan contoh kasus sebagia berikut: Contoh Kasus : Dilakukan suatu penelitian Case Control di suatu rumah sakit pada 300 orang. Tujuannya ingin mencari hubungan antara penyakit AIDS dengan penggunaan jarum suntik pada IDU (Injection Drug User). Diketahui jumlah orang yang tidak AIDS adalah 175, jumlah total orang yang menggunakan jarum tak steril adalah 100, dari kelompok pengguna jarum yang tak steril ada 65 orang yang AIDS.
139
Pertanyaan 1. Sebutkan langkah-langkahnya penelitiannya? 2. Berapa Odds Rasionya? 3. Bagaimana kebermaknaanya Kelebihan Dan Kekurangan Kasus Kontrol KELEBIHAN 1. Dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat. 2. Relatif Murah dibandingkan dengan desain analitik lainnya 3. Cocok Untuk penyakit yang langka 4. Cocok untuk meneliti penyakit-penyakit yang masa laten panjang 5. Dapat meneliti berbagai Faktor risiko sekaligus KEKURANGAN 1. Desain ini rawan untuk terjadi bias seleksi dalam memilih subyek Serta bias informasi (recall bias) baik ketidak lengkapan cacatatan maupun daya ingat 2. Tidak efisien untuk mengevaluasi paparan yang langka kecuali jika persentase attributable risk tinggi 3. Tidak dapat menghitung laju insiden. 4. Kadang sulit memastikan hubungan temporal antara paparan dan penyakit 5. Hanya berkaitan dengan satu penyakit atau efek. 6. Kesulitan memilih kontrol yang tepat
140
BAB VIII DESAIN STUDI KOHORT
Dalam studi epidemiologi dikenal dua kriteria penelitian epidemiologi, yakni Observasional dan eksperimental ( Beaglehole, dkk, WHO 1993). Secara umum tujuan
penelitian epidemiologiadalah(1)
populasi
(2)
Menjelaskan
etiologi
Menggambarkan status
dan determinan
dari
kesehatan
penyakit
tersebut
(3)Memprediksi jumulah kejadian penyakit di populasi dan (4) Mengontrol distribusi penyakit di Masyarakat melalu pencegahan. (Kleinbaum dkk, 1982) Penelitian kohort yang merupakan bagian dari penelitian epidemiologi observasional
yang
merupakan
pengamatan
epidemiologis
untuk
mempelajarihubungan serta besarnya risiko, antara tingkat keterpaparan dengan kejadian penyakit. Pengamatannya “diikuti kedepan” yakni dimulai dengan populasi /kelompok subyek yang bebas dari penyakit, dan secara alami kelompok subyek ini akan terbagi menjadi terpapar dan tidak terpapar,kemudian diikuti sepajang waktu/periode tertentu untuk melihat ada tidaknya efek pada subyek tersebut. Penelitian
Kohort
yang
merupakan
suatu
rancangan
pengamatan
epidemiologis untuk mempelajari hubungan dan besarnya risiko antara paparan dan penyakit antara tingkat keterpaparan dengan kejadian penyakit. Pengamatannya “diikuti kedepan” yakni dimulai dengan populasi /kelompok subyek yang bebas dari penyakit, dan secara alami kelompok subyek ini akan terbagi menjadi terpapar dan
141
tidak terpapar,kemudian diikuti sepajang waktu/periode tertentu untuk melihat ada tidaknya efek pada subyek tersebut Jenis penelitian ini mempunyai beberapa nama lain yakni Prospektif, Studi Follow Up,Studi Longitudinal, Studi insidensi. Disebut dengan istilah seperti hal tersebut diatas dikarenakan arah penelitain ini mengikuti ke kedepan atau ke masa yang akan yang akan di follow up sepanjang masa, dan karena kejadian kasusnya adalah kasus baru terjadi maka studi ini disebut dengan studi insiden. . Dalam urutan tingkat kekuatan hubungan sebab akibat desain ini berada dibawah penelitian Eksperimen namun lebih kuat dari cross sectional dan Case Control.
Penelitian Mulai dari sini
PENLURURAN KEDEPAN
Apakah terjadi Efek
Efek (kasus) + (A) Faktor Risiko (+) Efek (kasus) -
Subyek tanpa Faktor Risiko dan tanpa efek Faktor Risiko (+)
(B)
Efek (kasus) + (C ) Efek (kasus) (D) Gambar 2. Skema rancangan desai Kohort
Langkah –langkah penelitian kasus kelola adalah sebagai berikut : 1.Menetapkan pertanyaan penelitian beserta hipotesis penelitian
142
Pada langkah pertama peneliti harus membuat pertanyaan penelitian apa yang akan di teliti dan bagaimana hipotesis atau dugaan penelitian tersebut berdasarkan teori yang ada. 2. Mendeskripsikan variabel penelitian : Efek dan Faktor Risiko (FR) Setelah melakukan langkah pertama peneliti harus mendeskipsikan penelitian yang mana sebagai variable dependen atau variable tergantung atau variable terikat, dan juga menetukan mana yang akan di jadikan variable independen atau variable bebas. Langkahnya sebagai berikut:
Mendefinisikan secara jelas faktor risiko (variabel independen/bebas) dan faktor efek (variabel dependen/terikat)
Mengidentifikasikan faktor risiko internal (dari subyek) maupun faktor risiko Eksternal (darilingkungan), hal ini penting karena dikhawatrirkan akan menjadi predisposisi timbulnya penyakit (efek) 3.Menentukan Populasi dan Sampel serta caranya untuk pemilihan subyek penelitian sebagai berikut: a. Dari awal penelitian dipilih subyek yang benar-benar tak mempunyai efek (penyakit). b. Subyek dipilih dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. c. Subyek yang dipilih dari populasi terjangkau berdasarkan geografik penduduk dan dari kelompok orang tertentu d. Melaksanakan Pengukuran variabel Efek dan Faktor Risiko (FR)
143
4. Dalam pelaksanaan pengukuran variable peneliti melihat variable penyebab atau fakterisiko dibuat menjadi dikotom atau menjadi dua kategori dan begitu pula dengan variable efek. 5. Mengamati timbulnya Efek agar tak Drop Out 6. Melakukan analisis Dalam melakukan analisi case control kita melakukan pencarian nilai Relatif Risk dimana kita menggunakan rumus dari table 2x2 sebagai berikut :
Tabel 2x2 KASUS
KONTROL
TOTAL
Faktor risisko (+)
A
B
(A+B)
Faktor risisko (-)
C
D
(C+D)
(A+C)
(B+D)
(A+B+C+D)
A ( A + B) RR = C (C+D)
INTERPRETASI KEMAKNAAN
Untuk menentukan apakah nilai OR bermakna atau tidak dihitung nilai batas atas dan batas bawah sbb: Nilai Batas Bawah/Lower Limit (LL) = RR ( e -F) Nilai Batas Atas/Upper Limit (UL) = RR ( e F)
INTERPRETASINYA :
144
1. Bila Nilai LL dan UP dibawah 1 atau nilai LL dan UL diatas 1 ( =Tidak Mencakup Nilai 1) Berarti nilai RR ada hubungan yang bermakna 2. Bila Nilai LL dibawah 1 atau nilai UP diatas 1 (=Mencakup Nilai 1) Berarti nilai RR ada tidak ada hubungan yang bermakna. Untuk lebih memperjelas aplikasi rumus tersebut di atas maka dilakukan penegerjaan pencarian nilai Realative Risk (RR) dengan contoh kasus sebagia berikut: Contoh Kasus : Dilakukan suatu penelitian Longitudinal selama 10 tahun di suatu propinsi pada 1500 orang. Tujuannya ingin mencari hubungan antara kejadian kanker paru dengan merokok. Setelah pengamatan didapatkan orang-orang yang mempunyai paparan dan sakit sebesar 600, hasil pengamatan tersebut juga mendaptakan jumlah orang yang kanker paru adalah 1100 dan jumlah total orang merokok adalah 900 Pertanyaan 1. Sebutkan langkah-langkahnya penelitiannya? 2. Berapa Rasio Relatif? 3. Bagaimana kebermaknaanya? Kelebihan Dan Kekurangan Kasus Kontrol
KELEBIHAN 1. Merupakan desain yang terbaik utuk menentukan insiden dan laju insiden 2. Studi ini paling baik dalam menerangkan hubungan temporal
antara
faktor risiko dengan efek 3. Dapat meneliti beberapa efek sekaligus dari suatu faktor risiko tertentu
145
4. Bias pada paparan lebih minimal 5. Cocok untuk meneliti paparan yang langka KEKURANGAN 1. Desain ini memerlukan waktu yang lama 2. Sarana dan biaya mahal 3. Tidak efisien untuk kasus (penyakit) yang langka 4. Terancam adanya drop out 5. Dapat menimbulkan masalah etika karena peneliti membiarkan subyek terpajan paparan yang dapat merugikan si subyek itu sendiri
146
BAB IX DESAIN STUDI EXPERIMENT
Experimen dalam pengertian umum berarti mencoba sesuatu yang baru “To try something new”. Dalam Epidemiologi, Studi Experimen adalah mengukur pengaruh suatu perlakuan (intervensi) pada populasi dengan cara membandingkan hasil-hasil perlakuan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. (Last,2001) sehingga penelitian ini disebut juga studi Intervensi. Dalam urutan tingkat kekuatan hubungan sebab akibat desain ini merupakan desain terbaik untuk hubungan sebab akibat, terutam desain experiment murn Pengamatannya sangat mirip dengan studi Cohort yakni kelompok subyek perlakuan dan kelompok kontrol diikuti sampai terjadinya Efek .Perbedaannya pada adanya intervensi serta alokasi subyek secara eligibilitas dan metode perlakuan ditentukan oleh peneliti.
Penelitian Mulai dari sini
PENLURURAN KEDEPAN
Apakah terjadi Efek
Efek (kasus) + (A) Kelompok perlakukan Efek (kasus) - (B)
Subyek sampel (dilakukan rendomisasi) Kelompok non perlakukan
Gambar Skema rancangan desai Experiment
Efek (kasus) + (C ) Efek (kasus) - (D)
147
Langkah –langkah penelitian kasus kelola adalah sebagai berikut : 3. Menetapkan pertanyaan penelitian beserta hipotesis penelitian Pada langkah pertama peneliti harus membuat pertanyaan penelitian apa yang akan di teliti dan bagaimana hipotesis atau dugaan penelitian tersebut berdasarkan teori yang ada. 2. Mendeskripsikan variabel penelitian : Efek (dependen) dan penyebab (Independen) Setelah melakukan langkah pertama peneliti harus mendeskipsikan penelitian yang mana sebagai variable dependen atau variable tergantung atau variable terikat, dan juga menetukan mana yang akan di jadikan variable independen atau variable bebas. Langkahnya sebagai berikut: a) Menentukan Populasi dan Sampel baik secara rndomaisi ataupun tidak tergantung dari jenis experiment yang dilakukan b) Mengikuti dan memeberikan perlakukan terhadap sampel c) Melakukan analisis
JENIS-JENIS STUDI EXPERIMENT
Studi Experimen memepunyai dua bentuk studi penelitian yakni experiment murni dan experiment kuasi adapaun pembagiannya adalah sebagai berikut :
148
STUDI EKSPERIMEN
EKSPERIMEN KUASI
EKSPERIMEN MURNI
COMPLETELY RENDOMIZED
DESAIN
RENDOMIZED BLOCK
POST TEST DESIGN
DESIGN
CROSSOVER DESIGN
ONE GROUP PRE AND POST TEST WITH CONTROL
PRE-TEST WITH CONTROL
a. EXPERIMENT MURNI Disebut juga penelitian Eksperimen random atau Randomize controlled Trial (RCT) Studi ini menggunakan prosudur random untuk mengalokasi berbagai lavel faktor penelitian pada subyek Studi ini dianggap sebagai “gold Standard” dalam suatu penelitain karena studi ini dapat dapat mengendalikan situasi penelitian (terutama faktor perancu) secara maksimal Cara menentukan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dimulai dengan populasi sumber, kemudian dicari yang memenuhi syarat (eligible), jika memenuhi syarat maka ditanya apakah setuju untuk
149
berpartisipasi atau tidak, jika ya maka dilakukan rendomisasi untuk tentukan kelompok perlakuan dan kontrol. b. EXPERIMENT KUASI Studi ini dalam mengontrol situasi penelitian menggunakan cara non rendomisasi Studi ini berasal dari riset sosial (campbell & stanly 1963) namun diadopsi oleh epidemiologi untuk mengevalusi dampak intervensi pada kesehatan masyarakat. Studi ini dilakukan takala pengalokasian faktor penelitian kepada subyek tidak mungkin, tidak etis atau tidak praktis jika dilakukan rendomisasi Cara desai penelitainnya tergantung dari jenis eksperimen kuasi tersebut c. ANALISA DATA Analisis data pada Studi Eksperimen disesuaikan dengan jenis data apakah data katagorikal atau data kontinu, dengan syarat Sbb: 1. Jika variabel hasil bentuk datanya katagorikal dan perlakuan katagorikan maka kemaknaan dapat diuji dengan uji Chi Kuardat, Odds Ratio atau Relatif Risk dan Analisis Regresi logistik 2. Jika Variabel hasil/kontinu dan perlakuan katagorikal maka pengaruh di uji dengan uji t atau F one way anova atau analisis regresi linier
150
d. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN EKSPERIMEN MURNI KELEBIHAN 1. Dengan adanya rendomisasi maka bias dapat dikontrol sehingga counfonding berkurang dan tersebar merata di semua subyek 2. Hubungan sebab akibatnya menjadi kuat 3. Memungkinkan dilakuakan suatu meta analisis KEKURANGAN 1. Mahal dan memekan waktu lama 2. Jika sampel terlalu sedikit maka rendomisasi tidak menjadi efisien 3. Banyak Berkaitan dengan masalah etik EKSPERIMEN KUASI
KELEBIHAN 1. Lebih Memungkinkan diterapkan 2. Lebih murah 3. Pada sampel-sampel besar lebih mudah KEKURANGAN 1. Karena tak dilakukan rendom, maka peneliti tak dapat mengendalikan faktor perancu 2. Dapat menimbulkan bias
151
BAB X BIAS INFORMASI
Bias Informasi adalah bias dalam cara mengamati, melaporkan, mengukur, mencatat, mengklasifikasi dan menginterpretasi status paparan atau penyakit, sehingga mengakibatkan distorsi penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit. Bias informasi disebut juga bias pengukuran (measurement bias), bias pengamatan (observation bias) atau bias misklasifikasi (misclassification bias). Bias Informasi adalah bias dalam cara mengamati, melaporkan, mengukur, mencatat, mengklasifikasi dan menginterpretasi status paparan atau penyakit, sehingga mengakibatkan distorsi penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit. Bias informasi disebut juga bias pengukuran (measurement bias), bias pengamatan (observation bias) atau bias misklasifikasi (misclassification bias). Terdapat dua macam bias misklasifikasi, yaitu : 1. Bias Misklasifikasi Acak Bias misklasifikasi acak terjadi jika misklasifikasi informasi dialami secara acak oleh kelompok-kelompok studi. Bias misklasifikasi acak adalah misklasifikasi status paparan yang dialami secara acak oleh kelompok kasus dan kelompok non kasus, atau misklasifikasi status penyakit yang dialami secara acak oleh kelompok terpapar dan kelompok tak terpapar. Arah bias
152
misklasifikasi acak mudah diprediksi, sebab selalu menghasilkan penafsiran pengaruh paparan yang lebih rendah (underestimation) dari pada pengaruh yang sesungguhnya pada populasi sasaran. Misklasifikasi acak biasanya timbul karena kesulitan dalam pengukuran variable. Contoh : dalam penelitian kebiasaan merokok sebagai paparan penyakit, lazimnya status merokok dibagi dikotomi menjadi : a. Perokok, b. Bukan perokok Cara pengukuran seperti itu tentu tidak akurat, sebab tidak mendiskriminasikan dengan jelas apakah perokok masa kini atau perokok masa lalu, lamanya kebiasaan merokok, jumlah batang rokok yang diisap per hari, merk rokok, pemakaian filter, kandungan tar dan nikotin, frekuensi pengisapan rokok, dan sebagainya. Pada penelitian hubungan merokok dan infark otot jantung (MI), secara biologic diketahui bahwa yang mempengaruhi timbulnya MI adalah kebiasaan merokok pada saat sekarang ini. Dengan demikian klasifikasi dikotomi status merokok yang lebih tepat adalah : a) Merokok saat ini b) Tidak merokok atau merokok pada masa lalu. Di pihak lain, pada penelitian hubungan merokok dan Ca Paru yang lebih penting adalah lamanya merokok jumlah batang rokok, kandungan tar dan nikotin, dan sebagainya. Dengan demikian
153
klasifikasi dikotomi status merokok sebagai variable kompleks harus mampu mengakomodasi sub varibel-variabel tersebut. 2. Bias misklasifikasi disferensial (nir-acak) Bias misklasifikasi diferensial terjadi jika misklasifikasi informasi dialami secara berbeda oleh kelompok-kelompok studi. Misklasifikasi disebut diferensial jika senstivitas dan spesifisitas dalam mendiagnosis penyakit adalah berbeda diantara kelompok terpapar dan tak terpapar, atau jika senstivitas dan spesifisitas dalam mengklasifikasi paparan adalah berbeda antara kelompok sakit dan tak sakit. Contoh : Sensitivitas pada kelompok sakit = 95, sedangkan pada kelompok tak sakit adalah 75, Sensitivitas pada kelompok sakit adalah 75, sedangkan pada kelompok tak sakit adalah 95. Misklasifikasi disferensial memberikan dampak lebih serius dari pada misklasifikasi acak, sebab pengaruhnya tidak dapat diprediksi dengan tepat, yakni dapat memperbesar, memperkecil, maupun meniadakan hubungan antara paparan dan penyakit yang sebenarnya pada populasi sasaran. Salah satu jenis bias yang bersifat misklasifikasi disferensia adalah bias mengingat kembali (recall bias). Bias ini sering terjadi studi kasus control, ketika tingkat akurasi kasus dalam mengingat riwayat paparan berbeda dengan control. JENIS BIAS INFORMASI Dari berbagai jenis bias Informasi beberapa diantaranya yang penting diketahui adalah :
154
1. Bias Mengingat kembali (Recall Bias) Recall bias adalah bias yang terjadi karena perbedaan akurasi antara kasus dan control dalam mengingat dan melaporkan paparan (studi kasus control) atau perbedaan akurasi antara kelompok terpapar dan tidak terpapar dalam melaporkan peristiwa (penyakit) yang dialami (studi kohort retrospektif). Bias itu sering skali terjadi pada desai penelitian case control dan studi kohort retrospektif, sebab paparan dan penyakit telah terjadi pada saat peneliti memulai penelitiannya. Kemungkinan
recall
bias
semakin
besar
jika
paparan
sudah
berlangsung bertahu-tahun yang lampau, atau menyangkut sejumlah faktor lainnya yang mirip dengan faktor penelitian. Recall bias sering juga terjadi ketika wawancara terpaksa yang dilakukan terhadap responden pengganti (surrogate) karena responden langsung adalah anak kecil, sakit berat atau penderita sakit jiwa. Pengaruh recall bias bisa memperbesar atau memperkecil pengaruh paparan yang sesungguhnya. Jika kasus membesear-besarkan riwayat paparan sedang control cenderung mengecilkan arti paparan, atau jika kelompok terpapar membesar-besarkan gejala yang dialaminya. Sedangkan kelompok tak terpapar cenderung menganggap ringan gejala-gejala yang dialaminya, maka bias itu akan memperbesar pengaruh paparan yang sebenarnya. Sebaliknya jika kasus memperkecil riwayat paparan sedangkan control cenderung memperbesar arti paparan, atau jika kelompok terpapar
155
memperkecil gejala yang dialaminya sedangkan kelompok tak terpapar cenderung menganggap serius gejala-gejala yang dialaminya, maka bias itu akan memperkecil pengaruh paparan yang sebenarnya. 2.
Bias Pewawancara
Bias pewawancara (Interviewer bias) berasal dari pihak pewawancara (peneliti). Bias ini terjadi karena pewawancara mengumpulkan, mencatat dan menginterpretasikan informasi tentang paparan atau penyakit subjek penelitian secara berbeda antara kasus dan control, dan perbedaan itu dipengaruhi oleh status paparan; atau berbeda antara terpapar dan tak terpapar, dan perbedaan itu dipengaruhi oleh status penyakit. Pada studi case control dan studi cohort retrospektif, baik paparan maupun penyakit sudah terjadi sebelum memulai penelitiannya. Jika dalam menentukan riwayat paparan (case control) atau dalam menentukan penyakit (studi kohort retrospektif) pewawancara terpengaruh oleh hipotesis penelitian yang diketahuinya, maka disini terjadi bias pewawancara. Pengaruh terhadap pewawancara dapat berwujud kecenderungan untuk mencatat riwayat paparan (jika eksistensi paparan mendukung hipotesis) atau tidak mencatat riwayat paparan (jika eksistense paparan tidak mendukung hipotesis). Bias pewawancara diatasi dengan menerapkan pembutaan (blinding), artinya pewawancara dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak mengetahui hipotesis penelitian tentang hubungan paparan dan penyakit. 3. Bias Follow-up
156
Bias follow-up (Loss to follow up bias) terjadi pada studi kohort karena hilangnya anggota kohort selama jangka waktu follow up. Pada studi kohor, setiap subjek diidentifikasi menurut starus paparan, kemudian diiukuti teru dalam jangka waktu tertentu untuk dicatat apakah mengalami penyakit yang diteliti atau tidak. Jika selama follow up ada individu yang hilang atau berhenti, dan berhentinya berkaitan dengan stutus paparan atau status penyakit, maka penelitian itu mengalam bias follow up. Pada studi kohor dan uji klinik, kemungkinan bias follow up dapat dihindari dengan memilih populasi umum yang memiliki batasan yang jelas, menggunakan
catatan
kependudukan
yang
teratur
dan
selalu
diperbaharui.Populasi khusus dapat juga dipergunakan, misalnya para pekerja pabirk, anggota organisasi profesi, asuransi kesehatan, para veteran, alumni perguruan tinggi. Namun, dalam menggunakan populasi khusus perlu dicegah kemungkinan timbulnya bias pekerja sehat. 4.
Efek Hawthorne
Efek Hawthorne dikemukakan oleh Elton Mayo ketika melakukan penelitian di pabrik Hawthorne, Chicago, Amerika Serikat milik Westhern Electric Company, antara tahun 1927 hingga 1932 (Griffin, 1984). Dalam eksperimennya,
konsultan
manajemen
dari
universitas
Harvard
itu
memanipulasi tingkat penerangan, untuk peneliti pengaruh lingkungan kerja terhadap
produktifitas.
Subjek
penelitian
menunjukkan
peningkatan
157
produktifitas ketika penerangan ditingkatkan pada mulanya disimpulkan, penerangan yang meningkat itulah penyebab meningkatnya produktifitas. Ternyata kemudian kinerja tetap saja tinggi, meskipun penerangan diturunkan sampe seredup sinar bulan, sehingg kesimpulan penerangan sebagai penyebab meningkatnya produktifitas terbantahkan. Setelah penelitian itu diteruskan, Mayo sampai pada kesimpulan : a. Produktifitas meningkat karena para pekerja mengetahui sedang dievaluasi b. Produktifitas para pekerja sangat dipengaruhi oleh norma kerja yang berlaku diantara pekerja. Dari riset manajemen itu lalu efek hawthorne diadopsi dalam riset epidemiologi untuk menjelaskan adanya suatu perubahan perilaku subjek penelitian yang disesuaikan dengan keinginan peneliti yang kehadirannya diketahui oleh subjek penelitian. Tidak jarang bias tersebut dating dari pihak peneliti, dengan memberikan perhatian “ekstra” kepada subjek kelompok eksperimental (yang mendapat perlakuan). Bias ini lazim ditemukan pada uji klinik di Rumah sakit. Efek Hawthorne sulit diukur, tetapi dapat dicegah dengan membuat (blinding) terhadap asisten peneliti atau pasien. Pada uji efikasi obat, pembuatan dilakukan dengan cara memberikan placebo kepada kelompok control dalam jumlah yang sama, cara yang sama dan pada jam yang sama dengan kelompok eksperimen. Efek Hawthorne puladapat diatasi dengan
158
membentuk kelompok control penyeimbang (attention control group). Pada studi Psikoterapi, psikoterapis melakukan tatap muka dengan kelompok control itu, pada frekuensi dan durasi yang sama dengan kelompok eksperimen. Perbedaan terletak pada substansi pertemuan, diamana pada kelompok control bersifat kosong, sedangkan pada kelompok eksperimen bersifat therapetik.
159
BAB XI INFERENSI KAUSAL DAN MODEL KAUSALITAS Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog ditunjukkan pada riset etiologi.riset etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui penyebab-penyebab penyakit, hubungan satu penyebab dengan penyebab lainnya, serta besarnya pengaruh terhadap penyakit. Untuk membuat kesimpulan
tentang
penyebab
penyakit,
pertama-tama
kita
perlu
mengklasifikasiarti “kausalitas” dalam epiodemologi. Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog ditunjukkan pada riset etiologi.riset etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui penyebab-penyebab penyakit, hubungan satu penyebab dengan penyebab lainnya, serta besarnya pengaruh terhadap penyakit. Untuk membuat kesimpulan
tentang
penyebab
penyakit,
pertama-tama
kita
perlu
mengklasifikasiarti “kausalitas” dalam epiodemologi. Model Kausalitas Riset tentang hubungan kausal sangat penting perannya bagi kesehatan masyarakat dan kedokteran. Anjuran untuk tidak merokok dibuat berdasarkan temuan ratusan riset yang membuktikan bahwa merokok adalah penyebab ca paru. Para dokter memberikan obat berdasarkan hasil uji klinik yang menemukan bahwa obat tersebut memang memperbaiki kondisi pasien. Perencana
kasehatan
merencanakan
penempatan
fasilitas
pelayanan
160
kesehatan pada suatu komunitas dengan asumsi, bahwa fasilitas akan menyebabkan perbaikan status kesehatan komunitas yang dilayani. Pada prinsipnya terdapat dua pendekatan yang mengetahui hubungan sebab-akibat antara faktor yang diteliti dan penyakit, yaitu: (1) pendekatan detirminisme;
dan
(2)
pendekatan
probabilitas.
Dalam
pendekatan
detirminisme, hubungan antara variable dependen (penyakit) danvariabel independen (faktor penelitian) berjalan sempurna, persis dengan yang digambarkan pada model matematik.disini diasumsikan tidak terdapat satu jenis kesalahan (error) pun yang mempengaruhi sifat hubungan kedua fariabel itu. Contoh: postulat henle-koch. Pendekatan probabilitas, di lain pihak, memberikan ruang terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat acak (sampling error), bias, maupun kerancuan (confounding). Dalam
pendekatan
probabilitas
digunakan
teori
statistic
untuk
meyakinkan apakah terdapat hubungan yang valid antara faktor penelitian dan penyakit. Penaksiran hubungan yang falid adalah penaksiran hubungan yang telah memperhitungkan faktor peluang, bias dan kerancuan. Contoh dalam mempelajari hubungan antara tekanan darah dan umur ,orang-orang yang seumur belum tentu memiliki tekanan darah yang sama. Tetapi, dengan metode statistik yang layak, kita dapat menyimpulkan bahwa, secara rata-rata tekanan darah meningkat dengan bertambahnya umur. Dengan model
161
statistik bahkan kita dapat meramalkan tekanan darah untuk suatu umur tertentu. Model Determinasi Murni Dengan model detirminisme murni, hubungan kausal antara faktor X (agen) dan faktor Y (penyakit) digambarkan memiliki bentuk yang konstan, k, satu lawan satu, sehingga satu faktor dapat memprediksi kejadian satu faktor lainnya dengan sempurna. Perhatikan gambar x yang memperlihatkan model kausasi tunggal. Dengan model kausasi tunggal, sebuah agen X dikatakan sebagai penyebab penyakit Y, jika hubungan X dan Y
Faktor X
Penyakit Y
Gambar x. Model Kausasi Tunggal
Memiliki spesifisitas akibat, dan spesifisitas penyebab. Dengan spesifisitas akibat dimaksudkan, penyakit Y adalah satu-satunya akibat dari agen X. dengan spesifisitas penyebab dimaksudkan, hanya dengan adanya agen X. dengan spesifisitas penyebab dimaksudkan, hanya dengan adanya agen X dapat terjadi penyakit Y (disebut, necessary cause); dan cukup dengan agen X dapat terjadi dapat terjadi penyakit Y (disebut, sufficient cause).
162
Model determinisme pertama kali di peragakan oleh Jacob henle. Pada tahun 1840, atau kurang lebih 40 tahun sebelum para mikrobiolog berhasil mengisolasi dan menumbuhkan bakteri dalam kultur untuk pertama kali, ia membuat model kausasi yang melibatkan relasi antara sebuah agen sebagai penyebab dan sebuah hasil sebagai akibat. Model kausal itu dilanjutkan muridnya,Robert Koch pada tahun 1882, untuk menjelaskan hubungan basil tuberculosis dan penyakit tuberkolosis. Model kausalitas itu dinyatakan dalam tiga postulat yang dikenal sebagai postulat henle-koch (Rivers, 1937). Suatu agen adalah penyebab penyakit apabila ketiga syrat berikut di penuhi: (1)
Agen tersebut selalu di jumpai pada setiap kasus penyakit yang diteliti (necessary cause), pada keadaan yang sesuai;
(2)
Agen tersebut hanya mengakibatkan penyakit yang diteliti, tidak menyebabkan penyakit lain (spetifitas efek);
(3)
Jika agen diisolasi sempurna dari tubuh, dan berulang-ulang ditumbuhkan dalam kultur yang murni, ia dapat menginduksi terjadinya penyakit (sufficient cause).
Model Determinasi Dengan Modifikasi Apakah model kausasi tunggal dapat diterapkan paada semua penyakit? Mari kita kaji dengan beberapa contoh. Spesifitas penyebab mudah dijumpai pada penyakit-penyakit tumor yang langka. Angiosarkoma hati, mmisalnya, sebegitu jauh diketahui terjadinya hanya dan cukup bila terdapat paparan dengan vinil klorida. Demikian pula, adenokasinoma vagina pada
163
anak perempuan terjadi hanya dan cukup bila ibunya terpapar hormon DES (diethylstilbestrol) sewaktu hamil. Sekarang bagaimana dengan etiologi penyakit-penyakit lain pada umumnya? Tampaknya syarat spesifisitas penyebab dan spesifisitas efek terlalu sulit untuk dipenuhi pada sebagian besar penyakit. Penyebab Majemuk Telah banyak bukti empiric dan keykinan teoretik bahwapadaumumnya penyakit memiliki lebih dari sebuah penyabab. Pada penyakit non-infeksi, tak ada satu faktorpun dapat mengakibatkan penyakit secara sendiri. Jika seorang ingin terkena ca paru, maka ia tidak dapat mewujudkannya dengan hanya merokok. Demikian pula dengan penyakit infeksi. Kehadiran agen-agen mikroba ternyata tidak selalu disertai dengan tanda dan gejala yang merupakkan cirri-ciri dari penyakit tersebut(dobus,1965). Ini berarti, sebuah agen tidak menyebabkan perubahan patologik dengan sendirinya. Pengaruh agen sengat tergantung dengan beberapa faktor lainnya, termasuk defisiensi gizi,paparan bahan racun,stress emosional, dan bahkan lingkungan sosial yang lebih kompleks. Perhatikan gambit
penyakit tuberkolosis disebabkan
oleh infeksi basil tuberculosis dalam tubuh manusia. Tetapi infeksi oleh basil tuberculosis tidak selalu menghasilkan tuberculosis klinik. Hanya sedikit proporsi orang yang terinfeksi oleh basil mengalami penyakit secara kklinik. Artinya, basil tuberklosis merupakan necessary cause, tetapi bukan sufficient cause. Ada sejumlah faktor lain yang bersama-sama dengan basil tersebut
164
menciptakan keadaan yang mencukupi terjadinya tuberculosis klinik.faktorfaktor tersebut adalah nutrisi yang buruk keadaan lingkungan yang buruk, umur,dan
faktor
genetic.
Faktor-faktor
tersebut
menjalankan
perannyamenginduksi dan mempromosi terjadinya tuberkulisis klinik.keadaan yang di butuhkan untuk terjadinya penyakit, disebut necessary condition; sedangkan keadaan yang cukup membuat terjadinya penyakit disebut sufficient condition. Peran fakto-faktor penyebab dalam model kausalitas majemuk di atas bersifat kumulatif, dimana keadaan yang mencukupi terjadinya tuberculosis klinik hanya bisa diciptakan secara bersama-sama. Jadi,masingmasing faktor merupakan necessary cause, tapi tidak sufficient cause. Peran faktor-faktor penyebab dapat juga bersifat independen/alternative. Gambar X memperlihatkan, penyakit A disebabkan faktor 1, faktor 2, faktor 3, secara sendiri. Artinya, masing-masing faktor itu bersifat necessary cause, sekaligus
sufficient cause.
Faktor 1
Faktor 2
Reaksi pada Tingkat Seluler Penyakit A
Faktor 3
Gambar x. Model Kausasi Faktor Majemuk Alternatif
165
Efek Majemuk Banyak bukti-bukti mendukung keyakinan bahwa sebuah faktor dapat memberikan lebih dari sebuah efek. Contoh: merokok menyebabkan ca paru, tetapi jiga ca buli-buli, ca esophagus,ca rongga mulut, penyakit crohn, penyakit jantung koroner,emfisema, bronchitis kronik, kematian prenatal, dan penyakit periodontal. Beberapa Model Kausasi Majemuk Sejumlah epidemiolog mengklrifikasi faktor “penyebab” penyakit, dan membuat model yang menggambarkan relasi faktor-faktor tersebut dengan penyaki. Beberapa model yang terkenal adalah: 1. Klaster Faktor Penyebab Rothman (1976) mengemukankan konsep relasi faktor-faktor penyebab dan penyakit, yang di sebut klaster faktor penyebab (cluster of causal faktors). Dengan model ini, penyebab yang mencukupi bukanlah faktor tunggal, tetapi sejumlah faktor yang membentik sebuah kelompok yang disebut klaster. Tiap klaster faktor penyebab mengakibatkan sebuah penyakit. Faktot-faktor dalam satu klaster saling berinteraksi dan saling tergantung, untuk menimbulkan pengaruh klaster itu. Tetapi, antara satu faktor dan faktor lainnya dari klaster yang berlainan tidak saling tergantung. Sebuah faktor penyeab bisa hadir satu klaster , maupun sejumlah klaster lainnya. Faktor penyebab yang hadir pada stu atau lebih (tetapi tidak semua) klaster, dan memungkinkan terjadinya penyakit pada semua klaster di sebut necessary cause (rothman, 1976).
166
2. Segitiga Epidemiologi Model ini menggambarkan relasi tiga komponenpenyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan dalam bentuk segitiga. Perhatikan gambar 2.6 untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah keseimbangan ketiga komponen, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit. Model segitiga cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi. Sebab peran agen (yakni, mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungannya. Tetapi, bagai mana dengan penyakit non-infeksi, seperti skizofrenia, penyakit jantung kroner(PJK) dan atritisrematoid? Etiologi penyakit non-infeksi pada umumnya tidak di hubungkan dengan peran agen yang spesifik. Kalaupun bisa di identifikasi, para epidemiolog lebih suka memandang agen sebagai bagian integral dari lingkungan secara keseluruhan (biologic,sosial dan fisik). Karena itu berkembang model-model yang lebih memperhatikan interaksi majemuk antara penjamu dan lingkungan, ketimbang penekan berlebihan kepada peran agen. 3. Jala-Jala Kausasi Model ini di cetuskan oleh mcmahon dan pugh (1970). Prinsipnya adalah, setiap efek (yakni, penyakit) tak pernah tergantung kepada sebuah faktor penyebab, tetapi tergantung pada sejumlah faktor dalam rangkaian
167
kausalitas sebelumnya. Faktor-faktor penyebab itu disebut promoter dan inhibitor. Gambar
Menyajikan Model Jala-Jala Kausasi. Model Roda, model ini menggambarkan hubungan manusia dan lingkungan sebagai roda. Roda tersebut terdiri atas manusia dengan substansi genetik pada
bagian
intinya,
dan
komponen
lingkungan
biologi,sosial,
fisik
mengelilingi penjamu. Ukuran komponen roda bersifat relatif, tergantung problem spesifik penyakit yang bersangkutan. Contoh: pada penyakit herediter, proporsi inti genetik relatif besar, sedang pada penyakit campak, status imunitas penjamu serta lingkungan biologic lebih penting ketimbang faktor genetik. Kriteria Kausasi Baik pendekatan detirminisme maupun probabilitas membutuhkan pertimbangan yang mendalam untuk sampai pada keputusan hubungan kausal. pertimbangan itu bersifatkualitatif ketimbang kuantitatif. akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an para epidemiolog telah menyadari pentingnya rumusan kriteria umum yang dapat di pakai sebagi pedoman, yang walaupun mungkin belum mencukupi tetapi amat di butuhkan para penelitiuntuk memutuskan adanya hubungan kausal, berdasarkan bukti-bukti dari berbagai riset. kriteria kausalitas yang dikenal dirumuskan oleh Bradford hill(1971), sebagai berikut:
168
1. KEKUATAN ASOSIASI. makin kuat hubungan paparan dan penyakit, makin kuat pula keyakinan bahwa hubungan tersebut bersifat kausal. Sebab, makin kuat hubungan paparan dan penyakit sebagaimana yang teramati, makin kecil kemungkinan bahwa penaksiran hubungan itu di pengaruhai oleh kesalahan acak maupun kesalahan sistematik yang tidak terduga atau tak terkontrol. Sebaliknya, hubungan yang lemah kita dapat menduga bahwa peran peluang, bias dan kerancuan cukup besar untuk mengakibatkan distorsi hasil. 2. KONSISTENSI. makin konsisten dengan riset-riset lainnya yang dilakukan pada populasi dan lingkungan yang berbeda, makin kuat pula keyakinan hubungan
kausal.
kriteria
konsistensi
juga
sangat
penting
untuk
meyakinkan masyarakat peneliti tentang hubungan kausal. Contoh: merokok baru diyakini sebagai penyebab ca paru setelah dibuktikan melalui ribuan riset yang dilakukan pada berbagai populasi, Negara dan waktu. Sebaliknya,inkonsistensi temuan tidak dapat dengan sendirinya dianggap sebagai non-kausal. sebab dalam banyak hal, agen penyebab baru dapat mewujudkan pengaruhnya terhadap penyakit, jika terdapat aksi penyebab komplementer yang menciptakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya penyakit tersebut. padahal,kondisi yang mencukupi itu tidak selalu dapat dipenuhi pada setiap situasi. selain itu, inkonsistensi bisa terjadi karena adanya “artefak”, baik yang berasal dari fluktuasi acak maupun bias dalam pelaksanaan riset.
169
3. SPESIFISITAS. makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan kausal. Begitu pula, makin spesifik “penyebab” , makin kuat kesimpulan hubungan kausal. Celakanya, kriteria spesifitas acapkali diekspoitir
para
simpatisan
perokok
(dan
pecandu
rokok)
untuk
menyanggah hubungan sebab akibat antara kebiasaan merokok dan ca paru. argumentasi mereka, hubungan merokok dan ca paru tidak spesifik, sebab rokok juga mengakibatkan sejumlah penyakitlain seperti penyakit jantung koroner, ca mulut, ca nasofaring, ca esofagus, emfisema, bronchitis kronik, kematian prenatal dan sebagainya. argumentasi ini sesungguhnya tidak kuat, sebab asap dan partikulat rokok tembakau terdiri dari puluhan komponen , seperti nikotin, tar, benzipiren, karbon monoksida, dan
lain-lain.
sehingga
spesifisitas
hubungan
harus
dianalisis
perkomponen tersebut. dilain pihak, kriteria spesifisitas itu sendiri tampaknya tidak memiliki landasan yang kuat. pengalaman hidup kita berulang ulang mengajarkan, bahwa satu peristiwa dapat mengakibatkan berbagai peristiwa lainnya. 4. KRONOLOGI WAKTU. hubungan kausal harus menunjukkan sekuen waktu yang jelas, yaitu paparan faktor penelitian (anteseden) mendahului kajadian penyakit (konsekuen).
170
5. EFEK DOSIS-RESPONS. Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekwensi penyakit menguatkan kesimpulan hubungan kausal. Contoh: Apabila risiko terkena ca paru meningkat dengan bertambahnya
jumlah
batang
sigaret
yang
diisap
perhari,
maka
keyakinanhubungan kausal antara merokok dan ca paru makin kuat pula. Sebaliknya, tidak terpenuhi kriteria dosis respons tidak menyingkirkan kemungkinan hubungan kausal(rothman, 1986) sebab, dikenal konsep nilai ambang dan tingkat saturasi(lepowski, 1978). Selama nilai ambang atau tingkat saturasi belum dicapai oleh dosis yang diberikan, maka perubahan dosis tidak akan diikuti perubahan kejadian penyakit. selain itu, teramatinya hubungan dosis respons tidak selalu dapat diartikan hubungan sebab akibat. perubahan frekuensi penyakit pada setiap perubahan intensitas paparan dapat juga di sebabkan bias yang bersifat gradual (weiss, 1981). 6. KREDIBILITAS BIOLOGIK SUATU HIPOTESIS. Keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit makin kuat jika ada dukungan pengetahuan biologik. namun demikian, ketiadaan dukungan pengetahuan biologik tidak dapat dengan sendirinya di katakana bukan hubungan nonkasual. Sebab acapkali pengetahuan biologi yang tersedia “tertinggal”, sehingga tidak dapat menjelaskan hasil pengamatan suatu riset. Secara umum dapat dikatakan, makin terbatas pengetahuan biologik tentang hubungan antara papatran dan penyakit, makin kurang aman untuk memutuskan bahwa hubungan itu non-kasual.
171
7. KOHERENSI. Makin koheren dengan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit, makin kuat keyakinan hubungan kausal antara paparan dan
penyakit.
kriteria
koherensi
menegaskan
pentingnya
kriteria
konsistensi dan kredibilitas biologik. 8. BUKTI EXPERIMEN. Dukungan temuan riset eksperimental memperkuat kasimpulan
hubungan
kausal.
Blalock
(1971)
dan
suser
(1973)
mengemukakan, bahwa hubungan kausal dapat di yakinkan melalui buktibukti
eksperimental,
jika
perubahan
pvariabel
independen
(faktor
penelitian) selalu di ikuti oleh perubahan fariabel dependen (penyakit). Dalam peraktek, pembuktian eksperimental, seringkali tidak praktis, tdak layak, atau bahkan tidak etis, terutama jika menyangkut faktor-faktor penelitian yang bersifat merugikan manusia (misalnya, merokok, paparan bahan-bahan kimia, obet-obet yang di hipotesiskan teratogenik). 9. ANALOGI. kriteria analogi kurang kuat untuk mendukung hubungan kasual. sebab imajinasi para ilmuan tentu akan banyak mencetuskan gagasangagasan analogik, dengan akibat analogi menjadi tidak spesifik untuk di pakai sebagai dasar dukungan hubungan kausal. pada beberapa situasi, kriteria analogi memang bisa dipakai, misalnya: juka sebuah obat menyebabkan cacat lahir, maka bukan tidak mungkin obat lain yang mempunyai sifat farma kologi yang serupa akan memberikan akibat yang sama.
172
Kesembilan kriteria di atas sangat membantu kita dalam menentukan apakah suatu paparan atau karekteristik merupakan penyebab suatu penyakit. meski demikian, penyerapannya tidak semudah yang diuraikan. Hill sendiri mengingatkan, tidak satupun kriteria diatas bersifat necessary (mutlak di perlukan) maupun sufficient (mencukupi). Terlalu mengandalkan salah satu kriteria tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Dalam hal ini kerendahan hati Hill terlalu berlebihan. riteria keempat, yakni kronologi waktu, kiranya tak bisa di bantah merupakan kriteria yang mutlak di perlukan (sine qua non). jika penyebab tidak mendahului akibat, maka adakah diantara kita yang berani mengatakan bahwa hubungan tersebut bersifat kausal?
173
BAB XII KONFOUNDING
Dalam Epidemiologi, ancaman validitas penelitian pengaruh paparan faktor penelitian terhadap penyakit pada prinsipnya berasal dari dua sumber yaitu bias dan kerancuan. Bias adalah distorsi dalam penakisiran pengaruh paparan terhadap penyakit akibat cara memilih subjek penelitian, atau cara memperoleh, melaporkan, mengukur, mencatat, mengklasifikasi dan menginterpretasikan informasi tentang subjek penelitian. . Sejenis bias yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam riset epidemiologi adalah kernacuan. Dalam buku-buku teks epidemiologi, kernacuan lebih terkenal dengan sebutan confounding. Kerancuan (confounding) adalah distorsi dalam menaksir pengaruh paparan terhadap penyakit, akibat tercampurnya pengaruh sebuah atau beberapa variable luar. Variabel-variabel luar yang menyebabkan kerancuan disbetu faktor perancu (confounding faktor, confounder). Kerancuan mengancam validitas studi observasional (cross sectional, case control, dan cohort) maupun studi eksperimen. Distorsi oleh faktor perancu dapat memperbesaar atau memperkecil pengaruh paparan yang sesungguhnya. Distorsi ini terkadang begitu seriusnya sehingga menyelewengkan pengaruh paparan yang bersifat protektif bagi penyakit menjadi bersifat risiko; sebaliknya pengaruh yang bersifat risiko diselewengkan menjadi protektif. Pengubahan pengaruh yang bersifat kebalikan sedemikian ini disebut “switch-over” (Kleinbaum, et al., 1982) sebab
174
melintasi nilai nol. Yang disebut nilai nol adalah keadaan tidak ada pengaruh paparan terhadap penyakit. Faktor perancu tidak mengubah pengaruh paparan dalam arti yang sebenarnya, melainkan menutupi pengaruh paparan. Ada dua strategi pengendalian kerancuan yaitu mencegah sebelum data dikumpulkan dan memperhitungkan pengaruhnya dalam analisis data. Kriteria Faktor Perancu Faktor perancu adalah variable luar yang pengaruhnya mencampuri pengaruh paparan faktor penelitian terhadap penyakit. Tidak semua variable luar dapat diklasifikasikan faktor perancu. Untuk dapat disebut perancu, maka variable luar harus memenuhi criteria berikut (Rothman, 1986; Hennekens dan Buring, 1987) 1. Merupakan Faktor Risiko bagi penyakit yang diteliti 2. Mempunyai hubungan dengan paparan 3. Bukan merupakan bentuk antara dalam hubungan paparan dan penyakit
Strategi Pengendalian Kerancuan Dari uraian sebelumnya telah dipahami bahwa kerancuan adalah distorsi oleh variable-variabel luar yang mengacaukan perhitungan penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit. Kelalaian dan pengabaian peran faktor perancu mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah tentang pengaruh paparan terhadap penyakit. Itulah sebabnya pengaruh buruk faktor perancu harus dikontrol. Dengan
pengontrolan
(pengendalian,
penyesuaian)
dimaksudkan
penilaian
175
hubungan paparan dan penyakit pada subjek terpapar dan tak terpapar (studi kohort) atau case control pada tingkat kerancuan yang sama. Strategi pengendalian kerancuan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar yaitu pengendalian pada tahap riset (sebelum data dikumpulkan) dan pengendalian pada tahap analisis data (setelah data dikumpulkan). Pengendalian pada tahap riset meliputi : 1. Randomisasi Randomisasi adalah metode terbaik dalam mengontrol pembauran, karena membantu dalam memastikan bahwa variable tersebut dikenal (atau bahkan tidak dikenal) karena variable perancu terdistribusi secara mearata antara kelompok-kelompok studi. Namun metode ini hanya dapat digunakan dalam metode penelitian studi intervensi. 2. Restriksi Restriksi adalah membatasi penelitian untuk hal-hal yang serupa dalam kaitannya dengan perancu tersebut. Sebagai contoh jika Jenis Kelamin merupakan suatu perancu, studi dapat dirancang hanya untuk pria saja atau wanita saja namun hansilnya juga hanya bisa diterapkan pada pria atau wanita. Restriksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Analisis berstrata dan analisis multivariate. 3. Pencocokan (Matching) Salah
satu
metode
pengendalian
kerancuan
adalah
memilih
subjek
pembanding sedemikian rupa sehingga memiliki tingkat kerancuan yang
176
sempurna dengan subjek yang dibandingkan (index). Biasanya hanya bisa digunakan pada study case control dengan memastikan bahwa control yang dipilih mirip dengan kasus.
177
BAB XIII INVESTIGASI OUTBREAK
Materi outbreak ini merupakan salah satu materi penting dalam kajian prinsip epidemiologi, hal ini terkait dengan semakin seringnya muncul outbreak baik penyakit menular maupun non menular. Penyelidikan Epidemiologi Langkah-langkah berikut sebaiknya diikuti dalam suatu penyelidikan epidemiologi letusan/KLB.Langkah-langka ini merupakan proses berpikir yang ada dalam ingatan seorang penyidik, selama berlangsungnya penyelidikan epidemiologi tersebut. Langkah-langkah itu secara berurutan adalah sebagai berikut: 1. Konfirmasi/menegakkan diagnosa. Kita mencoba menegakkan diagnosa dengan menganalisa gejala dan tanda klinik dari penderita, sehingga dapat digolongkan apakah kejadian ini termasuk misalnya karena infeksi atau keracunan. Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi diagnosa dan menentukan tipe organisme sebagai penyebab penyakitnya. 2. Menentukan apakah peristiwa itu suatu letusan/wabah atau bukan. Kita harus membandingkan informasi yang didapat mengenai penderitapenderita tersebut dengan defenisi yang telah ditentukan dengan letusan (out break) atau wabah (epidemi). Bandingkan juga jumlah penderita-penderita tersebut dengan insidence penyakit itu pada minggu/bulan/tahun sebelumnya.
178
Pada daerah dimana terjadi peristiwa tersebut, kedua langkah diatas menrupakan cara identifikasi suatu masalah dan tujuan dari penyelidikan selanjutnya. 3. Hubungan adanya letusan/wabah dengan faktor-faktor Waktu, Tempat dan Orang. Lakukan suatu survei yang cepat terhadap penderita-penderitayang diketahui atau pilih yang mengetahui tentang situasi penduduk dan daerah serta lingkungan sekitarnya. Lakukanlah wawancara dengan penderita-penderita ini dan tentukan ada atau tidak pengalaman yang sama diantara mereka misalnya, kapan mulai sakit (waktu), dimana mereka mendapat infeksi (tempat) dan siapa orang-orang itu. Hitung jumlah penderita dan hubungan ini dengan jumlah penduduk di daerah tersebut (menghitung rate), tentukan jumlah penduduk yang terancam (pop. At risk) dan kemudian hitunglah attack rate. Lakukanlah wawancara dengan orang-orang yang dianggap dapat memberi informasi terjadinya
penyakit
ini
atau
keadaan
lingkungan
yang
mungkin
ada
hubungan/memegang peranan mengenai letusan/wabah tersebut. 4. Rumusan suatu hipotesa sementara. Merumuskan suatu hipotesa sangat perlu untuk menerangkan adanya kemungkinan suatu penyebab, sumber infeksi dan distribusi penderita (pattern of disease). Hipotesa ini didasarkan pada data dan kenyataan yang telah dikumpulkan selama waktu penyelidikan tersebut dan sifatnya hanya untuk sementara belum dapat ditarik kesimpulan. Walaupun begitu, hipotesa ini
179
berguna untuk mengaarahkan penyelidikan lebih lanjut dan hipotesa ini harus dites kebenarannya data yang telah dan akan dikumpulkan selama penyelidikan dilakukan. Pada permulaan pengumpulan data serta fakta lainnya, hipotesa yang lebih spesifik dapat dirumuskan. Kemudian diperlukan data tambahan yang lebih detail dengan maksud untuk menguji kebenaran hipotesa tersebut. Lingkaran cara penyelidikan ini dapat berlangsung terus bila diperlukan. 5. Rencana penyelidikan epidemiologi yang lebih detail. Berdasarkan data yang sudah dikumpulkan, tentukan data tambahan apa yang masih diperlukan dan sumber informasi apa yang sudah tersedia untuk mentes kebenaran hipotesa yang telah diformulasikan. Kembangkan dan buatlah formulir yang diperlukan untuk melakukan wawancara, lakukan survei dengan sample yang cukup memadai dan bila perlu lakukan training terhadap orang-orang yang akan ikut dalam penyelidikan/survei ini. 6. Laksanakan wawancara dengan penderita-penderita yang sudah diketahui, wawancara dengan orang-orangyaang mempunyai pengalaman yang sama baik mengenai waktu/tempat terjadinya penyakit, tetapi mereka tidak sakit (control), kumpulkan data tentang penduduk dan lingkungannya, selidiki sumber-sumber yang mungkin menjadi penyebab atau merupakan faktor yang ikut berperan dalam terjadinya letusan/wabah. Ambil spesimen dan sample yang diperlukan untuk diperiksa dilaboratorium. 7. Analisa dan interpretasi data.
180
Lakukanlah pemeriksaan laboratorium dan buatlah ringkasan hasil-hasil penyelidikan lapangan. Tabulasi, analisa dan interpretasi data/informasi yang telah dikumpulkan dan periksalah hasil-hasil lainnya yang sudah dibuat. Buatlah kurva epidemik, menghitung rate, buatlah tabel dan grafik-grafik yang diperlukan dan terapkan test statistik terhadap data yang ada serta interpretasi data secara keseluruhan. 8. Test hipotesa dan rumuskan kesimpulan Berdasarkan penyelidikan diatas, data yang tersedia serta perhitunganperhitungan yang telah dilakukan, tes-lah hipotesa yang ada, kemudian pilihlah satu atau dua hipotesa yang 90 paling sesuai dan mendekati kebenaran dan menolak hipotesa lainnya. Hipotesa yang telah diterima haruslahdapat menerangkan pola penyakit yang terjadi pada penderita, yang harus sesuai dengan sifat penyebab penyakit, sumber infeksi, cara penularan dan faktor lain yang mungkin memegang peranan dalam terjadinya letusan/wabah. Bila hipotesa itu ditolak, hipotesa lain harus dikembangkan dan informasi tambahan harus dikumpulkan untuk mentest hipotesa baru ini. 9. Lakukan tindakan penanggulangan Tentukan cara-cara penanggulangan yang paling efektif, yang didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang ada dan diketahui. Gunakan informasi yang telah dikumpulkan selama penyelidikan, untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan tidak saja dalam situasi yang sedang dihadapi, tetapi juga untuk pencegahan dimasa akan datang.
181
Lakukan kegiatan surveillance yang ketat terhadap penyakit dan faktorfaktor lain yang ada hubungannya dengan penyakit tersebut. Bila diharapkan akan terjadi suatu bahaya, tindakan penanggulangan suadah dimulai sesudah hipotesa sementara dirumuskan, tetapi bila kemudian hipotesa ternyata salah, tindakan penanggulangan harus dihentikan dan tindkan lain yang lebih sesuai harus dilakukan pada saat itu. 10. Buatlah laporan lengkap tentang penyelidikan epidemiologi tersebut Buatlah
laporan
lengkap
secara
tertulis
mengenai
penyelidikan
epidemiologi yang telah dilakukan serta penemuan-penemuan yang telah didapatkan dan kirimkanlah kepada orang-orang yang dianggap perlu untuk mengetahuinya, menurut jalur-jalur yang suudah ada. Cara Merumuskan Hipotesa Hipotesa adalah suatu dalil, keadaan atau yang merupakan asumsi (perkiraan) karena hal itu agaknya merupakan suatu keterangan yang benar. Dalam ilmu epidemiologi hipotesa merupakan “teori sementara” yang telah dirumuskan untuk menerangkan hubungan distribusi faktor-faktor penyakit yang didapatkan, (waktu, tempat dan orang) dengan situasi lingkungan yang terjadi selama masa penularan dalam hubungan kausal yang seringkali secara langsung. Hampir setiap suatu observasi biasanya akan memerlukan lebih dari satu hipotesa. Dari semua kemungkinan itu, satu atau dua hipotesa yang paling sesuai dapat dipilih untuk dilakukan testing. Suatu hipotesa epidemiologi biasanya merupakan suatu hubungan sebab akibat. Perumusan suatu hipotesa adalah
182
kebalikan dari prinsip hukum yang biasa dianut yaitu “innocent proven guilty” (azas praduga tak bersalah. Jadi seorang epidemiologist menganggap setiap faktor mungkin “bersalah” sampai hal itu dapat dibuktikan bahwa faktor (keadaan) tesebut memang tidak ikut memegang peranan dalam timbulnya outbreak. Hipotesa adalah penting untuk mengarahkan penyelidikan lebih lanjut dan berhasil atau tidaknya penyelidikan itu tergantung dari kecermatan hipotesa yang dibuat. Mac Mahon dan Pugh (1970) membicarakan 4 caara (metode) untuk merumuskan
suatu
hipotesa,
yang
biasanya
berhubungan
dengan
suatu
penyelidikan peristiwa letusan/wabah (out-break) investigation. Diantara ke-4 metode itu, yang paling sering digunakan adalah metode perbedaan (method of difference) dan metode persamaan (method of agreement). Istilah penting yang perlu diketahui: Outbreak Suatu episode dimana terjadi penderita suatu penyakit yang sama dimana penderita-penderita tersebut mempunyai hubungan satu sama lain. Hubungan itu mungkin dalam faktor waktu timbulnya gejala penyakit (onset of illness), faktor tempat misalnya tempat tinggal, temapt makan bersama, sumbermakan, dan faktor orang misalnya umur, jenis kelamin, pekerjaan dan seterusnya. Perbandingan karakteristik antara common source dan Propagated epidemic: No.
Karakteristik
Common source
Propagated
1.
Timbulnya gejala
Cepat, peningkatan
Pelan, secara diam-
Penyakit (onset)
Tajam
diam peningkatan lambat
Jangk waktu (duration)
Terjadinya
2.
kasus
dalam
Terjadinya
kasus
dalam
183
satu/dua penyakit 3.
Penurunan (deeline)
masa
inkubasi
Cepat, biasanya tidak melebihi satu kali masa inkubasi penyakit setelah sumber infeksi dihilangkan
(Time of Jelas dibatasi oleh tertentu
waktu
beberapa inkubasi penyakit
Lambat, biasanya
ber-
henti dengan sendirinya. Karena proporsi non imun individu menjadi sangat kecil untuk membantu penyebara penyakit
4.
Waktu episode Episode)
5.
Jangka waktu penyebab penyakit
6.
Masa inkubasi penyakit
Kebanyakan kasus mempunyai masa inkubasi lebih pendek dari rata-rata masa inkubasi penyakitnya.
Kebanyakan penderita mempunyai masa inkubasi lebih panjang dari rata-rata masa inkubasi penyakit.
7.
Dosis
Banyak organisme penyebab penyakit yang ditularkan
Lebih sedikit
8.
Episode/kontaminasi/ infeksi
Peristiwanya tunggal, korban terinfeksi pada saat yang sama atau dalam yang relatif singkat.
Peristiwa lebih dari satu (multiple), korban terinfeksi dalam waktu yang tidak sama (beberapa waktu yang berlainan).
penularan Biasanya aktifitasnya singkat dalam masya-rakat (mis. Makanan yang dihidangkan dalam suatu pesta tertentu)
Biasanya tidak yang jelas
dibatasi waktu
Biasanya menetap masyarakat.
dalam
Dalam suatu peristiwa footborne outbreak, dimana terdapat lebih dari satu macam makanan yang dihidangkan dan dimakan oleh penderita, maka secara teoritis akan terdapat suatu korelasi (hubungan) yang sempurna antara penderitapenderita yang sakit dengan yang satu macam makanan tertentu yang telah dimakan, penderita yang makan makanan yang dicurigai sumber infeksi akan 100% jatuh sakit, sedangkan yang tidak makan-makanan tersebut, 100% tidak jatuh sakit. Tetapi hal ini biasanya tidak akan terjadi demikian, karena adanya faktorfaktor yang terdapat dalam badan orang tersebut dan faktor-faktor lainnya di luar orang tersebut.Beberapa sebab-sebab mengapa korelasi itu tidak terjadi adalah sebagai berikut:
184
1. Resistensi dan kerentanan individu. 2. Jumlah makanan yang dimakan tidak sama. 3. Distribusi organisme/toxin pada makanan tidak sama. 4. Definisi/kriteria orang yang sakit tidak jelas, sehingga kemungkinan ikutnya penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang diselidiki. 5. Terjadinya kontaminasi silang dari satu makan kepada yang lain (jarang). 6. Kesalahan dalam mengambil suatu anamnesa, misalnya tidak ingat, ketakutan, salah mengerti, bias, salah pencatatan, pertanyaan yang mengandung suggestion. 7. Kesalahan mengambil sample, misalnya hanya wawancara dengan sebagian saja golongan yang at risk. 8. Kemungkinan adanya gejala-gejala psichosomatic pada beberapa individu yang diwawancarai yang mirip dengan gejala penyakit yang diselidiki.
185
BAB XIV PENYAJIAN DATA EPIDEMIOLOGI Secara khusus suatu data epidemiologi terdiri dari daftar kasus dan sifat khasnya. Penyajian data kasar suatu penelitian epidemiologi dapat menyimpang dari tujuannya dan sulit dimengerti. Bentuk penyajian yang tepat akan memberi informasi yang berguna dan membantu pembandingan dua kelompok studi atau dua populasi. Menjelaskan
aspek
penyajian
data
epidemiologi.
Penyusunan
data
epidemiologi dapat berupa : 1. Tabel 2. Grafik 2.1. Grafik garis 2.2. Grafik semi long 2.3. Histogram 2.4. Frekuensi poligon 3. Diagram (Chart) 3.1. Diagram Bar 3.2. Spot map dan area map Biasanya data kuantitatif pertama-tama diolah dengan cara tabulasi. Hal ini tidak jelek, namun tabulasi saja memiliki keterbatasan. Terutama tabulasi
186
data yang berjumlah besar, maka pola dan kecendrungannya sulit dimengerti. Grafik dan diagram sangat menolong memecahkan masalah ini. Walaupun tabel, grafik dan diagram mempunyai karakter tersendiri, tapi mereka mempunyai prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam pembuatannya : 1. Jumlah variabel utama pada suatu tabel, grafik atau chart harus dibatasi sehingga masih dapat dimengerti dengan mudah. 2. Judul yang menggambarkan isi, yakni : subjek, orang, tempat dan waktu harus selalu dicantumkakn. Judul harus diberi nomor. Hal ini penting untuk mengenali materi yang diolah dengan jelas. 3. Badan data harus berisi variabel dalam internal yang berarti, berguna untuk mengenali perbedaan pada frekuensi kejadian dan distribusi kasus. 4. Suber data harus disajikan, biasanya sebagai catatan kaki. TABEL Tabel adalah metode penyajan berbentuk garis-garis dan kolom-kolom. Pemakaian sauatu tabel untuk menunjukkan frekuensi kejadian dalam kategori yang berbeda atau subdivisi suatu variabel. Hampir semua informasi kuantitatif bisa diatur dalam bentuk tabulasi. Bentuk ini dapat merupakan bentuk persiapan bagi pembuatan grafik dan chart. Pembuatan : 1. Judul harus jelas, tepat dan mampu menjawab pertanyaan : apa, kapan dan dimana.
187
2. Setiap baris dan kolom harus diberi tabel. Satuan ukuran data perlu disajikan. Kolom hendaknya terpisah dengan garis vertikal. 3. Jumlah pada baris dan kolom perlu dipertunjukkan. 4. Kode, singkatan atau lambang harus dijelaskan secara rinci dalam catatan kaki.
Anatomi tabel dapat dilihat pada tabel 1. Age Group (years)
Jumlah kasus
Pada pembicaraan ini tampak umur merupakan variabel tunggal yang penting dalam investigasi epidemiologi. Ada 2 syarat praktis untuk memilih kelompok umur : 1. Mencatat umur dalam laporan khusus asli atau lembaran data kasus, dan 2. Kelompok umur, dimana denominatornya tersedia. Data biasanya dapat diubah menjadi rate. Banyak cara untuk mengelompokkan umur, tergantung pada jenis penyakit atau tujuan analisisnya. Kelompok umur yang ditunjukkan pada contoh tabel ini adalah yang paling sering dipakai untuk keperluan surveillance penyakit menular. Kelompok umur yang terpilih harus mampu mengungkapkan perbedaan yang paling berarti dalam distribusi kasus.
188
GRAFIK Grafik adalah
metode
untuk memperlihatkan
data kuantitatif,
dengan menggunakan sistem koordinat. Grafik koordinat segi empat adalah grafik yang terdiri dari 2 kelompok garis yang saling berpotongan secara tegak lurus satu sama lain. Pada setiap sumbu (axis) terdapat skala pengukuran dan tabel petunjuk. Gambar 1 menyajikan struktur umum suatu grafik. Biasanya variabel untuk sumbu X (horizontal) adalah variable independent (metode klasifikasi, seperti waktu atau umur). Sedangkan untuk sumbu Y (vertikal) adalah variabel dependent (frekuensi peristiwa). Simbol xl, x2,yl,y2 dalam grafik sebenarnya berupa angka-angka. Beberapa hal penting dalam pembuatan grafik : 1. Informasi cukup lengkap, sehingga mampu menerangkan dirinya sendiri 2. Sederhana, tidak menggunakan banyak garis dan simbol 3. Berikan keterangan, kalau terdapat banyak garis trend atau kurva sehingga jelas beda masing-masing garis/kurvanya. 4. Judul dapat diletakkan di atas atau dibawah grafik 5. Frekuensi pada skala vertikal, klasifikasi pada skala horizontal 6. Skala axis harus diberi label dengan jelas, peningkatan skala harus jelas teridentifikasi 7. Skala vertikal harus dimulai dengan angka 0, walau menggunakan pemutus (break), karena nilai observasi terlalu jauh dibawah margin 8. Pada skala aritmatik, jarak yang sama antar titik harus mencerminkan unit numerik yang sama.
189
GRAFIK GARIS SKALA ARITMETIK Grafik ini mempunyai sumbu Y yang mempunyai nilai yang sama untuk tiap jarak yang sama sepanjang sumbu tersebut. Gambar 2 dan 3 merupakan contoh grafik ini. Perlu diperhatikan bahwa panjang sumbu X dan Y tidak melebihi nilai yang akan ditampilkan. Pemilihan skala untuk sumbu Y biasanya meliputi : a. Kenali range nilai maksimum yang akan ditampilkan. Bulatkan angka tadi ke angka yang sedikit lebih besar sehingga semua angka dalam range dapat tergambarkan. b. Hitung jumlah kotak sepanjang sumbu untuk memperlihatkan data secara rinci. c. Bagi kotak yang ada dengan tujuan memperoleh nilai dari tiap kotak. Biasanya skala atau klas interval sumbu Y yang digunakan sama dengan yang digunakan dalam tabel data.
190
DAFTAR PUSTAKA
___________ (1956). Lung cancer and other causes of death in relation to smoking: A second report on the mortality of British doctors. Br Med J, 2:1071 1662. Baltimore: Johns Hopkins Press. Academic dictionaries and encyclopedias (2010). John Snow (physician). en.academic.ru/ dic.nsf/ enwiki/581749 Academic
dictionaries
and
encyclopedias
(2010b).
Pasteur
Institute.
en.academic.ru/dic.nsf/ enwiki/ 434059 Ahren, Wolfgang, Pigeot, Iris, Handbook of epidemoilogy, Germany : Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2005 Ahren, Wolfgang. Krickeber, Klaus, Pigeot, Iris. (2005). Handbook of Epidemiology. Springer-Verlag Heidelberg New York. American
Institute
in
Ukraine
(2010).
Photos.
www.aminuk.org/index.php?idmenu=11& language. Amiruddin, Ridwan (2011). Epidemiologi Perencanaan & Pelayanan Kesehatan, Masagena Press. Makassar. Amiruddin, Ridwan. dkk. 2011. Modul Epidemiologi Dasar. Makassar : Universitas Hasanuddin. http://repository. unhas.ac.id/ bitstream/ handle/ 123456789/ 868/Modul%
20Prinsip%20
Epidemiologi.
pdf;jsessionid
=
50A10508D00BFDA7D347F8189CF8B355?sequence=1 Answers Corporation (2010). John Graunt. www.answers.com/topic/john-graunt ASPH (1984). Graduate Education for Public Health. Washington DC: ASPH (Association of Schools of Public Health) Badgley, RF (1961). An assessment of research methods reported in 103 scientific articles from two Canadian medical journals. Can MAJ, 85:246-50 Bailey, L., Vardulaki, K., Langham, J., Chandramohan, D., Introduction to Epidemiology. Bailey, L., Vardulaki, K., Langham, J., Chandramohan, D., Introduction to Epidemiology. USA : Open University Press ; 2005
191
Barker DJP. (1997). Maternal nutrition, fetal nutrition, and disease in later life. Nutrition, 13: 807 Ben-Shlomo Y, Kuh D (2002). A life-course approach to chronic disease epidemiology: conceptual models, empirical challenges and interdisciplinary perspectives. Int JEpidemiol, 31: 285-293. BBC (2010). Edward Jenner (1749 - 1823). www.bbc.co.uk/history/historic_figures/ jenner_ edward. shtm. Beaglehole R, Bonita R, Kjellstrom T. Basic epidemiology. Geneva: World Health Organization; 1993. p. 133 Beaglehole R, Bonita R, Kjellstrom T. Basic epidemiology. Geneva: World Health Organization; 1993. p. 133 Beaglehole, R,.R, Bonita, T. Kjellstrom, BASIS EDIDEMIOLOGY, World Health Organization, Geneva. Beanglehole, R : R. Bonita dan T Kjellstrom, (1992)(2009). Basic Epidemiology. Geneva, World Health Organization (WHO) Beanglehole, R : R. Bonita dan T Kjellstrom, (1992)(2009). Basic Epidemiology. Geneva, World Health Organization (WHO) Beanglehole, R : R. Bonita dan T Kjellstrom, (1992)(2009). Basic Epidemiology. Geneva, World Health Organization (WHO) Benenson, (2000); Comunicable Disease Control. WHO. Blackburn H (2010). Framingham study. www.enotes.com › Encyclopedia of Public . BookRags (2010). Ilya Ilyich Mechnikov. www.bookrags.com/Ilya_Ilyich_Mechnikov United States -Diakses 11 September 2010. Budiarto, Eko, Anggraeni, dewi. Epidemiologi. Edisi 2. Jakarta : EGC ; 2002. Budiarto, Eko, Anggraeni, dewi. Epidemiologi. Edisi 2. Jakarta : EGC ; 2002. Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Bustan MN ( 2002 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta CDC
(2010).Public
health
surveillance
slide
set.www.cdc.gov/
ncphi/disss/nndss/phs/overview. htm. Center for disease Control and Prevention, an Introduction to aplied epidemiology and biostatistics, 3rd edition. Atlanta : U.S Department of Health and Human services ; Center for disease Control and Prevention, Principles of Epidemiology in Public health Practise, 3rd edition. Atlanta : U.S Department
192
of Health and Human services Centers for Disease Control (1981). Morbidity and Mortality Weekly Reports. Atlanta: US DHHS, Public Health Service. Chandra, B. (2009) Studi Ekologi; www.books,google.co.id/books.isbn=790440219 CIHR (2007). Mapping and tapping the wellsprings of health. Canadian Institutes of Health Research - Institute of Population and Public Health (IPPH) – Strategic Plan 2002-2007. www.cihr.gc.ca. Citizendium
(2010).
Germ
theory
of
diseaseen.
citizendium.org/wiki/Germ_theory_of_disease Clayton D, dan Hills, M (1998). Statistical models in epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc. Connor S (2001).Black Death 'was caused by the Ebola virus' The Independent. 23 July 2001. www.independent.co.uk › ... › Health & Families › Health News. Davidoff F, Haynes B, Sackett D, Smith R (1995). Evidence based medicine. BMJ, 310: 1085-86. Davis DA, Thompson MA, Oxman AD, Haynes RB (1992). Evidences for effectiveness of CME. Dawber TR (1980). The Framingham Study: The epidemiology of atherosclerosis disease. Cambridge, MA: Harvard University Press. Dawber TR, Meadors GF, Moore FE (1951). Epidemiological approaches to heart disease: The Framingham Study. 41: 279-286 Dawber TR, Moore FE, Mann GV (1957). Coronary heart disease in the Framingham Study. Am J Public Health, 47: 4-24. Diez-Roux AV (1998). Bringing context back into epidemiology: variables and fallacies in multilevel analysis.Am J Public Health;88:216-221 Doll R, Hill AB (1950). Early case-control study: Smoking and carcinoma of the lung - Preliminary report. Br Med J, 2:739. Doll R, Peto R (1975). Mortality in relation to smoking: Twenty years' observations on male British doctors. Br Med J, 2:1525 Doll R, Peto R, Boreham J, Sutherland I (2004). Mortality in relation to smoking: 50 years’ observations on British doctors. BMJ;328:1519-28. Edmonds
M/
howstuffworks
(2010).
How
the
Black
Death
Worked.
history.howstuffworks.com › History › Europe › Middle Ages.
193
eHow (1999). Worst Epidemics in History. www.ehow.com › ... › Public Health & Safety › Public Health. Encyclopedia (2010). Robert Koch. www.encyclopedia.com/doc/1E1-Koch-Rob.html Epic
Disasters
(2010).
The
worst
outbreak
of
disease.www.epicdisasters.com/.../the_worst_ outbreaks_of_disease/. Epidemiol. Community Health;56:647-652 Epidemiology Monitor (2001). Rothman gives Cassel Memorial Lecture at SER: Eight
essential
qualities
of
enduring
work
in
epidemiology
discussed.
www.epimon.net Evidence Based Medicine Working Group (1992). Evidence based Medicine – A new pproach to the teaching of medicine. JAMA, 268: 2420-5 Fenner, F, Henderson, DA, Arita, I, Jezek, Z, Ladnyi, ID (1988). Small pox and its eradication. Geneva: World Health Organization. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH (1996). Clinical epidemiology – The Essentials. 3rd ed. Baltimore: Williams & Wilkins. Fletcher, Robert H., et al. 1991. Sari Epidemiologi Klinik. Yogyakarta : UGM Press. Fonseca LAM, Reingold AL, Casseb JR, Brigido LFM, Diarte AJ (1999). AIDS incidence
and
survival
in
a
hospital-based
cohort
of
asymptomatic
HIVseropositive patients in Sao Paolo, Brazil. Int J Epidemiol, 28:1156-60 Foxman B, Riley Lee (2001). Molecular epidemiology: Focus on infection. Am J Epidemiol, 153(12): 1135-41 Framingham Heart Study (2010). Epidemiological background and design: The Framingham study. www.framinghamheartstudy.org/about/background.html. Frolich KL, Ross N, Richmond C (2006). Health disparities in Canada today: Some evidence and a theoretical framework. Health Policy (in press). Genesis
Park
(2001).
The
spotaneous
generation
hypothesis.
www.genesispark.com/genpark/ spongen/spongen.htm Gerstman, BB (1998). Epidemiology kept simple: An introduction to classic and modern epidemiology. New York: Wiley-Liss, Inc. Gertsman, B.B. (2003). Epidemiology Kept Simple. An Introduction to Traditional and Modern Epidemiology. Wiley-Liss. USA. Glantz, SA (1989). Primer of biostatistics. International edition. Singapore: McGrawHill Book Co.
194
Godfrey KM, Barker DJ (2001). Fetal programming and adult health. Public Health Nutr;4:611-624 Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Company. Gordis, Leon (2008). Epidemiology 4th. Elsevier, USA. Gore, S, Jones, IG, dan Rytter, EC (1977). Misuse of statistical methods: Critical assessment of articles in British Medical Journal from January to March, 1976. Br. Med. J, 1(6063):85-87 Graunt, J. (1939). Natural and Political Observations Made Upon the Bills of Mortality: London, Grammaticos PC, Diamantis A (2003). Useful known and unknown views of the father of modern medicine, Hippocrates and his teacher Democritus. Hell J Nucl Med 2008; 11(1): 2- 4 Hales CN, Barker DJ (1992). Type 2 (non-insulin-dependent) diabetes mellitus: the thrifty phenotype hypothesis. Diabetologia 35 (7): 595–601 Hart M (2005). Professor Sir Richard Doll. Interview by Melanie Hart. The Top Cancer Epidemiologist of his Time www.canceractive.com/cancer-active-pagelink.aspx?n=862. Hennekens CH, Buring JE (1987). Epidemiology in medicine. Boston: Little, Brown and Company. HPS (2010). Biography: Professor Sir Richard Peto. MRC/BHF Heart Protection Study. www.ctsu.ox. ac.uk/~hps/biog_rp.shtml Diakses 19 September 2010. Husten L (2005). Thomas R Dawber, Framingham Heart Study pioneer, dead at 92. www. framinghamheartstudy.org/about/tribute.html Ibeji
M
(2001).
Black
Death:
The
Blame.
www.bbc.co.uk/
history/society_economy/society/ welfare/ blackdeath/blacksuper_8.shtml Jaquish CE (2007). The Framingham Heart Study, on its way to becoming the gold standard for Cardiovascular Genetic Epidemiology?BMC Medical Genetics 2007, 8:63:1-3. http://www.biomedcentral.com/1471-2350/8/63. Johns Hopkins Unversity (2005). Gene that helps mosquitoes fight off malaria parasite identified. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Public Health News Center. www.jhsph. edu/ publichealthnews/press_releases/2005/ lorena _malaria_gene.html
195
Kannel WB (1990). CHD risk factors: A Framingham Study update. Hosp Pract, 25: 93-104. Kawachi I, Subramanian SV, Almeida-Filho N (2002). A glossary for health inequalities. J. Kinlen L (2005). Obituary: Sir Richard Doll, epidemiologist – a personal reminiscence with a selected bibliography. British Journal of Cancer (2005) 93(9), 963 – 966 KJ (1986). Modern epidemiology. Boston: Little, Brown and Company. Kleinbaum, DG, Kupper, LL, dan Morgenstern, H. (1982). Epidemiologic Research: Principles and Quantitative Methods. New York: Van Nostrand Reinhold. Kleinbaum; Kupper L Laurence; Hal Morgenstern, 1982. Epideiologiy Research,
Principles and Quantitative Methods . Life Time Publication, California Kleinbaum; Kupper L Laurence; Hal Morgenstern, 1982. Epideiologiy Research,
Principles and Quantitative Methods . Life Time Publication, California Kleinbaum; Kupper L Laurence; Hal Morgenstern, 1982. Epideiologiy Research,
Principles and Quantitative Methods . Life Time Publication, California Krieger N (2001). Theories for social epidemiology in the 21st century: an ecosocial perspective. Int J Epid, 30:668-677 Langmuir, AD (1976). William Farr: Founder of modern concepts of surveillance. Int. J. Epid. 5: 13–18. Last J (2010). Bills of Mortality. www.enotes.com › Encyclopedia of Public Health. Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc. Last, John M, (1987), PUBLIC HEALTH AND HUMAN ECOLOGY, Appletion & Lange, Connecticut. Lawrence C, Wiesz G (eds).(1998). Greater than the parts: Holism in medicine, 1920-1950. New York: Oxford University Press. Lilienfeld DE (2007). Celebration: William Farr (1807–1883)— an appreciation on the 200th anniversary of his birth. International Journal of Epidemiology 2007;36:985–987 Lynch J, Smith GD (2005). A life course approach to chronic disease epidemiology. Annual Review of Public Health, 26: 1-35
196
Mai V, Kant AK, Flood A, Lacey Jr JV, Schairer C, Schatzkin A (2005 ). Diet quality and subsequent cancer incidence and mortality in a prospective cohort of women. International Journal of Epidemiology; 34:54–60 Mendis S (2010). The contribution of the Framingham Heart Study to the prevention of cardiovascular disease: a global perspective. Prog Cardiovasc Dis., 53(1):10-4. Murti, B., (2011); Desain Studi; www.fk.uns.ac.id/index/files/59 Nasry Nur, (2007) Epidemiologi , Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin , makassar Nobelprize (2010). The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1908: Ilya Mechnikov, Paul
Ehrlich.
nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/.../mechnikov-bio.html
Diakses 11 September 2010. Noor, (2002); Epidemiologi Penyakit Menular. Rineka Cipta. Jakarta. Noor, (2010); Epidemiologi, Rineka Cipta. Jakarta. Noor, N.N. (2008). Epidemiologi, Rineka Cipta, Jakarta Noor, Nur Nasry, Epidemiologi. Makassar : HUP ; 2004 Noor, Nur Nasry, Epidemiologi. Makassar : HUP ; 2004 Notoatmojo, S. (2005); Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta O‘Campo P (2003). Invited commentary: Advancing theory and methods for multilevel models of residential neighborhoods and health. Am J Epidemiol 2003;157:9–13 Perdiguero E, Bernabeu J, Huertas R, Rodriguez-Ocana E (2001). History of health, a valuable tool in public health. J Epidemiolo Community Health, 55:667-673. Porter D (1997). The decline of social medicine in Britain in the 1960s. In: Porter D (ed). Social medicine and medical sociology in the twentieth century. Amsterdam and Atlanta: Rodopl, pp. 97-119 Protomag (2008). One twon‘s treasure. Massachussettes General Hospital. protomag.com/ assets/ one-towns-treasure. Rasmussen KM (2001). The ―Fetal Origins‖ Hypothesis: Challenges and opportunities for maternal and child nutrition. Annual Review of Nutrition, 21: 73-95 review of 50 randomized controlled trials. JAMA, 268: 1111-7.
197
Rice A, dan McKay DO (2001). The Black death: Bubonic Plague. Timpview High School dan Brigham Young University. www.byu.edu/ipt/projects/middleages/ LifeTimes/ Health. html Richmond C (2006. Obituaries: Thomas Royle Dawber - Founder epidemiologist of the Framingham heart study, BMJ, 332(7533): 122. Riedel S (2005). Edward Jenner and the history of smallpox and vaccination. BUMC Proceedings, 18:21–25 Rockett IRH (1999). Population and health: An introduction to epidemiology. Edisi kedua
Population
Bulletin,
Dec
1999,
54(4).
findarticles.com/p/articles/mi_qa3761/is.../ai_ n8856519/. Ross, Jr. OB (1951). Use of controls in medical research. JAMA, 24(145):72-75 Rothman, Kennet. J. (1998). Epidemiology Modern. Lippincot Williams & Wilkins. USA. Sackett DL, Haynes RB, Guyatt GH, Tugwell P (1991). Clinical epidemiology: A basic science for clinical medicine. Boston: Little Brown. Saracci
R
(2010).
Introducing
the
history
of
epidemiology.
fds.oup.com/www.oup.com/ pdf/13/ 9780192630667.pdf Sastoasmoro sudidgdo (1995) Dasar Metodologi Penelitian Klinis , Bina Rupa Aksara Jakarta Sastoasmoro sudidgdo (1995) Dasar Metodologi Penelitian Klinis , Bina Rupa Aksara Jakarta Sastoasmoro sudidgdo (1995) Dasar Metodologi Penelitian Klinis , Bina Rupa Aksara Jakarta Schlesselman J. James, (1982) Case Control Studies , Design, Conduct Analysis , Oxford university Press New York Schoenbach, V.J. & Rosamond, W.D. (2000). Understanding the Fundamnetals of Epidemiology. University of North Caroline, Chapel Hill. North caroline. USA. Schor, S, dan Karten, J (1966). Statistical evaluation of medical journal manuscripts. JAMA, 195:1123-1128. Shin JH, Haynes RB, Johnston ME (1993). Effect of problem based, self-directed undergraduate education on life-long learning. Can Med Assoc J, 148: 969-76. Slamet Ryadi , Wijayanti (2011)
Dasar-dasar Epidemiologi , Salemba Medika
jakarta
198
Slattery ML (2002). The science and art of molecular epidemiology. J Epid Community Health, 56: 728-29. Slomski A (2008). One Town‘s Treasure. protomag.com/assets/one-towns-treasure. Diakses 11 September 2010. Smith GD (2007). Editor‘s Choice. Lifecourse epidemiology of disease: a tractable problem? Int J Epidemiol;36:479–480 Smith GD, Lynch J (2004). Commentary: Social capital, social epidemiology and disease aetiology International Journal of Epidemiology; 33:691–700 Stathakou NP, Stathakou GP, Damianaki SG, Toumbis-Ioannou E, Stavrianeas NG (2007). Szklo, M. (Moyses) (2000). Epidemiology beyond the basic. Aspen publisher. USA. The College of Physicians of Philadelphia (2010). The history of smallpox. www.historyof vaccines. org/smallpox/. The Independent (2010). Moments in medicine podcast - The impact of individuals. Independent. co.uk. UC (University of California) at Berkeley (2007). Antony van Leeuwenhoek (16321723). www. ucmp. berkeley.edu/history/leeuwenhoek.html. University of Liverpool (2005). From legend to legacy. Bussiness Gateway, The University
of
Liverpool.
www.liv.ac.uk/researchintelligence/issue24/blackdeath.html . University of Pittsburg (1998). What is molecular epidemiology?. Molecular Epidemiology
Homepage.
University
of
Pittsburgh.
http://www.pitt.edu/~kkr/molepi.html. USA : Open University Press ; 2005 Videojug
(2010).
Epidemiological
Heroes
And
Landmark
Studies.
www.videojug.com/.../ epidemiological.../ what-are-the-origins-of-epidemiology. Vineis P, Perera F (2007). Molecular epidemiology and biomarkers in etiologic cancer research: The new in light of the old. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev;16(10):1954–65 WHO
(2010).
History
of
the
development
of
the
ICD.
www.who.int/classifications/icd/en/ Wikipedia (2010). Pandemi. en.wikipedia.org/wiki/Pandemic.
199
Wikipedia (2010). 1854 Broad Street cholera. outbreaken.wikipedia.org/ wiki/ Wikipedia (2010). Smallpox. en.wikipedia.org/wiki/Smallpox. Wikipedia (2010). Louis Pasteur. en.wikipedia.org/wiki/Louis_Pasteur Wikipedia
(2010).
Spontaneous
generation.
en.wikipedia.org/wiki/Spontaneous_generation. Wikipedia (2010). British Doctors Study. Richard Doll. en.wikipedia.org/wiki/British_ Doctors_ Study. Wikipedia
(2010).
John
Snow
(physician).
en.wikipedia.org/wiki/John_Snow_(physician). Wikipedia (2010). Koch‘s postulates. en.wikipedia.org/wiki/Koch's_postulates Wikipedia (2010). 1918 flu pandemic en.wikipedia.org/wiki/1918_flu_pandemic - C. Wikipedia (2010). Élie Metchnikoff. en.wikipedia.org/wiki/Élie_Metchnikoff. Wikipedia (2010). Humorism. en.wikipedia.org/wiki/Humorism Wikipedia (2010). Empedocles. en.wikipedia.org/wiki/Empedocles Wikipedia (2010). Richard Doll. en.wikipedia.org/wiki/British_Doctors_Study. Wikipedia (2010). Richard Peto. en.wikipedia.org/wiki/Richard_Peto Wikipedia (2010). Rudolf Virchow. en.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Virchow Wikipedia (2010). Scientific theory. simple.wikipedia.org/wiki/Scientific_theory Yankauer A (1950). The relationship of fetal and infant mortality to residential segregation: an inquiry to social epidemiology. Am Sociol Review, 15: 644-48
200