BUNGA RAMPAI STATUS PENELITIAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN DI

Download Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Untuk sitiran sebagian dari ... dinamis yang didukung dengan k...

4 downloads 635 Views 8MB Size
BUNGA RAMPAI

STATUS PENELITIAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN DI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Editor : Arif Nirsatmanto ILG. Nurtjahjaningsih

BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected]

BUNGA RAMPAI INI DITERBITKAN OLEH : BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Editor : Dr.Arif Nirsatmanto, M.Sc ILG. Nurtjahjaningsih, Si, M.Sc, Ph.D Redaksi Pelaksana : Ir. Edy Subagyo, MP Ir. Dyah Nurhandayani, M.Sc Nana Niti Sutisna, S.IP Maya Retnasari, A.Md Edy Wibowo, S.Hut

Hak Cipta oleh BBPBPTH Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut : Untuk sitiran seluruh buku, ditulis : Bunga Rampai, Tema : Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan Di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam Bunga Rampai, Tema : Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan Di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Halaman….

ISBN : 978-979-3666-14-3 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected] Sumber foto cover : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ii

KATA PENGANTAR Pemuliaan tanaman hutan merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya meningkatkan produktifitas tanaman hutan baik secara kualitas maupun kuantitas. Semakin berkembangnya tuntutan akan sifat-sifat tanaman yang perlu dimuliakan dan seiring adanya perubahan kondisi lingkungan tumbuh dan permintaan pengguna, telah mendorong kegiatan pemuliaan tanaman hutan menjadi kegiatan yang dinamis dan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sifat dinamis yang didukung dengan kemajuan IPTEK dalam bidang genetika tanaman memungkinkan kegiatan pemuliaan tanaman hutan akan terus berkembang lebih kompetitif dan inovatif. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), sejak berdirinya sudah hampir 20 tahun secara kontinyu melaksananakan kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan. Kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan di BBPBPTH dijabarkan ke dalam 3 kelompok penelitian yang meliputi ruang lingkup Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan Tanaman Hutan dan Bioteknologi Hutan. Dinamika terus berkembang dan seiring dengan kondisi ini BBPBPTH telah mampu memfasilitasi dan menetapkan target jenis dan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, dan sampai saat ini telah menghasilkan produk benih unggul untuk beberapa jenis tanaman hutan. Buku Bunga Rampai Status Hasil Pemuliaan Tanaman Hutan disusun sebagai suatu rangkuman atas kegiatan dan hasil penelitian pemuliaan tanaman hutan yang dilakukan oleh BBPBPTH selama kurun waktu hampir 20 tahun terakhir. Buku disusun atas beberapa makalah dengan cakupan materi meliputi penelitian konservasi sumber daya genetik, pembangunan populasi pemuliaan dan perbanyakan, dan aplikasi bioteknologi. Untuk memberikan informasi dan sebagai bahan komparasi, disetiap makalah juga dipaparkan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh institusi lain, baik dalam tataran nasional maupun internasional, sehingga diharapkan bisa diketahui status kemajuan dari kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan yang telah dilakukan oleh BBPBPTH. Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Buku Bunga Rampai ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi para pihak yang berkecimpung dalam kegiatan pemuliaan tanaman hutan.

Kepala Balai Besar,

Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc NIP.19570530 198303 1 002 iii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …..……………………………………………………………

iii

DAFTAR ISI………………………………..………...………...……………………..

v

Konservasi ex-situ tanaman hutan………………….…………………………………..

1

Konservasi in-situ tanaman hutan..……………….………………..………..………….

17

Program pemuliaan tanaman ……………………..…………..……………..…………

29

Pembangunan populasi pemuliaan tanaman hutan……………………………………

37

Pengembangan klon dan hibridisasi………………..…………………………………..

57

Pemuliaan untuk resistensi hama dan penyakit…………………………….…………..

65

Kultur jaringan tanaman hutan…………………………..…………………….……...

79

Aplikasi penelitian genetika molekuler ………………………………………………..

91

Biodata penulis…………………………………………………………………………

107

v

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia merupakan ancaman yang serius terhadap keberadaan sumberdaya genetik yang dikandungnya. Upaya konservasi sumberdaya genetik diperlukan untuk menyelamatkan sumberdaya genetik tanaman hutan yang masih ada. Upaya konservasi ex-situ telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta meliputi 8 jenis tanaman hutan yaitu Cendana (Santalum album Linn), Merbau (Intsia bijuga), Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.), Suren (Toona spp), Pulai (Alstonia sp), Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg), Nyawai (Ficus variegata), dan Jabon (Anthocephalus cadamba). Bentuk konservasi ex-situ berupa tegakan konservasi yang tersebar di areal Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) maupun di areal kerjasama penelitian (Perum Perhutani, Dinas Kehutanan Prop. DIY). Adanya tegakan konservasi ini diharapkan mampu melindungi keberadaan jenis-jenis target dan menjadi sumber materi genetik untuk pemuliaan maupun bioteknologi di masa mendatang. Kata kunci: Konservasi ex-situ, sumberdaya genetik tanaman hutan Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity, baik dari segi keanekaragaman ekosistem, jenis maupun genetik. Namun demikian Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat keterancaman yang tinggi pada sumberdaya hayatinya. Tekanan yang sangat kuat terhadap sumberdaya genetik hutan di Indonesia diakibatkan oleh pembalakan liar, kebakaran hutan, alih fungsi lahan telah mengakibatkan hilangnya sumberdaya genetik yang mengurangi potensi ketahanan dan potensi penggunaanya di masa mendatang. Kementerian Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun. Angka ini menurun apabila dibandingkan dengan data kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun. Untuk mencegah bertambahnya kerusakan hutan, maka perlu segera dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik. Menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, sumberdaya genetik adalah bahan genetik dari tumbuhan, hewan, mikroba atau sumber lainnya yang memiliki nilai nyata dan potensial (Sastrapraja, 2004). Sedangkan tujuan konservasi sumberdaya genetik hutan adalah melindungi kemampuan tanaman hutan untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi dasar untuk meningkatkan produksi dan keuntungan lain dari pertumbuhan pohon melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan (FAO, 1989, dalam Graudal, dkk, 1997; Eriksson dkk, 1993 dalam Skroppa, 2005). Sumberdaya

1

| Bunga Rampai | 1 - 16

genetik yang memiliki keragaman genetik luas, yang selalu tersedia untuk periode jangka panjang akan menentukan efisiensi dan keluwesan program pemuliaan tanaman di masa yang akan datang. Pada prinsipnya strategi konservasi sumberdaya genetik meliputi konservasi di dalam habitat aslinya (in situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ). Konservasi ex-situ lebih mudah diaplikasikan dalam rangka penyediaan materi genetik untuk program pemuliaan pohon. Di Indonesia era konservasi ex-situ menurut Soekotjo (2001) dibagi dalam 3 (tiga) era yaitu: 1. Era pertama (1817-1959): introduksi pohon, baik jenis asli maupun kayu asing, lazimnya dengan genetik base yang sangat terbatas. 2. Era kedua semenjak tahun 1976 yang berkembang dengan jumlah sampel yang besar dan lebih mewakili keragaman genetiknya dalam bentuk kebun benih dan pertanaman uji keturunan maupun uji provenans 3. Era ketiga (1998 dan seterusnya): konservasi yang pemanfaatanya dirancang lebih efisien, lebih terkait dengan program breeding dan bioteknologi. Keragaman genetik dijaga dalam jangka panjang. Ciri era ketiga ini adalah adanya sampling target populasi, pembangunan populasi yang terpisah, adanya jalur isolasi dan ulangan lokasi untuk menjaga keamanan. Pertimbangan genetik untuk konservasi ex-situ Menurut Graudal dkk., (1995), isu pokok dalam perencanaan konservasi genetik adalah bagaimana mengidentifikasi target spesies dan populasi yang akan dilakukan konservasi. Idealnya sebelum melakukan konservasi sumberdaya genetik, variasi genetik yang ada harus diketahui lebih dahulu. Sementara itu informasi tersebut untuk kebanyakan spesies masih terbatas sehingga menjadi sebuah dilema dalam konservasi sumberdaya genetik. Spesies terdistribusi pada areal luas diasumsikan ada perbedaan genetik karena variasi ekologi, adanya isolasi, dan sejarah introduksi. Variasi genetik suatu jenis dapat ditentukan dengan beberapa cara. Penilaian melalui studi morfologi dan karakter metrik di lapangan, penanda biokimia dan penanda molekuler di laboratorium, serta menduga pola variasi genetik dapat diprediksi dari variasi ekogeografi. Studi tentang karakter metrik atau sifat adaptif pada uji di lapangan merupakan teknik yang banyak digunakan dan sampai sekarang masih merupakan teknik yang valid untuk menilai variasi genetik sifat-sifat yang diukur tersebut. Perkembangan yang pesat dalam penanda

2

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

biokimia dan molekuler memungkinkan survey keragaman genetik di dalam dan antar populasi dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Teknik ini sangat berguna sebagai data pendukung dari uji coba lapangan dan survey ekologi (Graudal dkk, 1997). Variasi ekogeografis dapat digunakan untuk memprediksi variasi genetik karena diasumsikan bahwa kesamaan kondisi ekologis menunjukkan kesamaan susunan genetik (Frankel, 1970). Pernyataan ini didasarkan asumsi bahwa adaptasi lokal melalui seleksi alam merupakan tenaga penggerak dalam proses deferensiasi antar populasi. Idealnya semakin tinggi level variasi genetik yang ada di alam semakin baik sebagai target konservasi genetik. Oleh karena itu ketepatan metode sampling merupakan hal penting dalam kegiatan konservasi genetik. Sampling yang benar akan meminimalkan efek inbreeding yang memiliki efek negatif pada karakter-karakter penting untuk pemuliaan tanaman dan usaha menjaga variasi genetik jangka panjang. Informasi penting yang diperlukan untuk memperoleh sampel yang benar memerlukan pengetahuan sistem penyerbukan pada tanaman, distribusi populasi (terpencar, mengelompok, kontinyu, terputus) dan penyebaran benih. Populasi dari sudut pandang genetik adalah kelompok individu yang serumpun yang berasal dari keturunan sekelompok dan diperlakukan sebagai satu unit sebaikbaiknya (Wright, 1976). Menurut Keiding (1993), nilai rata-rata inbreeding sebesar 1%-2% (koefisien inbreeding (F) = 1% - 2%) masih dapat diterima untuk sampel dari populasi yang luas. Bila F = 1/2Ne, dimana Ne merupakan ukuran populasi efektif, maka jumlah sampel acak antara 25-50 individu tidak berkerabat per populasi sudah cukup. Untuk menjamin sampel tidak berkerabat, maka penentuan jarak antar pohon perlu mempertimbangkan mengenai sistem penyerbukan dan penyebaran benih. Beberapa referensi menyebutkan perbedaan mengenai jumlah sampel yang cukup untuk konservasi ex-situ. The Centre for Plant Conservation (1991) merekomendasi jumlah 10-50 individu per populasi sebagai batas yang layak antara batas minimum dan pengambilan sampel yang terlalu banyak (over collection). Frankel dan Soule (1981) menyarankan jumlah ukuran populasi efektif (Ne) adalah 50 sebagai ukuran minimal untuk kegiatan pemuliaan. Sementara itu Franklin (1980) mengusulkan 500 sebagai ukuran populasi minimum yang dibutuhkan untuk mempertahankan keragaman genetik suatu jenis untuk beradaptasi. Yozenawa (1985) menganjurkan 10 individu per populasi untuk memenuhi kriteria baik dari segi kecukupan jumlah maupun efisiensi. Graudal dkk. (1997) menyebutkan 25 individu yang tidak berkerabat tiap populasi, sedangkan

Johnson (2001) menyarankan 50 sampel per

3

| Bunga Rampai | 1 - 16

populasi akan mampu menangkap gen dengan frekuensi >0,01. Dari berbagai pendapat ini jumlah individu untuk konservasi genetik 20-30 individu per populasi sudah cukup ideal. Marshall dan Brown (1975) dalam Neel dan Cummings (2003) menyarankan untuk konservasi ex-situ, standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90%-95% semua allele dengan frekuensi alel >0,05 (common allele). Selain itu, Brown dan Briggs (1991) menentukan bahwa sampling dari 5 populasi untuk spesies yang jarang dapat menangkap 9095% common allele

The Centre for Plant Conservation (1991) memakai standar yang

disarankan oleh Marshall dan Brown (1975) untuk keragaman genetik dan Brown dan Briggs (1991) menerapkan 5 populasi target untuk koleksi materi genetik konservasi ex-situ. Persyaratan konservasi ex-situ Syarat minimun untuk melakukan konservasi ex-situ dapat dikelompokkan dalam empat faktor yaitu persyaratan biologi, fisik, manusia dan institusi (Hidalgo dkk., 2007). Biologi Pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman, reproduksi biologi yang penting untuk menentukan tipe materi genetik yang akan dikoleksi, apakah benih atau bahan vegetatif yang akan mendasari tipe penyimpanannya. Tipe polinasi apakah alogami atau autogami menentukan pengelolaan tegakan konservasi dan strategi sampling saat koleksi materi genetik. Adaptasi ekologi untuk mengetahui kondisi lingkungan asal seperti kisaran altitude, latitude, suhu, tanah dll yang penting untuk mendapatkan tapak yang sesuai dengan kondisi alaminya. Fisiologi struktur reproduksi yang menentukan benih ortodok atau rekalsitran, siklus kemasakan benih, dormansi yang penting untuk metode pemanenan maupun kesehatan benih. Fisik Fasilitas yang digunakan untuk menyimpan materi genetik hendaknya terbebas lingkungan yang dapat merusak seperti api, hama/penyakit, pasokan listrik dll. Pemilihan tapak di lapangan hendaknya mempertimbangkan altitude, latitude, suhu, tanah, curah hujan, kemudahan akses dan kemudahan pemanfaatannya.

4

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

Sumberdaya Manusia Konservasi memerlukan kerja tim dari berbagai disiplin ilmu seperti botani, taksonomi, genetik, biologi, fisiologi, pemulia maupun teknik pendinginan. Karena sifatnya kerja tim, kontinyuitas tim menjadi penting. Institusi Dukungan institusi, pemerintah maupun politik diperlukan dalam arti dukungan pendanaan, SDM, dan teknis untuk mengelola aktivitas konservasi. Panjangnya aktivitas konservasi sehingga memerlukan prioritas-prioritas jenis yang akan dikonservasi. Bentuk-bentuk konservasi ex-situ Bentuk konservasi ex-situ menurut ITTO dan RCFM (2000), Zobel and Talbert (1984), dan Finkeldey (2005), yaitu: Konservasi kumpulan faktor-faktor keturunan (gene complexes conservation) Kegiatan ini bertujuan untuk menyelamatkan kumpulan faktor-faktor keturunan yang berpengaruh terhadap sifat-sifat tanaman tertentu yang diinginkan, seperti: kecepatan pertumbuhan, kualitas batang dan daya adaptasi yang tinggi. Arboreta Suatu arboretum adalah koleksi pohon yang cukup mewakili komposisinya dan mempunyai pertumbuhan yang subur. Arboretum dibangun untuk tujuan ilmu pengetahuan dan dapat juga sebagai sumber benih dan material herbarium yang mudah didapat. Tujuan lainnya adalah untuk konservasi sumberdaya genetik, pembelajaran ilmu dendrologi, phenologi dan perkembangbiakan biologi. Botanical gardens Kebun raya adalah suatu cara yang paling tepat untuk preservasi terhadap individu species tanaman, meskipun dibangun untuk sejumlah kecil pohon jenis tertentu, namun kegiatan ini harus dilihat sebagai bagian dari usaha global yang lebih luas untuk melindungi keanekaragaman biodiversity.

5

| Bunga Rampai | 1 - 16

Bank genetik (gene bank) dan kebun benih (seed orchard) Penyimpanan benih dalam bank gen dalam jangka panjang merupakan metode statis penting untuk konservasi sumberdaya genetik tanaman. Benih dapat diangkut dengan mudah dan genotipe dalam jumlah banyak dapat disimpan dalam fasilitas ruang sempit. Namun keterbatasan metode ini bila diterapkan pada jenis-jenis pohon yang bijinya bersifat rekalsitran yang tidak dapat disimpan dalam jangka panjang. Kebun benih merupakan pertanaman yang ditujukan untuk menghasilkan benih unggul. Kebun benih dapat dibedakan menjadi kebun benih semai (KBS) dan kebun benih klok (KBK). Kebun benih semai selalu dirancang dari uji keturunan dengan mengidentifikasi famili-famili yang memiliki fenotipe unggul. Famili-famili yang berfenotipe jelek dibuang melalui penjarangan selektif yang dilakukan sekali atau beberapa kali. Kebun benih klon dibangun untuk memproduksi benih dalam jumlah banyak dari pohon yang bergenotipe unggul yang jumlahnya terbatas. Pohon yang bergenotipe unggul dikloning dan beberapa copynya dikumpulkan dalam suatu populasi. Tegakan benih Tegakan benih atau areal produksi benih dibangun di dalam atau di luar tegakan alam, dengan individu yang berpenampilan baik dalam jumlah yang cukup banyak. Tegakan ini kemudian ditingkatkan kualitasnya (upgrade) dan dikelola untuk produksi benih. Tegakan ini sangat bermanfaat untuk program pemuliaan pohon, sepanjang tegakan ini dapat memberi sumbangan material yang berkualitas untuk membangun tanaman. Tegakan benih dapat dijadikan sumber benih antara, sampai dengan benih hasil pengujian keturunan didapatkan. Tegakan benih secara tidak langsung berperan sebagai genepool yang bernilai tinggi sehingga dapat digunakan sebagai tegakan konservasi. Tegakan benih provenan Tegakan yang berasal dari sumber benih yang berbeda lokasi geografisnya. Perbedaan geografis ini mungkin akan bervariasi dalam hal pertumbuhannya, ketahanan hama dan penyakit. Hal ini sangat berhubungan dengan variasi genetik yang ada pada species tersebut terkait perbedaan geografisnya. Bank klon Perbanyakan vegetatif dapat memperbanyak genotipe secara identik. Pemanfaatan teknik ini untuk memperbanyak sumberdaya genetik yang sangat terancam dengan memindahkan

6

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

bahan vegetatifnya terhindar dari kepunahan di habitat alamnya ke areal yang terlindung. Bank klon juga dapat menyimpan informasi genetik unggul hasil pemuliaan. Bank kultur jaringan Merupakan perbanyakan vegetatif dari genotipe secara in vitro. Kultur jaringan dari sebagian besar jenis dapat dipertahankan untuk jangka lama jika kondisi sesuai seperti temperatur, cahaya dan media yang tepat. Cryopreservation Preservasi untuk jangka waktu yang tidak terbatas berbagai genotipe dengan volume sangat kecil. Jaringan biologi disimpan pada temperatur sangat rendah (-196°C) dalam larutan nitrogen. Pembangunan dan pengelolaan tegakan konservasi ex-situ Tegakan konservasi ex-situ dimaksudkan untuk menjaga sumberdaya genetik pada suatu areal yang aman untuk dimanfaatkan di masa mendatang (Theilade, 2003). Fungsi tegakan konservasi ex-situ di kehutanan dapat digunakan sebagai sumber benih, untuk mendukung program pemuliaan pohon, mencoba jenis asing maupun penelitian dan pendidikan. Tegakan konservasi ex-situ dapat terdiri dari satu jenis maupun beberapa jenis. Desain dan pengelolaan tegakan konservasi ex-situ meliputi ukuran dan struktur famili, regenerasi dan isolasi, penjarangan, pemanfaatan dan kondisi tapak (Graudal dkk, 1997). Ukuran dan struktur famili Ukuran konservasi ex-situ hendaknya tidak terlalu kecil untuk meminimalkan efek inbreeding. Bilamana 25 pohon induk yang tidak berkerabat dikoleksi dari suatu populasi dan tiap pohon induk diwakili 30 anakan, maka dalam satu populasi terdiri dari 750 tanaman. Dengan jarak tanam 5m x 5m, maka luas areal yang diperlukan 1,87 ha tiap populasi. Bilamana target konservasi sebanyak 5 populasi, maka luas areal yang diperlukan 9,4 ha. Bila jalur isolasi antar populasi diperhitungkan, maka luasan yang diperlukan akan lebih besar lagi. Tegakan konservasi beberapa jenis membutuhkan areal yang lebih luas dibandingkan tegakan konservasi dari satu jenis saja.

7

| Bunga Rampai | 1 - 16

Regenerasi dan isolasi Tegakan konservasi ex-situ dibangun dari materi genetik dengan ciri khas phenotipik maupun genetik yang unik untuk masing-masing populasi. Untuk menjaga ciri khas tersebut disyaratkan untuk membuat jalur isolasi agar tidak terjadi kontaminasi serbuk sari. Jalur isolasi yang ideal untuk sebuah tegakan konservasi yaitu sepanjang 330m (FAO,1992) . Penjarangan Penjarangan diperlukan untuk mendapatkan pohon dengan tajuk yang baik agar pembungaan dan pembuahan dapat berlangsung dengan baik. Pada tegakan konservasi ex-situ satu jenis, penjarangan sistematik dapat dilakukan untuk menjaga komposisi materi genetik. Pemanfaatan Tegakan konservasi dapat dipadukan dengan bentuk pemanfaatan hutan lainnya sepanjang tidak mempengaruhi komposisi materi genetik. Kondisi tapak Keamanan areal menjadi pertimbangan penting saat pemilihan tapak. Untuk menghindari kerusakan atau hilangnya materi genetik, maka pembangunan tegakan konservasi ex-situ hendaknya dibangun pada 2-3 lokasi sebagai ulangan tempat. Tanaman mampu beradaptasi pada tapak manakala mampu berbuah/berbiji. Konservasi ex-situ jenis-jenis prioritas di BBPBPTH Mengingat banyaknya sumberdaya genetik hutan, maka diperlukan pemilihan jenis-jenis prioritas untuk dilakukan konservasi. Adapun penentuan jenis-jenis prioritas ini didasarkan pada nilai manfaat saat ini, nilai potensi di masa mendatang dan status konservasinya. Tahapan kegiatan konservasi ex-situ yaitu (1) pemilihan jenis, (2) eksplorasi materi genetik dari sebaran alam maupun tanaman, namun diusahakan dari sebaran alamnya, (3) pembangunan tegakan konservasi, (4) karakterisasi/evaluasi dan (5) dokumentasi Pemilihan jenis Untuk meningkatkan efisiensi kegiatan konservasi, pemilihan jenis yang dilakukan di Balai Besar adalah jenis yang bernilai ekonomi tinggi dan status konservasi sudah masuk dalam daftar CITES (Convention of International Trade in Indangered Species of Wild Fauna

8

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

and Flora) atau VU (vulnerable). Bentuk tegakan yang dibangun merupakan populasi dasar yang diarahkan untuk pemuliaan tanaman, maupun dalam bentuk plot konservasi. Berdasarkan pemilihan jenis di atas Balai Besar telah mengkonservasi 8 jenis tanaman hutan yaitu Cendana (Santalum album Linn), Merbau (Intsia bijuga), Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.), Suren (Toona spp), Pulai (Alstonia sp), Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg), Nyawai (Ficus variegata), dan Jabon (Anthocephalus cadamba). Sebaran alam dan eksplorasi materi genetik Informasi sebaran alam merupakan hal yang penting untuk mengetahui potensi populasi maupun gene pool suatu target konservasi. Sebaran jenis-jenis target yaitu: Cendana. Sebaran alam terbesar Cendana terletak di Nusa Tenggara Timur (NTT), sedangkan cendana yang ada di pulau Jawa merupakan hutan tanaman. Materi genetik Cendana yang berhasil dikumpulkan untuk tujuan konservasi berasal dari populasi P. Timor (11 populasi), P. Sumba (4 populasi), P. Alor (3 populasi), P. Jawa (1 populasi), P. Flores (2 populasi), P. Pantar (1 populasi) dan P. Rote (1 populasi). Merbau. Sebaran alam Merbau sebagian besar berada di Indonesia bagian timur, terutama Papua dan Maluku. Plot konservasi dibangun dengan materi genetik berasal dari Papua, Maluku dan Jawa (Mahfudz, dkk. 2009). Ulin. Sebaran alam Ulin terletak di P. Sumatera bagian timur dan selatan, Bangka, Belitung dan Kalimantan. Pengumpulan materi genetik untuk pembangunan plot konservasi dilakukan di P. Sumatera (2 populasi), P. Kalimantan (7 populasi), dan P. Bangka (1 populasi), P. Beliting (1 populasi) (Susanto, dkk. 2009). Suren. Suren tumbuh tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, Nepal, India, Burma, China, Thailand, Malaysia sampai ke barat Papua Nugini (Djam’an, 2000). Di Indonesia sebaran jenis ini terletak di seluruh Sumatera (kecuali Jambi), seluruh Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua (Irian) (Heyne, 1987). Koleksi materi genetik berasal dari Jawa (15 populasi), Sumatera dan Kalimantan (21 populasi), Sulawesi, NTB, Maluku dan Papua (10 populasi) (Fiani, dkk., 2009). Pulai. Pulai dapat ditemui hampir diseluruh wilayah/bagian di Indonesia, mulai dari ketinggian 10 – 1250 m dpl dengan variasi tapak yang beragam baik pada areal rawa, gambut, pasang surut maupun daerah kering (Martawidjaja, 1981). Koleksi materi genetik berasal dari Sumatera (Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan), Kalimantan Selatan, 9

| Bunga Rampai | 1 - 16

Sulawesi, Papua, Jawa (Banten, Bantul dan Gunung Kidul), Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sukun. Sebaran alami tanaman Sukun di Indonesia cukup luas meliputi Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Nias, Lampung), Jawa ( Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura), Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi (Minahasa, Gorontalo, Bonerate, Makasar, Bugis), Maluku (Seram, Buru, Kai, Ambon, Halmahera dan Ternate) dan Papua. Materi genetik yang telah dikoleksi berasal dari Sleman (DIY), Bali, Lampung dan Manokwari (Papua), sedangkan yang ditanam pada tahun 2004 berasal dari Banyuwangi, Mataram dan Malino (Sulawesi Selatan). Nyawai. Nyawai memiliki sebaran alam meliputi seluruh Asia Tenggara (Heyne, 1987). Kegiatan konservasi ini masih relatif baru. Eksplorasi materi genetik telah dilakukan dari 2 populasi di Kalimantan Timur. Jabon. Jabon memiliki sebaran alam yang luas, mulai dari India sampai Papua New Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenanjung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, PNG dan Australia (Mansur dan Tuheteru, 2010). Di Indonesia dapat dijumpai di sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur, seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya (Nurhasybi dan Muharam, 2003). Kegiatan konservasi jenis ini masih tahap awal. Eksplorasi Jabon dilakukan di Sumatera (1 populasi) dan NTB (1 populasi). Pembangunan tegakan konservasi ex-situ Pembangunan konservasi yang telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Yogyakarta dimulai tahun 2002 sampai dengan sekarang. Plot konservasi dibangun dalam bentuk tegakan benih maupun kebun klonal. Lokasi penanaman di KHDTK Watusipat dan Playen (Gunung Kidul), KHDTK Sumberwringin (Bondowoso), BKPH Candiroto (Temanggung). Luasan areal konservasi berkisar antara 3-10 Ha. Gambaran umum lokasi untuk konservasi ex-situ sebagai berikut: KHDTK Watusipat (Gunung Kidul): Topografi datar sampai bergelombang dengan kemiringan tanah berkisar antara 0º– 20º. Jenis tanah termasuk jenis gromosol hitam, bahan induk napal dan tufvolkan intermedier dan tidak subur. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe C dengan curah hujan rata-rata per tahun 1. 809 mm. Ketinggian tempat

10

200 mdpl.

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

KHDTK Playen (Gunung Kidul): Topografi bergelombang sampai curam dengan kelerengan 8%-30%, sebagian berbatu, jenis tanah vertisol, bahan induk napal dan tufvolkan dengan tingkat kesuburan rendah. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe C dengan curah hujan rata-rata per tahun 1. 894 mm. KHDTK Sumberwringin (Bondowoso): Kelerengan berkisar 0%-15%, jenis tanah asosiasi andosol coklat. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe B dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.400 mm. Ketinggian tempat

800 mdpl

BKPH Candiroto (Temanggung): Kelerengan berkisar 2%-15%, jenis tanah latosol merah kekuningan. Ketinggian tempat pada 870 mdpl, curah hujan pertahun berkisar antara 1000 - 3100 mm

Karakterisasi/evaluasi Karakterisasi/evaluasi dapat dilakukan dengan penanda genetik (isozim dan DNA) maupun melalui uji di lapangan. Penelitian keragaman genetik Cendana di kebun konservasi ex-situ ini dilaporkan cukup tinggi menggunakan penanda RAPD (HE=0,391 (Rimbawanto dkk. 2006); dan menggunakan analisis isozyme (0,366 (Haryjanto 2009). Keragaman genetik ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan dengan rata-rata nilai HE dari spesies tropika seperti dilaporkan oleh Hamrick dan Godt (1989) yaitu sebesar 0,211. Sedangkan jarak genetik antar populasi sebesar 0,0438. Menurut Yeh (2000), distribusi keragaman genetik antar populasi ini termasuk rendah (<0,05). Analisis DNA yang dilakukan Rimbawanto dan Widyatmoko (2006) pada 4 populasi Merbau (Manokwari, Nabire, Ternate dan Carita) menunjukkan keragaman genetik yang cukup tinggi 0,296 dimana angka ini lebih besar daripada jenis rata-rata keragaman genetik baik untuk kelompok jenis tropis maupun konifer. Rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,141 hasil analisis DNA menunjukkan bahwa 86% keragaman genetik berada di dalam populasi, sedangkan sisanya berada di antara populasi. Demikian halnya dengan hasil analisis dengan isozim yang dilakukan Pamungkas (2008) pada 6 populasi merbau (Haltim, Seram, Waigo, Oransbari, Wasior, dan Nabire), menunjukkan masih adanya keragaman genetik yang cukup tinggi yaitu 0,392. Berdasarkan hasil analisis variasi genetik dari DNA analisis diketahui bahwa keragaman genetik 4 populasi ulin yaitu Sepaku (Kaltim), Nanga Tayap (Kalbar), Seruan Hulu dan Sumber Barito (Kalteng), rata-rata nilai keragaman genetik dalam populasi sebesar 0,379 dan 11

| Bunga Rampai | 1 - 16

jarak genetik antar populasi sebesar 0,182 (Sulistyawati dkk., 2005). Keragaman genetik tersebut menunjukkan bahwa keragaman genetik didalam populasi sangat tinggi. Evaluasi di plot konservasi dilakukan terhadap persen hidup dimana menunjukan daya adaptibilitas masing-masing jenis maupun karakter pertumbuhan (tinggi dan diameter). Selain itu, kemampuan pertumbuhan Sukun bervariasi dalam pertumbuhan, produksi buah, morfologi pohon, daun dan buahnya (Kartikawati dkk. 2009). Dokumentasi Manajemen data yang efisien dan efektif sangat krusial bagi konservasi dan pemanfataannya. Dokumentasi penting dilakukan karena beranekaragamnya sifat setiap koleksi. Data yang penting meliputi: ekogeografis (taksonomi, ekologi, geografi); data populasi; data karakterisasi/evaluasi. Data disimpan dalam database untuk memudahkan pengamanan dan pengaksesan kembali. Beberapa keunggulan penggunaan sistem database dalam pengelolaan SDG (Perry, dkk., 1993 dalam Hawkes, dkk., 2000) : 1.

Memudahkan pertukaran data antar organisasi

2.

Menyediakan alat untuk memelihara dan menggunakan data yang dapat membantu kurator untuk memonitor viabilitas, kuantitas dan lokasi benih atau stok SDG di persemaian

3.

Membantu seleksi materi yang dapat digunakan untuk program pemuliaan dan penelitian.

4.

Menyediakan informasi untuk koordinasi pemanfaatan

sumberdaya genetik tingkat

global. Beberapa permasalahan dan langkah ke depan konservasi ex-situ Beberapa tegakan konservasi ex-situ yang dibangun BBPBPTH menggunakan desain yang memungkinkan terjadi pencampuran serbuksari antar populasi, sehingga benih hasil reproduksi seksual tidak lagi memiliki identitas populasi. Tentunya hal ini mengurangi pemanfaatan materi genetik terutama untuk pemuliaan pohon di masa datang. Materi genetik yang ada kemungkinan belum sesuai dengan jumlah minimum individu tiap populasi. Individu yang jumlahnya sedikit tentunya akan mengurangi kemampuan tanaman bereproduksi karena adanya efek inbreeding. Konservasi genetik merupakan kegiatan jangka panjang dan mahal. Disadari bahwa konservasi genetik tidak secara langsung berdampak ekonomi, sehingga peran pemerintah cq.

12

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

Departemen Kehutanan sangat penting. Oleh sebab itu komitmen dari berbagai pihak harus terus ditingkatkan. Kebutuhan areal yang luas dan sesuai untuk jenis target menjadi faktor yang mendesak untuk dicarikan solusi terbaik. Daftar Pustaka Brown, A.H.D dan Brigg, J.D. 1991. Sampling strategies for genetic variation in ex-situ collections of endangered plant species. In: D.A Falk and K.E Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York (In: Neel, M.C., dan Cummings, M.P. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229) Centre for Plant Conservation, 1991. Genetic sampling guidelines for conservation collections of endangered plant. In: D.A Falk and K.E Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York (In: Neel, M.C., dan Cummings, M.P. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229. Djam’an, D.F. 2000. Suren (Toona sureni (Blume) MERR). Prinsip-prinsip Umum Penanganan Benih Tanaman Hutan Untuk Reboisasi, Penghijauan dan Hutan Rakyat. Ekspose dan Temu Lapang Hasil-hasil Penelitian Perbenihan Tanaman. Kerjasama Balai Teknologi Perbenihan Bogor dengan Balai Perbenihan Tanaman Hutan Denpasar. Denpasar 17-18 Oktober 2000. FAO, 1992. Establishment and management of ex-situ conservation stand. Forest Genetik Resources Information 20, 7-10. FAO, Rome Fiani, A., Jayusman, Setiawan A., Izudin, E., Budi, S. 2009. Evaluasi dan Pemeliharaan Plot Konservasi Eksitu Jenis Suren (Toona spp.) Laporan Kegiatan 2009. Buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta Finkeldey, R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Terjemahan. Edje Djamhuri, Iskandar Z. Siregar, Ulfah J. Siregar, Arti W. Kertadikara. Fak. Kehutanan IPB Frankel, O.H. 1970. Genetic conservation in perspective. In: Genetic Resources in Plant-their exploration and conservation (eds. Frankel, O.H. and Bennet, E). IBP Handbook No 11. Blackwell, Oxford and Edinburgh. Frankel, O.H dan Soule, M.E. 1981. Conservation and evolution. Cambridge University Press. (In: Gradual, L. Kjaer, E., Thomsen, A., and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark). Franklin, I.R. 1980. Evolutionary change in small population. In: Conservation Biology An Evolutionary-Ecologycal Perspective. (eds) Soule, M.E and Wilcox, B.A. Sinauer Associates, Sunderland, Mass. Graudal, L., Kjaer, E., and Changer, S.C. 1995. A systematic approach to conservation of forest genetic resources in Denmark. Forest Ecology and Management 73. Graudal, L., Kjaer, E., Thomsen, A., and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark. Hamrick, J.L., dan Godt, M.J.W. 1989. Allozyme diversity in plant species. In: Brown, A.H.D., Clegg, M.T., Kahler, A.L., Weis, B.S. (Eds). Plant Population Genetic, Breeding and Genetic Resources, Sinauer. Sunderland. Mass, USA. Haryjanto, L. 2009. Keragaman genetik cendana (Santalum album Linn) dari Kepulauan Nusa Tenggara Timur di kebun konservasi ex-situ Watusipat, Gunungkidul dan dari ras 13

| Bunga Rampai | 1 - 16

lahan Wanagama. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Hawkes, J.G., Maxted, N., Ford-Lloyd, B.V. 2000. The ex-situ conservation of plant genetic resources. Kluwer Academic Publishers. London Heyne, K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Hildago, R., Pineda, B., Deboukc, D., and Mejia, M. 2007. Minimum requirements for ex-situ conservation. In: Multi-Institutional distance learning course on the ex-situ conservation of plant genetic resources. CIAT Publication No 360. Colombia ITTO and RCFM. 2000. Technical guidelines for the establisment and management of ex-situ conservation stand of tropical timber species. Malaysia Johnson, R., Clair,B.S., Lipow, S. (2001). Genetic conservation in applied tree breeding programs. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. Of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta. Kartikawati, N.K., Adinugraha, H.A., Setiadi., D., dan Prastyono. 2009. Variasi produktivitas dan morfologi buah sukun (Artocarpus altilis [Park.] Fosberg) pada uji klon di Gunungkidul. Dalam: Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta Keiding, H dan Graudal, L. 1989. Introduction to conservation of forest genetic resources. Lecture Note A-4. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek, Denmark. Keiding, H. 1993. Gene conservation and tree improvement. Lecture Note D-9. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek, Denmark. Mahfudz, Pujiono, S., Pamungkas, T. 2009. Status terkini konservasi sumberdaya genetik merbau (Intsia bijuga). Dalam: Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta Mansur, I., dan Tuheteru, F.D. 2010. Kayu jabon. Penebar Swadaya Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Neel, M.C. dan Cummings, M.P., 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229 Nurhasybi dan Muharam, A. 2003. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Dalam: Atlas benih tanaman hutan Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor Pamungkas, T.Y. 2008. Studi Variasi Genetik Beberapa Populasi Merbau menggunakan penanda isoenzim dan pamanfaatannya dalam Program Konservasi genetik. Tesis S2 Universisat Gadjah Mada. Jogjakarta. Sulistyowati,P., Widyatmoko, A.Y.P.B.C. dan Rimbawanto, A. 2005. Keragaman genetik empat populasi Eusideroxylon zwageri asal Kalimantan berdasarkan penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan-Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. (ed: E.B. Hardiyanto). Fak. Kehutanan UGM dan International Tropical Timber Organisation. Yogyakarta Rimbawanto, A. dan AYPBC Widyatmoko. 2006. Keragaman Genetik Empat Populasi Intsia bijuga Berdasarkan Penanda RAPD dan Implikasinya bagi Program Konservasi Genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Bogor Rimbawanto, A., Widyatmoko, AYPBC dan Sulistyowati, P. 2006. Distribusi keragaman genetik populasi Santalum album L berdasarkan penanda RAPD. Jornal Penelitian Hutan Tanaman Vol 3 No 3.

14

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

Sastrapraja, S.D. 2004. Menjamin masa depan dengan plasma nutfah hutan. Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Skroppa, T. 2005. Ex-situ conservation methode. In: Geburek, T., dan Turok, J. (Eds). Conservation and Management of Forest Genetic Resources in Europe. Arbora Publisher, Zvolen. Soekotjo, 2001. The status of ex-situ conservation of commercial trees in Indonesia. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. of

15

| Bunga Rampai | 1 - 16

16

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Angka deforestasi pada hutan hujan tropis di Indonesia bervariasi dari 1,08 sampai dengan 1,2 juta ha per tahun yang angka tersebut menggambarkan terjadinya peningkatan kemerosotan kualitas dan kuantitas sumber daya alam baik dalam tingkat jenis, genetik maupun ekosistem. Konservasi biodiversitas sangat bermacam-macam, di antaranya adalah konservasi sumber daya genetik tanaman hutan yang salah satunya diharapkan dapat mendukung kegiatan pemuliaan pada tanaman hutan. Konservasi in situ dan ex situ biasa disebut sebagai bagian dari kegiatan konservasi sumber daya genetik. Bahkan dalam praktek terbaru, dikenal adanya konservasi pseudo in situ yang dianggap lebih menghemat biaya dan sangat membantu dalam penyelamatan jenis/ populasi yang terancam. Konservasi in situ yang umum dikenal adalah dalam bentuk Taman Nasional, Cagar alam, Suaka margasatwa, Perlindungan hutan atau danau, biosfer laut dan bumi. Konservasi ini dilakukan di daerah ekosistem aslinya. Meskipun pelaksanaannya mengacu pada regenasi alami, tetapi dapat juga dilakukan menggunakan regenerasi buatan. Contoh dari penelitian pada kegiatan konservasi in situ dilakukan pada penelitian struktur dan komposisi vegetasi pada Shorea penghasil tengkawang. Pada hutan alam Dipterocarpaceae di Kalimantan, diketahui tingkatan semai ditemui terbanyak (82,16%), sedangkan pohon hanya 0,67%. Komposisi vegetasi umumnya disusun oleh minimal tiga strata, yaitu dominasi Dipterocarpaceae, kemudian strata semak belukar, dan lapisan ketiga merupakan tumbuhan herba dan lapisan herba rendah dari semak belukar. Penelitian konservasi in situ yang berkaitan dengan penelitian genetika bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, pola perkawinan, struktur genetik, luas minimal populasi tingkat degradasi jenis dan lainlain. Kegiatan konservasi in situ di berbagai negara lain sangat bervariasi. Di California, USA, kegiatan konservasi in situ pada Pinus radiatagagal karena perbedaan pendapat antara sektor swasta, organisasi non profit, perorangan, perusahaan, negara dan universitas. Di Amerika Utara, konservasi ekosistem padang rumput/ prairi berhasil baik. Hutan Darkwood di British Columbia, seluas 55.000 ha berhasil dilindungi oleh pemerintah Canada setelah dibeli dari orang Jerman pada tahun 2008. Pemerintah India bekerjasama dengan IUCN melalui Kelompok Spesialis Breeding Konservasi berhasil menyelamatkan sekitar 39 jenis tanaman obat dalam areal konservasi in situ di Andhra Pradesh. Di masa depan, konservasi in situ di Indonesia diharapkan dapat berjalan lebih baik dengan cara menjalin kerjasama dengan institusi kompeten seperti IUCN,sehingga dapat diperoleh kembali data jenis dan lokasi area konservasi in situ yang disurvey terdahulu. Pendekatan melalui jaringan kerjasama diharapkan dapat memperlancar atau mengurangi perbedaan pendapat yang terjadi dalam pengambilan keputusan. Cara konservasi pseudo in situ dapat dipelajari lebih mendalam untuk pelaksanaan konservasi yang lebih baik dan menguntungkan. Alokasi dana yang menjadi masalah diharapkan dapat diatasi dengan menjalin kerjasama dengan sektor privat, instansi pemerintah dan luar negeri. Penelitian berkaitan dengan konservasi in situ harus dilakukan lebih mendalam untuk meningkatkan wawasan yang lebih luas mengenai manfaat konservasi in situ bagi masyarakat luas dan pemulia pohon hutan khususnya. Pendahuluan Sebagian besar hutan Indonesia sesuai dengan letak dan karakteristik iklimnya termasuk ke dalam katagori hutan hujan tropis. Angka deforestasi di Indonesia berdasarkan data CIFOR tahun

17

| Bunga Rampai | 17 - 28

2009, dari tahun 2000 s.d. 2005 seluas 1,2 ha/tahun.Sedangkan menurut data Kementerian Kehutanan deforestasi dan degradasi hutan Indonesia seluas 1,08 juta ha/tahun (Anon,2002). Degradasi hutan Indonesia menyebabkan kemerosotan kualitas dan kuantitas baik pada tingkat genetik, jenis, maupun ekosistem. Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Basuni (2008), dasar konservasi biodiversitas adalah variasi genetik, dimana variasi genetik mempengaruhi ciri-ciri fisik spesies, produktivitas, ketahanan terhadap tekanan lingkungan, dan potensi evolusi jangka panjang. Program konservasi genetik dapat mendukung kegiatan pemuliaan tanaman hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Menurut Namkoong dkk(1996), kegiatan konservasi merupakan proses pemeliharaan variasi genetik sebagai salah satu kriteria dalam pengelolaan hutan yang lestari. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian kecil jenis-jenis yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi. Pemilihan prioritas jenis didasarkan pada pentingnya suatu populasi, jenis atau kelompok jenis, dan status konservasi sumberdaya genetik tersebut. Jenis-jenis prioritas dipilih untuk dikonservasi karena memegang peran kunci dalam ekosistem (keystone species) atau memiliki prospek secara ekonomis yang tinggi (Finkeldey, 2005). Menurut Maxted dkk (1997), strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri atas konservasi insitu dan ex-situ, dimana menurut Cohendkk (1991) kedua strategi tersebut saling melengkapi, konservasi ex-situ merupakan back-up bagi konservasi in-situ, apalagi jika genetik maupun jenis target disebaran alamnya terancam punah. Materi genetik yang dikoleksi dari areal konservasi insitu dapat berfungsi ganda yaitu selain untuk materi pembangunan konservasi ex-situ juga dapat sekaligus dimanfaatkan untuk keperluan pemuliaan. Diperkenalkannya metode konservasi pseudo in-situmenambah wawasan mengenaikonservasi, yang pseudo in-situini tidak begitu berbeda dengan konservasi in-situ tetapi cara ini lebih menghemat biaya dan lebih menjamin keselamatan populasi dari bencana baik karena manusia maupun alam. Pseudo in-situ lebih menghemat biaya karena jenis yang dikonservasi hanya jenis target saja, dan lebih menjamin keselamatan populasi dari bencana karena penanaman dilakukan di luar habitat aslinya sehingga disebut sebagai konservasi pseudo in-situ atau mirip seperti konservasi in-situ. Kegiatan konservasi in-situ di negara luar sebagian cukup maju, lebih dari kegiatan yang dilakukan di Indonesia. Meskipun demikian, dengan segala usaha baik pembentukan jaringan

18

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

kerjasama, dana, peningkatan kemampuan SDM peneliti dan wawasan mengenai konservasi in-situ yang lebih luas maka di masa depan, kegiatan konservasi in-situdi Indonesia akan lebih besar dan bermanfaat untuk kepentingan pelestarian tanaman hutan yang hampir punah, kebutuhan akan keragaman genetik populasi terancam punah dan kepentingan kemanusiaan di dunia. Konservasi In-Situ Konservasi in-situ adalah konservasi sumberdaya genetik suatu species tertentu di daerah sebaran alam atau di daerah ekosistim aslinya (onsite). Walaupun pelaksanaannya lebih mengacu pada regenerasi secara alami, tetapi kegiatan regenerasi secara buatan juga dapat dilakukan, selama pelaksanaan koleksi materi genetiknya tidak ada seleksi dan dikumpulkan secara acak di lokasi populasinya. Konservasi in-situ dapat berupa antara lain Taman nasional, Cagar alam, Suaka margasatwa, Perlindungan hutan atau danau yang kondisinya mengkhawatirkan, Biosphere laut dan bumi dan lain-lain. Diketahui ada cara lain konservasi in-situ yang lebih mudah, murah dan praktis yaitu konservasi pseudo in-situ yang diperkenalkan oleh DANIDA meskipun cara ini juga mempunyai kelemahan. Pada dasarnya cara ini meniru cara konservasi in-situ tetapi tidak semua jenis dikonservasi. Jenis yang dikonservasi hanya terbatas jenis target saja. Jadi dengan cara memindahkan beberapa jenis target dari kelompok hutan yang diduga tidak aman ke tempat lain yang lebih aman di luar habitatnya sehingga disebut pseudo (mirip) in- situ.Untuk menjaga agar tidak terjadi inbreeding maka setiap jenis yang dipindah harus diwakili oleh minimal 50 pohon induk, setiap pohon induk diwakili oleh minimal 4 – 10 individu (anakan). Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Perum Perhutani berusaha menyelamatkan jenis Dipterocarpaceae dari 10 kelompok hutan di Kalimantan dan Sumatera, yang ditanam di Bagian Daerah Hutan (BDH) Carita, dengan ulangan lokasi di BDH Gunung Kencana, KPH Banten. Selanjutnya akan dibangun konservasi pseudoin-situ juga oleh PT. Sari Bumi Kusuma, PT Erna Juliawati, PT. Suka Jaya Makmur dan PT. SARPATIM dari 4 kelompok hutan yang mewakili Kalimantan Tengah dan Barat (Soekotjo dan Naiem, 2010). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta SK Menhut No. 261/Kpts-IV/1990 tentang perlindungan pohon tengkawang sebagai tanaman langka. Berdasarkan hal tersebut maka upaya konservasi sumberdaya genetik Shorea spp penghasil tengkawang menjadi sangat mendesak.

19

| Bunga Rampai | 17 - 28

Beberapa contoh aspek penelitian konservasi in-situ pada hutan alam Dipterocarpaceae penghasil tengkawang, diuraikan sebagai berikut. Penelitian Struktur Dan Komposisi Vegetasi Struktur dan komposisi vegetasi dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu tempat tumbuh (unsur hara) dan iklim. Struktur vegetasi atau tegakan merupakan vegetasi atau tegakan yang tersusun atau terbentuk oleh tingkatan-tingkatan umur pada pertumbuhan tertentu. Sedangkan komposisi vegetasi merupakan susunan jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Penyebaran kelas diameter dapat mencerminkan kisaran ukuran pohon yang membentuk suatu struktur tegakan. Inventarisasi yang telah dilakukan di hutan alam Dipterocarpaceae, Kalimantan dapat digunakan sebagai contoh gambaran struktur vegetasi yang ada. Berdasarkan hasil pengolahan data inventarisasi untuk mengetahui struktur tegakan yang berada di petak TTT.23 seluas 100 ha dapat dilihat pada grafik 1. Tingkatan semai menempati urutan teratas (82,16%) tumbuh dengan populasi yang melimpah, kemudian disusul tingkatan sapling (15,38%), tingkatan tiang (1,79%) dan terakhir tingkatan pohon (0,67%). Data tersebut menggambarkan bahwa makin besar tingkatan tumbuhan (kelas diameter)nya maka keberadanya semakin sedikit. Hal ini menunjukkan kondisi struktur tegakan alam di petak TTT23 untuk semua jenis tumbuhan menunjukkan masih dalam kondisi yang normal.Stratifikasi di petak TTT23 mewakili hutan alam tropis di Kalimantan yang masih normal yang umumnya disusun minimal dalam tiga strata yaitupertama, lapisan atas yang membentuk kanopi yang lengkap, didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Lapisan kedua yang merupakan Strata semak belukar dan lapisan ketiga merupakan tumbuhan herba dan satu lapisan herba rendah dari semak belukar.

Prosentase Per Tingkat Tumbuhan Dalam 100 ha 100.00

82.16

Prosentase

80.00 60.00 Series1 40.00 15.38

20.00

1.79

0.67

Tiang

Pohon

0.00 Semai

Sapling

Tingkat Tumbuhan

Grafik 1.Polapenyebaran kelas diameter pada petak seluas 100 ha

20

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

Berdasarkan data inventarisasi jumlah jenis tumbuhan yang ada di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang, komposisi dan keragaman jenis yang ada sebanyak 74 jenis. Data ini menunjukkan keanekaragaman jenis di lokasi ini sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa hasi linventarisasi jenis di beberapa tempat di Kalimantan, seperti di hutan Dipterocarpaceae Wanariset yang terdapat 239 jenis (Kartawinataet al., 1981), di Lempake 209 jenis (Riswan, 1986), dan hutan lindung Gunung Meratus 103 jenis (Tata, 1999). Estimasi Potensi Shorea Penghasil Tengkawang Kelimpahan jenis ditentukan oleh frekuensi, kerapatan, dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis yang lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP)volume, biomass, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar, atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara dan Indrawan, 1978). Nilai penting suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan peran suatu jenis dalam suatu komunitas. Dari hasil inventarisasi diketahui bahwa Shorea penghasil tengkawang yaitu Shorea macrophylla, S. pinanga, S. stenoptera,dan S. compressa mendominasi pada tingkat pohon, pada tingkat semai tidak masuk dalam daftar 10 jenis dengan INP tertinggi. Sedangkan pada tingkat sapling dan tiang, hanya S. compressa saja. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kemunduran regenerasi secara alami dari waktu ke waktu. Berdasarkan data grafik2 diketahui bahwa jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang yang terdapat di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang di petak TTT.23 antara lain Shorea macrophylla, S. pinanga, S. stenoptera, S. seminis dan S compressa. Nilai kriteria INP semakin tinggi seiring dengan tingkatan tumbuhan, yaitu tingkat semai nilai INP=7,5; tingkat sapling INP=8,5; tingkat tiang INP=16,5; dan tingkat pohon INP=81,7. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang mengalami permasalahan dari waktu kewaktu. Kegagalan regenerasi alam ini dimungkinkan terjadi karena pemanfaatan masyarakat untuk mengambil biji tengkawang sebagai salah satu sumber pendapatan yang dari waktu kewaktu semakin tinggi. Shorea stenoptera dengan buah berukuran besar pada tingkat pohon, nilai INP 43,6 (sangat berperan), namun pada tingkat semai, sapling, maupun tiang, nilai INP kurang berperan. Hal ini terjadi disebabkan karena Shorea stenoptera ini merupakan target utama masyarakat untuk mengambil buahnya karena memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi.

21

| Bunga Rampai | 17 - 28

90

81,7

80 70 60 50 INP 40

Series1

30 16,5

20 10

7,5

8,5

0 Semai

Sapling

Pancang

Pohon

Tingkatan

Grafik 2. Nilai INP jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang per tingkat pertumbuhan Berdasarkan data-data penurunan daya regenerasi dari jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang, maka perlu dilakukan kegiatan yang dapat menjaga proses permudaan alam atau kegiatan pengayaan secara buatan dengan 2 syarat yaitu: a). materi genetik harus berasal dari petak TTT 23, dan b). tidak ada seleksi dan bersifat acak dalam penentuan pohon induk sebagai sumber benih.

Gambar 1. Kegiatan inventarisasi di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang Data-data hasil kegiatan penelitian awal tersebut dapat dijadikan bahan rekomendasi untuk kegiatan-kegiatan pembangunan plot konservasi in-situjenis Shorea penghasil tengkawang di tahun berikutnya. Penelitian lanjutan di lokasi tersebut dapat melibatkan beberapa disiplin ilmu dan teknologi, antara lain ekologi, dendrologi, genetika molekuler dan kultur jaringan, statistis, GIS dan kehutanan sosial jika masyarakat sekitar memiliki kebergantungan yang tinggi secara sosial, budaya dan ekonomi terhadap lokasi areal konservasi in-situ. Dengan meningkatnya angka degradasi hutan alam yang semakin memprihatinkan, maka upaya penyelamatan sumberdaya genetik pada jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang juga dapat dilakukan dengan membangun plot konservasi ex-situ.

22

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

Konservasi Sumberdaya Genetik untuk Mendukung Program Pemuliaan Populasi dasar dapat berupa hutan alam maupun hutan tanaman yang merupakan sumber benih dimana materi genetik untuk mendukung program pemulian dikumpulkan. Syarat penting suatu populasi dasar agar dapat dimanfaatkan untuk program pemuliaan adalah memiliki basis genetik yang luas dan diketahui karakteristik keunggulannya, misalnya memiliki kualitas kayu yang baik, ketahanan terhadap hama dan penyakit, rendemen dan kualitas minyak yang tinggi, dan lain-lain (Leksono, 2004). Populasi dasar yang berupa hutan alam dengan kondisi serta potensinya yang sangat spesifik dapat ditetapkan sebagai areal konservasi in-situ. Secara umum ada 2 aspek penelitian yang dapat dilakukan di areal konservasi in-situ yaitu penelitian ekologi dan penelitian genetika. Beberapa penelitian ekologi dapat dilakukan pada areal tersebut, seperti survey potensi, struktur,komposisi jenis,dinamika populasi, permudaan alam, biologi reproduksi, dan lain-lain. Sedangkan penelitian genetika dapat dilakukan untuk mengetahui variasi genetik,pola perkawinan, struktur genetik, luas minimal populasi untuk suatu jenis, tingkat degradasi jenis dan lain-lain. Kegiatan penelitiandi plot konservasi in-situ jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang dilakukan pada tahun 2005 - 2009 di petak TTT 23 di hutan alam Sungai Runtin di areal konsesi PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat. Penelitian aspek ekologi berupa struktur, potensi, dan komposisi jenis, sedangkan penelitian pada aspek genetika berupa keragaman genetik, pola perkawinan dan tingkat degradasi jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang (Hakim, L. 2009). Petak TTT 23 merupakan salah satu populasi dasar yang telah ditetapkan sebagai tegakan benih teridentifikasi untuk jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang karena memiliki potensi yang tinggi. Petak TTT 23 menjadi salah satu lokasi kegiatan explorasi dan pengumpulan benih jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang saat panen raya pada awal tahun 2010. Koleksi materi genetik berupa anakan Shorea sudah dipelihara di persemaian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (Gambar 2.)

(A)

(B)

(C)

Gambar 2. Pembibitan jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang di persemaian BBPBPTH Yogyakarta: (A) populasi Kalbar, (B) populasi Kalteng dan (C) populasi Jabar

23

| Bunga Rampai | 17 - 28

Konservasi In-situ di Berbagai Negara Di California, Amerika Serikat, konservasi in-situ dilakukan pada hutan alam Pinus radiata yangmempunyai nilai estetis pemandangan hutan alam yang indah. Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat di antara sektor swasta, organisasi non profit, perorangan, perusahaan, negara dan universitas yang menyebabkan kegiatan konservasi in situ tersebut gagal dilaksanakan (Rogus, 2002). Padang rumput/ prairie di Amerika Utara juga mendapat perhatian untuk dikonservasi. Dalam suatu konferensi, disarankan dilakukan kegiatan pengenalan biologi dan ekologi ekosistem prairi; identifikasi dan inventarisasi prairi alami yag tersisa dan menentukan tingkat kerusakan; identifikasi, inventarisasi dan konservasi endemik prairi khususnya binatang dan tanaman yang tidak biasa ditemui; evaluasi calon jenis yang terancam punah; melarang penanaman tanaman berkayu dalam ekosistem yang didominasi oleh prairi; mendukung inisiatif konservasi oleh publik, privat dan pemerintah; meluruskan batas administrasi dan ekoregion (Samson, F and Fritz Knopf, 1994). Di Canada, Nature Concervancy of Canada (NCC), suatu organisasi privat, non profit, yang bekerja untuk perlindungan langsung biodiversitas Canada bersama dengan Menteri Lingkungan Canada menyelamatkan hutan Darkwoods di British Columbia seluas 55.000 ha yang dibeli dari seorang warga negara Jerman pada tahun 2008. Menteri Lingkungan John Baird dan Presiden NCC John Lounds mengumumkan bahwa hal tersebut merupakan pembelian lahan privat terbesar untuk kepentingan konservasi dalam sejarah Canada (Kirby, 2011). Konservasi in-situ cenderung lebih murah biayanya, salah satu pilihan untuk mempertahankan keragaman genetik, tetapi kesulitannya adalah kebanyakan institusi tidak begitu memperhatikan mengenai jenis yang ada di areal konservasi in- situ. Meskipun demikian, biasanya dapat dilakukan monitoring di lokasi in-situ dalam usaha memutuskan kapan konservasi ex-situ diperlukan. Usaha ini sedang dilakukan di Pasifik Barat Laut Amerika Utara. Di British Columbia (BC), Menteri Kehutanan BC telah menginventarisir populasi in-situ dalam usaha menemukan populasi yang kemungkinan berada dalam kondisi berbahaya/ hampir punah (Lester dan Yanchuk 1996).

24

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

Gambar3.Hutan Darkwoods di British Columbia.Sumber: Bruce Kirby (2011) Di Oregon dan Washington, banyak organisasi bersama-sama melakukan analisis “gap” 8 jenis conifer penting (St. Clair danLipow 2000).Pendekatan kerjasama tersebut dapat menghemat biaya pada masing-masing institusi. Untuk tujuan pengukuran secara cepat jenis terancam punah dan tujuan menjalin kerjasama untuk mengatasi kekurangan data kuantitatif maka pemerintah India telah melakukan usaha konservasi insitu jenis tanaman obat (Medicinal Plan Conservation Areas =MPCA). Dengan bekerjasama dengan IUCN melalui Kelompok Spesialis Breeding Konservasi (Conservation Breeding Specialist Groups), melakukan workshop untu kmengatasi permasalahan keterbatasan lahan, sumberdana, jenis prioritas, strategi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Dari 50 jenis yang didata di Andhra Pradesh selama Maret 2001, diantaranya 39 jenis dalam keadaan terancam punah dalam berbagai tingkatan. Dari 39 jenis tersebut, 28 terekam dari berbagai areal konservasi in-situ MPCA dan akan dikonservasi di dalam dan di sekitar masing-masing MPCA. Sebelas jenis terancam punah umumnya endemik di Andhra Pradesh sehingga memungkinkan untuk dilakukan konservasi in-situ. Tujuh dari jenis tersebut direkam dari jaringan kerjasama MPCA, sementara lahan baru diperlukan untuk jenis Boswellia ovalifoliolata, Butea monosperma var. Lutea, Urginea nagarjunae dan Phyllanthus indofischeri (Anon, 2002). Konservasi in situ di Masa Depan yang Diinginkan Indonesia Kalau melihat pengalaman kegiatan konservasi in-situ yang sudah dilakukan di negara lain, banyak yang dapat digunakan sebagai contoh untuk kegiatan konservasi in-situ di Indonesia di masa depan. India dengan usaha inventarisasi lokasi konservasi in-situ tanaman obat, merupakan usaha yang memerlukan ketekunan. Dengan menjalin kerjasama dengan institusi kompeten seperti IUCN, merupakan usaha positif dalam merekam kembali data yang hilang mengenai lahan dan

25

| Bunga Rampai | 17 - 28

jenis dalam area konservasi in-situ yang telah dikelola terdahulu dan mengalokasikan lahan baru jenis yang direncanakan. Di California, telah dilakukan usaha konservasi pada hutan P. radiata (Monterey Pines) untuk keperluan estetika, perlindungan pemandangan hutan yang indah. Meskipun demikian, banyak kendala yang dihadapi seperti perbedaan pendapat antar fihak terkait. Hal seperti ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwa untuk memperlancar agar tidak terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil keputusan, perlu dilakukan pendekatan yang lebih baik melalui jaringan kerjasama dengan pertemuan anggota secara intensif. Konservasi dalam arti jenis tidak selalu menjadi prioritas, tetapi konservasi dalam arti ekosistem terkadang diperlukan untuk kepentingan tertentu. Cara konservasi pseudo in-situ yang diadopsi dari DANIDA perlu dipelajari lebih mendalam karena dengan cara ini, konservasi in-situ tidak harus mengkonservasi semua jenis yang ada tetapi hanya jenis target saja, dan dapat dilakukan di luar habitatnya. Dengan menjalin kerjasama dengan fihak pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang masih aktif, cara konservasi pseudo in-situ dapat dicoba dengan mengikutsertakan pakar bidang ini yang ada di perguruan tinggi dan HPH aktif yang telah melakukan kegiatan konservasi pseudo in-situ di areal HPHnya. Alokasi dana terkadang dirasakan menjadi kendala. Harus dicari jalan keluar misalnya dengan menjalin kerjasama yang umumnya akan dapat lebih memperkecil pengeluaran dana dengan hasil yang lebih baik karena keikutsertaan pakar-pakar di bidangnya. Contohnya British Columbia bersama dengan NCC, yang membeli hutan Darkwoods seluas 55.000 ha dari seorang bangsa Jerman. Dengan usaha kerjasama dengan sektor privat dan instansi pemerintah dan luar negeri, kemungkinan kesulitan dana tidak akan menjadi masalah. Riset yang menyangkut aspek konservasi in-situ yang lebih luas harus selalu dilakukan oleh para peneliti yang terkait seperti peneliti di bidang Konservasi Genetik, Genetika molekuler dan Kultur jaringan, dan Pemuliaan Tanaman Hutan karena bidang yang terkait tersebut akan memberi kontribusi pada wawasan pengetahuan, analisis dan akan menghasilkan informasi yang lebih luas,mendalam dan bermanfaat. Jenis-jenis terancam punah sudah direkam oleh Kementerian Kehutanan. Action untuk melakukan konservasi in-situ maupun pseudo in-situ dan yang berkaitan dengan konservasi ex-situ seharusnya dapat segera dilakukan. Aspek dana dan lahan yang biasanya menjadi pembatas kegiatan seharusnya dapat diatasi dengan berbagai cara tersebut. Jenis terancam punah, juga keragaman ekosistem hutan yang spesifik harus dapat diselamatkan untuk kepentingan masa depan,

26

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

kepentingan pemanfaatan keragaman genetik yang ada dan untuk kepentingan pemuliaan dan masyarakat di dunia. Daftar Pustaka Basuni, S. 2008. Metodologi Penelitian Teknis Konservasi. Materi pelatihan metodologi penelitian dan penyusunan proposal penelitian bagi peneliti yunior. Bogor. CIFOR. 2010. REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. CIFOR, Bogor, Indonesia. Hal 14. http://www.cifor.cgiar.org/Knowledge/Publications/Detail?pid=2812Diakses pada tanggal 8 Mei 2003. Cohen, J.I;Williams, J.T. Pluncknett, D.L.andShands, H. 1991. Ex-Situ Conservation of Plant Genetic Resoursce: Global Development and Enviromental Concern. Science: 253: 866872. Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Alih bahasa oleh Djamhuri, E., Siregar, I.Z., Siregar, U.J., Kertadikara, A.W. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Hakim, L. 2009. Struktur, Komposisi, Dan Potensi Tegakan Shorea Penghasil Tengkawang di Plot Konservasi In-Situ PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Makalah Ekspose HasilHasil Penelitian BBPBPTH Yogyakarta. Yogyakarta. Kartawinata, K., R. Abdulhadi, and T. Partomihardjo. 1981. Composition and Structure of a Lowland Dipterocarpaceae Forest at Wanariset, East Kalimantan. The Malaysian Forester 44 (2 & 3) : 397-406. Kirby, Bruce. 2011. Darkwoods, British Columbia. Magazine/jt 11. January/ February 2011. Issue. (http://www.canadiangeographic.ca/magazine/jt11/concerving_darkwoods.asp) diakses 12 Januari 2011. Leksono B. 2004. General Concept of Tree Improvement. Procceding on the Third Country Training Program,” Short Course in FTI of Tropical Tree Species, CFBTI – JICA, Yogyakarta, 15-26 March 2004. (unpublished) Lester and Yanchuk. 1996.dalam Genetic Conservation in Applied Tree Breeding Programs. Randy Johnson, Brad St.Clair and Sara Lipow. Corvalis, OR. USA. Maxted, N., Ford-Liod, B.V. and Hawkes, J.G. 1997. Complementary Conservation Strategies. In: Maxted, N., Ford-Liod, B.V. and Hawkes, J.G. (eds.) Plant Genetic Conservation.Pp: 1539. Chapman & Hall. New York. Namkoong, G.; Boyle, T.J.B.; Gregorius, H.-R.; Joly, H.; Savolainen, O.; Ratnam, W.; Young, A.1996. Testing criteria and indicator for assessing the sustainability of forest management: Genetic Criteria and Indicators. CIFOR Working Paper No.10, Bogor, Indonesia. Riswan, S. 1986. Structure and Floristic Composition of a mixed Dipterocarp Forest at Lempake, East Kalimantan. In A.J.G.H. Kostermans (ED). Proceeding of the Third Round Table Conference on Dipterocarp. Pp:435-457. United Nation Educational Scientific and Culture Organization. Jakarta. Rogus, Deborah, L. 2002. In situ Genetic Conservation of Monterey Pines (Pinus radiata). Information and Recommendation. Report No. 26. Sept 2002. Genetic Resources Conservation Program. Divisoin of Agriculture and Natural Resources. University of California. Samson, Fred and Fridz Knopf. 1994. Roundtable. Prairie Conservation in North America. Bioscience Vol.44. No.6. June 1994. Soekotjo dan Moch Na’iem. 2010. LAPORAN KE II. Petunjuk Koleksi Buah Dipterocarpa.

27

| Bunga Rampai | 17 - 28

http://www.pdf-finder.com/LAPORAN-KE-II-Petunjuk-Koleksi-Buah-Dipterocarpa.htmlDiakses tanggal 13 Januari 2010. Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1978. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. St. Clair and Lipow 2000. dalam Genetic Conservation in Applied Tree Breeding Programs. Randy Johnson, Brad St.Clair and Sara Lipow. Corvalis, OR. USA. Sumadiwangsa, S. 2001. Nilai dan Daya Guna Penanaman Pohon Tengkawang (Shorea spp.) di Kalimantan. Buletin Vol 2. No 1. Th 2001. Tata, M.H.L. 1999. Komposisi dan Struktur Vegetasi di Hutan Lindung Gunung Meratus, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan, Vol. 13, No. 2. BPK Samarinda. Kalimantan Timur.

28

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Pada suatu program pemuliaan menentukan sistem yang efisien dengan kendala waktu dan sumberdaya merupakan hal penting yang perlu penyelesaian dengan memperhatikan berbagai kepentingan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal selain program pemuliaan perlu strategi, metode, rancangan dan teknik pemuliaan sesuai produk akhir yang diinginkan dan pertimbangan ekonomi. Beberapa negara di asia yang mengembangkan pemuliaan tanaman hutan adalah Cina, India, Kamboja, Laos, Philipina, Thailand, Vietnam juga Indonesia. Jenis-jenis pohon yang dikembangkan di negara-negara tersebut pada umumnya adalah fast growing species antara lain jenis Acacia spp, Eucalyptus spp, Paraserianthes falcataria. Jenis lainnya yaitu Casuarina spp, Intsia bijuga, Pinus spp, Vitex spp, Pterocarpus spp. Indonesia telah melakukan kegiatan pemuliaan tanaman hutan hutan sejak tahun 1930, dan sampai sekarang telah menghasilkan beberapa jenis unggul pohon hutan. Pendahuluan Pemuliaan tanaman hutan merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan dan silvikultur untuk menghasilkan tanaman berkualitas. Untuk mendapatkan perpaduan yang optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya program pemuliaan dimana strategi, rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa pertimbangan diantaranya besarnya variasi genetiktindakan silvikultur, dan produk akhir yang ingin dicapai serta pertimbangan ekonomi. Tujuan umum dari suatu program pemuliaan tanaman hutan menurut Suseno (2001) adalah : (1) memuliakan secara progresif populasi dasar dan populasi pemuliaan; (2) membiakkan material yang dimuliakan untuk membuat populasi produksi yang unggul; (3) menjaga variabilitas dan ukuran populasi pada populasi dasar dari populasi pemuliaan; (4) semuanya ini dicapai secara ekonomis. Empat komponen populasi dalam strategi pemuliaan tanaman hutan yaitu populasi dasar, populasi pemuliaan, populasi perbanyakan dan populasi produksi (Leksono, 2001). Populasi dasar adalah populasi tempat dipilihnya pohon yang akan ditangkar untuk kegiatan seleksi. Populasi pemuliaan adalah bagian kumpulan individu dari populasi dasar yang diseleksi berdasarkan kualitas yang diinginkan untuk dijadikan tetua bagi penangkaran generasi berikutnya. Populasi pemuliaan akan menjadi pusat kegiatan dari strategi pemuliaan ini. Populasi perbanyakan terdiri dari pohonpohon terpilih dari individu dan famili-famili terseleksi dalam kebun benih atau area perbanyakan dimana kombinasi gen yang terpilih dalam populasi pemuliaan diproduksi secara massal sebagai benih unggul. Populasi perbanyakan dapat dibangun dengan bentuk yang lebih besar berdasarkan

29

| Bunga Rampai | 29 - 36

informasi dari populasi pemuliaan untuk memenuhi kebutuhan benih yang cukup besar. Bentuk populasi perbanyakan dapat berupa Kebun Benih Semai hasil konversi uji keturunan, Kebun Benih Klon dari individu-individu terseleksi, Kebun Pangkas dari klon-klon terpilih atau Kebun Benih Komposit untuk populasi pemuliaan yang menggunakan sistem sub galur. Populasi produksi merupakan hutan tanaman untuk produksi dengan menggunakan material benih yang berasal dari populasi perbanyakan, baik menggunakan biji (generatif) atau dengan mengunakan bagian vegetatifnya. Menentukan sistem yang paling efisien pada suatu program pemuliaan dengan kendala waktu dan sumberdaya yang ada merupakan masalah yang perlu penyelesaian dengan memperhatikan berbagai kepentingan. Skema yang dibuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam program pemuliaan dengan memperhatikan semua kondisi dinamakan strategi pemuliaan. Proses untuk mengimplementasikan strategi pemuliaan disebut metode pemuliaan.

Prosedur biologis yang

digunakan (penyerbukan terkendali, okulasi, penanaman dll) merupakan teknik pemuliaan (Suseno, 2001). Metode pemuliaan yang umumnya diterapkan pada tumbuh-tumbuhan ialah pemuliaan mutasi, inbreeding, hibridisasi, pemuliaan silang balik dan seleksi (Alard, 1960 dalam Suseno, 2001). Morgernstern et al. (1975) menyatakan bahwa metode pemuliaan yang cocok untuk suatu jenis tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, besarnya variabilitas, tujuan pemuliaan serta produksi biji. Seleksi merupakan metode yang paling umum diterapkan untuk pohon-pohon hutan. Metode ini sesuai bagi kebanyakan jenis-jenis penyerbukan silang dan yang variabilitasnya besar seperti halnya jenis-jenis yang masih liar. Menurut Shelbourne dan van Buijtenen dalam Morgernstern et al., 1975 menyatakan bahwa seleksi merupakan metode pemuliaan yang paling sederhana dan paling memberi harapan untuk memperoleh hasil-hasil genetik yang agak besar pada generasi pertama serta untuk memenuhi kebutuhan benih unggul dalam jumlah besar. Maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah memaparkan program pemuliaan tanaman hutan yang berkaitan dengan strategi pemuliaan, metode dan teknik pemuliaan serta status pemuliaan tanaman hutan yang ada di negara-negara asia, termasuk Indonesia, yang mengembangkan jenis jenis tanaman tertentu untuk dimuliakan. Status pemuliaan tanaman hutan di beberapa negara Asia Status pemuliaan tanaman hutan dibeberapa negara Asia sampai dengan tahun 2004 (Rimbawanto et al., 2004) adalah sebagai berikut:

30

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

Cina Pemuliaan tanaman hutan jenis-jenis tropis dan sub tropis dikembangkan di bagian Selatan Cina.

Jenis yang diprioritaskan antara lain adalah Acacia auriculiformis, A. mangium, A.

crassicarpa dan A. mearnsii, Eucalyptus urophylla, Casuarina equisetifolia dan C. Junghuniana. Program pemuliaan tanaman hutan di Cina tergolong cukup maju. Berbagai uji genetik telah dibangun seperti uji keturunan (F1 dan F2), uji perolehan genetik, uji klon, hibridisasi inter-species, kebun benih klonal dll. Teknik perbanyakan konvensional maupun kultur jaringan juga telah dikembangkan untuk berbagai jenis. Kegiatan-kegiatan diatas dilaksanakan oleh Research Institute of Sub-tropical Forestry serta lembaga kehutanan provinsi. India Selain Jati dan Bambu, India mempunyai tanaman Eucalyptus yang luas. Jenis Eucalyptus yang mendominasi hutan tanaman jenis ini adalah Eucalyptus camaldulensis dan E. tereticornis yang mencapai luas 2,5 juta ha. Kemudian disusul oleh C. Equisetifolia 500.000 ha dan A. auriculiformis dan A. mangium 45.000 ha. Hutan tanaman ini berkembang di wilayah bagian selatan India. Berbagai uji genetik seperti uji keturunan, uji klonal dan uji perolehan genetik telah dilakukan untuk jenis-jenis tersebut diatas serta jenis lainnya. Program hibridisasi yang telah dilakukan antara lain adalah E. tereticornis x E. grandis, E. grandis x E. urophylla. Beberapa program penelitian yang tengah dilaksanakan sebagai kelanjutan dari hasil yang telah dicapai saat ini antara lain adalah studi tentang aspek inbreeding, kesesuaian jenis/seedlot dengan tapak (species site matching), hibridisasi inter species dan introduksi sumber plasma nutfah baru. Lembaga yang melaksanakan dan mengkoordinir program pemuliaan tanaman hutan adalah Institute of Forest Genetic and Tree Breeding, Coimbatore, Kerala Forestry Research. Selain itu beberapa perusahaan yang membangun dan mengelola hutan tanaman juga melaksanakan program serupa. Kamboja Sebagai sebuah negara kecil, Kamboja membangun tidak lebih dari 13.000 ha hutan tanaman dengan jenis Acacia mangium dan Eucalyptus camaldulensis.

Kebutuhan benih kedua jenis

tersebut didatangkan masing-masing dari Australia dan Thailand. Pada saat yang sama, untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek telah pula dibangun Seed Production Area (SPA) untuk kedua jenis tersebut. Kebutuhan akan benih bermutu dan informasi tentang pemuliaan tanaman hutan banyak disuplai dari Thailand dan Vietnam.

31

| Bunga Rampai | 29 - 36

Laos Pembangunan hutan tanaman di Laos baru dimulai pada tahun 1994, dan kini luas hutan tanaman di Laos tidak lebih dari 16.000 ha yang terdiri dari 2 jenis utama yaitu E. camaldulensis dan A. mangium. Sejauh ini belum ada program pemuliaan tanaman hutan untuk kedua jenis tersebut.

Pada awalnya benih kedua jenis tersebut didatangkan dari Australia, sedang untuk

memenuhi kebutuhan sendiri kini telah dibangun SPA seluas 5 ha. Pengguna benih tersebut antara lain adalah proyek pemerintah dan petani kecil. Philipina Setiap tahunnya tidak kurang dari 50.000 ha tanaman baru dibangun di Philipina, separuh dari jumlah itu untuk tujuan konservasi sedang sisanya untuk tujuan hutan produksi. Jenis-jenis yang ditanam antara lain A. mangium, A. auriculiformis, Eucalyptus spp, C. Equisetifolia, Swietenia macrophylla, Gmelina arborea, Pterocarpus indicus, Pinus kesiya, Vitex parviflora, Intsia bijuga dan Paraserianthes falcataria. Program pemuliaan tanaman hutan relatif masih terbatas pada pembangunan SPA serta uji keturunan A. mangium dan E. urophylla. Persoalan utama yang dihadapi adalah tidak adanya lembaga yang secara khusus menangani pemuliaan tanaman hutan. Pengguna benih unggul juga umumnya adalah perorangan. Thailand Program pemuliaan di Thailand relatif telah cukup maju. Uji keturunan generasi kedua telah dilakukan pada beberapa jenis seperti A. auriculiformis, E. camaldulensis dan E. urophylla. Jenis lain yang dikembangkan antara lain adalah A. aulacocarpa, A. crassicarpa, A. mangium, C. Equisetifolia dan C junghuniana. Disamping itu hutan clonal E. urophylla dan E. camaldulensis telah banyak dibangun baik oleh perorangan maupun perusahaan.

Kebutuhan benih A.

auriculiformis, A. crassicarpa dan E. camaldulensis di negara tetangga seperti Vietnam, Laos dan Kamboja dipenuhi oleh Thailand. Program pemuliaan tanaman hutan ini secara nasional dilaksanakan oleh Royal Forestry Department (RFD). Persoalan yang dihadapi adalah kecilnya partisipasi swasta dalam memanfaatkan benih unggul yang dihasilkan oleh RFD. Vietnam Kemajuan yang pesat dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh Vietnam ternyata juga terjadi dalam program domestikasi jenis. Luas hutan tanaman telah mencapai 1,4 juta ha terdiri dari antara lain jenis ekaliptus, acacia, melaleuca dan casuarina. Program pemuliaan secara sistematik mulai dilakukan pada tahun 1988 dengan bantuan CSIRO FFP. Uji keturunan jenis A. auriculiformis, 32

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

A. mangium, E. camaldulensis dan E. urophylla telah memasuki generasi kedua. Disamping itu program hibridisasi A. auriculiformis x A. mangium juga memperoleh perhatian yang serius. Hingga kini lebih dari 100.000 ha tanaman hibrid acacia (klon hibrid terpilih) telah dibangun. Program hibridisasi ekaliptus juga tengah dilakukan.

Pemuliaan tanaman hutan di Vietnam

dilakukan oleh Research Centre for Forest Tree Improvemant. Status pemuliaan tanaman hutan di Indonesia Kegiatan pemuliaan tanaman hutan hutan di Indonesia yang pertama kali, direncanakan pada tahun 1930 pada Jati oleh Lembaga Penelitian Hutan (LPH). Tahun 1930-1931 dilakukan studi biologi bunga jati (Coster, 1931 dalam Suseno, 2001). Tahun 1932 dilakukan percobaan tempat asal (”Provenans trial”) dan percobaan varietas. Biji jati didatangkan dari berbagai tempat asal yaitu Burma, Thailand, India, Indochina, Muna, Cepu, Pati, Gundih dan Ponorogo, yang setelah dianalisis bijinya ditanam di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Coster dan Eidman, 1934 dalam Suseno, 2001) Disamping itu juga diuji biji-biji jati beberapa varietas pohon jati yang mempunyai sifat khusus, yaitu : jati doreng, jati batang lurus (glad stam), dan jati knoble. Pengamatan dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun (Coster dan Eidman, 1934); 2 tahun (Coster dan Hardjowasono, 1935 dalam Suseno, 2001) dan setelah itu tidak pernah diamati, sampai berumur 25 tahun (Loekito Darjadi, 1959 dalam Suseno, 2001).

Sesuai dengan uraian yang

mengemukakan bahwa pemuliaan tanaman hutan dimanapun yang dilakukan sebelum tahun 1950an umumnya kurang efektif disebabkan antara lain karena rancangan percobaan kurang tepat dan kurang perawatan sehingga secara tegas tidak dapat ditarik kesimpulan.

Apalagi kondisi

pertanaman sudah mengalami kerusakan. Percobaan provenans jati tahun 1950 sehubungan saran APFC (Asia Pasific Forestry Commission) dilakukan oleh LPH untuk mempelajari pertumbuhan jati dari berbagai tempat asal pada tapak yang jelek. Meski hasilnya telah diinventarisir tahun 1963-1964 dan ditulis oleh Soerianegara (1971), namun untuk selanjutnya tidak ada kesimpulannya. Dengan Proyek Bank Benih dan Persemaian Modern, dilaksanakan aktivitas pemuliaan tanaman hutan tusam oleh LPH dalam tahun 1968-1971 (Soerianegara, 1971) meliputi ; (1) Pembangunan Kebun Benih Klon dengan ”bottle grafting”; (2) Penelitian Populasi Alam di Sumatera; (3) Studi Provenans di Indonesia; (4) Pembangunan persemaian pusat. Oleh LPH dibuat pertanaman uji asal benih Tusam (Aceh dan Bandung). Pinus caribaea dan Pinus oocarpa yang bijinya dipersiapkan oleh Comonwealth Forestry

Institute ditanam di

Lampung dan Kalimantan Timur tahun1974-1975. Walaupun kegiatan pemuliaan tanaman hutan

33

| Bunga Rampai | 29 - 36

hutan di Indonesia telah lama dilakukan (1930-1975) namun karena program tidak jelas, rancangan kurang tepat, perawatan pertanaman kurang baik dan kegiatan tidak kontinyu, maka tidak ada hasil nyata yang terwujud. Kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia sejak tahun 1975 yang diawali dengan kedatangan Prof. Dr. Jonathan Wright dari Michigan State University dari Amerika Serikat mengalami banyak perkembangan. Sebelum tahun 1975, kegiatan pemuliaan tanaman hutan itu ada tetapi tidak kontinyu. Sejak 1975 sampai saat ini, kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya dampak positif dari pembangunan kebun benih tusam di 3 lokasi masing-masing di Cijambu-Sumedang Jawa Barat, Baturaden-Purwokerto Jawa Tengah dan Sempolan-Jember Jawa Timur. Kebun benih tersebut atas kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dan Direktorat Jenderal Kehutanan, institusi yang ditunjuk sebagai mitra adalah Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (DITSI) serta Perum Perhutani. Dampak positif yang diperoleh tidak hanya perkembangan fisik kebun benihnya, tetapi banyak aspek kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia dari waktu ke waktu berkembang. Dengan adanya Gedung Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dibawah Badan Litbang Kementrian Kehutanan, tersedianya SDM pemuliaan tanaman hutan (sarjana bidang pemuliaan tanaman hutan S1 dan S2 bahkan sampai S3), mantan peserta kursus singkat pemuliaan tanaman hutan, adanya program-program pemuliaan dan pertanaman uji genetik di berbagai instansi (HTI), seminar, simposium pemuliaan pohon tingkat nasional merupakan harapan yang baik bagi pengembangan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia. Di Indonesia, institusi pemerintah yang menangani pemuliaan tanaman hutan berada dibawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,

Kementrian Kehutanan yaitu Balai Besar

Penelitian dan Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) yang berkedudukan di Purwobinangun Pakem Sleman Yogyakarta. BBPBPTH menangani penelitian pemuliaan tanaman hutan mulai tahun 1992 sampai sekarang, telah dan sedang melakukan penelitian pada beberapa jenis pohon hutan meliputi jenis kayu pertukangan daur panjang seperti Jati dan Merbau, sedangkan daur menengah yaitu Pulai, Suren. Jenis kayu pulp seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Eucalyptus pellita, Paraseriantes falcataria, Anthocephalus cadamba, kayu energi untuk kayu bakar seperti Acacia auriculiformis, Acacia decurrens. Tanaman hutan yang pemanfaatannya diprioritaskan untuk pangan diantaranya jenis sukun, untuk energi/biofuel seperti Nyamplung, untuk obat seperti Kayu putih, Gaharu dan Cendana. Penelitian-penelitian tersebut terangkum dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014. (Badan Litbanghut, 2010).

34

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

Kesimpulan Pemuliaan tanaman hutan merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan dan silvikultur untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas. Metode pemuliaan yang cocok untuk suatu jenis tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, besarnya variabilitas, tujuan pemuliaan serta produksi biji. Penggunaan jenis eksot di beberapa negara dapat memberikan hasil yang menggembirakan. Beberapa negara di Asia telah melakukan pemuliaan yaitu Cina, India, Kamboja, Laos, Philipina, Thailand, Vietnam juga Indonesia. Indonesia telah melakukan kegiatan pemuliaan tanaman hutan sejak tahun 1930, dan sampai sekarang telah menghasilkan beberapa jenis unggul pohon hutan.

Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif (RPI) tahun 2010-2014. Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. pp 371-419. Leksono, B. 2001. Strategi pemuliaan pohon dan peningkatan genetik hasil uji keturunan Acacia mangium, A. auriculiformis dan Eucalyptus pellita. Training course on Basic Forest Genetics. Kerjasama IFSP (Indonesia Forest Seed Project), P3BPTH (Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan) dan Fakultas Kehutanan UGM. 20-26 Agustus 2001. Yogyakarta. Morgenstern, E.K., H.J. Holts, A.H. Teich and C.W. Yeatman. 1975. Plus tree Selection: Review and Outlook. DeptEnv. Can. For. Srv. Pub. No. 1347. Ottawa. Rimbawanto, A. dan Yuliah. 2004. Perkembangan pemuliaan Pohon di beberapa negara Asia. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan. Newsletter. Vol.3. No. 3 November 2004. ISN 1412-8276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Soerianegara, I. 1971. Forestry Improvement in Indonesia. Rimba I th. XVI, 1971. No 1-2. Suseno, O,H., 2001. Peletakan dasar-dasar dan strategi pemuliaan pohon hutan di Indonesia. Orasi ilmiah purna tugas. Seminar sehari. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

35

| Bunga Rampai | 29 - 36

36

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan merupakan salah satu unit pelaksana teknis yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang bioteknologi hutan dan pemuliaan tanaman hutan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh kepala badan litbang dan mempunyai visi serta misi ke depan. Penelitian pemuliaan tanaman hutan telah dilakukan sekitar tahun 1990an. Pembangunan populasi pemuliaan merupakan salah satu langkah untuk menuju kepada benih unggul. Beberapa jenis tanaman hutan yang telah dibangun populasi pemuliaannya yaitu Acacia mangium, A. crassicarpa, A. auriculiformis, A. aulacocarpa, A. decurrens, Eucalyptus pellita, E. urophylla, Melaleuca cajuputi, Tectona grandis, Falcataria moluccana, Alstonia scholaris, A. angustiloba, Intsia bijuga, Toona sinensis, T. sureni, Araucaria cunninghamii, Callophyllum inophyllum, Pongamia pinnata, Artocarpus altilis.

Pendahuluan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Litbang Kementerian Kehutanan. BBPBPTH mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang bioteknologi hutan dan pemuliaan tanaman hutan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan. Visi BBPBPTH adalah menjadi pusat keunggulan IPTEK di bidang bioteknologi dan pemuliaan tanaman hutan. Sedangkan misi BBPBPTH yaitu 1) menjadikan IPTEK untuk menghasilkan benih unggul guna peningkatan produktivitas hutan tanaman (industri dan hutan rakyat), 2) meningkatkan pemanfaatan hasil-hasil penelitian di bidang bioteknologi dan pemuliaan tanaman hutan. 3) memantapkan perencanaan, evaluasi, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta sarana dan prasarana. Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah ketersediaan benih unggul untuk memaksimalkan produktivitas hutan tanaman. Penyedian benih unggul tersebut perlu direncanakan dengan teliti dan matang karena membutuhkan waktu yang lama, biaya yang besar dan tenaga yang memadai. Pemuliaan pohon merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan dan silvikultur untuk menghasilkan benih unggul. Untuk mendapatkan perpaduan yang optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya program pemuliaan dimana strategi, rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa

37

| Bunga Rampai | 37- 56

pertimbangan diantaranya besar variasi genetik, tindakan silvikultur, produk akhir yang ingin dicapai serta pertimbangan ekonomi. Paper ini memaparkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh BBPBPTH dalam rangka pembangunan sumber benih melalui pembangunan populasi pemuliaan beberapa jenis tanaman hutan. Pemaparan ini bermaksud untuk memberikan gambaran status secara umum kegiatan pembangunan populasi pemuliaan yang dilakukan di BBPBPTH. Sumber Benih Tanaman Hutan Sumber benih merupakan tempat dimana akan dilakukan koleksi benih yang akan digunakan baik untuk kegiatan pemuliaan maupun untuk pembangunan hutan tanaman. Setiap sumber benih seringkali mempunyai potensi genetik yang berbeda yang akan berpengaruh kepada keberhasilan pemuliaan maupun kualitas tegakan yang akan dihasilkan. Sumber benih berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor P.72/Menhut-II/2009 dibedakan menurut kualitas genetik dengan klasifikasi sebagai berikut : a) Tegakan Benih Teridentifikasi; b) Tegakan Benih Terseleksi; c) Areal Produksi Benih; d) Tegakan Benih Provenan; e) Kebun Benih Semai; f) Kebun Benih Klon; g) Kebun Pangkas. Urutan kualitas genetik pada klasifikasi tersebut dimulai dari yang terendah pada huruf (a) sampai dengan yang tertinggi pada huruf (g). Strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkan benih berkualitas melalui pembangunan sumber benih dapat ditempuh melalui pendekatan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Pendekatan jangka pendek dapat ditempuh melalui penunjukkan Areal Produksi Benih (APB). Semula tegakan ini dirancang bukan untuk tujuan penghasil benih, melainkan sebagai tegakan penghasil kayu. Tetapi karena individu penyusunnya kebanyakan memiliki fenotipik yang bagus dan letaknya strategis, maka tegakan tersebut kemudian ditetapkan menjadi sumber benih setelah dilakukan penjarangan seleksi. Oleh sebab itu APB tersebut bersifat sementara. Apabila sudah tidak diperlukan atau benih yang diperlukan sudah tercukupi maka tegakan tersebut setiap saat dapat ditebang. Sebagai langkah pengamanan terhadap kemampuan adaptasi pada lingkungan baru maka benih APB tersebut sebaiknya digunakan pada daerah yang kondisi lingkungannya hampir sama dengan kondisi dimana APB tersebut berada. Pendekatan jangka menengah dapat dilakukan melalui upaya upaya pembangunan seperti : 1) Tegakan Benih Provenans (TBP) yaitu tegakan yang dirancang untuk penghasil benih, yang pembangunannya didasarkan atas hasil uji provenans yang sudah dilakukan. Dengan demikian, kualitas benih yang dihasilkan jelas akan lebih baik dibanding dari APB. 2) Kebun Benih Semai 38

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

(KBS) yaitu sumber benih yang dibangun berdasarkan konversi hasil suatu uji keturunan setelah dilakukan penjarangan seleksi. Dengan demikian, kualitas benih yang dihasilkan akan lebih baik dibandingkan APB maupun TBP, karena materi genetik yang dipergunakan memiliki sifat yang lebih baik. 3) Kebun Benih Klon (KBK) yaitu sumber benih yang dibangun secara khusus dimana pohon-pohon induk yang digunakan dipilih berdasarkan hasil suatu uji keturunan. Jadi, kebun benih ini dibangun secara terpisah dari uji keturunannya. Dengan demikian, kualitas benih yang dihasilkan jelas paling baik dibanding sumber benih lainnya. Untuk pendekatan jangka panjang perlu diupayakan adanya usaha menjaga variabilitas genetik untuk mendapatkan peningkatan produksi. Penambahan materi genetik dari populasi infusi sangat diperlukan untuk menjaga basis genetik yang akan digunakan sebagai uji generasi berikutnya. Kegiatan-kegiatan lain seperti persilangan individu dengan karakter yang berbeda akan sangat membantu dalam mengantisipasi peluang pasar kedepan. Untuk mendapatkan benih unggul perlu dibangun sumber-sumber benih. Salah satu langkah untuk menuju kepada benih unggul tersebut adalah pembangunan populasi pemuliaan. Populasi pemuliaan merupakan pusat kegiatan strategi penelitian untuk melaksanakan seleksi dari karakter yang diinginkan. Penelitian dan pengembangan populasi pemuliaan di BBPBPTH Yogyakarta Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta telah memulai penelitian pemuliaan tanaman hutan sekitar tahun 1990an. Penelitian populasi pemuliaan dengan membangun beberapa sumber benih untuk menghasilkan benih dengan kualitas unggul berupa tegakan provenans, kebun benih semai uji keturunan yang nantinya dikonversi sebagai kebun benih semai. Pembangunan populasi pemuliaan berupa plot uji dilakukan pada beberapa jenis. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu-persatu. Strategi Pembangunan Populasi Pemuliaan Seperti disebutkan dimuka bahwa populasi pemuliaan merupakan populasi utama dimana dilakukan seleksi pohon berdasarkan target sifat yang akan dimuliakan. Pembangunan populasi pemuliaan dimulai dengan pembangunan uji keturunan generasi pertama (F1). Setelah dilakukan evauasi, pohon plus terpilih di F1 kemudian dijadikan materi genetik untuk pembangunan uji keturunan generasi kedua (F2). Selanjutnya proses seleksi dilakukan berlanjut ke generasi berikutnya. Dalam uji keturunan dirancang berdasarkan subline, dimana dilakukan pembeda provenansi, dan populasi tunggal (single populasi). Sistem subline ditujukan untuk menjaga kemurnian provenansi, sedangkan populasi tunggal ditujukan untuk memperluas genetik base. 39

| Bunga Rampai | 37- 56

Jenis-Jenis Tanaman Hutan Yang Dimuliakan Acacia mangium Acacia mangium merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing spesies) yang dikembangkan oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun badan usaha milik negara di Indonesia sebagai salah satu sumber bahan baku industri pulp di Indonesia. BBPBPTH telah membangun populasi pemuliaan untuk jenis ini dibeberapa lokasi sejak tahun 1993 hingga sekarang. Populasi pemuliaan berupa Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) generasi pertama (F1) telah dibangun di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Prediksi produktivitas (genetic gain) benih dari KBSUK untuk beberapa sifat pertumbuhan dan bentuk batang berkisar 3-6% untuk A. mangium (Kurinobu et al., 1996). Prediksi produktivitas terhadap riap volume tegakan mampu mencapai 37 m3/ha/th atau terdapat peningkatan sebesar 25% terhadap benih dari APB (Nirsatmanto dan Kurinobu, 2002). Untuk lebih meningkatkan kualitas benih unggul yang telah dihasilkan, sejak tahun 2001 telah dilakukan penelitian lanjutan berupa pembangunan sebanyak 31 KBSUK generasi kedua (F-2) tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Riau dan Jawa Tengah, yang meliputi jenis Acacia mangium (Leksono, 2004).

Rata-rata prediksi peningkatan genetik (genetic gain) untuk

sifat tinggi berkisar antara 1,8%-3,8%, diameter 0,7%-1,6%, bole 1,7%-4,3% dan stem form 1,9%4,0%. Untuk program pengembangan lebih lanjut, sampai dengan tahun 2009, kegiatan koleksi benih dari pohon plus pada 6 KBSUK F-2 dan KBSUK F-1 jenis A. mangium sebanyak 208 pohon plus dengan jumlah total benih yang dikumpulkan sebanyak 23,072 kg. Sampai dengan tahun 2009, serangkaian kegiatan evaluasi uji keturunan F-2 untuk jenis A. mangium sudah selesai dilaksanakan dan kebun benih siap untuk memproduksi benih unggul untuk keperluan operasional pembangunan hutan tanaman.(Nirsatmanto, et al., 2010). Pembangunan plot uji multi lokasi pada A. mangium bertujuan untuk mengevaluasi dan verifikasi pertumbuhan serta produktivitas benih unggul A. mangium yang diperoleh dari kebun benih generasi pertama (F-1) maupun generasi kedua (F-2). Uji dilaksanakan di daerah pengembangan HTI jenis Acacia, seperti di Sumatera, Kalimantan maupun Jawa. Hasil analisis uji multi lokasi A. mangium hasil pemuliaan generasi pertama (F-1) di Jawa Tengah pada umur 8 tahun menunjukkan perbaikan genetik untuk sifat tinggi sebesar 13,10%, diameter 10,26%, tinggi bebas cabang 35,47%, bentuk batang 24,10% dan volume 48%.(Nirsatmanto, et al., 2010). Sedangkan hasil awal pertumbuhan pada uji multi lokasi untuk pemuliaan generasi kedua (F-2) menunjukkan

perbaikan genetik sebesar 7,87% untuk sifat tinggi tanaman (Setyaji dan

Nirsatmanto, 2009).

40

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Acacia crassicarpa KBSUK A. crassicarpa F-1 telah dibangun di Pendopo Sumatera Selatan seluas 5,09 ha dengan prediksi produksi benih 300kg/th. KBSUK F-1 A. crassicarpa juga dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas 1,73 ha dengan prediksi produksi benih 110kg/th. (Leksono, 2004). KBSUK A. crassicarpa F-2 dibangun di Wonogiri Jawa Tengah seluas 0,77 ha. Hasil analisis parameter genetik umur 5 tahun di Wonogiri Jawa Tengah menunjukkan rata-rata tinggi 12,48 m, diameter 14,59 cm, tinggi bebas cabang 6,99 m dan bentuk batang 2,82. Nilai heritabilitas berkisar antara 0,15-0,35. Rata-rata nilai korelasi genetik antar sifat yang diukur (tinggi, diameter, tinggi bebas cabang, bentuk batang) berkisar antara 0,09 -0,33.

Prediksi peningkatan genetik yang

diperoleh untuk sifat tinggi sebesar 0,9%, diameter -1%, tinggi bebas cabang 3,7% dan bentuk batang 3,7%. (Leksono, 2004)

Acacia auriculiformis KBSUK F-1 A. auriculiformis sudah di Wonogiri Jawa Tengah seluas 3,3 ha dengan prediksi produksi benih 200 kg/th. Materi genetik untuk pembangunan kebun benih berasal dari provenansi Papua Nugini dan Australia. Selain dari itu dibangun pula KBSUK F-1 A. auriculiformis di Pendopo Sumatera Selatan seluas 2,11 ha dengan prediksi produksi benih 130 kg/th (Leksono, 2004). Seiring dengan prioritas pemanfaatan hasil hutan, pemuliaan pohon pada A. auriculiformis juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu energi.

Kandungan kalor merupakan salah satu

indikator penting dalam memilih tanaman-tanaman yang memiliki potensi sebagai kayu energi. Beberapa tanaman hutan dilaporkan memiliki potensi sebagai bahan bakar dan salah satunya adalah A. auriculiformis. Untuk itu, seleksi A. auriculiformis untuk pemuliaan karakter-karakter yang berguna untuk tujuan produk sumber kayu energi sangat penting untuk dilakukan. Hasil pengukuran pada kebun benih uji keturunan A. auriculiformis umur 12 tahun menunjukkan peningkatan nilai kalor dengan adanya seleksi

yaitu dari 4638,08 ke 4762,42

(Hendrati et al.,2010). Hasil seleksi dengan mempertimbangkan pertumbuhan memberikan efek yang lebih baik terutama terhadap nilai kalor baik pada batang maupun pada cabang (Hendrati et al.,2010). A. auriculiformis mempunyai nilai kalor relatif lebih tinggi (4416,54 kkal/kg) dibandingkan dengan jenis tanaman lain yang umumya berkisar 2865 – 4479 kkal/kg, kecuali jambu (4792 kkal/kg) dan Acacia nilotica (4800 kkal/kg) (Hendrati et al.,2010).

41

| Bunga Rampai | 37- 56

Acacia aulacocarpa KBS F-1 A. aulacocarpa dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas 2,15 ha. Potensi dan karakteristik A. aulacocarpa adalah bahwa jenis ini termasuk jenis acacia dengan batang tunggal dan lurus, pertumbuhannya lambat, tahan terhadap penggerek batang, berat jenis kayu tinggi (0,510,66). Kegunaan kayu untuk pulp, kertas ataupun dapat digunakan untuk kayu pertukangan (Leksono, 2004) Acacia decurrens Acacia decurrens merupakan sumber kayu utama untuk indisutri kayu arang dan kayu bakar di daerah lereng pengunungan. Jenis ini juga merupakan jenis cepat beregenerasi di daerah-daerah bekas letusan gunung berapi (Hadiwinoto et al., 1998). Jenis ini juga termasuk jenis cepat tumbuh dan mampu tumbuh pada lahan-lahan kritis dan marginal, serta mempunyai manfaat sebagai tanaman obat untuk pencegahan diare (Lemmens et al., 1995). Kulit kayu dari jenis ini juga menghasilkan tanin yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat dalam pembuatan papan serat A. mangium (Lemmens et al., 1995; Ruskin, 1983; Syafii, 2009; Santoso dan Sutigno, 1995). Secara umum A. decurrens memenuhi persyaratan sebagai jenis tanaman kayu bakar seperti daur yang pendek, mudah tumbuh, mempunyai kemampuan tumbuh dilahan marginal dan mempunyai manfaat ganda (Burley, 1978). Pentingnya pengembangan sumber kayu energi di daerah dataran tinggi juga ditunjang fakta bahwa saat ini industri kayu arang maupun penghasil kayu bakar berasal dari daerah pegunungan. Untuk keperluan itu maka pengembangan jenis A. decurrens yang mempunyai nilai kalor dan produktivitas yang tinggi melalui serangkaian tindakan pemuliaan perlu dilaksanakan. Kegiatan pemuliaan jenis ini di BBPBPTH baru tahap awal dimulai dengan kegiatan eksplorasi dari populasi alam yaitu di Gunung Ciremai (Jawa Barat), Ranupani Gunung Semeru dan Probolinggo Gunung Bromo (Jawa Timur), Boyolali, Kopeng, Karanganyar Gunung Lawu (Jawa Tengah), serta Bebeng Gunung Merapi (DI Yogyakarta) (Baskorowati, 2010). Hasil eksplorasi di lereng Ciremai dari 3 lokasi (Argalingga, Ponjong, Apuy) didapat 20 pohon induk, masing-masing pohon induk rata-rata dikumpulkan 1 s/d 2 kg buah yang masih berpolong. Elevasi tempat pengambilan sampel 1199 m - 1251 m dpl. Hasil eksplorasi A. decurrens di Boyolali lereng Gunung Merbabu Jawa Tengah didapat 20 pohon induk. Lokasi pengambilan buah di Genting Cepogo, Lencoh Selo dan Samiran Selo dengan ketinggian antara 1156 m – 1567 m dpl. Hasil eksplorasi di Lereng Gunung Bromo dan Semeru, didapat 20 pohon induk. Ketinggian tempat pengambilan sampel eksplorasi adalah antara 2111 m – 2472 m dpl. 42

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Eucalyptus pellita Eucalyptus pellita merupakan salah satu jenis utama pada pembangunan hutan tanaman industri (HTI) untuk industri pulp. Jenis tersebut mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan tumbuh cepat, berbatang tunggal, lurus, bebas cabang tinggi serta tahan terhadap hama dan penyakit. Program pemuliaan E. Pellita di BBPBPTH dimulai pada tahun 1994 dengan membangun KBSUK F-1 di Sumatera dan Kalimantan. KBSUK E. Pellita di Kalimantan Selatan dibangun dengan 155 famili menggunakan sistem populasi tunggal, sedangkan di Sumatera Selatan dan Riau dibangun dengan sistem sub galur. Materi benih yang digunakan berasal dari Papua New Guinea yaitu wilayah South Kiriwo, North Kiriwo dan Serissa Village. Pertumbuhan tinggi tanaman E. Pellita di ketiga lokasi KBS F-1 dapat mencapai 15 m pada umur 4 tahun dan 20 m pada umur 6 tahun dengan diameter diatas 15cm pada umur 5 tahun (Leksono dan Setyaji, 2004).

Pertumbuhan tersebut lebih baik dibandingkan hasil penelitian

E. Pellita di Australia, Brazil, Filipina, Vietnam dan Negara-negara tropis serta sub tropis lainnya yang pada umur 4 tahun hanya mencapai 6-10 m dan umur 5 tahun sekitar 6-13 m (Craciun, 1978; Ferreira and Couto, 1981; Glori, 1993; Dickinson and Sun, 1995; Le Dinh Kha, 1996; Harwood et al., 1997). Studi dilakukan untuk melihat respon provenan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara provenan yang diuji pada umur 2,5 tahun (Leksono dan Setyaji, 2004). Provenan dari PNG dan Indonesia (Bupul-Muting)

mempunyai penampilan diatas rata-rata populasi

(tinggi 16,4 m dan diameter 14,9 cm). KBSUK F-1 E. Pellita yang dibangun sudah memproduksi benih unggul pada tahun 2000. Prediksi produksi benih dari KBSUK F-1 E. Pellita tersebut sebanyak 35 kg/th (Leksono, 2004). Selanjutnya program penelitian diteruskan dengan pembangunan KBSUK generasi kedua (F-2) mulai tahun 2003 di Kalimantan Selatan dan di Riau. Hasil analisis menggunakan data pada KBSUK F-2 menunjukkan bahwa peningkatan genetik dari populasi terseleksi terhadap populasi tidak terseleksi berkisar antara 11-21% di Kalimantan dan 16-22% di Sumatera (Leksono et al., 2008). Rata-rata peningkatan genetik sebesar 18%, 15% dan 13% berturut-turut untuk diameter, tinggi dan bentuk batang. Trend peningkatan genetik pada kedua sifat pertumbuhan (tinggi dan diameter) relatif konsisten selama lima tahun pengukuran yaitu sekitar 15% untuk tinggi dan 18% untuk diameter, walaupun pada umumnya persentase peningkatan genetik cenderung menurun dengan penambahan umur (Zobel and Talbert, 1984).

43

| Bunga Rampai | 37- 56

Eucalyptus urophylla KBSUK F-1 Eucalyptus urophylla telah dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas 2,88 ha dengan prediksi produksi 40 kg/th. Jenis E. urophylla ini merupakan jenis eucalyptus yang sesuai pada dataran tinggi dengan curah hujan rendah. Pertumbuhan jenis ini cepat, berat jenis kayunya 0,45-0,56. Riap dbh 2,0-2,5 cm/th. Kayu nya dapat digunakan sebagai pulp dan kertas. Jenis ini berpotensi sebagai materi hibrid dengan jenis Eucalyptus lain (Leksono, 2004) Kayu Putih (Melaleuca cajuputi sbspsp cajuputi) Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi adalah salah satu jenis dari famili Myrtaceae yang menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak kayu putih, dan dapat digunakan sebagai obat.Tujuan utama pemuliaan kayuputih adalah meningkatkan produksi melalui peningkatan rendemen minyak dan meningkatkan kualitas minyak melalui peningkatan kadar cineol kayuputih. Pemuliaan tanaman kayuputih telah dimulai sejak tahun 1995 dengan melakukan eksplorasi benih dan daun di daerah sebaran alam jenis ini, yaitu di Kep. Maluku serta australia bagian utara. Jumlah seluruh individu hasil eksplorasi diseleksi kadar cineolnya, dari 256 pohon yang berasal dari 23 populasi alam terpilih hanya 19 pohon (7% dari total). Pada tahun 1998 dibangun uji keturunan di Paliyan Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan 19 individu pohon hasil eksplorasi tersebut. Kebun benih uji keturunan tahun 1998 ini sekarang sudah dikonversi menjadi kebun benih produksi. Hasil seleksi famili di uji keturunan tersebut mempunyai nilai rendemen minyak sebesar 2% (Susanto et al., 2003). Sejak tahun 2002 benih unggul telah dipanen dan digunakan bagi program penanaman dan peremajaan tegakan di wilayah DI Yogyakarta. Penelitian dan pengembangan tanaman kayuputih sampai dengan tahun 2009 telah menghasilkan 4 kebun benih (Gunung Kidul, Gundih, Cepu dan Ponorogo), 1 kebun benih uji keturunan full-sib (Gunung Kidul), 1 plot uji klon (Gunung Kidul), 2 plot uji perolehan genetik (Gunung Kidul dan Ponorogo), 1 plot uji keturunan F-2 (Gunung Kidul). Keragaman antara provenansi untuk rendemen minyak menunjukkan bahwa provenansi dari Pulau Ambon lebih baik dibandingkan provenansi lainnya. Sedangkan peningkatan rendemen hasil uji keturunan dibanding data pabrik di Jawa menunjukkan bahwa dari materi daun kayuputih kebun benih uji keturunan lebih tinggi dibanding dari pabrik di Jawa. (Rimbawanto et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa korelasi genetik antara pertumbuhan dan sifat minyak sangat rendah (-0.07 – 0.10). Estimasi besarnya perolehan genetik dari kebun benih tersebut untuk sifat tinggi sebesar 15%, diameter 20%, 1,8-cineol 10% dan rendemen minyak 21%.(Rimbawanto, et al., 2004) 44

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Jati (Tectona grandis) Jati merupakan salah satu jenis tanaman primadona dalam pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat di Indonesia. Kebutuhan kayu Jati untuk industri di Jawa mencapai 8,2 juta m3 dan baru terpenuhi oleh Perum Perhutani dan Hutan Rakyat sebesar 2,7 juta m3 (33,5%) (ITTO, 2006). Salah satu permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat Jati adalah produktivitas dan kualitas kayunya yang masih rendah. Untuk mengatasi masalah ini, sejak tahun 2002 dilakukan kegiatan penelitian dan pegembangan Jati melalui IPTEK penyediaan benih unggul jati dalam bentuk pembangunan uji klon dan uji keturunan. Plot uji klon dibangun di Watusipat dan Playen Gunung Kidul Yogyakarta masing-masing seluas 2,5 ha dan 5 ha. Uji klon juga dibangun di Wonogiri Jawa Tengah seluas 2,7 ha. (Mahfudz et al., 2010).Hasil evaluasi uji klon di Watusipat Gunung Kidul umur 6,5 tahun menunjukkan rata-rata diameter tanaman 11,05 cm dan tinggi 11,4 m. Ada perbedaan yang sangat nyata diantara klon yang diuji pada sifat diameter maupun tinggi. Klon yang berasal dari Cepu dan Muna memberikan pertumbuhan diameter dan tinggi yang terbaik. Nilai heritabilitas clone (h2 c ) sebesar 0,51 untuk diameter dan 0,40 untuk tinggi. (Mahfudz, et al., 2010). Evaluasi uji klon di Wonogiri umur 6,5 tahun menunjukkan rata-rata diameter sebesar 14,2 cm dan tinggi 10,8 m.

Ada perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat tinggi. Klon

terbaik untuk sifat tinggi yaitu klon nomor 11 (Cepu 1) dan klon nomor 18 (FU41) dari Perusahaan Fitotek Unggul. Sedangkan untuk diameter 2 klon terbaik adalah klon nomor 11 (Cepu 1) dan klon nomor 18 (FU 41). Klon dari Cepu menunjukkan pertumbuhan yang lebih

optimal untuk

pertumbuhan tinggi dan diameter. Nilai heritabilitas clone (h2 c ) untuk diameter sebesar 0,15 dan tinggi sebesar 0,19. (Mahfudz et al., 2010). Evaluasi uji klon lainnya di Wonogiri menggunakan 100 klon pada 3 tahun menunjukkan ratarata tinggi dan diametrer tanaman sebesar 5,08 m dan 4,45 cm. Ada perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat diameter maupun tinggi. Dua klon terbaik untuk sifat tinggi adalah klon 41 (Madiun) dan klon nomor 5 (KDI Muna). Sedangkan untuk diameter 2 klon terbaik adalah klon nomor 5 (KDI Muna) dan klon nomor 41 (Madiun). Nilai heritabilitas klon (h2 c ) 0,36 untuk diameter dan 0,37 untuk tinggi.(Mahfudz et al., 2010). Evaluasi uji klon di Playen Gunung Kidul umur 4 tahun menunjukkan rata-rata tinggi sebesar 8,1 m dan diameter 9,2 cm. Klon terbaik adalah klon dari Gunung Kidul, Muna, Cepu dan Madiun untuk sifat pertumbuhan tinggi dan diameter.

Plot uji klon lainnya di lokasi yang sama

menunjukkan rata-rata tinggi 40,32 cm dan diameter 7.05 mm pada umur 1 tahun. Hasil analisis 45

| Bunga Rampai | 37- 56

varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat tinggi. Klon terbaik untuk sifat tinggi adalah klon nomor 51 (Cepu 4), klon 58 (Margasari 5) dan klon nomor 60 (Gunung Kidul 1) (Mahfudz, et al., 2010) Hasil pengukuran pada plot uji keturunan di Gunung Kidul umur 18 bulan menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman mencapai 96,20%. Tinggi tanaman bervariasi antara 55 cm – 502 cm dan diameter 0,8 cm – 4,6 cm. Hasil analisis varians menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara famili-famili yang diuji untuk sifat tinggi maupun diameter. Nilai heritabilitas (h2 f) untuk sifat diameter sebesar 0,44 dan 0,69 untuk sifat tinggi. (Mahfudz et al., 2010) Sengon (Falcataria moluccana) Sengon telah dibudidayakan sejak lama, baik melalui hutan rakyat maupun Hutan Tanaman Industri (HTI). Salah satu masalah dari pertumbuhan tanaman ini adalah produktivitasnya yang masih tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah belum digunakannya benih sengon yang berkualitas baik. Selama ini kebutuhan benih sengon yang beredar kebanyakan berasal dari hutan rakyat, sedangkan benih sengon yang berasal dari Areal Produksi Benih dan Kebun Benih Sengon masih terbatas. BBPBPTH telah berperan aktif dalam upaya memperoleh benih-benih sengon berkualitas sejak tahun 1995 melalui program pemuliaan pohon sengon. Pada tahun 2007 telah dibangun KBSUK Sengon seluas 1,75 ha di Kediri Jawa Timur. Pada tahun 2008 dibangun kembali satu KBSUK Sengon di Cikampek Jawa Barat. KBSUK Sengon ini terdiri dari 80 famili yang berasal ras lahan Candiroto Temanggung Jawa Tengah, provenansi Biak Papua, provenansi Wamena Papua, ras lahan Lombok Nusa Tenggara Barat dan ras lahan Kediri Jawa Timur. Pada umur 6 bulan pertumbuhan sengon terbaik berasal dari sumber benih Kediri (diameter 1,77cm dan tinggi 1,57 m). Akan tetapi pada umur 1 tahun rangking pertumbuhan berubah dan yang terbaik berasal dari sumber benih Candiroto dan Lombok untuk diameter (4,17 cm) dan Wamena untuk tinggi tanaman (2,43 m). (Hadiyan, 2010). Selanjutnya menurut Hadiyan (2010) bahwa hasil evaluasi pada umur 6 bulan dan 1 tahun menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman sangat berbeda nyata. Taksiran heritabilitas individu pada umur 1 tahun untuk diameter batang tergolong rendah (0,07), sedangkan heritabilitas pertumbuhan tinggi tanaman tergolong moderat/ sedang (0,10).

46

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Pulai (Alstonia scholaris dan A. angustiloba) Pulai gading (Alstonia scholaris) dan pulai darat (Alstonia angustiloba) merupakan jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Jenis tersebut termasuk indegenous species dan cepat tumbuh (fast growing spesies). Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994), pulai gading mempunyai sebaran hampir di seluruh wilayah Indonesia, sedang pulai darat mempunyai sebaran di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Pulai sangat prospektif dikembangkan untuk

pembangunan hutan tanaman, karena kegunaan kayu pulai cukup banyak dan saat ini permintaannya cukup tinggi. Uji Keturunan F-1 Pulai gading sudah dibangun di Gunung Kidul Yogyakarta dan di Sumber Klampok, Bali Barat, Bali. Sementara itu uji keturunan jenis Pulai darat (A. angustiloba) ditanam di Wonogiri Jawa Tengah (Mashudi et al., 2010). Hasil pengukuran dan perhitungan persentase hidup, tinggi dan diameter batang (15 cm dari permukaan tanah) pada tanaman umur 6 bulan uji keturunan Pulai Gading di Gunung Kidul diperoleh hasil rata-rata persentase hidup 94,54%, tinggi berkisar 41,14-88,65cm (rata-rata 59,64), diameter berkisar 3,38-10,99mm (rata-rata 7,29 mm). Pada umur 12 bulan variasi tinggi antar famili 72,27-139,81 cm (rata-rata 110,31 cm), diameter 12,85-26,50mm (rata-rata 19,92mm). Rata-rata persentase hidup 92,84%. Hasil pengukuran uji keturunan Pulai Gading di Sumber Klampok Bali pada umur 12 bulan persentase hidup 85,80%, tinggi berkisar 78,80-117.38 cm (rata-rata 100,94cm), diameter berkisar 10,58-15,40mm (rata-rata 12,80mm). (Mashudi et al., 2010) Merbau (Intsia bijuga) Merbau (Intsia bijuga) merupakan jenis andalan di Papua yang pernah direkomendasikan untuk digunakan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya di Papua sebagai bahan baku industri. Tekanan terhadap potensi kepunahan sumberdaya genetik merbau masih tinggi antara lain disebabkan oleh penebangan yang tidak terkontrol, penebangan liar, dan konversi lahan baik untuk lahan perkebunan maupun pertambangan. Uji keturunan Merbau telah dibangun di Sobang Banten seluas 4 ha. Hasil evalusi uji keturunan umur 18 bulan menunjukkan adanya variasi diantara famili maupun individu dalam plot uji untuk sifat tinggi dan diameter. Diameter rata-rata 9,92 mm dan tinggi 77,96 cm. Heritabilitas individu dan famili untuk sifat tinggi masing-masing 0,63 dan 0,80. Sedangkan heritabilitas individu dan famili untuk diameter masing-masing 0,79 dan 0,84. Famili-famili dari Oransbari dan Manimeri menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk sifat tinggi dan diameter (Mahfudz et al., 2010).

47

| Bunga Rampai | 37- 56

Suren (Toona sinensis dan Toona sureni) Masalah yang dihadapi jenis suren di Indonesia antar lain 1) menyusutnya potensi suren di habitat alamnya karena eksploitasi yang terus menerus akan tetapi tidak disertai budidaya yang memadai, 2) mendesaknya konservasi jenis suren untuk penyelamatan sumberdaya genetik, 3) terbatasnya sumber benih suren yang berkualitas. Langkah awal yang ditempuh dalam upaya penyediaan benih berkualitas jenis ini adalah melakukan koleksi benih dari zona koleksi benih, tegakan benih teridentifikasi dan tegakan benih terseleksi. Tegakan benih teridentifikasi sudah ditunjuk dan berada di Sumedang Jawa Barat. Disamping itu sudah dipilih juga calon tegakan benih teridentifikasi di Desa Sipolha, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dan di Desa Bontotapallang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan masing-masing seluas 1 ha. Selanjutnya plot uji keturunan Suren (Toona sinensis) sudah dibangun di Candiroto Temanggung Jawa Tengah seluas 2,25 ha (Jayusman et al., 2010). Menurut Mashudi et al., (2012) hasil evaluasi menunjukkan bahwa rata-rata persentasi hidup tanaman uji keturunan Suren umur 12 bulan di Candiroto Temanggung dalam kriteria cukup (70%). Taksiran nilai heritabilitas individu (h2 i ) karakter tinggi tanaman Suren umur 12 bulan di Temanggung sebesar 0,1 yang berarti masuk dalam kriteria sedang/moderat. Kemudian taksiran nilai heritabilitas famili (h2 f) karakter tinggi tanaman Suren umur 12 bulan di Temanggung sebesar 0,40, yang berarti nilai heritabilitas famili karakter tinggi tersebut termasuk dalam kriteria sedang/moderat. Araucaria (Araucaria cunninghamii) Araucaria cunninghamii merupakan salah satu jenis konifer yang tumbuh alami di hutan alam Papua. Jenis ini sangat potensial untuk dikembangkan untuk hutan tanaman. Hasil kayunya sangat baik digunakan untuk bahan baku industri plywood, pulp, paper, kayu pertukangan dan menghasilkan getah yang bernilai ekonomi tinggi. Selama ini pembangunan pertanaman Araucaria di Papua kebutuhan benihnya masih bergantung pada hutan alam, dan umumnya benih tersebut hanya dikumpulkan dari area dengan dasar genetik yang relatif sempit. Hal ini mendorong perlunya membangun sumber benih dengan genetik unggul sehingga mampu menyediakan benih dalam jumlah yang memadai untuk pengusahaan hutan tanaman skala operasional. Plot uji keturunan A. cunninghamii sudah dibangun di Desa Sumber Waringin, Kecamatan Sumber Waringin, Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur, pada ketinggian 800 m dpl, tipe tanah andosol dengan curah hujan 2.430 mm/th. Plot uji keturunan dibangun menggunakan tiga 48

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

sumber provenansi, yaitu Pegunungan Nerwah, Peg. Tuan dan Peg. Tumbii dari Kebar Kabupaten Tambraw Papua Barat. Evaluasi pada umur 5 tahun menunjukkan persentase hidup tanaman berkisar 75%-100% dan rata-rata pertumbuhan untuk sifat tinggi sebesar 8,06 m, sifat diameter 12,79 cm, sifat volume 0,07 m3. Ada variasi diantara famili-famili yang diuji untuk sifat tinggi dan diameter. Nilai heritabilitas famili untuk sifat tinggi 0,47, sifat diameter 0,36, volume 0,42, sedangkan heritabilitas individu untuk sifat tinggi 0,12, sifat diameter 0,09 dan volume 0,12 (Widyatmoko et al., 2010). Famili-famili yang menempati ranking terbaik untuk sifat tinggi adalah

famili

dari

P3-Nerwah

II

dari

Kabupaten

Tambraw

Propinsi

Papua

Barat

(Widyatmoko et al., 2010). Plot uji Keturunan lainnya juga dibangun pada lokasi yang sama dengan menggunakan enam sumber provenansi, yaitu Manokwari dan Fakfak dari propinsi Papua Barat, Serui, Wamena dan Jayapura dari propinsi Papua dan Queensland-Australia.

Pertumbuhan tanaman sifat tinggi dan

diameter umur 6 bulan terbaik adalah provenansi Queensland sedangkan terendah adalah provenansi Manokwari.

Akan tetapi pada umur 12 bulan dari hasil uji menunjukkan bahwa

pertumbuhan terbaik adalah provenansi Manokwari dan terburuk adalah provenansi Queensland. (Widyatmoko et al., 2010) Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang berpotensi sebagai bahan baku biofuel, sangat potensial dengan memanfaatkan bijinya. Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya jenis ini diantaranya adalah ketersediaan bahan baku biji nyamplung rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan. Pembangunan sumber benih untuk mendapatkan benih unggul berupa uji provenansi Nyamplung telah dibangun di 2 lokasi, yaitu di Pantai Congot, Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dan Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis Jawa Barat masing-masing seluas 2,25 ha. Dari hasil analisis data didapat informasi bahwa terdapat keragaman antar provenansi Nyamplung terhadap produktivitas biokerosene (rendemen maupun karakteristik biokerosene) minyak nyamplung yang dihasilkan. (Leksono et al., 2011). Hasil analisis dari kedua penanda DNA yang telah digunakan (RAPD dan sequencing chloroplast DNA) menunjukkan bahwa keragaman dalam populasi nyamplung masih cukup besar (Leksono et al., 2011). Selain pembangunan sumber benih berupa tegakan provenans dilakukan pula uji klon Nyamplung.

Uji klon tersebut dilakukan untuk mengetahui kinerja klon, adaptabilitas dan

mendapatkan klon dengan produksi pembuahan terbaik dalam waktu yang relatif singkat. 49

| Bunga Rampai | 37- 56

Pembangunan uji klon dilakukan di Desa Jambusari, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah seluas 4 ha. Materi genetik yang digunakan dalam pembangunan uji klon berasal dari 80 pohon induk (klon) yang dikoleksi dari Alas Purwo Banyuwangi Jawa Timur dan Cilacap Jawa Tengah (Mahfudz et al., 2011). Malapari (Pongamia pinnata) Pongamia pinnata merupakan arboreal legume cepat tumbuh, pionir pada daerah marginal dengan tingkat salinitas tinggi. Tanaman ini sangat berpotensi sebagai salah satu tanaman alternatif sumber energi (biofuel) baru dan terbarukan dengan kandungan kalori yang tinggi sekitar 44600 kcal/kg (Jayusman et al., 2010). Kegiatan awal pemuliaan Pongamia pinnata adalah eksplorasi benih di sebaran alamnya antara lain di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Baluran, TN Alas Purwo dan Pulau Seram. Pembangunan plot uji provenansi telah dilakukan menggunakan tujuh sumber provenansi yaitu Panaitan, Haundelem, Peucang, Cilintang, Selokanduyung kelimanya dari Taman Nasional Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten, Banyuwangi Jawa Timur dan Seram Maluku seluas 1,5 ha. Pemuliaan dengan seleksi tanaman legum yang mempunyai efisiensi penggunaan N tinggi merupakan isu penting untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas biji dan kandungan minyak P. Pinnata (Paul et al, 2008 dalam Jayusman, 2010). Kemampuan P. Pinnata dalam fiksasi N secara biologis melalui pembentukan nodul dan simbiose dengan bakteri Rhizobium, menjadikan tanaman ini dapat memenuhi sendiri kebutuhan N untuk pertumbuhan. Penggunaan tanaman ini dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan bila menggunakan tanaman biofuel non legum. Berdasarkan pengamatan bibit P. Pinnata 3 bulan setelah diinokulasi Rhizobium sp. menunjukkan bahwa bibit yang berasal dari Pulau Seram, Ambon mempunyai rata-rata jumlah nodul, tinggi tanaman dan diameter yang lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Baluran Banyuwangi. (Jayusman et al., 2010). Sukun (Artocarpus altilis (Park). Fosberg) Sukun (Artocarpus altilis (Park). Fosberg) merupakan salah satu jenis yang potensial sebagai sumber pangan penghasil karbohidrat sehingga kegiatan budidaya sukun secara luas sangat digalakan untuk mendukung program ketahanan pangan di Indonesia.

Upaya peningkatan

produktivitas sukun dilakukan dengan pendekatan melalui pengujian klon terhadap materi genetik dari induk tanaman yang telah dikumpulkan dari berbagai tempat di Indonesia. Evaluasi terhadap keragaman genetik sukun perlu dilakukan untuk mengetahui potensi genetik yang dapat 50

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

dimuliakan. Dalam hal ini, keragaman morfologi dari klon-klon yang dikembangkan perlu diteliti untuk memudahkan dalam praktek pengelolaannya. Menurut Kartikawati et al. (2009) dalam rangka penelitian dan pengembangan jenis sukun BBPBPTH telah membangun uji klon sukun yang berasal dari Sleman (Yogyakarta), Bali, Lampung dan Manokwari (Papua Barat), Banyuwangi (Jawa Timur), Mataram (Nusa Tnggara Barat) dan Malino (Sulawesi Selatan). Hasil pengamatan pada plot uji klon Sukun di Gunung kidul menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman sukun cukup bervariasi dalam kemampuan tumbuh, produksi buah, morfologi pohon, daun dan buahnya. Pertumbuhan tanaman umur 5 tahun rata-rata tinggi 5,14m dan diameter rata-rata 13,46 cm.

Kemampuan berbuah setiap klon bervariasi

terutama jumlah buah. Pada umur 5 tahun 88% klon sukun yang ditanam berbuah akan tetapi banyak mengalami kerontokan buah sebelum dapat dipanen diduga disebabkan akibat cekaman lingkungan (water stress) dan kondisi kesuburan tanah di lokasi penelitian.

Klon dari Bali

menunjukkan kemampuan berbuah lebih baik dibandingkan populasi lainnya Morfologi buah sukun dapat dibedakan menurut populasi asalnya. Buah sukun Sleman, Bali dan Lampung menunjukkan ciri-ciri yang sama yaitu berbentuk bulat sampai lonjong, berukuran sedang sampai besar dan tidak berduri sehingga disebut ”sukun gundul” Buah sukun dari Gunung Kidul yang merupakan sukun lokal Yogyakarta berbentuk bulat, ukurannya lebih kecil dan berduri. Sukun dari Manokwari memiliki bentuk lonjong, berukuran sedang sampai besar dan berduri. Sukun yang berasal dari Manokwari dan daerah lainnya seperti Bone, Malino, Gowa, Madura memiliki morfologi bentuk daun yang sama yaitu berlekuk agak dalam, sukun dari Cilacap, Sleman, Mataram memiliki lekuk yang dalam sedangkan sukun dari Gunung Kidul selain berlekuk dalam juga memiliki tepi daun yang bergerigi. Buah sukun dari Bali dan Sleman memiliki kandungan fosfor lebih tinggi dari yang lain. Buah sukun dari Lampung memiliki kandungan kalsium lebih tinggi, sedangkan buah sukun dari Manokwari memiliki kandungan vitamin C dan serat yang lebih tinggi dari yang lain, akan tetapi kandungan pati, kalsium dan fosfor lebih rendah dari yang lain. Kesimpulan dan harapan kedepan Telah banyak kegiatan pemuliaan jenis-jenis tanaman kehutanan yang telah dilakukan. Sekurang-kurangnya BBPBPTH Yogyakarta telah melakukan pembangunan populasi pemuliaan terhadap 17 jenis tanaman kehutanan untuk mendapatkan benih unggul sesuai dengan tujuan yang diharapkan terhadap jenis-jenis tanaman tersebut.

51

| Bunga Rampai | 37- 56

Beberapa diantaranya berada pada tingkat yang sudah maju seperti pemuliaan jenis A. mangium, E. pellita dan kayuputih. Benih unggul untuk spesies-spesies tersebut telah dihasilkan dan telah digunakan untuk program penanaman. Untuk jenis-jenis lain masih dalam pelaksanaan menuju pemuliaan tanaman yang lebih lanjut, yang pada gilirannya nanti akan mendapatkan benih unggul sesuai tujuan strategi dan tujuan produk akhir yang diinginkan dapat tercapai. Harapannya, kedepan produktivitas hutan tanaman jenis-jenis tersebut diatas dapat meningkat sehingga persatuan areal luas lahan dapat meningkat hasil panennya. Daftar Pustaka Baskorowati, L. 2010. Pengembangan Acacia decurrens Willd Sebagai Bahan Baku Sumber Energi untuk Daerah Dataran Tinggi melalui Pemuliaan. Program Insentif Riset Terapan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. Yogyakarta. (tidak diterbitkan) Burley, J. 1978. Selection of species for fuelwood plantations. Proceeding of 8th World Forestry Congress, Jakarta. Cracium, G.C.J. 1978. Eucalyptus Trials in the North Territory Coastal Region. Australian Forest Research 8” 153-161. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor P.72/Menhut-II/2009. Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2009. Tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009. Nomor 490. Jakarta. Dickinson, G.R. and D. Sun. 1995. Species and Provenance Evaluation of Eucalyptus cloeziana, E. Pellita and E. Urophylla at 4 Years in Far North Queensland. DPI Forestry Tech. Reort. Lybrary Ref. Quensland Department of Primary Industry-Forestry, Brisbane, Australia. Ferreira, C.A. and H.T.Z. do Couto. 1981. The influence of Environmental Variables on the Growth of Species/Provenances of Eucalyptus in the State of Minas Gerais and Esperito Santo. Boletim de Pesquisa Florestal, Unidade Regional de Pesquisa Florestal Centro Sul. EMBRAPA, Brazil no.3: 9-35. Glori, A.V. 1993. The Eucalyptus Tree Improvement Programme of PICOP. Pp 253-261 in Davidson, J.(ed) Proceedings of Regional Symposium on Recent Advances in Mas Clonal Multiplication of Forest Tree for Plantation Programmes. UNDP/FAO Regional Project on Improved Productivity of Man-Made Forest through Application of Technological Advances in Tree Breeding and Propagation. Los Banos, Philipines, 391 pp. Hadiwinoto, S., Pudyatmoko, S., dan Sabarnurdin, S. 1998. Tingkat ketahanan dan proses regenerasi vegetasi setelah letusan gunung Merapi. Jurnal Manusia dan lingkungan Vol 15. Hadiyan, Y. 2010. Pertumbuhan dan Parameter Genetik Uji Keturunan Sengon (Falcataria moluccana) di Cikampek, Jawa Barat. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol 4 No.2.

52

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Harwood, C.E., D. Alloysius, P.C., Pomroy, K.W. Robson, and M.W. Haines. 1997. Early Growth and Survival of E. Pellita Provenances in a Range of Tropical Environment, Compared with E. Grandis, E. Urophylla and A. mangium. New Forst 14: 203-219. Hendrati , R., Nirsatmanto, A., Baskorowati, L., Fauzi, A., Surip, Yuliastuti,D.S., Setyobudi. 2010. Nilai Kalor Acacia auriculiformis untuk mendapatkan bibit unggul dengan tujuan sumber bahan bakar. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Jayusman, A. Insiana, E. Izudin, A. Setiawan, Suprihati, R. Hartono. 2010. Pemuliaan Malapari (Pongamia pinnata): Jenis Potensial untuk Sumber Energi Terbarukan. Program Insentif Riset Terapan : Sumber Energi Baru dan Terbarukan. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Jayusman, D. Setiadi, Setyobudi, A. Setiawan. 2010. Identifikasi dan Seleksi untuk Pembangunan Tegakan Benih Suren (Toona sinensis). Penelitian dan Pengembangan Jenis Suren (Toona spp.). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Kartikawati, N.K., H.A. Adinugraha, D. Setiadi dan Prastyono. 2009. Variasi Pertumbuhan dan Morfologi Buah Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) pada Uji Klon di Gunung Kidul. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose HasilHasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Le Dinh Kha. 1996. Research on Formulation of Scientific on Technological Basis for Supplying Improved Planting Materials of Forest Tree. Science Rep.of Subject KN 03-03. Forest Science Institute of Vietnam, Chem, Tu Liem, Hanoi, Vietnam. 53 pp. Leksono, B. 2004. Sepuluh tahun pemuliaan Acacia dan Eucalyptus untuk mendukung program pembangunan Hutan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Leksono, B. 2004. Litbang Pemuliaan Acacia dan Eucalyptus untuk penyediaan Benih Unggul dan Perannya dalam Mendukung Program GN-RHL. Peran Benih Unggul dalam Mendukung GN-RHL. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Leksono, B., S. Kurinobu and Y. Ide. 2008. Realized Genetic Gains observed in second generation seedling seed orchards of E. Pellita in Indonesia. Journal of Forest Research 13: 110-116. Leksono, B. dan T. Setyaji. 2004. Variasi Pertumbuhan Tinggi dan diameter pada uji keturunan Eucalypyus pellita system Populasi Tunggal. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No.2 (67-78). P3HT Bogor. Leksono, B., AYPBC. Widyatmoko, S. Pudjiono, E. Rahman, K.P. Putri, 2011. Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) untuk Bahan Baku Biofuel. Laporan kegiatan 2010 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan 53

| Bunga Rampai | 37- 56

Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Lemmens R.H.M.J., Soerianegara, I., and Wong, W.C. (eds) 1995. Plant Resources of South-East Asia No 5 (2). Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA, Bogor, Indonesia. Mahfudz, T.P. Yudohartono, Y. Hadiyan, D.E. Pramono. 2011. Uji Klon dan Evaluasi Plot Konservasi Sumberdaya Genetik Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) di Cilacap. Laporan kegiatan 2010 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Mahfudz, S. Pudjiono, A. Fauzi, Hidayatmoko, H. Supriyanto, Setyobudi, Susanto. 2010. Penelitian dan Pengembangan Jenis Jati (Tectona grandis). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Mahfudz, S. Pudjiono, T. Pamungkas, B. Ismail, H. Supriyanto, D.E. Pramono, Susanto. 2010. Evaluasi Uji Keturunan Merbau (Intsia bijuga). Penelitian dan Pengembangan Jenis Merbau. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Mashudi, B. Leksono, L. Baskorowati, M. Susanto, S. Pudjiono, Jayusman, H.A. Adinugraha, M.A. Fauzi, Marlan, D.S. Yuliastuti, Sukijan, Mulyanto, M. Sulaman. 2012. Populasi Pemuliaan untuk Kayu Pertukangan Daur Menengah. Laporan Tahunan Tahun 2011 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Mashudi, T. Setyaji, A. Fiani, Surip, Mulyanto, Marlan. 2010. Evaluasi Uji Keturunan Generasi Pertama (F1) Pulai Gading (Alstonia scholaris) dan Pembangunan Uji Keturunan Generasi Pertama (F1) Pulai Darat (Alstonia angustiloba). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan). Nirsatmanto, A dan Kurinobu, S. 2002. Trend of within-plot selection practiced in two seedling seed orchard of Acacia mangium in Indonesia . J.For. Res 7: 49-52. Nirsatmanto, A., S. Susilawati, T. Setyaji, N. Hidayati, Marlan, Mulyanto, Surip, D.W. Yuliastuti, Setyo budi. 2010. Penelitian dan Pengembangan Jenis Acacia dan Eucalyptus. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan). Rimbawanto, A. dan M. susanto. 2004. Pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp cajuputi untuk Pengembangan Industri Minyak Kayu Putih di Indonesia. Peran Benih Unggul dalam Mendukung GN-RHL. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 24 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Ruskin, F.R. 1983. Mimosa (Black Wattle) Acacia decurrens Willd, National Academy Press. Santoso, A dan Sutigno, P. 1995. The effect of blue Spreads and percentage of filler of tanin formal-dehyde resin in Plywood bonding strength. Forest Product Journal 13: 87-92.

54

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Setyaji, T dan Nirsatmanto, A. 2009. Uji Perolehan Genetik Terhadap Hasil Pemuliaan Generasi Pertama (F1) Jenis Acacia mangium Pada Umur 7 Tahun di Jawa Tengah. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil Hasil Penelitian. 1 Oktober 2009. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. Yogyakarta. Susanto, M., J.C. Doran, R. Arnold and A. Rimbawanto. 2003. Genetic Variation in Growth and Oil Characteristics of Melaleuca cajuputi subsp cajuputi and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15 (3): 469-482. Syafii, W. 2009. Pemanfaatan tanin kulit Acacia decurrens Willd sebagai bahan baku perekat untuk pembuatan papan serat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Widyatmoko, AYPBC., Hendrati, LH., Setiadi, D., Fauzy, MA, Setyobudi, Susanto, Maryanti, A. 2010. Pembangunan Pertanaman Uji Keturunan Araucaria cunninghamii. Penelitian dan Pengembangan Jenis Araucaria (Araucaria cunninghamii). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Zobel, B.J. and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.

55

| Bunga Rampai | 37- 56

56

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Program pembangunan hutan tanaman berupa pengembangan klon dan perhutanan klonal dengan hibridisasi atau pohon-pohon induk perlu dilakukan sebagai langkah pemuliaan kedepan. Pengembangan klon unggul dan pembuatan persilangan antara induk-induk (hibridisasi) dengan pertumbuhan superior dan kesehatan yang baik dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang lebih baik dari induknya yang umumnya disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan yang diinginkan. Pengembangan klon yang sudah dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan untuk jenis jati, sukun, acacia hybrid, eucalyptus pellita dan kayu putih. Pendahuluan Pengembangan klon dan pengembangan hibrid (perkawinan antar dua species) merupakan kegiatan pemuliaan lanjut yang umumnya dilakukan setelah melakukan serangkaian kegiatan pemuliaan. Perhutanan klon merupakan pertanaman dengan material tanaman berasal dari klon unggul hasil uji klon. Pada umumnya, klon-klon yang baik berasal dari hasil seleksi half-sib atau full-sib dan mempunyai sifat yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang berasal dari pohon yang belum dimuliakan. Pemuliaan hibrid dikembangkan untuk mendapatkan spesies baru dengan sifat-sifat yang diinginkan, yang umumnya mempunyai kinerja diantara kedua induknya. Meskipun demikian, tidak semua hibrid F-1 menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding kedua induknya. Sehingga perlu adanya strategi pemuliaan yang disusun dengan baik. Strategi pengembangan hibrid yang sederhana ditempuh melalui seleksi hibrid alami pada pertanaman komersial. Sedangkan strategi pengembangan hibrid yang lebih kompleks melalui persilangan terkendali pada individu-individu terpilih dari masing-masing species. Pengembangan Klon Pada kegiatan pemuliaan tingkat lanjut, pengembangan klon menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hal ini karena perhutanan klon (clonal forestry) yang dibangun menggunakan klon terpilih akan menghasilkan keseragaman sifat-sifat yang diinginkan dan dapat disesuaikan dengan keperluan industri. Perhutanan klon pada umumnya dilakukan pada jenis-jenis yang mudah dibiakkan secara vegetatif, seperti pada Eucalyptus, Acacia, Melaleuca maupun Tectona.

57

| Bunga Rampai | 57- 64

Pengembangan klon merupakan pengembangan pertanaman dengan materi tanaman yang berasal dari klon unggul. Pada umumnya klon unggul tersebut diperoleh melalui seleksi dengan kriteria seleksi yang diinginkan pada uji klon di lapangan (Hardiyanto, 2004). Lebih lanjut disebutkan, untuk mendapatkan klon unggul, kegiatan pengembangan klon dimulai dari beberapa tahap sebagai berikut: Seleksi pohon induk. Seleksi dilakukan dengan memilih pohon-pohon induk dengan mempertimbangkan kenampakan fisiologis atau sifat fisik yang diinginkan, misalnyabatang bebas cabang tinggi, bentuk batang lurus, percabangan ringan serta bebas dari hama dan penyakit. Seleksi pohon induk dapat dilakukan pada tanaman operasional maupun tanaman uji. Evaluasi kemampuan perbanyakan vegetatif pohon induk. Evaluasi meliputi kemampuan bertunas (sprouting ability) maupun kemampuan berakar (rooting ability). Adapun teknik perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan stek pucuk yaitu dengan menebang pohon induk (0.5 - 2 m) dari permukaan tanah dan tunas yang muncul pada tunggul kemudian digunakan sebagai bahan stek pucuk; atau bisa juga dengan memangkas hampir semua cabang pohon induk dan hanya meninggalkan 4-5 cabang aktif dimana daun-daun serta pucuk cabang tersebut dihilangkan, kemudian tunas-tunas yang muncul digunakan sebagai bahan stek pucuk. Teknik lainnya adalah dengan mencangkok cabang-cabang yang aktif pada pohon induk ataupun dengan kultur jaringan. Uji Klon. Klon-klon dari pohon induk yang mempunyai kemampuan bertunas dan berakar tinggi kemudian diuji dilapangan dalam bentuk uji klon. Uji klon sebaiknya dilakukan dalam beberapa lokasi yang mempunyai tapak yang berbeda, dikarenakan klon umumnya lebih sensitif terhadap kondisi tapak daripada semai yang berasal dari benih, sehingga kemungkinan besar ada interaksi antara klon dengan tapak. Pada uji klon, penggunaan kontrol dari semai diperlukan untuk mengetahui kinerja klon dibandingkan dengan semai. Uji klon disini penting dilakukan sebelum dipergunakan untuk penanaman skala operasional, karena tanaman hasil pembiakan vegetatif dari pohon induk yang berfenotip bagus belum tentu memiliki pertumbuhan vegetatif yang sama sepeti induknya (Zobel 1993; Talbert dan Zobel 1984). Perhutanan Klonal. Klon-klon yang terpilih dari uji klon sesuai kriteria yang diinginkan dapat digunakan untuk pembuatan pertanaman operasional. Perlu diperhatikan, klon yang berkinerja tidak lebih baik dari materi semai sebaiknya tidak dianjurkan untuk tanaman operasional dikarenakan biaya pengembangan klon yang membutuhkan biaya tinggi dibandingkan dengan semai.

58

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati

Saat ini BBPBPTH sedang melakukan pengembangan klon untuk jenis Tectona grandis (jati), Arthocarpus altilis (sukun), hibrid Acacia, Eucalyptus pellita, dan Melaleuca cajuputi (kayu putih). Uji klon dan kebun benih klon (Clonal Seed Orchard) jati sudah dibangun di Gunung Kidul, Yogyakarta dan Wonogiri, Jawa Tengah. Hasil evaluasi uji klon jati menunjukkan bahwa pada umur 6,5 tahun klon-klon yang berasal dari Cepu, Jawa Tengah dan Muna memberikan pertumbuhan tinggi dan diameter yang terbaik dengan nilai heritabilitas clone sebesar 0.51 untuk diameter dan 0.40 untuk tinggi. Uji klon Sukun (Arthocarpus altilis) dilakukan untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas kadar karbohidrat sukun sebagai sumber pangan. Uji klon jenis Sukun sudah dibangun di Gunung Kidul menggunakan 25 klon, dan hasilnya menunjukkan bahwa klon yang berasal dari Bali dan Manokwari merupakan klon dengan produktivitas buah paling banyak. Untuk pengembangan hutan tanaman penghasil serat, uji klon Eucalyptus pellita dan hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) juga telah dibangun di Wonogiri, Jawa Tengah, masing-masing menggunakan 10 dan 44 klon. Hibridisasi Hibridisasi dikenal sebagai persilangan antara individu-individu pohon yang terpisah populasinya, mempunyai perbedaan type dan umumnya mempunyai taksonomi yang berbeda, dan dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi berdasarkan kesamaan fisiologis (Wagner, 1968). Hibridisasi jenis-jenis tanaman dapat terjadi secara alam maupun secara buatan. Hibridisasi alam mungkin terjadi pada: (i) sepanjang perbatasan antar spesies, umumnya terjadi secara sporadic antar individu, (ii) kumpulan hibrid yang sudah menyebar menjauh diluar generasi pertama, atau (iii) pada daerah-daerah yang merupakan introgressi antar jenis (Potts, et al., 2001). Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang dapat menjadikan kendala keberhasilan hibridisasi secara alam,

seperti jenis tanaman terisolasi secara geografis, sehingga

akan

menyebabkan terkendalanya penyerbukan secara alami, perbedaan waktu berbunga dari jenis tanaman, serta terhambatnya perkecambahan pollen atau pertumbuhan embrio dari hibrid tersebut karena adanya mekanisme self-incompatibility (Wright, 1976, Grant, 1981). Zobel and Talbert (1984) mengemukakan bahwa hal yang paling umum menjadi kendala keberhasilan hibridisasi secara alam adalah ketika jenis yang berkerabat dan populasinya berdekatan mempunyai perbedaan waktu pembungaan. Seperti halnya pada genus Melaleuca, hibridisasi secara alam hanya terjadi pada jenis-jenis yang berkerabat dekat. Sebagai contoh hibridisasi alam jenis ini sudah banyak ditemukan di Queensland yaitu hibrid Melaleuca arcana S.T.Blake x Melaleuca saligna Schauer, di New South

59

| Bunga Rampai | 57- 64

Wales M. bracteata F. Muell x M. styphelioides Sm, di Western Australia, M. bracteosa Turcz. x M. pomphostoma Barlow serta M. laxiflora Turcz. x M. spicigera S.Moore, M. alternifolia x M. linariifolia di Port Macquarie, NSW. Pada hibrid M. alternifolia x M. Linariifolia, indikasi hibrid alam yang muncul diketahui dari morfologi daun maupun dari kadar minyaknya yang merupakan perpaduan kedua tetua (Butcher, 1994). Lebih lanjut Butcher et al., (1995) juga melakukan konfirmasi status hibrid yang terletak di Port Macquarie tersebut dengan menggunakan chloroplast DNA. Pada jenis Acacia, hibridisasi antara Acacia mangium dan Acacia auriculiformis merupakan hibrid antar jenis yang masih dalam satu genus, terjadi secara alam di Malaysia maupun di beberapa negara Asia Pasifik dan Australia (Kha, 2001). Hibrid A. mangium dan A. auriculiformis cenderung lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan tempat tumbuh dan mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kedua induknya (Kijkar 1992). Bentuk pohonnya secara keseluruhan sangat memuaskan, batangnya lurus menyerupai A. mangium dan mempunyai kemampuan pelepasan cabang alami yang baik seperti A. auriculiformis (Ibrahim, 1993). Hibridisasi buatan merupakan salah satu cara untuk meciptakan kombinasi jenis baru. Hibridisasi buatan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu hibridisasi interspecifik dimana mengawinkan dua jenis yang masih dalam satu genus dan hibridisasi intergenerik dimana mengawinkan jenis-jenis dari dua genus yang berbeda (Agrawal, 1988). Hibridisasi buatan sudah digunakan di untuk tanaman kehutanan secara luas selama beberapa dekade pada genus-genus seperti Acacia, Pinus, Larix dan Eucalyptus (Griffin and Cotterill, 1988; Nikles and Griffin, 1992; Dungey 1999). Ulasan detail tentang hibridisasi alam maupun buatan pada jenis-jenis Eucalyptus sudah dipaparkan oleh Griffin et al., (1988). Umumnya penggunaan hibridisasi buatan bertujuan untuk menciptakan genotip baru yang mempunyai karakter-karakter yang diinginkan dari dua jenis dan dikombinasikan menjadi satu jenis yang mungkin tidak dapat ditemui di alam (Briggs and Knowles, 1967; Zobel and Talbert, 1984; Potts, et al., 2001). Sebagai contoh, pengembangan interspecifik hibrid eucalypts di Afrika Selatan mempunyai 3 tujuan: (i) mengkombinasikan sifatsifat yang diinginkan; (ii) untuk mendapatkan hibrid vigor (heterosis) dan; (iii) untuk meningkatkan daya adaptabilitas jenis-jenis eucalyptus pada areal-areal marginal (Verryn, 2000). Secara umum determinasi hibrid tanaman kehutanan hanya menggunakan karakteristik secara morfologi and anatomi berdasarkan bentuk daun dan buah atau bagian reproduksi yang lain. Meskipun demikian, akhir-akhir ini untuk mendeterminasi suatu hibrid sudah mengkombinasikan metode anatomi, morfologi, molecular dan metode kimia. Untuk jenis Eucalyptus, molecular markers sudah digunakan untuk mengidentifikasi asal hibrid maupun kompatibilitas masing-masing

60

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati

individu hibrid (Moran et al. 2000; Griffin et al. 2000). Analisis isozyme analysis juga digunakan untuk verifikasi in-situ F-1 hibridisasi antara E. Nitens dan jenis asli Eucalyptus seperti E. Ovata dan E. viminalis di Tasmania (Barbour et al. 2002). Mereka menemukan level heterosigositas yang tinggi pada tetua-tetua hibrid (>80%). Microsatellite analysis dan chloroplast DNA juga digunakan untuk verifikasi hibridisasi antara jenis E. Acmenoides dan E. Cloeziana di Queensland Tenggara (Stokoe et al. 2001). Tingkat polymorphism yang tinggi pada microsatellite loci terdapat pada hibrid antara E. Acmenoides dan E. Cloeziana. Penelitian hibridisasi BBPBPTH telah dilakukan untuk memperoleh tanaman hibrid Acacia yang memiliki keunggulan lebih tinggi dibandingkan dengan kedua induknya, baik keunggulan dalam pertumbuhan, kelurusan bentuk batang dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya serta ketahanan terhadap penyakit. Penelitian hibridisasi ini diawali dengan membangun plot uji persilangan terbuka A. mangium x A. auriculiformis di Wonogiri, Jawa Tengah untuk mendapatkan tanaman hibrid secara alami. Identifikasi morfologis benih dan semai kandidat hibrid telah dilakukan untuk mendapatkan diskripsi morfologis tanaman hibrid. Semai kandidat hibrid hasil identifikasi morfologis selanjutnya diuji secara molekuler menggunakan metode PCR (Polimerase Chain Reaction) untuk memastikan ketepatan sistem diskripsi morfologis yang digunakan. Disamping hibridisasi secara alami, penelitian dilakukan pula secara buatan melalui penyerbukan terkendali antara A. mangium x A. auriculiformis. Penelitian penyerbukan terkendali ini diawali dengan membangun green house culture dan breeding garden di BBPBPTH, Yogyakarta. Dengan identifikasi tanaman hibrida secara dini, akan sangat membantu keberhasilan pelaksanaan uji klon maupun perbanyakan klon-klon hibrid Acacia secara masal selanjutnya (Nirsatmanto et al., 2009). Kesimpulan Pengembangan klon dan hibridisasi sudah dilakukan oleh BBPBPTH Yogyakarta mulai dari beberapa tahun yang lalu meliputi jenis Tectona grandis, Eucalyptus pellita, hibrid Acacia, dan Melaleuca cajuputi. Sedangkan penelitian hibridisasi secara buatan juga sudah dilakukan antara Acacia mangium x A. auriculiformis, dan saat ini beberapa klon hibrid Acacia sedang dilakukan evaluasi pada plot uji klon di Wonogiri, Jawa Tengah. Ke depan, untuk pengujian sifat-sifat yang diinginkan perlu dilakukan dibeberapa lokasi, dengan demikian pengulangan penanaman hasil hibrid perlu dilakukan pada tapak dan lokasi yang berbeda.

61

| Bunga Rampai | 57- 64

Daftar Pustaka Agrawal, R. L., 1988. Fundamentals of Plant Breeding and Hybrid Seed Production. Science Publishers, USA. Barbour, C. R., Potts, B. M., Vaillancourt, R. E., Tibbits, W. N. and Wiltshire, R. J. E., 2002. Gene flow between introduced and native Eucalyptus species. New Forests 23: 171 – 191. Butcher, P. A., 1994. Genetic diversity in Melaleuca alternifolia: Implications for breeding to improve production of Australian tea tree oil. PhD Thesis, The Australian National University, Canberra. Butcher, P. A., Byrne, M. and Moran, G. F., 1995. Variation within and among the chloroplast genomes of Melaleuca alternifolia and M. linariifolia (Myrtaceae). Plant Systematics and Evolution 194: 69 – 81. Dungey, H. S., 1999. Interspecific hybridisation in forestry – a review. Technical Report No. 21, Cooperative Research Centre for Sustainable Production Forestry. Australia. Grant, V., 1981. Plant Speciation 2nd edition. Columbia University Press, New York. Griffin, A. R. and Cotterill, P. P., 1988. Genetic variation in growth of outcrossed, selfed and open pollinated progenies of Eucalyptus regnans and some implications for breeding strategy. Silvae Genetica 37:124 – 131. Griffin, A. R., Burgess, I. P. and Wolf, L., 1988. Patterns of natural and manipulated hybridisation in the genus Eucalypts L’Herit – a review. Australian Journal of Botany 36: 41 – 66. Griffin, A. R., Harbard, J. L., Centurion, C. and Santini, P., 2000. Breeding Eucalyptus grandis x globulus and other inter-specific hybrids with high inviability-problem analysis and experience with Shell Forestry project in Uruguay and Chile. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H.S. Dungey., M.J. Dieters and N.G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 1 – 13. Hardiyanto, E. B., 2004. Silvikultur dan Pemuliaan Acacia mangium. In: Hardiyanto, EB and Arisman, H (Eds). Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT Musi Huta Persada, hal. 207 – 281. Moran, G. F., Butcher, P. A., Devey, M. E. and Thamarus, K., 2000. Genetic mapping and application in hybrid breeding. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H.S. Dungey., M.J. Dieters and N.G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 177 – 183. Nikles, D. G. and Griffin, A. R., 1992. Breeding hybrids of forest trees: definitions, theory, some practical examples, and guidelines on strategy with tropical Acacias. In: Proceedings of an International Workshop on Breeding Technologies for Tropical Acacias, eds L. T. Carron and K. M. Aken. ACIAR Proceeding No. 37. ACIAR, Canberra, Australia, pp. 101 - 109. Nirsatmanto, A., Leksono B., Sunarti, S., Setyaji, T., Nurrohmah, S.H., Surip, Yuliastuti, D.W., Margiyanti, Sumaryana. 2009. Populasi Pemuliaan Jenis Unggulan untuk Kayu Pulp.

62

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati

Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan) Potts, B. M., Barbour, R. C. and Hingston, A.B., 2001. Genetic pollution from farm forestry using eucalypt species and hybrids. RIRDC Publication No 01/114. RIRDC, Canberra. Stokoe, R. L., Shepherd, M., Lee, D. J., Nikels, D. G. and Henry, R. J., 2001. Natural intersubgeneric hybridisation between Eucalyptus acmenoides Schauer and Eucalyptus cloeziana F. Muell (Myrtaceae) in Southeast Queensland. Annals of Botany 88: 563 – 670. Verryn, S. D., 2000. Eucalyptus hybrid breeding in South Africa. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H. S. Dungey., M. J. Dieters and N. G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 191 – 199. Wright, J. W., 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, New York. Zobel, B. and Talbert, J., 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons, New York. Zobel, B., 1993. Clonal forestry in Eucalyptus. In: Ajuha, MR and Libby, WJ (Eds). Clonal Forestry II. Springer-Verlag, Berlin, pp. 139 – 149.

63

| Bunga Rampai | 57- 64

64

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan ABSTRAK Hama dan penyakit merupakan salah satu ancaman dalam pembangunan hutan tanaman. Salah satu cara

untuk mendapatkan pohon-pohon unggul yang tahan terhadap hama maupun pemyakit adalah dengan melakukan pemilihan terhadap pohon-pohon induk yang tahan terhadap hama atau penyakit tersebut. Dikarenakan ketahanan terhadap suatu penyakit diwariskan, maka upaya pencarian pohon-pohon unggul yang resisten terhadap hama dan penyakit dilakukan. Sejauh ini species yang dikembangkan untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit adalah jenis sengon (Falcataria moluccana) dan akasia (Acacia mangium). Pendahuluan Sasaran kegiatan pemuliaan untuk resistensi terhadap hama dan penyakit adalah mengembangkan family atau provenan yang mempunyai mekanisme ketahanan terhadap hama dan penyakit. Tanaman dapat terhindar dari serangan penyakit melalui beberapa cara yaitu: 1) Escape, dimana tanaman tidak diserang penyakit karena tidak adanya patogen dan vektor pada area tersebut, atau karena suatu tanaman mempunyai struktur morfologi yang tidak mendukung adanya infeksi maupun karena hal teknis lain yang menghindarkan atau mengurangi serangan penyakit. Contohnya, tanaman yang rentan dapat terhindar atau sedikit terinfeksi bila daur hidupnya terhindar dari penyakit; 2) Resistensi masuknya patogen ke dalam inang atau resistensi non spesifik dan pasif; hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya warna atau senyawa tertentu sehingga patogen dicegah masuk ke tanaman inang maupun dikarenakan struktur tertentu yang dipunyai tanaman seperti adanya lapisan lilin permukaan, lapisan kutikula dan adanya ramput-rambut; 3) Resistensi dalam menyebarkan patogen dalam inang melalui reaksi hipersensitif. Adapun resistensi/ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit dapat dikategorikan dalam tiga type yaitu: 1.

Ketahanan non preferens. Ketahanan ini timbul dimana tanaman mempunyai sifat-sifat yang tidak disukai oleh hama penyakit baik untuk dimakan, untuk meletakkan telur maupun sebagai tempat berlindung. Ketahanan disini mencakup sifat-sifat morfologi dan struktur tanaman yang tidak disukai hama penyakit.

2. Antibiosis. Tanaman dengan ketahanan antibiosis memberikan pengaruh yang merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan hama serta reproduksinya. Ketahanan ini terbagi dalam beberapa type yaitu: ketahanan tanaman yang disebabkan oleh struktur fisik tanaman seperti

65

| Bunga Rampai | 65 - 78

adanya pengerasan jaringan atau kandungan silika yang tinggi, ketahanan biokimiawi (kandungan zat tertentu) yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan hama penyakit, serta ketahanan tanman yang disebabkan oleh tidak adanya zat-zat makanan tertentu yang diperlukan oleh hama penyakit. 3. Tolerans. Tanaman dengan tipe ketahanan yang tolerans meskipun ada serangan hama penyakit, tanaman tidak kehilangan vigor dan hanya sedikit pengurangan hasil, atau akan cepat mengalami regenerasi setelah serangan. Tipe ketahanan ini dikendalikan oleh gen-gen minor, sehingga family atau provenan dengan tipe ketahanan tolerans ini akan tetap efektif dalam jangka panjang pada lingkungan yang baik. Adapun metode evaluasi untuk menentukan family atau provenan suatu jenis tanaman toleran terhadap serangan hama dan penyakit adalah melaui uji resistensi pada species-species target, sehingga akan ditemukan family atau provenan mana yang toleran dan dapat dikembangkan untuk kegiatan selanjutnya. Resistensi Sengon Terhadap Penyakit Karat Tumor Pemuliaan untuk ketahanan penyakit memerlukan informasi dasar tentang pola pewarisan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit, informasi mengenai tipe ketahanan, mekanisme ketahanan, dan sumber ketahanan genetik yang diperlukan. Ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit dapat diwariskan sebagai sifat monogenik sederhana dengan gen-gen penentunya mungkin dominan sebagian atau sempurna ataupun resesif (Allard, 1960 dalam Sutopo dan Saleh, 1992). Kemungkinan lainnya adalah terdapat gen-gen minor atau modifer yang ikut serta bekerjasama dengan gen major dalam menentukan sifat ketahanan pada tanaman. Ketahanan genetik tanaman mungkin pula bersifat kompleks dan dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen dan dikenal sebagai pola pewarisan oligogenik atau poligenik. Tanaman menggunakan berbagai sistem untuk menghambat, membatasi atau mencegah pertumbuhan parasit. Semua tanaman mempunyai potensi secara genetik untuk mekanisme resistensi terhadap jamur, bakteri, virus dan nematoda patogen. Mekanisme tersebut pada tanaman yang resisten cepat terjadi setelah patogen muncul, sehingga dapat menghambat atau mencegah perkembangan patogen, sebaliknya pada tanaman yang rentan, mekanisme tersebut lebih lambat terjadi sehingga patogen telah berkembang terlebih dahulu. Ada dua mekanisme pertahanan diri yang dimilki oleh tanaman, yaitu i) sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam tanaman, dan

66

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

ii) respon biokimia yang berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya. Penyakit pada tanaman disebabkan oleh interaksi tiga faktor, yakni inang, penyakit dan lingkungan. Epidemi penyakit timbul bilamana ketiga faktor diatas berada dalam kondisi yang sesuai bagi perkembangan penyakit. Oleh sebab itu cara untuk mengendalikan penyakit adalah dengan memanipulasi salah satu atau lebih faktor-faktor tersebut sehingga tercapai kondisi yang merugikan bagi pertumbuhan penyakit dan mencegah terjadinya infeksi oleh penyakit. Tumbuhan inang dapat dimanipulasi dengan cara meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara pemuliaan melalui seleksi tanaman yang secara genetik resisten terhadap penyakit tertentu. Resistensi juga dapat dicapai dengan memberikan dosis fungisida yang dapat mencegah infeksi pada tanaman. Lingkungan dapat dimodifikasi agar diperoleh kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Misalnya dengan memperbaiki drainase tanah, mengurangi kerapatan tanaman atau memberikan pupuk yang tepat. Tanaman yang tumbuh dalam kondisi yang tertekan umumnya akan lebih rentan terhadap infeksi penyakit. Dari sisi genetik, serangan penyakit karat tumor pada tanaman sengon dapat disebabkan oleh ketidak mampuan tanaman beradaptasi dengan perubahan lingkungan sebagai akibat dari rendahnya keragaman genetik tanaman. Berdasarkan penelitian tentang keragaman genetik tanaman sengon di Jawa menggunakan penanda molekuler RAPD diperoleh hasil bahwa tegakan sengon yang ada di Jawa berasal dari satu populasi di Biak. Keragaman genetik populasi ini lebih rendah daripada populasi Wamena dan Halmahera (Suharyanto et al., 2002). Dalam jangka panjang upaya penanggulangan serangan hama dan penyakit pada sengon dapat diatasi dengan mengintrodusir sumber genetik baru di luar populasi yang telah ada sehingga keragaman genetik sengon dapat ditingkatkan. Introduksi sumber genetik baru juga dapat digunakan untuk menguji resistensi terhadap hama dan penyakit. Serangan karat tumor yang terjadi di plot uji keturunan sengon di Kediri dapat menjadi berkah bila dapat diseleksi famili pohon yang resisten. Sejauh ini telah ada indikasi bahwa famili-famili dari provenans tertentu resisten terhadap penyakit ini. Pemuliaan untuk resistensi karat tumor yang kini sedang berlangsung menerapkan parameter pengamatan karat tumor, seperti letak, warna, bentuk dan jumlah tumor yang ditemukan pada pohon. Keuntungan menggunakan varietas resisten dalam pengendalian hama/penyakit antara lain: (1) mengendalikan populasi hama/penyakit tetap di bawah ambang kerusakan dalam jangka panjang, (2) tidak berdampak negative, (3) tidak membutuhkan alat dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak membutuhkan biaya tambahan

67

| Bunga Rampai | 65 - 78

(Wiryadiputra, 1996). Namun demikian penggunaan varietas resisten tidak selamanya efektif, terutama apabila menggunakan varietas dengan ketahanan tunggal (ketahanan vertikal) secara terus menerus (Liu et al., 2000; Witcombe and Hash, 2000). Suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan penyakit pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan penyakit, (3) memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan penyakit untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi penyakit yang sama (Sumarno, 1992). Terkait dengan penyakit karat tumor, penelitian untuk mengendalikan penyakit ini saat ini tengah berlangsung, baik dari aspek penyakit maupun aspek genetiknya. Pada tahap awal pendekatan seleksi resistensi akan memanfaatkan genotipe yang resisten untuk diperbanyak secara vegetatif. Hasil perbanyakkan ini kemudian akan diuji ketahanannya melalui inokulasi. Apabila resistensi ditimbulkan oleh mekanisme genetik dalam tanaman, maka tanaman hasil perbanyakkan vegetatif ini akan terbebas dari serangan penyakit, dan selanjutnya dapat dikembangkan sebagai klon resisten. Pemahaman tentang keragaman genetik suatu jenis tanaman merupakan salah satu unsur utama dalam memanfaatkan sumber genetik tanaman. Keragaman genetik merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh, berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi. Kemampuan tanaman beradaptasi dengan perubahan lingkungan tempat tumbuh ditentukan oleh potensi keragaman genetik yang dimiliki oleh tanaman. Semakin tinggi keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Finkeldey dan Hattemer, 2007). Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan merupakan indikasi kemampuan jenis tersebut untuk bertahan hidup. Keragaman dalam kemampuan beradaptasi itu merupakan salah satu fenomena yang ditemukan pada hampir semua jenis tanaman, baik pada tingkatan antara populasi maupun di dalam populasi. Kekuatan-kekuatan evolusi yang mempengaruhi keragaman tersebut antara lain adalah: seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift), perpindahan gen (gen flow), dan mutasi. Proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan dapat terjadi pada tataran individu jenis atau disebut adaptasi fisiologis dan tataran populasi atau adaptasi evolusi (Schlichting, 1986). Adaptasi fisiologis adalah reaksi suatu organisme terhadap perubahan lingkungan untuk bertahan hidup dan

68

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

melanjutkan proses reproduksi. Organisme dengan genotipe yang berbeda mempunyai kemampuan beradaptasi yang berbeda pula. Dengan kata lain adaptasi fisiologis dipengaruhi oleh faktor genetik. Sekalipun demikian adaptasi fisiologis tidak menyebabkan perubahan dalam faktor pewarisan sifat dan karenanya berbeda dari proses evolusi. Adaptasi evolusi adalah respon populasi terhadap perubahan lingkungan. Keragaman genetik merupakan prasyarat bagi kemampuan adaptasi evolusi. Oleh sebab itu kemampuan beradaptasi evolusi suatu populasi dapat diteliti dengan melakukan analisa terhadap struktur genetik populasi tersebut (Finkeldey, 1993). Keragaman genetik yang rendah meningkatkan resiko serangan, lebih-lebih karena pemuliaan pohon lebih menekankan pada peningkatan riap dan bukan pada ketahanan terhadap hama/penyakit. Pola pertanaman secara monokultur juga meningkatkan kerentanan tanaman terhadap serangan hama/penyakit. Alasan yang mendasari pemikiran tersebut antara lain adalah: •

Tersedianya pohon inang dalam jumlah besar, khususnya bila pohon2 tersebut berada dalam kondisi yang sesuai untuk perkembangan hama/penyakit.



Tajuk pohon yang saling bersentuhan memudahkan penularan.



Pertumbuhan pohon di tapak yang tidak optimal menyebabkan peluang terjadinya serangan.



Ketiadaan sumber pangan lainnya bagi hama/penyakit menyebabkan tanaman menjadi rentan. Program pemuliaan sengon telah dimulai oleh BBPBPTH sejak tahun 1996 dengan

membangun uji keturunan di KPH Kedu Utara (BKPH Candiroto), dengan menguji 24 famili yang berasal dari 6 provenansi (3 dari Jawa, 2 dari Papua dan 1 dari Maluku). Dikarenakan adanya gangguan dari luar yang mengancam integritas kebun uji tersebut maka pada tahun 2007 dibangun kembali kebun benih uji keturunan di KPH Kediri dengan menggunakan 80 famili dari 4 provenansi. Namun pada bulan Maret 2008 kebun benih uji keturunan tersebut diserang oleh penyakit karat tumor. Sebagai kelanjutan dari program pemuliaan sengon, maka plot kebun benih uji keturunan dibangun juga di Cikampek pada tahun 2008 ini. Plot uji keturunan tersebut selanjutnya difungsikan sebagai plot seleksi ketahanan terhadap karat tumor. Pada awal program pemuliaan sengon dilaksanakan, ancaman yang dihadapi tanaman sengon pada umumnya adalah hama penggerek batang (Xystrocera festiva). Sekalipun demikian serangan hama ini relatif masih terbatas dan tidak menimbulkan epidemi serangan yang luas. Oleh sebab itu program pemuliaan sengon pada waktu itu difokuskan pada peningkatan volume kayu. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa pohon sengon pada umumnya mempunyai bentuk batang yang bengkok, dan diameter kecil. Seleksi uji keturunan ditujukan untuk mencari individu atau famili pohon yang mempunyai pertumbuhan tinggi, diameter dan bentuk batang yang terbaik. Dalam 69

| Bunga Rampai | 65 - 78

perkembangan terakhir ini sebagai akibat serangan penyakit karat tumor (gall rust), maka fokus pemuliaan sengon perlu memprioritaskan seleksi untuk ketahanan penyakit karat tumor. Secara kebetulan plot uji keturunan yang dibangun oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan pada tahun 2007 di Kediri telah diserang karat tumor, dan saat ini pengamatan dan pengukuran tengah dilakukan di plot tersebut untuk mencari individu pohon atau sumber provenans yang resisten terhadap karat tumor. Penelitian yang sudah dilakukan oleh BBPBPTH adalah dengan melakukan pembuatan plot uji resistensi sengon terhadap serangan karat tumor di Kediri pada tahun 2009. Hasil inventarisasi awal pada umur tanaman 1 tahun menunjukkan bahwa beberapa famili dari Papua yaitu Waga-waga, Kuaulu; Muai,Wamena; Hubikosi dan Muliama Bawah, Asologoima menampakkan toleransi tinggi terhadap serangan jamur penyakit karat tumor. Sedangkan inventarisasi lanjutan yaitu pada saat usia tanaman 3 tahun, menunjukkan bahwa intensitas serangan terbesar terdapat pada family-family yang berasal dari Jawa yaitu CandirotoJawa Tengah, Kediri dan Pacitan-Jawa Timur (IS= 29.94-29.32); sedangkan family dari Wamena yaitu Waga-Waga, Muai dan Hubikosi menunjukkan intensitas serangan terendah (IS= 4.48-1.85; LS=30.6-8.3). Adapun dari analisis parameter genetiknya menunjukkan nilai heritabilitas intensitas serangan sebesar 0.65, yang menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan mempengaruhi intensitas serangan dibandingkan dengan faktor lingkungan. Tabel 1. Rerata LS (luas serangan) dan IS (intensitas serangan) dari beberapa family uji pada uji resistensi Sengon di Kediri

70

Family 1 12 27 76 79

Provenan Pacitan, Jatim Kediri, Jatim Candiroto, Jateng Waga-Waga, Wamena Muai, Wamena

Rerata LS 94.5 100 86.1 30.6 30.6

Rerata IS 29.32 29.63 29.94 4.48 3.86

80

Hubikosi, Wamena

8.3

1.85

Keterangan Serangan sangat luas dg intensitas serangan sedang Serangan biasa dengan intensitas serangan rendah Serangan jaramg terjadi, intensitas serangan rendah

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

Gambar 1. Tegakan plot uji resistensi sengon terhadap karat tumor di Kediri

Gambar 2. Sengon dari Wamena dengan nilai rerata intensitas serangan karat tumor terendah

71

| Bunga Rampai | 65 - 78

Resistensi Acacia Mangium Terhadap Penyakit Busuk Akar Penyakit busuk akar merah merupakan penyakit yang dapat merugikan meskipun berada dalam keadaan endemik. Jamur penyebab penyakit ini menginfeksi pada jaringan akar tanaman yang kemudian tumbuh dan berkembang di bawah permukaan tanah.

Patogen ini mempunyai

kemampuan menyerang banyak jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan dari umur yang berbeda. Hampir semua penyakit akar menunjukkan gejala yang serupa pada pohon yang diserang termasuk mati pucuk dan pertumbuhan terhambat. Umumnya kondisi tajuk menurun dan riap pertumbuhan yang terhambat. Daun pohon yang terserang berubah menjadi pucat, ukuran mengecil dan jarang karena berkurangnya pasokan air dan mineral dari akar. Tunas muda akan layu dan pohon yang telah terserang berat akan menggugurkan daun (Kile, 2000). Tanda dari tanaman A. mangium yang terserang penyakit busuk akar ini ditunjukkan dengan akar tanaman dilapisi oleh rhizomorf berwarna coklat kemerahan yang akan nampak jelas bila tanah yang menempel dibersihkan. Miselium berwarna putih ditemukan pada bagian dalam akar yang terinfeksi dan mempunyai bau yang spesifik. Pohon yang terserang jamur Ganoderma pada tingkat serangan lanjut, tubuh buah jamur akan muncul pada pangkal batang tanaman A. mangium (Lee, 2000; Old et al., 1996). Penyakit busuk akar merah dikenal sebagai penyakit yang merugikan tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan. Patogen penyebab penyakit ini mempunyai kisaran inang yang luas. Tanaman perkebunan penting yang dilaporkan rentan terhadap serangan patogen penyebab penyakit busuk akar ini antara lain karet, kelapa sawit (Semangun, 2000), dan teh (Arifin et al., 2000). Di bidang kehutanan, jamur patogen ini menyerang beragai macam jenis pohon pada berbagai tipe pertanaman hutan (Widyastuti, 2000). Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit busuk akar merah adalah potensi sumber inokulum (Lee, 2000). Inokulum ini tumbuh dan menyebar di bawah permukaan tanah. Ketika hutan hujan tropis ditebang untuk ditanami, maka inokulumnya akan bertahan pada akar dan stump pohon yang mati. Inokulum inilah yang banyak menyerang tanaman di kemudian hari (Old et al., 2000). Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit busuk akar merah adalah patogenesitas jamur Ganoderma dan kerentanan tanaman inang (Lee, 2000) serta keberadaan organisme antagonis (Arifin et al., 2000) Seperti halnya penyakit akar yang lain, penyakit busuk akar merah ini menyebar dari satu tanaman ke tanaman lain melalui kontak antara akar-akar yang sehat dengan jaringan yang sakit di dalam tanah. Infeksi oleh Ganoderma juga terjadi melalui jaringan yang luka atau akar-akar yang mati ( Arifin et al., 2000)

72

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

Pohon-pohon yang terserang jamur Ganoderma pada tegakan hutan cenderung berkelompok secara tersebar dan dalam lingkaran sebagai akibat dari penyebaran jamur dari sumber infeksi. Pohon dengan tingkat serangan lanjut berada di bagian tengah dari pusat infeksi dan pohon dengan serangan ringan berada di pinggir luar. Lingkaran ini akan meluas seiring dengan menyebarnya jamur ke pohon-pohon sehat di sekitarnya (Kile, 2000). Hendrata (2003) juga melaporkan bahwa pola serangan Ganoderma sp penyebab penyakit busuk akar merah ini menunjukkan pola serangan terpusat, artinya dengan terlebih dahulu diawali oleh satu atau sekelompok pohon yang terserang berat sebagai pusat penyebarannya. Survei untuk mengetahui intensitas serangan penyakit busuk akar dilakukan dengan menggabungkan tanda-tanda di atas permukaan tanah dan pemeriksaan infeksi akar. Irianto et al. (2006) melakukan survei pada beberapa lokasi di Indonesia dengan mencatat serangan penyakit busuk akar ini pada dua jalur tanaman mangium, membiarkan tiga jalur berikutnya dan mengulangi lagi pengamatan pada dua jalur yang berdampingan hingga mencapai 40% dari blok yang diamati. Misalnya di Kalimantan Timur pengamatan dilakukan terhadap 200 pohon atau 40% dari 500 pohon yang ada. Tanah di sekeliling akar digali dan diperiksa tanda-tanda busuk akar merah pada pohon tegak yang sudah mati, tampilan daun yang menguning, hilangnya daun atau badan buah pada batang. Pohon-pohon yang terserang jamur dan pohon yang hilang kemudian dicatat. Pohon yang dihilang diasumsikan karena terserang busuk akar dan jumlah pohon dari kedua kategori tersebut dijumlahkan sebagai persentase. Selama survei juga dilakukan pengamatan/pencatatan terhadap pola infeksi (ukuran pusat infeksi). Meskipun metode survei ini membutuhkan waktu lama, namun metode ini menjamin ketepatan tingkat serangan patogen penyebab penyakit busuk akar. Salah satu ancaman yang cukup mengkhawatirkan dalam pembangunan hutan tanaman A. mangium adalah adanya serangan hama dan penyakit. Berbeda dengan hama yang tidak memberikan gangguan yang berarti pada beberapa kasus di areal HTI maupun hutan rakyat, serangan karena penyakit memberikan potensi ancaman dan dampak buruk yang lebih besar. Penyakit busuk hati (heart root) dan busuk akar (root rot) merupakan penyakit yang cukup berbahaya menyerang tanaman A. mangium di Indonesia. Saat ini sedang dilakukan penelitian oleh BBPBPTH untuk mengidentifikasi jamur potensial penyebab heart root melalui analisis molekuler. Sementara itu untuk penelitian root rot, BBPBPTH sedang melakukan identifikasi pola serangan, inventarisasi dan koleksi klon-klon yang cenderung memiliki tingkat resistensi yang tinggi dari serangan jamur Ganoderma. Saat ini juga sedang dilakukan persiapan inokulasi jamur

73

| Bunga Rampai | 65 - 78

Ganoderma untuk mengetahui respon resistensi beberapa klon A. mangium yang dikoleksi dari kebun benih terhadap root rot. Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Hidayati (2004) di kebun benih mangium generasi pertama (F-1) di Wonogiri, mulai nampak adanya serangan jamur Ganoderma dengan intensitas serangan yang cukup tinggi. Serangan jamur Ganoderma pada bulan Januari tahun 2003 sebesar 2,7% dan meningkat pada bulan Februari tahun 2003 berikutnya menjadi 7,2%. Inventarisasi tanaman mangium yang terserang penyakit busuk akar ini telah dilakukan sejak tahun 2003 sampai sekarang dan intensitas serangan penyakit ini semakin meningkat tiap tahunnya (Hidayati, 2006). Respon masing-masing famili terhadap serangan jamur Ganoderma pada kebun benih mangium ini berbeda-beda (Hendrata, 2003).

Ito et al. (2005) juga melaporkan bahwa kematian mangium

pada kebun benih generasi pertama di Wonogiri Jawa Tengah ini di duga kuat karena serangan jamur Ganoderma penyebab penyakit busuk akar dan serangannya bervariasi antara provenans dan famili. Penyakit busuk akar ini menyerang tanaman dari semua provenans walaupun tidak semua nomer famili dalam kebun benih ini terserang penyakit (Irianto et al., 2005). Senyawa Polifenol bisa ditemukan pada tanaman-tanaman tingkat tinggi (Haslam, 1988) dan mempunyai kemampuan melindungi jaringan tanaman dari pengaruh lingkungan luar termasuk antimikrobia (Scalbert, 1991; Mila et al., 1996) dan antioksidan (Hagerman et al., 1998). Di dalam species tanaman berkayu senyawa polifenol terakumulasi di dalam kulit batang, daun dan bagian empulur (heart wood). Ekstrak dari kulit batang dan bagian empulur dari beberapa species tanaman berkayu mempunyai aktivitas biologi yang kuat seperti aktivitas antioksidan (Chang et al., 2001) dan aktivitas antifungal (Kishino et al., 1995). Hasil penelitian Barry et al. (2005) melaporkan bahwa zat-zat ekstraktif yang berasal dari bagian empulur kayu tanaman mangium kemungkinan berpengaruh terhadap kerentanannya terhadap infeksi jamur penyebab penyakit busuk hati meskipun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk species-species akasia. Flavon, flavonoid, dan flavonol ketiganya diketahui telah disintesis oleh tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba sehingga tidak mengherankan kalau mereka efektif secara in vitro terhadap sejumlah mikroorganisme. Aktivitas mereka kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk ikatan kompleks dengan protein ekstraseluler yang terlarut, dan dengan dinding sel (Naim, 2004).

Senyawa

flavonoid

termasuk golongan senyawa fenol

merupakan senyawa dominan pada bagian empulur kayu A. mangium dan A. auriculiformis diketahui menunjukkan aktivitas antifungal. Kadar senyawa flavonoid ini pada auriculiformis mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mangium. Kadar senyawa yang

74

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

lebih tinggi diduga berpengaruh pada ketahanan tanaman terhadap gangguan penyakit busuk hati (Mihara et al., 2005). Peta sebaran serangan jamur Ganoderma pada A. mangium dan A. auriculiformis di kebun benih generasi I di Wonogiri, Jawa Tengah memperlihatkan bahwa serangan jamur Ganoderma, tersebar merata. Pola serangan yang khas dengan membentuk rumpang-rumpang ini mencirikan gejala serangan penyakit akar karena adanya kontak akar (Lee, 1997). Pola penyebaran penyakit akar yang terjadi pada kebun benih A. mangium dan A. auriculiformis ini merupakan pola penyebaran terpusat yang berawal dari adanya pusat serangan kemudian menyebar ke pohon di sekitarnya dengan perantara kontak akar atau lubang alami. Akar tanaman secara alami akan membentuk dua arah perkembangan. Akar utama yang tumbuh ke bawah dan akar yang tumbuh secara lateral untuk memperluas daerah sumber makanan.

Menurut Lee (2000) kecepatan

penyebaran penyakit akar merah dipengaruhi oleh : 1) kecepatan pertumbuhan akar, 2) luas dari sistem perakaran tiap pohon, 3) luas daerah kontak akar antara tanaman yang sehat dengan yang terinfeksi, 4) kehadiran, kelimpahan, dan distribusi dari inokulum di lokasi pertanaman. Prosentase rata-rata

serangan penyakit pada tanaman A. mangium bulan Desember 2008

sebesar 32 %. Prosentase serangan tertinggi pada provenans No. 5 (Arufi Village WP, Papua Nugini) sebesar 47% dan Prosentase serangan terendah pada provenans No. 1 dan provenan No. 14 (Dimisisi WP, Papua Nugini dan Poscoe River, Australia) sebesar 19%. Sedangkan pada tanaman A. auriculiformis prosentase rata-rata serangan penyakit pada bulan Desember 2009 sebesar 33,21%. Prosentase serangan tertinggi pada provenans No. 2 (Lower Poscoe River, Queensland) sebesar 62 % dan Prosentase serangan terendah pada provenans No. 14 (Belamuk WP,PNG ) sebesar 0%. Serangan penyakit busuk akar di kebun benih F-1 Wonogiri ini baru menunjukkan gejala setelah tanaman berumur 9 – 10 tahun. Gejala yang terlihat pada tanaman yang terkena penyakit busuk akar ini adalah daun-daun menguning, layu dan kemudian gugur sehingga pohon menjadi gundul.

Gambar 3. Akar tanaman A. mangium yang Gambar 4. Badan buah Jamur Ganoderma terinfeksi penyakit busuk akar pada pangkal batang tanaman A. mangium 75

| Bunga Rampai | 65 - 78

Gambar 5. Badan buah Jamur Ganoderma pada pohon A. auriculiformis

Gambar 6. Tanaman A. auriculiformis yang telah mati karena penyakit busuk akar

Kesimpulan Penelitian terhadap ketahanan serangan hama dan penyakit pada tanaman-tanaman kehutanan terus dilakukan. Strategi untuk mengurangi dampak serangan hama penyakit yang sudah dilakukan oleh BBPBTH selama ini adalah: i). dengan melakukan pengamatan, pendataan dampak serangan baik intensitas serangan maupun luas serangan sehingga upaya penyelamatan tegakan berupa penebangan individu-individu pohon dengan intensitas serangan yang hebat bisa dilakukan; ii) Melakukan seleksi individu-individu yang resisten terhadap serangan hama dan penyakit tertentu. Pengkoleksian jenis khususnya sengon dari berbagai populasi dengan variasi genetik yang tinggi terus dilakukan, yang diharapkan dari variasi genetik yang luas tersebut akan didapatkan individu-individu yang resisten.

Daftar Pustaka Ariffin, D., Idris A.S., & Singh G. 2000. Status of Ganoderma in Oil Palm. Dalam J.Flood, P.D. Bridge & M. Holderness (eds.) Ganoderma disease of Perenial Crops. CAB International 2000. Barry, K.M., Mihara, R., Davies, N.W., Mitsunaga, T., dan Mohammed, C.L. 2005. Polyphenols in Acacia mangium and Acacia auriculiformis Heartwood with Reference to Heart Rot Susceptibility. Original Article. Journal Wood Science. In press. Chang, S.T., Wu, J.H., Wang, S.Y., Kang, P.L., Yang, N.S., dan Shyur, L.F. 2001. Antioxidant Activity of Extracts from Acacia Confuse Bark and Heartwood. Journal Agriculture Food Chemistry. 49 : 3420-3424. Finkeledey, R. and Hattemer, H.H. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer Verlag Berlin Heidelberg.

76

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

Hagerman, A.F., Riedl, K.M., Jones, A., Sovik,K.N., Ritchard, N.T., Hartzfeld, P.W., dan Riechel, T.L. 1988. High Molecular Weight Plant Polyphenols (tannins) as Biological Antioxidant. Journal Agriculture Food Chemistry 46 : 1887-1892. Haslam, E., 1988. Plant Polyphenols (syn. Vegetable Tannins) and Chemical Defence- a Reappraisal. Journal Chemical. Ecology. 14 : 1789-1806. Hendrata, Y., 2003. Pola Serangan Jamur Akar Merah (Ganoderma sp.) pada Kebun Benih Mangium (Acacia mangium Willd.) di Wonogiri-Jawa Tengah. Skripsi Mahasiswa S-1. Faklutas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hidayati, N. 2004. Pengamatan Awal Serangan Penyakit Akar Merah pada Kebun Benih Semai Acacia mangium Generasi Pertama di Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No. 2, Agustus 2004. Irianto, R.S.B., Barry, K.M., Hidayati, N., Ito, S., Fiani,A., Rimbawanto, A., dan Mohammed, C.L. 2006. Incidence, Spatial Analysis and Genetic Trials of Root Rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. Vol. 18 No.3 July 2006 pp : 157-165 Ito, S., Fiani, A., Hidayati, N., Yamaguchi, K. 2005. Occurrence of root rot disease on Acacia mangium caused by Ganoderma spp. In Indonesia. The International Forestry Review. ISSN : 1465 5469. United Kingdom, 2005, v. 7(5) p. 390. Kile, G.A., 2000. Woody Root Rot of Eucalypts. Disease and Pathogens of Eucalyptus. P.J. Keane, G.A. Kile, P. Poupard and B.N. Brown. Collingwood, Australia, CSIRO : 293-306. Kishino, M., Ohi, H., dan Yamaguchi, A. 1995. Characteristics of Methanol Extractives from Chengal Wood and Their Antifungal Properties (in Japanese). Mokuzai Gakkaishi 41 : 444447. Lee, S.S. 2000. The Current Status of Root Diseases of Acacia mangium Willd. dalam Ganoderma Disease of Perennial Crops ( eds. J. Flood, R.D. Bridge & M. Holderness) CAB International 2000. Liu, J., D. Liu, W. Tao, W. Li, S. Wang, P. Chen, and D. Gao, 2000. Molecular marker-facilitated pyramiding of different genes for powdery mildew resistance in wheat. Plant Breeding. 119 : 21-24. Mihara, R., Barry, K.M., Mohammed, C.L., dan Mitsunaga, T. 2005. Comparison of Antifungal and Antioxidant Activities of Acacia mangium and A. auriculiformis Heartwood Extracts. Journal of Chemical Ecology, Vol.31, No. 4, p 789-804, April 2005. Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba dari Tanaman. Kompas, 15 September 2004. http//www. Kompas.htm. Down load, 18 April 2007 jam 13.30. Old, K.M., I.A. Hood dan Zi Q.Y.1996. Diseases of Tropical Acacias in Northern Queensland dalam K.M. Old. Lee S.S. dan J.K. Sharma (Eds). Diseases of Tropical Acacias. Proc. Of an International Workshop Held at Subanjeruji (South Sumatra) CIFOR, Jakarta. Scalbert, A.1991. Antimicrobial Properties of Tannins. Phytochemistry 30 : 3875 – 3883 Schlichting, C.D. 1986. The evolution of phenotypic plasticity in plants. Ann.Rev. Ecol. and System. 17:667-693. Semangun H., 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Suharyanto, Rimbawanto, A. and Isoda, K. 2002. Genetic Diversity and Relationship Analysis on Paraserianthes falcataria Revealed by RAPD Marker. In A. Rimbawanto and M. Susanto 77

| Bunga Rampai | 65 - 78

(eds.). Proceedings International Seminar “Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species”. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement. Yogyakarta. Indonesia. Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur Sutopo, L. dan N. Saleh, 1992. Perbaikan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur Syahri, N.T. 1991. Analisis kimia kayu dan ulit kayu jeungjing. Pusat Litbang Hasil Hutan. Laporan Hasil Penelitian (Tidak diterbitkan). Widyastuti, S.M. 2001. Fitoaleksin dan Resistensi. Program Studi Bioteknologi. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Wiryadiputra, S., 1996. Resistance of Robusta coffea to coffee root lesion nematode, Pratylenchus coffeae. Pelitan Perkebunan. 12(3) : 137-148. Witcombe, J.R. and C.T. Hash, 2000. Resistance gen deployment strategies in cereal hybrids using markerassisted mselection: Gene pyramiding, three-way hybrids, and synthetic parent population. Euphytica. 112 : 175-186.

78

KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Selama sepuluh tahun terakhir, sekitar 34 persen dari semua kegiatan bioteknologi di dunia dilaporkan terkait dengan perbanyakan tanaman hutan menggunakan kultur jaringan, Asia salah satu yang paling memberikan perhatian terhadap pengembangannya. Spesies tanaman hutan tropis khususnya jenis asli Indonesia yang mempunyai kerentanan terhadap tekanan lingkungan menjadi target penting perbanyakan kultur jaringan, di samping isu kelangkaan untuk menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan pendekatan baru. Penelitian kultur jaringan melalui organogenesis dan embryogenesis somatik yang telah dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta, mempunyai keunggulan pada jenis-jenis spesies yang diuji. Pendahuluan. Kultur jaringan tanaman hutan merupakan aplikasi bioteknologi hutan untuk membuat atau memodifikasi produk untuk menunjang program-program pemuliaan tanaman hutan (Walter & Menzies, 2010). Sesuai klasifikasi bioteknologi hutan, kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan vegetatif in vitro untuk memperbanyak klon unggul tanaman hutan dari genotip terpilih, agar pemeliharaan galur klon dapat terjaga pada tempat/ruangan dan tenaga yang lebih efisien ((Walter & Menzies, 2010; Bingkun et al., 2006; Xiao-hong et al., 1999). Aplikasi kultur jaringan semakin berkembang, diantaranya dapat digunakan untuk mengeliminasi penyakit melalui kultur meristem, memperbanyak tanaman yang bermasalah dengan generatif melalui kultur embrio, memperbaiki sifat melalui kultur protoplast maupun modifikasi gen, mutasi dan adaptasi gen in vitro. Kultur jaringan pohon melalui transformasi genetik ditujukan untuk peningkatan performa batang dan kualitas kayu meliputi modifikasi biokimia karakteristik kayu dan struktur batang, meningkatkan laju pertumbuhan dan perubahan bentuk batang, memperoleh tumbuhan yang memiliki performa sistem perakaran dan kanopi pohon yang lebih baik, tumbuhan yang resisten terhadap hama penyakit serta untuk mendapatkan tumbuhan yang toleran terhadap tekanan lingkungan abiotik (Leeve et al., 1999; Tian et al., 1999; Wenck et al., 1999; Han et al., 2000). Sekitar 34 persen dari semua kegiatan bioteknologi di dunia dilaporkan terkait dengan perbanyakan tanaman hutan menggunakan kultur jaringan (Chaix & Monteuuis, 2004, Wheeler, 2004). Selama 15 tahun terakhir, teknik kultur jaringan termasuk transformasi (gen teknologi)

79

Bunga Rampai | 79 - 90

dan analisis genom telah dikembangkan untuk berbagai jenis pohon, termasuk pohon-pohon berdaun lebar maupun berdaun jarum (Groover 2007; Henderson dan Walter, 2006; Merkle dan Nairn, 2005; Giri, Shyamkumar dan Anjaneyulu, 2004; Campbell et al, 2003). Apabila dibandingkan dengan

negara lain di dunia, Asia merupakan negara yang paling

peduli

mengembangkan perbanya kan tanaman melalui kultur jaringan. Jenis yang banyak dikembangkan merupakan jenis lokal masing-masing negara. Beberapa spesies hutan tanaman yang telah dilakukan perbanyakan dengan kultur jaringan pada skala komersial di negara-negara berkembang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Spesies hutan tanaman hasil kultur jaringan pada skala komersial di negara-negara berkembang (FAO 2010). Negara India Malaysia, Indonesia, Vietnam Vietnam, India, Amerika selatan Chile Indonesia, Brazil, Thailand, Malaysia

Spesies Tectona grandis, Anogeisus latifoglia, Bamboo spp. Acacia mangium, hybrid (A. mangium x A. auriculiformis) Eucalyptus spp. Pinus radiata Tectona grandis

Penelitian kultur jaringan di bidang kehutanan di Indonesia telah dilakukan di berbagai institusi pemerintah maupun swasta. Tidak seperti halnya pada tanaman semusim, waktu regenerasi tanaman hutan yang nisbi lama menjadi hambatan mendapatkan informasi pertumbuhan satu spesies secara lengkap mulai dari planlet, bibit sampai dengan tanaman usia produktif di lapangan. Tanaman hutan hasil kultur jaringan sampai dengan tingkat komersial pada skala masal banyak di lakukan untuk hutan tanaman industri sebagai bahan baku pulp, terutama jenis akasia dan eukaliptus. Isu kelangkaan dan penyelamatan materi genetik lebih menjadi topik utama di lembaga-lembaga penelitian di Indonesia, terlebih dengan meningkatnya kepunahan jenis-jenis tropis spesifik Indonesia. Penelitian kultur jaringan beberapa spesies pohon di berbagai institusi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan status penelitian kultur jaringan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) pada keterangan selanjutnya.

80

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

Tabel 2. Penelitian kultur jaringan beberapa spesies pohon di Indonesia. Institusi 1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Pusat Bioteknologi LIPI, www.biotek.lipi.go.id) 2. Balai Penelitain Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) (BPBPI, www.ibriec.org) 3. Balai Besar BIOGEN (biogen.litbang.deptan.go.id) 4. SEAMEO BIOTROP (www.biotrop.org) 5. PUSPITEK Serpong (www. puspitek.net)

6. PT. Arara Abadi, APP (www.asiapulppaper.com) 7. PT. Kutai Timber Indonesia (www.kti.co.id) 8. PT. BIOFOREST Indonesia (www.bioforest.com)

Spesies Tectona grandis, Jatropha curcas L., Paraserianthes falcataria, Aquilaria malaccensis, Santalum album, Rollinia Metroxylon sago Rottb. Tectona grandis, Santalum album Tectona grandis Tectona grandis, Aquilaria malacencis, Girinop sp., Syzygium oleina, Arenga pinnata, Durio jibetinus, Hevea braziliensis Acacia mangium, Eucalyptus pellita Shorea sp. Gmelina arborea, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria

Pada awalnya penelitian kultur jaringan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) menggunakan teknik organogenesis yang telah berlangsung sebelum Balai ini terbentuk yaitu sejak sekitar yahun 1990 yang waktu itu masih berstatus proyek bernama Proyek Pengembangan Sumber Benih, Direktorat Reboisasi, Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL), Departemen Kehutanan. Selanjutnya kegiatan ini mulai intensif dikerjakan setelah ada kerjasama teknis antara RRL dengan Pemerintah Jepang melalui Proyek JICA di bidang pemuliaan Pohon yaitu pada tahun 1992. Kerjasama tersebut secara tidak langsung terjadi alih teknologi di bidang kultur jaringan dari para tenaga ahli Jepang (Herawan, 2000). Jenis-jenis yang diprioritaskan dikembangkan pada waktu itu adalah: Acacia mangium, Eucalyptus deglupta, Eucalyptus urophylla, dan Paraserianthes falcataria. Pada tahun 1994 proyek beralih status menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan (BPPPBTH), Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Kemudian dikembangkan pula jenis-jenis komersial lainnya seperti: E. pellita, A.auriculiformis, A. aulacocarpa, A. crassicarpa, S. album, T. grandis, P. merkusii dan S. javanica. (Herawan, 2000). Sampai saat ini penelitian kultur jaringan di BBPBPTH telah lebih berkembang untuk jenis maupun teknik yang dilakukan. Acacia hybrid (A. mangium x A. auriculiformis), Acacia mangium, Acacia auriculiformis, Alstonia scholaris, Eucalyptus deglupta, Eucalyptus pellita, Eucalyptus urophila, Eusideroxylon zwageri, Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria, Pongamia pinnata, Santalum album, Styrax sp., Tectona grandis, Toona sinensis, Vitex Pubescen dan Shorea

81

Bunga Rampai | 79 - 90

merupakan jenis-jenis yang telah dan sedang dilakukan penelitian perbanyakan melalui kultur jaringan saat ini, sebagian dengan teknik organogenesis dan sebagian yang lain dengan embryogenesis somatik. Metode Kultur Jaringan Metode kultur jaringan dapat ditempuh melalui organogenesis dan embriogenesis somatik. Masing-masing metode tersebut mempunyai sifat-sifat perbanyakan yang berbeda sebagai berikut: Organogenesis Organogenesis adalah perbanyakan in vitro dari bagian tanaman sangat kecil, jaringan atau sel, terutama meristem dari kecambah embrio atau apeks tanaman remaja. Beberapa contoh Negara dan jenis yang dikembangkan melalui organogenesis ditunjukkan di Tabel 2. Tabel 2. Negara-negara di dunia dan spesies hasil perbanyakan organogenesis (FAO, 2010) Negara India (Saxena & Dhawan 2001) Malaysia & Afrika selatan (Galiana et al. 2003; Monteuuis et al. 2003; Quoirin 2003), Vietnam (Monteuuis, personal observation) 3. Vietnam, Thailand, India (Monteuuis, personal observation, ) Watt et al. 2003; Nadgauda in press), Amerika selatan (Levis W. Handley, personal), communication), Australia (Watt et al. 2003; Bandyopadhyay et al. 1999), Afrika selatan, Spanyol & Portugal (Watt et al. 2003) 4. Kanada & New Zealand (Lelu and Thompson 2000), Amerika (Levis W. Handley, personal communication), Perancis (Dumas and Monteuuis 1991; Monteuuis & Dumas 1992) 5. Jerman & India (Cornu 1994), Spanyol (Bueno et al. 2003), Lithuania (Kuusiene 2002 6. Amerika (Ritchie et al. 1994) 7. Perancis (Bonga and Von Aderkas 1992; Monteuuis, personal observation), Jerman (www.cnr.berkeley.edu/~jleblanc/www/Redwood/rdwdMicropro.html) 8. Norwegia (Saebo et al. 1995) and Finland (Cornu 1994) 9. Australia ( Monteuuis, personal observation) 10. China (Liu and Bao 2003) 11. Brazil & Vietnam (Monteuuis, personal observation), Thailand (Kjaer et al. 2000), Costa Rica (Schmincke 2000), Malaysia (Goh et al. 2001), India (Bonga &Von Aderkas 1992; Nicodemus et al. 2001; Nadgauda in press), Australia (Monteuuis, personal observation) 12. Banglades (Sarker et al. 1997; Roy et al. 1998) 1. 2.

Spesies Anogeissus latifolia & A. pendula Acacia mangium, hybrid (A. mangium x A. auriculiformis), A. melanoxylon Eucalyptus camaldulensis, E. globulus, E. grandis, E. nitens, E. tereticornis & E. urophylla

Pinus radiata, P. taeda & P. pinaster

Populus alba, P. deltoides, P. tremula & Populus hybrids Pseudotsuga menziesii Sequoia sempervirens & Sequoiadendron giganteum

Betula pendula Paulownia fortunei Platanus acerifolia Tectona grandis

Spesies lain termasuk Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica & Elaeocarpus robustus

Metode organogenesis spesies tanaman hutan telah dikembangkan untuk produksi skala besar, termasuk kayu keras seperti poplar, willow dan eukaliptus, dan untuk tumbuhan berdaun jarum 82

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

seperti redwood pantai, Pinus radiata, loblolly pinus (Pinus taeda) dan Douglas fir (Pseudotsuga menziesii). Penelitian perbanyakan beberapa spesies tanaman hutan secara organogenesis yang dilakukan oleh Balai Besar dengan berbagai tahapan kultur ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Spesies pohon hasil perbanyakan pada berbagai tahap organogenesis yang dilakukan di BBPBPTH sampai dengan tahun 2010. No.

Sumber Eksplan

1 2 3 4 5

Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk

6 7

Pohon induk Pohon induk

8 9

Pohon induk Pohon induk dan semai Semai Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Semai Semai

10 11 12 13 14 15 16 17

Spesies Acacia hybrid Acacia mangium Alstonia scholaris Eucalyptus deglupt Eucalyptus pellita Eucalyptus urophil Eusideroxylon zwageri Gmelina arborea Paraserianthes falcataria Pinus merkusii Pongamia pinnata Santalum album Shorea leprosula Styrax sp. Tectona grandis Toona sinensis Vitex Pubescen

Induksi Tunas √

Tahap Organogenesis Multipl Peraka Aklimati i-kasi -ran -sasi

Uji Lapangan























































-

-

-

-









-

-

-

-



























-

-

-

















-

















√ √ √

-

-



-



-

Di beberapa negara telah dilakukan penelitian organogenesis pada lebih dari 20 spesies tanaman hutan, namun dari jumlah jenis yang diteliti, BBPBPTH (Tabel 3) lebih unggul dibandingkan masing-masing dari negara-negara lain (Tabel 3). Embriogenesis Somatik Embriogenesis somatik merupakan proses perkembangan sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid) membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams & Maheswara 1986). Struktur yang bipolar dan kondisi fisiologis yang menyerupai embrio zigotik, embriogenesis somatik dinilai lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Embriogenesis somatik yang dihasilkan dapat disimpan

83

Bunga Rampai | 79 - 90

dalam jangka waktu lama sebagaimana layaknya biji yang dijadikan benih serta memungkinkan untuk diproduksinya biji buatan (synthetic seed/synseed) (Von Arnold, 2008). Regenerasi tanaman hutan melalui embriogenesis somatik telah dilakukan pada lebih dari 50 spesies yaitu lebih dari 20 famili angiospermae dan sekitar 12 spesies konifer (Park et al., 1998; Wann, 1988; Tartorius et al., 1991; Attree & Fowk, 1991; Watt et al., 1999). Potensi kecepatan multiplikasi khususnya dari suspensi sel dengan penggunaan bioreaktor otomatis, sangat tinggi serta penanganan secara mekanik dengan teknologi biji sintetis sangat dimungkinkan. Embriogenesis somatik juga dipergunakan untuk prosedur transformasi genetik karena berasal dari sel tunggal langsung dari embryo. Meskipun keberhasilan teknik embriogenesis somatik telah dilaporkan untuk beberapa spesies komersial, namun untuk operasional skala luas pada tanaman kehutanan belum banyak dilaporkan (FAO, 2010). Penelitian embriogenesis somatik di BBPBPTH sampai saat ini masih pada tahap awal namun dari macam spesies menujukkan keunggulan jumlah spesies asli yang diuji. Beberapa spesies dari negara-negara yang melakukan embriogenesis somatik untuk tanaman kehutanan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Negara-negara di dunia dan spesies hasil perbanyakan embryogenesis somatik (FAO, 2010). Negara 1. Chile (Park, 2002; Jones, 2002;Lelu-Walter & Harvengt, 2004) 2. Brazil & India (Pinto et al. 2002; Watt et al., 1999) 3. India (Krishnadas and Muralidharan, 2008; Godbole et al., 2004; Shali and Muralidharan, 2008; Rathore et al., 2008) 4. Banglades (Sarker, Islam Rafiqul and Hoque, 1997; Roy, Islam & Hadiuzzaman, 1998)

5. Kanada & Perancis (Charest 1996; Lelu and Thompson 2000) 6. Kanada, Perancis & Irlandia (Thorpe 1995; Charest 1996; Park et al. 1998; Lelu and Thompson 2000; Park 2002; Sutton 2002; Lelu-Walter and Harvengt 2004) 7. Kanada (Park 2002), Afrika selatan (Jones 2002), New Zealand (Lelu and Thompson 2000), Amerika (Jones 2002; Sutton 2002) & Chile (Lelu-Walter and Harvengt 2004) 8. Amerika & Kanada (Lelu and Thompson 2000, Sutton 2002) 9. Bangladesh (Sarker et al. 1997; Roy et al. 1998)

84

Spesies Pinus radiate & P. taeda E. globulus, E. grandis & E. dunnii Tectona grandis, Bamboo & Sandal

Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica & Elaeocarpus robustus Larix Picea abies, P. glauca, P. mariana and P. sitchensis Pinus banksiana, P. patula, P. radiata, P. strobus and P. taeda

Pseudotsuga menziesii Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica and Elaeocarpus robustus

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

Penelitian perbanyakan beberapa spesies tanaman hutan secara embriogenesis somatik melalui tahap induksi dan multiplikasi kalus, multiplikasi kalus embryogenik, tahap pembentukan hati, tahap pembentukan torpedo, perakaran, aklimatisasi dan uji lapangan ditunjukkan pada Tabel 5. Dari beberapa spesies yang diuji, hanya Santalum album yang paling unggul sampai pada tahap perakaran. Tabel 5. Spesies pohon hasil perbanyakan pada berbagai tahap embryogenesis somatik yang dilakukan di BBPBPTH sampai dengan tahun 2010. No .

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14

Sumber Eksplan

Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk dan semai Pohon induk Pohon induk Pohon induk Pohon induk Semai

Spesies Induksi dan Multiplik asi Kalus Acacia hybrid



Acacia mangium



Alstonia scholaris

-

Eucalyptus deglup

-

Eucalyptus pellita Eucalyptus urophil



Eusideroxilon zwagery Gmelina arborea

-

Paraserianthes falcataria



Pongamia pinnata



Santalum album



Styrax sp.

-

Tectona grandis



Toona sinensis



Tahap Embryogenesis Somatik Multipli Ha Torpe Pera Aklim kasi ti do ka- ati-sasi Kalus ran Embryo genik √

Uji Lapa ng-an

-









85

Bunga Rampai | 79 - 90

Operasional embriogenesis somatik memerlukan biaya tinggi dengan presisi aplikasi tinggi. Perbanyakan melalui embriogenesis somatik sebaiknya hanya diterapkan untuk seleksi spesies yang benar-benar terpilih berdasarkan perolehan pemuliaan genetik yang maksimal melalui perbanyakan bervolume tinggi dari satu genotipe. Tahap awal penelitian embriogenesis somatik di BBPBPTH lebih kepada penguasan teknik, spesies-spesies yang diuji berdasarkan ketersediaan sumber eksplan, walaupun dengan macam jenis yang lebih beragam dibandingkan negara lain. Keunggulan penelitian kultur jaringan yang telah dilakukan BBPBPTH dengan prioritas jenis tanaman hutan tropis asli setempat memberikan nilai tambah untuk tujuan penggunaan bioteknologi hutan menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan cara baru (FAO, 2010).

Hutan tropis memainkan peran utama dalam adaptasi hutan

sebagai dasar untuk semua solusi kebijakan kehutanan lainnya yang ditujukan untuk memperlambat perubahan iklim seperti mengurangi emisi deforestasi, degradasi (REDD), bioenergi dan biomassa (Millar et al., 2007; Aitken et al, 2008; Clark, 2004; Hamrick, 2004). Untuk mendukung program tersebut, laboratorium kultur jaringan BBPBPTH juga sedang melakukan penelitian Pongamia pinnata sebagai spesies bioenergi unggulan baru dan terbarukan. Hutan tropis dinilai sangat rentan terhadap perubahan iklim dan mempunyai nilai adaptasi yang lebih sempit, tidak ada dua daerah akan mengalami perubahan iklim dengan cara yang sama (FAO, 2010). Untuk mendukung program tersebut, melalui kultur jaringan BBPBPTH juga telah melakukan penelitian ketahanan Vitex pubescens terhadap tekanan masam in vitro dan ex vitro, dan penelitian tersebut sedang dilakukan untuk spesies-spesies tropis lain (Putria, 2010). Sehingga hasil penelitian bioteknologi hutan BBPBPTH yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai model prediktif untuk efek perubahan iklim menjadi lebih regional dengan model tanaman hutan asli Indonesia. Asal biji dari berbagai provenan setempat dapat lebih bertahan dan dapat tumbuh lebih optimal terhadap tekanan lingkungan tempat tanaman berada (FAO, 2010). Berdasarkan perbedaan intensifitas pengelolaan antara hutan alam dan hutan tanaman, FAO membagi bioteknologi hutan tanaman menjadi tiga kelompok yaitu a) bioteknologi hutan tanaman dasar diantaranya perbanyakan kultur jaringan dengan organogenesis dan penggunaan kultur mikrobia seperti rhizobium dan mikoriza, b) bioteknologi hutan tanaman pertengahan diantaranya perbanyakan kultur jaringan dengan embryogenesis somatik, serta c) bioteknologi hutan tanaman lanjutan (modifikasi/rekayasa genetik dan transformasi genetik) (FAO, 2010). Di samping penelitian organogenesis dan embryogenesis somatik pada kelompok bioteknologi hutan tanaman dasar maupun pertengahan, BBPBPTH telah melakukan penelitian simbiotik spesies rhizobium – Pongamia pinnata melalui kultur jaringan (Putrib, 2010).

86

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

Selama 15 tahun terakhir bioteknologi hutan melalui transformasi (teknologi gen) dan analisis genom telah dikembangkan untuk untuk mendukung program pemuliaan pada berbagai jenis pohon, termasuk pohon-pohon berdaun lebar dan berdaun jarum (Groover, 2007; Henderson dan Walter, 2006; Merkle dan Nairn, 2005; Giri et al., 2004; Campbell et al, 2003). Tanaman hutan yang telah diuji dengan teknik rekayasa genetika diantaranya dari jenis Populus (poplar), Betula (Birches), Picea (cemara), Pinus dan Eucalyptus yang telah diproduksi dan diuji di laboratorium, rumah kaca serta di lapangan. Implikasi berbagai target sifat untuk rekayasa genetik pohon, seperti lignin dan/atau modifikasi selulosa, hama penyakit, fertilitas, toleransi terhadap cekaman abiotik, bioenergi menjadi pertimbangan penting untuk tujuan komersial (FAO, 2010). Resiko transgenik dimungkinkan sama halnya dengan resiko pada proses diperkenalkannya pohon non-asli serta pohon-pohon yang dimuliakan dengan metode konvensional (Hoenicka & Fladung, 2006). Identifikasi penting dilakukan terhadap potensi risiko yang terkait dengan stabilitas fungsi gen yang ditransfer pada jenis tanaman hutan serta aliran DNA rekombinan ke lingkungan melalui berbagai jalur yang berbeda (Strauss et al, 1995;. Strauss, DiFazio & Meilan, 2001; Hoenicka & Fladung, 2006). Kesimpulan Penelitian kultur jaringan melalui organogenesis dan embryogenesis somatik yang telah dilakukan di BBPBPTH mempunyai keunggulan pada jenis spesies yang diuji. Spesies tanaman hutan tropis khususnya jenis asli Indonesia yang mempunyai kerentanan terhadap tekanan lingkungan menjadi target penting perbanyakan di samping isu kelangkaan untuk menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan pendekatan baru. Saran Peningkatan sumber daya manusia melalui studi banding dan kursus di dalam dan luar negeri sangat penting, di samping peningkatan kelengkapan sarana prasarana laboratorium dan rumah kaca yang menunjang penelitian kultur jaringan. Ucapan terima kasih Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ir. Jayusman, MP., Dra. Yelnititis MP, Dr. ILG Nurtjahyaningsih, Ir. Elizabeth Sapulete, Suprihati, Endin Izudien, Rudi Hartono,

87

Bunga Rampai | 79 - 90

Triyanto, Arif Setiawan dan Waluyo atas pengabdiannya pada laboratorium kultur jaringan BBPBPTH. Daftar Pustaka Aitken, S., Yeaman S., Holliday, J.A., Wang, T. & Curtis-McLane, S. 2008. Adaptation, migration or extirpation: climate change outcomes for tree populations. Evol. Appl. 1: 95–111. Attree, S.M. & Fowke, L.C. 1991. Micropropagation through somatic embryogenesis in conifers, pp. 53–70 In Y.P.S. Bajaj ed. Biotechnology in agriculture and forestry 17. High-tech and micropropagation 1. Berlin, Heidelberg, New York, Springer-Verlag. Bajaj, Y.P.S. (editor). 1986. Biotechnology in agriculture and forestry 1: Trees I. SpringerVerlag,Berlin, Germany. Bajaj, Y.P.S. (editor). 1989. Biotechnology in agriculture and forestry 5: Trees II. SpringerVerlag,Berlin, Germany. Bajaj, Y.P.S. (editor). 1991. Biotechnology in agriculture and forestry 16: Trees III. SpringerVerlag, Berlin, Germany. Bingkun, T., W. Pengcheng, Y. Mei, T. Xiao and Y. Yu-yun. 2002. Study on Cutting Propagation of Toona sinensis. Bonga, J.M. & Durzan, D.J. 1987a. Cell and tissue culture in forestry, Vol. 2: Specific principles and methods: growth and developments. Martinus Nijoff Publishers, Dordrecht, Netherlands. Bonga, J.M. & Durzan, D.J. 1987b. Cell and tissue culture in forestry, Vol. 3: Case histories: Gymnosperms, Angiosperms and Palms. Martinus Nijoff Publishers, Dordrecht, Netherlands. Campbell, M.M., Brunner, A.M., Jones, H.M. & Strauss, S.H. 2003. Forestry’s fertile crescent: the application of biotechnology to forest trees. Plant Biotechnology Journal, 1: 141–154. Chaix, G. & Monteuuis, O. 2004. Biotechnology in the forestry sector. In: FAO, 2004b, q.v. Clark, D.A. 2004. Tropical forests and global warming: slowing it down or speeding it up? Frontiers in Ecology & the Environment 2(2): 73–80. El-Kassaby, Y.A. 2004. Anticipated contribution to and scale of impact of biotechnology in forestry. In: FAO, 2004b, q.v. FAO. 2010. Current Status and Options for Forest Biotechnologies in developing Countries (ABCD-10). FAO International Technical Conference. Guadalajara, Mexico. FAO. 2004. Preliminary review of biotechnology in forestry, including genetic modification. Forest Genetic Resources Working Paper FGR/59E, Forest Resources Development Service, Forest Resources Division. Rome, Italy. Galiana, A., Goh, D., Chevallier, M.-H., Gidiman, J., Moo, H., Hattah M. & Japarudin,Y. 2003. Micropropagation of Acacia mangium x A. auriculiformis hybrids in Sabah Bois et Forêts des Tropiques 275: 77–82. Giri, C.C., Shyamkumar, B. & Anjaneyulu, C. 2004. Progress in tissue culture, genetic transformation and applications of biotechnology to trees: an overview. Trees, 18: 115– 135. Goh, D.K.S., Chaix, G., Baillères, H. & Monteuuis, O. 2007. Mass production and quality control of teak clones for tropical plantations: The Yayasan Sabah Group and Forestry Department of Cirad Joint Project as a case study. Bois et Forêts des Tropiques 33:6–9. Goh, D.K.S. & Monteuuis, O. 2005. Rationale for developing intensive teak clonal plantations, with special reference to Sabah. Bois et Forêts des Tropiques 28: 5–15. Groover, A.T. 2007. Will genomics guide a greener forest biotech? Trends in Plant Science, 12: 234–238.

88

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

Hamrick, J.L. 2004. Response of forest trees to global environmental changes. Forest Ecol. & Management 197: 323–335. Han KH, Meilan R, Ma C, Strauss SH. 2000. An Agrobacterium tumefaciens transformation protocol effective on a variety of cottonwood hybrids (genus Populus). Plant Cell Rep 19:315–320. Henderson, A.R. & Walter, C. 2006. Genetic engineering in conifer plantation forestry. Silvae Genetica, 55(6): 253–262. Herawan, T. 2000. Protokol kultur Jaringan Tanaman Hutan. Informasi Teknis. BPPPBTH. No. 1. 2000. Hoenicka, H. & Fladung, M. 2006. Genome instability in woody plants derived from genetic engineering. pp. 301–321, in: M. Fladung & D. Ewald (editors). Tree transgenesis – recent developments. Springer, Berlin, Heidelberg and New York. Levee V, Garin E, Klimaszewska K. & Seguin A. 1999. Stable genetic transformation of white pine (Pinus strobus L.) after cocultivation of embryogenic tissues with Agrobacterium tumefaciens. Mol Breed 5:429–440 Merkle, S.A. & Nairn, C.J. 2005. Hardwood tree biotechnology. In vitro Cellular & Developmental Biology–Plant, 41: 602–619. Millar, C.M., Stephenson, N.L. & Stephens, S.L. 2007. Climate change and forests of the future: managing in the face of uncertainty. Ecological Applications 17: 2145–2151. Park, Y.S., Barret, J.D. & Bonga, J.M. 1998. Application of somatic embryogenesis in high–value clonal forestry: deployment, genetic control, and stability of cryopreserved clones. In Vitro Cell. Dev. Biol.–Plant. 34: 231–239. Putria, A. I. 2010. Toleransi Masam Vitex pubescens Vahl. In-vitro dan Ex-vitro. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 4 No. 2, September 2010. BBPBPTH. Yogyakarta. Indonesia. Putrib, A. I. 2010. Pongamia pinnata - Rhizobium: Spesies Simbiotik Bernilai Konservasi Tinggi. Pertemuan Ilmiah Konservasi Hutan (Belum dipublikasikan). Strauss, S.H., Coventry, P., Campbell, M.M., Pryor, S.M. & Burley, J. 2001a. Certification of genetically modified forest plantations. International Forestry Review, 3: 87–104. Strauss, S.H., Rottmann, W.H., Brunner, A.W. & Sheppard, L.A. 1995. Genetic engineering of reproductive sterility in forest trees. Molecular Breeding, 1: 5–26. Tartorius, T.E., Fowke, L.C. & Dunstan, D.I. 1991. Somatic embryogenesis in conifers. Can. J.Bot. 69, 1873–1899. Tian, L., Levee V, Mentag R., Charest, P. J., Seguin A. 1999. Green Fluorescent Protein as a Tool for Monitoring Transgene Expression in Forest Tree Species. Tree Physiology 19. 541-456. Trontin, J.F., Walter, C., Klimaszewska, K., Park, Y.-S. & Walter, M.-A. 2007. Recent progress in genetic transformation of four Pinus spp. Transgenic Plant Journal, 1(2): 314–329). Von Arnold, S. 2008. Somatic Embryogenesis In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition Vol.1. The Background. E.F. George, M.A. Hall and G.J. De Klerk. (Eds.). Springer. Dordrecht. The Netherlands Walter, C. & M. Menzies. 2010. Genetic Modification as a Component of Forest Biotechnology In Forest and Genetically Modified Trees. Rome, Italy. Wann, S.R. 1988. Somatic embryogenesis in woody species [Review]. Hortic. Rev. 10: 153–81. Watt, M.P., Blakeway, F.C., Mokotedi, M. & Jain, S.M. 2003. Micropropagation of Eucalyptus. In S.M. Jain & K. Ishii, eds. Micropropagation of woody trees and fruits, pp. 217–244. Dordrecht, Netherlands, Kluwer. Watt, M.P., Blakeway, F., Cresswell, C.F. & Herman, B. 1991. Somatic embryogenesis in Eucalyptus grandis. S. African For. J. 157: 59–65. Wenk, A. R., Quinn M., Whetten R. W., Pullman G., & Sederoff R. 1999. High-efficiency Norway Spruce (Picea taeda). Plant Mol. Biol. 39: 407 – 416.

89

Bunga Rampai | 79 - 90

Wheeler, N. 2004. A snapshot of the global status and trends in forest biotechnology. In FAO, 2004b, q.v. Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic embryogenesis factors influencing coordinated behaviour of cells as on embryogenic group. Ann. Bot. 57: 443-462. Xiao-hong, Z., C. Yan-sheng, W. An-zhi, Y. Tu-xi, K. Bing, Y. Heng. 1999. Shaanxi Province and Chinese Academy of Science. Yangling, Shaanxi 712100.

90

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Penelitian genetika molekuler di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) diaplikasikan di hutan alam maupun hutan tanaman, masing-masing ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penyusunan strategi konservasi dan strategi pemuliaan tanaman. Penelitian di hutan alam meliputi analisis genetika populasi yang mengungkap fenomena alam yang menyebabkan perbedaan tingkat keragaman genetik di dalam maupun antar populasi; dan verifikasi asal usul kayu untuk tujuan perlindungan terhadap jenis unggulan di Indonesia. Sedangkan penelitian di kebun benih meliputi menduga perubahan level keragaman genetik akibat seleksi pohon secara intensif, identifikasi klon, sistem perkawinan, analisis tetua, pola gene flow dan genome. Tulisan ini merupakan review peningkatan aplikasi penelitian genetika molekular di BBPBPTH. Pendahuluan Penelitian genetika molekuler memberikan informasi struktur dan rekombinasi gen serta proses pewarisan genetik. Review terhadap sekitar 3,000 referensi di tingkat internasional menunjukkan bahwa cabang penelitian genetika molekuler yang banyak dilakukan adalah identifikasi genetika populasi kemudian diikuti oleh genome (FAO 2010). Sedangkan jenis yang paling banyak dilaporkan yaitu Pinus, Eucalyptus, Populus, Picea, Quercus dan Acacia. Penelitian genetika molekuler dilakukan di hutan alam maupun hutan tanaman. Penelitian di hutan alam lebih diutamakan untuk meningkatkan efisiensi strategi konservasi dan lebih bersifat dinamis. Adapun penelitian yang sering dilakukan di hutan alam ditujukan untuk menduga perubahan level keragaman dan struktur genetik populasi akibat perpindahan gene (gene flow) oleh serbuk sari maupun biji. Gene flow kerapkali dikaitkan dengan area hutan menyambung maupun terfragmentasi yang diduga dengan parameter IBD (Isolation by Distance). Satuan konservasi yang digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi konservasi adalah ESU (Evolutionary System Unit) dan MU (Managemen Unit) (Tsuda dan Ide 2005). ESU merupakan satuan konservasi untuk menduga sistem evolusi suatu jenis, dan mengkonservasi pada level sub taksonomi, sedangkan MU merupakan satuan konservasi untuk menduga populasi lokal dan mengkonservasi pada level perbedaan allele frekuensi dan phylogenetik. Di hutan tanaman seperti kebun benih, penelitian genetika molekuler dilakukan untuk meningkatkan efisiensi managemen kebun benih dan strategi pemuliaan dalam rangka menyediakan benih berkualitas dan berkuantitas. Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah menduga perubahan tingkat keragaman genetik akibat seleksi pohon secara

91

| Bunga Rampai | 91 - 106

intensif, memaksimalkan nilai perolehan genetik dengan potensi genetik yang ada dengan menduga sistem perkawinan, kontaminasi serbuk sari, analisis tetua, laju selfing/ outcrossing, pola gene flow dan mempercepat strategi pemuliaan dengan memetakan gen pengatur sifat (quantitative traits loci - QTL) melalui metode peta struktur QTL maupun fungsional transkriptomik. Penelitian genetika molekuler awalnya dilakukan berdasarkan penanda isozyme. Kemudian untuk memberikan hasil yang lebih akurat, penelitian genetika molekuler berkembang menggunakan penanda DNA (Deoxyribonucleic Acid) berbasis PCR (Polymorphism Chain Reaction). DNA adalah asam nukleat yang terdiri dari instruksi genetik yang digunakan dalam perkembangan dan fungsi metabolisme semua makhluk hidup. Penanda DNA adalah sekuen DNA non coding, terletak di dalam kromosom dan dapat mengidentifikasi sel, individu maupun spesies. Penanda DNA yang sering digunakan untuk analisis genetika molekuler yaitu RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism; Vos dkk. 1995), RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) (William dkk.1990), SCAR (Sequence Characterized Amplified Region), nukleus mikrosatelit/SSR (Simple Sequence Repeat) maupun kloroplas (Weishing dan Gardner 1999) dan SNP (Single Nucleotide Polymorphism). Aplikasi penggunaan penanda DNA tergantung pada tujuan analisis dengan tingkat akurasi yang berbeda-beda. Penanda RFLP atau RAPD sering digunakan untuk analisis tingkat keragaman genetik. Penanda AFLP digunakan untuk studi evolusi, dimana menggunakan keseluruhan untaian DNA. Aplikasi penanda SSR dilakukan untuk menduga sistem perkawinan, analisis tetua, dan menyusun peta genetik. Nukleus SSR diaplikasikan untuk menduga sistem perkawinan dan analisis tetua dimana mendeteksi kombinasi gamet tetua, sedangkan kloroplast SSR mendeteksi gamet garis tetua jantan pada jenis konifer. Penanda SNP sering digunakan untuk menyusun peta genetik. Penelitian genetika molekuler terus berkembang pesat dan dinamis sehingga aspek yang diteliti semakin bertambah. Bunga rampai ini merupakan sebuah review dimana menggambarkan status dan trend terkini penelitian genetika molekuler baik di tingkat internasional, nasional maupun Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Tujuan review adalah untuk mengetahui kesesuaian program dan aktivitas serta level penelitian bidang genetika molekuler yang dilakukan di Balai Besar dengan penelitian di level internasional maupun nasional. Hasil review ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penetapan program dan aktivitas penelitian untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih baik sehingga memberikan pengaruh yang lebih nyata terhadap pembangunan kehutanan Indonesia. Penelitian genetika molekuler yang direview berikut ini meliputi; genetika populasi di hutan alam, verifikasi asal-usul kayu yang bernilai ekonomi

92

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

tinggi, identifikasi klon dan tetua unggul, identifikasi patogen yang disebabkan oleh jamur, dan peta gen pengatur sifat kuantitatif (QTL). Metodologi review dilakukan berdasarkan studi referensi terhadap penelitian-penelitian yang dilakukan di tingkat internasional, nasional dan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Aspek Penelitian Genetika Molekuler Di Hutan Alam Perubahan struktur genetik di hutan alam disebabkan oleh proses rekombinasi gen dan proses reproduksi akibat phenomena alam. Tipe habitat sebaran spesies yang terjadi secara alam adalah hutan murni satu jenis, hutan campuran beda jenis dan beda genus, hutan campuran beda jenis namun satu genus (sympatric). Proses reproduksi yang terjadi di tipe hutan murni maupun hutan campuran beda jenis dan beda genus, hanya akan terjadi hibridisasi intraspesifik, namun pada tipe hutan campuran beda jenis dalam satu genus sering memicu terjadinya hibridisasi alam baik intraspesifik maupun interspesifik. Oleh karena itu untuk merancang satu strategi konservasi di hutan alam didasarkan pada satuan managemen dan satuan sistem evolusi (Tsuda dan Ide, 2005). Aspek penelitian genetika molekuler menggunakan satuan managemen didekati pada tingkat perbedaan allele frekuensi populasi dan phylogenetik misalnya keragaman genetik dan perbedaan genetik antar populasi karena proses aliran gene, sedangkan satuan sistem evolusi didekati pada tingkat sub taksonomi misalnya penelitian hibridisasi alam. Selain itu, lokasi hutan alam yang menarik diujikan adalah hutan terfragmentasi (Aldrich dan Hamrick, 1998), jenis dengan sebaran yang luas (Tsuda dan Ide, 2005; Bucci dkk. 2007) dan lokasi riparian (daerah aliran sungai; Arens dkk. 1998). Analisis Keragaman Genetik Analisis keragaman genetik dilakukan untuk menduga tingkat keragaman genetik di dalam dan antar populasi. Aspek genetika populasi adalah penurunan tingkat keragaman genetik karena gangguan rekombinasi gen (genetic drift; Aldrick dan Hamrick 1998) dan leher botol (bottleneck ) akibat penurunan luasan populasi (Bradshaw dkk. 2007). Di Indonesia, aspek penelitian genetika populasi belum banyak dilakukan. Pendugaan tingkat keragaman genetik dilaporkan pada Paraserianthes falcataria (Hartati dan Prana 1996), Pinus merkusii (Naiem dan Indrioko 1996; Naiem 2000), Shorea spp. (Siregar dkk. 1998, Sudarmonowati dkk.2000; Sudarmono dkk. 1997) dan Tectona grandis (Kertadikara 1996). Selain itu, analisis genetik yang dilakukan menggunakan penanda isozyme, RAPD dan AFLP.

93

| Bunga Rampai | 91 - 106

Studi keragaman genetik di Balai Besar dilakukan terhadap jenis-jenis prioritas untuk kayu pulp, kayu pertukangan maupun produk non kayu. Meskipun banyak aspek yang bisa dipelajari dalam analisis keragaman, namun analisis yang dilakukan lebih banyak mengulas mengenai tingkat keragaman genetik di dalam populasi dan hubungan kekerabatan antar populasi. Hasil studi keragaman genetik diaplikasikan untuk merekomendasikan strategi konservasi maupun pemuliaan tanaman seperti diuraikan berikut ini. Menggunakan penanda isozyme, keragaman genetik Paraserianthes falcataria di populasi alam mempunyai level yang sangat rendah (Seido dkk. 1993; Suharyanto dkk. 2002). Pada populasi hutan alam P. falcataria terbagi menjadi 3 populasi yaitu, Biak, Wamena dan Halmahera, sedangkan populasi hutan tanaman di Jawa berkerabat secara genetik dengan populasi Biak (Suharyanto dkk. 2002). Keragaman genetik yang sangat rendah dan hubungan kekerabatan yang tinggi antar populasi menyebabkan penyakit pada sengon sulit diatasi. Oleh karena populasi Jawa dekat dengan Biak maka untuk memperluas genetik base hutan tanaman yang ada di Jawa harus mengumpulkan populasi alam selain Biak. Menggunakan penanda SSR, keragaman genetik S. leprosula pada populasi alam di Jambi pada level sedang (H E =0,710) dan levelnya hampir sama dengan populasi kebun pangkas (H E =0,686) (Rimbawanto dan Isoda 2001; Isoda dkk. 2001). Hal ini menunjukkan tidak adanya penurunan genetik antar hutan alam dan kebun pangkas. Jarak genetik antar populasi Kalimantan dan Sumatera termasuk dalam kategori tinggi (0,393) (Prihatini, dkk. 2001) sehingga untuk tujuan konservasi genetik kedua populasi ini harus dipisahkan. Analisis keragaman genetik pada jenis-jenis penghasil gaharu seperti Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor genetik terhadap produktivitas gaharu. Keragaman genetik 5 populasi G. verstegii di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dianalisis menggunakan penanda RAPD menunjukkan nilai sedang (0,288) untuk dalam populasi, demikian juga untuk keragaman genetik antar

populasinya (0,148) (Widyatmoko, dkk., 2009).

Analisis klaster membagi 5 populasi G. verstegii ke dalam dua kelompok besar. Distribusi keragaman dan pola pengelompokan populasi dalam kelompok mengindikasikan bahwa upaya konservasi lebih efektif jika pengumpulan materi genetik mengutamakan individu dalam populasi dengan tetap memperhatikan pola pengelompokan populasi. Hingga saat ini penelitian masih dalam proses untuk mengembangkan penanda DNA yang bisa membedakan antara individu yang rentan dan resisten terhadap inokulan jamur penghasil gaharu (Rimbawanto dkk. 2009b). Untuk meningkatkan produktifitas gaharu, analisis keragaman genetik juga diharapkan bisa membedakan antara Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa dimana mempunyai kemiripan secara morfologi

94

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

(Rimbawanto dkk. 2006). Namun demikian hanya 2 putative lokus dari 336 lokus hasil screening penanda RAPD diduga membedakan kedua jenis tersebut. Sehingga masih perlu dilakukan screening penanda yang lebih mampu membedakan gen rentan terhadap inokulan. Analisis keragaman genetik diaplikasikan pada nyamplung (Calophyllum inophylum), merupakan salah satu jenis penghasil bahan bakar minyak yang dapat diperbarui (biofuel). Hasil sementara untuk populasi alam di Jawa, Bali dan Sulawesi menunjukkan bahwa keragaman genetik didalam populasi menunjukkan nilai yang rendah menggunakan penanda RAPD (H E =0,200; Widyatmoko dkk. 2009). Dendrogram disusun berdasarkan jarak genetik menunjukkan adanya kecenderungan pengelompokan antar pulau. Untuk menjaga kemurnian genetik, plot konservasi harus dipisahkan berdasarkan pulau. Untuk memperluas genetik base, pengumpulan materi genetik untuk pembangunan suatu uji keturunan harus dilakukan dengan populasi yang luas. Analisis keragaman genetik cendana (Santalum album) menggunakan 17 penanda RAPD menunjukkan tingkat keragaman yang sedang (0,391), sedangkan jarak genetik antar populasi menunjukkan nilai yang kecil (0,038) (Rimbawanto dkk. 2006). Berdasarkan hasil diatas strategi konservasi yang disarankan adalah mengoleksi banyak individu pada beberapa populasi saja. Untuk analisis keragaman genetik populasi ulin (Eusideroxylon zwageri) menggunakan 23 penanda RAPD menunjukkan bahwa keragaman genetik dalam populasi menunjukkan level sedang (0,378) dan jarak genetik yang cukup tinggi (0,182). Sedangkan dendrogram menunjukkan populasi Sepaku (Kalteng), Seruyan Hulu (Kalteng) dan Sumber Barito (Kalteng) membentuk satu klaster, sedangkan populasi Nanga Tayap (Kalbar) membentuk klaster yang lain (Sulistyawati dkk. 2005). Oleh karena jarak genetik antar populasi cukup besar maka strategi konservasi yang harus ditempuh adalah mengumpulkan individu dalam beberapa populasi dengan tetap menjaga kemurnian genetik masing-masing populasi. Menggunakan penanda RAPD, keragaman genetik populasi merbau berkisar antara 0,2570,317, termasuk dalam level sedang. Jarak genetik antar populasi termasuk dalam level tinggi (0,141). Dendrogram menunjukkan bahwa meskipun populasi Nabire dan Manokwari terdapat pada pulau yang sama, namun jarak genetik kedua populasi tersebut besar (Rimbawanto dkk. 2006). Sehingga untuk tujuan konservasi, penanaman kedua populasi dalam plot konservasi harus dipisah supaya tidak terjadi kontaminasi gen. Analisis keragaman genetik 64 pohon A. cunninghamii yang berasal dari 7 populasi di Papua dan 1 populasi di Australia menggunakan 23 primer RAPD menunjukkan level keragaman genetik yang sedang (0,270) (Widyatmoko dkk., 2009). Sedangkan jarak genetik antar populasi cukup

95

| Bunga Rampai | 91 - 106

rendah (0,092). Delapan populasi terbagi menjadi 2 kelompok besar yang membedakan kedua negara. Hasil sementara analisis keragaman genetik 3 populasi Suren yaitu Candiroto, Sumedang dan Mataram menggunakan penanda RAPD menunjukkan level keragaman yang rendah (Widyatmoko dkk. 2008). Tingkat keragaman yang rendah biasa ditemukan pada jenis-jenis eksotik. Rendahnya tingkat keragaman genetik menyebabkan uji klon menjadi strategi pemuliaan untuk jenis ini. Analisis Sistem Perkawinan Sistem perkawinan menunjukkan keberhasilan proses reproduksi untuk menghasilkan individu baru, dimana keberhasilan ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Sistem perkawinan berbeda untuk gymnosperm dan angiousperm; tanaman dengan penyerbukan yang dibantu oleh angin cenderung mempunyai laju outcrossing yang lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan polinator serangga. Parameter sistem perkawinan menggunakan tingkat keragaman genetik (El-Kassaby dkk. 1984), koefisien inbreeding (El-Kassaby dkk. 1989), laju selfing / outcrossing (Adam dan Joly 1980; Friedman dan Adams 1985), gene flow dan luasan populasi efektif. Untuk mempertahankan tingkat keragaman genetik, sistem perkawinan harus random dan seimbang atau tidak adanya tendensi perkawinan yang memilih. Pada populasi breeding di suatu kebun benih atau uji-uji untuk menghasilkan benih unggul, sistem perkawinan random akan menjamin bahwa kualitas genetik pohon plus terpilih akan diturunkan pada generasi selanjutnya. Di level nasional, menggunakan penanda isozyme, pendugaan laju outcrossing telah dilakukan terhadap Tectona grandis (Kertadikara 1996) dan P. merkusii (Siregar dan Hattemer 2004). Rata-rata laju outcrossing populasi alam Nyamplung di Alas Purwo dan Cilacap maupun populasi hutan tanaman di Gunung Kidul menunjukkan nilai yang tinggi dengan gene flow yang luas (data belum dipublikasikan). Sinkronisasi pembungaan dan luasan populasi yang besar mempengaruhi tingginya laju outcrosing dan gene flow. Verifikasi Asal-Usul Kayu Yang Bernilai Ekonomi Tinggi Pembalakan liar merupakan salah satu masalah terbesar bagi kehutanan Indonesia, sehingga diperlukan metode yang akurat dan efektif untuk melacak log kayu terutama dari jenis yang bernilai ekonomi tinggi. Metode lacak balak menggunakan penanda DNA sedang diinisiasi pada kayu merbau (Instia bijuga).

Pengembangan metode lacak balak terhadap jenis ini sedang

dilakukan oleh peneliti dari Jerman menggunakan penanda SSR dan cp-SSR. Di level nasional, metode lacak balak juga sedang marak dikembangkan. Balai Besar pun sedang menyusun strategi

96

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

lacak menggunakan beberapa penanda DNA (sekuensing cp-DNA, SSR dan SNP) untuk meningkatkan akurasi analisis genetik. Langkah awal strategi tersebut antara lain menyusun database kayu merbau baik yang masih ada di hutan alam sampai hutan tanaman dan toko kayu menggunakan sekuen cp-SSR. Hingga saat ini, metode ekstraksi DNA dari materi berupa kayu olahan sudah dikuasai yaitu menggunakan Extract-N-Amp tm (Sigma) walaupun jumlah DNA masih sangat sedikit. Analisis fragment DNA akan segera dilakukan pada kegiatan penelitian selanjutnya (Widyatmoko dkk. 2009). Selain itu, Balai Besar juga menerapkan konsep lacak balak pada jati, dimana banyak informasi jati unggul yang kebenarannya belum bisa dibuktikan. Analisis fragment DNA menggunakan penanda RAPD, SCAR dan SSR, sedang dikemas dalam suatu bentuk kumpulan data genetik (database) (Rimbawanto dkk. 2005). Analisis genetik sudah dilakukan terhadap 46 provenan asal Sulawesi, dan uji keturunan di Cepu dan Bojonegoro. Kemudian untuk mengidentifikasi asal-usul jati yang beredar di pasaran, materi genetik dikoleksi dari perusahaan pengada bibit yang ada di Surabaya dan Jakarta. Analisis klaster menunjukkan bahwa populasi Sulawesi terpisah dari populasi non-Sulawesi (Rimbawanto dkk. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa apabila ada pengada bibit yang mengaku bahwa bibit yang diproduksi berasal dari salah satu populasi di Sulawesi maka akan bisa dibuktikan dengan mencocokkan database genetik yang telah disusun dengan data genetik bibit tersebut. Klarifikasi Hibridisasi Alam Aspek penelitian genetika populasi diantaranya adalah analisis struktur ruang (spatial autocorrelation). Struktur ruang merupakan hasil dari sejumlah faktor genetik-lingkungan dan hibridisasi interspesifik, yang nilainya bervariasi antar populasi, generasi dan mikrohabitat (Wallace, 2006). Struktur ruang terjadi ketika gene flow terhambat di populasi alam terfragmentasi atau karena terisolasi oleh jarak demografi (isolation by distance (IBD) (Aldrich dkk.2005, Hardy dan Vekemans 1999). Pengetahuan tentang struktur ruang merupakan kunci dari proses evolusi (Smouse dan Peakall 1999). Hibridisasi interspesifik sering terjadi di hutan alam yang menyebabkan munculnya jenis baru yang berbeda secara morfologis dengan kedua induknya. Hibridisasi secara alam terjadi pada jenis Populus nigra yang diduga merupakan hasil interspesifik hibrid antara P. deltoides dan P. x euramericana (Arens dkk. 1998). Identifikasi hibridisasi alam pada P. nigra menggunakan penanda DNA merupakan informasi penting untuk strategi konservasi jenis tersebut.

97

| Bunga Rampai | 91 - 106

Contoh lain interspesifik hibrid terjadi pada F. moesiaca. Berdasarkan analisis morfologis dan ITS (internal transcribed spacer) Fagus orientalis, F. sylvatica dan F moesiaca merupakan jenis yang sama. Namun berdasarkan penanda AFLP dan cp-SSR, 3 Fagus tersebut menunjukkan jenis yang berbeda (Gailing dan Wuehlisch, 2004). Interspesifik hibridisasi alam terjadi pada F. orientalis dan F. sylvatica yang menghasilkan F. sylvatica var.moesiaca. meskipun lokasi geografis jenis tersebut berjauhan, masing-masing dari Turki, Jerman dan Italia. Penelitian ini mengungkap bahwa pada jaman rekolonisasi postglacial, terdapat zona hibridisasi antar dua jenis tersebut di Yunani sehingga menghasilkan F. sylvatica var moesiaca. Interspesifik hibridisasi alam banyak terjadi pada genus Abies baik secara alam (Isoda dkk. 2000) maupun melalui penyerbukan buatan (Liu, 1970). Interspesifik hibridisasi alam pada konifer mudah terdeteksi menggunakan penanda organel seperti cp-DNA dan mitokondria-DNA karena dua penanda tersebut masing-masing menurunkan garis tetua jantan dan tetua betina (Isoda dkk. 2000). Keberhasilan proses hibridisasi alam juga sangat rendah, misalnya pada Abies veitchii dan A. homolepsi, dari 334 hanya 2 individu hibrid. Keberhasilan proses hibridisasi dibatasi oleh tingginya hambatan sistem reproduksi, misalnya proses hibridisasi dua jenis di atas terjadi apabila A. veitchii berlaku sebagai tetua betina dan A. homolepsi berlaku sebagai pendonor serbuk sari, dan tidak berlaku sebaliknya. Selain itu, keberhasilan hibrid terjadi karena kedekatan dua jenis secara taksonomi. Jenis yang berpotensi merupakan hasil interspesifik hibrid alam yang sedang dikembangkan di Balai Besar adalah Ulin dan Aquilaria spp. Informasi proses hibridisasi ini sangat dibutuhkan untuk strategi konservasi sehingga dapat menentukan kemurnian genetik jenis yang akan dikonservasi. Phylogenetik Analisis phylogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan secara genetik antar jenis. Analisis ini sering diaplikasikan untuk mengidentifikasi proses hybridisasi dimana menunjukkan karekater morphologi yang hampir sama akan tetapi digolongkan dalam jenis yang berbeda. Analisis ini juga digunakan untuk merevisi sistem taksonomi. Aplikasi phylogenetik dilakukan terhadap jenis konifer (Tsumura dkk. 2005), verifikasi hibridisasi antar jenis Pinus (Arens dkk. 1998). Konsep phylogenetik belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun demikian, di Balai Besar, menggunakan penanda RAPD, analisis klaster menunjukkan bahwa 4 jenis Acacia menjadi 2 klaster yaitu klaster 1 terdiri dari A. aulacocarpa dan A. crassicarpa, klaster 2 terdiri dari A. auriculiformis dan A. mangium (Widyatmoko dkk., 2010). Hasil ini menunjukkan bahwa

98

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

keberhasilan persilangan antar jenis akan meningkat apabila dilakukan terhadap jenis dalam satu klaster. Aspek Penelitian Genetika Molekuler Di Kebun Benih Penelitian molekuler breeding di kebun benih dilakukan untuk meningkatkan efisiensi managemen kebun benih dan strategi pemuliaan. Populasi pemuliaan harus mempunyai keragaman genetik yang tinggi dan luas untuk memenuhi kebutuhan seleksi pohon dalam suatu strategi pemuliaan. Konseptual hubungan keragaman genetik dan perolehan genetik digambarkan sebagai bentuk piramida terbalik dalam sebuah program managemen sumber benih (Burdon dan Low 1992). Piramida tersebut menggambarkan bahwa keragaman genetik pada populasi dasar harus luas untuk mengantisipasi penurunan tingkat keragaman genetik pada proses seleksi pohon dalam strategi pemuliaan. Nilai keragaman genetik akan menurun pada populasi uji pemuliaan namun nilai perolehan genetik meningkat. Demikian pula pada populasi produksi dimana nilai keragaman genetik menurun namun nilai perolehan genetik paling tinggi. Dari konsep keragaman genetik versus perolehan genetik tersebut maka muncul aspek penelitian di kebun benih/sumber benih yaitu analisis keragaman genetik karena sistem seleksi pohon secara intensif di kebun benih (Gomory 1992). Selain itu, untuk memaksimalkan perolehan genetik dengan status keragaman genetik yang ada maka muncul aspek penelitian lain yaitu, analisis sistem perkawinan, analisis gene flow, analisis tetua dan identifikasi klon di kebun benih klonal. Untuk mempercepat strategi pemuliaan atau merupakan shorcut proses pemuliaan pohon maka dilakukan aspek penelitian identifikasi gen pengatur sifat kuantitatif (QTL) melalui sruktural genome (seperti asosiasi peta QTL) maupun fungsional genome (seperti transcriptomik). Analisis Keragaman Genetik Menggunakan penanda RAPD, rata-rata keragaman genetik didalam populasi A. mangium di populasi pemuliaan kebun benih F1 termasuk dalam level rendah (He=0,129; Widyatmoko 1996). Dari 6 provenan dari PNG yang diuji, terbentuk 2 klaster, dimana klaster tersebut menunjukkan kedekatan genetik antar provenan. Sedangkan berdasarkan cp-DNA, terdapat 3 klaster populasi yaitu populasi Maluku, PNG dan Queensland (Rimbawanto 1999). Dari hasil tersebut diatas, untuk menjaga tingkat keragaman genetik A. mangium konsep infusi genetik dan hibridisasi bisa diterapkan. Sedangkan jarak genetik yang tinggi antar 3 provenan tersebut menunjukkan perbedaan struktur genetik ketiga provenan, sehingga untuk menjaga kemurniaan genetik, penanaman di kebun benih harus dipisahkan berdasarkan provenan.

99

| Bunga Rampai | 91 - 106

Analisis Sistem Perkawinan Berdasarkan data penanda SSR, biji dalam satu pod pada A. mangium di kebun benih merupakan hasil perkawinan sendiri (Isoda dkk. 2002). Hal ini menunjukkan adanya tendensi sistem perkawinan dengan sebaran serbuk sari yang tidak terlalu luas. Namun demikin, oleh karena informasi laju outcrossing belum diketahui, sehingga belum bisa dipastikan bahwa apakah sistem perkawinan didalam kebun benih tersebut merupakan sistem perkawinan yang random atau tidak. Sistem perkawinan dan gene flow diamati di kebun benih P. merkusii menggunakan penanda SSR (Nurtjahjaningsih 2009). Hasil menunjukkan bahwa laju outcrossing dikategorikan pada level yang tinggi, sedangkan gene flow bervariasi tergantung pada kondisi pembungaan. Aplikasi penelitian genetika molekuler untuk mengidentifikasi tetua unggul dilakukan di kebun benih A. mangium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon plus di generasi kedua uji keturunan A. mangium diperoleh dari sistem perkawinan acak/random dalam sinkronisasi pembungaan. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa pasangan tetua mempunyai tingkat kecocokan genetik yang tinggi (GCA tinggi) dan tingkat inbreeding depression rendah. Analisis Pengaruh Seleksi Pohon Salah satu kegiatan dalam pengelolaan kebun benih ialah seleksi, yang bertujuan untuk menghilangkan pohon yang mempunyai fenotip kurang baik. Kegiatan seleksi ini akan berpengaruh terhadap keragaman genetik kebun benih, dimana besar kecilnya perubahan keragaman genetik tergantung pada metode seleksi yang digunakan. Pada level nasional, belum ada laporan mengenai penelitian ini. Di Balai Besar, untuk mengetahui pengaruh dari kegiatan seleksi, digunakan 4 metode seleksi simulasi berdasarkan data tinggi, diameter dan kelurusan batang pohon-pohon yang terdapat di kebun benih A. mangium di Wonogiri, Jawa Tengah (Widyatmoko dkk., 2006). Perbedaan keempat metode tersebut terletak pada penentuan ranking pohon yang dipilih dan famili serta provenan yang diwakilinya. Analisis keragaman genetik dilakukan dengan menggunakan penanda AFLP. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa semakin ketatnya seleksi yang dilaksanakan secara nyata tidak memperlihatkan perbedaan yang besar pada keragaman genetik. Apabila keragaman genetik pada seleksi random diasumsikan 100%, maka pengaruh tiga metode seleksi yang lain hanya berkisar 4,8 sampai dengan 7,1%. Dengan kata lain, seberapa ketatnya seleksi yang dilaksanakan tidak memberikan perubahan keragaman genetik yang besar pada kebun benih A. mangium. Hasil ini tentunya sangat berguna untuk merencanakan strategi pemuliaan A. mangium di masa mendatang.

100

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

Identifikasi Klon Kebun benih klon dibangun sebagai salah satu sumber benih unggul. Namun demikian kesalahan dalam identifikasi klon bisa menurunkan kualitas benih yang dihasilkan. Oleh karena pembangunan kebun klon melibatkan bibit dan tenaga manusia yang banyak, proses pembangunan kebun klon sering mengalami kesalahan teknis seperti kesalahan penomoran klon pada saat perbanyakan maupun pengangkutan bibit dari persemaian ke lapangan. Menggunakan penanda DNA, verifikasi klon akan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi secara morphologi. Kesalahan identitas klon dideteksi di kebun benih P. thunbergii menggunakan penanda RAPD (Goto dkk.2002). Di level nasional, aplikasi identifikasi klon diaplikasikan pada Tectona grandis menggunakan penanda RAPD (Dwifany 2002, Cintamulya 2002). Identifikasi jenis, kultivar dan varietas juga dilakukan terutama tanaman pertanian dan perkebunan oleh BPPT (Marwoto dkk. 2010). Di Balai Besar, identifikasi klon dilakukan terhadap Pinus merkusii menggunakan penanda RAPD (Widyatmoko dkk. 1996). Identifikasi klon juga dilakukan terhadap 118 pohon plus Tectona grandis menggunakan penanda isozyme (Widyatmoko 1996). Menggunakan penanda SCAR identifikasi klon T. grandis memberikan hasil yang lebih akurat. Dari 16 klon jati yang diidentifikasi, ramet dari 4 klon menunjukkan ketidaksesuaian dengan klonnya (Rimbawanto dkk. 2002). Identifikasi klon sudah diaplikasikan terhadap penjualan bibit jati di pasaran, dimana menunjukkan pengelompokan yang jelas antara klon hasil kultur jaringan dan bibit non kultur jaringan (Yuskianti 2009). Identifikasi hybrid dilakukan terhadap hibridisasi buatan antara A. mangium dan A. auriculiformis menggunakan penanda SCAR (Sunarti dkk. 2008). Identifikasi Pathogen Jamur Analisis identifikasi pathogen jamur merupakan metode pengamanan hutan dari hama dan penyakit. Identifikasi jamur baik patogen (penyakit busuk akar) maupun non patogen (penghasil gaharu) bisa dideteksi menggunakan teknik PCR ITS (Polymerase Chain Reaction-Internal Transcribed Spacer) yang menunjukkan lokasi genome nukleous. Identifikasi sekuen hasil PCR jamur ini akan dibandingkan dan dicocokkan dengan referensi database, sehingga diketahui jenis jamur tersebut. Di level nasional, penelitian bio-security belum banyak dilaporkan. Namun demikian, Balai besar sudah menyusun database jamur penyebab busuk akar pada A. mangium. Ada beberapa metode untuk menguji keakuratan sekuen jamur yang diteliti dengan referensi

101

| Bunga Rampai | 91 - 106

database (Sulistyawati 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu infeksi penyakit Ganoderma terdapat variasi jenis dan jumlah jamur yang menyerang sel/ jaringan.

Dengan

ditemukannya jenis dan jumlah jamur Ganoderma, managemen penyakit pada Acacia akan lebih efektif. Peta Gen Pengatur Sifat Kuantitatif (Qtl) QTL (Quantitative traits loci) merupakan asosiasi statistik antara penanda DNA dan gene pengatur sifat kuantitatif, seperti pertumbuhan, produksi pulp, kualitas kayu maupun ketahanan terhadap penyakit. Aplikasi QTL adalah menyeleksi tanaman berdasarkan faktor genetik (MASMarker Assisted Selection) untuk menghasilkan benih unggul sehingga mempersingkat strategi pemuliaan. Sekuensial pekerjaan analisis QTL diawali dengan menscreening penanda DNA yang berasosiasi dengan QTL. Kemudian menggunakan penanda yang ada untuk menyusun peta genetik. Peta genetik ini akan menunjukkan lokasi gen penanda QTL. Setelah peta genetik tersusun maka seleksi tanaman dilakukan berdasarkan lokasi gen pengendali sifat (QTL). Penelitian QTL sudah banyak dilaporkan pada Pinus, Populus, Eucalyptus dan Picea. Kegiatan penelitian genome difokuskan pada identifikasi kandidat gen (65%) dan peta QTL (31%). Sedangkan target gen yang diteliti adalah gen pengatur sifat kayu, resisten terhadap ketahanan terhadap stress lingkungan, laju pertumbuhan, keragaman genetik dan karakter pembungaan. LIPI dan BPPT merupakan lembaga yang banyak terlibat dalam penelitian peta asosiasi QTL. Gen penanda sifat ketahanan terhadap lingkungan ekstrim telah diinisiasi pada Avicennia alba menggunakan penanda RAPD (Sinulingga 2002). Gen penanda sifat ketahanan penyakit pada P. falcataria sudah diinisiasi menggunakan pustaka complement DNA (cDNA) (Hartati 2002) dan menggunakan penanda RAPD dan AFLP (Sudarmonowati dkk. 2001). Peta genetik sifat tumbuh dilakukan pada Eucalyptus (Marwoto 2010). Sedangkan di tingkat Balai Besar, peta genetik terhadap sifat pertumbuhan A. mangium telah diinisiasi menggunakan penanda SSR. Hingga saat ini, inisiasi peta linkage genetik sudah tersusun dan beberapa penanda yang digunakan berasosiasi dengan sifat tumbuh. Kesimpulan Aspek penelitian bidang genetika molekuler di Balai Besar sudah sejalan dengan penelitian di tingkat internasional, bahkan dari hasil review yang dilakukan, ada indikasi penelitian di Balai

102

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

lebih maju dibandingkan level nasional. Misalnya saja dari segi penanda genetik yang digunakan; di institusi penelitian lain masih menggunakan analisis berbasis isoenzyme, sedangkan di Balai Besar sudah menggunakan penanda berbasis PCR, seperti RAPD, SCAR dan SSR, dimana penanda ini memberikan hasil yang lebih akurat. Namun demikian aspek-aspek ini masih dibatasi oleh tupoksi Balai Besar yaitu penelitian genetika molekuler untuk mendukung program konservasi sumber daya genetik dan program pemuliaan. Selain itu, masih adanya keterbatasan dalam mengulas hasil yang diperoleh, sehingga untuk memberikan impact yang nyata terhadap pembangunan kehutanan Indonesia, hasil penelitian harus lebih diulas dengan lebih cermat dan tajam.

Daftar Pustaka Adams, W.T., Joly, R.J. 1980. Allozyme studies in Loblolly pine sees orchards: Clonal variation and frequency of progeny due to self-fertilization. Silvae Genetica 29 (1):1-4 Aldrich, P.R., Glaubitz, J.C., Parker, G.R., Rhodes, O.E.JR., Michler, C.H. Genetic structure inside a declining red oak community in old-growth forest. Journal of Heredity 96(6): 627-634 Aldrich, P., Hamrick.,J.L. 1998. Reproductive Dominance of Pasture Trees in a Fragmented Tropical Forest Mosaic. Science 281: 103-105 Arens, P. Coop, H., Jansen, J., Vosman, B. 1998. Molecular genetic analysis of black poplar (Populus nigra L.) along Dutch rivers. Molecular Ecology 7: 11-18 Bradshaw, C.J.A., Isagi, Y., Kaneko, S., Brook, B.W.,Bowman, D.M.J.S., Frankham, R. 2007. Low genetic diversity in the bottlenecked population of endangered non-native banteng in northern Australia. Molecular Ecology 16:2998-3008 Bucci, G., Gonzalez-Martinez, S., Proveost, G.L., Plomion, C., Ribeiro, M.M. Sebastiani, F., Alia, R., Vendramin, G.G. 2007. Range-wide phylogeography and gene zones in Pinus pinaster Ait. Revealed by chloroplast microsatellite markers. Molecular Ecology 16: 2137-2153 Burdon, R.D. and Low C.B. 1992. Genetic survey of Pinus radiata. 6: wood properties: variation, heritabilities, and interrelationships with other traits. New Zealand Jurnal of Forestry Science, 22 (2/3), 228-245. El-Kassaby, Y.A., Fashler, A.M.K, Crown, M. 1989. Variation in fruitfulness in a Douglas-fir seed orchard and its effect on crop-management decisions. Silvae Genetica 38 (3-4): 113-121 Friedman, S.T., Adams, W.T. 1985. Levels of outcrossing in two Loblolly pine seed orchards. Silvae Genetica 34 (4-5): 157-162 Gailing, O. Wuehlisch, G.V. 2004. Nuclear markers (AFLPs) and chloroplast mikrosatellites differ between Fagus sylvatica and F. orientalis. Silvae Genetica 53 (3): 105-110 Gomory, D. 1992. Effect of stand origin on the genetic diversity of Norway spruce (Picea abies Karst.) Populations. Forest Ecology and Management 54: 215-223 Hardy, O.J., Vekemans, X. 1999. Iswolation by distance in a continous population: reconciliation between spatial autocorrelation analysis and population genetics models. Heredity 83: 145-154 Isoda, K., Shiraishi, S., Watanabe, S., Kitamura, K. 2000. Molecular evidence of natural hybridization between Abies veitchii and A. homolepsis (Pinaceae) revealed by chloroplast, mitochondrial and neclear DNA markers. Molecular Ecology 9: 1965-1974

103

| Bunga Rampai | 91 - 106

Isoda, K., Yasman, I., Rimbawanto, A., Prihatini, I. 2001. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees (ITTO) Isoda, K., Yuskianti, V., Rimbawanto, A. 2002. Proceeding Advances in genetic improvement of tropical tree species. JICA-FORDA. 1994. Annual Report 1993-1994 FTIP. No. 18 JICA-BP3BPTH. JICA-FORDA. 1996. Annual Report 1995-1996 FTIP. No. 49 JICA-BP3BPTH. Liu, TS. 1971. A monograph of the Genus Abies. Departement of Forestry, College of Agriculture, Natonal Taiwan University, Taipei. Prihatini, I., Rimbawanto, A., Isoda, K. 2001. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees (ITTO). Rimbawanto, A. 1999. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon 3(1): Rimbawanto, A. Isoda, K. 2001. In-Situ and Ex-Situ Conservation of Commercial Tropical Trees (ITTO). Rimbawanto, A. Isoda, K., Suharyanto. 2002. Proceeding Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species Rimbawanto, A., Shiraishi, S.,Watanabe, A., Widyatmoko, AYPBC. 1996. Tropical Plantation Establishment Improving Productivity Through Genetic Practices. Procceding International Seminar. Yogyakarta Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2005. Pengujian Asal Usul Bibit Jati dengan Marker DNA. Laporan Kegiatan 2005 Buku 2. p. 8-11 Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2006. Pengujian Asal Usul Bibit Jati dengan Marker DNA. Laporan Kegiatan 2006 Buku 2. p. 9-12 Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2006. Evaluasi Peran Faktor Genetik Terhadap Produktivitas Gaharu. Laporan Kegiatan 2006 Buku 2. p. 197-200 Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Sulistyawati, P. 2006. Distribusi Keragaman Genetik Populasi Santalum album Berdasarkan Penanda RAPD. Penelitian Hutan Tanaman 3 (3): 175-181 Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2007. Evaluasi Status Sumber Genetik Jenis-Jenis Prioritas/ Komersil/ Langka dengan Penanda DNA. Laporan Kegiatan 2007 Buku 2. p. 197-201. Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Nurtjahjaningsih, ILG. Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009a. Log Tracking Kayu Merbau Menggunakan Penanda DNA. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 118-121. Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Nurtjahjaningsih, ILG. Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009b. Evaluasi Peran Faktor Genetik Terhadap Produktivitas Gaharu. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 141-144 Smouse, P.E. and Peakall, R. 1999. Spatial autocorrelation analysis of individual multiallele and multilocus genetic structure. Heredity 82: 561-573 Suharyanto, Rimbawanto, A., Isoda, K. 2002. Proceeding Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species. Sulistyawati, P. 2004. Identifikasi Jenis Jamur dengan Teknik Molekuler. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 1(2): 58-66 Sulistyawati, P., Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A. 2005. Keragaman Genetik Empat Populasi Eusideroxylon zwageri Asal Kalimantan Berdasarkan Penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan: Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikulur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. p.383-396

104

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

Sunarti, S. Nirsatmanto, A., Widyatmoko, AYPBC., Setyaji, T., Yuskianti, V., Yuliastuti, D.S., Wahyunisari, Suwandi, Maryanti, A., Sumaryana, Triyanta, Y. 2008. Uji persilangan dalam jenis dan antar jenis pada jenis-jenis Acacia dan Eucalyptus. Laporan Kegiatan 2008. p. 71-73. Tsuda, Y. Ide, Y. 2005. Wide-range analysis of genetic structure of Betula maximowicziana, a long-lived pioneer tree species and noble hardwood in the cool temperate zone of Japan. Molecular Ecology 14: 3929-3941 Vos, P., Hogers, R., Bleeker, M., Reijans, M., Van De Lee, T., Hornes, M., Frijters, A. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Research 23: 4407-4414 Wallace, L.E. 2006. Spatial genetic structure and frequency of interspecific hybridization in Platanthera aquilonis and P. dilatata (Orchidaceae) occuring in sympatry. American Journal of Botany 93(7): 1001-1009 Weising, K. Gardner, R.C. 1999. A set of conserved PCR primers for the analysis of simple sequence repeat polymorphisms in chloroplats genomes of dicotyledonous angiosperm. Genome 42:9-19 Widyatmoko, AYPBC. 1996. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Nurtjahjaningsih, ILG., Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009. Variasi Genetik dan Kandungan Resin Kumarin (Coumarin) untuk Mendukung Penyediaan Benih Nyamplung (Calophyllum inophyllum) yang Berkualitas Sebagai Bahan Biofuel. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 168-172 Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Shiraishi, S., Watanabe, A. 1996. Tropical Plantation Establishment Improving Productivity Through Genetic Practices. Proceeding International Seminar Widyatmoko, AYPBC., Shiraishi, S., Nirsatmanto, A. Kawazaki, H. 2006. The Effect of Individual Selection for Genetic Diversity of Acacia mangium Seedling Seed Orchard Using AFLP Markers. Journal of Forestry Research 3: 2006 Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2008. Determinasi Keragaman Genetik Populasi Jenis Suren (Toona sinensis). Laporan Kegiatan 2008 Buku 2. p. 106-110 Widyatmoko, AYPBC., Afritanti, R. D., Taryono, Rimbawanto, A. 2009. Keragaman Genetik Lima Populasi Gyrinops verstegii di Lombok menggunakan Penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):1-10. Widyatmoko, Lejo, E. S. P., Prasetyaningsih, A., Rimbawanto, A. 2009. Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii menggunakan Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(2):1-10 Widyatmoko, AYPBC., Watanabe, A., Shiraishi, S. 2010. Study on Genetic Variation and Relationship among Four Acacia Species using RAPD and SSC Marker. Journal of Forestry Research 7(2): Williams, JGK., Kubelik, AR., Livak, KJ., Rafalski, JA., Tingey, SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitraty primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18:6531-6535

105

| Bunga Rampai | 91 - 106

106