CULTURAL STUDIES: DIMENSI PENGEMBANGAN LINGUISTIK MASA DEPAN Sawirman Universitas Andalas Padang
ABSTRACT This writing aims to apply cultural studies as one of the dimension in developing linguistic studies in the future. Cultural studies has several genealogies. Cultural studies is committed to reconcile the division of knowledge and a moral evaluation. It attempts to overcome the split between intuitive knowledge based on local cultures and universal forms of knowledge. Its contant goal is not only to expose marginalized object, society, and popular culture, but also to expose both psychological and intellectual enterprise. On those reasons, cultural studies spirit can be promoted as ones of dimensions to struggle and survive marginalized society and understandand change the structure of modern society, as well as dominance of power and capitalist societies. Other critical social sciences involvement is needed to criticize and analyze types of linguistic systems and phenonema. It assumes a common interest between the observer and what is being observed or between the knower and the known. In short, cultural studies is not simply study of culture as though culture is one of the dominant aspects within cultural studies. Key words: Cultural Studies, Linguistics, Hegemony, Marginalized Object, Multi-Dimentional Approach, Revolution of Science, Ethical Struggle, Popular Culture
1. Pendahuluan Artikel perdana jurnal ini berjudul selain untuk memberi penjelasan akademis (academic explanation) tentang cultural studies, juga memberikan jawaban mengapa cultural studies perlu dimunculkan khususnya dalam peta kebahasaan di tanah air (sekaligus menjadi spesialisasi jurnal ini). Paradigma cultural studies mulai mencuat di tahun 1950-an atas serbuan budaya pop dari seberang Atlantik ke Benua Eropa (During, 1995; Storey, 1997). “Panik budaya” tersebut (Budiman, 2001:1) memunculkan keprihatinan berbagai pihak. Selain, pemikir seperti Matthew Arnold, F.R Leavis, dan T.S Eliot yang menginginkan agar ada elit-elit intelektual yang melestarikan nilai-nilai budaya adiluhung menandai melambangkan keemasan suatu masa, juga ada sejumlah tokoh seperti Louis Althusser, Theodor Adorno, dan Walter Benjamin yang juga mengkhawatirkan pengaruh budaya massa (budaya pop) pada daya intelektual dan kreatif masyarakat. Pikiran Althusser dengan sejumlah teman-teman Frankfurt-nya menurut Manneke Budiman menjadi lebih dikenal atas adanya statement bahwa kebudayaan dapat dijadikan sebagai instrumen ideologi
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
kekuasaan dominan untuk meninabobokan rakyat. Kekuasan dominan menurut Althusser diwakili oleh negara yang menggunakan berbagai institusi, adat kebiasaan, dan media massa sebagai aparatus ideologisnya. Nama-nama seperti Bruno Latour dan Steve Woolgar dalam tulisan Laboratory Life dengan subjudul Social Construction of Scientific Facts (ditulis tahun 1979) dianggap berjasa mengembangkan cultural studies ke tataran science untuk memperjuangkan masyarakat terhegemoni (Sardar and Borin Van-Loon, 2005:96). Tidak terkecuali nama-nama luar negeri seperti E.P. Thompson, Stuart Hall, Paddy Whannel, Michel Foucault, Antonio Gramsci, Roland Barthes, Edward Said, Homi Bhabha, dan Gayatri Spivak, serta nama-nama dalam negeri seperti Melani Budianta, Yasraf Amir Piliang, Manneke Budiman, Ariel Heryanto sering disandingkan dengan pejuang cultural studies. 2. Overview Cultural Studies Ada sejumlah penjelasan akademis (academic explanation) mengapa paradigma cultural studies perlu dimunculkan dalam peta kebahasaan di tanah air. Sejak kemunculannya, cultural studies memiliki sejumlah prinsip dan jalur genealogis. Setiap prinsip dan jalur yang berkembang bila dikritisi secara kritis diyakini akan mampu membawa kajian linguistik lebih dihargai. Dari sekian jalur yang berkembang, tiga jalur bahasan-bahasan berikut merupakan ciri khas (jalur utama) cultural studies yang dapat menjadikan kajian linguistik-sastra berdiri tegak menjadi sebuah mosaic nan indah dan bermakna bagi kemanusiaan. 2.1. Objek/fokus kajian pada pihak terhegemoni dan budaya massa Banyak ahli sependapat kemunculan cultural studies sebagai gerakan akademis (intellectual map) bermula di Inggris. Sebagai negara penjajah paling besar, sejumlah tokoh negara yang menganut prinsip right or wrong is my country ini menyadari perlunya ada penelitian ke arah post war reconstruction mengenai berbagai dominasi, hegemoni, pluralitas, dan perubahan lingkungan sosial (rapidly changing social environment). Sejumlah nama Inggris seperti Richard Hoggart (1918), Raymond Williams (1921—1988), E.P Thompson (1924-1993) dan Stuart Hall (1932) disebut sebagai pelopor (founders) kemunculan cultural studies atas prakarsa mereka mendirikan Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham pada tahun 1964 (Sardar and Borin Van-Loon, 2005:24-25). Perjuangan cultural studies Birmingham antara lain melakukan penolakan pada “hegemoni dan indokrinasi langsung”, tanpa bersandar pada pemikiran umum, demi penciptaan budaya egaliterian (Loomba, 2003:39). Penolakan terhadap esensialisme kebudayaan dan terlepasnya "budaya" dari "masyarakat" dan terpisahnya "budaya tinggi" dari "budaya sebagai cara hidup sehari-hari" (the consumption of everyday life) adalah perjuangan lembaga ini pula. Sekalipun perjuangan lembaga ini masih terfokus kepada persoalan class-based society of England (elitisme kanonikal kelas pekerja-penguasa, budaya tinggi-rendah, sastra canon-bukan canon), lembaga ekstensi yang berdiri di masa Perang Dunia II tersebut memperjuangkan pluralitas dan masyarakat kalangan bawah yang diwujudkan dengan menerima anggota dari berbagai kelas, golongan, etnik, dan ideologi. 4
Sawirman
Dengan demikian, fokus cultural studies (terutama di awal kemunculannya yang dipelopori oleh Richard Hoggart dan kawan-kawan) berpihak pada perjuangan pihak-pihak terhegemoni, terdominasi, dan termarjinalisasi (seperti pihak pinggiran, the others, sastra non-canon, dan sejenisnya). Jalur ini diperkirakan dapat mengembangkan kajian kebahasaan di tanah air sebagai perjuangan etis. Dalam seminar Duo Doktor di Universitas Andalas Padang tanggal 4 Mei 2006, Sawirman pernah melontarkan sinyalemen yang mengibaratkan linguis Indonesia seperti mikroskop (mampu melihat yang kecil, tetapi lupa dengan yang besar). Indonesia sekarang diributkan dengan bencana alam, krisis mental, kenaikan BBM, sertifikasi guru, terorisme, dan lain-lain yang luput dalam kaca mata linguis. Belum banyak yang dilakukan para linguis untuk memperjuangkan pengangguran bersertifikat, PSK, krisis mental, anak-anak cacat, orang gila, pengemis, pengamen, anak jalanan, tindakan separatis, tsunami, kasus lapindo, gempa, tanah longsor, kejahatan perbankan, cyber-crime, kerusakan ekologi, dan lain-lain. Mengapakah para linguis Indonesia tidak ikut menyumbang secara keilmuan, misalnya mencermati “undang-undang terorisme” (anti-terrorism act, public safety act) dunia secara linguistis yang saat ini corongnya diarahkan kepada ideologi tertentu (Islam sebagai pihak terhegemoni). Akibat ulah para teroris, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Threaten to the Peace and Security of Mankind dan International Crime, AS mengeluarkan fatwa Against the terrorism, Perancis mencetuskan Everyday Security (pengawasan ketat warga), Denmark menggelar Aliens Act (pengacara teroris=teroris), Canada mendeklarasikan Bill C- 36/Bill C-17, India mensyahkan The Marc Prevention of Terrorism Act, Indonesia mendeklarasikan Inpres 4/2002, Inpres 5/ 2002, PP No 1/2002, Pengganti UU RI 15/2003, PP No 2/2002, Pengganti UU RI 16/2003, dan PP RI N0. 24/2003. Melalui analisis perundang-undangan tersebut misalnya, para linguis dapat menyumbangkan wacana pemikiran untuk melakukan aksi preventif pencegahan tindakan teroris(me), selain membantah stigma barat yang menyesatkan bahwa aksi teroris(me) seakan-akan dilekatkan pada ideologi tertentu (ideologi yang terhegemoni akibat ulah teroris). Belum banyak yang dilakukan para linguis Indonesia agar ikut secara partisipatif mengkritisi Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dianggap berpihak pada kaum berpunya (the have) atau “kapitalis” (kaum buruh sebagai pihak terhegemoni). UU ini sejak kemunculannya sampai 2 Mei 2007 lalu tetap menuai protes yang diwujudkan dalam bentuk demonstrasi besar-besaran (diawali oleh pekerja waktu tertentu/PWT Pertamina di tahun 2003). Disemangati cultural studies, para linguis dapat memperbaiki nasib buruh dengan menjadikan ilmu hukum sebagai dimensi untuk mengkritisi undang-undang dimaksud. Mengapakah para linguis Indonesia tidak ikut menyumbangkan keahlian linguistisnya (linguistic competence) untuk mencermati pasal-pasal UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (tujuh pasal di antaranya yang menyangkut sertifikasi guru, hak pendidik, dan penyediaan guru bermutu di tahun 2007 ini sedang di-judicial review ke MA). Secara aksiologis, kajian ini antara lain dapat berkontribusi untuk mengatasi benang kusut dan dilema sertifikasi guru yang berkepanjangan (memperjuangkan guru sebagai pihak terhegemoni). Pada titik ini, kajian linguistik terasa akan lebih dihargai.
5
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
Suatu hal yang juga ironis adalah terasa masih kurangnya perjuangan para linguis melawan marginalisasi dan hegemoni terhadap disiplin ilmunya sendiri. Para linguis memilih no talk pada saat penelitian-penelitian linguistik mulai “terpinggirkan” di tanah air. Apakah disebabkan oleh faktor ketidaktahuan pihak penyandang dana ataukah ketidakmampuan para linguis sendiri meyakinkan aksiologi ilmunya pada kemanusiaan, amat jarang kasus-kasus linguistik dijadikan sebagai topik-topik unggulan dalam tema-tema sejumlah proyek-proyek nasional. Demikian pula majalah-majalah linguistik yang banyak bermunculan di tanah air yang seakan-akan dipandang sebelah mata oleh disiplin ilmu lain. Salah satu sebabnya mungkin kealpaan kita memperhatikan kasus kemanusiaan. Saatnya para linguis mulai berkaca. 2.2. Objek/fokus terlupakan
kajian
pada
ranah
ilmu-pengetahuan
tereliminasi/
Seperti dikatakan Simon During (editor buku The Cultural Studies Reader 1995), fokus cultural studies membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tereliminasi dan terabaikan (insurrection of the subjugated knowledges). Salah satu fokus cultural studies di mata During adalah the academic site for marginal and minority discourses. Seperti diungkap oleh Fadlillah tahun 2003 di Harian Kompas, salah satu dampak cultural studies yang bertolak dari suatu objek studi tentang persoalan kebudayaan popular dan perlawanan terhadap budaya tinggi Eropa adalah adanya keinginan Barat untuk mengakui adanya sesuatu yang selama ini disebut “the others” (selain Eropa means nothing) dalam peradaban kemanusiaan dan keilmuan. Dengan demikian, cultural studies selain memberi kesadaran akan pluralitas dan menampik keserbatunggalan, juga mengapresiasi kemajemukan satuan-satuan kecil, pembelaan terhadap subkultur, kontra hegemoni, kontra reifikasi, dan resistensi terhadap kekuasaan terlembagakan. Disemangati perjuangan cultural studies jalur ini, pengembangan objek material baru dapat difokuskan pada bahasa yang hampir punah (salah satu topik mendunia akhirakhir ini), bahasa dan kultur masyarakat indigeneous people, serta bahasa masyarakat terasing dan tertindas lainnya. Perjuangan etis ke arah itu masih belum dijamah oleh peneliti tanah air. Berdasarkan laporan UNESCO World Languages Report, Summer Institute of Linguistics (SIL, 2001), Lauder & Multamia (2001; 2005), selain melaporkan bahasa-bahasa yang berpotensi terancam punah, juga mempertanyakan masalah hak berbahasa-ibu (linguistic human rights). Mengacu pada hasil pelacakan SIL (2001), dari 731 bahasa di Indonesia (5 bahasa dinyatakan telah punah). Sejumlah bahasa lainnya seperti bahasa Hulung dianggap memasuki tahap sangat terancam punah (seriously endangered language) atau bahkan telah memasuki tahap sekarat (moribund language). Demikian pula di Papua, tercatat tinggal satu penutur bahasa Mapia yang dapat dianggap sudah punah (extinct language) pula (Lauder dan Multamia, 2005). Ancaman sejenis juga terjadi pada bahasa-bahasa di daerah terpencil dan bahasa-bahasa suku terasing. “Belum ada satu penelitian pun yang mendeskripsikan lokasi suku-suku terasing di seluruh Indonesia secara lengkap dan komprehensif”... “Punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut “mengubur” semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu” (Lauder dan Multamia, 2005).
6
Sawirman
Sejumlah kata dalam bahasa-bahasa daerah juga hampir mengalami “kepunahan”. Kata datu? (PAN *Datu?) adalah salah satu gelar bangsawan yang digunakan masyarakat Sumbawa (selain tuan, dea tuan, lulu, lala, dan daeng) yang hampir mengalami kepunahan. Sebutan datu? (gelar bangsawan) yang pernah ada pada masyarakat Sumbawa tersebut menurut Arifin (2006) sekarang hampir tidak pernah mengemuka (dangerous interfaces). Demikian pula halnya bahasa, sastra, dan kultur lokal masyarakat pinggiran yang selama ini terabaikan. Dengan demikian, kearifan cultural studies akan menggiring kajian linguistik kepada pemahaman bahwa setiap era (age), lokalitas, dan konteks linguistik memiliki libido sosial yang perlu dicapai melalui pemahaman dan penelitian linguistik. 2.3. Spirit trans-disiplin berbasis linguistik Jalur kedua cultural studies dapat pula digunakan baik sebagai pengembangan materi ajar maupun sebagai pengembangan objek-objek material baru kajian linguistik. Cultural studies pada perkembangan terkini lebih dimaknai sebagai revolusi dalam dunia ilmu pengetahuan. Sardar dan Borin Van Loon (2001:93) menganggap cultural studies sebagai sebuah “revolusi ilmiah” yang menghasilkan paradigma baru dalam berbagai disiplin ilmu. Cultural studies (tidak terkecuali di negeri-negeri utara) juga merupakan salah satu isu sentral dunia akademis, terutama bidang humaniora. Bukan saja karena perjuangan cultural studies membawa visi kemanusian dan masyarakat yang terpinggirkan, tetapi juga karena "gerakan akademis" emansipatoris yang melibatkan kajian multidisipliner seperti bahasa, sastra, sejarah, antropologi, dan filsafat (Budiman, 2001; 2002). Dengan menggunakan pendekatan eklektik, Boudieu mengembangkan cultural studies ke berbagai proses produksi dan reproduksi makna (production and reproduction of meaning) melalui berbagai wahana saluran baik yang melalui artefaktual maupun habitus (ketidaksadaran berbahasa/budaya). Raymond Williams mengembangkan cultural studies ke sejarah dan antropologi. Hall (1980) mengembangkannya ke arah kesadaran berbahasa dan wacana. Spark (1996) dan Storey (1996) mengembangkannya ke kajian media. Althusser (2002) dan Marcuse (2004) mengembangkannya ke ideologi dan budaya populer. Inglis (1993) mengembangkannya ke pendekatan eklektik. Barthes di tahun 1960-an membawa ke semiotika, sastra, dan bahasa. Akhir-akhir ini kajian cultural studies semakin meluas ke arah post-colonial studies, kajian media, kesusastraan, bahasa, iklan, semiotika, seks, seni, popular culture, dan hypertext theory (Sardar and Borin Van Loom, 2006). Visi baru terhadap ko-eksistensi Timur dan Barat dalam kaca mata ideologis menurut Fasya (2002) adalah pengaruh cultural studies terhadap post-colonial. Peralihan cultural studies yang bermula dari gerakan budaya, bergeser menjadi gerakan akademis ini dimungkinkan bukan hanya disebabkan perubahan bias material kebudayaan dari manuktur ke machinofactur, dari teknologi industri ke informasi, dari tata sosial produksi ke reproduksi, tetapi juga spirit mempertanyakan kembali posisi, batas, dan implikasi linearitas keilmuan. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Budiman (2002), cultural studies lebih dari sekadar pemisahan tembok-tembok pemisah antara berbagai disiplin ilmu yang ada dalam humaniora. Cultural studies bahkan berupaya melelehkan sekatsekat yang memisahkan humaniora dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan 7
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
lainnya, seperti ekonomi, politik, dan bahkan ilmu-ilmu eksakta. Cultural studies sebagai sebuah paradigma muncul karena adanya kesadaran bahwa pluralitas adalah realitas, demikian pula halnya dalam dunia keilmuan. Cultural studies tidak lain adalah aspirasi untuk menampik keserbatunggalan dan upaya-upaya para fondasionalis untuk menafikan pluralitas (Sahal, 2002). Tetapi cultural studies yang akan dikembangkan sebagai dimensi kajian linguistik bukan semangat multidisipliner tanpa orientasi. Beberapa pertimbangan seperti kebutuhan masyarakat lokal dan pertimbangan sejumlah objek material terkini terkait dengan ilmu dan kajian linguistik dapat dijadikan fokus utama. Cuplikan foto-foto berikut hanyalah sejumlah bukti intensya perkembangan linguistik agar berdimensi ilmu lain seperti harapan cultural studies (semangat multidimensional dengan berbasis pada disiplin ilmu sendiri). Foto-foto dan keterangan foto berikut disarikan dari Lauder dan Multamia (2005) yang dipadukan dengan pernyataan penulis, kecuali disebutkan lain. Gambar1. Foto 1a-e: Linguistik versus Ekologi dan Linguistik versus Pariwisata
(a) R. Berner
(b) L. Shapiro
(c) David Chin
(d) R.H. Robins (e) English Tourisms
Foto–foto (1a-1e) yang diakses dari situs www.pearson.ch pada tanggal 9 Februari 2007 hanyalah beberapa dari ratusan buku yang berkembang tentang Ecolinguistics (ekologi versus linguistik) dan English tourism (bahasa Inggris/linguistik versus pariwisata). Berdasarkan kajian tracer study yang dilakukan oleh Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Unand Padang di tahun 2006 membuktikan bahwa sebagian pemakai lulusan fakultas Sastra adalah lembaga-lembaga pariwisata. Sebagian lagi ada yang berperan secara mandiri sebagai pemandu (guide) di bidang kepariwisataan. Suatu hal yang ironis adalah mata kuliah English Tourism atau Ecolinguistics yang sedang mewacana seperti halnya Ecotourism di “ilmu pariwisata” di dunia saat ini) umumnya belum dijadikan baik sebagai mata kuliah pilihan maupun sebagai dimensi dalam salah satu mata kuliah linguistik.
Gambar 2. Foto 2: Linguistik versus Forensik (Hukum)
8
Sawirman
Foto 2 adalah proses pembuktian sidik suara yang dilakukan oleh linguis dengan bantuan modul sidik suara. Menurut Lauder dan Multamia (2005:76, 77), linguis saat ini sering diminta sebagai saksi ahli di pengadilan untuk membuktikan kebenaran fonetis, dialek, aksen, gaya bicara, dan aspek-aspek fonologis lainnya agar mendapatkan profil terdakwa yang benar. Foto yang diakses oleh Lauder & Multamia (2005:76, 77) dari http://www. recognition esat.kuleuven.ac.be tersebut mengeksplorasikan penelitian linguistik dalam proses pendeteksian (detection), investigasi, diskriminasi (discrimination), identifikasi (identification), dan scaling seperti yang digalakkan kajian psychoacoustic (pemanfaatan fonetik untuk psikologi-hukum) akhir-akhir ini. Kajian sejenis sering diberdayakan oleh sejumlah tokoh pecetus teori kritis, posmodernis, dan poskolonialis seperti Habermas, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Paul Ricoeur, Edward Said, Michel Foucault, Umberto Eco, Fairclough, dan lain lain.
Gambar 3. Foto 3a/b Pemanfaatan fonologis membaca evolusi (linguistik versus anatomi) A rc h e o lo g y
P s y c h o lo g y
E v o lu t i o n T h e o ry
A n a to m y & P h y s io lo g y
P ie c e s o f T h e L a n g u a g e E v o lu tio n P u z z le
P id g in s & C re o le s
L in g u is t ic T h e o ry
E t h o lo g y A n th ro p o lo g y
9
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
Foto 3a/b membuktikan bahwa aspek-aspek linguistis saat ini juga dimanfaatkan untuk membaca silsilah evolusi manusia, selain untuk melihat kepentingan evolusi bahasa itu sendiri. Berdasarkan temuan fosil sekitar 4 juta tahun lalu seperti disarikan Lauder & Multamia (2005:89 dari http://www. pages.emerson.edu) dapat diperkirakan bahwa bahasa baru muncul sekitar 200 ribu hingga 100 ribu tahun lalu. Dengan demikian, keterlibatan ilmu lain sangat diperlukan dalam pengembangan linguistik agar ilmu linguistik dapat menjadi sarana (content-vehicle) menuju kompetensi fungsional dan berorientasi pasar sehingga berguna bagi perkembangan Ipteks dan tuntutan pasar regional
Gambar 4. Foto 4: Linguistik versus Grafologi Foto 4 adalah contoh tulisan tangan Margaret Thatcher yang menurut seorang ahli grafologi (sekalipun masih kontrioversial) mengindikasikan bahwa Thatcher berkepribadian kuat, percaya diri, antusias tampil di depan publik, serta berkeinginan untuk mendominasi. Sumber yang diakses Lauder & Multamia (2005:78) dari http://www.annakoren.com/ signatures.html tersebut melibatkan ortografi (sistem ejaan), stenografi (sistem menulis cepat), kriptografi (sistem menulis pesan rahasia), paedografi (disain membantu anak-anak membaca), teknografi (sistem menulis aksara fonetik) dan kartografi (pembuatan peta) ini juga menanti uluran tangan para linguis.
Gambar 5. Foto 5: Linguistik versus Kedokteran Foto 5 menggambarkan seorang ahli terapi wicara (speech pathology) sedang melatih seorang anak yang mengalami kesulitan berbicara. Sumber foto dan keterangan diakses Lauder (2005:77) dari http//www.communication disorders uwadmnweb.uwyo.edu. Bersama dokter ahli syaraf, ahli neurolinguistik saat ini berkonsentrasi mewujudkan impian cultural studies (memperjuangkan masyarakat terpinggirkan) antara lain dengan memberikan kegiatan terapi wicara kepada pihak-pihak terhegemoni seperti pasca stroke, gagap, pelat, latah, atau suara terlalu kecil atau melengking. Para ahli terapi wicara membutuhkan kompetensi fonetik khususnya fonetik artikulatoris (bagaimana tiap bunyi bahasa diproduksi oleh alat-alat ucap manusia) karena seorang ahli terapi wicara juga harus mempunyai pengetahuan minimum mengenai anatomi alat ucap serta patologi alat-alat ucap yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa. Pengembangan kompetensi linguistik (khususnya phonology), selain psyscholinguitics dapat diarahkan ke dimensi ini. 10
Sawirman
Gambar 6. Foto 6: Biolinguistics (Linguistik versus Biologi)
Foto 6a: Kanji sedang mendengarkan sebuah kata dalam bahasa Inggris, lalu memilih salah satu foto yang cocok dengan kata yang didengar. Kanji adalah seekor bonobo (salah satu binatang yang dilatih di laboratorium agar dapat berbahasa seperti manusia). Sumber keterangan dan foto dari Lauder & Multamia (2005:88).
Foto 6b: Peneliti memberi pujian karena Kanji telah memilih foto yang tepat (sumber: keterangan dan foto dari Lauder 2005:88). Tampilan foto 6a/b mengindikasikan bahwa perkembangan linguistik saat ini tidak lagi bersifat antroposentris (manusia pusat segalagalanya) seperti yang dianut modernitas.
Gambar 7. Foto 7a-c: Linguistik Komputasional (linguistik versus teknologi) Foto 7a adalah seorang ahli fonetik saat ini berupaya agar properti bunyi-bunyi bahasa manusia dapat dikenali oleh komputer (Sumber foto dan keterangan dari Lauder & Multamia, 2005:87). Hal itu antara lain membuktikan bahwa pemanfaatan fonologis untuk pemograman (language computing) intens dilakukan saat ini. Sejumlah peralatan baru yang dikutip Lauder dari Ball (1995:101—109) dalam ilmu fonetik juga bermunculan, seperti Radiography (alat untuk memberi informasi tentang artikulasi dan posisi laring); MRI atau Magnetic Resonance Imaging (alat untuk mengukur lidah dan posisi rahang); Electromyography (alat memberi informasi tentang aktivitas otot alat ucap); Aerometry (alat yang memberi informasi tentang aliran udara ingresif maupun egresif di jalur oral maupun nasal); Electrolaryngography (memberi informasi tentang vibrasi yang terjadi di sekitar laring); dan Electropalatography (alat pemberi informasi tentang kontak antara lidah dan palatal).
11
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
Foto 7b menampilkan seorang sukarelawan sedang menggunakan alat pemindai mata untuk merekam setiap gerakan bolamata dalam kaitan dengan kegiatan membaca. (Sumber informasi foto dari Lauder & Multamia, 2005:84; sumber foto: diakses Lauder & Multamia dari http://www.mpi.nl world images femke_ s.tracker.jpg). Selain itu masih banyak peralatan lain yang belum diaplikasikan dalam penelitian linguistik, seperti Shoe Box, Minitab, Microfit, Statistica, Microstat, dan DAF (Delayed Auditory Feedback), peralatan membantu memahami bahasa pasien afasia (linguistik-kedokteran). UI misalnya sudah menerapkan program CECIL atau Computerized Extraction of Components of Intonation in Language (sebuah program yang digunakan untuk melakukan analisis akustik khususnya intonasi dan tekanan). CECIL yang digunakan di UI hanyalah salah satu bentuk cakupan NLP, selain speech recognition (program mengenali suara manusia, optical recognition (program mengenali tulisan), machine translation (program menerjemahkan), dan voice to text (program untuk mendiktekan kepada komputer agar kata-kata yang kita ucapkan langsung tertransfer dalam bentuk tulisan oleh komputer). Pemanfaatan teknologi untuk kepentingan dokumentasi dan pengarsipan linguistik memang sedang diberdayakan pula saat ini (Austin, 2006: 87-112; Berndt, 2006: 213-252; Dwyer, 1996: 31-66). Foto 7c adalah gambaran bahwa gerakan bola mata dipercaya merupakan kunci memahami proses bahasa di otak (Sumber informasi foto, Lauder, 2005:84; sumber foto: diakses Lauder dari http://www. coli.uni-sb.de psyling images.tracker.jpg). Hal yang ironis adalah keengganan para linguis kita untuk memanfaatkan teknologi yang ada untuk menunjang akses penelitian. Program SPSS (Statistical Program for Social Science) yang sudah membanjiri toko-toko buku di Indonesia misalnya, belum banyak dimanfaatkan untuk pengembangan penelitian linguistik. Demikian pula halnya program Auto-Filter, Pivot Chart, dan Pivot Tabel Microsoft Word/Excel sebenarnya dapat dilakukan untuk mengolah data statistik deskriptif dan pengklasifikasian data (classification schemes) tidak pula dimanfaatkan. Menganalisis data statistik inferensial maupun deskriptif secara manual seperti yang dilakukan oleh umumnya linguis di tanah air selama ini jelas membutuhkan waktu yang lama. Dengan demikian, pengembangan kajian linguistik (berdimensi cultural studies) ke arah ini sangat diperlukan.
2.4. Bebaskan linguistik dari ranah positivis, nomotetis, dan fondasionalis Sejak pencerahan, model keilmuan dan kerja akademis dikuasai positivisme, fondasionalisme, dan nomotetis. Virus Rene Descartes ini tidak hanya “menodai” linguistik, tetapi juga ilmu humaniora lainnya.
12
Sawirman
Sebuah fakta linguistik diselubungi oleh kepentingan politis, ideologis, dan eskatologis yang mengharuskan para analis menegasikan logika “satu lawan satu” (atau disebut dengan logika teknis oleh Immanuel Kant). Pentransfigurasian fakta linguistis, seperti halnya sastra tidak dapat hanya dimaknai berdasarkan garis lurus (linear), teori sistem, ketunggalan makna, konvensional, deduktif, opisisi biner, dan antroposentris, tanpa membuka diri seluas-luasnya dengan sejumlah variasi nilai, ruang interpretasi, ruang tafsiran, kepentingan, dan imaji sehingga menghasilkan kajian yang berguna bagi masyarakat dan kemanusiaan. “Kebebasan” dalam konteks ini bukan berarti kebebasan tanpa batas. Sekalipun salah satu prinsip utama ilmu menentang normalitas (Kuhn dalam buku The Structure of Scientific Revolution Peran Paradigma dalam Revolusi Sains), akan tetapi prinsip ilmu yang dijadikan Kuhn menjadi paradima baru sains tidak tipikal dengan representasi abnomalitas tanpa batas dengan mengabaikan bingkai ilmiah, metaetis, etika tanda, landasan moral, tabu, pesona dunia, dan spritual. Makna linguistik, seperti halnya sastra dapat dimaknai berbeda oleh setiap orang sebagai efek sebuah interpretan seperti dikatakan Charles Sander Peirce. 3. Penutup/simpulan Suatu hal yang perlu digarisbawahi adalah cultural studies dengan semangat multidimensional bukan berarti “anti-discipline” (Sardar and Borin Van Loon, 2005:9). Linguistik bagi linguis harus menjadi basis pergerakan, demikian pula ilmu humaniora lainnya. Hanya saja pemaknaannya harus menjadi medan terbuka yang dapat dipertajam dan dimasuki ilmu lain. “The principles which govern linguistic systems also organize other types of communication systems, such as writing, film, and fashion” (de Saussure seperti dikutip Sardar and Borin Van Loon, 2005:11). Nama cultural studies sebagai sebuah kajian multi atau transdisiplin saat ini dalam konteks perkembangan semantisnya dapat dikatakan agak mendekati kebenaran, asalkan tetap bergerak pada disiplin ilmu masingmasing sebagai basis pijakan. Bila tahapan pemaknaan Roland Barthes (1995) digunakan, paradigma cultural studies dapat memasuki ranah suatu ilmu pada tahapan makna metalanguage (makna penandaan tahap kedua), bukan pada tahapan language object (makna penandaan tahap pertama). Saat menelaah kata bom bunuh diri (suicide bombing) dalam wacana terorisme misalnya, telaah linguistik tidak akan mencapai tahapan eksplanatory bila tidak dikritisi dengan teori bunuh diri (suicide) (misalnya ala Durkheim sosiologi), jihad dalam Islam (teori agama), dan ilmu kimia (memaknai jenis bom yang digunakan). Telaah wacana teroris perlu pula dibantu dengan ilmu medis pada saat menjelaskan kata DNA-finger yang sebenarnya berbeda dengan sidik jari DNA. Dalam kerangka kritis medium is massage itulah sejumlah ahli seperti Wittgenstein membaca dialektika bahasa yang terkenal dengan filosofi language is a gamenya, Jean Baudrillard membaca hipersemiotika dan kebudayaan masyarakat Barat, Roland Barthes membaca text is a pleasure-nya, Peirce dengan transfigurasi rantai tanda abadinya, Marshal McLuhan membaca konsep global village, Derrida memposisikan dekonstruksi, Lyotard melakukan protes pada Grand Narrative, dan para posmodernis mempertanyakan linearitas. Dengan demikian, nama cultural studies berkembang ke arah makna yang berkharakter. Kata cultural studies didayagunakan sebagai energi intelektual dan psikologis. Perkembangan makna tersebut menjadikan kata cultural studies tidak sepadan diterjemahkan menjadi ‘kajian budaya’ seperti 13
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
yang disebutkan Subangun (1996) atau studi kemanusiaan seperti yang disarankan Fasya (2002), sekalipun aspek-aspek kebudayaan dan kemanusiaan juga merupakan hal yang sentral dalam ranah ini. Dengan sebuah harapan, cultural studies dapat menempatkan linguistik dalam fenomena ideologis, historis, ekologis, eskatologis, dan politis, bukan hanya sebagai struktur, kategori, atau variasi seperti yang menjadi fokus para linguis di tanah air umumnya. Para linguis khususnya diharapkan dapat menjadi agen untuk mengungkap kasuskasus nasional, regional, dan internasional seperti terorisme, kejahatan perbankan, kerusakan ekologi, “perang nuklir”, bencana alam, dan lain-lain demi mengangkat nilai-nilai kemanusiaan (human values). Dengan sebuah harapan, cultural studies dapat menempatkan linguistik dalam fenomena ideologis, historis, ekologis, eskatologis, dan politis, bukan hanya sebagai struktur, kategori, atau variasi seperti yang menjadi fokus para linguis di tanah air umumnya. Para linguis khususnya diharapkan dapat menjadi agen untuk mengungkap kasuskasus nasional, regional, dan internasional seperti terorisme, kejahatan perbankan, kerusakan ekologi, “perang nuklir”, bencana alam, dan lain-lain demi mengangkat nilai-nilai kemanusiaan (human values). Spirit tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu linguistik terkini, seperti ecolinguistics, forensic linguistics, biolinguistics, linguistics and tourism, language evolution, graphology, language computing, stenography, technography, dan lain lain. Cultural studies dalam aspek pengajaran dapat pula menjadi salah satu jalan menuju perwujudan harapan pendidikan berbasis kompetensi (competency-based education) yang ditawarkan pemerintah RI dan Unesco saat ini.
Daftar Pustaka Atmaja, J. 2006. Cultural Studies Mazhab Bali (Sebuah Naskah Banding). Pustaka Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya. VI, 11:1-3 Barker, C. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik (terjemahan Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana Barthes, R. 1995. Center-City, Empty Center. In Lucy, N., editor. Social Semiotics. Perth: Murdoch University, p. 249—274. Baudrillard, J. Dalam Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam, hal. 243-257. Bawa, I.W dan Cika I.W, penyunting. 2004. Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana. Bennet, T. 1996. Putting Policies into Cultural Studies. In Storey, J. What is Cultural studies? A Reader. London: Arnold, p. 307—321. Berndt, E.S. 2006. Linguistic Annotation. In Gippert, J, Nikolaus P. Himmelmann, and Ulrike Mosel. 2006. Essentials of Language Documentation. BerlinNew York: Mouton de Gruyter, p. 213-252. Budiman, M. 2001. Mengapa Cultural Studies. Makalah Seminar Studi Jerman di Indonesia diselenggarakan Program Studi Jerman UI dan DAAD, Depok, 23-24 Agustus 2001. Budiman, M. 2002. Humaniora dalam Krisis tentang Intervensi Kajian Budaya ke dalam Ilmu-ilmu Budaya. Makalah Seminar Sastra dan Budaya di
14
Sawirman
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, tanggal 24 – 26 Okotober 2002. Coulmas, F. 2005. The Study of Speakers’ Choices. Cambridge: Cambridge University Press. Derrida, J. 2002. Dekonstruksi Spritual. Terjemahan Firmansyah Argus. Yogyakarta: Bentang Budaya. During, S. Introduction. In During, S., editor. 1995. The Cultural Studies Reader. London and New York: Routledge, p.1-25. During, S., editor. 1995. The Cultural Studies Reader. London and New York: Routledge. Dwyer, A.M. 2006. Ethics and Practicalities of Cooperative Fieldwork and Analysis. In Gippert, J, Nikolaus P. Himmelmann, and Ulrike Mosel, editors. Essentials of Language Documentation. Berlin-New York: Mouton de Gruyter, p. 31-66. Eco, U. 2003. Mouse or Rat? Translation as Negotiation. London: Weidenfeld & Nicolson. Fadlillah. 2006. Kecerdasan Budaya. Padang: Unand Press. Fasya, T.K. 2002. "Cultural Studies" dan Masa Depan Ilmu Humaniora Baru. Kompas, Kamis, 22 Agustus 2002. Foucault, M. 2002. Wacana Kuasa/Pengetahuan: Wawancara Pilihan dan Tulisan-tulisan Lain 1972—1977. Terjemahan Yudi Santosa. Jogjakarta: Bentang Budaya. Freud, S. 2002. Psikoanalisis. Terjemahan Ira Puspitorini. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Gibbons, M.T. 2002, editor. Tafsir Politik (Telaah Hermeneutis Wacana SosialPolitik Kontemporer). Terjemahan Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam. Gippert, J, Nikolaus P. Himmelmann, and Ulrike Mosel, editors. 2006. Essentials of Language Documentation. Berlin-New York: Mouton de Gruyter. Inglis, F. 1993. Cultural Studies. Oxford: Basil. Kuhn, T.S. 2002. The Structure of Scientific Revolution Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Terjemahan Tjun Surjaman). Bandung: Remaja Rosdakarya. Lauder, A.F & Multamia RMT Lauder. 2005. Bahasa Sahabat Manusia: Langkah Awal Memahami Linguistik. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Lauder, Multamia RMT. Derap Perkembangan Linguistik. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Marcuse, H. 2000. Manusia Satu-Dimensi. (Terjemahan Sukur, S.S. dan Priyasudiarja, Y.) Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Mosel, U. 2006. Field Work and Community Language Work. In Gippert, J, Nikolaus P. Himmelmann, and Ulrike Mosel, editors. Essentials of Language Documentation. Berlin-New York: Mouton de Gruyter, p. 67-86. Mudana, I.G, editor. 2003. Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Nathan, D. 2006. Thick Interfaces: Mobilizing Language Documentation with Multimedia. In Gippert, J, Nikolaus P. Himmelmann, and Ulrike Mosel, editors. 2006. Essentials of Language Documentation. Berlin-New York: Mouton de Gruyter, p. 213-252.
15
Linguistika Kultura, Vol.01, No.01/Juli/2007
Piliang, Y.A. 2004. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, hal. 51—59. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI. Materi Pelatihan Cultural Studies. Paket Pelatihan Cultural Studies untuk Ilmu Bahasa dan Humaniora di PPPG Bahasa, Jakarta 28 Oktober - 1 November 2002. Ricoeur, P. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Terjemahan Musnur Hery. Yogyakarta: IRCiSod. Russell, B. 2002. Persoalan-persoalan Seputar Filsafat. Terjemahan. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Sahal, Ahmad. 2002. “Cultural Studies" dan Tersingkirnya Estetika. Kompas, Jumat, 2 Juni 2000 Said, E. 1996. Orientalisme. Cetakan III. Terjemahan Asep Hikmat. Bandung: Pustaka Salman. Sardar, Z dan Borin Van Loon. 2001. Mengenal Cultural Studies for Beginners (terjemahan Alfathri Aldin). Bandung: Mizan. Sardar, Z. and Borin Van-Loon. 2005. Introducing Cultural Studies. USA : Totem Books and Icon Books Ltd. Sawirman. 2005. Simbol Lingual Teks Politik Tan Malaka Eksplorasi, Signifikasi, dan Transfigurasi Interteks (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Sawirman dan Ramadhani Gaffar. 2006. Pengajaran Wacana Berdimensi Cultural Studies. Laporan Hibah Pengajaran Program Hibah Kompetensi A1 Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas. Sawirman. 2006a. Linguis Indonesia, Mana Aksiologismu? Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135. Disampaikan pada Seminar Duo Doktor di Unand tanggal 4 Mei 2006. Sawirman. 2006b. Jurusan Sastra Inggris dan Alumninya: Sebuah Analisis SWOT Disampaikan dalam Forum Temu Alumni, Halal Bihalal, dan Mubes Program Hibah Kompetisi A1, Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Unand Padang tanggal 18 November 2006. Sawirman. 2006c. “Eksemplar 135” dalam Teks Politik Tan Malaka (Sebuah Paradigma Alternatif “Cultural Studies”). Jurnal Kajian Budaya Program Magister dan Doktor Kajian Budaya, Volume 3 Nomor 5, Januari 2006 (ISSN. 1693-8453) Seifart, F. 2006. Orthography Development. In Gippert, J, Nikolaus P. Himmelmann, and Ulrike Mosel (eds). Essentials of Language Documentation. Berlin-New York: Mouton de Gruyter, p. 275-300 Spark, C. 1996. The Evolution of Cultural Studies. In Storey, J. What is Cultural studies? A Reader. London: Arnold, p. 14-30. Storey, J. 1996a. Cultural Studies: an Introduction. In Storey, J. What is Cultural studies? A Reader. London: Arnold, p. 1-13. Storey, J. 1996b. Cultural Studies and the Studies of Popular Culture: Theories and Methods. Edinburgh: Edinburgh University Press. Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Terjemahan Tim CV. Qalam. Yogyakarta: Qalam. Subangun, E. Mengapa dengan Mazhab Kyoto. Kompas, Kamis, 17 Oktober 1996. Wallerstein, I. 1997. Lintas Batas Ilmu Sosial (terjemahan Oscar). Yogyakarta: LKiS.
16