Carpal Tunel Syndrome - Portal Garuda

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada pekerja industri. The National ... Berdasarkan laporan American Ac...

16 downloads 599 Views 362KB Size
CARPAL TUNEL SYNDROME Liza Salawati dan Syahrul Abstrak. Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada pekerja industri. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1990 memperkirakan 15-20% pekerja Amerika Serikat berisiko menderita Cummulative Trauma Disorders (CTD). Berdasarkan laporan American Academy of Orthopaedic Surgeons tahun 2007, kejadian CTS di Amerika Serikat diperkirakan 1-3 kasus per 1.000 subyek per tahun. Prevalensinya berkisar sekitar 50 kasus per 1000 subyek pada populasi umum. National Health Interview Study (NHIS) memperkirakan prevalensi CTS 1,55%. Sebagai salah satu dari 3 jenis penyakit tersering di dalam golongan CTD pada ekstremitas atas, prevalensi CTS 40%, tendosinovitis yang terdiri dari trigger finger 32% dan De Quervan’s syndrome 12%, sedangkan epicondilitis 20%. Lebih dari 50% dari seluruh penyakit akibat kerja di USA adalah CTD, dimana salah satunya adalah CTS. CTS dapat dicegah dan disembuhkan. Pencegahan yang dapat dilakukan seperti bekerja dengan prinsip ergonomi, yaitu posisi dan sikap kerja yang benar, perbaikan peralatan kerja, penyesuaian perabot kerja bagi pekerja dengan tubuh yang tidak sesuai dengan ukuran standar. Prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi risiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali. (JKS 2014; 1: 29-37) Kata kunci: Penyakit akibat kerja, CTS, CTD Abstract. Carpal Tunnel Syndrome (CTS) is disease that often occurs in industrial workers. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) estimates that 15-20% of 1990 U.S. workers at risk of suffering Cumulative Trauma Disorders (CTD). Based on the report of the American Academy of Orthopedic Surgeons in 2007, the incidence of CTS in the United States an estimated 1-3 cases per 1,000 subjects per year. Its prevalence ranges from about 50 cases per 1000 subjects in the general population. National Health Interview Study (NHIS) to estimate the prevalence of CTS 1.55%. As one of the 3 types most common disease in the upper extremity CTD group, the prevalence of CTS 40%, tendosinovitis comprising 32% of the trigger finger and de Quervan's syndrome 12%, while 20% epicondilitis. More than 50% of all occupational diseases in the USA are the CTD, one of which is the CTS. CTS can be prevented and cured. Prevention to do such work with the principles of ergonomics, the position and the right work attitude, work equipment repair, furniture adjustments for workers with a body of work that does not comply with the standard size. CTS prognosis with conservative or operative treatment is quite good, but the risk for recurrence remains suspected. In the event of recurrence, the procedure either conservative or operative treatment can be repeated again. (JKS 2014; 1: 29-37) Keywords: Occupational diseases, CTS, CTD

Pendahuluan Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian status kesehatan masyarakat pekerja dipengaruhi tidak hanya oleh1 bahaya kesehatan ditempat kerja dan Liza Salawati adalah Dosen Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Syahrul adalah Dosen Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

lingkungan kerja tetapi juga oleh faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor lainnya.1 Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) melalui Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) telah berkembang di berbagai negara baik melalui pedoman maupun standar. Untuk memberikan keseragaman bagi setiap perusahaan dalam menerapkan SMK 3 sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang penerapan SMK3. K3 di Indonesia diatur dalam UU No.1 tahun 1970, Peraturan Menteri

29

JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 14 Nomor 1 April 2014

Tenaga Kerja Nomor: Per 05/MEN/1996 Tanggal 12 Desember 1996 serta Keputusan Presiden Indonesia Nomor 22 Tahun 1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan kerja termasuk Carpal Tunel Syndrome.2 Carpal Tunnel Syndrome (CTS) timbul akibat nervus medianus tertekan di dalam carpal tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan, sewaktu nervus melewati terowongan tersebut dari lengan bawah ke tangan. CTS merupakan salah satu penyakit yang dilaporkan oleh badan statistik perburuhan di negara maju sebagai penyakit yang sering dijumpai di kalangan pekerja industri. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1990 memperkirakan 15-20% pekerja Amerika Serikat berisiko menderita Cummulative Trauma Disorders (CTD). Berdasarkan laporan American Academy of Orthopaedic Surgeons tahun 2007, kejadian CTS di Amerika Serikat diperkirakan 1-3 kasus per 1.000 subyek per tahun. Prevalensinya berkisar sekitar 50 kasus per 1000 subyek pada populasi umum. National Health Interview Study (NHIS) memperkirakan prevalensi CTS 1,55%. Sebagai salah satu dari 3 jenis penyakit tersering di dalam golongan CTD pada ekstremitas atas, prevalensi CTS 40%, tendosinovitis yang terdiri dari trigger finger 32% dan De Quervan’s syndrome 12%, sedangkan epicondilitis 20%. Lebih dari 50% dari seluruh penyakit akibat kerja di USA adalah CTD, dimana salah satunya adalah CTS.3 Anatomi Terowongan Karpal (Carpal Tunnel) Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament)

yang kuat dan melengkung di atas tulangtulang karpalia tersebut.4

Gambar 2.1 Anatomi terowongan karpal4 Di dalam terowongan tersebut terdapat saraf medianus yang berfungsi menyalurkan sensori ke ibu jari, telunjuk dan jari manis serta mempersarafi fungsi otot-otot dasar sisi dari ibu jari/otot tenar. Selain saraf medianus, di dalam terowongan tersebut terdapat pula tendontendon yang berfungsi untuk menggerakkan jari-jari. Proses inflamasi yang disebabkan stres berulang, cedera fisik atau keadaan lain pada pergelangan tangan, dapat menyebabkan jaringan di sekeliling saraf medianus membengkak. Lapisan pelindung tendon di dalam terowongan karpal dapat meradang dan membengkak. Bentuk ligamen pada bagian atas terowongan karpal menebal dan membesar. Keadaan tersebut menimbulkan tekanan pada serat-serat saraf medianus sehingga memperlambat penyaluran rangsang saraf yang melalui terowongan karpal. Akibatnya timbul rasa sakit, tidak terasa/kebas, rasa geli di pergelangan tangan, tangan dan jari-jari selain kelingking.5,6

30

Liza Salawati dan Syahrul, Carpal Tunel Syndrome

Gambar 2.2 Distribusi nervus medianus4 Definisi Carpal Tunnel Syndrome Carpal tunnel syndrome adalah gangguan umum dengan gejala yang melibatkan nervus medianus. Nervus medianus rentan terhadap kompresi dan cedera di telapak tangan dan pergelangan tangan, di mana dibatasi oleh tulang pergelangan tangan (karpal) dan ligamentum karpal transversal. CTS merupakan kombinasi dari kelainan jari, tangan dan lengan dengan gejala yang mencerminkan kompresi sensoris atau motoris, paling sering terjadi pada orang dewasa di atas 30 tahun, khususnya perempuan.7 Etiologi dan Faktor Risiko Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya risiko menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS.4 Mekanisme patofisiologis terjebaknya saraf medianus adalah berbeda antara pekerja dan bukan pekerja. Penyebab CTS menjadi 3 faktor, yaitu: (1) faktor intrinsik, (2) faktor penggunaan tangan (penggunaan tangan yang berhubungan dengan hobi,

dan penggunaan tangan yang berhubungan dengan pekerjaan), (3) faktor trauma.5 Faktor intrinsik terjadinya CTS adalah sekunder, karena beberapa penyakit atau kelainan yang sudah ada. Beberapa penyakit atau kelainan yang merupakan faktor intrinsik yang dapat menimbulkan CTS adalah: (a) perubahan hormonal seperti kehamilan, pemakaian hormon estrogen pada menopause, dapat berakibat retensi cairan dan menyebabkan pembengkakan pada jaringan di sekeliling terowongan karpal, (b) penyakit/keadaan tertentu seperti hemodialisis yang berlangsung lama, penyakit multiple myeloma, Walderstroom’s macroglobulinemia, limphoma non Hodgkin, acromegali, virus (human parvovirus), pengobatan yang berefek pada sistem imun (interleukin 2) dan obat anti pembekuan darah (warfarin), (c) kegemukan (obesitas), (d) keadaan lain seperti merokok, gizi buruk dan stres, (e) adanya riwayat keluarga dengan CTS, dan (f) jenis kelamin, hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita mempunyai risiko mendapat CTS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan laki-laki. CTS yang terjadi oleh karena penggunaan tangan karena hobi atau pekerjaan adalah sebagai akibat inflamasi/pembengkakan tenosinovial di dalam terowongan karpal. Penggunaan tangan yang berhubungan dengan hobi, contohnya adalah pekerjaan rumah tangga (menjahit, merajut, menusuk, memasak), kesenian dan olah raga5. CTS yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi kegiatan yang membutuhkan kekuatan, penggunaan berulang atau lama pada tangan dan pergelangan tangan, terutama jika faktor risiko potensial tersebut muncul secara bersamaan misalnya:5,9 1) Penggunaan tangan yang kuat terutama jika ada pengulangan, 2) penggunaan tangan berulang dikombinasikan dengan beberapa unsur kekuatan terutama untuk waktu yang lama, 3) konstan dalam mencegkeram benda, 4) memindahkan atau menggunakan tangan dan pergelangan

31

JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 14 Nomor 1 April 2014

tangan terhadap perlawanan atau dengan kekuatan, 5) menggunakan tangan dan pergelangan tangan untuk getaran teratur yang kuat, 6) tekanan biasa atau intermiten pada pergelangan tangan. Diagnosis 1. Anamnesis Gambaran klinis CTS adalah nyeri di tangan atau lengan terutama pada malam hari atau saat bekerja, pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar, hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus, parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus, kondisi ini sering bilateral.10 Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus, walaupun kadang-kadang dirasakan 4 mengenai seluruh jari-jari. Gejala CTS terutama muncul setelah bekerja atau pada malam hari. Gejala nokturnal menonjol pada sebagian besar pasien. Pasien sering terbangun di malam hari atau pagi hari dan menjabat tangan mereka untuk meringankan gejala ini. Lokasi gejala ini dapat dilaporkan sebagai keterlibatan seluruh tangan atau pada permukaan palmar ibu jari dan dua atau tiga jari.9 Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Kelemahan dari tangan atau menjatuhkan benda merupakan tandatanda yang mungkin menunjukkan kerusakan otot. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus.4,9,11

2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan pada fungsi motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah sebagai berikut:4,11 a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerakgerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud. b. Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar. c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau menyulam. d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS. e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila selama satu menit parestesia bertambah hebat, maka tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

32

Liza Salawati dan Syahrul, Carpal Tunel Syndrome

-

-

Gambar 2.3 Phalen’s test12 f. Torniquet test. Dilakukan pemasangan torniquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa. g. Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

Gambar 2.4 Tinel’s sign12 3. Pemeriksaan Penunjang a. Elektrodiagnostik Elektrodiagnostik meliputi nerve conduction studies (NCS) dan elektromiografi (EMG). Adapun indikasi pemeriksaan elektrodiagnostik adalah sebagai berikut:13 Pasien yang tidak ada perbaikan dengan penanganan konservatif pertimbangan pembedahan ntuk menyingkirkan kelainan radikulopati ataupun saraf terjepit lainnya.

Nerve Conduction Studies (NCS) Mungkin sumber lokasi dari gejala/tanda CTS dan konfirmasi diagnosis klinis Mungkin normal pada sebagian kecil kasus CTS Jika NSC normal, diagnosis CTS harus didukung dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang akurat.7.13

Temuan yang terdapat pada CTS meliputi:7 - Kelainan masa laten atau konduksi sensoris atau motoris distal median melalui daerah carpal tunnel. - Perubahan elektromiografi dalam eminensia tenar dengan tidak ditemukan kelainan proksimal. - Pedoman nilai normal untuk batas atas latensi:Latensi motorik distal median 4.2 msec/8 cm, Latensi sensorik distal median (Pergelangan-jari) 3,5 cm sec/14 cm, Latensi intrapalmar median (Palmar-pergelangan tangan) 2,2 msec /8cm, Perbedaan segmental median 0,4msec/cm. Catatan: suhu tangan harus dikontrol (86-93oF/30-34oC). Suhu dingin dapat memperpanjang masa laten dan memperlambat kecepatan konduksi saraf. Electromyographers dapat menggunakan jarak dan/atau nilai-nilai masa laten yang berbeda, data normatif ini harus tersedia dari laboratorium untuk menetapkan kriteria untuk CTS. b. Elektromiografi (EMG)7 - Diindikasikan jika ada dugaan perubahan neurogenik akut/kronis. - Untuk membedakan CTS dengan jebakan saraf proksimal, radikulopati, atau miopati. - Sebagian besar pasien dengan CTS didokumentasikan oleh pengujian elektrodiagnostik tidak membutuhkan tes NCS/EMG ulang secara rutin atau berkala. - Pada dugaan CTS dengan hasil pemeriksaan normal, pengujian dinamis (pra dan pasca latihan)

33

JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 14 Nomor 1 April 2014

-

-

-

simulasi pekerjaan/non kerja dapat membantu. Pemeriksaan ulang pada interval yang tepat (3-4 bulan) mungkin menunjukkan perkembangan dari abnormalitas konduksi. Pengujian tambahan mungkin diindikasikan pada kasus pasca operasi yang tetap bergejala. Individu dengan diagnosa CTS di satu sisi mungkin memiliki NCS yang abnormal pada sisi berlawanan. Pembedahan tidak boleh dilakukan kecuali pada kasus yang terdapat gejala.

c. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium umumnya diperlukan untuk menyingkirkan penyakit yang mendasari. Pasien diskrining pada pemeriksaan awal untuk tanda-tanda atau gejala diabetes, hipotiroidisme, kehamilan, artritis, dan penyakit inflamasi terkait. Pemeriksaan ini jarang diindikasikan kecuali pasien dengan gejala/tanda menjamin laboratorium khusus.9 d. Pencitraan: X-ray, CT, MRI, USG Umumnya pemeriksaan ini tidak diindikasikan kecuali pada trauma akut, deformitas tulang. Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi.4,7 Terapi Selain ditujukan langsung terhadap CTS, terapi juga harus diberikan terhadap keadaan atau penyakit lain yang mendasari terjadinya CTS. 1. Terapi langsung terhadap CTS a. Terapi konservatif:4,9 1) Istirahatkan pergelangan tangan, 2) Obat anti inflamasi non steroid, 3) Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai

dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu, 4) lnjeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg 8 atau metilprednisolon 20 mg 14 atau 40 mg 12 diinjeksikan ke dalam terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan, 5) Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika, 6) Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan, Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar, 7) Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan. b. Terapi operatif Tindakan operasi pada CTS disebut neurolisis nervus medianus pada pergelangan tangan. Operasi hanya dilakukan pacta kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi konservatif atau hila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otototot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan hila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otototot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya 9,13 sensibilitas yang persisten. Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik

34

Liza Salawati dan Syahrul, Carpal Tunel Syndrome

operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada safar. Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka.4 2. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan (Rambe, 2004). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara lain:91) Usahakan agar pergelangan tangan selalu dalam posisi netral, 2) Perbaiki cara memegang atau menggenggam alat benda. Gunakanlah seluruh tangan dan jari-jari untuk menggenggam sebuah benda, jangan hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk, 3) Batasi gerakan tangan yang repetitif, 4) Istirahatkan tangan secara periodik, 5) Kurangi kecepatan dan kekuatan tangan agar pergelangan tangan memiliki waktu untuk beristirahat, 6) Latih otot-otot tangan dan lengan bawah dengan melakukan peregangan secara teratur. Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering mendasari terjadinya CTS seperti : trauma akut maupun kronik pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering dihemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofise, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal.4

Pencegahan Untuk pencegahan, hal yang perlu dilakukan adalah penerapan prinsip-prinsip ilmu ergonomi pada pekerjaan, peralatan kerja, prosedur kerja dan lingkungan kerja sehingga dapat diperoleh penampilan pekerja yang optimal. Rotasi kerja pada jangka waktu tertentu dapat dilakukan, yaitu dengan merotasi pekerja pada tugas dengan risiko yang berbeda. Penyesuaian peralatan kerja dapat meminimalkan masalah yang terjadi contohnya penyesuaian peralatan yang ergonomik kepada pekerja. Beberapa tahun terakhir telah dikembangkan pekerjaan sedemikian rupa, sehingga pekerja tidak perlu bekerja dengan rangsangan berulang pada tangan dan pergelangan tangan. Untuk mengurangi efek beban tenaga pada pergelangan maka alat dan tugas seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi gerakan menggenggam atau menjepit dengan kuat. Perancangan alat kerja contohnya tinggi meja kerja yang dipakai sesuai dengan ukuran antropometri pekerja, penggunaan alat pemotong atau gunting yang tajam sehingga mengurangi beban pada pergelangan tangan dan tangan.6 Pekerjaan dengan memegang suatu alat seperti pensil, stir mobil, atau alat lain untuk waktu yang lama, maka pekerja harus menggenggam alat tersebut senyaman mungkin. Pegangan alat-alat seperti pemutar sekrup, peraut atau peruncing dan penahannya dapat dirancang sedemikian rupa sehingga kekuatan genggaman dapat disalurkan melalui otot di antara dasar ibu jari dan jari kelingking, tidak hanya pada bagian tengah telapak tangan. Alat dan mesin seharusnya dirancang untuk meminimalkan getaran. Pelindung alat seperti pemakaian shock absorbers, dapat mengurangi getaran yang ditimbulkan.6 Postur kerja yang baik sangat penting untuk mencegah CTS, contohnya pada pengetik dan pengguna komputer. Operator keyboard seharusnya duduk dengan tulang belakang bersandar pada kursi dengan bahu rileks, siku ada di samping tubuh dan pergelangan lurus.

35

JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 14 Nomor 1 April 2014

Kaki menginjak lantai pada footrest. Materi yang diketik berada pada ketinggian mata sehingga leher tidak perlu menunduk saat bekerja. Usahakan leher lentur dan kepala tegak untuk mempertahankan sirkulasi dan fungsi saraf pada lengan dan tubuh. Buruknya desain perabot kantor adalah penyumbang utama terhadap postur buruk. Kursi harus dapat diatur tingginya dan mempunyai sandaran.9,13 Latihan berguna bagi pekerja yang bekerja dengan gerak berulang. Latihan pada tangan dan pergelangan tangan yang sederhana selama 4-5 menit setiap jam dapat membantu mengurangi risiko berkembangnya atau mencegah CTS. Peregangan dan latihan isometrik dapat memperkuat otot pergelangan tangan dan tangan, leher serta bahu, sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah tersebut. Latihan harus dimulai dengan periode pemanasan yang pendek disertai periode istirahat dan bila mungkin menghindari peregangan berlebihan pada otot tangan dan jari-jari.13 Memberlakukan periode istirahat saat bekerja dan memodifikasi pekerjaan dapat membantu memecahkan permasalahan CTS. Pemakaian alat pelindung diri berupa sarung tangan khusus yang terbuat dari karet elastis, agar dapat menyangga dan membatasi pergerakan pergelangan 6 tangan. Prognosis Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif pada umumnya prognosis baik. Secara umum prognosis operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya melakukan pada penderita yang sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap. Perbaikan yang paling cepat dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan sensorik. Biasanya perbaikan motorik dan otot- otot yang mengalami atrofi baru diperoleh kemudian. Keseluruhan proses perbaikan CTS setelah operasi ada yang sampai memakan waktu 18 bulan.4 Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini:4 1).

Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal, 2) Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus, 3) Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik. Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia dan gangguan trofik. Sekalipun prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi risiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.4 Kesimpulan Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan neuropati jebakan yang sering ditemukan. Sindroma ini terjadi karena penyempitan pada terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut maupun akibat kelainan pada tulang-tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan terhadap nervus medianus di pergelangan tangan. Mekanisme terjebaknya saraf medianus berbeda antara pekerja dan bukan pekerja. Kebanyakan penulis berpendapat bahwa CTS mempunyai hubungan yang erat dengan penggunaan tangan secara repetitif dan berlebihan. Gejala awal CTS umumnya hanya berupa gangguan sensorik seperti rasa nyeri, parestesia, rasa tebal dan tingling di daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus medianus. Gejala-gejala ini umumnya bertambah berat pada malam hari dan berkurang bila pergelangan tangan digerak-gerakkan atau dipijat. Pada penderita yang sudah lama terkena dapat ditemukan gejala motorik dan terkadang terdapat hipotrofi tenar. Diagnosa CTS dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik yang meliputi berbagai

36

Liza Salawati dan Syahrul, Carpal Tunel Syndrome

macam tes dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan radiologis, laboratorium dan terutama pemeriksaan neurofisiologi. Penatalaksanaan CTS dibagi atas dua macam, yaitu terapi langsung terhadap CTS dan terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS. Terapi terhadap CTS dikelompokkan lagi menjadi terapi konservatif dan terapi operatif. Kedua pilihan pengobatan konservatif dan operatif tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Pada umumnya, kelainan ini dapat dicegah dan disembuhkan. Pencegahan yang dapat dilakukan seperti bekerja dengan prinsipprinsip ergonomi yang baik, yaitu posisi dan sikap kerja yang benar, perbaikan peralatan kerja, penyesuaian perabot kerja bagi pekerja dengan tubuh yang tidak sesuai dengan ukuran standar. Prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi risiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali. Daftar Pustaka 1. Depkes RI. Undang Undang Kesehatan Republik Indonesia Tentang Kesehatan. 2009. 2. Efendi H. Manajemen Sumber Daya Manusia Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: Grasindo. 2002. 3. Kurniawan B, Jayanti S, Setyaningsih Y. Faktor Risiko Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. 2008.

4. Rambe AS. Sindrom Terowongan Karpal (Carpal Tunnel Syndrome); 2004. Available at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456 789/3459/1 penysaraf-aidil2.pdf. Diakses pada tanggal 7 Mei 2013 5. Davis LE, Molly KK, Jessica LS. Carpal tunnel syndrome in Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing; 2005. 6. Tana, Lusyanawati. Carpal Tunnel Syndrome pada Pekerja Garmen di Jakarta. Puslitbang Pemberantasan Penyakit. 2004. vol. 32, no. 2. P:73-82. 7. Ross SK. Carpal Tunnel Syndrome: Diagnosis and Treatment Guideline. USA: State of Oregon Department of Consumer & Business Services Workers’ Compensation Division. 1997. 8. Sidharta, P. Neurologi Dasar Klinis. Jakarta: Dian Rakyat. 2004. 9. Franklin GM, Javaher SP, Kearney RN. Medical Treatment Guidelines WorkRelated Carpal Tunnel Syndrome Diagnosis and Treatment Guideline. Washington: Washington State Department of Labor and Industries. 2009. 10. Ginsberg L. Lecture Notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga. Jakarta. 2008. 11. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2010. 12. Somaiah A, Spence RAJ. Carpal tunnel syndrome; 2008. Ulster Med J; 77(1) 6-17 13.Fisher B, Gorsche R, Leake P. Diagnosis, Causation and Treatment of Carpal Tunnel Syndrome: An Evidence-Based Assessment; 2004. Available at: http://www.wcb.ab.ca/pdfs/providers/CTS_ Bkg_Paper.pdf. Diakses pada tanggal 7 Mei 2013.

37