Document not found! Please try again

DEPRESI PASCA-STROKE : EPIDEMIOLOGI, REHABILITASI DAN PSIKOTERAPI

Download psikomotor, gangguan kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan gejala yang sering dijumpai pada vascular depression.(4) Seringkali dep...

0 downloads 446 Views 30KB Size
J Kedokter Trisakti

Oktober-Desember 2004, Vol. 23 No. 4

Depresi pasca-stroke : epidemiologi, rehabilitasi dan psikoterapi Jeanette R. Suwantara Bagian Klinis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

ABSTRAK Depresi adalah kelainan yang sering terjadi setelah suatu serangan stroke. Depresi dijumpai pada sekitar 10-27% penderita stroke dan menyebabkan gangguan motivasi dan fungsi-fungsi kognitif. Prevalensi depresi pasca-stroke bervariasi menurut kelompok etnis dan ras, tetapi pada umumnya tidak ada perbedaan prevalensi gangguan perasaan dasar (mood) yang menyolok. Tingginya prevalensi depresi pasca-stroke seringkali dikaitkan dengan lokasi lesi anatomis dari stroke. Beberapa temuan menunjukkan bahwa depresi pasca-stroke dapat menghambat proses penyembuhan fungsi aktivitas kehidupan sehari-hari. Berbagai penelitian klinik dilakukan untuk menguji metode pengobatan penderita depresi pasca-stroke. Hasil penelitian menunjukkan adanya penyembuhan stroke yang nyata dan disertai dengan perbaikan fungsi kognitif serta aktivitas kehidupan seharihari. Metode terapi tersebut meliputi pemberian antidepresan bersama dengan psikoterapi seperti cognitive behavioral therapy atau non-directive counselling. Kata kunci : Stroke, depresi, perilaku, rehabilitasi, psikoterapi

Post-stroke depression : epidemiology, rehabilitation and psychotherapy ABSTRACT Depression is a frequent and important problem of patients with stroke. Depression is present in 10-27% of survivors of stroke and has a deleterious effect not only on the motivation, but also on the cognitive functions of these patients. The high prevalence of post-stroke depression has been claimed to reflect specific stroke related pathogenesis in which lesion location plays an important role. Some investigators found that post-stroke depression has a negative effect on recovery of functions of daily life activities. In theory, the principle treatment for depression in the general population is also applicable to patients with post-stroke depression. Several clinical trials have examined treatment methods for depression and there have been reports that the progression of recovery following stroke can be altered by treating depression which has been shown to improve activities of daily life and cognitive impairment. The methods include using antidepressant drugs in combination with psychotherapy such as cognitive behavioral therapy or non-directive counselling. Keywords : Stroke, depression, behavior, rehabilitation, psychotherapy

150

J Kedokter Trisakti

PENDAHULUAN Depresi dapat mengenai siapa saja, tetapi orang-orang dengan penyakit yang serius seperti stroke memiliki risiko lebih tinggi. Hubungan antara gejala-gejala depresi dan penyakit serebrovaskuler telah banyak dilaporkan. (1-3) Beberapa peneliti bahkan mengusulkan suatu istilah vascular depression yang khusus menggambarkan kelainan klinis tersebut. Apati, perubahan-perubahan psikomotor, gangguan kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan gejala yang sering dijumpai pada vascular depression.(4) Seringkali depresi pascastroke kurang mendapat perhatian sehingga mudah terlewatkan dan tidak terdiagnosis. Penderita stroke, anggota keluarga dan teman-temannya, bahkan kadang-kadang dokter yang merawatnya dapat secara salah menafsirkan gejala depresi yang dianggapnya sebagai suatu reaksi yang tak terhindarkan yang timbul karena penderita mendapat serangan stroke. Padahal, diagnosis dan pengobatan depresi yang baik dapat memberi keuntungan yang nyata pada seseorang yang sedang dalam penyembuhan. Pengobatan terhadap depresi dapat pula mempersingkat proses rehabilitasi dan mempercepat penyembuhan kelainan-kelainan yang ditimbulkan akibat stroke. Secara umum, stroke dapat terjadi pada semua kelompok umur, bahkan pada janin yang masih di dalam kandungan sekalipun.(2) Tetapi tiga perempat dari peristiwa stroke terjadi pada orang-orang yang sudah berusia 65 tahun atau lebih, sehingga stroke mengakibatkan timbulnya disabilitas pada orangorang tua. Dari sekitar 600.000 orang Amerika lakilaki dan perempuan yang menderita stroke untuk pertama kalinya atau pada rekurensi, 10-27% mengalami depresi berat.(3,5) Umumnya gejala depresi ini timbul dalam waktu 1-2 bulan setelah terjadinya stroke.(5) Di antara faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian dan beratnya depresi pasca-stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra-stroke. Penderita-penderita stroke yang mengalami depresi berat acapkali kurang responsif terhadap upaya rehabilitasi, bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan perilaku atau kepribadian. Tetapi depresi adalah

Vol. 23 No. 4

suatu kelainan yang harus dilihat secara terpisah dari stroke, dan harus ditangani sedini mungkin bahkan ketika penderita sedang menjalani proses rehabilitasi. Meskipun gejala-gejala depresi tumpang tindih dengan simtom pasca-stroke, seorang profesional kesehatan yang terlatih harus mampu mengenali gejala depresi tersebut, mendiagnosis dan kemudian merancang pengobatannya. EPIDEMIOLOGI STROKE

DEPRESI

PASCA-

Selama 10 tahun terakhir sejumlah besar penelitian mengenai prevalensi depresi pasca-stroke telah dilakukan.(6-9) Dibandingkan dengan prevalensi depresi yang terdapat pada populasi umumnya, prevalensi depresi pasca-stroke secara bermakna jauh lebih tinggi. Prevalensi depresi pasca-stroke berkisar antara 11-68%, tergantung dari seleksi penderita, kriteria diagnostik yang digunakan dan lamanya waktu pemeriksaan ulang berikutnya (follow-up) setelah terjadinya serangan stroke.(8) Prevalensi ini semakin meningkat dengan meningkatnya umur penderita. Ini menunjukkan adanya korelasi positif antara umur dan depresi.(6) Prevalensi yang paling tinggi terdapat sekitar 3-6 bulan pasca-stroke dan tetap tinggi sampai 1-3 tahun kemudian,(10) tetapi umumnya prevalensi akan menurun sampai setengahnya setelah 1 tahun terjadinya stroke. Robinson(8) mengatakan bahwa penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan 6 bulan kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan gejala depresi. Sementara setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama kurang lebih 1 tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam beberapa hari setelah stroke, acapkali berhubungan dengan remisi spontan.(10) Selain depresi, ansietas juga sering terjadi mengikuti serangan stroke dan prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi.(10) 151

Suwantara

Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko untuk terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan lebih panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yang mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.(9) Menurut Ghoge dkk(11) angka prevalensi depresi pasca-stroke adalah 10-25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-laki. Ghoge(11) juga mengatakan bahwa pada perempuan, adanya riwayat kelainan psikiatris dan kelainan kognitif sebelum terjadinya stroke menyebabkan gejala depresi yang timbul menjadi lebih berat, sedangkan pada laki-laki depresi pasca-stroke berhubungan dengan gangguan yang lebih besar dari aktivitas hidup sehari-hari serta fungsi sosial. GANGGUAN FAAL DAN PSIKOSOSIAL PASCA-STROKE Stroke merupakan salah satu masalah besar di bidang kesehatan masyarakat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stroke sebagai terjadinya gejala klinis yang cepat berupa gangguan fungsi serebral dengan simtom yang berlangsung selama 24 jam atau lebih tanpa adanya kausa yang jelas selain yang berasal dari sistem vaskuler.(12) Dari seluruh kondisi kronis, stroke dianggap sebagai kelainan yang paling menyebabkan ketidak-berdayaan (disabling). Dalam waktu 50 tahun terakhir, insidens dan mortalitas stroke menurun secara pasti berkat penanganan yang lebih baik terhadap keadaan hipertensi dan stroke itu sendiri. Namun demikian, di Amerika Serikat, diperkirakan setiap tahunnya masih terdapat sekitar 500.000 kasus stroke baru maupun rekuren dan pada saat ini terdapat kirakira 4 juta penderita pasca-stroke yang mengalami gejala sisa berupa gejala-gejala neuropsikologis.(3) Hasil-hasil penelitian terakhir menyimpulkan bahwa komplikasi neuropsikologis (seperti gangguan emosional, perilaku, dan kognitif) tidak saja dapat memberi dampak negatif pada fungsi sosial penderita stroke dan kualitas hidup mereka secara keseluruhan, tetapi juga mempunyai pengaruh 152

Depresi pasca stroke

terhadap penyembuhan fungsi motorik mereka.(13,14) Selain itu, beratnya depresi pasca-stroke sangat erat hubungannya dengan tingkat gangguan aktivitas hidup sehari-hari. Gejala-gejala stroke dapat berupa rasa baal dan kelemahan mendadak di satu sisi tubuh, muka (wajah) serta lengan dan tungkai, kesulitan bicara secara tiba-tiba, gangguan penglihatan satu atau dua mata, rasa pusing dan kehilangan keseimbangan, nyeri kepala berat yang tidak jelas sebabnya.(7,10) Menurut klasifikasi yang dikemukakan oleh The American Heart Association, (3) daerah-daerah (domain) neurologis yang mengalami gangguan akibat stroke dapat dikelompokkan dalam 5 tipe yang meliputi: (i) Motor: gangguan motorik adalah yang paling prevalen dari semua kelainan yang disebabkan oleh stroke dan pada umumnya meliputi muka, lengan, dan kaki, baik mono maupun dalam bentuk gabungan. (ii) Sensori: defisit sensorik berkisar antara kehilangan sensasi primer sampai kehilangan persepsi yang sifatnya lebih kompleks. Penderita mungkin menyatakannya sebagai perasaan semutan, rasa baal, atau gangguan sensitivitas. Kehilangan sensorik yang lebih kompleks meliputi gangguan seperti astereognosis dan agrafia. (iii) Penglihatan: stroke dapat menyebabkan hilangnya visus secara monokuler, hemianopsia homonim, atau kebutaan kortikal. (iv) Bicara dan bahasa: disfasia mungkin tampak sebagai gangguan komprehensi, lupa akan nama-nama, adanya repetisi, dan gangguan membaca dan menulis.(3,7) Sebanyak kira-kira 30% penderita stroke menunjukkan gangguan bicara.(3) Kelainan bicara dan bahasa dapat mengganggu kemampuan penderita untuk kembali ke kehidupan mandiri seperti sebelum sakit. (v) Kognitif: kelainan ini berupa adanya gangguan memori, atensi, orientasi, dan hilangnya kemampuan menghitung (kalkulasi). Sekitar 15-25% penderita stroke menunjukkan gangguaun kognitif yang nyata setelah mengalami serangan akut iskemik.(3)

J Kedokter Trisakti

(vi) Afek: gangguan afeksi berupa depresi adalah yang paling sering menyertai stroke. Depresi cenderung terjadi beberapa bulan setelah serangan dan jarang pada saat akut. Gejala-gejala gangguan motorik yang terjadi akibat stroke antara lain meliputi gangguan menelan (disfagia), gangguan kekuatan dan tonus otot, gangguan refleks, gangguan keseimbangan (ataksia) dan apraksia. Gangguan sensorik yang meliputi rasa raba, sakit, suhu atau posisi, dapat disertai dengan terjadinya inkontinensia urin sehingga memaksa penderita untuk membatasi mobilitasnya sebatas tidak jauh dari rumah. Selain itu, pada gangguan sensorik ini terdapat pula gejala seperti timbulnya spastisitas, kehilangan kemampuan untuk mengenal bagian dari tubuhnya sendiri dan sindrom talamik di mana adanya signal rasa sakit palsu mengakibatkan persepsi sakit di bagian tubuh yang mengalami defek sensorik.(7) Gangguan bicara seperti disfasia atau afasia dialami sekitar 25% penderita stroke. Beberapa penderita bahkan kehilangan sama sekali kemampuannya untuk bicara. Sedangkan penderita lainnya mungkin hanya terganggu dalam kemampuannya menulis atau memahami bahasa lisan atau tulisan. Afasia Broca menggambarkan gangguan berupa hilangnya kemampuan atau kesulitan untuk mengemukakan pikiran dalam bentuk kata-kata sehingga seringkali mengakibatkan terganggunya komunikasi. Sebaliknya, afasia reseptif (daerah Wernicke) menggambarkan suatu kesulitan untuk mengerti kata-kata dan berakibat suatu komunikasi yang tidak mengandung makna meskipun secara gramatik benar. Afasia anomik atau amnestik merupakan keadaan di mana terjadi gangguan lupa akan sekelompok kata-kata yang saling berkaitan, dan afasia global menyatakan hilangnya hampir seluruh kemampuan linguistik.(7) Gangguan kognitif pasca-stroke dapat mengenai pikiran (thinking) dan ingatan (memory) yang mengakibatkan lebar perhatian (attention span) menyempit. Pada gangguan ini juga dijumpai adanya defek di dalam ingatan jangka pendek dan hilangnya kemampuan untuk mengikuti instruksi, bahkan pada sebagian penderita juga terdapat gangguan anosognosia.

Vol. 23 No. 4

Gangguan afeksi yang paling sering terlewatkan adalah depresi. Depresi adalah gangguan atau kelainan yang mengenai pikiran, perasaan dan kemampuan untuk berfungsi di dalam kehidupan sehari-hari. Depresi muncul sebagai gejala-gejala berupa rasa sedih yang persisten, suasana kejiwaan yang terasa kosong, hilangnya perhatian dan minat, perasaan putus asa dan pesimis, rasa bersalah dan tak berguna, rasa lelah yang berkelebihan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, serta hilangnya nafsu makan.(7) Depresi pasca-stroke dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b) distimik, dan (c) berat. Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong penderita stroke untuk bunuh diri.(15) Perasaan takut jatuh, terjadinya serangan stroke ulangan, dan bahkan perasaan tidak nyaman oleh pandangan orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan penderita stroke membatasi diri untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita ke dalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya dirinya. Maka terjadilah suatu lingkaran debilitatis yang tidak ada kaitannya dengan ketidakmampuan fisiknya. (16) Ketidakmampuan fisik (physical disability) bersama-sama dengan gejala depresi dapat menyebabkan aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun pertama, namun dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari ketidak-mampuan fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki penderita sebelum sakit dapat menyebabkan gangguan persepsi akan arti diri (personal worth) yang bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya. Tampaknya, persepsi penderita yang tidak proporsional mengenai ketidakmampuan fisiknya itu merupakan suatu faktor kontribusi di dalam meyakini secara berlebihan seluruh cacat yang dideritanya. Rigler (17) memperingatkan untuk mewaspadai gangguan afek yang mungkin terjadi pada periode akut dari stroke dan perlu membedakannya dari depresi pasca-stroke yang baru akan timbul beberapa minggu kemudian setelah stroke. Gangguan afek ini sering dikenal 153

Suwantara

Depresi pasca stroke

dengan beberapa istilah seperti emosionalisme patologis, gejala menangis-tertawa patologis, atau labilitas emosional. KORELASI LESI ANATOMIS DEPRESI PASCA-STROKE

DAN

Di antara masalah-masalah yang banyak diperdebatkan oleh para ahli dalam kaitan dengan stroke adalah: apakah lokasi hemisfer yang mengalami kerusakan akibat stroke mempengaruhi terjadinya depresi. Dalam dua dekade terakhir ini, para peneliti mencoba menemukan korelasi antara lokasi lesi anatomis dan depresi pasca-stroke. Beberapa peneliti menyokong teori hubungan lateralisasi dan depresi pasca-stroke, tetapi peneliti lain menyatakan bahwa interaksi antara keduanya tidak signifikan. (6,10,18) Depresi pasca-stroke mempunya etiologi yang sifatnya multifaktorial dengan komponen reaktif dan organik.(6) Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau dapat terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidak-berdayaan yang disebabkan oleh stroke. Pengamatan klinis oleh beberapa peneliti (6,7,18) menunjukkan bahwa perilaku emosional dan reaksi katastrofik lebih sering dijumpai pada penderita-penderita yang mengalami lesi di daerah hemisfer kiri; sedangkan pada penderita dengan kerusakan hemisfer kanan terdapat pola reaksi indiferen. Chemerinski dan Robinson(14) melaporkan penderita dengan lesi hemisfer kiri 64% menunjukkan gangguan depresi ringan sampai berat sedangkan kelainan ini hanya dijumpai pada 14% penderita dengan lesi hemisfer kanan. Mereka(14) juga menemukan bahwa atrofi subkortikal berkaitan dengan depresi pasca-stroke. Penderita-penderita stroke dengan depresi dan ansietas lebih sering menunjukkan lesi kortikal (sebelah kiri) dibandingkan dengan kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja. Pada kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja ini lebih banyak ditemukan kerusakan subkortikal, sedangkan penderita stroke dengan ansietas sering berkaitan dengan lesi hemisfer kanan. Sebaliknya Berg dkk(6) menyatakan bahwa penderita dengan lesi hemisfer kiri yang memperlihatkan gejala depresi jumlahnya tidak secara bermakna lebih besar 154

dibandingkan dengan penderita lainnya. Depresi pasca-stroke tidak dipengaruhi oleh lokasi dari lesi. Oleh karena itu, Berg dkk(6) menganjurkan agar supaya berhati-hati di dalam melihat hubungan tersebut. REHABILITASI DAN PSIKOTERAPI DEPRESI PASCA-STROKE Psikoterapi dan rehabilitasi adalah upaya penting untuk membantu penderita mengatasi keadaan sakitnya. Penderita stroke acapkali memerlukan rehabilitasi yang sifatnya kompleks karena adanya berbagai gejala ikutan seperti misalnya depresi dan ansietas. Depresi sendiri merupakan suatu faktor penyulit (complicating) terhadap proses rehabilitasi, dan penderita depresi umumnya menunjukkan reaksi penyembuhan yang buruk dari kelainan yang dialami akibat stroke.(19) Pada dasarnya, kemajuan dan kesembuhan penderita sifatnya unik dan individual karena sangat tergantung dari kemauan dan semangat masingmasing individu yang sakit. Rehabilitasi stroke secara tipikal meliputi beberapa hal yaitu pencegahan rekurensi stroke, penanganan penyakit ko-morbid, pelatihan kemandirian individu secara maksimal, dan upaya peningkatan kualitas hidup. Tujuan rehabilitasi adalah agar supaya penderita mampu untuk belajar dan menyerap (retain) cara-cara baru di dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Rehabilitasi di rumah (home-based rehabilitation) dianggap lebih murah dan sangat dianjurkan untuk penderitapenderita dengan gangguan disabilitas ringan. Lagipula, perawatan jenis ini dianggap lebih memberikan kemajuan dan meningkatkan kepuasan penderita. Pada stroke yang sedang (moderate) dan berat, rehabilitasi yang dilakukan pada unit perawatan rawat inap lebih dianjurkan, terlebih bilamana perlu suatu rehabilitasi khusus (20). Sekitar 50% kesembuhan fungsional akan terjadi di dalam waktu satu bulan pertama pasca-stroke, dalam 3 bulan berikutnya penderita-penderita akan menunjukkan 75% kesembuhan fungsional dan 100% kesembuhan fungsional akan tercapai pada akhir tahun pertama. Kemajuan yang terjadi setelah waktu 6 bulan lebih banyak disebabkan oleh karena

J Kedokter Trisakti

pembelajaran, latihan dan kembalinya kepercayaan diri.(21) Meskipun upaya rehabilitasi banyak difokuskan ke arah kesembuhan fungsi dasar motorik untuk mengembalikan aktivitas hidup sehari-hari, hasil penelitian menunjukkan akan adanya suatu kebutuhan yang kritis terhadap penanganan aspek psikososial dari kualitas hidup pasca-stroke. Karena kualitas hidup adalah sesuatu yang sifatnya subyektif dan tidak dapat didefinisikan secara empiris, maka elemen yang merupakan kepuasan yang menyangkut masalah kualitas hidup bagi satu penderita dan penderita lainnya sangat bervariasi. Kebanyakan elemen-elemen kualitas hidup tersebut oleh penderita diukur menurut situasi sebelum terjadi stroke dan bukan oleh pulihnya kemampuan fisik setelah terjadinya stroke. Di antara masalah-masalah kualitas hidup yang paling banyak muncul adalah kemampuan untuk kembali bekerja seperti sebelum terjadinya serangan stroke. Lebih dari 70% penderita stroke adalah mereka yang termasuk dalam kelompok usia di atas 65 tahun yang pada umumnya sudah tidak lagi aktif bekerja, dan hanya 4% yang berusia 45 tahun ke bawah yang merupakan kelompok usia yang masih aktif bekerja. (21) Meskipun jumlah penderita dalam kelompok usia ini tidak besar, namun masalah “dapat kembali bekerja” adalah masalah yang sangat penting dan dapat menjadi sumber ansietas pada penderita tersebut. Berbagai penelitian(7-9,17,22) menguraikan tentang efek depresi pasca-stroke terhadap kesembuhan penderita terutama yang menyangkut aktivitas hidup sehari-hari dan kualitas hidupnya. Ternyata depresi merupakan penyulit bagi penderita untuk mengatasi ketidak-berdayaan fisiknya. Depresi pasca-stroke menyebabkan dampak negatif terhadap pulihnya aktivitas sehari-hari penderita stroke, sebaliknya penanganan yang efektif terhadap gejala depresi menunjukkan perbaikan yang nyata pada aktivitas hidup penderita.(8) Pemberian antidepresan sangat membantu dalam memperbaiki perasaan dasar (mood) dan fungsi-fungsi kognitif penderita sehingga dapat memperbaiki performance aktivitas seharihari.(8,9,22) Secara teoritis, terapi dasar yang ada dan berlaku untuk penderita depresi pada umumnya juga berlaku untuk penderita depresi pasca-stroke.

Vol. 23 No. 4

Cognitive behavioral therapy merupakan terapi yang efektif untuk penderita-penderita depresi pasca-stroke. Menurut Lincoln dan Flannaghan,(23) cognitive behavioral therapy dapat mengurangi gejala depresi pada beberapa penderita stroke dan sangat bermanfaat untuk digunakan pada kelompok kasus-kasus tersebut. Penelitian eksperimental secara acak menggunakan kontrol (24) membandingkan dua metode psikoterapi yaitu nondirective counselling dan cognitive-behavioral therapy pada penderita depresi. Hasil penelitian menunjukkan kedua metode sama efektifnya meskipun pada suatu tatanan khusus (special settings) cognitive-behavioral therapy terbukti memberikan hasil yang lebih efektif dan lebih cepat. KESIMPULAN Depresi pasca-stroke merupakan kelainan neuropsikologis yang paling sering dijumpai setelah suatu serangan stroke. Beratnya depresi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak dan depresi memberi dampak negatif terhadap penyembuhan stroke. Terpisah dari pengobatan stroke sendiri, upaya-upaya untuk mengatasi gejala depresi dilakukan dengan pemberian obat-obat antidepresan dan psikoterapi. Metode non-directive counselling atau cognitive-behavioral therapy mempunyai efek yang besar di dalam memperbaiki kualitas hidup dari penderita depresi pasca-stroke. Daftar Pustaka 1.

2.

3.

4.

Steffens DC, Krishnan RR, Crump C, Burke GL. Cerebrovascular disease and evolution of depressive symptoms in the cardiovascular health study. Stroke 2002; 33: 1838-44. Bogousslavsky J, William Feinberg Lecture 2002: emotion, mood, and behavior after stroke. Stroke 2003; 34: 1046-50. Kelly-Hayes M, Robertson JT, Broderick JP, Duncan PW, Hershey LA, Roth EJ, et al. The American Heart Association stroke outcome classification. Stroke 1998; 29: 1274-80. Alexopoulos GS, Meyers BS, Young RC, Campbell S, Sibersweig D, Charlson M. “Vascular depression” hypothesis. Arch Gen Psychiatry 1997; 54: 915-22.

155

Suwantara

5.

6.

7.

8.

9. 10.

11.

12.

13. 14.

15.

156

Department of Health and Human Services, Agency for Health Care Policy and Research. Depression guideline panel, clinical practice guideline, No.5. AHCPR Pub No. 93-0551, Rockville, MD; 1993. Berg A, Polamaki H, Lehtihalmes M, Lonngvist J, Kaste M. Post-stroke depression in acute phase after stroke. Cerebrovasc Dis 2001; 12: 14-20. Pound P, Gompertz P, Ebrahim S. A patientcentered study of the consequence of stroke. Clin Rehabil 1998; 12: 338-47. Robinson RG. Post-stroke depression: prevalence, diagnosis, treatment, and disease progression. Biol Psychiatry 2003; 54: 376-87. Gupta A, Pansari K, Shetty H. Post-stroke depression. Int J Clin Pract 2002; 56: 531-7. Whyte EM, Mulsant BH. Post-stroke depression: epidemiology, pathophysiology, and biological treatment. Biol Psychiatry 2002; 52: 253-64. Ghoge H, Sharma S, Sonawalla S, Parikh R. Cerebrovascular diseases and depression. Curr Psychiatry Rep 2003; 5: 231-8. World Health Organization. Recommendation on stroke prevention, diagnosis, and therapy; Report of the WHO Task Force on Stroke and other cerebrovascular disorders. Stroke 1989; 20: 140731. King RB. Quality of life after stroke. 1996; 27: 1467-72. Chemerinski E, Robinson RG. The neuropsychiatry of stroke. Psychosomatics 2000; 41: 5-14. Schulz R, Beach S, Ives D, Matire L, Ariyo A, Kop W. Association between depression and

Depresi pasca stroke

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

mortality in older adults. Arch Intern Med 2000; 160: 1761-8. Ellis-Hill CS, Payne S, Ward C. Self-body split: issues of identity in physical recovery following a stroke. Disabil Rehabil 2000; 22: 725-33. Rigler SK. Management of post-stroke depression in older people. Clin Geriatr Med 1999; 15: 76583. Bruce M. Depression and disability in late life: direction for future research. Am J Geriatr Psychitry 2001; 9: 102-12. Mast BT, MacNeil SE, Lichtenberg PA. Poststroke and clinically-defined vascular depression in geriatric rehabilitation patients. Am J Geriatr Psychiatry 2004; 12: 84-92. Anderson C, Mhurchu CN, Rubenach S, Clark M, Spencer C, Winsor A. Home or hospital for stroke rehabilitation? Stroke 2000; 31: 1032-43. Mayo NE, Wood-Dauphinee S, Ahmed S. Gordon C, Higgins J, McEwen S, et al. Disablement following stroke. Disabil Rehabil 1999; 21: 25868. Turner-Stokes L, Hassan N. Depression after stroke: a review of the evidence. Clin Rehabil 2002; 16: 231-47. Lincoln NB, Flannaghan T. Cognitive Behavioral psychotherapy for depression following stroke: a randomized controlled trial. Stroke 2003; 34: 1115. Ward E, King M, Lloyd M, Bower P, Sibbald B, Farelly S, et al. Randomised controlled trial of non-directive counselling, cognitive-behavior therapy, and usual general practitioner care for patients with depression. I: clinical effectiveness. BMJ 2000; 321: 1383-8.