DALAM GELOMBANG ERA DIGITAL

Download 16 Mei 2016 ... Pemimpin Umum/. Penanggung Jawab: Pdt. Krise Anki Rotti-Gosal. Wakil Pemimpin Umum: Irma Simanjuntak. Pemimpin Redaksi: Jei...

0 downloads 729 Views 3MB Size
Oikoumene berita

Mei 2016

untu k ke e s aan d an keb angs a an

Dalam Gelombang Era Digital

1

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

Susunan Redaksi

Surat Redaksi

Penasihat:

Pembaca yang baik,

Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang (Ketua Umum PGI)

Era digital adalah sebuah keniscayaan. Kini manusia tak dapat lagi menolaknya atau melawannya. Ini sebuah fenomena kehidupan modern yang merupakan bagian yang tak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan setiap orang maupun lembaga. Bahkan dalam banyak hal era digital ini mempengaruhi kehidupan manusia saat ini. Termasuk juga mempengaruhi gereja.

Pdt. Gomar Gultom, MTh (Sekretaris Umum PGI) Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab: Pdt. Krise Anki Rotti-Gosal Wakil Pemimpin Umum: Irma Simanjuntak Pemimpin Redaksi: Jeirry Sumampow Redaktur Pelaksana: Markus Saragih Sekretaris Redaksi: Nugroho Agung Sutrisno Editor: Rainy MP Hutabarat Dewan Redaksi: Jeirry Sumampow, Rainy Hutabarat, Irma Simanjuntak, Markus Saragih, Nugroho Agung Sutrisno, Andry Pakpahan Kontributor Daerah: Aleksander Mangoting, Jury Nefosan Terok Distribusi/Keuangan: Ardina Sirait, Sumarno, Suhanda Desain dan Tata Letak: NaHapKap

Kemajuan teknologi digital saat ini telah membawa manusia dalam sebuah dunia yang baru, sebuah dunia yang tak bisa lagi dilepaskan dari perangkat elektronik yang tak bisa lagi kita hindari. Kini kita berada dalam gelombang era digital. Menyadari fenomena seperti ini, maka kami dengan sengaja mengangkat topik era baru digital ini sebagai Sajian Utama dalam BO edisi ini. Kami berharap pemuatan topik ini bisa mendorong gereja untuk mulai memanfaatkan teknologi era digital sebagai media untuk mendukung pelayanan gereja. Sebab harus kita akui bahwa teknologi telah membuat banyak hal menjadi lebih mudah dalam kehidupan ini, maupun dalam pelayanan gereja. Gereja pasti banyak terbantu oleh adanya teknologi ini. Namun, tentunya sebagai sebuah “nilai” baru, ada banyak hal yang baik, tapi ada juga yang kurang baik. Karena itu, kita juga mengingatkan untuk mengantisipasi dan menghindari efek-efek negatif yang mengikuti dan atau akan ditimbulkan oleh era baru digital ini. Kami berharap bahwa gereja akan mencernanya secara cerdas sebagai sebuah inspirasi untuk menunjang pelayanan bagi umat Kristen dan masyarakat. Lalu, melalui BO edisi ini kami juga hendak merayakan hari ulang tahun PGI ke-66 yang jatuh pada tanggal 25 Mei. Kami memuatnya dalam rubrik Laporan Khusus, yang didalamnya berisi wawancara dengan Ketua Umum PGI dan liputan komentar beberapa tokoh dan warga Kristen. Ada juga refleksi ulang tahun ke-66 dari Pdt. Zakaria Ngelow, anggota MPH PGI. Kami berharap Laporan Khusus ini bisa menjadi pemicu perenungan dan perayaan ulang tahun Gerakan Oikoumene yang juga Anda lakukan di gereja masing-masing. Kedua sajian kami diatas, tentu saja kami lengkapi dengan berbagai macam sajian lainnya sebagaimana yang biasa kami beritakan selama ini. Kami berharap semua ini berkenan dan menarik bagi Anda, serta memberi inspirasi bagi pelayanan Anda untuk gereja dan masyarakat. Akhirnya, dalam rangka ulang tahun PGI, dari ruang redaksi kami mengucapkan Dirgahayu PGI ke-66! Selamat membaca! ∎

2

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Daftar isi refleksi

3

4

sajian utama

15

• Wawancara Ketum MPH-PGI: “Merangkul Semua, Jangan ada Tertinggal” • Wawancara Anggota MPH-PGI: ”Gerakan Oikoumene Membongkar Patriarki”

20

• Aula RS PGI Cikini Siap Dipugar

Sosok

40

• Pdt. Dr. Djoys Karundeng-Rantung: Peduli Pendidikan Perdamaian

internasional

43

• World Council of Churches (WCC): Perlakuan Pihak Bandara Israel Tidak Dapat Diterima

• Gerakan Oikoumene dan Intoleransi

kolom komunikasi YAKOMA-PGI

• Intoleransi dan Diskriminisasi di Aceh Singkil Masih Terjadi! • Perayaan HUT GPIBT di Mupel III Toli-Toli Utara

• Dalam Gelombang Era Digital

opini

32

• Intoleransi Terhadap GBKP Bandung Timur

• Kadewatan di Era Digital

laporan khusus

varia

22

• Mengelola Perbedaan dalam Perspektif Budaya Jawa • Kearifan Lokal dan Era Digital • Pewartaan Kabar Media di Era Digital • Media dan Budaya Damai • Pernyataan Sikap JKLPK Terkait Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh

• Tiga Ribu Orang Mengikuti Pawai Bersama Perwakilan Gereja-gereja di Berlin untuk Toleransi • Presiden terpilih Filipina Duterte Berlakukan Kembali Hukuman Mati dengan cara digantung Resensi

46

• Seribu Peluang dan Tingkatkan Kewaspadaan dan Keamanan

• Komunikasi Gereja ditengah Era Digital

Desain Cover: Andry Pakpahan.

refleksi

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

3

Kadewatan Di Era Digital Oleh: Pdt. Sri Yuliana, M.Th

D

alam jangka waktu 15 tahun, Indonesia telah mengubah dirinya menjadi pusat dan perkembangan teknologi media dan informasi. Reparasi terhadap informasi dan juga kekuasaan selama lebih dari 30 tahun telah membangun rasa kehausan yang amat sangat terhadap informasi dan berkomunikasi. Saat ini, dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa di Indonesia, 50 juta orang telah menggunakan Facebook baik melalui media komputer maupun handphone dan smartphone (Bappenas, 2013). Pengaruh terbesar terhadap perubahan ini salah satunya bukan saja karena jumlah masyarakat kelas menengah yang konsumtif amat besar, tetapi juga pengaruh kebebasan dalam berteknologi dan berkomunikasi melalui dunia internet dan teknologi, Indonesia memiliki peringkat pengguna twitter dan facebook nomor 3 dan 4 terbesar di dunia (Bappenas, 2013). Bayangkan perubahan masyarakat yang terjadi. Begitu dahsyatnya, hingga tak jarang juga orang kemudian menjadi technophobia (ketakutan akan teknologi). Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimanakah seharusnya kita menyikapi perkembangan dunia digital yang tak mungkin dibendung ini? Mari kita belajar dari tokoh dunia pewayangan. Pada zaman Kadewatan (dunia para dewa) diceritakan Sanghiyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa khayangan dari keempat anaknya yang lahir dari sebutir telur. Lapisan-lapisan telur, yakni: kulit yang paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), kulit selaput diberi nama Batara Sarawita (Bilung), Putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan Kuning telur diberi nama Batara Manikmaya (Batara Guru). Dalam sayembara itu diberitahukan barangsiapa dari keempat anaknya dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa, maka dialah yang akan menjadi penguasa khayangan. Pertama Togog melakukannya, dia berusaha memasukkan Gunung Jamurdipa ke dalam mulutnya, tetapi mulutnya robek dan jadi dower, karena Togog memaksakan diri untuk menelan gunung itu padahal mulutnya tidak muat. Kedua Batara Sarawita (Bilung), dia

salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus yang membuat wajahnya bopeng-bopeng dan tubuhnya rusak. Ketiga Batara Ismaya (Semar), gunung bisa ditelannya bulat-bulat, tetapi karena giginya taring semua, Semar tidak mampu mengeluarkan gunung itu dalam keadaan utuh. Jadilah perut Semar besar karena ada gunung didalamnya. Terakhir, Batara Manikmaya (Batara Guru) yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan mengeluarkannya dengan keadaan utuh. Maka, Batara Guru lah yang kemudian memimpin Kadewatan. Teknologi Digital itu seumpama Gunung Jamurdipa. Gunung terbesar melambangkan kekuatan alam semesta yang dasyat. Ia memberi kehidupan sekaligus kematian dibumi. Gunung Jamurdipa digital ini menuntut siapapun untuk menghadapinya dengan kekuatan yang dimilikinya. Barangsiapa yang mampu menguasai gunung teknologi, menelannya (menerimanya) dan memutahkannya (menghasilkan sesuatu) – tanpa menghancurkannya – berarti dia dapat menggunakan teknologi itu dengan bijak. Artinya, teknologi dapat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan. Jadi, bagaimana sikap kita dalam menghadapi kemajuan jaman di era digital ini? Apakah kita seperti Togog yang menelan mentah-mentah tanpa mempersiapkan dahulu piranti, strategi, dan kemampuan kita. Bisa-bisa mulut kita jadi dower karena memaksakan diri menelan bulatbulat teknologi diluar batas kemampuan kita. Atau seperti Bilung yang menelan tanpa strategi yang matang, hingga teknologi yang akan menghancurkan kita. Atau seperti Semar, yang mampu menerima kemajuan teknologi tetapi tidak mampu menggunakannya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, perut kita jadi buncit karena teknologi itu kita gunakan untuk kesenangan diri sendiri. Menghadapi era digital ini, lebih bijak jika kita bersikap seperti Batara Guru, yang belajar dari kesalahan saudara-saudaranya. Kita harus menyikapinya dengan bijaksana, sehingga kita berhasil menggunakan dan memanfaatkannya. ∎

4

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Dalam Gelombang Era Digital Era digital telah mengantarkan manusia memasuki gaya hidup baru yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik. Teknologi menjadi alat yang membantu kebutuhan manusia. Dengan teknologi apa pun dapat dilakukan dengan mudah. Kreativitas, inovasi dan peluang-peluang baru pun muncul oleh kecanggihan berbagai macam aplikasi.

P

erkembangan tekonologi digital adalah realitas yang tak terhindari oleh siapa pun atau institusi mana saja yang hidup dalam konteks globalisasi dan masyarakat berjejaring (network society). Mau tidak mau, suka tidak suka, kita telah berada dalam gelombang era digital. Namun di balik eforianya, era digital juga berdampak negatif yang bisa merugikan orang, institusi, negara, bisnis dan seterusnya. Di tingkat individu sekurangnya tekonologi digital mendorong orang semakin lebih sedikit bergerak, malas, serba instan, kurang menghargai proses dan perjuangan, terutama bagi generasi Y selaku digital native. Fenomena ponsel mendekatkan yang jauh tetapi sekaligus menjauhkan yang dekat merebak di mana-mana. Dampak negatif lain adalah kecanduan. Ada semacam phobia yang dinamakan nomophobia, yakni

ketakutan bila ponsel ketinggalan. Belum lagi hiruk-pikuk berupa sampah informasi (hoax, kampanye hitam, ujaran kebencian, pornografi, dst) di media daring dan media sosial. Media sosial juga mengubah gaya hidup manusia saat ini. Pemilik akun media sosial senantiasa update dan berbagi informasi setiap saatnya, meskipun sumber informasi tersebut belum tentu benar. Lewat media sosial kita saling berbagi apa pun, mencari teman, yang juga belum tentu sosok yang sesungguhnya. Bagaimana gereja di tengah pusaran era digital ini? Mengulik perkembangan era digital dalam kehidupan gereja, Tim Media PGI belum lama ini menggelar diskusi di Lantai II Grha Oikoumene, 7 April 2016, dengan mengundang sejumlah pemerhati dan pegiat media. Hasil-hasil diskusi yang menjadi bahan Sajian Utama majalah Berita Oikoumene ini, diharapkan memberi manfaat bagi gereja.

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

Hubungan Maya Tak Identik Relasi Nyata Rhere Rewindinar, Kepala Humas BPK Penabur mengungkapkan, teknologi digital memang tidak dapat dihindari namun perlu dipahami apa manfaatnya, termasuk oleh gereja. Karena itu kita tidak boleh sekadar mengikuti tren. Selain manfaat, menurutnya, gereja juga perlu mengetahui dampak-dampak negatif yang ditimbulkan teknologi digital. “Gereja harus mempelajarinya agar dapat mengoptimalkan manfaat teknologi digital dalam pelayanannya. Dunbar Numbers, salah satu dosen Antropolog, mengatakan, sebenarnya di media sosial hanya 150 orang dari pertemanan kita yang benar-benar peduli terhadap kehidupan kita. Jadi, kalau hari ini ada yang punya 5000 followers di Twitter, hanya 150 orang yang peduli, dan lebih luar biasa lagi hanya 4 persen yang mau ikut berbagi saat kita mengalami krisis. Rhere menambahkan, “Ada tiga faktor kunci dalam dunia digital, yaitu masyarakat, proses dan teknologi. Masyarakat berarti, bagaimana memperlengkapi orang-orang dalam menghadapi dunia digital. “ Sedangkan proses bicara mengenai pesan. “Banyak orang suka kehidupan keluarga atau kehidupan pribadi diposting di Facebook. Inilah yang dikatakan salah satu dampak negatif atau kehancuran dunia digital, di mana semua tidak lagi menjadi rahasia. Seharusnya 70 persen itu menyampaikan informasi dan 30 persen info pribadi. Di sinilah diperlukan bagaimana manajemen identitas kita sendiri sebagai orang dewasa, dan perlunya gereja menyadarkan jemaatnya. Dari segi

sajian utama teknologi berarti ihwal infrastruktur. “Tidak semua belahan bumi Indonesia telah dirambah oleh dunia teknologi,” papar Rhere. Sementara itu, Rainy Hutabarat dari YAKOMA PGI melihat, salah satu tantangan era digital adalah generasi Y yang kurang menghargai proses, pergumulan atau perjuangan. Banyaknya informasi yang dikonsumsi tidak berarti mereka menjadi lebih ilmiah atau cerdas dibanding generasi X dan generasi sebelumnya yang sulit mendapat informasi. “Copy-paste bahkan mendorong plagiasi, hasil instan dan kurang menghargai proses. Mereka mengkonsumsi banyak hanya dengan klik di ujung jari,” katanya. Selain itu, dunia yang serba digital juga mengikis human relationship. Gawai dapat mendekatkan yang jauh, tetapi juga menjauhkan yang dekat. Seiring dampak ini, muncul tantangan-tantangan teologis. Antara lain, mungkinkah

5

ke depan sakramen tertentu dalam gereja seperti pernikahan, konseling, bahkan kotbah dimediasi oleh teknologi digital. Misalnya dalam pernikahan, tak perlu lagi dihadiri oleh pendeta secara fisik, karena teknologi digital mampu menghadirkan sosok pendeta dalam tempo riil, seperti hologram, yang berada di tempat jauh; seolaholah dalam gedung ibadah. Juga konseling bisa dilakukan dengan skype, hologram. “Sekarang saja jemaat yang bosan mendengar khotbah, langsung buka ponsel dan berwhatsapp-ria, baca media daring, menonton film, atau Facebook. Ponsel digenggam erat selama beribadah karena juga menyimpan Alkitab, Kidung Jemaat atau NKB elektronik. Ini tantangan yang harus dipedulikan gereja. Bisakah pemberkatan pernikahan dimediasi teknologi digital dan berlangsung dalam ruang maya?” Rainy Hutabarat menambahkan, hal lain, gereja juga belum optimal memanfaatkan dunia maya seperti internet, blog, Facebook,

Diskusi terbatas dengan pemerhati dan pegiat, bertajuk “Gereja dalam Era Digital”

6

sajian utama

youtube, Twitter, Whatsapp sebagai sarana koneksi, koordinasi atau penyebaran informasi strategis. Meskipun ada beberapa gereja yang telah melakukan hal ini. Belum lagi penyimpanan dokumentasi awan (cloud) yang dapat digunakan secara cuma-cuma. Merumuskan Kembali Arti Persekutuan Tantangan teologis lain yang bergulir dalam diskusi terbatas yang berlangsung hampir dua jam tersebut adalah pemaknaan koinonia. “Salah satu yang penting adalah merumuskan kembali apa arti koinonia,” kata Jeirry Sumampow, Kepala Humas PGI. “Dalam Alkitab, persekutuan dalam gereja itu memang berarti pertemuan orang-orang secara fisik. Dalam sebuah diskusi pernah diungkapkan adanya kekhawatiran anak-anak malas ke gereja karena asik dengan gawai, lalu ada tawaran untuk memasukkan semacam pembinaan rohani ke dalam gawai, dan orangtua bisa mengarahkannya sebagai alternatif. Dulu gereja resisten dengan Alkitab elektronik, tetapi kini hampir semua pemilik gawai memiliki Alkitab, juga Kidung Jemaat atau NKB digital dalam gawainya,” jelasnya. Ir. Suyapto Tandyawasesa, Bendahara Umum Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengatakan, “Teknologi digital tak dapat menggantikan seluruh hubungan langsung fisik persekutuan dan sakramen kudus seperti pernikahan, baptisan, apalagi ibadah. Hubungan kita dengan Tuhan tidak bisa di-digitalize. Namun pewartaan bisa memanfaatkan tekonologi yang ada.” Menurut Aiko Widhidama Sumichan, mahasiswa studi lanjut di STT Jakarta, persekutuan virtual dalam gereja pernah diwacanakan bahkan ada beberapa kelompok yang melaksanakannya. Ini terjadi sekitar tahun 90-an. Yang terjadi sekarang, banyak gereja yang kembali ke dalam bentuk persekutuan sebagaimana awalnya, yakni persekutuan secara fisik. Contohnya, ketika siaran televisi banyak diisi khotbah muncul kekhawatiran jemaat tidak akan datang bersekutu beribadah bersama. Orang menyebut-nyebut gereja elektronik. Tetapi kekhawatiran tersebut tidak terjadi. “Intinya adalah, bagaimana di era digital ini kita mulai mengarahkan komunikasi Kristen atau gereja-gereja menerjemahkan pesan-pesan Kristen ke dalam bahasa digital. Sulitnya kita masih stagnan, karena para pekerja gereja sebenarnya tidak terlibat di dunia digital, dan masih banyak pendeta yang gaptek,” katanya.

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Hal senada juga disampaikan Abdiel Fortunatus Tanias, Kepala Biro Pemuda dan Remaja PGI. Dalam era digital, menurutnya, penting bagaimana pesanpesan kekristenan disampaikan dengan menggunakan berbagai media sosial. “Alkitab Suara, salah satu produk teknologi digital dibuat karena melihat adanya peluang di mana tulisan yang biasa kita baca dalam Alkitab dibahasakan melalui audio yang mempermudah orangorang untuk dapat mendengarkan firman Tuhan di mana saja dan kapan saja.” Harsiatmo Duta Pranowo, Sekjen LAI mengatakan bahwa Alkitab Suara juga diproduksi untuk para tunanetra selain generasi Y. Tidak Mesti Menjadi Perubahan Besar Paparan Melati Tobing, M.Si, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia (UKI), menjadi penutup yang menguatkan gereja-gereja dalam menghadapi gelombang arus era digital. Menurut perempuan yang tengah menempuh studi Doktoral di Universitas Indonesia (UI) ini, era digital menjadi fenomenal, tetapi sesungguhnya tidak mesti menjadi suatu perubahan besar yang sulit diterima gereja. Gereja perlu melihat bagaimana perubahan tersebut memberikan manfaat dalam meningkatkan pelayanan dan kerohanian jemaat melalui kegiatan diakonia, koinonia dan marturia. Saat ini teknologi digital telah mengubah sistem analog yang telah lama dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan pelayanan gereja selama bertahun-tahun. Sejumlah gereja di ibukota serta kota-kota besar di Indonesia sudah mulai menggunakan teknologi digital ini sebagai support system dalam pelayanan regular maupun non regular mereka. Namun di sisi lain, era digitalisasi berdampak negatif. Situs web, blog, hingga media sosial adalah media berbasis internet yang mudah untuk dibuat dan dikelola gereja, mudah diakses oleh warga gereja, terutama generasi Y, dan mudah pula diakses oleh “jiwa-jiwa baru” atau dimanipulasi untuk hoax misalnya. Diibaratkan pedang bermata dua. ∎ (Markus Saragih)

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

sajian utama

7

Harsiatmo Duta Pranowo, Sekjen Lembaga Alkitab Indonesia (LAI):

Alkitab Digital Plus untuk Kaum Muda

L

AI mulai merambah produk digital diawali dengan Alkitab elektronik. Alkitab elektronik (AE) versi 1 diluncurkan tahun 2000. Alkitab ini memuat tiga versi terjemahan. Bahasa Indonesia, terdiri dari Terjemahan Lama (TL), Terjemahan Baru (TB) dan Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) dan dilengkapi juga dengan Deuterokanonika dan 12 bahasa dearah plus 12 bahasa dalam bentuk Perjanjian Baru (Testamen). Tidak ada data berapa yang tersebar, namun produksi diperkirakan mencapai 2.000 unit dan habis terjual. AE versi 2 diluncurkan pada 2002 dengan penambahan bahasa daerah menjadi 13 bahasa dalam bentuk Alkitab lengkap dan 14 bahasa dalam bentuk Perjanjian Baru. Kedua AE tersebut dikerjakan secara voluntir oleh mitra LAI perorangan. Untuk mengembangkan versi selanjutnya, LAI mengalami kesulitan, karena source code programnya dipegang yang bersangkutan. Sementara yang bersangkutan sudah tidak lagi terbeban untuk

melanjutkan kerja sama. Pembuatan produk-produk digital LAI lebih dilatarbelakangi kebutuhan dan banyaknya permintaan dari pengguna. LAI menyadari perkembangan elektronik sifatnya ekspansial. Meskipun produk-produk cetak kemungkinan masih tetap bertahan, namun ke depan akan lebih didominasi produk-produk digital. Karena itu, sejak 2010 LAI membentuk Tim Penyusunan Term of Reference (TOR) Pengembangan Produk Digital LAI. Langkah antisipatif LAI sejak 2010, bahwa LAI menyediakan Alkitab digital yang menarik untuk dibaca dan dilengkapi dengan bahan-bahan refenrensi. LAI ingin berperan sebagai content owner (penyedia raw material) maupun content provider atau content development (penyedia program yang dikemas dalam stau paketpaket tematis). Masuk dalam era digital memang menghadapi banyak tantangan. Seperti bagaimana mengubah pola pikir LAI yang terbiasa dengan produk cetak dan ketika mulai masuk dalam produk digital ada banyak hal baru yang masih harus dikuasai. Dan perkembangan teknologi yang sangat cepat

tidak mudah untuk dikelola. Tantangan lain, yaitu investasi dana yang relatif besar tetapi pendapatan (dana) ini minim. Belum lagi produk digital sangat rentan pembajakan, dengan mudah mengembangkan aplikasi tanpa perlu meminta izin kepada LAI. Namun menyikapi semua tantangan ini, meski berat LAI tetap bersikap positif, termasuk menyikapi aksi pembajakan. Zaman telah berubah. Yang penting, LAI terus mengembangkan Alkitab D plus (cetak, audio, dll) yang diluncurkan sejak 2012 untuk memenuhi kebutuhan para pengguna, khususnya pengguna kaum muda. Di samping itu, tetap menyusun kekuatan bersama gereja dan umat dalam menghadirkan kontenkonten digital yang berhubungan dengan Alkitab. Zaman berubah, namun firman Tuhan tidak berubah, kebenaran firman Tuhan harus disampaikan. Selain konsisten mengembangkan produk digital, LAI membentuk Tim Pengembangan Produk Digital untuk menyusun rencana jangka panjang pengembangan produk digital LAI. Diharapkan dengan memenuhi kebutuhan para pengguna dengan produk digital, LAI dapat mengikuti perubahan zaman. ∎ (MS/RH)

8

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

sajian utama

Pontas Purba, Pengurus YAMUGER, Anggota Tim Inti Nyanyian Gereja

Gereja Harus Menghormati Hak Cipta

E

ra digital, bagaimanapun tidak bisa dibendung dan semua harus menyesuaikan diri, meski banyak juga dampak negatifnya, salah satunya hak cipta dilupakan. Nah, menurut YAMUGER para pencipta lagu itu punya hak intelektual bila karyanya ditayangkan secara online termasuk diputar di gereja secara digital, hanya mengkopi saja sudah harus ada copyright sebenarnya. Namun ini masih banyak diabaikan. Katakanlah, sekarang ini YAMUGER hampir terseok-seok. Core bisnisnya semula adalah buku terbitan YAMUGER namun sekarang sudah semakin sedikit pemakaiannya di gereja-gereja karena sudah banyak yang menggunakan tekonologi digital, misal dengan infokus, big screen, tablet, dan sebagainya. Melihat ke depan, YAMUGER juga akan mengikuti itu, namun perlu terlebih dahulu dilakukan pendekatan bagaimana mendekati gereja-gereja dan membangun kesadaran akan tanggung jawab mereka kepada para pencipta lagu. Di sinilah kami harapkan, gereja juga harus peduli dan bertanggung jawab. Kalau pencita lagu sudah lima puluh tahun ke atas, memang sudah tidak ada hak ciptanya lagi, di seluruh negara juga sudah seperti itu. Mungkin, bidikan pertama YAMUGER adalah kalangan anak-anak muda, generasi Y yang merupakan digital native. Kita harus mengenal kebiasaan dan kemauan meraka. Kalau dulu identitas Kristen datang ke gereja bawa Alkitab dan Kidung Jemaat, sekarang tidak bisa kita harapkan lagi. Sekarang ponsel menjadi suci. Ini

kenyataan yang tidak bisa kita bendung. Bagaimana kita bisa masuk dalam pusaran perkembangan itu? . Untuk mewujudkan misi ini, memang salah satu tantangannya adalah dana yang tidak sedikit. Tujuannya tentu saja tidak semata komersial melainkan bagaimana nantinya YAMUGER bisa hidup dan demikian juga para pencipta lagu. (MS/RH)

sajian utama

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

9

Pdt. Ir. Suyapto Tandyawasesa, Bendahara Umum GBI

Hubungan Kita dengan Tuhan Tidak Bisa Di-digitalize

S

alah satu perubahan besar dalam era digital adalah komunikasi. Dulu komunikasi dilakukan mukatemu-muka, secara verbal, kertas surat, dilanjutkan dengan telepon atau dengan menggunakan kertas, dan berkembang diperantarai telepon, sekarang bisa bersifat langsung dan audiovisual atau melalui surat elektronik, pesan singkat (SMS), obrolan (chatting), BBM, Whatsapp, dan seterusnya. Hampir semua GBI telah menggunakan teknologi digital sebagai sarana komunikasi dalam ibadah. Tentu, kegunaan dari teknologi digital ini hanya sebagai sarana mempermudah kita untuk berbuat sesuatu, termasuk komunikasi. Yang paling terdampak teknologi digital adalah, kehidupan sosial sebab sering terjadi yang jauh didekatkan dan sekaligus yang dekat dijauhkan. Ini jelas masalah. Sekarang kita bicara yang jauh didekatkan, artinya dulu yang tak terjangkau kini bisa dijangkau. Tetapi ketika yang dekat menjadi jauh. Ini ibarat pedang bermata dua. Teknologi sendiri adalah sesuatu yang netral, semua orang bisa memanfaatkannya. Dari perspektif rohani, kita harus melihat bagaimana kemajuan teknologi digital dapat manfaatkan untuk kepentingan umat dalam pelayanan. Dan GBI sangat memperhatikan hal ini. Penggunaan layar lebar dan sebagainya, tidak masalah di GBI. Gereja bisa menggunakan teknologi digital yang lebih canggih. Memang semakin canggih, juga semakin mahal. Apakah ini mengurangi persekutuan di gereja, tentu tidak.

Fungsinya hanya sebagai alat pembantu, jadi bukan sesuatu yang harus ada. Kita perlu memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk memuliakan Tuhan. Perlu ditegaskan, teknologi digital tak dapat menggantikan seluruh hubungan langsung fisik persekutuan dan sakramen kudus seperti pernikahan, baptisan, apalagi ibadah. Hubungan kita dengan Tuhan tidak bisa di-digitalize. Namun pewartaan bisa memanfaatkan tekonologi yang ada. Misal, media sosial, Facebook, Twitter, dan sebagainya. Firman Tuhan mengatakan, persekutuan kita tidak bisa digantikan. Yang penting persekutuan antara saudara-saudara seiman. Mendengar firman-Nya sendiri, dan setelahnya mungkin orang tergerak untuk bersekutu. Ini memang menjadi tantangan gereja, yaitu mempertahankan persekutuan kita (koinonia). Kalau sekarang ada Alkitab audio-digital, GBI melihat keberadaannya akan mempengaruhi orang untuk tidak ke gereja. Dia hanya untuk memudahkan orang mendegar Firman. Intinya, ketika kita memberitakan Injil dan Firman Tuhan, jelaslah bahwa persekutuan dengan anak-anak Tuhan itu sangat penting dan tidak bisa digantikan dengan teknologi canggih. ∎ (MS)

Diskusi Kelompok sebagai persekutuan yang saling berbagi pengalaman, pengetahuan dan informasi serta saling mengenal dan akrab satu sama lain.

10

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

sajian utama

Dr. Elika Dwi Murwani, M.M, Deputi Direktur Pelaksana BPK PENABUR Jakarta

Tiga Hal Ingin Dicapai:

Teknologi, Bahasa dan Karakter

B

adan Pendidikan Kristen (BPK) PENABUR adalah salah satu sekolah kristen yang menerapkan teknologi digital dalam kegiatan belajar mengajar. Untuk mengetahui lebih jauh penggunaan teknologi tersebut, Redaksi mewawancarai Dr. Elika Dwi Murwani, M.M,. Berikut nukilan wawancara.

Sejak kapan BPK PENABUR Jakarta memanfaatkan internet untuk pelayanan pendidikan? Di bidang apakah pertama kali digunakan, bagaimana awalnya dan mengapa? BPK Penabur sudah berdiri sejak 1950 dan usianya hampir 66 tahun. Sejak 1996 mulai diusahakan penggunaan internet dengan dibuatnya situsweb BPK PENABUR pertama oleh Mark P. Eliasaputra yang hostingnya ketika itu masih numpang di server Wiscounsin University berkat bantuan dari Jeffrey Rufinus, PhD, alumnus SMAK 1 BPK PENABUR Jakarta. J. Rufinus mengusulkan untuk mendaftar di Amerika Serikat dengan nama “bpkpenabur.org”. Tetapi karena perlu biaya, harapan tersebut kandas. Home page BPK PENABUR telah menyita tempat sebesar 30 MB dan ini perlu biaya cukup besar. Puji Tuhan, tahun 1997 sudah ada domain name “bpkpenabur.or.id”. Juga sudah bisa diakses home page BPK PENABUR pada alamat: http:// www.bpkpenabur.or.id”. Hanya sayang waktu itu link-link yang ada di dalamnya belum berjalan mulus

karena masalah huruf besar dan huruf kecil. Ini disebabkan server BITNET menggunakan operating system UNIX.

banyak yang diirit, tidak perlu lagi kurir kalau kirim undangan, tidak pelu lagi kertas, dengan internet semua lebih cepat.

Latar belakang untuk masuk dalam Apakah semua sekolah BPK dunia digital pertama karena tren. PENABUR sudah memanfaatkan Bagaimanapun, orangtua akan internet dan sesama sekolah melihat pendidikan di BPK PENABUR PENABUR saling terkoneksi? Mohon itu menghadapi dunia yang semakin dipaparkan interkonektivitas dan maju, dan orangtua juga pasti akan pengelolaannya. lebih memandang bila PENABUR Sudah. Kami telah menggunakan dikelola dengan modern. Kedua, BPK fiber optic dan menggunakan gedung PENABUR itu luas. BPK PENABUR ada siber jadi kapasitasnya luar biasa di 15 kota dari Tasikmalaya sampai besar. Untuk mengelolanya kami ke Metro, Lampung. Sementara punya Divisi SIM (System Information kalau PENABUR Jakarta sendiri saat Management). ini sudah ada Divisi ini 72 sekolah, Teknologi, selain ada yang terdiri dari membantu kita juga pengembangan 25 kompleks satu lagi untuk mengubah paradigma, sekolah. jaringan dan Karena kami kita tidak bisa lagi berpikir infrastruktur. memang besar dengan cara lama. Divisi ini sehariakan sangat hari merawat Tetapi memang katanya terbantu kalau jaringan. Ada menggunakan menjauhkan yang dekat sekitar 30 orang teknologi di divisi ini. tetapi juga menjauhkan digital. Dengan Kami sentralistik menggunakan yang dekat. meskipun ada teknologi itu

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

di banyak tempat. Untuk seluruh sekolah PENABUR di luar Jakarta kami pakai www.bpkpenabur.or.id. Apakah Internet dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan sekolah terkait pembelajaran dan hubungan dengan siswa-siswa? Bagaimana penerapan dan pengelolaannya?

sajian utama

canggih kita bisa menjangkau informasi dengan jauh, cukup dengan jaring tangan saja; kita bisa buka apa saja. Dan kita pun ditawari apa saja dari dunia ini. Nah, sekarang justru bagaimana kita membekali anak untuk lebih bijaksana mengakses internet. Maka

11

juga anak-anak murid sekarang kan tuntutannya banyak ya kita pun sekarang ini sudah menggunakan fiber optic karena memang kebutuhannya sangat besar sekali untuk penggunaan internet itu. Adakah disiplin tertentu penggunaan ponsel oleh siswa-

Internet atau IT sebagai tools yang bisa membuat pengelolaan atau pembelajaran di sekolah lebih efektif. Memang kami tetap memiliki keterbatasan dan membatasi juga dengan menutup situs-situs tertentu. Intinya kami memanfaatkan itu sebaik mungkin dan membekali anak-anak lebih pada mengasah karakter mereka sehingga nanti ketika mereka terjun ke dalam masyarakat, mereka sudah punya pegangan. Dalam era seperti ini kita tidak bisa tenang, tetapi justru kita lebih giat memajukan pendidikan. Betul. Sekolah-sekolah kami kalau untuk pembelajaran menggunakan MUDE semacam aplikasi, ada juga yang menggunakan ETMODO, juga yang mengggunakan Google Aps. Ini semua untuk pembelajaran, komunikasi antarsiswa, juga dengan guru dan orangtua jika ada tugastugas. Antarsiswa mereka bisa mendiskusikan tugas-tugas dari guru. Sejauh mana BPK PENABUR mendorong siswa-siswanya menggunakan internet? Apa alasan pedagogis di balik kebijakan itu? Bagi PENABUR ada tiga hal yang ingin kami capai mengacu kepada era globalisasi sekarang ini yaitu teknologi, bahasa, dan karakter. Ketiga hal ini yang akan selalu mewarnai program-program PENABUR. Karakter ini tidak kalah pentingnya. Karena dalam era dengan teknologi yang semakin

sangat berbahaya kalau kita tidak membekali anak-anak ini dengan karakter yang baik. Kalau IT, internet, gadget itu kan alat, jadi tinggal bagaimana kita menggunakannya, apakah untuk hal yang positif. Jadi dasar pedagoginya, kita tidak hanya mendasarinya dengan kemajuan teknologi, meski itu memang harus, mau tidak mau, dan justru dengan itu kita harus makin giat membekali anak-anak bukan hanya dengan ilmu, juga kita harus lebih giat lagi dalam membina mereka dalam hal karakter. Teknologi, selain membantu kita juga mengubah paradigma, kita tidak bisa lagi berpikir dengan cara lama. Tetapi memang katanya menjauhkan yang dekat tetapi juga menjauhkan yang dekat. Ini juga selain sebagai sarana komunikasi antara kami, begitu

siswa selama proses belajar sekolah-sekolah PENABUR? Mengapa? Kalau disiplin ilmu tertentu tidak ada. Tetapi biasanya masuk dalam laboratirum atau lab komputer kita menyebutnya. Ke depan memang sedang merencanakan Learning Manajemen System (LMS). Pemerintah sendiri kan sekarang ada Ujian Nasional Berbasis Teknologi (UNBT) itu kan mereka juga tampilan ya, jadi dengan menggunakan ini anakanak ikut UNBT, itu mereka sudah familiar. Teknologi ini selain kita memperhitungkan biaya, juga itu tidak mudah karena tergantung juga nanti SDM-nya. Apakah visi dan misi BPK PENABUR sebagai lembaga pendidikan Kristen menempatkan internet sebagai bagian dari dunia pendidikan?

12

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

sajian utama

Kami melihat era teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa disingkirkan, dan tidak bisa ditunda-tunda. Sebab itu musti dimulai meskipun bertahap, dan untuk pengadaannya memang membutuhkan biayanya tidak sedikit tetapi kami sudah bertekat. Dengan teknologi selain membantu kita juga merubah paradigma, kita tidak bisa lagi berpikir dengan cara lama. Tetapi memang, katanya menjauhkan yang dekat tetapi juga menjauhkan yang dekat.

pengelolaan atau pembelajaran di sekolah lebih efektif. Memang kami tetap memiliki keterbatasan dan membatasi juga dengan menutup situs-situs tertentu. Intinya kami memanfaatkan itu sebaik mungkin dan membekali anak-anak lebih pada mengasah karakter mereka sehingga nanti ketika mereka terjun ke dalam masyarakat, mereka sudah punya pegangan. Dalam era seperti ini kita tidak bisa tenang, tetapi justru kita lebih giat memajukan pendidikan.

Tadi di awal sudah saya jelaskan ada soal 3 hal yang ingin dicapai BPK PENABUR: teknologi, bahasa dan karakter. Untuk teknologi sudah jelas bahwa di era globalisasi kemajuan teknologi digital tidak bisa dielakkan. Maka kami harus “menunggangi” atau men-drive supaya kita ikut bergerak.

Harapan kepada sekolah-sekolah Kristen?

Internet atau IT sebagai tools yang bisa membuat

Mari kita manfaatkan kemajuan tekonologi ini untuk pengembangan dan komunikasi mengingat bahwa Indonesia itu luas. Jangan alergi terhadap teknologi. Kita harus melek teknologi supaya memperkaya dan bisa lebih maju. ∎ (MS/RH)

Negara Pengguna Internet Terbesar di Dunia Internet World States (2012) meliris peringkat negara-negara pengakses internet. Indonesia tercatat sebagai negara ke-8 pengakses internet tertinggi di dunia. 1. Tiongkok Dengan penduduk mencapai 1,343,239,923 jiwa, ada 538 juta pengguna internet di negara itu atau 22,4% dari total populasi internet dunia. Populasi: 1,343,239,923 jiwa Pengguna internet: 538,000,000 jiwa Percentage of World Internet User: 22,4 % 2. Amerika Serikat Amerika Serikat menduduki peringkat kedua sebagai pengguna internet terbesar di dunia. Google, Apple sampai Facebook memiliki jutaan pengguna di negara ini. Populasi: 313,847,465 jiwa Pengguna internet: 245,203,319 jiwa Percentage of World Internet User: 10.2 % 3. India Sebagai negara Asia dengan populasi terbesar ke-2 di dunia, India memiliki pengguna internet sebanyak 5,7% dari total populasi internet dunia. Populasi: 1,205,073,612 jiwa Pengguna internet: 137,000,000 jiwa Percentage of World Internet User: 5,7 %

4. Jepang Sebagai negara “hi-tech”, Jepang menduduki peringkat ke-4 sebagai pengguna internet terbesar dunia. Populasi: 127,368,088 jiwa Pengguna internet: 101,228,736 jiwa Percentage of World Internet User: 4.2 % 5. Brasil Kemajuan teknologi di Brasil menempatkannya di peringkat 5 pengguna internet terbesar dunia. Populasi: 193,946,886 jiwa Pengguna internet: 87,276,099 jiwa Percentage of World Internet User: 3.6 % 6. Rusia Pengguna internet di Rusia mencapai hampir 68 juta jiwa atau mendekati 1/2 dari total penduduknya. Populasi: 142,517,670 jiwa Pengguna internet: 67,982,547 jiwa Percentage of World Internet User: 2.8 % 7. Jerman Penetrasi teknologi relatif tinggi menempatkan Jerman di peringkat 7 pengguna internet terbesar dunia.

Populasi: 81,305,856 jiwa Pengguna internet: 67,483,860 jiwa Percentage of World Internet User: 2.8 % 8. Indonesia Indonesia memiliki 55 juta pengguna internet atau sekitar 22,1 persen dari total populasi internet dunia. Populasi: 248,645,008 jiwa Pengguna internet: 55,000,000 jiwa Percentage of World Internet User: 2.3 % 9. Inggris Negara ini menduduki peringkat ke-9. Inggris memiliki infrastruktur IT serta koneksitas internet terbaik. Populasi: 63,047,162 jiwa Pengguna internet: 52,731,209 jiwa Percentage of World Internet User: 2.2 % 10. Prancis Negara yang ada di Eropa ini memiliki pengguna internet sebesar 52 juta jiwa atau sekitar 2,2% dari total populasi internet dunia. Populasi: 65,630,692 jiwa Pengguna internet: 52,228,905 jiwa Percentage of World Internet User: 2.2 %

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

sajian utama

13

Siasat Media Gereja di Era Digital Oleh P. Hasudungan Sirait

S

ejumlah media masa cetak terkemuka dunia tersungkur akibat dibelit krisis keuangan. Los Angeles Times, The Christian Science Monitor, The New York Daily News, The Boston Globe,The Miami Herald, The Detroit News, dan The Chicago Tribune di antaranya. Juga dua media terbaik dunia, The Washington Post dan Newsweek. Bersama The New York Times, The Washington Post adalah koran pengumpul hadiah Pulitzer terbanyak. Sedangkan Newsweek merupakan pesaing terdekat majalah Time sejak lama. Umumnya media yang terkapar ini kemudian bermigrasi ke daring (online). Newsweek yang sudah beredar 79 tahun, termasuk. Sejak 1 Januari 2013 formatnya online saja. Adapun The Washington Post, harian ini hadir dalam sosok digital dan cetak tapi kepemilikannya telah beralih ke tangan Jeffrey Preston ‘Jeff ‘ Bezos, bos Amazon.com. Di Indonesia pun krisis serupa terjadi. Terbitan yang sedang megap-megap banyak, termasuk di Jakarta. Yang laksana kerakap tumbuh di batu: hidup segan, mati tak mau, bejibun. Yang telah tumpas betul juga ada. Contohnya adalah koran Jurnal Nasional, Sinar Harapan (koran), dan Fortune, majalah AS yang edisi Indonesianya ditangani kelompok Kompas-Gramedia. Senja kala media massa cetak sedang berlangsung di seluruh dunia. Di saat masa jayanya kian berlalu penyakit akut pun menjangkiti penyuguh warta yang mengunakan kertas tersebut. Krisis keuangan adalah wujud utama penggerogot kesehatan itu. Tiras merosot. Sebagai konsekuensi logisnya pemasang iklan pun pindah ke lain hati [di AS tahun 2014 iklan di media cetak hanya 4%; di media digital 48%, TV 37%, dan radio 11%]. Padahal, di mana pun, sumber finansial utama media cetak adalah iklan; setelah itu baru hasil penjualan berlangganan dan eceran. Pada sisi lain, koran, majalah, dan tabloid memerlukan ongkos besar terutama untuk pencetakan dan pendistribusian. Tiras media massa cetak merosot karena pembacanya telah beringsut ke lain hati. Ke media digital mereka

berpaling. Di seluruh dunia tinggal generasi baby boomer (kelahiran tahun 1946-1964) dan generasi X (19651980) saja yang masih mengakrabi media cetak; itu pun jumlahnya terus menurun karena kematian, keuzuran, atau keterpikatan pada teknologi baru. Generasi X, terutama, sudah semakin banyak yang meninggalkan ‘media lama’. Adapun generasi Y (1981-1994) dan Z (1995-2010) telah benar-benar berkiblat ke media digital karena begitu lahir pun sudah dikelilingi gawai (gadget) yang memanfaatkan teknologi informasi (TI). Tepatlah kalau mereka disebut digital native (sedangkan julukan untuk angkatan sebelum mereka yang meminati TI adalah immigrant digital). Bagi kaum digital native media cetak itu sangat ‘jadul’ karena wadahnya masih kertas, isinya naskah-foto-karikatur-infografis saja, pemutakhiran informasinya tidak bisa terus-menerus, serta komunikasinya satu arah. Pasalnya, mereka terbiasa dengan kultur media daring yang multi-platform alias konvergen [mengawinkan teks-streaming suara-fotovideo-grafis] sekaligus, up-dating yang berkelanjutan, serta interaktif sehingga setiap pembaca berkesempatan juga menjadi pewarta. Media massa cetak tidak mati setelah radio dan televisi hadir. Sesudah media digital muncul juga demikian. Tapi pembacanya bakal jauh berkurang apalagi jika sajiannya masih seperti sekarang. Agar selamat meniti buih terbitan harus berbenah betul. Soalnya tantangannya di masa sekarang, apalagi nanti, jauh lebih besar. Yang sedang dihadapinya adalah saingan yang maha agresif dengan semangat mewartakan non-stop 24 jam sehari: media massa online dan media sosial. Jurus-jurus lawas tak cocok lagi mereka pakai. Kembali ke standar jurnalisme dengan penekanan pada pendalaman dan penguakan (investigasi), termasuk strategi yang perlu mereka jalankan.

14

sajian utama

Media gereja Media massa cetak sudah babak belur menghadapi media digital. Bagaimana pula nasib media gereja yang sampai hari ini pun umumnya masih berformat cetak dan manajemennya [redaksi dan bisnis] umumnya berantakan? Serbuan media digital tentu saja berimbas ke media gereja. Lihatlah: di zaman media sosial sekarang apa pun perkembangan di lingkungan gereja akan lekas menjadi pengetahuan jemaat dan sinode lewat Facebook, Twitter, WhatsApp, grup BBM, serta yang lain. Dengan begitu sajian media gereja—terbitan yang belum tentu saban bulan muncul—itu sudah barang basi sebenarnya. Apalagi kalau periode hadirnya triwulanan atau semesteran. Seperti media massa cetak, media gereja pun tak akan tumpas oleh media digital. Pertanyaannya sekarang adalah: masih perlukah ada terbitan di lingkungan sinode ini? Menurut saya tetap perlu. Sebab di kota pun masih banyak jemaat dan anggota sinode yang belum bermedia sosial; apalagi di kawasan tenpencil yang tak ada sambungan internetnya. Media ini perlu ada sebagai jembatan informasi untuk siapa saja yang menjadi bagian dari komunitas gereja; tak soal mereka melek internet atau tidak. Lewat media inilah verifikasi terhadap informasi yang simpang siur—seperti yang di media sosial itu—dilakukan. Memverifikasi merupakan peran sentral yang perlu dimainkan oleh pengelolanya. Untuk itu mereka harus berpatokan pada standar jurnalisme yang menekankan: fakta, bukan opini; cover both sides, cover all-sides; imparsial, menjaga akurasi; dan taat kode etik. Media gereja adalah wahana komunitas. Kata kunci dalam komunitas adalah: dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Yang dimaksud dengan ‘kita’ adalah setiap insan yang menjadi bagian dari komunitas. Tak ada kekecualian dalam ‘kekitaan’ ini. Media komunitas yang hidup dan sehat adalah yang melibatkan semua stake holder-nya. Pelibatan mereka baik sebagai narasumber maupun kontributor berita. Apa yang menjadi hirauan bersama menjadi isu-isu prioritas dalam sajian.

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Mengingat unsur komunitas yang serba majemuk, ada bagusnya kalau format media gereja juga ada yang digital selain yang cetak. Yang online ini terutama untuk anggota komunitas gereja yang sudah akrab dengan gawai. Tentu saja penekan sajiannya bukan pada kecepatan pemutakhiran informasi—seperti obsesi media massa macam Detik.com atau Liputan6.com—melainkan pada akurasi, kelengkapan, dan kedalamannya. Muaranya adalah kemaslahatan semua anggota komunitas. Itu antara lain siasat yang bisa dijalankan media gereja di zaman yang sedang berubah betul. ∎ Penulis adalah anggota Biro Pendidikan dan Latihan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

laporan khusus

15

Pdt. Dr. Henriette Lebang, Ketua Umum PGI:

Merangkul Semua, Jangan Ada yang Tertinggal utama tersebut harus tercermin dalam program-program tahunan. Itu sebab ada rencana strategis yang kemudian disahkan lagi dalam Sidang-Sidang MPL-PGI.

Empat isu utama PGI saat ini adalah radikalisme, kemiskinan, ketidakdilan, dan pelestarian lingkungan. Sejauh mana gereja-gereja sudah mengintegrasikan keempat isu ini ke dalam program-programnya? Menjelang sidang MPL-PGI yang berlangsung di Parapat tanggal 22-26 Januari 2016, PGI sudah mengadakan survei di kalangan gereja-gereja anggota PGI untuk melihat sudah sejauh mana gereja-gereja telah memberi perhatian kepada empat isu tersebut. Dari survei tersebut, saya melihat gereja-gereja masih kurang memberikan respon terhadap angket yang diedarkan . Karena minimnya respon gereja, dapat dikatakan tulisan yang dipublikasikan Berita Oikoumene (edisi Februari 2016), masih belum representatif. Upaya pemetaan ini akan kita lakukan pada setiap Sidang MPL, dan semoga gereja-gereja semakin mendukung langkah ini. Pada dasarnya, keputusan Sidang Raya (SR) adalah keputusan bersama gereja-gereja di Indonesia. Dengan demikian sebenarnya gereja-gereja bertanggung jawab untuk mewujudkan hal-hal yang telah disepakati bersama. Hal ini saya kemukakan dalam kata pengantar saya pada Sidang MPL-PGI di Parapat , bahwa kita semua bertanggung jawab atas keputusan-keputusan bersama. Peranan kantor PGI di Jalan Salemba 10, Jakarta adalah memfasilitasi terwujudnya implementasi keputusankeputusan tersebut. Harus ada keputusan strategik baik di lingkup PGI maupun gereja-gereja. Artinya, dalam lingkup PGI sebagai Sekretariat Umum, keempat isu

Sejalan dengan itu, diharapkan setiap Sinode gereja anggota menginterpretasikan keputusan-keputusan bersama tersebut: manakah yang paling relevan untuk konteks masing-masing gereja. Harus dipilih yang paling mendesak dan relevan, dalam terang visi bersama PGI yakni, “Terwujudnya Gereja-gereja yang Semakin Dewasa”, dan Misi PGI: “Mengembangkan Persekutuan Yang Memperjuangkan Keadilan, Perdamaian, Kesejahteraan dan Keutuhan Ciptaan.” Dengan demikian arak-arakan gerakan oikoumene akan terus berlanjut, karena didukung oleh komitmen bersama gerejagereja anggota, PGIW/SAG dan semua mitra kerja PGI, untuk terus melangkah dituntun oleh Visi dan Misi PGI. Yang penting, bagaimana keperihatinan bersama itu terintegrasi dalam, Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) masing-masing gereja. Arak-arakan bukan berarti jalan sendiri-sendiri. Persekutuan adalah perjalanan bersama. Kita sudah memasuki 66 tahun berjalan bersama. Namun selama ini masih terkesan bahwa tugas melaksanakan keputusan SR hanya tugas MPH dan staf PGI. Dalam SR sering ditanyakan, apakah yang sudah dilakukan oleh PGI. Karena banyaknya penugasan SR, tentu dibutuhkan penentuan skala prioritas, mana yang mendesak dan penting, baik oleh gereja-gereja anggota PGI, PGIW/SAG maupun oleh kantor Salemba 10. Berdasarkan itu kita mengevaluasi sejauh mana kita telah mewujudkan kesepakatan kita bersama. Hal ini menjadi bagian dari agenda setiap sidang MPL, yang dievaluasi adalah gerak bersama, dan karena itu bukan hanya pekerjaan yang dilakukan di Salemba 10, melainkan evaluasi pekerjaan bersama sebagai persekutuan gerejagereja di Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari perencanaan strategis. Mudah-mudahan, melalui sharing dalam Sidang MPL-PGI, gereja atau PGI/SAG yang belum melakukan, atau kurang melakukan, mendapat gagasangagasan baru untuk melakukannya. Sebenarnya sudah banyak gereja atau PGIW/SAG

16

laporan khusus

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

maupun lembaga-lembaga mitra PGI yang meresponi masalah yang menjadi keprihatinan bersama tersebut di atas. Misalnya, cukup banyak gereja telah membuat vocational of training sebagai cara memberdayakan warga untuk meningkatkan kondisi ekonomi jemaat dan masyarakat. Untuk meresponi masalah ketidakadilan sosial, sudah ada gereja yang terlibat dalam pelayanan diakonia yang memberdayakan warga gereja dan masyarakat untuk tugas advokasi mengatasi ketidakadilan sosial, maupun berbagi resources dengan yang lain. Menarik bahwa gerakan sharing of resources itu bukan hanya dari gereja-gereja kaya kepada gereja yang lemah ekonominya, tapi juga dari gereja yang kurang kuat ekonominya, namun memiliki sumber atau kekayaan lain. Yang penting ada hati yang mau berbagi. Inilah yang menjadi tema Bulan Oikoumene tahun ini: “Gereja yang Peduli dan Berbagi.” Dalam arak-arakan harus ada kepedulian terhadap yang lain dan kesediaan untuk berbagi demi menopang kehidupan damai sejahtera bagi semua manusia dan seluruh ciptaan.

dong. Kenapa kita harus berikan kepada ke sinode?” Begitu pula pada tingkat sinode, “Untuk sinode kita dulu, dong. Masa mau diberikan untuk gereja yang lain padahal kita masih membutuhkannya?” Keengganan itu terjadi terutama kepada gereja yang dianggap tidak seasas. Selain itu juga sering ada kecurigaan satu terhadap yang lain. Jadi, kita sudah terkontaminasi oleh semangat individualisme, di mana kita hanya memikirkan kelompok kita, gereja kita, dan kepentingan kita sendiri. Hal ini tentunya dapat mengganggu perjalanan arak-arakan bersama.

Apa kendala-kendala dalam mengimplementasikan tema Bulan Oikoumene?

Tidak dapat disangkal ada juga gereja yang terpengaruh sehingga pilkada acap menyebabkan konflik di dalam jemaat. Mestinya gereja tidak terbawa arus. Harus dipahami bahwa pilihan politik warga jemaat berbedabeda. Kalau ada pemimpin jemaat yang sudah terlibat dalam afiliasi untuk mendukung calon tertentu, menjadi tim sukses dan sebagainya, maka hal ini tidak jarang memicu konflik dalam jemaat. Peran gereja adalah menolong warga jemaat untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam pembangunan masyarakat, termasuk dalam kehidupan berpolitik yang sehat. Dengan demikian warga jemaat difasilitasi untuk terbuka mengupayakan hal-hal yang benar, adil dan mensejahterakan semua warga masyarakat. Demikian juga warga jemaat menjadi sadar untuk memilih hal-hal maupun pemimpin yang baik bagi semua, bukan hanya untuk kelompok tertentu.

Gereja hadir di tengah dunia, kita bersaksi menjadi garam dan terang. Persoalannya, apakah garam kita menjadi semakin asin atau justru menjadi tawar? Garam berfungsi mengkhamiri daging atau makanan agar tidak membusuk. Sejauhmana gereja telah mengkhamiri persekutuan gereja dan juga dunia ini, sehingga memberikan rasa enak dan sekaligus menolak kebusukan. Sekarang, tampaknya gereja sadar atau tidak telah terpengaruh oleh roh dunia ini yang dikuasai oleh nilainilai materialisme, konsumerisme, individualisme. Hal ini menyebabkan orang tidak segan lagi sikut-menyikut di perjalanan sehingga kompetisi berlangsung tak sehat. Persaingan positip dapat membangun masyarakat. Tetapi jika orang sikut-menyikut demi mengejar kepentingan dan keuntungan diri dan kelompok sendiri, di situlah muncul masalah. Sayangnya, hal ini terjadi juga dalam gereja-gereja kita, entah itu dalam satu jemaat, denominasi, maupun antar-denominasi. Misalnya, ada warga gereja yang ingin membantu, tetapi sebagian mengatakan bahwa kita sendiri masih kesusahan. “Mengapa harus membantu orang lain? Mengapa kita tidak memperbaiki dari dalam dulu? Jemaat kita dulu,

Ancaman lain adalah pertarungan kuasa. Seringkali dalam gereja juga terjadi persaingan memperoleh kuasa dan kedudukan. Akhirnya apa yang terjadi? Setelah pertarungan usai, muncul bibit permusuhan yang kalau dibiarkan, tidak jarang memicu perkelahian, konflik yang bisa mengakibatkan perpecahan dalam jemaat. Sejauh mana Pilkada berdampak terhadap gerejagereja?

Saya memimpikan bahwa dalam masyarakat, terutama dalam gereja, tidak terjadi kampanye hitam, fitnah dan sebagainya. Tidak semua orang sempurna, masingmasing punya kelebihan dan kekurangan. Yang penting kita saling mendukung dan mendoakan. Tetapi kalau gereja sudah saling menggigit dan memfitnah, kata Paulus, “hati-hatilah supaya jangan kamu saling membinasakan.” (Gal.5:15) Dalam situasi ini perpecahan

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

gereja hadir di ambang pintu mengancam kesatuan tubuh Kristus. Hal ini menyedihkan. Di usia PGI yang ke-66 tahun, kita diingatkan untuk peduli terhadap masalah-masalah dunia dan berbagi. Kita belajar dari jemaat di Makedonia dalam II Korintus 8, yang justru rela memberi dari kekurangannya. Bahkan menurut Paulus, apa yang diberikan itu melebihi kemampuan mereka, namun mereka memberikannya dalam rasa sukacita yang meluap-luap. Apakah kita sudah demikian? Apakah kita memberi dengan sukacita atau dengan bersungut-sungut? Atau kita memberi supaya kita memperoleh imbalan, semacam berbagi secara transaksional? Semangat berbagi perlu kita kembangkan bersama sejalan dengan semangat keugaharian. Bagaimana 66 tahun PGI dilihat dari perspektif perempuan? Kalau masalah kesetaraan dan keadilan gender, PGI dan gereja anggotanya terus mengusahakannya. Walaupun acap terasa sulit karena pengaruh kuat budaya patriarki, namun banyak gereja sudah terbuka, dan bersedia saling belajar. Ketika PGI memasuki usia 66 tahun ini, kita menyaksikan bahwa gereja semakin saling belajar bagaimana menghargai karunia yang berbeda dalam jemaat, baik yang dimiliki laki-laki maupun perempuan. Karena budaya patriarki begitu berurat berakar kuat dalam masyarakat, acap laki-laki dijadikan sebagai ukuran. Misalnya, dalam memilih pemimpin. Alasan yang sering terdengar misalnya kalau perempuan jadi pemimpin, nanti tak bisa pulang malam, jalan sendiri, dst. Ini kan bias. Tidak sedikit pendeta perempuan di pedesaan bahkan di daerah terpencil yang sedang memimpin jemaat. Dan mereka dapat mengatasi kendala-kendala phisik maupun kultural. Kita bersyukur bahwa semakin banyak gereja yang memberi kepercayaan kepada perempuan untuk memimpin dalam gereja sebagai ketua sinode atau sekretaris sinode, bukan sebagai hadiah, melainkan sebagai wujud pengakuan gereja akan adanya perempuan – sama seperti laki-laki – yang dapat memimpin gereja dengan karunia yang dimilikinya yang merupakan pemberian Allah. Disinilah kita perlu semakin menumbuh-kembangkan kemitraan laki-laki dan perempuan, dan bukan mengembangkan persaingan yang tidak membangun komunitas. Dimana ada peluang melayani, semua diharapkan

laporan khusus

17

berpartisipasi. Harus bersifat inklusif, merangkul semua. Di situ pembedaan berdasarkan gender tidak lagi menjadi masalah. Siapa bersedia dan mampu, kita hargai. Inilah arak-arakan kebersamaan, jangan sampai ada yang tertinggal, laki-laki maupun perempuan, anak-anak, pemuda dan orang dewasa. Tidak ada yang dikesampingkan apalagi didiskriminasi. Kita prihatin atas meningkatnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, terutama anak-anak. Bisa saja terjadi dalam gereja. Ini menunjukkan bahwa kita belum inklusif, belum merangkul semua, terutama melindungi mereka yang sering menjadi korban. Sering kita menganggap anak-anak bodoh, tidak tahu atau tidak paham apa-apa, padahal mereka pun bagian dari tubuh Kristus yang juga menerima anugerah Allah. Bagaimana dengan mereka yang difabel? Apakah kita cukup memperhatikan dan melibatkan mereka? Begitu juga dengan lansia, bagaimana memfasilitasi pelayanan mereka dalam jemaat, sekalipun banyak hambatan yang mereka alami karena usia dan keterbatasan phisiknya? Bagaimana dengan buruh migran yang acap dikesampingkan bahkan dieksploitasi? Apakah gereja ikut memperjuangkan keadilan bagi mereka? Bagaimana dengan perhatian terhadap generasi muda? Mereka, pemuda, remaja dan anak bukan hanya gereja masa depan tetapi juga mereka adalah bagian integral dari gereja masa kini. Kalau kita tidak memperdulikan kebutuhan generasi muda, kita bisa kehilangan mereka. Kita perlu belajar dari pengalaman gereja di Barat yang semakin kurang dikunjungi orang muda. Bagaimana gereja memberi pendampingan yang memadai kepada generasi muda di tengah kebingungan dan krisis identitas karena perubahan jaman yang begitu cepat dan perkembangan teknologi yang luar biasa, agar mereka tetap memegang nilai kebenaran, keadilan dan kasih. Perlu perhatian untuk memikirkan kebutuhan khusus dari setiap anggotanya agar mereka dapat bertumbuh dalam iman dan menghasilkan buah di tengah dunia. Demikian pun, isu kebhinnekaan tak bisa diabaikan, sehingga keadilan dan damai sejahtera dapat dialami oleh seluruh ciptaan Allah. Gereja dan keluarga Kristen mempunyai peranan strategis untuk merawat kemajemukan agar semua dapat saling menghargai, mendukung dan merangkul, sehingga tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan bersama. ∎ (MS/RH)

18

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

laporan khusus

Dr. Non Lintje Pellu, anggota MPH–PGI

GERAKAN OIKOUMENE MEMBONGKAR PATRIARKI Bagaimana HUT ke 66 PGI dilihat dari perspektif perempuan? Kepemimpinan PGI merupakan representasi dari bagaimana keberhasilan membawa “perubahan” dalam transformasi kepemimpinan perempuan yang selama ini kita impi-impikan. Satu contoh yang sangat kasat mata dan transparan. Dalam rangka memberi makna kepemimpinan perempuan ini, sesama perempuan juga harus saling mendukung, saling berkolaborasi, saling bersinergi untuk menghasilkan suatu model kepemimpinan perempuan yang, katakanlah, berupaya menjalin relasi, berjejaring. Bukankah ini makna oikoumene sebenarnya? Berelasi, berjejaring, saling menopang, saling membantu! Model patriarki itu sangat egois, kurang memperhatikan sesama, tidak berelasi, berjejaring dan lain sebagainya. Menurut saya, ini satu contoh yang menjadi indikator dari keberhasilan gerakan oikoumene yang memang selama ini kita perjuangkan. Namun masih ada lagi isu-isu lain yang perlu disikapi seperti kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia, buruh migran, dan saya kira PGI harus menjadi semacam lokomotif atau pendorong. Gerakan oikoumene maju bila gerakan ini benar-benar merupakan sebuah gerakan, harus ada dinamika, move on, dan menampilkan suara kenabian kita.

Gereja itu tidak saja bernubuat tetapi berbuat. Harus melakukan aksi nyata, tidak hanya berwacana. Selama ini PGI sudah menunjukkan aksi-aksi yang sinergis dalam menanggapi berbagai persoalan sosial politik seperti Pilkada, korupsi, intoleransi. Harusnya ada gerakan masif dari gereja-gereja untuk bergerak bersama-sama melawan korupsi, intoleransi, ketidakadilan, dan sebagainya. Nah, ini harus tampak. Kita harus menempatkan persoalan ini bukan hanya persoalan orang Kristen, atau persoalan gereja saja, melainkan bagaimana menjalin kebersamaan bersama sesama anak bangsa dan elemen-elemen lain untuk membangun kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis. Bukankah ini tujuan kita bernegara? Ini menjadi tantangan, termasuk tantangan gereja-gereja ke depan. Bagaimana jurang gereja kaya dan miskin? Ini memang satu fenomena. Namun sekarang sudah mulai tampak gerakan saling berbagi. Memang baru pada level permukaan, belum sampai ke bawah. Jadi, kalau gerejagereja kaya atau gereja-gereja besar peduli, misalnya, kepada orang-orang miskin, itu baru pada permukaan, belum menyentuh persoalan dasar. Misalnya, ada sebuah gereja, entah di Singapura atau di mana, mereka punya program

makanan dari Tuhan. Gerakan ini mau ke mana arahnya? Apakah benar-benar saling membantu? Apakah memberikan bantuan langsung itu jawaban dari kepedulian menolong orang-orang miskin? Lalu setelah itu apa? Harus ada landasan teologis, dorongan alkitabiah, yang motivasinya memang mau membantu mereka yang kesusahan. Harapan kepada PGI besar, tetapi ada batasan dalam struktur yang tidak memungkinkan. Gereja-gereja atau tokoh-tokoh gereja di masingmasing sinode perlu proaktif juga agar -- katakanlah -- keluar dari zona nyaman mereka. Masih banyak gereja yang belum menempatkan perempuan dalam posisi-posisi strategis? Memang ada beberapa gereja yang demikian, tetapi banyak juga sinode gereja yang menempatkan perempuan sebagai ketua sinodenya. Makanya kita harus melawan budaya patriarki yang memang masih kuat. Gerakan oikoumene saya kira juga

laporan khusus

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

harus mendobrak budaya patriarki. Salah satunya melalui kurikulum di fakultas teologi. Jadi sejak masuk sekolah teologi, mereka diajar, dilatih untuk tampil lebih terbuka, maju, membuang mindset patriarki yang selama ini mengungkung gerakan perempuan atau katakanlah kaum tertindas. Bukan hanya perempuan, ada begitu banyak orang yang terzolimi, atau terpinggirkan karena budaya patriarki itu. Selama ini, mungkin, para pengambil kebijakan tidak terdidik atau tersosialisasi dalam kehidupan rumah tangga ihwal patriarki. Kalau kurikulumnya sudah diubah, misalnya kehidupan yang pluralis, inklusif dan sebagainya, maka lambat laun akan berubah. Kesiapan perempuan itu sendiri juga dituntut? Betul sekali. Perempuan, untuk maju sebagai pemimpin atau wakil rakyat, dia harus tahu kapasitasnya, tahu kompetensinya, dan tahu bahwa dia bisa fight dengan yang lain dan menang. Kalau sudah mendapat peluang namun tidak memafaatkannya, malah jadi bumerang. Kenapa tidak memggunakan peluang itu? Dalam politik ada kuota 30 persen bagi perempuan di parlemen, kita harus pakai ini juga di lingkup gereja. Maka perempuan harus sejak dini mempersiapkan dirinya. Penting juga pengkaderan. Perlu semua pemangku kepentingan bergandengan tangan, mengajak: mari kita berbuat sesuatu untuk perempuan dan kita harus keluar dari zona nyaman kita! Jangan lagi sekatsekat kita gunakan. ∎ (MS/RH)

Bernard Tandjoa, S.Pd

Warga Jemaat dan Mantan anggota DPRD Kabupaten Buol Tolitoli

S

ebagai warga gereja, kita patut bersyukur kepada Tuhan selaku pemilik dunia dan hidup ini yang telah memelihara Gereja-Nya dalam upaya mewujudkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan setiap Sinode dalam menjalankan semangat “persatuan dan kesatuan” atau spirit keesaan. Karena itu gerejagereja anggota PGI harus memiliki rasa keterikatan satu sama lain untuk menjalankan dan mewujud-nyatakan semangat keesaan sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan dalam setiap persidangan PGI. Gereja-gereja anggota PGI juga hendaknya memanfaatkan momentum persidangan PGI bahkan juga HUT PGI sebagai media melaksanakan program perkunjungan antar gereja secara rutin sekaligus membuka ruang dialog dari setiap permasalahan yang ada di wilayah pelayanan masing-masing anggotanya untuk mendapatkan solusi sesegera mungkin sehingga dapat semakin memperkuat jiwa dan semangat keesaan di kalangan gereja serta umat Kristen di Indonesia. Dengan demikian gereja-gereja anggota PGI mengekspesikan “rumah tangga Allah yang berpengharapan”. Terhadap Pimpinan PGI, diharapkan sungguh-sungguh menggumuli berbagai persoalan, tidak hanya di internal PGI, tetapi juga di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang kita cintai, misalnya: persoalan kemiskinan, kebodohan, ketidak-adilan, kekerasan, korupsi, perusakan lingkungan, dan sebagainya. ∎ (JNT)

19

Pdt. Ch. A.J. Kaparang -Sambouw, S.Th Sekretaris Sinode GPIBT

M

omentum HUT ke-66 PGI tahun 2016, perkenankan saya mengusulkan beberapa hal, antara lain: PGI melanjutkan secara terencana program pendidikan kader oikoumene, sebagai upaya melanggengkan visi PGI dari generasi ke generasi, juga membangun jejaring kemitraan antar Gereja anggota dalam program pembangunan SDM, pertumbuhan ekonomi warga Jemaat/pengentasan kemiskinan. Agar PGI benar-benar bersentuhan langsung dengan masalah jemaat, PGI juga hendaknya tidak melupakan pergumulan gerejagereja kecil dalam keikut-sertaan perjalanan pelayanan PGI melalui program yang telah dicanangkan, supaya jangan ada gereja anggota yang sulit mengikuti gerak langkah PGI karena keterbatannya. Terkait relasi antar Gereja Anggota, saya melihat masih perlu adanya perbaikan karena masih kurangnya dialog oikoumene di aras lokal, juga cara beroikoumene masih sebatas peribadahan bersama yang disponsori oleh Kaum Perempuan, demikian pula dukungan Gereja Anggota terhadap program Sinode Am (PGI wilayah) belum maksimal, juga PSMS belum menjadi dasar hidup beroikoumene Gereja anggota. Akhirnya saya berharap, PGI tidak hanya dikenal dengan terobosan program yang baik tetapi disyukuri kehadirannya oleh banyak orang, karena perubahan kearah yang lebih baik dialami oleh sebanyak mungkin orang. ∎ (JNT)

20

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

opini

Gerakan Oikoumene dan Intoleransi Oleh: Pdt. Dr. Zakaria Ngelow

G

erakan oikoumene gereja-gereja di Indonesia pada dekade terakhir memberi perhatian pada beberapa isu nasional yang menonjol, yakni radikalisme keagamaan (religious radicalism), kerusakan lingkungan dan marginalisasi kelompok minoritas. Kerusakan lingkungan terutama karena eksploitasi berlebihan sumber daya alam oleh para pengusaha: hutan dibabat untuk perkebunan kelapa sawit dan tanah dibongkar untuk pertambangan. Dan ini berhubungan dengan perampasan tanah (land grabbing), yang menimbulkan ketidakadilan berganda terhadap alam dan terhadap manusia. Bencana kekeringan dan banjir bergantian tanda kerusakan alam yang serius. Sementara itu, penduduk setempat digusur dari tanahnya dan kehilangan sumber mata pencahariannya, sehingga mengakibatkan kemiskinan yang makin parah di pedesaan. Marginalisasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas umumnya terjadi karena alasan agama: aliran Ahmadiah yang sudah puluhan tahun hidup damai dalam perbedaan, belakangan dianggap sesat; demikian juga aliran Syiah. Kaum LGBT, yang hakekatnya demikian sejak dilahirkan, dianggap penyimpangan dari kebenaran agama. Dan mereka yang menganut agama leluhur tradisional sukunya dianggap hidup dalam kegelapan. Bahkan bias agama terhadap perempuan juga membuat ketimpangan gender di Indonesia masih termasuk yang tertinggi. Marginalisasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas tidak hanya dilakukan “kelompok agama garis keras” tetapi juga oleh para pejabat negara. Radikalisme Keagamaan Radikalisme keagamaan menunjuk pada gerakangerakan yang mengusung faham keagamaan yang kaku, sempit dan intoleran, yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan menuntut perubahan cepat (revolusioner) dalam bidang sosial, budaya dan politik; tak jarang dengan menghalalkan cara-cara kekerasan. Para ahli menganalisis bahwa latar belakang gerakan

ini muncul dari perjumpaan agama dengan modernitas dan sekularisme; dan utamanya perkembangan politik, khususnya Islam dan sistim demokrasi. Selain alasan politik, radikalisme keagamaan mempunyai akarnya dalam faham keagamaan mengenai masyarakat, tatanan politik, peran orang beragama, dsb yang diangkat dari pemahaman Kitab Suci secara kaku dan harfiah. Orang juga menunjuk pada ketimpangan sosialekonomi sebagai lahan subur bagi radikalisme. Radikalisme keagamaan di Indonsia berbentuk gerakangerakan di kalangan Islam yang melembaga dalam sejumlah organisasi, yang sekalipun sama bersifat radikal, mereka berbeda dalam penekanan dan dalam cara perjuangan; dari yang berjuang secara konstitusional untuk mengubah ideologi Pancasila, atau pelaksanaan syariah Islam, sampai gerakan anti negara-negara Barat, khususnya Amerika melalui unjuk rasa, dan yang berkonsentrasi pada masalah moral masyarakat dengan merusak tempat-tempat yang dianggap terkait maksiat (pelacuran, night club) dan pemurtadan (gereja, aliran Islam minoritas). Dan ada juga yang berjuang di jalur terorisme, yang masih terus dikejar aparat keamanan. Radikalisme keagamaan dapat muncul dalam semua agama. Sering disebut adanya radikalisme Hindu di India dan radikalisme Buddhis di Myanmar, yang sama-sama melakukan kekerasan terhadap umat Islam setempat. Dalam konflik politik di Irlandia, berhadapan orang Katolik dengan Protestan dalam aksi-aksi kekerasan sosial. Konflik di Tolikara, Papua, pada bulan Juli 2015, nampaknya bukan suatu kekerasan yang bertolak dari suatu faham atau ideologi keagamaan, melainkan kekerasan yang dipicu oleh masalah sosial setempat, sebagaimana juga konflik komunal di beberapa daerah yang membawa bendera agama pada awal dekade lalu. Dalam konteks sosial politik yang lebih luas, gerakangerakan sosial di Papua lebih bersifat sosial politik tanpa

opini

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

acuan keagamaan yang bermakna, jika dibandingkan, misalnya, dengan perkembangan di Provinsi Aceh. Mengapa Gereja? Radikalisme agama bersikap intoleran baik terhadap penganut agama yang sama, apalagi yang berbeda. Gereja (komunitas Kristen) menjadi sasaran intoleransi karena beberapa alasan, antara lain dianggap melakukan pemurtadan (Kristenisasi), dan adanya konflik dengan etnis tertentu (misalnya Batak, Tionghoa) dalam komunitas Kristen itu. Ada pula yang menganggap gereja adalah bagian dari persekongkolan global Barat/ Amerika melawan Islam, termasuk anggapan Kristen memihak Israel dalam konflik Palestina. Berbagai prasangka terhadap orang Kristen tentu dapat diklarifikasi sebagai prasangka tanpa fakta. Gereja-gereja di Indonesia tidak terlibat dalam sesuatu persekongkolan global yang dituduhkan. Konsen global gereja ada, tetapi menyangkut keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan bagi semua. Gereja-gereja di Indonesia bukan sekutu Israel, melainkan membela Palestina karena alasan kemanusiaan dan keadilan. PGI menerbitkan pernyataan mendukung perjuangan rakyat Palestina. Gereja-gereja juga tidak mewakili kelas kapitalis ekonomi kuat. Justru warga gereja-gereja tersebar di wilayah-wilayah yang termasuk peta kemiskinan. Tuduhan Kristenisasi memang bukan hal baru juga, sebagaimana ketakutan sekalangan Kristen terhadap agenda mengubah Indonesia jadi negara Islam. Bahwa ada yang berpindah agama masuk

Kristen dan sebaliknya pindah dari agama Kristen hal yang berlangsung normal sejak lama. Bukankah kedua agama bersifat misioner? Dan bukankah orang beragama punya kebebasan untuk berpindah agama? Tentu dengan menghindari caracara penyebaran agama yang tidak pantas. Sikap Gereja-gereja Radikalisme keagamaan Islam di Indonesia juga merisaukan para pemuka dan umat Islam sendiri. Salah satu gagasan yang mengemuka untuk mengatasinya antara lain dengan pendidikan agama yang berwawasan lintas budaya (multikultural). Belakangan mengemuka ‘Islam Nusantara’, yang dijelaskan sebagai praktik keislaman yang moderat, toleran, kontekstual, dan adaptif, yang disosialisasikan terutama oleh NU. Upaya-upaya perbaikan ekonomi masyarakat miskin penting juga mengingat kesenjangan sosial mendukung radikalisme keagamaan. Melalui gerakan oikoumene, gereja-gereja di Indonesia saling mengingatkan untuk tidak terpancing dalam kekerasan gigi ganti gigi menghadapi perlakuan intoleran, melainkan mengikuti ajaran Yesus: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:44). Para pemimpin gereja berusaha menempuh jalan damai atau melalui jalur hukum. Yang cukup merisaukan adalah berulang kali aparat keamanan, yang seharusnya membela dan melindungi warga masyarakat yang mendapat perlakuan intoleran,

21

justru menjadi penonton atau membiarkan kekerasan berlangsung. Aparat negara terkesan memberi dukungan kepada kaum intoleran. Bahkan pada beberapa kasus, justru pejabat pemerintah yang menjadi penganjur sikap intoleran, pada hal pendekatan hukum mengandaikan adanya konsistensi penegakan hukum oleh para pejabat dan aparat dalam suatu negara hukum. Karena itu para pemimpin gerakan ekumene selalu berusaha menyampaikan suara kenabian kepada pemerintah untuk tidak membiarkan intoleransi dan ketidakadilan terus terjadi dalam masyarakat kita. Juga melalui gerakan oikoumene gereja-gereja terus menyatakan komitmen pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, yang menjadi titik temu berbagai perbedaan dan menyatukan kebhinekaan bangsa Indonesia dalam persatuan yang harmonis dalam masyarakat yang toleran, rukun dan damai. Yang mungkin belum kuat membudaya dalam gerakan ekumene kita adalah saling menguatkan antargereja dalam hal ada yang mengalami perlakuan intoleran. Dari Tanah Bugis saya mengutip kearifan lokal orang Bugis: Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui menre’ tessirui no’, malilu sipakainge’, mainge’ pi mupaja. Jatuh saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas bukan saling menjatuhkan, lalai saling mengingatkan, sampai sadar baru berhenti. ∎ Penulis adalah anggota MPH-PGI

22

K22 olom Komunikasi - YAKOMA-PGI

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Mengelola Perbedaan dalam Perspektif Budaya Jawa Oleh: Pdt. Yusak Tridarmanto

D

alam masyarakat Jawa, ada semboyan hidup bersama, berbunyi: Tata Tentrem Kerta Raharja. Penggalan dari ucapan yang berbunyi: “Nagari Ingkang Kaeka Adi Dasa Purwa Panjang Punjung Loh Jinawi Gemah Ripah Tata Tentrem Kerta Raharja”. Biasanya kata-kata ini diucapkan oleh seorang dalang dalam adegan “jejer kerajaan”, dan dimaksudkan untuk mendeskripsikan keberadaan suatu kerajaan yang senantiasa menjadi puji-pujian banyak pihak karena keberadaannya yang serba tidak kekurangan. Walau realitanya tidak senantiasa sama persis dengan ucapan tersebut, paling tidak katakata ini mencerminkan cita-cita atau tujuan ideal yang hendak diupayakan bersama. Perhatian di sini dimaksudkan pada ungkapan Tata Tentrem Kerta Raharja. Tata berarti serba teratur sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan berlaku. Tentrem, menunjuk ke situasi kehidupan yang serba terkendali sehingga membuat hati ini tidak diliputi oleh rasa cemas, takut, khawatir dan sebagainya. Kerta, berarti aman, bebas dari segala macam kerusuhan. Raharja, berarti sejahtera. dalam dunia pedhalangan, keadaan rahaja ini dilukiskan dalam bentuk suasana kehidupan dimana binatang peliharaan seperti kambing, sapi, lembu dan sebagainya tidak

perlu diikat, dan dibiarkan bebas tanpa khawatir akan hilang. demikian pula ayam, itik, angsa, juga tidak memiliki “kandang khusus”, bebas mencari makan kemana saja, namun pada sore hari selalu pulang ke tempat masing-masing tanpa ada yang hilang arah. Bagaimana masyarakat Jawa mengelola perbedaan demi perbedaan terwujudnya masyarakat yang Tata Tentrem Kerta Raharja? Kita akan berupaya menyimak dasardasar filosofis masyarakat jawa yang berkenaan dengan pengelolaan keperbedaan demi terwujudnya Tata Tentrem Kerta Rajaharja. Kepelbagaian Sebagai Peristiwa Kosmis yang Wajar Kosmonisme Jawa menegaskan, dalam kehidupan pada dasarnya hanya terdapat satu realitas tunggal, yakni alam semesta. Selaku realitas tunggal, alam semesta merupakan “totalitas” yang terdiri dari segala yang ada. Dalam batas tertentu, segala yang ada di dalam alam ini memiliki pada dirinya kemandirian sendiri. Semua realitas yang ada tersebut tetap dalam ketergantungan terhadap alam semesta selaku realitas tunggal yang utuh. Kepelbagaian yang menyatu di dalam kesatuan yang saling tergantung dan saling melengkapi ini

diibaratkan bagaikan tubuh manusia yang juga utuh keberadaannya. Salah satu bagian anggota tubuh tidak mungkin dapat menjadi realita yang terlepas dari totalitas kehidupan tubuh seorang tersebut. Paham kosmonisme ini berwatak inklusif, yakni watak yang terbuka untuk menerima keberbagai-macam dan keperbedaan di dalam satu wadah. Sikap inklusif ini juga terlah medasari pandangan masyarakat Jawa untuk mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada, dalam jiwa kesatuan yang saling terikat satu dengan yang lain. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika juga berakar pada paham ini. Masyarakat Jawa umumnya, cenderung tidak mau menarik garis pemisah antara yang hitam dan putih. Inilah prinsip dasar etika kehidupan sosial masyarakat Jawa. Sebagai realitas tunggal, alam semesta dengan segala keperbagaimacaman yang ada di dalamnya itu oada dirinya memiliki tata tertibnya sendiri. Inti dari tata tertib alam ini disebut keselarasan atau harmoni, yang termanisfestasi pertama-tama dalam perputaran musim yang bergerak secara dinamis. Pergantian musim menjadi simbol keselarasan

Kolom Komunikasi BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 - YAKOMA-PGI alam itu sendiri maupun juga manusia. Segala sesuatu yang ada dan hidup dalam alam semesta ini tertata dalam suatu relasi interaktif yang harmonis, dan teratur dalam suatu ritasi yang dinamis bagi terwujudnya alam raya yang indah. Tidak ada satu unsur alam pun (termasuk manusia) yang mampu melangsungkan keberadaannya tanpa terikat dan tergantung kepada unsur alam lainnya. Mengelola Kepelbagaian Secara Konstruktif

tidak dikelola secara konstruktif bisa menimbulkan ketidakselarasan. Agar kemandirian manusia tidak mengganggu tata tertib alam, maka dalam setiap tindakannya, masyarakat Jawa merasa perlu menjaga “keseimbangan rasionalnya” dengan alam maupun dengan sesama. Inilah semboyan hidup ditengah masyarakat: Hamemayu Bawana. Hamemayu, artinya membuat ayu, atau cantik. Ayuning Bawana berarti cantiknya alam. Hamemayu ayuning bawana berarti mempercantik kecantikan alam semesta. Alam

23 23 dengan perbedaan latar belakang suku dan budaya. Falsafah: rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (keadaan damai dengan sesamanya mengakibatkan hidup yang kokoh, dan sebaliknya tanpa suasana damai dengan sesamanya mengakibatkan runtuhnya hidup bersama yang kokoh tersebut) menjadi etika Jawa. Sikap hidup yang berwatak gotong royong adalah cermin dari semboyan ini. Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa berupaya tidak menjadi penyebab konflik, kecuali telah menyentuh harga diri.

Walau pun secara hakiki semua Ungkapan Simbolik Lain unsur alam Dalam Rangka Mengelola tergantung Untuk menjaga keselarasan sosial, masyarakat Perbedaan kepada didorong memberlakukan prinsip hidup lain, namun Masyarakat Jawa banyak sepi ing pamrih. Artinya melakukan yang setiap unsur menciptakan ungkapan alam, dan simbolik spiritualitas hidup menjadi tanggung jawabnya secara tulus, utamanya bermasyarakat. Beberapa dan menghindarkan diri dari keinginan manusia, contoh ungkapan simbolik melakukan apapun yang berkaitan dengan memiliki tersebut: Sepi Ing Pamrih, Rame pada dirinya Ing Gawe, Sugih tanpa bandha, tugas dan tanggung jawabnya di tengahkemandirian Digdaya tanpa aji, Nglurung tengah masyarakat sekadar untuk memenuhi masingtanpa bala, dan Menang tanpa keinginan yang tersembunyi dan demi masing. ngasorake. Dengan keuntungan serta kepentingan sendiri. Untuk menjaga keselarasan kemandirian sosial, masyarakat didorong ini, manusia semesta ini diibaratkan seorang memberlakukan prinsip hidup sepi khususnya, bisa saja melakukan cantik, yang harus dijaga dan dirawat ing pamrih. Artinya melakukan tindakan-tindakan yang tidak kecantikannya, sehingga dari hari ke yang menjadi tanggung jawabnya selaras dengan tata tertib alam. Ini hari menjadi semakin cantik. Ini yang secara tulus, dan menghindarkan menandai lahirnya relasi dialektis kita maknai dengan syalom, atau diri dari keinginan melakukan antara manusia dan alam itu Yunani eirene, atau bahasa Inggris apapun yang berkaitan dengan sendiri. Disatu pihak ia terikat di Peace dan bahasa Jawa ayem tentrem. tugas dan tanggung jawabnya di dalam keharusan menjalani hidup Setiap perilaku hidup bermasyarakat, tengah-tengah masyarakat sekadar selaras dengan tata tertib alam, harus senantiasa dipertimbangkan untuk memenuhi keinginan yang namun dilain pihak selaras dengan agar tidak melawan ataupun tersembunyi dan demi keuntungan kemandirian yang ia miliki, ia pun merusak keselarasan alam semesta. serta kepentingan sendiri. Sepi ing bisa bertindak melawan tata tertib Ini telah menjadi pondasi moral bagi pamrih merupakan salah satu upaya alam. Kemandirian dialektis inilah masyarakat Jawa untuk senantiasa menghindarkan diri dari sikap purayang memungkinkan munculnya berjuag dalam hubungan damai pura dan munafik. varian-varian kehidupan, yang bila dengan sesamanya, tidak peduli

K24 olom Komunikasi - YAKOMA-PGI Pamrih yang kuat menguasai sesorang akan menjadikan orang tersebut bersikap mencari menange dhewe (mau menang sendiri), benere dhewe (merasa diri paling benar), dan butuhe dhewe (kebutuhan diri sendiri), memanfaatkan setiap kesempatan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan diri sendiri (ngaji mumpung). Aji mumpung, mendorong seseorang yang sedang menduduki posisi jabatan tertentu, bertindak sesuka hatinya dan menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan diri sendiri. Sikap aji mumpung merupakan pasangan dari sikap aja dumeh. selaras dengan sepi ing pamrih masyarakat Jawa didorong untuk rame ing gawe. rame ing gawe berarti tekun dan sungguh hati melaksanakan apa yang memang menjadi tanggung jawab hidupnya di tengah-tengah masyarakat, serta peka dan peduli terhadap bot repot (beban kehidupan) sesamanya dan tidak segan memberikan uluran pertolongan. Semuanya dijalankan terarah kepada semboyan hidup hamemayu ayuning bawana, yakni mengupayakan terciptanya kedamaian hidup bersama di dalam alam semesta. Untuk semua itu masyarakat Jawa diingatkan agar senantiasa berpegang pada eling lan waspada. Eling atau ingat akan keberadaannya sebagai makhluk dalam alam semesta yang perlu menundukan diri kepada tata tertib kehidupan alam, dan menjadi waspada atas apa yang sedang dikerjakannya (mawas dhiri). Sugih tanpa bandha merupakan bagian dari pegangan hidup yang

diturunkan RM. Pandji Sosrokartono. Ungkapan utuhnya berbunyi: Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, dan menang tanpa ngasorake. Sebagai bupati yang berpendidikan tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Timur, ia sekaligus seorang kejawen yang mengagungkan pandangan hidup Jawa. Prinsip ini tidak hendak menunjukan sikap masyarakat Jawa yang anti terhadap kekayaan. Ungkapan ini lebih menunjukan kepada orientasi kehidupan yang disebut “kaya” itu tidak pertamatama ditentukan oleh harta benda yang dimiliki. Kekayaan seseorang dalam arti yang sesungguhnya lebih ditentukan sikap budi luhur dalam rangka memperjuangkan kehidupan bersama yang mencerminkan ayuning bawana. Tujuan hidup seseorang di tengah masyarakat bukanlah harta, melainkan kedamaian hati dalam relasi baik dengan sesama, maupun alam semesta. Digdaya tanpa aji. Untuk mempertahankan hidup dari berbagai mara bahaya, banyak orang memperlengkapi diri dengan kesaktian (kedigdayaan) tertentu melalui tindakan-tindakan mistis maupun magis tertentu. Itu semua dimaksudkan untuk memiliki kesaktian, sehingga ia mampu mengatasi segala mara bahaya. Namun pegangan hidup Digdaya tanpa aji tidak mengandalkan “kesaktian” hidup pada kekuatankekuatan mistis atau magis, tetapi lebih mengandalkan kesaktian yang dibangun dari sikap hidup yang berpekerti luhur. Melalui kesaktian hidup seperti itu, ia akan terhindar dari berbagai macam permusuhan.

24

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Segala kejahatan juga tidak akan dilawan dengan kekuatan fisik, melainkan melalui budi pekerti luhur. Nglurung tanpa bala. Nglurung berarti maju perang. yang dimaksud maju perang adalah ini lebih tertuju kepada perang melawan diri sendiri, yakni perang melawan hawa nafsu yang menguasai diri sendiri. Karenanya, tidak memerlukan bala tentara. Yang dibutuhkan ialah tekad, semangat dan keteguhan hati untuk berperang melawan nafsu yang ada pada dirinya.Serat Kalathida karangan R. Ngabei Ranggawarsita menggambarkan peperangan melawan hawa nafsu ini dalam tembang Sinom berikut ini: Amenangi zaman edan ewuh aya ing pambudi melu edan nora tahan yen tan melu anglakoni boya keduman melik kaliren wekasanipun ndilah karsa Allah begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lawan waspada Menang tanpa ngasorake. Merupakan pegangan dalam menghadapi kecongkakan hidup dalam kehidupan tanpa mempermalukan pihak yang menjadi lawannya. Menghadapi musuhmusuh kehidupan tanpa harus menempatkan pihak lawan menjadi tidak berdaya, sebaliknya lawanlawan kehidupan justru mampu menemukan kesadaran diri untuk berbalik dari sikapnya yang dikuasai hawa nafsu. ∎ Penulis adalah Dosen pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Kolom Komunikasi BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 - YAKOMA-PGI

25 25

Kearifan Lokal dan Era Digital Oleh Nugroho Agung Sutrisno

Kekerasan seolah menjadi satu jalan dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Maraknya kekerasan di tengah masyarakat menjadi bahan diskusi dua Pokja YAKOMA-PGI, Omah Pirukun dan Suara Komunitas Kampung Sawah. Yang pertama, dilaksanakan di Yogyakarta, sebuah kota sarat budaya Jawa pada Jumat, 8 April 2016, dalam Seminar “Media dan Budaya Damai di Tengah Budaya Kekerasan”. Yang kedua di Kampung Sawah yang identik sebagai kampung Betawi, pada Sabtu, 9 April 2016 dengan Diskusi bertajuk “Ngerawat Kearifan Lokal untuk Ngelestariin Persodaraan”.

D

ua acara Pokja YAKOMA-PGI tersebut, meneguhkan sikap mengedepankan kembali kearifan lokal yang menunjung keharmonisan dalam relasi dengan sesama dan juga alam. Pdt. Yusak Tridarmanto MTh (Fak. Teologi UKDW), dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Omah Pirukun bekerjasama dengan PGI - Wil. DIY di Yogyakarta mengatakan, “Bagi masyarakat Jawa hidup rukun dalam kepelbagian adalah merupakan fakta kehidupan, sesuatu yang tidak asing lagi. Sikap inklusif masyarakat Jawa tersebut berasal dari paham kosmononisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa alam semesta sebagai pusat dengan berbagai unsur yang mandiri namun tidak dapat lepas dari pusatnya yaitu alam semesta sendiri.” Dalam kemandirian terdapat sebuah cita-cita bersama untuk tetap selalu selaras yaitu Hamemayu Hayuning Bawana, artinya

mempercantik bumi yang sudah cantik itu. Dalam konteks Hamemayu Hayuning Bawana inilah setiap perilaku kehidupan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup pribadi, relasi dengan sesama dan merawat bumi tempat kehidupan.” Keharmonisan, yang di dalam keseharian hadir dalam bentuk paseduluran (persaudaraan), gotong royong, alusing bebuden (kehalusan budi), tulung tinulung (saling menolong). Diskusi di Kampung Sawah, dihadiri oleh para pemuka masyarakat, menyiratkan kerinduan akan masa lalu. Salah satu cerita yang disampaikan adalah Ngaduk Dodol. Membuat dodol membutuhkan 8 jam dengan cara mengaduk. Aduk dodol dilakukan terus-menerus tanpa henti, karena jika berhenti, hasilnya akan keras dan manisnya

tidak merata. Karena itu, aduk dodol dilakukan bergiliran. Bukan semata ritual membuat makanan, aduk odol adalah tampilnya nilai gotong royong, kerja keras, dan keharmonisan. Dodol adalah simbol eratnya persaudaran. Sifat dodol yang lengket, ketika dibawa dan disajikan saat kunjungan ke tetangga dan keluarga, diharapkan akan merekatkan tali persaudaraan. Rasanya yang manis, seolah menyimpulkan manisnya sebuah persaudaraan yang erat. Bertabur kearifan-kearifan lokal di bumi Indonesia yang terdiri dari beragam suku. Subak di Bali yang mengatur tata kelola air untuk pertanian, sasi di Maluku yang mengatur pengelolaan lingkungan, jambur di Tanah Karo - rumah besar untuk menampung aktivitas warga dan lain sebagainya. Kearifan-

K26 olom Komunikasi - YAKOMA-PGI kearifan lokal tersebut mengedepankan hidup yang damai dengan sesama dan alam. Era Digital Kearifan lokal yang mengedepankan harmoni, gotong royong, selaras dengan alam, dewasa ini semakin dilupakan. Nungkin dianggap tidak relevan dengan situasi zaman yang saat ini memasuki revolusi komunikasi – era digital. Era digital ditandai dengan segala sesuatu dilakukan dengan cara cepat, mudah, praktis dan tidak perlu repot. Mengirim pesan, memesan makanan, berbelanja, mencari moda transportasi, berfoto semuanya dilakukan dengan hanya satu perangkat gadget. Semuanya serba instant. Dalam era digital, komunikasi dan interaksi tatap muka semakin berkurang. Komunikasi dan interaksi banyak dilakukan lewat berbagai aplikasi yang teritegerasi dalam gawai. Pesan-pesan di era digital disampaikan secara ringkas dan padat. Kearifan lokal diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk sastra lisan (melalui pepatah, dongeng, wejangan) dan juga tulisan. Untuk menyampaikan kearifan lokal, diperlukan ruangruang perjumpaan secara fisik untuk saling bertatap muka, mendengar, berbagi dan berdiskusi. Kearifan lokal juga ditularkan lewat keteladanan. Seperti di Kampung Sawah, kerukunan disampaikan dengan keteladanan, mengajak keluarga bekunjung ke rumah saudara dan handai-taulan yang berbeda agama, merupakan satu contoh. Namun di era digital, perjumpaan di dunia maya, mengakibatnya berkurangnya ruang-ruang perjumpaan fisik tersebut. Karena itu, agar kearifal lokal menjadi pegangan generasi Y (digital native), perlu revitalisasi. Meminjam istilah salah satu peserta diskusi di Kampung Sawah “Kunci pintu

26

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

belakang tidak dapat membuka kunci pintu depan,”, di mana nilai-nilai dalam kearifan lokal tak serta-merta bisa langsung diwarsikan ke anak muda, melainkan harus disesuaikan dengan kekinian, baik isi dan cara penyampaian pesan. Era Digital, ditandai dengan berubahnya pola menyebarkan dan mencari informasi, tidak lagi mengutamakan media massa konvensional seperti media elektronik dan media cetak, melainkan menggunakan perangkat mobil dan media daring, media sosial dan twitter. Hal ini menandakan, semakin mudah informasi disebar dan diperoleh. Suatu peluang untuk menyebarkan dan menginformasikan nilai-nilai kearifan lokal, petuah-petuah kehidupan dalam menjalani kehidupan yang harmoni dan selaras dengan sesama dan alam. Ketika perjumpaan di dunia maya menjadi ruang perjumpaan untuk berinteraksi dan berkomunikasi, maka

kearifan hidup lokal patut dihadirkan di ruang dunia maya. Kehadiran yang diharapkan menjadi sarana untuk memperkenalkan, menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokal dalam nuansa kekinian. Seperti satu kesimpulan akhir dari diskusi di Kampung Sawah “Kearifan lokal yang dikemas dengan bungkus kekinian adalah poin penting untuk merawat persodaraan.” Maka teknolog digital perlu dimanfaakan untuk menyebarkan perdamaian, keadilan di tengah kepelbagaian di Indonesia. ∎

K

K

olom omunikasi BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

- YAKOMA-PGI

27 27

Pewartaan Kabar Baik di Era Digital

S

arasehan “Tantangan Penyampaian Kabar Baik di era Multimedia” pada Selasa, 5 April 2016 di GKI Pergolan Bunder Surabaya, diselenggarakan POKJA YAKOMA-PGI Jawa Timur dengan dukungan dari PGIW Jatim, Perhimpunan Pustaka Lewi, Media Ignite GKI, Jaringan Masyarakat Transformatif. Hadir dalam kegiatan ini pekerja media gereja dari Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jember dan Mojokerto. Drs. Herry Heruwirno Mustamo MM selaku akademisi dan praktisi media memaparkan bahwa untuk dapat berkembang, media gereja harus memiliki visi dan misi yang kuat, pekerja media yang kompeten, insentif yang layak, dan peran gereja dalam memberikan dukungan. Tanpa kejeIasan peran gereja, keberadaan media gereja akan menjadi beban tersendiri bagi jemaat. Irma Simanjuntak (YAKOMA-PGI) lewat presentasinya menyampaikan bahwa media gereja berperan penting

dalam mewartakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Ia juga berharap, media gereja hadir dalam ruang-ruang publik melalui media daring. Kehadiran media gereja harus diikuti penyajian konten media yang menyejukkan dan bisa diterima semua orang. ∎ (NAS)

Sarasehan “Tantangan Penyampaian Kabar Baik di era Multimedia” pada Selasa, 5 April 2016 di GKI Pergolan Bunder Surabaya.

Media dan Budaya Damai Dr. Sintar Nababan mengajak agar, “Praktisi dan industri media mengedepankan jurnalisme damai dengan menggunakan berbagai media audio/visual, cetak untuk menyebarkan perdamaian.” Karena itu dalam pemberitaan media harus menyampaikan pemberitaan yang akurat, obyektif dan bertanggung jawab. Ahmad Rafiq berpesan bahwa berita harus diklarifikasi, karena jika tidak, hanya menelan mentah-mentah.

Seminar “Media dan Budaya Damai di tengah Budaya Kekerasan” di UKDW, Jumat 8 April 2016 ditandai pemberian cinderamata dari penyelenggara kepada para narasumber. (kiri ke kanan) Pdt. Andrianto Adiatmo M. Min; Irma R. Simanjuntak, MSi; Ahmad Rafiq Ph.D; Pdt. Dr. Yusak Tridharmanto; Dr. Sintar Nababan dan St. Drs. Edward P. Lubis, MM.

O

mah Pirukun dan PGIW DI Yogyakarta menyelenggarakan Seminar “Media dan Budaya Damai di Tengah Budaya Kekerasan” di UKDW, pada 8 April 2016, dihadiri 100 orang dari gereja, organisasi kemasyarakatan dan lintas iman.

Apalagi kemudian menyebarluaskan tanpa klarifikasi sebelumnya akan menyebabkan pembodohan banyak orang, yang dalam jangka panjang justru akan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dan luas. Tiga pembicara dalam Seminar ini adalah Pdt Dr. Yusak Tridharmanto Mth (Fak. Teologi UKDW), Ahmad Rafiq MAg, MA, Ph.D (Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Dr. Dra. Sintar Nababan MSi (ST. MMTC Yogyakarta). ∎ (NAS)

K28 olom Komunikasi - YAKOMA-PGI

28

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Pernyataan Sikap Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) di Indonesia

Terkait Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh Femininisasi syariah dan moral di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam berdampak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Yang termasuk pelanggaran dalam Qanun (No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat) adalah: miras, judi, mesum, bercumbu, zinah, gay, lesbian, menuduh orang berzinah. Belakangan hukum cambuk juga berlaku terhadap non Muslim. Sebagai wujud protes dan kepedulian terhadap kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia, Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) mengeluarkan pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Woro Wahyuningtyas, Direktur JKLPK. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat secara resmi berlaku sejak Oktober tahun lalu setelah masa sosialisasi selama satu tahun selesai. Beberapa jenis pelanggaran yang termuat di dalam Qanun ini, antara lain, Khamar (miras), Maisir (judi), Khalwat (mesum), Ikhtilath (bercumbu), Zina (bersetubuh tanpa ikatan perkawinan), Liwath (gay), Mushaqah (lesbian), Qadzaf (menuduh orang melakukan zina). Bagi yang melanggar akan dikenai hukuman cambuk. Jumlah cambuk tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan. Perkembangan terkini, seorang wanita non muslim dicambuk sebanyak 60 kali di Takengon, Aceh Tengah karena dianggap bersalah telah menjual minuman beralkohol. Hukuman cambuk terhadap non Muslim ini adalah untuk pertama kalinya. Dari berbagai pemberitaan, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Prof Syahrizal Abbas mengatakan bahwa hukuman cambuk hanya ditujukan kepada warga muslim. Sedangkan bagi pelaku pelanggaran non Muslim dapat memilih hukum nasional (KUHP) atau Qanun. Terlepas apakah wanita non Muslim ini memilih tunduk pada hukum syariat atau tidak, penerapan hukum cambuk di provinsi Nanggro Aceh Darussalam amat disayangkan.

Warga non-Muslim bernama Remita Sinaga alias Mak Ucok, warga Kampung Baru, Kecamatan Lut

Kolom Komunikasi BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 - YAKOMA-PGI Meskipun NAD memiliki otonomi khusus untuk mengatur kehidupan warganya, tapi seharusnya tidak bertentangan dengan peraturan nasional tertinggi yaitu UUD 1945. Salah satu spirit UUD 1945 yang lahir seiring era reformasi adalah pengakuan atas hak asasi manusia (Pasal 28). Dalam kasus hukum cambuk, kami berpendapat hukum Qanun Nomor 6 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 dalam beberapa hal, yaitu: 1. Pasal 28 G ayat (1), di mana tiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan, dan martabat. Hukuman cambuk di hadapan orang banyak

29 29

jelas telah meruntuhkan martabat diri seseorang. Ketika masa hukuman selesai, maka si pelaku akan mengalami konflik batin di lingkungannya karena sudah terlanjur malu dan merasa rendah diri. 2. Pasal 28 H (1), di mana tiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin. Pelaku hukuman cambuk akan sulit mendapatkan hak ini karena sudah dipermalukan di depan umum. 3. Pasal 28 I (1), di mana tiap orang berhak untuk tidak disiksa. Pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum jelas-jelas merupakan legalisasi penyiksaan. 4. Pasal 28 I (2), di mana tiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif. Berdasarkan pemahaman di atas, hukuman cambuk tidak layak dilegalisasi dalam bentuk produk hukum apa pun. JKLPK menyatakan, pertama, mengutuk keras pelaksanaan hukuman cambuk di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, baik bagi penduduk muslim maupun non muslim. Kedua, meminta pemerintah NAD untuk menempatkan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi dalam pembuatan produk hukum lokal. Ketiga, meminta pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau ulang Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Termasuk juga Qanun lainnya yang sudah ada sebelum Qanun Nomor 6 Tahun 2014. Keempat, meminta pemerintah Republik Indonesia untuk mengingatkan pemerintah provinsi NAD agar tidak lagi membuat produk hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang termaktub dalam UUD 1945. Kelima, Indonesia didirikan untuk dan milik seluruh kelompok agama, suku, adat-istiadat, kepercayaan, ideologi. Kebhinekaan adalah konsensus final yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, setiap daerah di wilayah NKRI tidak dibenarkan membuat produk hukum yang diskriminatif, mengandung kebencian, dan bertentangan dengan UUD 1945. ∎

Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh tengah menerima hukuman cambuk

K30 olom Komunikasi - YAKOMA-PGI

30

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

KOMUNIKASI GEREJA DI TENGAH ERA DIGITAL Oleh: Aiko Widhidana S, M.Div.

Jika ditanya apa yang menjadi tugas dan panggilan Gereja, kemungkinan besar jawaban yang diberikan oleh sebagian besar orang adalah “menyatakan kasih Allah di tengah dunia,” atau variasinya. “Mengabarkan berita keselamatan,” “membawa damai sejahtera,” atau mungkin “koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia (pelayanan)”. Yang jarang disadari sekalipun tercermin dari jawaban-jawaban tersebut adalah bahwa tugas dan panggilan Gereja adalah melakukan komunikasi.

K

omunikasi merupakan bagian penting dari kekristenan. Sejak awal, Allah yang digambarkan dalam Alkitab adalah Allah yang berkomunikasi. Allah, Sang Pencipta, menciptakan dunia melalui tindakan yang komunikatif, yaitu menyampaikan firman – Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi (Kej 1:3), dan demikian seterusnya hingga manusia diciptakan. Penciptaan manusia menjadi bukti bahwa Allah adalah Allah yang ingin berelasi, ingin berkomunikasi. Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah membutuhkan komunikasi di dalam hidupnya. Teologi Kristen juga meyakini bahwa Allah yang Tritunggal senantiasa berada dalam hubungan dengan diri-Nya, sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan esensi diri Allah. Selanjutnya, Alkitab kita mencatat sekian banyak peristiwa di mana Allah berkomunikasi dengan manusia, baik itu secara langsung maupun melalui perantara. Selain itu, Allah juga berkomunikasi secara visual melalui mimpi dan

penglihatan. Puncak dari tindakan komunikatif Allah adalah kehadiran Yesus di dunia. Yohanes 1:14 mengatakan “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Bagi banyak komunikator Kristen, inkarnasi Allah dalam diri Yesus menjadi contoh yang utama dari sebuah bentuk komunikasi yang efektif.

teknologi pencetakan, terjemahan Alkitab dalam bahasa Jerman oleh Martin Luther dapat tersebar dengan cepat. Selanjutnya, Alkitab pun terus diterjemahkan, atau dengan kata lain diinkarnasikan ke dalam bahasabahasa yang berbeda-beda, yaitu bahasa sehari-hari dari berbagai komunitas yang kepadanya Kabar Baik itu hendak disampaikan.

Dalam sejarah kekristenan, kita melihat bagaimana komunikasi diri Allah diinkarnasikan dalam bentuk-bentuk komunikasi seiring perkembangan teknologi. Awalnya, kisah-kisah pengalaman iman disampaikan dari mulut ke mulut, baru kemudian dituliskan dalam bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat zaman itu. Surat-surat dikirimkan ke berbagai daerah, disalin, disebarkan, dikumpulkan oleh komunitas-komunitas, dan akhirnya beberapa dari suratsurat tersebut diterima menjadi Alkitab seperti yang kita kenal sekarang. Kehadiran mesin cetak Gutenberg membawa revolusi dalam perkembangan kekristenan, karena seiring dengan berkembangnya

Di abad ke-21 ini, perkembangan teknologi komunikasi semakin hari semakin cepat. Jaringan internet yang semakin baik dan perangkatperangkat elektronik yang semakin canggih dan semakin mudah didapat membuat semakin banyak orang hidup terkoneksi dengan internet. Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, kemungkinan besar internet sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup seharihari. Ini berarti, internet bukan lagi menjadi satu bagian dari kehidupan, melainkan sudah menjadi suatu wilayah kehidupan yang baru. Sebagai wilayah kehidupan yang baru, kehidupan terkoneksi/digital/ virtual ini tumpang tindih dengan kehidupan nyata/sehari-hari dan

Kolom Komunikasi BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 - YAKOMA-PGI meresap ke segala aspek kehidupan. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Snapchat yang akhir-akhir ini yang digandrungi oleh para remaja memengaruhi kehidupan kita dan menjadi “bahasa seharihari” yang baru.

menganggap internet media sosial sebatas alat baru untuk menyampaikan warta jemaat, sehingga sekalipun memiliki halaman web dan akunakun media sosial, tidak ada strategi maupun pemikiran khusus yang dikembangkan mengenainya. Akibatnya, yang disampaikan melalui internet terbatas kepada pengumuman-pengumuman, itu pun hanya kalau ingat untuk mengirimkannya. Bahkan, banyak pendeta dan aktivis gereja yang

Sudah saatnya bagi Gereja untuk hadir bagi masyarakat yang hidup dalam budaya digital dengan memperlakukan komunikasi melalui internet sebagai bagian dari pelayanannya, dan bukan sekedar tambahan alat bantu.

Sayangnya, berbeda dengan catatan sejarah yang menunjukkan bagaimana Gereja senantiasa hadir menggunakan teknologi komunikasi terkini, gereja-gereja tampak sangat lambat dalam bereaksi terhadap perkembangan komunikasi melalui internet. Sebagian besar tampaknya

31 31 dapat dikatakan masih gagap teknologi. Padahal, seperti terlihat dalam tindakan inkarnasi, Allah menginginkan komunikasi yang disampaikan, diterjemahkan, diinkarnasikan ke dalam bahasa yang dipahami oleh masyarakat. Ketika Gereja tidak berkomunikasi dalam bahasa yang dipakai oleh masyarakat era digital ini, maka Gereja tengah gagal melaksanakan tugasnya di tengah dunia. Sudah saatnya bagi Gereja untuk hadir bagi masyarakat yang hidup dalam budaya digital dengan memperlakukan komunikasi melalui internet sebagai bagian dari pelayanannya, dan bukan sekedar tambahan alat bantu. ∎ Penulis adalah anggota Pokja Biro Pemuda PGI

32

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

varia

INTOLERANSI TERHADAP GBKP BANDUNG TIMUR Oleh: Pdt. Sura Purba Saputra Purba

I

ntoleransi akut yang terjadi di Bandung tercermin dalam aksi demo terhadap GBKP Bandung Timur. Wajah kota Bandung yang ramah tercoreng oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Warga RW 06 Kelurahan Jatisari, Kecamatan Buahbatu, Kota Bandung yang datang pukul 08.30 WIB tanggal 10 April 2016, dengan pengeras suara memprovokasi dengan kalimatkalimat kebencian dan penolakan terhadap keberadaan GBKP Bandung Timur. Mereka membawa anak-anak kecil dan remaja, dengan demikian intoleransi sudah ditanam sejak dini. Kebencian yang merasuk membuat mereka gelap mata, tidak ada lagi musyawarah mufakat untuk kebaikan bersama. Dengan membentangkan spanduk, “Kami warga RW.06 Kel. Jatisari Kec. Buahbatu menolak keberadaan gereja di lingkungan kami sampai kapan pun. Membangun gereja mengusik kenyamanan kami.” Spanduk ini seolah-olah menyuarakan pendapat semua warga RW.06 Kelurahan Jatisari. Padahal kami masih yakin, Muslim sejati cinta damai dan toleran.Yang saya ragukan adalah keislaman ormas-ormas garis keras seperti Garis, FUI dan FPI yang berada di belakang menggerakkan warga untuk resisten terhadap gereja. Karena keberagamaan yang mendalam mengakui kebhinekaan dalam masyarakatnya. Hanya mereka yang intoleran yang bersuara menolak, sedangkan warga tidak

keberatan akan keberadaan GBKP Bandung Timur. Mereka diam dan bingung terhadap saudara-saudari yang giat mendemo GBKP Bandung Timur. Terbukti, GBKP Bandung Timur mendapatkan 85 tanda-tangan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga yang tidak keberatan atas keberadaan GBKP Bandung Timur. Data ke-85 warga tersebut telah diverifikasi dan direkomendasikan RT/RW setempat, Lurah Jatisari, Camat Buahbatu, Kementerian Agama Kota Bandung, FKUB Kota Bandung, dan BKBPPM Kota Bandung sehingga BPPT Kota Bandung atas nama Walikota Bandung menerbitkan IMB Rumah Ibadah.

atau konflik. GBKP Bandung Timur tetap melakukan pendekatan dan hasilnya pada 1 Oktober 2012 tercapai kesepakatan membuka bersama segel/gembok tersebut dan bersama-sama menyatakan “segala permasalahan dianggap selesai.” Pada waktu itu kami sangat lega atas penyelesaian masalah ini, apalagi Komarudin Atmadja, SH yang menyatakan diri selaku kuasa hukum Forum Komunikasi Warga RW 06 Kelurahan Jatisari Kec. Buahbatu dan Amin Safari sebagai Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Sabilul Huda yang berdiri di RW 06 Kelurahan Jatisari, hadir pada hari pembukaan segel tersebut.

Penolakan ini sudah berulang kali dialami GBKP Bandung Timur. Puncaknya saat sosialisasi IMB GBKP Bandung Timur yang terbit pada 20 Juni 2012, masyarakat RW 06 Kelurahan Jatisari yang dimotori ormas Garis menyegel atau menggembok pintu GBKP Bandung Timur pada 29 juli 2012. Walau demikian, kami tidak pernah terpancing konfrontasi

Pada 8 April 2016, Komarudin Atmadja, SH sebagai kuasa hukum warga RW 06 dan Amin Safari selaku Ketua DKM Masjid Sabihul Huda menjadi koordinator lapangan saat melakukan demo, melayangkan surat kepada Camat Buahbatu, Danramil Buahbatu, Kapolsek Buahbatu dan Lurah Jatisari, menyatakan “IMB atas nama GBKP Bandung Timur tersebut telah dibekukan Walikota Bandung

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

selaku Pejabat Tata Usaha Negara pada 2014.” Mereka menuduh GBKP Bandung Timur melakukan pemalsuan data. Kedatangan mereka ke GBKP Bandung Timur pada Minggu, 10 April 2016, untuk “mengadakan klarifikasi mengenai data yang divalidasi tersebut langsung ke GBKP Bandung Timur.” Jadi bukan merupakan pemberitahuan demo kepada Kapolsek Buahbatu melainkan undangan klarifikasi validasi GBKP. Mereka melangkahi wewenang aparat Negara memvalidasi data GBKP.

varia

33

BPPT Tanggal 20 Juni 2012 dalam keadaan status dibekukan lantas mengagendakan peresmian oleh Walikota Bandung tanggal 10 April 2016.” Padahal GBKP Bandung Timur tidak pernah menerima surat pembekuan seperti dimaksud. Ketika diminta menunjukkan surat

Padahal sudah ditegaskan Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung dalam rapat tanggal GBKP Bandung Timur Pasca aksi demo yang berlangsung pada tanggal 10 April 2016 18 Desember 2015 di Kantor BPPT Jl. Cianjur No.34 – Bandung bahwa IMB GBKP Bandung Timur tidak pembekuan tersebut pun pada mereka tidak ada. Dan dalam status dibekukan atau akan dicabut. Rapat ini dalam surat tersebut menyarankan Walikota Bandung dihadiri Kepala BKBPPM Kota Bandung, Camat Buahbatu, agar GBKP Bandung Timur dipindahkan ke tempat lain.Ini Lurah Jatisari, FKUB Kota Bandung, perwakilan Danramil semua tindakan pemaksaan kehendak. Kecamatan Buahbatu, Kapolsek Kecamatan Buahbatu, RW 06 Kelurahan Jatisari, serta perwakilani GBKP GBKP Bandung Timur mengharapkan jaminan kebebasan Bandung Timur. Kepala BPPT Drs. H. Ema Sumarna, M.Si, beragama dan beribadah sesuai dengan UUD 1945 setelah meneliti seluruh berkas perizinan GBKP Bandung kepada pemerintah. Kita tidak ingin NKRI tercabik-cabik Timur menyatakan, semua persyaratan lengkap secara akibat sikap intoleran yang diskriminatif dan memecahlegal formal. Jadi pada rapat ini ditegaskan bahwa IMB belah. GBKP Bandung Timur sudah cukup mendapatkan Rumah Ibadah GBKP Bandung Timur yang terbit tanggal tekanan psikologis dari aksi-aksi mereka. GBKP Bandung 20 Juni 2012 sah secara hukum dan harus difungsikan Timur tidak mengganggu sesiapa pun, dan menghormati untuk tempat beribadah. masyarakat sekitar. Seperti dikatakan Walikota Bandung M. Ridwan Kamil dalam komunikasinya dengan Intoleransi terus berlanjut, walaupun ibadah minggu simpatisan GBKP Bandung Timur, “IMB sudah dikeluarkan tanggal 17 April 2016 dilindungi dan diamankan Pemkot sesuai prosedur”. Ada aturan hukum yang berlaku Kapolda Jawa Barat sehingga dapat berlangsung tanpa dalam Negara Indonesia, karena itu tidak diperbolehkan gangguan. Dalam surat Forum Komunikasi Warga bersikap semena-mena terhadap sesama warga. ∎ RW 06, Kelurahan Jatisari, Kecamatan Buahbatu, Kota Bandung tertanggal 21 April 2016 yang ditujukan kepada Pdt. Sura Purba Saputra Purba adalah pendeta jemaat Walikota Bandung mengatakan: “GBKP Bandung Timur GBKP Bandung Timur tidak mematuhi semua konsekuensi yang diperintahkan oleh Walikota dari pembekuan IMB, telah bertindak arogan karena ketika IMB Nomor: 503.645.8/2249/

34

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

varia

Intoleransi dan Diskriminasi di Aceh Singkil Masih Terjadi!

Boas Tumangger saat menunjukan berkas kepada Ketua KOMNAS HAM Imdadun Rahman

S

ejak peristiwa pembakaran Gereja HKI pada 13 Oktober 2015, kondisi Aceh Singkil tidak semakin membaik, malah justru makin memburuk. Bahkan Gereja yang rencananya akan diberikan izin untuk dibangun di daerah itu, justru malah dipersulit izin pembangunannya meski seluruh persyaratan dalam Peraturan Gubernur tahun 2007 tentang izin pendirian rumah ibadah telah dipenuhi. Tidak hanya itu, persoalan diskriminatif terkait pendidikan juga mencuat di Aceh Singkil. Siswa nonmuslim harus mengikuti pelajaran agama Islam, termasuk baca tulis Arab dan Al-Quran supaya bisa naik kelas atau lulus sekolah. Semua persoalan itu dibeberkan Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil (FORCIDAS), Boas Tumangger

dan tokoh masyarakat Muslim Kecamatan Suro, Ramli Manik, kepada Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Imdadun Rahmat, Jumat (22/4). Hal yang sama juga disampaikan sebelumnya kepada KOMNAS Perempuan dan Anak, Kementrian Agama RI, PKUB, dan beberapa media nasional. “Berdasarkan data yang kami miliki, tercatat ada satu gereja yang sudah mengajukan izin pembangunan gereja sejak 28 Juni 1994. Namun, sampai saat ini izin tersebut tidak pernah keluar,” tandas Boas, yang didampingi perwakilan Posko Kemanusiaan Lintas Iman Woro Wahyuningtyas. Lanjutnya, pasca peristiwa pembakaran gereja pada 13 Oktober 2015, Pemerintah Daerah sudah menginstruksikan kepada

seluruh rumah ibadah yang belum memiliki izin agar mengurusnya dengan segera. Dari 24 gereja yang ada, Pemerintah Daerah merekomendasikan pemberian izin kepada 13 gereja yang telah lolos verifikasi persyaratan. Namun, pada Rabu 20 april 2016, Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) menyampaikan bahwa 13 gereja tersebut proses perizinannya tidak berlaku lagi dan harus mengulang dari awal. Sehingga sampai saat ini belum ada kejelasan kapan pemerintah daerah akan menerbitkan surat izin pembangunan tersebut. “Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, pihak FKUB dan Pemerintah Kabupaten terus berubah-ubah kebijakannya. Itu mempersulit panitia pendirian gereja dalam mengurus perizinan,” tegasnya.

varia

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

Ketentuan lain yang dinilai mempersulit adalah mengenai syarat perizinan dalam peraturan pemerintah daerah yang mengharuskan adanya 150 KTP pengguna rumah ibadah dan 120 KTP dukungan dari masyarakat setempat. Sementara dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat, mensyaratkan 90 KTP pengguna rumah ibadah dan 60 KTP dukungan. “Dari aturan soal KTP, pemerintah daerah punya tafsir yang berbeda. Menurut mereka KTP dukungan harus dari warga yang beragama Islam. Padahal dalam PBM (Peraturan Bersama Menteri) tidak diatur seperti itu,” kata Boas.

kelas adalah pendidikan agama. Jadi agar lulus ujian harus mengikuti pelajaran agama Islam,” paparnya. Saat bertemu dengan Imdadun Rahmat (Komisioner KOMNAS HAM), Boas juga menyampaikan kekecewaannya atas vonis Majelis

35

dalam proses pengadilan terhadap Wahid Tumangger secara tidak independen sehingga memberikan keputusan hukum yang tidak adil, bersama dengan Tim Hukum PGI akan melakukan banding atas putusan pengadilan terhadap Wahid Tumangger yang dinilai tidak

FORCIDAS dan Posko Kemanusiaan Lintas Iman saat berasda di kantor Jakarta Post

Baca Tulis Arab dan Al-Quran Sementara terkait pendidikan, diungkapkan Boas, meski sudah berpuluh-puluh tahun semua Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Aceh Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Sedangkan pelajaran agama menjadi satu syarat bagi kelulusan siswa. “Karena itu, siswa non-muslim harus mengikuti pelajaran agama Islam, termasuk baca tulis Arab dan AlQuran supaya bisa naik kelas atau lulus sekolah. Ada 23 persen umat Nasrani di sana, tapi tidak ada guru agama Kristen di Kabupaten Aceh Singkil. Padahal, persyaratan naik

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Aceh Singkil pada Kamis (21/4) yang menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara kepada Hotma Uli Natanael Tumangger alias Wahid Tumangger. Kendati dalam persidangan tidak pernah dihadirkan satu pun alat bukti seperti senjata atau proyektil peluru yang membuktikan Wahid Tumangger melakukan perbuatan yang dituduhkan terhadapnya. Sementara itu, dalam siaran persnya FORCIDAS dan Posko Kemanusiaan Lintas Iman menuntut agar peradilan yang adil dan independen untuk Wahid Tumangger, menuntut Komisi Yudisial mengusut Majelis Hakim PN Singkil yang terlibat

memenuhi unsur keadilan. Selain itu, menuntut Pemerintah Pusat cq Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Agama melalui Pemerintah Daerah memfasilitasi pemberian izin pendirian gereja di Kabupaten Singkil, menuntut Kementerian Agama Pusat hingga Aceh Singkil untuk menghapus kebijakan diskriminasi pendidikan agama di seluruh sekolah atau satuan pendidikan di Aceh Singkil, dan menuntut Kementrian Pusat hingga Aceh Singkil untuk menyediakan guru pelajaran agama non-Muslim untuk peserta didik non-Muslim di seluruh sekolah atau satuan pendidikan di Aceh Singkil. ∎ (MS)

36

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

varia

Perayaan HUT GPIBT di Mupel III Tolitoli Utara

M

erespon surat dan Panduan HUT ke-51 GPIBT Bersinode yang dikeluarkan Badan Pekerja Majelis Sinode GPIBT melalui Komisi Pengakuan Ibadah dan Tata Gereja (PIT) Sinode GPIBT, JemaatJemaat se-Musyawarah Pelayanan III GPIBT (Kecamatan Tolitoli), belum lama ini melaksanakan Ibadah Syukur Bersama di Rumah Ibadah GPIBT Jemaat Sion, Diule, Kec. Tolitoli Utara, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah (65 km dari Kota Tolitoli). Ibadah Syukur yang diikuti warga dari GPIBT Jemaat Ora Et Labora (Ambotuban), GPIBT Jemaat Pniel (Ambotuban), GPIBT Jemat Siloam (Teluk Jaya), GPIBT Jemaat Eklesia (Teluk Jaya) dan tuan rumah GPIBT Jemaat Sion (Diule), dipimpin langsung oleh Ketua Sinode GPIBT, Pdt. Cornelius Agustinus Montol, S.Th. dan dilanjutkan dengan lomba paduan suara, vocal grup dan bintang vokalia (menyanyi solo). Dalam khotbahnya dengan tema, “Lakukanlah Pekerjaan Pemberita Injil” yang didasarkan pada Surat 2 Timotius 4:5b, Pdt. Montol menyatakan agar Gereja untuk tidak puas dengan dirinya sebagai gereja semata, tetapi yang terbuka untuk menjadi gereja yang peduli dan karena itu selalu serta terus-menerus memiliki kerinduan dan kemauan untuk memberitakan

Injil Kristus. Tentu saja dengan menanggung banyak resiko. Itulah sebabnya setiap orang harus terus belajar untuk semakin memahami Injil. Maksudnya agar orang percaya tidak menjadi lemah, sebaliknya menjadi kuat dan hidup dalam kerendahan untuk dapat berkhotbah dan mengajar serta melayani (berdiakonia), hidup menjadi satu dalam kata dan perbuatan sebagai sikap keteladanan, dengan penuh penguasaan diri (selalu siuman dalam segala hal), penuh kesabaran dan kerelaan. Terkait dengan perayaan HUT ke51 Bersinode, selaku Ketua Sinode GPIBT, Pdt. Montol, menyampaikan 3 (tiga) pesan kepada segenap

warga GPIBT yaitu pertama, semakin bersungguh-sungguh memberi perhatian pada tanggungjawab memberitakan Injil Yesus Kristus. Injil yang adalah “euanggelion”, Kabar Baik, Berita Sukacita dalam mana pembebasan, penyelamatan atas manusia dan dunia dari kuasa dosa dan maut. Kedua, bahwa di tengah-tengah persekutuan anggota tubuh di era globalisasi gerejapun berbahaya dirasuk dan terancam dirusak oleh semangat primordialisme kesukuan lalu menjadi sangat tertutup, atau karena merasa lebih mampu/mandiri lalu cenderung memisahkan diri (menciptakan perpecahan) dalam/ dari keanggotaan tubuh Kristus.

Juara 1 Vokal Grup Dewasa utusan GPIBT Jemaat Pniel Ambotuban

varia

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 Ketiga, mengingat dan mengarahkan pelayanannya pada tanggungjawab mengestafetkan kepemimpinan missioner sehinga GPIBT bukan saja semakin waspada tetapi juga semakin taat dalam menjawab panggilan melaksanakan pemberitaan Injil dan menunaikan tugas pelayanan tanpa mengenal waktu dan tempat serta tanpa ragu, takut dan gentar. Karena memang Tuhan sendiri dengan kuasa Roh KudusNya berkenan atas kehidupan gereja-Nya. Justru karena segenap warga GPIBT sendiri sadar dan paham bahwa gereja adalah yang dinamis di mana pertandingan iman harus dijalani dan kemenangan harus dicapai untuk kemuliaan Kristus. Mengawali Lomba Kesenian, Ketua Sinode GPIBT, Pdt. Cornelius Agustinus Montol, S.Th menyampaikan sambutan sekaligus pesan HUT GPIBT dalam bingkai tema, “Menapak Bersama Menuju Jemaat Misioner” (Bdk. Lukas 9:13) yang intinya, mengharapkan agar segenap warga GPIBT

selalu didorong untuk memiliki kematangan iman atau kedewasaan iman sehingga mampu mewujudkan syalom Allah bagi semua orang. Juga sebagai yang telah menerima kasih karunia, segenap warga GPIBT diajak untuk semakin mengenal dirinya sendiri, akan potensi/ kekuatan yang dimilikinya, yakni tentang “berapa roti” yang ada padanya. Dari yang ada selalu menjadi cukup bagi dirinya sehingga dapat membagikannya kepda dan bersama orang lain. Sekaligus menegaskan agar warga GPIBT, tidak boleh tidak segenap warga GPIBT secara bertanggungjawab mengenal dan memahami konteks kehadirannya. Kehadirannya selalu menunjuk pada interaksi sosial yang bermakna “kehidupan”. Ada begitu banyak persoalan kemanusiaan (sebagai masalah sosial) serta persoalan tanah (sebagai masalah tanah) yang sangat mengancam hilangnya “kehidupan” sebagaimana tujuan penciptaan oleh Allah. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan,

37

penyalahgunaan NAPZA, seks bebas, LBGT, radikalisme, korupsi, kerusakan alam haruslah menjadi perhatian dari pelayanan GPIBT dalam melaksanakan tugas misi Allah di muka bumi ini yang nyata dari adanya, hadirnya serta berkaryanya segenap warga GPIBT di semua bidang kehidupan keseharian. Berdasarkan penilaian dewan juri yang terdiri 3 (tiga) kader muda yang juga pegiat seni musik gereja Kabupaten Tolitoli yaitu Erwin Christian Ndobe, Theofilus Marrung dan Jeffry Barnabas, menetapkan para juara sebagai berikut, Paduan Suara Dewasa, Juara 1. GPIBT Jemaat Sion, 2. GPIBT Jemaat Pniel, 3. GPIBT Jemaat Sion; Vokal Grup Dewasa, Juara 1. GPIBT Jemaat Pniel, 2. GPIBT Jemaat Sion 1, 3. GPIBT Jemaat Sion 3; Vokal Grup Anak-anak, Juara 1. GPIBT Jemaat Sion; Solo Dewasa, Juara 1. Boki Manalang (GPIBT Jemaat Ora Et Labora), 2. Priska (GPIBT Jemaat Pniel) 3. Erna (GPIBT Jemaat Eklesia) dan Solo Anak-anak, juara 1. Lili Aling (GPIBT Jemaat Sion). Berdasarkan hasil tersebut ditetapkan sebagai Juara Umum yaitu GPIBT JEMAAT SION DIULE. Turut memberikan sambutan Koordinator Mupel III Pdt. Netha Balaati, S.Th dan Ketua Jemaat GPIBT Sion Diule, Pnt. Andries Mangalede. ∎ (Jury Nefosan Terok, Kontributor)

Juara 1 Paduan Suara Dewasa dari GPIBT Jemaat Sion Diule

38

varia

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Aula RS PGI Cikini Siap Dipugar

B

agi anda yang pernah mengunjungi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta pasti melihat bangunan tua yang berdiri megah persis di tengah-tengah rumah sakit tersebut. Ya, itulah Aula (Hall) Rumah Sakit PGI Cikini yang dulunya adalah kediaman pelukis terkenal Raden Saleh. Bangunan yang telah berdiri sejak tahun 1862 itu, telah ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat nasional melalui Keputusan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI (2005) dan tingkat provinsi melalui SK Gubernur DKI Jakarta (1995). Untuk menjaga kelestariannya, melalui program Ambassador Funds for Cultural Preservation oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pada akhir tahun 2015 Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA)

melakukan kegiatan Dokumentasi, penelitian dan Inventarisasi Kerusakan Bangunan Rumah Raden Salah atau Hall Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta. Penelitian juga didukung pendanaannya oleh pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui bantuan penelitian ekskavasi pondasi oleh BPCB Serang, serta 3D laser scan dan penelitian material bangunan oleh Balai Konservasi Borobudur. Investigasi struktur bangunan dilaksanakan oleh PT. Risen Engeneering Consultant. Upaya ini sejalan dengan amanat UU Cagar Budaya No. 11 tahun 2010, yang menyatakan bahwa sebelum rencana pelestarian dibuat, perlu dilakukan kajian teknis mengenai bangunan bersejarah.

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

varia

39

Dokumen hasil penelitian, dokumentasi, dan inventarisasi tersebut diserahkan secara resmi oleh Duta Besar Amerika Serikat Robert O’Blake Jr, kepada Ketua Pengurus Yayasan Kesehatan PGI Cikini Kol. Dr. Alexander K. Ginting S., SpP., FCCP, pada Selasa (26/4) di Hall RS PGI Cikini, Jakarta. Tampak hadir para pengurus Yayasan RS PGI Cikini, MPH-PGI serta sejumlah undangan. Pada kesempatan itu, Robert O’Blake Jr mengungkapkan dana yang dihibahkan oleh kedutaan senilai USD22 ribu atau setara dengan Rp200 juta Duta Besar Amerika Serikat Robert O’Blake Jr menyerahkan dokumen hasil penelitian dan dokumentasi kepada Ketua Pengurus Yayasan Kesehatan PGI Cikini Kol. dr. Alexander K. Ginting, S.,SpP., FCCP lebih. “Dana hibah hanya untuk Alexander K. Ginting S., SpP., FCCP menyampaikan terima tahap awal, untuk program ini khusus dari pendanaan kasih kepada semua pihak yang memberi perhatian dan keduataan, kita juga ingin mendorong pihak swasta berjanji akan tetap mempertahankan bangunan tersebut dapat berkontribusi,” ucapnya. sebagaimana adanya. Ditambahkan Robert, pendanaan tersebut merupakan Hal senada juga disampaikan Sekum PGI Pdt. Gomar ujud dari penghormatan terhadap kebudayaan Gultom, MTh. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan Indonesia. Dia pun berharap agar kerjasama bisa terjalin dapat menjadi dasar dalam rangka merestorasi gedung tidak hanya sampai disini. yang telah dibangun sejak tahun 1852 ini. “Kami berharap untuk selanjutnya bisa difungsikan kembali sebagai ballroom tetapi juga menjadi museum bagi peninggalanpeninggalan Raden Saleh. Kita sangat menghargai karya-karya historis dan gedung ini mencerminkan kekayaan arsitektur zaman dulu yang diwariskan oleh Raden Saleh kapada kita. Jadi ini bagaimanapun bisa menjadi pusat studi nantinya dari arsitektur dan seni-seni dari masa lalu,” jelasnya.

Duta Besar Amerika Serikat Robert O’Blake Jr menyerahkan dokumen hasil penelitian dan dokumentasi kepada Ketua Pengurus Yayasan Kesehatan PGI Cikini Kol. dr. Alexander K. Ketua Ginting, Pengurus S.,SpP., FCCP Yayasan Kesehatan PGI Cikini Kol. Dr.

Rumah Raden Saleh akan dijadikan sebagai cagar budaya setelah dilakukannya konservasi dan restorasi terhadap bangunan. Setelah pendokumentasian dan penelitian, tahap selanjutnya adalah persiapan untuk pemugaran. ∎ (MS)

40

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

Pesan Bulan Oikoumene PGI 2016 “Gereja yang Peduli dan Berbagi” (2 Korintus 8:13-15) Bulan Mei dirayakan oleh gereja-gereja di Indonesia sebagai Bulan Oikoumene, berkaitan dengan hari lahir PGI yang jatuh pada 25 Mei. Tahun ini PGI berusia 66 tahun, yang menunjukkan bahwa arak-arakan gerakan oikoumene gereja-gereja di Indonesia telah menjalani usia yang tidak lagi muda. Pada kesempatan ini, kita merayakan rahmat Tuhan yang telah memungkinkan gereja-gerejaNya bertumbuh bersama, berupaya menyemaikan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua, sebagaimana amanat Berita Injil. Kita menyambut dengan rasa syukur peningkatan komunikasi dan semangat persaudaraan yang semakin terjalin dengan baik di antara gereja-gereja dari berbagai latar belakang, hal yang merupakan wujud kesaksian gereja sebagai tubuh Kristus yang satu. Begitu juga kita syukuri kerjasama yang semakin berkembang di antara gerejagereja dan semua anak bangsa dalam menjawab tantangan-tantangan bersama dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita. Namun, kita tak boleh cepat berpuas diri. Sebab persoalan terus-menerus hadir, bahkan tantangan semakin meningkat. Kita masih terus prihatin. Banyak gereja masih mengalami gangguan dan pelarangan beribadah, kemiskinan dan ketidakadilan masih terus membayangi, paham radikalisme yang menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan persoalan semakin

menguat, kerusakan ekologis makin tak terbendung, korupsi masih sulit dibasmi, peredaran narkoba makin tak terkendali, dan perdagangan manusia justru semakin marak. Situasi ini makin diperparah oleh kecenderungan menguatnya gaya hidup individualistis. Banyak orang semakin tidak peduli dengan orang lain dan apa yang terjadi di sekitarnya. “Sejauh tidak menggangu diri saya, maka bukan urusan saya”, begitu komentar yang sering kita dengar. Orang makin merasa nyaman hidup sendiri, dan tidak rela keluar dari zona kenyamanannya. Orang lain akan menjadi penting sejauh dia menguntungkan. Relasi antar manusia lalu menjadi relasi ekonomis, bukan lagi relasi sosial alami yang saling membutuhkan. Orang menjadi sibuk mengurus urusannya sendiri, berjuang meraih dan menumpuk materi, kuasa dan kedudukan bagi kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap hidup ini tidak jarang bermuara pada keserakahan yang mematikan kehidupan bersama. Gereja pun sedikit banyak terkena pengaruh nilai-nilai dan gaya hidup seperti ini, misalnya, gereja masih berkutat pada urusan internal. Acap kepedulian terhadap persoalan gereja tetangga masih sangat minim. Ironis bahwa berita Injil menuntut pengikut Kristus untuk hidup dalam persekutuan yang saling peduli dan

41

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

berbagi, namun tidak jarang kita saksikan masih adanya kesenjangan ekonomi-sosial di dalam jemaat, antar jemaat dan antar denominasi. Jika demikian, gereja pun bisa saja tidak peduli terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat kita. Gejala ini sangat serius. Kepekaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama dapat semakin tergerus. Dalam konteks ini, Tema Bulan Oikoumene Tahun 2016 dipilih, yakni “GEREJA YANG PEDULI DAN BERBAGI” yang diinspirasi oleh pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 2 Korintus 8:1-15. Acapkali kita hanya mau memberi dari kelebihan kita dan hanya ketika situasi kita tanpa gangguan. Paulus menyaksikan pelayanan kasih yang dilakukan oleh jemaat Makedonia yang memberi bukan dari kelebihannya, tapi justru dari kemiskinannya; bukan dari kenyamanannya tapi justru dari tengah-tengah tekanan dan penderitaan yang mereka alami. Dengan rela dan dalam rasa sukacita yang meluap, mereka memberi menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka (ayat 1-5). Perikop ini, menunjukkan bahwa peduli dan berbagi adalah dua nilai penting dalam kehidupan persekutuan, keduanya tidak bisa dipisahkan. Peduli adalah sebuah sikap; dan berbagi adalah sebuah tindakan. Kepedulian menunjukan kesadaran bahwa kita terikat bersama-sama dengan orang lain dalam satu kehidupan bersama karena

kita hidup dalam bumi yang satu. Kepedulian seperti ini yang adalah wujud pelayanan kasih hanya mungkin kita lakukan dalam iman kepada kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kita menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kita menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya (ayat 9). Dalam kepedulian seperti itulah, kita lalu harus memberi (baca: berbagi). Berbagi semestinya bukan semata-mata digerakkan oleh rasa kasihan hendak meringankan beban orang lain, bukan juga agar kita makin popular, tapi “supaya ada keseimbangan” (ayat 13 dan 14). Keseimbangan berarti harmonis dalam perbedaan. Gereja diutus ke dalam dunia untuk hadir dan bersaksi melalui gaya hidupnya yang peduli dan rela berbagi sebagaimana yang diteladankan oleh Kristus. Bersamasama dengan semua yang peduli pada kelanjutan kehidupan yang adil dan sejahtera di bumi ini, marilah kita mengusahakan sebuah kehidupan yang lebih baik dan harmonis. Sebuah dunia dimana “kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.” Peduli dan berbagi menggarisbawahi sebuah pengakuan iman bahwa kita saling membutuhkan. Selamat Merayakan Bulan Oikoumene! Tuhan memberkati.

Jakarta, April 2016 Atas nama Majelis Pekerja Harian PGI

Pdt. Dr. Henriette T.H-Lebang Ketua Umum

Pdt. Gomar Gultom Sekretaris Umum

42

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

sosok

Pdt. Dr. Djoys Karundeng-Rantung MTh,

Peduli Pendidikan Perdamaian

H

idup damai dengan semua orang tentu menjadi kerinduan tiap insan. Dengan kehidupan yang damai, maka berkat-berkat akan tercurahkan. Hal itu menjadi bagian yang sangat diimani oleh Pdt Dr. Djoys Karundeng-Rantung. Bahkan, rasa cintanya terhadap hidup damai diejawantahkan dalam disertasi program doktoral di STT Cipanas bertajuk “Resolusi Konflik Dalam Organisasi, Suatu Tinjauan Pendidikan Perdamaian Terhadap Kasus Konflik UKIT” yang baru saja diujikan dan memperoleh nilai sangat memuaskan.

Pdt. Dr. Djoys Karundeng-Rantung, MTh. bersama dosen penguji.

Bagi Pdt. Djoys, hidup damai itu diawali dari diri pribadi. “Bila seseorang bisa berdamai dengan dirinya sendiri, embrio itu bisa disebarkan kepada keluarga, lingkungan, alam sekitar, dan masyarakat secara luas. Dan, bila semua orang melakoni hal tersebut, bisa dibayangkan semesta ini pun akan hidup dalam damai,” ujar Pdt. Djoys saat ditemui di kediamannya usai perayaan Ucapan Syukur keberhasilannya meraih gelar doktor, juga peringatan wedding anniversary ke-19 serta putrinya Nathasya Grace Etsuko Karundeng yang telah naik sidi di GPIB Trinitas Kota Wisata dan akan meneruskan pendidikan ke Jepang dalam waktu dekat.

Konflik internal

Ketiga hal tersebut dialami oleh Pdt Djoys sebagai sebuah anugerah yang indah dan bagian dari hidup damai dalam keluarga yang selama ini dijalani bersama suami Kenny Ever Karundeng dan anak-anak (Nathasya dan Davis Kennedy Karundeng).

Dijelaskan pula konsep damai yang sejati adalah berdamai dengan Tuhan, diri pribadi, dan ciptaan Tuhan lainnya. Karena itu, Pdt. Djoys mengajak semua pihak untuk lebih memahami pendidikan perdamaian itu sebagai bagian dari kehidupan dan keseharian. ∎ (MS)

Dalam kacamata Pdt. Djoys yang juga dosen Pascasarjana di UKI dan UI, saat ini seringkali terjadi konflik, pun di lingkungan gereja dan lembaga Kristen dengan beragam faktor penyebab. Karena itu, pendidikan perdamaian menjadi suatu yang mendesak untuk diketengahkan dalam berbagai aspek kehidupan. Terlebih saat ini, Indonesia tengah masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pendidikan perdamaian bukan semata untuk menyelesaikan konflik, tapi juga menjadi upaya preventif meminimalisir terjadinya konflik.

internasional

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

43

Rev. Dr Olav Fykse Tveit, World Council of Churches (WCC):

Perlakuan Pihak Bandara Israel Tidak Dapat Diterima

S

etelah bepergian ke Bandara Ben Gurion di Tel Aviv pada minggu terakhir untuk pertemuan keadilan iklim, Dewan Gereja Dunia(WCC) staf dan mitra ditahan atau dideportasi, dengan cara yang menurut Sekjen WCC Rev. Dr Olav Fykse Tveit hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tak dapat diterima.

“WCC protes keras, tidak masuk akal dan sepenuhnya tidak beralasan perlakuan oleh perwakilan otoritas Israel ini, terhadap gereja-gereja anggota WCC dan staf yang bepergian untuk mengikuti diskusi tentang perubahan iklim dan kepedulian terhadap lingkungan atas undangan dan diselenggarakan oleh gereja-gereja anggota WCC di wilayah tersebut,” katanya. Anggota Kelompok Kerja WCC tentang Perubahan Iklim dari 13 negara melaporkan mereka ditahan dan diintrogasi selama berjam-jam, termasuk intimidasi yang kuat dan penahanan selama tiga hari seperti di penjara. “Sungguh sebuah pengalaman yang sangat sulit,” kata Tveit. “Kami mengecam dengan pengalaman seperti ini. Mereka semua terkejut, tidak menduga, dan sangat terganggu karena mereka tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.”

Para anggota Kelompok Kerja Perubahan Iklim telah melakukan perjalanan ke Israel dalam semangat solidaritas oikumenis untuk mendiskusikan bersama tantangan global dalam perlindungan lingkungan dan mitigasi, serta adaptasi terhadap perubahan iklim. Penahanan wisatawan, interogasi dan intimidasi sangat dikhawatirkan akan berdampak kepada orang lain. Tveit mengatakan, tidak ada alasan untuk mempercayai akan ada masalah bagi orang yang menghadiri pertemuan ini, terutama karena sudah ada pertemuan-pertemuan lain sebelumnya selama bertahuntahun, tidak hanya terkait dengan perubahan iklim tetapi juga untuk hubungan ekumenis, perdamaian dan refleksi teologis. Dan selama bertahun-tahun, WCC telah memberi perhatian dan mengajak rekan-rekan dari kedua negara, Palestina dan Israel, untuk mempromosikan hubungan damai dan hidup berdampingan. Akhirnya seluruh peserta kelompok kerja WCC diperbolehkan meninggalkan Israel. WCC meminta pemerintah Israel menyampaikan maaf serta menghentikan perilaku agresif kepada gereja-gereja anggota dan staf WCC di kemudian hari. “Kami percaya bahwa ini juga untuk kepentingan pemerintah Israel, untuk mengatasi insiden yang sangat tidak menyenangkan bagi calon pengunjung ke negara ini, agar hal semacam ini tidak terulang kembali, ” kata Tveit dan menambahkan ” Kami siap untuk bertemu dan membahas masalah ini. ” ∎ (oikoumene.org)

44

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

internasional

Tiga Ribu Orang Mengikuti Pawai Bersama Perwakilan Gereja-gereja di Berlin untuk Toleransi

S

ekitar 3.000 orang memenuhi ajakan Gereja-gereja Protestan di Berlin untuk melakukan pawai bersama untuk “keterbukaan dan toleransi” sebagai respon terhadap demonstrasi di ibukota Jerman oleh kelompok-kelompok sayap kanan ekstrim.

“Kami berdiri untuk nilai-nilai konstitusi kita terhadap upaya untuk membagi masyarakat kita,”ujar Uskup Markus Droge dari Gereja Injili di Berlin, Brandenburg, Silesian Oberlausitz (EKBO) kepada salah seorang yang menyaksikan pawai awal Mei lalu. “Martabat manusia tidak bisa dilanggar,” kata Droge. “Sangat dilarang memfitnah orang-orang karena latarbelakang budaya, etnis, agama, dan bahasa atau warna kulit mereka.” Pawai ini diselenggarakan sebagai bentuk dukungan untuk sayap kanan kelompok di Jerman yang tengah argumen tentang integrasi ratusan ribu terutama pengungsi Muslim yang telah tiba di negara itu selama setahun terakhir. Mereka berkumpul di Gerbang Brandenburg dan menyanyikan himne yang diiringi band trombone, dan berjalan melewati Tugu

dari kelompok-kelompok Yahudi dan Muslim.

Peringatan untuk orang-orang Yahudi yang dibunuh di Eropa. Dan pawai berakhir di depan gereja yang dibangun pada awal abad ke-18 untuk pengungsi Protestan melarikan diri dari penganiayaan di Perancis. Ini adalah pertama kalinya gereja Berlin mengorganisir pawai tersebut. Dalam pemberitahuan mengenai pawai ini, gereja mengatakan tidak bisa “melihat di dalam diam” sementara kelompok sayap kanan ekstrim berbaris melalui distrik pemerintah di Berlin. “Bersama-sama dengan berbagai kelompok dan partai-partai demokratis, kami mengajak Anda untuk menunjukkan damai untuk toleransi dan keterbukaan dalam semangat kasih Kristen untuk tetangga kita,” demikian pemberitahuan tersebut. Uskup Droge bergabung di barisan belakang bersama para pemimpin politik, serikat buruh, dan perwakilan

Dia mencela upaya untuk menyalahgunakan iman Kristen untuk tujuan nasionalistik untuk “tujuan yang kontradiktif”. “Sementara adalah sah bagi orang untuk meningkatkan keprihatinan dan kekhawatiran, Droge mengatakan, “ketakutan dan kecemasan tidak pernah dan tidak boleh digunakan untuk mengecualikan orang, untuk menyebarkan slogan yang merendahkan manusia dan dengan demikian merusak nilai-nilai konstitusi kita.” Margot Kässmann, mantan kepala Evangelical Church in Germany (EKD), dan sekarang duta EKD untuk ulang tahun 2017 Reformasi, mengecam klaim oleh sayap kanan kelompok bahwa mereka membela peradaban Kristen Barat . “Pengungsi dipersilakan,” katanya. “Ini adalah pesan yang jelas kami hari ini.” Kristen menolak segala upaya untuk menginjak-injak orang, Kässmann mengatakan: “Di sini kita berdiri; kita bisa melakukan yang lain.” Polisi menyebutkan jumlah demonstran sayap kanan sekitar 1.000, sebagai bentuk bantahan. Demonstrasi di bawah slogan “Berlin bebas Nazi” mengumpulkan sekitar 4.500 orang. ∎ (CCA News)

internasional

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

45

Presiden terpilih Filipina Duterte Berlakukan Kembali Hukuman Mati dengan cara digantung dari 1000 “penjahat” di Davao. Lantaran catatan itu, penduduk setempat dan kelompok Human Rights Watch (HRW) menjulukinya sebagai “The Punisher” yang artinya “penghukum”. Duterte juga dijuluki “walikota maut”.

P

residen terpilih Filipina; Rodrigo Duterte, berjanji mengidupkan kembali hukuman mati dengan cara digantung untuk memberantas kriminalitas.

Dia juga berjanji untuk memperluas kekuasaan polisi, yang memungkinkan mereka untuk menembak mati siapa saja yang akan menolak ditangkap.

Hukuman mati sejatinya telah ditiadakan di Filipina sejak tahun 2006. Namun, Duterte yang dijuluki “Donald Trump”-nya Filipina dan “The Punisher” ini akan membuktikan retorikanya selama kampanye untuk membunuh semua “penjahat” di negaranya.

”Jika Anda menolak, melakukan perlawanan dengan kekerasan, perintah saya kepada polisi supaya menembak untuk membunuh. Menembak untuk membunuh kejahatan terorganisir. Anda dengar itu? Menembak untuk membunuh untuk setiap kejahatan terorganisir,” ujarnya, seperti dikutip IB Times, Senin (16/5/2016).

Janji Duterte, 71, ini muncul dalam konferensi pers pada hari Minggu. ”Apa yang akan saya lakukan adalah untuk mendesak Kongres untuk mengembalikan hukuman mati dengan cara digantung,” katanya.

Sebelum mencalonkan diri sebagai presiden Filipina, Durerte telah menjabat sebagai Walikota Davao selatan. Selama menjabat, dia dituduh sudah menewaskan lebih

Saat berkampanye, dia membuat serangkaian pernyataan kontroversial. Salah satunya berjanji membunuh semua penjahat narkoba dan tubuh mereka akan dijadikan pakan ikan di Teluk Manila. Dia juga pernah membuat lelucon untuk korban pembunuhan dan perkosaan terhadap misionaris perempuan asal Australia saat kerusuhan di penjara Davao. Bahkan, Duterte pernah menghina Paus Fransiskus dengan menyebutnya sebagai “anak pelacur”. Terlepas dari kontroversi yang dia buat, Duterte sukses memikat publik Filipina dengan memenangkan pemilihan presiden. Dia pernah berjani melarang alkohol dan rokok untuk anak-anak. ∎ (bbc.com)

46

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

resensi

Seribu Peluang dan Tingkatkan Kewaspadaan dan Keamanan Judul Buku: Era Baru Digital: Cakrawala Baru Negara, Bisnis dan Hidup Kita Penulis: Eric Schmidt & Jared Penerjemah: Serviya Hanna Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014

G

ambar sampul buku ini provokatif namun melukiskan kehidupan masa kini dan mendatang: bola dunia yang ditopang tangan-tangan manusia dari berbagai ras sebagaimana tampak dari warna-warna kulit dan sebuah tangan robot. Gambar tersebut memproyeksikan kehidupan di dunia yang juga akan dikerjakan oleh teknologi digital dengan robot-robot berkapasitas kecerdasan manusia (artificial intelligence). Suatu corak kehidupan dengan peran teknologi yang tak terbayangkan sebelumnya, mulai dari revolusi data dan informasi, partispasi rakyat dalam kehidupan sosial politik domestik maupun global, berkurangnya sebagian kekuasaan negara dan semakin menguatnya kekuasaan rakyat melalui penguasaan media sosial dan gerakan sosial virtual hingga revolusi kesehatan yang meletakkan tes kesehatan di tangan pasien, hubungan dokter dan pasien yang semakin dekat serta pengobatan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien melalui pembacaan genom (DNA). “Ke depan ponsel Anda jadi barang lama, tak lama lagi

Anda akan diuntungkan oleh tambahan fitur yang dirancang untuk k memantau kesehatan Anda seperti robot mikroskopis dalam sistem peredaran darah Anda, mendeteksi awal serangan jantung dan mengenali kanker stadium awal. (hlm. 15) Memang, proyeksi inilah yang dipaparkan oleh buku setebal 343 halaman ini, yakni dunia yang tengah mengalami revolusi terbesar sepanjang sejarahnya oleh penemuan internet. “Internetlah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki”, kata penulisnya. Internet merupakan ruang nirpenguasa terbesar di dunia yang mengubah pemahaman kita akan setiap aspek kehidupan, mulai dari rincian remeh-temeh seharihari hingga pertanyaan yang lebih mendasar tentang jati diri, relasi, dan bahkan keamanan kita sendiri. Tak pernah dalam sejarah dunia tercatat begitu banyak orang, dari begitu banyak tempat memegang kekuasaan di ujung jari. (hl. XI-XII). Dengan penemuan internet, mayoritas warga dunia akan hidup, bekerja dan bernegara di dua dunia pada waktu yang sama: dunia maya dan dunia nyata. Seluruh

paparan dalam buku ini melukiskan baik aspek keuntungan, peluang, tantangan serta solusi berbagai kejahatan virtual yang harus dihadapi atau ditangani oleh baik individu, maupun negara, militer, organisasi masyarakat sipil domestik maupun internasional. Tujuh bidang kehidupan yang dikupas dan menjadi topik besar mulai dari ranah (a) pribadi dan identitas; (b) negara dan kewarganegaraan; (c) bisnis dan jurnalisme, (d) ancamanancaman berupa (1) terorisme, (2) konflik sosial bersenjata, (3) perang), (4) bencana alam, dan bagaimana negara, lembaga masyarakat sipil dan organisasi donor internasional melakukan rekonstruksi dan intervensi strategis. Melihat rentang topik yang luas, di sana sini berkelindan satu sama lain, saya memusatkan perhatian pada aspek individu, negara, jurnalisme dan terorisme, konflik dan perang serta rekonstruksi bencana. Konektivitas Global Itu Kekuasaan dan Peluang Besar Konektivitas global yang berada di ujung jari milyaran orang mendorong kepedulian sosial, ekologis dan

resensi

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016

kepekaan sebagai warga dunia. Negara, pemerintah, politikus dan pengusaha kini di bawah pantauan warga dunia maya yang menuntut tata-kelola pemerintahan yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Konektivitas pada dirinya merupakan power yang selama ini digenggam oleh pemerintah, militer dan pemilik modal. Dengan konektivitas, komunitas internet dengan lincah membentuk gerakan sosial virtual untuk menjadi kekuatan moral yang menekan penguasa untuk menegakkan keadilan atau menghukum koruptor seberatberatnya. Koruptor yang dihukum ringan oleh pengadilan negara akan dihukum secara online melalui media dengan mempublikasikan mereka secara terus-menerus sehingga mitra atau investor merasa tak nyaman bekerja sama dengan mereka. Warga dunia maya selalu ingin tahu kejadian-kejadian penting di berbagai belahan dunia dan berpartisipasi untuk dunia yang lebih adil. Namun, seiring kehidupan aktif di dunia maya, muncul tantangan akan privasi, keamanan dan perlindungan pengguna. Teknologi yang dipakai saat ini didesain untuk menyebar, mengumpulkan foto, komentar, dan teman kita dalam basis data raksasa yang dapat ditelusuri dan, tanpa peraturan dari luar, bebas diakses atasan, staf seleksi mahasiswa baru dan tukang gosip. Kita adalah apa yang kita tweet ke internet akan menjadi bagian tempat penyimpanan informasi permanen. “Kita akan diminta bertanggung jawab atas interaksi virtual kita pada masa lalu ataupun pada masa kini, yang memperbesar risiko bagi semua

orang karena jejaring online biasanya lebih besar dan menyebar dibanding jejaring fisik kita. Kita akan menjadi generasi pertama manusia yang punya catatan tak terhapuskan.” (hlm. 50). Karena itu setiap warga dunia maya, dituntut untuk mengelola identitas dan kehidupan mereka dengan baik agar tidak menjadi penghalang peluang-peluang dalam hidup. Identitas dan data yang disebar di dunia maya dapat dimanipulasi orang atau pihak tertentu untuk kejahatan. Masa lalu yang terdokumentasi akan memengaruhi banyak orang di tempat kerja dan dalam hidup keseharian. Bisnis asuransi identitas online tumbuh dituntut kebutuhan proteksi identitas para pelanggan agar tidak dicuri, diselewengkan, atau dijadikan bahan fitnah yang membunuh kehidupannya. Bagi pemerintah dan pebisnis, data warga dunia maya sangat berharga karena menjadi referensi untuk analisa demografi spesifik dalam masyarakat, juga gerakan, aspirasi, hobi, juga aspirasi sebagai bahan analisa prediksi. Namun negara wajib melindungi warganya yang beraktivitas di dunia. Undang-undang tak akan mengubah keabadian informasi digital, tapi peraturan yang bijak dapat melakukan pencegahan yang menjamin sedikit privasi bagi warga yang membutuhkan. Kekuatan revolusi informasi baru: untuk setiap akibat negatif akan ada tanggapan balik yang berpotensi mengubahnya menjadi positif. (hlm. 49-55). Multilateralisme virtual tumbuh,

47

bukan hanya blok negara-negara di dunia nyata. Landasan kerjasama adalah kekompakan ideologis, politis melibatkan negara dan perusahaan yang bekerja dalam aliansi resmi. Berbeda dengan dunia nyata, aliansi tak lagi bergantung sepenuhnya pada lokasi geografis; semua negara berjarak sama pada ranah maya. Bagi kelompok-kelompok gerakan separatis damai yang tertindas di sebuah negara, internet menyediakan peluang membangun kewarganegaraan virtual yang cakup sesama yang hidup dalam diaspora. Dengan konektivitas mereka dapat menggalang persatuan dan menegakkan kedaulatan negara mereka di dunia maya. Mereka dapat membentuk pemerintahan virtual dan pembagian tugas-tugas masingmasing selain untuk konsolidasi juga untuk mengukuhkan eksistensi mereka. Jurnalisme: Yang Bermutu Bertahan Banyak media besar utama domestik maupun mancanegara yang gugur di era baru digital. Seiring menjamurnya media sosial, dengan jumlah pengguna Facebook saja mencapai 1,55 milyar (2015) dan akan terus bertambah, maka media besar cetak dan audiovisual dituntut mereposisi dirinya. Kecepatan membarui konten, akurasi dan kredibilitas merupakan kunci selain interaksi dan kebenaran berita. Media daring abal-abal dengan tujuan kampanye hitam, fitnah, atau berita bohong (hoax) akan hadir berbarengan dengan situs berita daring yang kredibel. Namun informasi yang berlebihan mendorong masyarakat semakin kritis mengkonsumsi informasi.

48

resensi

Pesatnya pertumbuhan media daring memunculkan kategori-kategori wartawan. Dengan ponsel di tangan, jurnalisme warga tumbuh memburu berita-berita, narasumber dan foto-foto penting. Jenis wartawan baru dalam rantai pasokan pun muncul. Wartawan lokal saat ini merupakan koresponden tak dikenal yang dibayar dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengakses sumber-sumber tertentu dan mendatangi tempat-tempat berbahaya, kini dapat memanfaatkan konektivitas global dan membangun hubungan dengan jurnalis-jurnalis lokal. Berhadapan pertumbuhan sangat pesat media daring, media besar mereposisikan diri sebagai perujuk, pemelihara, dan pemeriksa semacam saringan tepercaya yang memilah-milah semua data dan menyoroti mana yang layak dibaca, dipahami serta dipercayai. Kekuatan media sosial adalah berbagi info namun tak teratur, kecepatan tanggapan, bukan wawasan dan kedalaman. Meskipun sebagian jurnalis terhormat berpendapat bahwa jurnalisme warga hanya akan merusak bidang jurnalistik, namun media besar tak dapat mengabaikan suara-suara media sosial dan media daring untuk analisa yang lebih mendalam, akurat dan holistik. Ponsel Cerdas: Kunci Rekonstruksi Perang, konflik sosial bersenjata dan terorisme kini dan masa depan akan bergerak di ranah teknologi digital. Robot-robot berkapasitas kecerdasan manusia akan maju di medan pertempuran menggantikan pasukan manusia sehingga korban-korban manusia berkurang. Perang pasukan robot melunakkan kelompok-kelompok antiperang dan kekerasan karena yang menjadi sasaran adalah penangkapan robot. Pihak musuh yang berhasil merampas robot-robot lawan merupakan pemenang karena teknologi lawan yang ditanam dalam robot dikuasai pihak lawan sehigga pertahanan diri lumpuh. Selain robot, perang, konflik dan terorisme juga menyasar situs-situs rahasia untuk diretas dan dirampok sebagai sandera. Peretasan berarti penaklukan teknologi dan strategi-strategi rahasia dan pihak lawan dapat menjadikannya sebagai sandera atau tebusan. Perang yang meretas situs-situs yang dapat meledakkan dunia, misalnya tempat penyimpanan bom, pesawat tempur ledak, mengancam keamanan hidup penduduk planet. Sama seperti di dunia riil, negara-negara akan melahirkan aturan-peraturan terkait perang dan teknologi digital untuk mencegah penghancuran planet bumi. Artinya,

BERITA OIKOUMENE | MEI 2016 

perang siber dan robot tetap berakar pada manusia dan dunia nyata. Satu hal penting yang relevan bagi pembangunan dan rekonstruksi pascabencana, konflik sosial dan terorisme adalah peran strategis ponsel untuk mempercepat rekonstruksi dan pemulihan kehidupan yang porak-poranda. Upaya rekonstruksi yang berhasil pada masa depan akan sangat bergantung pada teknologi komunikasi dan jejaring komunikasi yang cepat. “Teknologi tak dapat mencegah bencana atau menghentikan perang saudara, tapi dapat membuat proses menyatukan keping-keping itu lagi tidak begitu menyakitkan (hl. 237). Dengan ponsel cerdas yang dibagikan kepada korban, pemerintah, lembagalembaga terkait dapat menyebarluaskan situasi bencana, menjamin rasa aman penduduk penyintas untuk terhubung, mengarahkan dan sekaligus membuka akses luas untuk berkomunikasi dengan saudara, sahabat, bahkan berdagang serta mengatur penyaluran bantuan. Meski stabilitas negara atau daerah bencana tak bisa langsung pulih dalam sekejap, para penyintas dapat terhubung ke luar secara luas, mengembangkan aktivitas ekonomi seraya memantau daerahnya. Selain itu teknologi juga mampu merekam hal-hal penting dan mengidentifikasi suara, wajah dan identitas lain dari orang hilang melalui Di sisi lain, ruang maya dapat dimanfaatkan sebagai basis penyimpanan data/informasi, pemerintahan virtual, organisasi virtual sebagai cadangan dan digitalkan dan disimpan dalam penyimpanan awan. Jika tsunami terjadi lagi semua kementerian dan lembaga-lembaga sosial tetap berfungsi secara sosial meski perlu dibangun secara fisik (hlm. 249). Teknologi informasi akan ada di mana-mana seperti listrik, dan upaya menghambat arus informasi oleh negara-negara otoritarian takkan berhasil untuk jangka panjang sebab, “informasi selalu menemukan jalannya seperti air.” Kendati pandangan yang futuristis, namun kasus-kasus yang diangkat dalam konteks pribadi, negara, jurnalisme, perang, terorisme, konflik sosial dan rekonstruksi dst sudah berlangsung kini. Untuk,konteks gereja-gereja di Indonesia, konektivitas merupakan juga kata kunci dalam perjalanannya menjadi gereja walau kesenjangan teknologi digital masing lebar di seluruh Nusantara. ∎ (Rainy MP Hutabarat)

Badan Pengurus Harian Gereja Bethel Indonesia (BPH-GBI) Periode 2014-2018

Mengucapkan: Selamat HUT ke 66 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Ketua Umum

: Pdt. Dr. Japarlin Marbun

Ketua Pembinaan Keluarga : Pdt. Dr. dr. Dwidjo Saputro, SpKJ Ketua Pembinaan Wilayah : Pdt. Melianus Kakiay, M.Th Ketua Litbang dan Networking : Pdt. Josia Abdi Saputera, M.Th Ketua Teologia dan Pendidikan : Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham : Pdt. dr. Josafat Mesach, M.Th Ketua Misi dan Pelmas Sekretaris Umum : Pdt. Paul Rudyanto Widjaja : Pdt. Himawan Leonardo Sekretaris I : Pdt. Naftali Untung, M.Th Sekretaris II Bendahara Umum Bendahara

: Pdt. Ir. Suyapto Tandyawasesa, M.Th : Pdt. Budyanto Totong

Mengucapkan:

Selamat HUT ke 66 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Oditha Rintana Hutabarat, MTh DIRJEN BIMAS KRISTEN KEMENTRIAN AGAMA RI