CSR

Download A. Latar Belakang. Corporate social responsibility (CSR) menjadi praktik penting bagi perusahaan beberapa dekade belakangan. Hadirnya corpo...

0 downloads 570 Views 347KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Corporate social responsibility (CSR) menjadi praktik penting bagi perusahaan beberapa dekade belakangan. Hadirnya corporate social responsibility mempertegas pergeseran konsep awal bisnis yang hanya berbicara tentang keuntungan menuju bisnis yang bertanggung jawab. CSR menjadi pionir terciptanya pandangan bahwa perusahaan harus memiliki kesadaran untuk memikirkan dan mementingkan aspek sosial pada setiap operasinya, terutama bagi perusahaan yang masuk dalam kategori ekstraktif7. Industri ekstraktif sangat vital berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar karena wilayah eksploitasi sumber daya alam yang berdekatan bahkan berada dalam lingkungan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat berada dalam satu lingkup yang tidak dapat dipisahkan. Mereka menjadi satu kesatuan yang saling membangun dan berkembang. Membentuk relasi resiprokal yang seharusnya mengarah pada keberhasilan pembangunan suatu daerah. Ketidakpedulian terhadap masyarakat akan menimbulkan resistensi yang dapat berakibat buruk pada setiap lini perusahaan. Baik atau buruknya perusahaan di mata masyarakat adalah ketika perusahaan mampu membangun sinergi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar (Prastowo & Huda, 2011: 41). Proses pengerukkan sumber daya alam oleh perusahaan menimbulkan beragam dampak pada masyarakat dan lingkungan sekitar. Kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan menjadi upaya untuk mendapatkan social legitimacy dan social acceptance di atas dampak yang dihasilkan. Meskipun pemerintah dapat mengeluarkan izin untuk beroperasi, tetapi masyarakat belum tentu bisa menerima begitu saja keberadaan perusahaan. Perusahaan akan diterima beroperasi jika mampu menjalankan prinsip “responsibility”. Jadi, seiring

7

Industri ekstraktif adalah industri yang melakukan kegiatan pengambilan (eksploitasi) sumber daya alam langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi dan gas bumi.

1

berjalannya roda bisnis maka kepedulian dan tanggung jawab menjadi prioritas yang harus diaktualisasikan. Corporate social responsibility telah menjadi diskursus hangat mulai dari tatanan konsep hingga praktik. Sejarah membuktikan, pada dekade 60-an banyak perusahaan yang disorot karena permasalahan lingkungan dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang mereka lakukan. Ketika itu banyak perusahaan memegang prinsip bahwa bisnis hanya untuk profit dan tidak mempedulikan aspek lain, sehingga perusahaan membabi buta untuk meraup pundi-pundi uang dengan mengenyampingkan dampaknya terhadap orang lain dan lingkungan. Konsep corporate social responsibility membentuk muka baru perusahaan di mata stakeholders. CSR menjadi satu bentuk gagasan komunikasi perusahaan yang terus berkembang dalam membentuk relasi yang kuat antara perusahaan dengan pemangku kepentingan terutama bagi masyarakat. Terjadi perubahan yang sangat signifikan pada iklim bisnis, di mana harus mampu menyelaraskan tiga hal, yaitu keuntungan, masyarakat, dan lingkungan. Bahkan untuk membuktikan, memberitahu dan mendapatkan penilaian perusahaan yang bertanggung jawab, maka setiap perusahaan wajib melaporkan sisi ini kepada publik. Secara langsung maupun tidak langsung perusahaan memiliki dampak baik ataupun buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Kecenderungan yang terjadi di negara-negara berkembang bahwa perusahaan menimbulkan beragam persoalan sosial dan lingkungan. Pandangan skeptis ini semakin mengerucut pada industri yang mengeksploitasi sumber daya alam. Kita bisa melihat beberapa kasus yang menimpa perusahaan besar di Indonesia seperti kasus Freeport di Papua, Newmont di Minahasa dan Lapindo Brantas di Sidoarjo. Semua kasus tersebut berujung pada tuntutan yang mengharuskan perusahaan untuk berperilaku bertanggung jawab. Saat ini semua pihak menaruh ekspektasi terhadap perusahaan, di samping itu mereka juga meneropong operasi bisnis. Mereka tidak membiarkan kegiatankegiatan yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan. Tekanan-tekanan dari dunia global, pengaruh NGO (non government organization), kemudian peraturan

2

mulai dari pusat hingga daerah dan tuntutan dalam persaingan bisnis menjadi pendorong agar CSR dilaksanakan dengan berkelanjutan (Alamsjah dkk, 2010). Berdasarkan hal tersebut sangat jelas bahwa perusahaan tidak berada dalam satu area vakum yang hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan punya sisi “manusiawi” pada setiap operasinya, maka selayaknya kesadaran akan tanggung jawab sudah tertanam dan dipraktikkan dengan sustainable. Pentingnya bisnis bertanggung jawab bergerak maju sama dengan perkembangan yang terjadi pada iklim bisnis itu sendiri, terlebih lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat dan stakeholders secara umum. Penelitian ini akan mengkaji corporate social responsibility (CSR) PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI). Secara spesifik CSR CPI kepada masyarakat di daerah operasi Minas, Provinsi Riau. Keberadaan CPI yang sudah hampir 80 tahun menjadi sebuah landasan untuk pentingnya bertanggung jawab kepada masyarakat. Prinsip ini bukan melimpahkan tanggung jawab kesejahteraan masyarakat kepada perusahaan, akan tetapi sebagai bentuk kepedulian dan andil perusahaan karena berada dalam satu lingkungan dengan pemukiman masyarakat. Selain itu CPI merupakan penghasil minyak terbesar di Indonesia, dengan 40% total minyak nasional berasal dari operasinya. Otomatis dengan pencapaian tersebut CPI menguasi wilayah-wilayah di daerah yang menjadi lokasi pengambilan minyak dari perut bumi. Data perusahaan menunjukkan operasi CPI tersebut sudah menghasilkan 11 milyar barel minyak di Indonesia, dengan demikian

sudah

selayaknya

perusahaan

berskala

internasional

tersebut

melaksanakan tanggung jawabnya kepada masyarakat Minas.

B. Rumusan Masalah Mengacu pada uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yakni: Bagaimana praktik corporate social responsibility (CSR) pada masyarakat di sekitar wilayah operasi PT. Chevron Pacific Indonesia wilayah Minas, Provinsi Riau ?

3

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis praktik corporate social responsibility (CSR) pada masyarakat di sekitar wilayah operasi PT. Chevron Pacific Indonesia wilayah Minas, Provinsi Riau.

D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu : 1. Memberikan pengetahuan tentang corporate social responsibility (CSR) PT. Chevron Pacific Indonesia pada masyarakat sekitar. 2. Menjadi referensi (rujukan) bagi peneliti yang mengkaji corporate social responsibility industri pertambangan dan migas di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran menjadi landasan untuk meneropong topik tentang corporate social responsibility PT. Chevron Pacific Indonesia pada masyarakat Minas. Kerangka pemikiran yang penulis gunakan dalam penelitian ini meliputi 1) Corporate Social Responsibility, 2) CSR kepada masyarakat 3) CSR Industri Ekstraktif dan 4) CSR di Indonesia.

1. Corporate Social Responsibility Pada mulanya perusahaan murni dipandang sebagai institusi ekonomi yang hanya memiliki tujuan utama untuk memaksimalkan kepentingan investor melalui peningkatan nilai saham dan peningkatan dalam bentuk dividen. Pendapat ini juga diperkuat oleh seorang ekonom dari Universitas Chicago Milton Friedman, yang mewujudkan kepercayaan bahwa bisnis adalah mutlak untuk keuntungan, dia mengatakan “tanggung jawab sosial dari bisnis adalah hanya untuk meningkatkan profitnya”, sementara pemerintah dan nirlabalah yang mengurusi isu-isu sosial (Argenti, 2010: 121). Hal ini dapat dibuktikan pada dua dekade belakang, banyak pihak yang menganggap bisnis sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, memposisikan diri di pojok dan berseberangan dengan kegiatan sosial dan amal.

4

Pada tahun 1953 muncul konsep CSR dengan diterbitkan buku yang berjudul Social Responsibility of Businessman karya Howard Browen (yang kemudian dia dikenal sebagai bapak CSR). Bukunya menjawab keresahan masyarakat dan dunia bisnis ketika itu. Dalam bukunya dijelaskan bahwa CSR merupakan suatu bentuk praktik dalam berbisnis, yang mana praktik ini hadir tidak melalui pewajiban oleh pemerintah atau otoritas tertentu, melainkan sebuah komitmen yang lahir dalam konteks etika bisnis (di luar aspek hukum) dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan sebagai bagian dari masyarakat yang didasarkan pada prinsip kebaikan dan nilai pada kebutuhan masyarakat. Gema CSR semakin bertiup kencang pada tahun 1960-an ketika persoalan kemiskinan dan keterbelakangan semakin mendapat perhatian penting dari berbagai kalangan. Satu terobosan besar perkembangan corporate social responsibility di era modern dikemukakan oleh John Elkington tahun 1997 yang dikenal dengan konsep “The Triple Bottom Line” yang dimuat dalam buku “Canibalts With Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Konsep tersebut menjelaskan bahwa jika perusahaan ingin sustainable maka perlu menyelaraskan 3P yaitu profit, people, dan planet. Perusahaan tidak hanya memburu keuntungan (profit) tetapi harus memberikan kontribusi positif dan bertanggung jawab terhadap masyarakat (people) serta ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Konsep ini menciptakan keseimbangan, karena mustahil bisnis tanpa profit, sungguh kejam bisnis yang tidak berperikemanusiaan dan ironis jika bisnis merusak lingkungan (Prastowo & Huda, 2011: 26). Konsep The Triple Bottom Line mendapatkan respon yang positif oleh banyak kalangan karena mengandung strategi integral yang memadukan antara social motive dengan economic motive (Hadi, 2011: 56). Di era sekarang semakin banyak kelompok-kelompok yang gigih dalam meneropong perilaku bisnis. Mereka mengacak-ngacak kolong tempat tidur perusahaan, dan menunggui kapan perusahaan akan melemparkan permasalahan yang mereka buat kepada pihak lain atau menyimpannya hingga membusuk dan pada akhirnya menimbulkan tuntutan jika tercium oleh stakeholders. Kebanyakan dari mereka adalah para aktivis kelompok-kelompok masyarakat sipil, terutama

5

LSM, jurnalis, dan akademisi. John Elkington dan Jodie Thorpe dan Alyson Warhurst memperkuat hal tersebut dengan pernyataan bahwa “perusahaan itu akan berubah menjadi lebih baik karena memang mendapatkan serangan dari banyak kelompok (Jalal dalam Prastowo & Huda, 2011). Tuntutan yang datang kepada perusahaan seakan menjadi titik perhatian diera modern. Perusahaan akan mendapatkan tingkat kepercayaan yang rendah jika kondisi masyarakat sekitarnya keterbelakangan. Sebaliknya perusahaan mendapatkan acungan jempol jika CSR dilaksanakan pada masyarakat yang keterbelakangan tersebut. Perusahaan akan diliput dan beritanya akan menjadi hot news bagi jurnalis dan masyarakat. Media telah membantu pesan kebobrokan dan keberhasilan perusahaan sampai pada kelompok-kelompok pemerhati tersebut. Melalui media terutama internet, stakeholders mendefinisikan ulang bagaimana transparansi bagi perusahaan, mereka mendapatkan akses pada operasi-operasi dan praktik-praktik korporat dan setiap darinya memiliki kekuatan dalam menyebarkan informasi yang dahulunya disimpan dan tidak tercium (Argenti, 2010). Melalui media inilah kelompok pemerhati menyusun serangkaian kode bijaksana untuk isu-isu sosial yang harus diperhatikan oleh perusahaan. CSR menjadi subjek sekaligus objek yang terus berkembang, baik dalam segi konsep maupun dalam praktiknya, begitu juga dengan pendefinisiannya, belum ada definisi yang standar maupun kriteria yang spesifik yang diakui oleh pihak-pihak yang terlibat (Winarni SP, 2012: 227). Banyak tokoh, lembaga ataupun pihak yang berusaha memberikan gagasan pemaknaan CSR. Dalam kerangka pemikiran ini, agar lebih jelas titik tolaknya penulis mengambil satu definisi yang sesuai dengan pembahasan penelitian. Menurut World Economic Forum dalam Cornelissen (2011: 235) mendefinisikan CSR sebagai berikut : “The contribution a company makes to society through its core business activities, its social investment and philantrophy programmes, and its engagement in public policy. The manner in which a company manages its economic, social and environmental relationship, as well as those with different stakeholders, in particular shareholders, employees, customers, business partners, governments and communities determines its impact”

6

Definisi tersebut menjelaskan bahwa perusahaan harus memiliki kontribusi kepada masyarakat pada setiap aktivitas yang mereka lakukan. Beragam bentuk yang dapat dilakukan perusahaan bisa berupa investasi sosial dan program kedermawanan, serta keterlibatan dalam pembuatan kebijakan perusahaan. Perusahaan mengelola hubungan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan berbagai stakeholders seperti pemegang saham, karyawan, pelanggan, rekan bisnis, pemerintah dan masyarakat sekitar wilayah operasi yang terkena dampak langsung dari proses industri. Penamaan-penamaan terhadap CSR juga bermunculan selama periode perkembangannya. Berkaitan dengan hal ini ada beberapa istilah yang sering diidentikkan dengan CSR meskipun pada dasarnya memiliki pendekatan yang relatif berbeda. Penamaan tersebut antara lain: investasi sosial perusahaan (corporate social investment/ investing), kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) relasi kemasyarakatan perusahaan (corporate community relations) dan pengembangan masyarakat (community development) (Suharto, 2009: 103). Beragam penamaan menjelaskan konsepsi CSR yang dipegang teguh oleh setiap pelaku bisnis. Perlu digaris bawahi apa yang menjadi aspek dan fokus yang dilakukan dunia bisnis dalam ber-CSR, dengan demikian jelas bahwa CSR menjadi sebuah konsep yang sangat luas karena pada praktiknya terma-terma yang ada berada dalam payungnya. Semua terma yang ada dalam payung tersebut mengarah pada bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat atau corporate social responsibility kepada masyarakat.

2. CSR Kepada Masyarakat Konsep corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sangat berkembang pada bisnis beberapa dekade belakangan. Konsep ini semakin diterima dan menjadi indikator yang digunakan dalam melihat praktik bisnis yang sesuai dengan harapan seluruh stakeholders terutama masyarakat. Perusahaan dan masyarakat saling berinteraksi sehingga menjalin sebuah ikatan solidaritas yang bersifat organik dan terbentuk menjadi sebuah mekanisme solidaritas yang menyatu dalam hubungan yang saling membutuhkan antara

7

keduanya (Rudito & Famiola, 2013). Posisi CSR sangat strategis dalam usaha menjembatani dua elemen ini. Secara prinsip, jika perusahaan memperhatikan masyarakat akan tercipta kondisi masyarakat yang maju juga atau paling tidak mereka akan berada dalam kondisi yang tidak terbelakang. Keterbelakangan masyarakat justru akan membuat perusahaan semakin direpotkan karena akan timbul ketergantungan yang mewabah dan susah untuk dikendalikan. Pada tahun 1970-an masyarakat dengan aktif mulai menanyakan cara-cara yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan profit, hal inilah yang menjadi indikasi besar bahwa praktik-praktik korporat dan kesejahteraan masyarakat semakin sangat berkaitan erat (Argenti, 2010). Hubungan simbiosis mutualisme antara perusahaan dengan masyarakat akan menghasilkan titik temu, di mana baik masyarakat atau perusahaan akan menemukan bagian apa yang seharusnya menjadi perhatian. Jika tidak dikelola dengan baik, hubungan itu akan menimbulkan wacana besar yang mengarah pada tuntutan. Satu thesis penting yang memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim bisnis ini ke arah corporate social responsibility ini adalah pandangan bahwa bisnis tidak bisa lagi dilihat murni sebagai institusi pribadi melainkan sebagai institusi sosial yang berinteraksi dan berelasi (Yakovleva, 2008: 9). Perusahaan

harus

berpartisipasi

dalam

usaha-usaha

peningkatan

kesejahteraan dan kompetensi masyarakat sekitar, baik yang secara langsung berhubungan dengan perusahaan ataupun tidak. Pada sisi lain, masyarakat juga membutuhkan kondisi lingkungan yang berkualitas untuk hidup. Kualitas hidup melalui kondisi lingkungan ini mengharuskan perusahaan agar menjalankan operasinya dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Masyarakat yang hidup berdampingan dengan perusahaan membutuhkan iklim lingkungan yang terjaga, lingkungan yang baik dan berkualitas ini juga akan bermanfaat bagi kedua belah pihak serta generasi yang akan datang (Susanto, 2009). Charles Handy memparafrasakan mantan CEO BP John Browne, dia menjelaskan bahwa bisnisbisnis membutuhkan sebuah planet yang berkelanjutan untuk keselamatan dirinya, sementara bagi perusahaan lain menganggap hal ini hanyalah entitas jangka pendek yang tidak terlalu penting untuk diperhatikan” (Argenti, 2010). Hal salah

8

yang dilakukan mereka adalah hanya melakukan bisnis dan bisnis tanpa memperhatikan esensi upaya untuk keselamatan bisnisnya di masa akan datang, maka bisnis yang seperti ini hanya akan menunggu waktu untuk gulung tikar. Perusahaan harus memiliki keyakinan bahwa perhatian sosial akan menghadirkan implikasi yang positif, baik untuk perusahaan, masyarakat maupun lingkungan. Perusahaan menunjukkan itikad baik serta bertanggung jawab dengan mengambil peran pada isu dan dampak sosial yang terjadi pada masyarakat. Kunci bagi program CSR yang efektif dengan menjadikan masyarakat sebagai bagian dari perusahaan (Lattimore dkk, 2009: 221). Hal ini diejawantahkan dengan mengambil inisiatif untuk terlibat dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat, ekologi, keadilan, pengembangan kapasitas, pelatihan, pendidikan, perhatian pada aspek kesehatan, pengembangan kultural, hak asasi manusia dan lain sebagainya. CSR sangat erat kaitannya dengan posisi perusahaan di tengah-tengah masyarakat. Posisi tersebut tercipta karena manfaat jangka panjang dari praktik corporate social responsibility yang dijalankan perusahaan (Den Hond dkk, 2007), bahkan jika CSR diimplementasikan secara matang dan menyeluruh dapat meningkatkan daya saing perusahaan terhadap perusahaan lain (Argenti, 2010: 123-124). Direktur CSR Edelman, Chris Deri, mengatakan faktanya agar perusahaan dapat beroperasi, tidak hanya dengan mendapatkan izin legal melainkan juga izin sosial. Izin sosial ini bisa didapatkan dengan ber-CSR, jadi perusahaan bisa mendapatkannya dengan cara mereka yang bertanggung jawab tersebut. Senada dengan hal tersebut Hadi (2011) menjelaskan bahwa peran perusahaan melalui praktik CSR mendorong pembangunan berkelanjutan dan berpeluang untuk memperkokoh posisi atau eksistensi perusahaan. Tidak terdapat sedikitpun kerugian dari pergeseran paradigma pengelolaan perusahaan dari orientasi pemegang saham menuju orientasi masyarakat dan stakeholders. Hal ini terutama berlaku bagi industri yang bergerak di sektor Ekstraktif.

9

3. CSR Industri Ekstraktif Catatan Matthew Kiernan dalam Investing in a Sustainable World (2009), perusahaan telah membuat sekitat 75 % masalah sosial dan lingkungan di dunia (Jalal dalam Prastowo & Huda, 2011: v). Salah satu kegiatan industri yang dituding paling bermasalah terhadap sosial dan lingkungan di dunia tersebut adalah industri ekstraktif. Meskipun industri ini sangat signifikan memberikan efek pada ekonomi, akan tetapi industri ini merupakan industri paling perusak dan berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Buktinya dapat kita lihat di berbagai tempat banyak kegiatan pertambangan dan migas yang diprotes oleh masyarakat sekitar dan pemerhati karena dampak negatif yang dihasilkannya. Di Indonesia kita bisa lihat pada beberapa kasus, seperti kasus Freeport di Papua, Lapindo Brantas di Sidoarjo ataupun Newmont di Minahasa. Aktivitas bisnis ekstraktif bak pedang bermata dua, di tengah beruntungnya negara (mendapatkan devisa), tetapi hadirnya juga menimbulkan beragam isu sosial terutama dengan masyarakat setempat. Hal inilah yang menjadi sorotan tajam kebanyakan pihak, mulai dari isu-isu pencemaran lingkungan, keselamatan kerja, kesehatan pekerja, kesetaraan gender, kesehatan masyarakat, penggunaan air, penggunaan energi, kemiskinan, keterampilan dan pendidikan (Rachman dkk, 2011: 87). Jika digabungkan semua isu-isu sosial tersebut, maka permasalahan yang paling utama dapat kita lihat adalah kebanyakan daerah yang menjadi lokasi operasi industri ekstraktif ini berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal inilah yang mengharuskan perusahaan untuk bersumbangsih melalui CSR pada setiap kekayaan sumber daya alam daerah yang mereka keruk. Sebagai acuan kita mengetahui perbedaan corak CSR perusahaanperusahaan di Indonesia, perbedaan itu datang berdasarkan core bisnis yang dilaksanakan dan jenis keterlibatannya langsung atau tidak langsung pada masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang tinggal di wilayah tambang dan atau eksplorasi tentu akan memiliki bentuk perhatian dari perusahaan yang sedikit berbeda dengan masyarakat yang tinggal dengan perusahaan yang bergerak pada bidang lain. Perusahaan yang melakukan eksplorasi minyak tentu sangat vital mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tempatan. Pada

10

intinya perusahaan akan memberikan perhatian untuk pemenuhan kebutuhan dan mengatasi masalah masyarakat. Misalnya perusahaan ekstraktif menggulirkan program

CSR

berupa

bentuk

pengembangan

masyarakat

(community

development) pada masyarakat lokal. Pada sisi lain, sebuah perusahaan pabrik sepatu mendonasikan sejumlah sepatu seragam sekolah untuk murid-murid yang kurang mampu di area terdekat pabriknya (Indra dalam Prastowo & Huda, 2011). Dua hal di atas menjelaskan bahwa beda bisnis akan beda juga model praktik CSR perusahaan. Pada intinya yang jelas perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif akan lebih memperhatikan masyarakatnya dengan bentuk-bentuk keterlibatan dan pengembangan masyarakat. Karena industri ekstraktif beroperasi di wilayah yang berdekatan dengan masyarakat dan bahkan berada di wilayah masyarakat, maka industri ini tidak bisa tidak bersinggungan dengan masyarakat setempat. Hubungan perusahaan dan masyarakat setempat dalam hal ini menandakan adanya hubungan saling ketergantungan untuk bertahan hidup (Argenti, 2010). Dalam interaksi keduanya akan diwarnai dengan beragam isu-isu perusahaan dan permasalahan sosial. Isu-isu sosial yang bermunculan menjadi esensi industri ekstraktif membutuhkan sentuhan corporate social responsibility. CSR industri ekstraktif sangat bernuansa masyarakat sekitar wilayah operasi. Dengan beragam isu sosial serta dampak negatif yang muncul, maka inilah wilayah yang sesungguhnya menjadi fokus penting dari industri ini. Hal ini juga mengindikasikan bahwa CSR industri ekstraktif lebih mengandung unsur sosial dibandingkan dengan unsur ekonomi, meskipun pada akhirnya perusahaan tidak dapat menghindar bahwa tujuan sosialnya itu juga akan berpengaruh pada tujuan ekonomi perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan akan merumuskan langkah-langkah yang harus dijalankan dengan melakukan analisis kebutuhan komunitas (community needs analysis) (Susanto, 2009). Analisis ini dilakukan secara mendalam agar perusahaan menemukan apa saja kebutuhan sosial dan masyarakat di wilayah tetentu. Analisis ini didasari pada faktor masyarakat yang secara langsung terkena dampak industri atau mereka yang berada pada ring satu perusahaan. Prinsip analisis kebutuhan ini juga sejalan dengan prinsip bahwa

11

pemenuhan kebutuhan lebih layak dilakukan dari pada memenuhi keinginan, karena keinginan masyarakat terus-menerus tidak akan ada habisnya. Jika hanya memenuhi keinginan, maka yang akan tercipta hanyalah ketergantungan. Banyak pihak yang masih rancu dalam memaknai apa itu CSR, semua kegiatan yang berbau sosial kemudian disebut sebagai CSR, pada pandangan inilah CSR diidentikkan dengan uang, yang terjadi kemudian adalah banyak kalangan yang menyamakan konsep CSR dengan “uang yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kegiatan sosial” (Rudito & Famiola, 2013: 15-16). Perlu diketahui CSR industri ekstraktif dilihat sebagai mekanisme perusahaan untuk memaksimalkan dampak positif berikut juga meminimalkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan lingkungan sekitar (Yakovleva, 2008: 19), akan tetapi dengan tetap menjaga keuntungan bisnis. CSR yang seperti ini tidak selalu berkaitan dengan biaya. Merekrut karyawan dari masyarakat sekitar, bermitra dengan petani atau usaha kecil menengah (UKM) di tempat operasi perusahaan dan sebagainya merupakan sebagian bentuk CSR industri ekstraktif, dengan demikian pembiayaan CSR tidak perlu ditentukan secara definitif (Prastowo Huda, 2011: 56). Industri ekstraktif termasuk dalam kategori industri besar dan memiliki pengaruh kuat untuk membentuk perhatian publik, sehingga harapan CSR sangat besar diidentikkan dengan industri ini dibanding industri lain. Sorotan tajam akan tertuju pada industri ini, jika perusahaan kecil melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau etika, maka publik seolah-seolah tidak mempedulikan. Lain halnya ketika industri ini melakukan perbuatan demikian atau tidak menjalankan CSR, maka akan disorot tajam oleh publik terutama media dan masyarakat (Susanto, 2009). Ketidakpedulian perusahaan-perusahaan ekstraktif pada masyarakat menimbulkan ancaman terhadap kelangsungan diri perusahaan. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, salah satunya melalui upaya untuk menghilangkan ketergantungan dan keterbelakangan ekonomi masyarakat lokal, pengelolaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dan sumber

12

daya manusia tempatan, juga dengan melakukan upaya pembangunan daerah (Warsono, 2009). Perusahaan pertambangan dan migas mendapatkan tekanan yang lebih besar dari masyarakat lokal, NGO maupun tuntutan global dibandingkan perusahaan yang bergerak di bidang lain. Bentuk tuntutan mengisyaratkan agar perusahaan meredistribusikan keuntungan yang diperolehnya pada masyarakat demi

terpenuhinya

keadilan,

kesetaraan,

dan

keberlangsungan

ekonomi

masyarakat di sekitar perusahaan (Prayogo & Sulastri, 2010). Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini juga bersifat kontekstual, karena terdapat ukuran dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap masyarakat (Rudito & Famiola, 2013). Masyarakat suatu daerah dengan daerah lainnya memiliki beragam perbedaan kebutuhan karena kondisi geografis, adat, budaya, agama dan corak lainnya. Begitu juga dengan perusahaan akan memahami CSR dan menjalankannya dengan konteks yang sesuai dengan masyarakat dan lingkungan masing-masing di mana mereka beroperasi. Di tengah banyaknya tuntutan agar industri ekstraktif bertanggung jawab dalam menjalankan roda bisnisnya, maka CSR menjadi praktik yang sangat penting. Menurut Yakovleva (2008: 20) dewasa ini ada beberapa alasan pentingnya industri ekstraktif melakukan CSR pada masyarakat sekitar perusahaan. Alasan-alasan tersebut meliputi: a. Tanggapan publik terhadap sektor pertambangan dan migas secara umum negatif. b. Kelompok penekan ataupun pemerhati pada level lokal maupun internasional secara konsisten memantau sektor pertambangan dan migas, hal ini menjadi sebuah tantangan bagi industri untuk mendapatkan legitimasi sosial. c. Tantangan dalam mempertahankan lisensi untuk beroperasi. d. Tanggung jawab sosial perusahaan sangat penting bagi industri ektraktif, sebagai perusahaan pertambangan dan migas sangat sering perusahaan beroperasi di daerah-daerah terpencil di dunia, di mana

13

daerah tersebut secara ekonomi terbelakang (tidak berkembang) dan kurangnya pelayanan kesejahteraan sosial.

Beragam alasan tersebut menjelaskan betapa sangat pentingnya industri ekstraktif melaksanakan CSR terutama pada masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar perusahaan menjadi tolak ukur penilaian yang dapat menjelaskan apakah perusahaan bertanggung jawab atau sebaliknya. Penilaian-penilaian NGO, media massa dan pemerintah juga bisa muncul dari peranan perusahaan terhadap masyarakat sekitar. Bahkan lebih dari pada itu CSR kepada masyarakat menjadi penilain investor dalam rencana investasi pada perusahaan tertentu. CSR

industri

ekstraktif

sering

diindentikan

dengan

community

development (CD) atau pengembangan masyarakat. Ketidakseimbangan antara kondisi perusahaan dan masyarakat menjadi tolak ukur pentingnya penerapan community development (CD). Konsep dasar community development adalah kesadaran bahwa terdapat hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Keduanya memiliki kepentingan, masyarakat menginginkan peran perusahaan untuk membantu mereka dalam menghadapi

permasalahan

sosial,

sedangkan

perusahaan

sebaliknya

mengharapkan perlakuan yang adil dan suportif dalam menjalankan bisnis (Susanto, 2009). Community

development

mengarah

pada

bagaimana

perusahaan

membangun dan meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal. Pendekatan community development merupakan satu bentuk CSR yang lebih banyak didorong oleh motivasi kewargaan, meskipun pada beberapa aspek lain masih diwarnai oleh motivasi filantropis (Suharto, 2009: 112). Memaknai CSR hanya dengan community development ini tidak salah tapi agak keliru. Memaknai CSR pada satu aspek pengembangan masyarakat menjadi agak keliru karena dalam CSR merangkup seluruh elemen tanggung jawab dan community development masuk dalam bagiannya atau hanya bagian dari praktik CSR (belum lengkap menjalankan CSR). Hal ini diperkuat seperti tertuang dalam ISO 26000 yang telah disepakati pada tahun 2010. Ditetapkan tujuh aspek dalam tanggung jawab sosial,

14

yakni organizational governance (tata kelola organisasi), human rights (hak asasi manusia), labour practices (ketenagakerjaan), the environment (lingkungan), fair operating practices (praktik operasi yang adil), consumer issues (isu konsumen) dan community involvement and development (pengembangan dan pelibatan masyarakat) (Prastowo & Huda, 2011: 23). Jadi pada prinsipnya, CD tetap dijalankan perusahaan sebagai salah satu bentuk operasionalisasi CSR kepada masyarakat. Tujuan utama perusahaan menjalankan CSR dengan bentuk community development bukan hanya sekedar memberikan bantuan. Akan tetapi ada goal agar masyarakat yang menerima program ini memiliki kemampuan atau kapasitas sehingga mampu bersaing dalam peningkatan taraf hidupnya. Dengan demikian semangat yang diusung oleh perusahaan melalui ini adalah semangat pemberdayaan (empowerment) masyarakat (Suharto, 2009). Selain dengan bentuk pengembangan kapasitas masyarakat setempat, perusahaan juga masih menjalankan CSR dengan bentuk kedermawanan (philantrophy) dan amal (charity). Tanggung jawab sosial memang dapat bercirikan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, akan tetapi CSR tidak dapat hanya dimaknai sesempit charity atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Kegiatan memberikan kepada orang lain itu hanya akan menimbulkan ketergantungan, karena hanya memiliki sifat sesaat. Masyarakat sebagai penerima akan menjadi stagnan dan pasif, sedangkan perusahaan akan mendapat label tidak menjalankan CSR dengan keseluruhan serta menjadi penyebab kembali ketergantungan. Program seperti philantrophy dan charity ini seolah-olah tidak bisa dilepaskan oleh perusahaan, karena sangat bertujuan langsung dalam upaya membangun relasi yang terus menerus dengan masyarakat atau institusi yang dibantu. Karakter rensponsif dari program-program ini juga memang dibutuhkan pada momen-momen tertentu. Charity dapat disebut sebagai salah satu bentuk operasionalisasi dari konsep CSR yang dianut perusahaan, yaitu bentuk responsive atau pada saat-saat tertentu yang mendesak atau kondisi darurat (Prastowo & Huda, 2011: 20). Community development, philanthropy dan charity

15

inilah bentuk CSR yang kebanyakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.

4. CSR di Indonesia Penelitian Dirk Matten dan Jeremy Moon (2008) dalam artikel yang dimuat di Akademy of Management Rivew (vol. 33.No.2 404-424) menyimpulkan bahwa CSR di negara-negara maju, khusunya Eropa dilakukan secara implisit. CSR tidak dilakukan secara eksplisit dalam program sosial tertentu, tetapi menyatu dengan peraturan dan tindakan-tindakan perusahaan, karena peran-peran sosial telah dijalankan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah sosial. Sementara di Indonesia, CSR dilakukan secara eksplisit karena tingkat kemiskinan dan pengangguran yang besar. Kondisinyapun memperlihatkan bahwa pemerintah belum mampu dan totalitas menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga Indonesia membutuhkan peran besar perusahaan untuk menyelesaikan masalah sosial dalam upaya membangun kesejahteraan sosial (Prastowo & Huda, 2011). Di negara yang tidak menerapkan kebijakan sosial (sosial policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat (Suharto, 2009: 102). Dalam hal ini pengertian perusahaan tidak bisa lepas dari tanggung jawab kepada masyarakat, meskipun perusahaan sudah membayar pajak kepada negara atau pemerintah. Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan semenjak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity). Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan (Rachman dkk, 2011: 81). Jika diamati secara dalam, ada dua konsep kecendrungan pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Pertama, CSR dilaksanakan sebagai bagian dari strategis operasional perusahaan dan kedua, penerapan CSR

16

merupakan bentuk kepedulian pribadi pemilik perusahaan atas kondisi dan kendala dalam sosial (Indra dalam Prastowo & Huda, 2011: xii). Perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin memiliki tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan karena banyaknya tuntutan stakeholders dan kondisi lingkungan yang semakin hari semakin memprihatinkan. Peran perusahaan telah mendapat perhatian yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dengan fokus pembahasan pada dampak perusahaan terhadap karyawan, lingkungan operasional, dan masyarakat lokal sebagai pihak yang merasakan dampak langsung operasi bisnis. Praktik CSR di Indonesia juga merupakan respon dari tuntutan aliansi atau kelompok-kelompok pemerhati

sosial

dan

lingkungan/

non government

organization (NGO). NGO selalu mencari dan memperoleh informasi tentang aktivitas-aktivitas

yang

dilakukan

perusahaan.

NGO

tidak

membiarkan

perusahaan memperlakukan pemangku kepentingan dengan cara yang tidak etis. Masyarakat dan NGO telah aktif dan sering konfrontatif dalam menanggapi perilaku perusahaan, terutama jika ada praktik yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Pergerakan aktivis telah menghasilkan sejumlah perubahan positif dalam perilaku perusahaan, mendorong dibuatnya berbagai peraturan nasional dan Peraturan Pemerintah terhadap perusahaan (Greer & Bruno, 1998). Di Indonesia, Pemerintah membuat beberapa regulasi berkaitan dengan CSR yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU). Salah satu peraturan terbesar dalam praktik CSR di Indonesia adalah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undangundang ini menjadi landasan pentingnya perhatian sosial bagi para pelaku bisnis dan terutama industri yang berhubungan dengan sumber daya alam atau industri ekstraktif. Pada pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas dikemukakan bahwa: a. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

17

b. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan

sebagai

biaya

Perseroan

yang

pelaksanaannya

dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. c. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa setidaknya negara melalui pemerintah berupaya untuk memperhatikan masyarakatnya. Masyarakat yang terkena langsung dampak industri bisnis ekstraktif, agar tercipta keseimbangan antara perusahaan sebagai pihak yang memiliki segala kelebihan dengan masyarakat yang serba kekurangan. Hal ini juga memberikan kewajiban kepada perusahaan agar bersumbangsih dalam peningkatan taraf hidup masyarakat tempatan (menjadikan kesejahtraan bersama), yang mana notabene masyarakat yang hidup berdampingan dengan perusahaan tersebut sering berada dalam kondisi kekurangan. Konsep welfare state (Prastowo & Huda, 2011) atau negara kesejahteraan menjelaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab yang besar dalam pembangunan sosial kesejahteraan. Namum, konsep ini juga masih menimbulkan persoalan di tengah masyarakat jika diadu dengan kewajiban perusahaan, karena jika CSR dilaksanakan oleh perusahaan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, maka siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesejahteraan sosial, negara ataukah lembaga/ institusi dalam masyarakat itu sendiri ?, seperti perusahaan. Meskipun adanya undang-undang tersebut tidak serta merta menjadikan CSR sebagai konsep yang sudah sempurna, bahkan undang-undang ini menimbulkan perdebatan pada kalangan pelaku bisnis maupun pengkaji CSR. Dua perdebatan yang hingga sekarang terjadi tentang konsepsi CSR apakah

18

merupakan sebuah kewajiban atau hanya kesukarelaan, yang mana acuan bangsa ini adalah pada UUD 1945 yang menjelaskan tanggung jawab kesejahteraan masyarakat yang diamanatkan kepada negara melalui pemerintah. Untuk melihat perdebatan tersebut ada dua ideologi tentang bisnis yang bertarung di Indonesia. Pertama yang berpegangan pada ideologi konservatif dan kedua liberal. Ideologi konservatif memiliki pegangan bahwa kesejahteraan sosial diarahkan pada lembaga-lembaga swasta, sedangkan pemerintah hanya berperan ketika lembaga itu tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Sedangkan pegangan liberal merujuk pada kesejahteraan adalah hak setiap rakyat suatu negara, oleh karena itu negara wajib memenuhi kesejahteraan rakyatnya (Mullaly dalam Prastowo & Huda, 2011). Perusahaan mempunyai tempat yang strategis dalam pembangunan sosial ketika negara tidak maksimal menjalankan perannya. Sinergi yang terbentuk antara negara dengan perusahaan akan memperkuat hakekat CSR itu sendiri. Konsep inilah yang disebut dengan welfare pluralism dalam negara demokrasi, yakni peran yang seimbang antara negara (state), pasar (market) kemudian penambahan satu unsur, yakni masyarakat sipil (civil society). Inilah yang menjadi antitesa perdebatan dua ideologi di atas. Akan tercipta satu kondisi sempurna jika sinergi perusahaan dan pemerintah berjalan dengan maksimal. Banyak pihak yang berpendapat bahwa kalangan bisnis harus bertanggung jawab dan mengambil peran dalam mendukung usaha-usaha amal dan sosial serta bekerja untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, dengan kata lain mereka harus mengembalikan keuntungan mereka kembali ke masyarakat (Boone & Kurtz, 2007: 73). Jadi jalan tengah perdebatan tersebut adalah kesukarelaan yang bertanggung jawab (kesadaran bertanggung jawab) bagi bisnis. Kesukarelaan yang bertanggung jawab yang dimaksud adalah perusahaan menjalankan dan mematuhi apa yang sudah diatur oleh pemerintah, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur oleh pemerintah. Semakin

19

banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu dianggap semakin tinggi.8 Dewasa ini penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat dari segi kuantitas, kualitas, keragaman kegiatan dan pengelolaannya (Suharto, 2009: 108). Lambat laun CSR menjadi tren di kalangan perusahaan di Indonesia. Saat ini perusahaan berbondong-bondong menerapkan CSR, meskipun masih dalam bentuk charity atau bentuk pemberdayaan (Prastowo & Huda, 2011). Untuk konteks CSR di Indonesia ada beberapa pola yang dilakukan perusahaan. Menurut Suharto (2009: 110) ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan, yaitu: a. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan kemasyarakat tanpa perantara. b. Melalui yayasan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model lazim yang diterapkan di perusahaan-perusahaan negara maju. Biasanya perusahaan menyediakan dana amal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan.c c. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan melaksanakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas maupun media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam pelaksanaan kegiatan sosialnya. d. Mendukung atau bergabung dengan satu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat hibah pembangunan. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara proaktif mencari mitra kerja dari kalangan 8

Jalal, “Pewajiban CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas”.CSR Indonesia, Jakarta, 09 Juli 2007, dalam http://www.csrindonesia.com/data/articles/20080208124806-a.pdf, diakses 15 April 2013.

20

lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.

Meskipun CSR di Indonesia mengalami peningkatan, namun dalam pelaksanaannya masih diwarnai dengan beragam persoalan eksternal maupun persoalan internal perusahaan. Persoalan-persoalan yang muncul seperti pengaruh dari situasi dan kondisi pemerintahan baik di level pusat sampai daerah, kemudian kaidah pelaksanaan CSR untuk kepentingan masyarakat maupun untuk kepentingan perusahaan, juga persepsi yang kemudian muncul dari masyarakat terhadap perusahaan. Perlu diketahui persepsi masyarakat sering salah tentang praktik CSR (Suparjan, 2012: 36-37). Persepsi masyarakat bisa berangkat dari keinginan dan kebutuhan terhadap CSR perusahaan. Persepsi ini juga sangat besar dipengaruhi oleh organisasi non pemerintah (NGO) yang bergerak pada bidang lingkungan dan masyarakat, sehingga perusahaan yang awalnya bersemangat menerapkan CSR, namun karena dipandang sebelah mata oleh masyarakat bisa berpengaruh negatif terhadap kinerjanya (Prastowo & Huda: 2011). Sehingga ada kesan pesimis perusahaan untuk menjalankannya kepada masyarakat pada kemudian hari.

F. Metodologi Penelitian Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan serangkaian pedoman yang terangkum dalam metodologi penelitian ini. Dalam metodologi penelitian ini terdapat beberapa pembahasan yang lebih spesifik berkaitan dengan 1) jenis penelitian, 2) metode penelitian, 3) lokasi penelitian, 4) sumber data, 5) teknik pengumpulan data dan 6) analisa data. Berikut penjabaran dari masing-masing bagian tersebut :

1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Riset kualitatif menggunakan cara berfikir induktif, di mana cara berfikir ini berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran

21

konsep). Peneliti menekankan sifat realita yang terbentuk secara sosial dan yang sarat akan nilai. Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana cara munculnya pengalaman sosial dan makna tertentu. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang, perilaku yang diamati, kalimat-kalimat ataupun narasi-narasi dari fenomena yang dikaji. Posisi teori dalam riset kualitatif adalah membuat generalisasi-generalisasi yang abstrak melalui proses induksi. Hal ini menjelaskan bahwa riset kualitatif bersifat mempelajari (exploratory) dan teori sifatnya tidak mengekang periset (Kriyantono, 2008: 46). Berkaitan dengan hal tersebut, CSR menjadi sebuah realita dalam kehidupan sosial antara perusahaan dengan masyarakat lokal daerah operasi. Di mana perusahaan memiliki satu kewajiban ataupun kesukarelaan (tergantung perusahaan memandang) untuk bertanggung jawab pada masyarakat setempat.

2. Metode Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah penulis kemukakan, maka penelitian ini lebih tepatnya menggunakan metode studi kasus. Penelitian ini mengkaji relasi yang spesifik antara dua elemen dalam praktik CSR, yaitu perusahaan dan masyarakat. Dalam kajian ini peneliti lebih berfokus pada agenda perusahaan, akan tetapi tidak mengenyampingkan unsur masyarakat sebagai pihak yang dikenai program CSR PT. Chevron Pacific Indonesia. Dengan menggunakan studi kasus, peneliti bisa mendapatkan data yang lebih dalam dan spesifik. Penelitian ini tidak bertujuan untuk membandingkan atau mengukur, tetapi hanya mengkaji fenomena lebih dalam sesuai dengan keunikan fenomena yang dititik beratkan pada kasus corporate social responsibility pada masyarakat tersebut.

3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada PT. Chevron Pacific Indonesia wilayah Riau dan masyarakat Minas. Untuk lokasi penelitian di CPI dilaksanakan di Rumbai dan Minas. Rumbai merupakan kantor utama (main office) untuk seluruh operasi bisnis PT. Chevron Pacific Indonesia di wilayah Riau, sedangkan CPI Minas

22

merupakan salah satu distrik CPI di Riau, tepatnya pada kabupaten Siak, kecamatan Minas. di Minas ini CPI melakukan kegiatan utama perusahaan, yakni eksplorasi dan produksi minyak mentah dari perut bumi. Pada perusahaan penelitian ini dilakukan di departemen PGPA (Policy, Government and Public Affairs) sebuah departemen yang mengurusi CSR CPI. Selain itu penelitian pada masyarakat dilakukan pada wilayah-wilayah pemukiman masyarakat yang berdekatan dengan lokasi operasi CPI di wilayah Minas.

4. Sumber Data Ada dua sumber data dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer merupakan data utama yang diperoleh dari responden atau subjek penelitian. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data primer melalui proses wawancara, observasi dan penelusuran dokumen. Data primer ini didapat melalui departemen PGPA PT. Chevron Pacific Indonesia wilayah Riau dan CPI di daerah Minas, kabupaten Siak. Data primer ini juga didapat dari masyarakat sekitar wilayah operasi bisnis CPI di daerah Minas.

b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari sumber kedua (selain data primer) yang sifatnya untuk melengkapi informasi dan memperkuat temuan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan melalui berita-berita, artikel-artikel atau keterangan-keterangan pihak atau instansi lain yang relevan dengan pertanyaan penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini ada tiga teknik yang penulis gunakan untuk mendapatkan data yang substansi dengan permasalahan penelitian. Tiga teknik tersebut, yakni wawancara, observasi dan penelusuran dokumen. Berikut penjelan dari masing-masing teknik pengumpulan data dalam penelitian ini :

23

a. Wawancara Penulis melakukan wawancara kepada beberapa informan yang berasal dari perusahaan. Informan tersebut merupakan profesional departemen PGPA PT. Chevron Pacific Indonesia yang mengurusi segala hal berkaitan dengan corporate social responsibility. Selain itu untuk mendapatkan data dari masyarakat, wawancara juga dilakukan kepada masyarakat sekitar wilayah operasi. Masyarakat yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dianggap penting (pemuka /tokoh masyarakat) yang telah lama tinggal di lokasi operasi CPI di daerah Minas yang mengetahui seluk beluk dan perjalanan panjang CSR CPI di Riau. Tabel 1. 1. Informan Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Informan Penelitian Mering Ngo Tiva Permata Darmawan Hadi Kuswoyo Afrizal Alam Ilahi Agustia Warman Julius

Posisi SMO PGPA CE Advisor Manager Communication SMO Team Manager PGPA Minas GR Specialist PGPA Minas Camat Minas Tokoh Masyarakat di Kecamatan Minas Tokoh Masyarakat di Kecamatan Minas Tokoh Masyarakat di Kecamatan Minas

Teknik wawancara dengan informan-informan di atas dilakukan dengan wawancara mendalam (dept interview). Dengan wawancara mendalam atau wawancara secara intensif dan kebanyakan tidak terstruktur tujuannya untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam. Wawancara dilakukan dengan bertatap muka secara langsung atau melalui alat telekomunikasi.

b. Observasi Observasi merupakan salah satu cara pengumpulan data yang objektif dengan terjun langsung dalam melihat perilaku yang substantif dengan penelitian. Peneliti tidak hanya melihat, tetapi juga mendatangi objek dengan suatu konsep target, definisi dan kriteria untuk melukiskan kejadian dan instrumennya (Wirawan, 2008: 150). Dalam penelitian ini observasi penulis lakukan dengan

24

melihat dan mengamati langsung pelaksanaan corporate social responsibility kepada masyarakat di daerah Minas, Provinsi Riau.

c. Dokumen Teknik pengumpulan data melalui dokumen ini berupa penelusuran buku company profile, file-file data, laporan tahunan, media internal dan eksternal, arsip perusahaan atau bentuk-bentuk lain yang terdokumentasi dari PT. Chevron Pacific Indonesia. Semua dokumen yang berkaitan dengan corporate social responsibility PT. Chevron Pacific Indonesia pada masyarakat daerah Minas dapat dijadikan sumber data. Teknik pengumpulan data melalui dokumen ini bertujuan untuk memperkuat data-data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi.

6. Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian ini melibatkan seluruh data yang didapat dari data primer maupun data sekunder. Penulis mengacu pada analisis data model interaktif. Dalam analisis ini terdapat tiga cara, yaitu data reduction, data display, dan conclution drawing and verifying (Denzim & Lincoln, 2009: 592). Data primer maupun sekunder yang penulis kumpulkan melalui proses wawancara, observasi dan dokumen. Data ini kemudian direduksi (data reduction). Dalam penelitian ini data-data yang substansi dengan penelitian dipilahpilah ke dalam satuan konsep, kategori atau tema tertentu. Kemudian seperangkat hasil reduksi ditampilkan (display data) sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Pada tahapan ini data yang telah dikelompokkan kemudian disusun dalam bentuk narasi dengan menggunakan kalimat yang logis dan sistematis. Sehingga memberikan gambaran yang jelas berkaitan dengan praktik corporate social responsibility (CSR) pada masyarakat di sekitar wilayah operasi PT. Chevron Pacific Indonesia wilayah Minas. Selain narasi dalam bentuk kalimat, juga bisa menampilkan foto atau gambar, skema dan lain sebagainya. Penyajian data dapat dipandang sebagai proses pemaknaan tentang permasalahan yang diteliti. Penyajian ini merupakan langkah yang sangat diperlukan untuk memudahkan

25

upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan (conclution drawing and verification). Tahapan terakhir ini merupakan tahapan interpretasi dari setiap data yang diolah, kemudian menetapkan makna dari setiap data tersebut.

26