CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN SENI

1 15 CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA : SEBUAH REFLEKSI PC. S. Ismiyanto * Abstrak Pendekatan CTL, selain untuk pengemban...

12 downloads 606 Views 73KB Size
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA : SEBUAH REFLEKSI PC. S. Ismiyanto * Abstrak Pendekatan CTL, selain untuk pengembangan kreativitas dan kemandirian anak, diharapkan pula dapat mengatrol kreativitas dan keprofesionalan guru. Kedua, agar dalam pembelajaran tidak lagi berorientasi pada content transmission model tetapi beranjak ke knowledge based environment, sehingga berpeluang untuk survive dan excel. Pendekatan CTL yang knowledge based environment dapat membantu anak mengkaitkan antara pengetahuan yang dimiliki dengan situasi-kondisi nyata. Anak dapat belajar dari dan melalui mengalami serta mengkonstruksi pengetahuan baru yang bermakna baginya. Agar CTL dapat efektif, dalam proses pembelajaran perlu diperhatikan prinsip-prinsipnya.Pendekatan CTL dalam pembelajaran seni rupa pada hakikatnya bukan pendekatan baru karena art as a way of knowing, yang pada kegiatannya telah juga menuntut peserta didik menjadi problem solver; melakukan observasi, inkuiri, refleksi, dan membuat simpulan serta menyajikan hasil belajarnya. Kata kunci : Pendekatan CTL, meaningfull learning, knowledge based environment, perbaikan pendidikan, CTL dalam seni rupa. Pendahuluan Fenomena global dan perkembangan IPTEKS berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; inklusif dunia pendidikan. Ketidakpastian karena perkembangan dan perubahan yang terus-menerus menuntut adanya perbaikan sistem pendidikan. Perbaikan sistem pendidikan, sesuai dengan kebijaksanaan dasar bidang pendidikan meliputi: (1) demokratisasi pendidikan, (2) profesionalisasi, dan (3) pengembangan kurikulum (Dirdikmenum, 2004). Ketiga kebijaksanaan bidang pendidikan tersebut merupakan suatu kesatuan logis yang harus dilaksanakan secara simultan. Agar pendidikan atau pembelajaran dapat berlangsung demokratis, diperlukan tenaga-tenaga kependidikan yang profesional dan kurikulum yang memungkinkan terciptanya situasi dan kondisi yang diharapkan. Dalam hal pengembangan kurikulum, pemerintah Indonesia memilih Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang penekanannya pada pencapaian kompetensi tertentu dan pembekalan kecakapan hidup (life skill) kepada peserta didik. Dalam kerangka perwujudannya diperlukan pendekatan pembelajaran yang memadai bagi pengembangan aspek-aspek manusia Indonesia seutuhnya yang bermuara pada peningkatan dan pengembangan life skill yang diwujudkan melalui

*

Penulis adalah Magister Pendidikan dan dosen pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Semarang

115

pencapaian kompetensi, agar peserta didik mampu bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang (lihat Prinsip-prinsip Pengembangan dan Pelaksanaan KBK, Depdiknas 2003). Pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, adalah pendekatan yang mampu membekali anak dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan jangka panjang dan lebih bermakna bagi anak (meaningfull learning) dan menyenangkan (joyfull learning). Pendekatan tersebut dikenal dengan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning – CTL). Pendekatan pembelajaran tersebut secara konsekuen harus dilaksanakan oleh para guru (dosen, pelatih pendidikan) pada semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, tanpa kecuali. Tulisan ini mencoba memaparkan mengenai “apa” dan “mengapa” Contextual Teaching and Learning dan “bagaimana” implementasinya dalam pembelajaran seni rupa di sekolah. Rasional Penggunaan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya sadar untuk membantu perkembangan anak. Oleh karena itu dalam proses dan upaya membantu; anak-anak hendaknya diberikan kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri yang unik untuk berkreasi, berimajinasi, bereksplorasi, bereksperimen sesuai dengan tingkat kematangan dan menjadi pebelajar sendiri. Dengan kata lain, peserta didik harus dimanusiakan dan dihormati sebagai manusia. Dalam hal ini Guardini (dalam Sindhunata, 2000: 9) mengatakan, “Anak-anak itu ada bukan hanya agar mereka akan menjadi dewasa, tetapi juga, atau bahkan pertama-tama, agar mereka menjadi mereka, artinya agar mereka menjadi anak, dan sebagai anak mereka adalah manusia”. Agaknya harapan itu tinggal harapan, pada kenyataannya penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran di sekolah, peserta didik hanya menjadi “pendengar” dan “penghafal” serta harus menjadi “penurut”. Jarang, bahkan mungkin belum ada guru yang dalam pembelajaran memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas kreatif dalam kerangka pengembangan belajar mandiri. Dalam situasi dan kondisi pendidikan atau pembelajaran yang selama ini berlangsung, peranan guru tidak lebih hanya sebagai operator kurikulum formal (Official Curriculum), bekerja berdasarkan juklak dan juknis implementasi kurikulum formal, tidak kreatif dan hanya sebagai implementasi Content Transmission Model, sehingga tidak akan dapat memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan pendidikan secara utuh. Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran di sekolah yang berorientasi ke depan yang sarat dengan perubahan, adanya ketidakpastian yang pasti sebagai akibat percepatan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni (IPTEKS) dan globalisasi. Untuk perwujudannya Raka Joni (dalam Sindhunata, 2000: 38) mengusulkan agar pembelajaran dapat memberikan peluang untuk survive dan excel, yaitu pembelajaran yang bersifat knowledge-based environment yang berlingkup global.

116

Pembelajaran yang knowledge-based environment, artinya proses pembelajaran tersebut harus mampu memfasilitasi terasahnya kepekaan, kemandirian, dan rasa tanggung jawab peserta didik dan sekaligus mendorongnya untuk mengkonstruksikan pengetahuan sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan kata lain strategi pembelajaran tersebut harus dapat lebih memberdayakan peserta didik. Dalam kerangka memberdayakan peserta didik agar terasah kepekaan, kemandirian, dan rasa tanggung jawabnya; Contextual Teaching and Learning yang dilandasi filsafat konstruktivisme, menjadi alternatifnya (baca Dikdasmen, 2002 dan Budimansyah, 2002: 5). Kaum konstruktivis berpikir bahwa ilmu-ilmu pengetahuan bukanlah hanya semata-mata kumpulan hukum atau daftar fakta, tetapi ciptaan manusia dengan cara mengabstraksikan kenyataan melalui percobaan-percobaan. Baattencourt (dalam Ismiyanto, 1998: 224) mengemukakan bahwa abstraksi dan teoresasi melalui proses-proses penemuan yang imajinatif, tidak cukup hanya dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia (objek), yaitu dunia kenyataan dan dunia pikiran, dan untuk menjadikannya sebagai ilmu pengetahuan diperlukan proses konstruksi imajinatif (proses kreatif). Suparno (dalam Ismiyanto, 1998: 224) mengemukakan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar (peserta didik) dan pengetahuan lebih dipandang sebagai suatu proses konstruksi yang secara terus-menerus berkembang dan berubah-ubah. Pengetahuan merupakan sebuah konstruksi kognitif kenyataan melalui proses konstruksi imajinatif seseorang. Ditegaskan oleh Glasersfeld (dalam Suparno, 1997: 19), bahwa ilmu pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang pada waktu yang bersangkutan berinteraksi dengan lingkungannya. Paparan di atas menjelaskan bahwa kaum konstruktivis menyangkal adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. Transfer pengetahuan tidak mungkin terjadi karena diyakini bahwa setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya sendiri. Glasersfeld dan Kitchener (dalam Suparno, 1997: 21) mengemukakan bahwa gagasan kaum konstruktivis mengenai pengetahuan adalah: (a) pengetahuan bukan sebagai gambaran kenyataan, (b) subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang penting demi pengetahuan, dan (c) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi manusia. Artinya realitas tidak berdiri sendiri, tetapi berupa kenyataan sejauh dipahami oleh manusia yang menangkapnya. Shapiro (dalam Suparno, 1997) mengemukakan ada banyak kenyataan dan masing-masimg bergantung pada kerangka dan interaksi antara pengamat (peserta didik) dengan objeknya. Tegasnya kaum konstruktivis berpandangan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksinya dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Kebenaran pengetahuan diukur dari peranan atau kegunaannya dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan kehidupan.

Hakikat Contextual Teaching and Learning

117

Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang diharapkan dapat membantu guru atau peserta didik mengaitkan bahan ajar dengan situasi-kondisi nyata, sekaligus dapat mendorong peserta didik untuk membuat asosiasi-asosiasi antara pengetahuan (pengalaman belajar) yang telah dimiliki dengan aplikasinya di dalam kehidupan seharihari (baca juga Dikdasmen, 2002). Pemahaman di atas menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran, diperlukan guru yang kreatif dan mempunyai kepekaan tehadap perkembangan lingkungan, sehingga mampu merancangkembangkan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan (baru) dan menemukannya di dalam interaksinya dengan lingkungannya. Interaksi dengan lingkungan tersebut, bukan semata-mata berhubungan dengan lingkungan dan untuk mengerti tentang lingkungan itu. Menurut Dewey (Soelaiman, 1979: 45) dalam interaksi dan mengalami, berarti peserta didik melakukan sesuatu terhadap lingkungannya dan mengalami akibat dari perbuatannya itu. Dengan demikian berarti peserta didik memakai atau mengubah lingkungannya, sekaligus belajar mengenai lingkungan tersebut melalui akibat-akibat dari tindakannya. Peserta didik belajar melalui mengalami, mengkonstruksi pengetahuan, dan sekaligus memberi makna pada pengetahuan tersebut. Tegasnya dalam pembelajaran, anak menjadi “pusat” (child centered curriculum). Peranan guru terbatas pada upaya menciptakan situasi-kondisi yang kondusif, sehingga mampu memunculkan kreativitas, inisiatif, dan kepercayaan diri peserta didik. Guru sebagai fasilitator, motivator, manager, assesor, dan evaluator kegiatan pembelajaran; guru bukan sebagai show of force a la spoonfed system.

Prinsip-prinsip Implementasi Contextual Teaching and Learning Dipilihnya Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai pendekatan adalah untuk memberdayakan peserta didik dalam dan selama proses belajar, untuk berubah dari pembelajaran yang berupa Content Transmission Model ke pembelajaran yang bersifat Knowledge Based Environment, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik (meaningfull learning). Agar tidak terjebak pada pola-pola pembelajaran yang enduring pattern, patut disimakcermati prinsip-prinsip CTL berikut : a. Peserta Didik sebagai Pribadi Berpotensi Artinya dalam pembelajaran, peserta didik harus ditempatkan sebagai pribadi yang mampu mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu potensi kreatif, kepekaan, dan rasa tanggung jawabnya harus diberdayakan selama dan dalam pembelajaran.

118

b. Guru sebagai Fasilitator dan Motivator Dalam proses pembelajaran, guru diharapkan mampu memfasilitasi dan memotivasi peserta didik, agar tercipta situasi-kondisi belajar yang kondusif. c. Belajar adalah Mengalami Mengalami, menurut Dewey (dalam Soelaiman, 1979: 45) adalah tidak semata-mata hanya berhubungan dengan lingkungannya, tetapi terjadi aksi timbal-balik antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga memperoleh kepuasan dan keseluruhan potensinya dapat berkembang. d. Belajar adalah Memecahkan Masalah Melalui kegiatan pemecahan masalah (problem solving), berarti peserta didik dilatih untuk berpikir ilmiah. Ketika berhadapan dengan situasi nyata, anak berlatih untuk merumuskan masalah, mengamati (observasi), menganalisis dan menyusun laporan, dan mengkomunikasikan hasil karyanya. Dengan demikian peserta didik dilatih untuk melakukan investigasi dan menemukan (inkuiri). e. Belajar adalah Aktif Dalam pembelajaran, peserta didik harus aktif berpikir, merasakan, dan melakukan, sehingga seluruh potensinya berkembang dan terjadi proses belajar pada diri anak. Peserta didik menjadi aktor utama dan sekaligus pusat perhatian dalam pembelajaran. Prakarsa belajar ada pada peserta didik, yang ditunjukkan dalam kegiatan curah pendapat (brain storming) dan sharing; yang pada gilirannya dapat menumbuhkembangkan sikap kritis dan kreativitas anak. f. Masyarakat Belajar Masyarakat belajar mengandung arti bahwa hasil belajar diperoleh dari bekerjasama dengan orang lain, belajar dalam kelompok-kelompok belajar, sehingga terjadi komunikasi timbal-balik dan saling belajar (baca juga Dikdasmen, 2002). g. Transfer Belajar Menyimak prinsip-prinsip terdahulu, dapat pula dikatakan bahwa CTL adalah pendekatan pembelajaran yang mengupayakan terjadinya transfer belajar. h. Child Centered Curriculum and Spiral Curriculum CTL merupakan pendekatan pembelajaran yang mengadopsi dan mengadaptasikan dua model kurikulum, yaitu Child Centered Curriculum (CCC) dan Spiral Curriculum (SC). Dalam pembelajaran, peserta didik harus aktif mencari, menemukan, dan mengkonstruksi pengetahuan. Pengetahuan tersebut dicari, ditemukan, dan dikonstruksi dari konteks yang terbatas (sempit) dan dari sedikit demi sedikit diperluas. i. Berbagai Media Belajar dan Model Artinya dalam CTL dapat digunakan berbagai media pembelajaran juga model dalam rangka membantu belajar para peserta didik. j. Refleksi

119

Untuk merespons pengetahuan yang baru, peserta dididk dapat menggunakan pengetahuan atau pengalaman yang lama atau dapat pula disebut sebagai upaya untuk membuat asosiasi-asosiasi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru diperoleh. Refleksi biasanya dilakukan pada akhir pembelajaran dan dapat berupa: diskusi, pencatatan, pendeskripsian, pelaporan, dan lain-lain (Dikdasmen, 2002). k. Berbagai Sumber Belajar Pendekatan CTL menggunakan berbagai sumber belajar. Mulai dari buku, rekaman, peristiwa sosial-budaya, fenomena lingkungan, flora-fauna, manusia, dan lain-lain yang relevan dengan topik pembelajaran. l. Penilaian Autentik Artinya penilaian tersebut dilakukan selama dan sesudah pembelajaran berlangsung, sehingga dapat diperoleh data tentang proses dan perkembangan belajar anak dan apabila terjadi kemacetan belajar segera dapat diupayakan bantuan kepada anak, agar mampu belajar (learning how to learn). Kemajuan belajar anak dinilai dari proses, bukan hanya dari hasil ulangan. Dengan demikian penilaiannya meliputi aspek penampilan (performance) dan kemampuan/ keterampilan (competency) secara kontinu dan integral-komprehensif (baca juga Budimansyah, 2002: 107). Inti penilaiannya adalah “apakah anak belajar ?” bukan “apa yang telah diketahui ?”, kemampuan anak dinilai dengan berbagai cara dan tidak hanya dari hasil ujian/ ulangan (Dikdasmen, 2002 dan Budimansyah, 2002: 107).

Implementasi CTL dalam Pembelajaran Seni Rupa Pembelajaran seni rupa sebagai kegiatan dan sekaligus sebagai media belajar bagi peserta didik patut diupayakan pendekatan yang kondusif bagi penemuan pengetahuan. Jenkinson (Ross, 1978: 138) mengemukakan bahwa art as a way of knowing dan bukan hanya sebagai sebuah alternatif mencari pengetahuan, kegiatan seni rupa sebagai cara utama melakukan penelitian dalam rangka menciptakan pengetahuan baru. Dalam rangka perwujudannya diperlukan rancangan dan pendekatan pembelajaran yang mampu mengaktifkan peserta didik dalam proses belajar dengan memperhatikan keseluruhan aspek kepribadiannya. Mengaktifkan peserta didik, artinya dalam pembelajaran, situasi dan kondisinya harus memungkinkan peserta didik untuk menjadi problem solver, yang mampu mempertanyakan dan menjawab pertanyaan tersebut, merumuskan hipotesis dan membuktikannya, menarik simpulan atas usahanya, dan mempunyai kesanggupan untuk menghadapi tantangan baru (baca juga Soelaiman, 1979: 49 dan Dikdasmen, 2002: 12).

120

Pendekatan pembelajaran yang kondusif untuk menjadikan peserta didik sebagai problem solver, salah satunya adalah CTL yang didasari berpikir konstruktif atau filsafat konstruktivisme. Implementasi CTL dalam pembelajaran seni rupa dapat diilustrasikan sebagai berikut: Apabila guru hendak “melatih peserta didik untuk mengklasifikasikan karya-karya seni rupa di wilayah Indonesia ke dalam kategori-kategori seni rupa murni dan seni rupa terapan” dapat disusun sebuah skenario di bawah ini. Skenario pembelajaran untuk pengembangan kompetensi dasar tersebut dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Kelas (peserta didik) dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. b. Guru menjelaskan kegiatan-kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh peserta didik dalam kelompoknya, yaitu mengidentifikasi dan mengklasifikasi karya-karya seni rupa ke dalam kategori seni rupa murni dan terapan serta merta memperhatikan media berkarya; berdasarkan sumber-sumber belajar yang relevan. c. Berpedoman pada borang-borang yang telah disiapkan oleh guru, peserta didik bekerja dalam kelompok masing-masing. d. Semua peserta didik membuat catatan hasil diskusi kelompok. e. Pelaporan hasil kerja masing-masing kelompok kepada kelas oleh ketua kelompok atau juru bicara kelompok. f.

Dengan bimbingan guru, peserta didik diminta untuk melakukan refleksi terhadap hasil belajarnya dan sekaligus melengkapi catatan-catatan belajar, melalui tanya jawab, brain stroming, dan sharing. Penilaian terhadap kegiatan belajar terarah pada partisipasi aktif peserta didik dalam

kelompok, kualitas hasil laporan kelompok dan display-nya, kelengkapan informasi yang dituangkan, dan catatan hasil belajar masing-masing peserta didik. Sementara itu untuk kegiatan pembelajaran berkarya seni rupa dapat ditempuh langkahlangkah sebagai berikut : a. Guru menyampaikan topik, berupa fenomena dan/atau permasalahan yang terjadi di sekitar kehidupan anak yang dirasakan dan menarik bagi anak. b. Melalui curah pendapat, anak dibimbing untuk memperoleh gambaran-gambaran mengenai topik, misalnya dengan pertanyaan-pertanyaan: apa, mengapa, bagaimana, bilamana, di mana sesuatu terjadi dan siapa saja yang terlibat di dalamnya,dan sebagianya. c. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut; anak dibimbing agar dapat menginventarisasi hal-hal yang menarik baginya.

121

d. Melalui curah pendapat anak-anak dipandu untuk memilih satu di antara fenomena atau permasalahan yang menarik, yaitu memilih yang paling menarik bagi kebanyakan anak, misalnya terpilih “bencana alam”. e. Peserta didik (kelas) dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, maksimal lima orang. f.

Dalam kerja kelompok, anak-anak diminta untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan perwujudannya atau pengekspresiannya dalam karya seni rupa; termasuk pemilihan objek dan media yang akan dipilih.

g. Anak-anak diminta untuk berkarya dengan salah satu metode kerja kelompok, sesuai dengan hasil diskusi. h. Display hasil karya di kelas, yang sekaligus sebagai kegiatan refleksi hasil belajar. Penilaian dapat diarahkan pada partisipasi anak dalam kerja kelompok, kesesuaian antara topik dengan hasil karya, display hasil karya, dan kerja sama kelompok. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan CTL menempatkan guru sebagai fasilitator proses belajar, sehingga dalam proses pembelajaran dapat: (a) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari, menemukan, dan menerapkan idenya; (b) menjadikan pengetahuan lebih bermakna bagi peserta didik; dan (c) menyadarkan peserta didik mengenai pentingnya cara-cara belajar sendiri (baca juga Dikdasmen, 2002:11). Pendekatan CTL diintroduksikan dan dipromosikan sebagai pendekatan yang dapat lebih memberdayakan peserta didik dalam belajar dan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus kualitas belajar peserta didik. Harapan itu mungkin bisa jadi hanya akan menjadi harapan. Simak saja ketika diberlakukan Kurikulum 1984 yang dibarengi dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagai pembaruan strategi pembelajaran. Tidak ada perubahan dan/atau perbaikan kualitas pembelajaran secara signifikan, sekalipun setiap perubahan dan perbaikan diadakan selalu diikuti dengan penataran-penataran ( in service training) bagi para guru. CBSA hanya menjadi sebuah wacana dan pembelajaran tetap berlangsung konvensional (enduring pattern). In service training terbukti tidak efektif untuk memberdayakan guru (baca Kerry, 1986), sehingga pembelajaran kembali pada pola-pola konvensional dan tidak mampu memberdayakan peserta didik (baca Beeby, 1987). Bagaimanakah nasib pendekatan CTL yang juga berasosiasi dengan CBSA dan Keterampilan Proses, khususnya dalam pembelajaran seni rupa di sekolah? Dalam konteks pembelajaran seni rupa, Lowenfeld dan Brittain (1982) mengutarakan bahwa ketika anak belajar seni rupa, anak mencurahkan seluruh pengalaman hidupnya untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bermakna secara total; dalam proses belajar, anak mengungkapkan how he thinks, how he feels, and how he sees. Setiap anak berbeda-beda cara mengungkapkan gagasan dan ekspresi estetisnya, sesuai dengan pengalaman belajar masing-masing (baca juga McFee, 1970).

122

Karena itu peranan guru adalah sebatas fasilitator, secara kreatif diharapkan mampu menciptakan situasi dan kondisi belajar yang kondusif. Konsep pembelajaran seni rupa tersebut selaras dengan pandangan Kaum Progressivis, yang menyatakan bahwa inti pendidikan terletak pada upaya untuk secara terus-menerus merekonstruksi pengalaman hidup atau realitas. Apabila konsep tersebut dapat direalisasikan dalam pembelajaran, dimungkinkan art as a way of knowing dapat terwujud dalam proses belajar. John Dewey, salah satu tokoh progresivis (dalam Steveni, 1968:27) menyatakan bahwa art education is more concerned with the growth of the child in overall manner and not with the imposition of an adult external aesthetic. Perkembangan dan pertumbuhan mental tersebut sangat tergantung pada kekayaan dan variasi-variasi relasi-interaksi peserta didik dengan lingkungannya. Dalam hal ini, ketika anak melakukan kegiatan seni rupa, berarti belajar dan mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksinya dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial-budayanya (baca Conrad, 1964). Penutup Perbaikan dan pembaruan pendidikan, inklusif pendekatan pembelajarannya, selayaknya memang harus selalu diupayakan. Namun dalam kerangka itu perlu pula dibarengi dengan perbaikan dan penyiapan supra struktur dan infra struktur yang memadai. Apabila upaya reformasi pendidikan melalui perbaikan-perbaikan kurikulum berikut pembelajarannya belum atau bahkan tidak berhasil, barangkali patut diusulkan sebuah revolusi pendidikan secara menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA Beeby, C.E. 1987. Pendidikan di Indonesia : Penilaian dan Pedoman Perencanaan (terjemahan). Jakarta: LP3ES. Budimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung : PT. Genesindo. Conrad, George. 1964. The Process of Art Education in the Elementary School. New York : Prentice Hall, Inc. Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2004. Program Implementasi Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Atas. Jakarta : Depdiknas. Dirjen Dikdasmen. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas. Ismiyanto, PC. S. 1998. Seniman dan Kesenimanan: Tinjauan dalam Perspektif Berpikir Konstruktif, Lingua Artistika, No. 2/ Th. XXI, Mei 1998, hal:217-228. Kerry, Trevor. 1986. Invitation to Teaching. New York: Basil Blackwell Inc.

123

Lowenfeld, Viktor and Lambert Brittain W. 1982. Creative and Mental Growth (7 Ed.). New York: Macmillan Publishing Company. McFee, June King. 1970. Preparation for Art. California: Wadworth Publishing Co., Inc. Ross, Malcolm. 1978. The Creative Arts. London: Heinemann Educational Books. Sindhunata (Ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Jogyakarta: Kanisius. Soelaiman, Darwis A. 1979. Pengantar kepada Teori dan Praktek Pengajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. Steveni, Michael. 1968. Art and Education. New York: Atherton Press. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogyakarta: Kanisius.

124