DESKRIPSI KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Download DESKRIPSI KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN. KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH INKLUSI. SKRIPSI. Diajukan Kepada Program Studi Psikologi Fakultas ...

0 downloads 415 Views 102KB Size
DESKRIPSI KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH INKLUSI

SKRIPSI Diajukan Kepada Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari SyaratSyarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh: Rr. RAHAJENG BERLIANINGTYAS BETHAYANA 03320054

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007

2

DESKRIPSI KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH INKLUSI Rr. Rahajeng Berlianingtyas Bethayana Rr. Indahria Sulistyorini INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menggali karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa aktif sekolah inklusi, berusia antara enam hingga 12 tahun, dan mengalami gangguan perilaku yang mengacu pada keterangan dari guru dan orang tua siswa. Metode yang digunakan dalam pengambilan data berupa wawancara semi terstruktur dan observasi, dengan metode pencatatan data berupa critical insident records dan checklist. Responden wawancara berjumlah sepuluh orang, yang terdiri dari tiga orang subjek, orang tua subjek, guru khusus, dan teman subjek. Observasi terhadap subjek dilakukan di sekolah selama sepuluh (10) hari, meliputi semua kegiatan subjek di sekolah. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap subjek, orang tua dan guru khusus, dan observasi langsung di sekolah ditemukan data yang berkaitan dengan karakteristik anak berkebutuhan khusus, seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder (ODD), Conduct Disorder (CD), dan gangguan emosi, berikut upaya kerja sama antara sekolah dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini. Kata kunci : anak berkebutuhan khusus (ABK), sekolah inklusi, pengasuhan

3

Pengantar Latar Belakang Masalah Dunia perkembangan anak merupakan dunia yang menarik untuk diteliti. Bahasan perkembangan anak diminati hampir oleh banyak kalangan, baik dari kalangan disiplin ilmu psikologi, pendidikan, kedokteran, ataupun sosial. Masalah perkembangan anak diminati oleh banyak kalangan karena dari waktu ke waktu, karena akan selalu ada bahasan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Banyak tokoh psikologi lahir dari penelitiannya yang menyoroti dunia perkembangan anak. Bahasan mengenai perkembangan anak kini semakin erat dengan masalah pendidikan. Pendidikan adalah hal terpenting dalam sejarah kehidupan seseorang karena dengan pendidikan, seseorang menjadi tahu apa yang sebelumnya tidak diketahui, serta mengerti mana yang baik dan yang buruk. Ilmu pendidikan juga telah berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan salah satu hasil perkembangan ilmu pengetahuan, yang membahas pendidikan anak usia 0 hingga 8 tahun (Suyanto, 2005). PAUD kini mulai mendapat perhatian khusus oleh sebagian besar masyarakat, karena pada masa-masa usia itulah kapasitas manusia akan lebih mudah dikembangkan, baik dari segi motorik, kognitif, maupun sosial. Jenis pendidikan anak usia dini-pun kini semakin beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat akan pentingnya perkembangan anak saat ini. Demi kemudahkan masyarakat akan pengelompokan anak usia dini, maka akan semakin jelas jika dalam konteks ini tahapan pembelajaran anak usia 6 tahun keatas dapat disebut sebagai primary school. Kini telah berkembang

4

jenis primary school yang lebih variatif dan modern, diantaranya berdasarkan konsep full day-school, sekolah Islam terpadu, bahkan integrated school. Bahasan mengenai integrated school sebenarnya bukanlah hal baru. Diawali dengan munculnya data mengenai jumlah penyandang autis di Indonesia oleh biro sensus Amerika dinyatakan telah mencapai 475.000 orang (Kompas, 2005). Suyanto (2005) dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini menyatakan bahwa di Indonesia memang tidak dihadapkan pada kondisi yang sangat ekstrem seperti di Amerika, dimana undang-undang pendidikan menyatakan bahwa semua warga negara AS berhak atas pelayanan pendidikan yang sama. Maka pada akhirnya sekolah di Amerika harus menerima anak berkebutuhan khusus (ABK), baik fisik maupun mental untuk dapat sekolah sama seperti anak pada umumnya. Fasilitas yang disediakan, baik sarana, prasarana, termasuk tenaga pengajar juga harus dapat memenuhi kebutuhan anak didik, baik yang berkebutuhan khusus maupun anak pada umumnya. Program pendidikan ini kemudian disebut mainstreaming atau lebih dikenal sebagai sekolah inklusi. Jumlah sekolah inklusi di Indonesia memang belum terlalu banyak. Khusus di Jogjakarta, keberadaan sekolah inklusi ini juga masih sangat terbatas. Perlu dipahami, keberadaan sekolah inklusi ini tidak hanya dikhususkan kepada anak autis. Lebih daripada itu, tujuan dari sekolah inklusi ini juga untuk memfasilitasi anak dengan berbagai macam gangguan, baik itu menyangkut gangguan fisik, sosial,

kesulitan

belajar,

anak

berbakat,

termasuk

bentuk

gangguan

perkembangan lain yang diasosiasikan dengan autis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Attention Deficit Disorder (ADD), Pervasive Development Disorder (PDD), dan sindrom Asperger, yang kemudian dikenal

5

secara kolektif sebagai spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD), juga dapat memperoleh fasilitas yang sama seperti anak pada umumnya di sekolah formal (Kompas, 2005). Salah satu sekolah inklusi di Jogja yang baru berdiri pada tahun 2005, menyatakan bahwa sejak awal berdiri sekolah ini memang berkonsep atas adanya perbedaan pada diri setiap anak. Sekolah ini meyakini bahwa setiap anak adalah unik, masing-masing memiliki kebutuhan, minat, tahap perkembangan, dan gaya belajar yang berbeda. Pada dasarnya, sekolah dengan konsep ini akan menerima anak-anak dengan kemampuan yang berbeda, baik anak pada umumnya maupun anak dengan kebutuhan khusus. Salah satu pengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) mengatakan, pada umumnya anak yang memiliki kebutuhan khusus ini terpaksa dikeluarkan dari sekolah awalnya, dan kemudian orang tuanya memilihkan jenis sekolah inklusi ini sebagai solusinya. Konsep sekolah seperti ini akan dapat memberi manfaat kepada setiap anak yang bersekolah di dalamnya. Bukan tidak mungkin sebuah program belajar diciptakan kecuali untuk masa depan pendidikan generasi muda yang lebih baik. Dengan jenis pendidikan inklusi ini, diharapkan banyak kalangan dapat memperoleh manfaatnya. Bagi tenaga pengajar, tentu saja hal ini merupakan sebuah tantangan besar, yakni dapat memacu kreativitas dalam menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif, nyaman, dan efektif (http://jaynagirl.cwd-cragin.com, 17 September 2006). Agar dapat tercapai manfaat yang maksimal bagi semua pihak, sekolah dapat menyampaikan deskripsi yang tepat mengenai karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) yang menjadi siswa didik. Untuk itu, pada tahap

6

asesmen awal sekolah dapat melakukan langkah screening yang tepat agar dapat memberikan hasil pemeriksaan yang sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus, sehingga mampu meminimalisir kesalahan judgement. Pada beberapa kasus, kekurang tepatan dalam pemberian judgement ini dapat terjadi, terkait dengan adanya tumpang tindih dugaan, karena antara satu gangguan dengan gangguan yang lain memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan penelitian ini akan mengungkap bagaimana karakteristik anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi? Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Pada awalnya, yakni pada masa Renaissance, anak yang tergolong “cacat” dianggap sebagai orang yang kemasukan roh-roh jahat (setan), dan bahkan diperlakukan dengan sangat buruk. Disia-siakan, dihina, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Banyak diantara mereka yang kemudian dikurung, diikat, bahkan juga dipasung. Kemudian pada abad ke-16, terjadi perubahan sikap yang lebih positif terhadap anak-anak yang dianggap “cacat” tersebut. Beberapa rumah sakit di Paris mulai memberikan treatmen khusus pada penderita gangguan emosional, setelah itu muncullah nama John Locke yang dikenal sebagai orang pertama yang membedakan penderita keterbelakangan mental dengan gangguan emosional. Hingga pada akhirnya, pada abad ke-18, seorang ahli berkebangsaan Perancis yakni Jean Marc Itard, yang mulai meneliti metode pendidikan bagi anak luar biasa (Mangunsong, 1998). Dengan penelitian Itard ini, mulailah pergeseran pengertian dari anak “cacat” menjadi anak “luar biasa”, atau yang dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian anak luar biasa,

7

yang pada akhirnya juga dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus, jenis-jenis, dan juga karakteristik dari beberapa jenis tersebut. Dalam buku Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa, terdapat beberapa definisi mengenai anak luar biasa atau yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Suran dan Rizzo (1979) mengartikan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan (kebutuhan) dan potensinya secara maksimal. Meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, dan juga gangguan emosional. Juga anak-anak yang berbakat dengan inteligensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak khusus karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional (Mangunsong, 1998). Gearheart (1981) mendefinisikan anak dengan kebutuhan khusus sebagai anak yang memerlukan persyaratan pendidikan yang berbeda dari rata-rata anak normal, dan untuk belajar secara efektif memerlukan program, pelayanan, fasilitas, dan materi khusus (Mangunsong, 1998). Sedangkan Mangunsong (1998) sendiri mengartikan anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal : ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal diatas; sejauh ia memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal (Mangunsong, 1998).

8

Sehingga secara ringkas, anak luar biasa (ABK) dapat diartikan sebagai anak yang memiliki ciri yang berbeda dari anak-anak kebanyakan, baik dari segi ciriciri mental, kemampuan fisik, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal diatas. Sekolah Inklusi Mainstreaming bisa diartikan sebagai persamaan oleh sebagian orang, juga dianggap memiliki perhatian utama pada keberadaan fisik anak yang memiliki hambatan di kelas-kelas reguler. Sedangkan inklusi dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi juga dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri, yang meliputi visi dan misi sekolah (Smith, 2006). Inklusi juga dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan program pembelajaran instruksi pendidikan atau tujuan sosial, yang didisain untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dengan keterbatasan di kelas pendidikan reguler pada beberapa bagian di hari-hari sekolahnya (Lloyd, Singh, Repp, 1991 dalam Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook, 2000). Selain itu, inklusi juga dapat diartikan sebagai memadukan siswa dengan keterbatasan dan anak-anak dengan kelebihan dan kemampuan yang lebih daripada anak-anak seusianya dalam kelas-kelas reguler. Dengan kata lain, inklusi anak-anak dengan kebutuhan khusus pada kelas reguler, berarti bahwa anak-anak dengan keterbatasan, dengan semua kategori, dapat diberi kesempatan yang lebih dan didukung oleh kelasnya (Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook, 2000).

9

Deskripsi Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Sekolah Inklusi Setiap anak adalah unik, dan masing-masing dari mereka pastinya memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Kebutuhan yang berbeda tersebut disebabkan karena keberagaman ciri maupun karakter pada anak yang juga memiliki kekhasan yang berbeda satu dengan yang lain. Pada dasarnya setiap orang tua pastinya menginginkan anak yang mereka miliki lahir dengan sehat, tanpa kekurangan satu apapun. Setiap orang tua pastinya menginginkan anak yang normal, yang memiliki ciri standar hampir sama dengan anak-anak kebanyakan. Namun apa dikata jika ternyata anak yang dilahirkannya justru memiliki kekhususan yang membedakannya dengan anak-anak pada umumnya. Banyak diantara mereka yang pada akhirnya menolak kehadiran anak tersebut, walaupun ternyata banyak orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus ini menerima dengan lapang dada dan juga mengasuh dengan penuh kasih sayang. Sebagian besar orangtua tentunya akan lebih bahagia, puas, dan bangga jika putra-putri yang mereka asuh tumbuh dengan “normal”, seperti anak-anak kebanyakan. Banyak diantara mereka yang menganggap bahwa pada diri anak “normal” tersebut, dapat dianggap anak tidak memiliki kekurangan satu apapun. Realitas menunjukkan, dalam kehidupan sehari-hari, terkadang anak yang lahir ditengah keluarga berkecukupan, keluarga yang hangat, bahkan dengan peraturan yang cukup ketat dan mengikat anak, justru tidak tumbuh dengan sebagaimana yang diharapkan. Tak jarang pada anak-anak tersebut tumbuh menjadi sosok yang manja, tergantung kepada orang lain, ingin mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah, atau bahkan sebaliknya (Santrock, 2002). Banyak diantara mereka yang justru salah pergaulan, menjadi anak yang susah

10

diatur, banyak tuntutan, dan pada akhirnya justru banyak menyakiti perasaan orang tuanya. Dengan kata lain, pada diri anak yang lahir dengan normal sekalipun terkadang juga tidak tumbuh menjadi pribadi yang baik, kuat, ataupun matang baik secara fisik, kognitif, spiritual, maupun secara sosial. Sebaliknya, pada anak yang terkadang lahir dengan berbagai kekurangan, baik kekurangan pada tingkat rendah, sedang, maupun tinggi, dalam perkembangannya akan mengalami berbagai perubahan yang berarah baik. Banyak diantara anak-anak yang secara halus dapat dikatakan “lahir dengan kurang keberuntungan” tersebut justru berkembang menjadi pribadi yang baik, kuat dan mantap dalam berbagai segi kehidupan. Beberapa diantaranya justru dapat berubah menjadi sosok yang patut dibanggakan, menjadi teladan bagi masyarakat, dan tak jarang mampu menghasilkan berbagai macam ilmu yang berguna bagi sesamanya. Adanya perubahan ini-pun tak lepas dari keyakinan diri pada anak berkebutuhan khusus tersebut untuk mau belajar dan memperbaiki diri. Selain itu motivasi dan semangat yang tertanam pada diri ABK tersebut juga sangat mempengaruhi kemampuan anak untuk mau belajar sehingga dalam kehidupan selanjutnya akan mampu bersaing dengan orang-orang yang dikatakan “normal”oleh masyarakat sekitarnya. Agar seorang anak yang lahir dengan kebutuhan khusus mampu berkembang dengan lebih baik, motivasi diri bukan menjadi hal utama. Lebih dari itu peran keluarga juga dapat membantu seorang ABK agar dapat menunjukkan perkembangan pesat yang jauh lebih baik. Beberapa peran keluarga dapat ditunjukkan dengan sikap perhatian, mampu mengerti, memahami, dapat lebih berempati, ikut memotivasi anak berkebutuhan khusus agar lebih optimis dan

11

bersemangat untuk berubah, juga mendukung ide maupun rencana-rencana positif dan terbaik bagi anak berkebutuhan khusus tersebut. Bentuk perhatian yang dapat diberikan kepada anak berkebutuhan khusus tidak harus berupa perhatian yang berlebihan. Perhatian yang diperlukan anak berkebutuhan khusus adalah perhatian yang cukup, yang memotivasi dan mampu memberikan masukan yang membantu anak berkebutuhan khusus dalam kehidupannya. Dapat mengerti, memahami, dan berempati akan memberi dampak munculnya kepercayaan diri, keyakinan akan kemampuannya, akan membuat anak berkebutuhan khusus terhindar dari sikap pesimis, malu, merasa rendah diri, atau bahkan merasa tidak berguna (Roswita, 2006 dalam www.cbn.net.id, 2006). Adanya motivasi dan perhatian yang penuh kasih sayang dari orang-orang terdekat pada akhirnya akan memberikan efek positif pada anak berkebutuhan khusus tersebut. Hal utama yang diperlukan anak berkebutuhan khusus adalah dapat diterima oleh lingkungannya sekalipun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Pada awalnya, anak berkebutuhan khusus yang mampu menerima kekurangan yang ada pada dirinya terlebih dulu, akan tumbuh pula kepercayaan diri untuk mau menyatu dengan lingkungan sosialnya. Setelah lingkungan sosial mampu menerima kehadirannya, maka akan terjadi hubungan dan interaksi sosial yang baik pula (Hurlock, 1978). Hubungan dan interaksi sosial yang baik ini akan menjadi awal yang baik bagi perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Dengan menyadari bahwa dirinya telah diterima oleh masyarakat, maka seorang anak berkebutuhan khusus akan dapat mengembangkan hubungan interpersonal yang lebih baik lagi.

12

Ada banyak jalan untuk mengembangkan kemampuan sosial pada anak berkebutuhan khusus, salah satunya adalah dengan pemilihan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis pendidikan yang dapat dijadikan pilihan antara lain sekolah luar biasa atau sekolah inklusi. Kedua jenis pendidikan diatas memang dirasa tepat diberikan pada anak yang memiliki kekhususan tertentu. Efek yang muncul dengan memilihkan kedua jenis sekolah tersebut pada anak yang memiliki kebutuhan tertentu, pastinya juga akan berbeda satu dengan yang lain. Orang tua anak berkebutuhan khusus memilihkan sekolah luar biasa (SLB) tentu memiliki tujuan khusus, yaitu membuat anak mengerti bahwa kekhususan yang dimilikinya ternyata juga terdapat pada diri orang lain, sehingga efek positif yang muncul adalah anak mampu mengembangkan rasa percaya diri karena di dunia ini dia bukanlah satusatunya yang memiliki kekhususan tersebut. Orang tua yang memilihkan sekolah inklusi untuk anak berkebutuhan khusus, juga akan mendapatkan dampak positif bagi diri anak, yaitu self-esteem, diterima oleh teman sekelas, dan kemampuan sosial (McDonnell dkk, 1991 dalam Smith, 2006) sehingga anak dapat mengenal keberagaman, mampu mengembangkan sikap empati, dapat belajar mensyukuri akan pemberian Tuhan terhadap dirinya sekalipun berbeda dari teman-teman yang lainnya. Dampak positif yang akan terlihat setelah anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi tidak hanya akan dirasakan anak, namun juga dapat dirasakan oleh masyarakat di lingkungan sekolah, lingkungan rumah, dan juga masyarakat. Dengan belajar di sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan pelajaran yang sama dengan anak-anak normal yang lain dari guru yang sama, serta anak juga dapat

13

lebih belajar bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah baik yang juga berkebutuhan khusus maupun teman-teman yang normal. Selain itu, keluarga dekat dan masyarakat di lingkungan rumah anak berkebutuhan khusus ini juga dapat ikut membantu pembelajaran anak dengan memberi dukungan, membantu saat belajar, maupun mengingatkan untuk melakukan hal-hal yang dapat mengembangkan kemampuan sosialnya.

Metode Penelitian Fokus Penelitian Bagaimanakah karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi? Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa aktif sekolah inklusi, berusia antara enam hingga 12 tahun, dan mengalami gangguan perilaku yang mengacu pada keterangan dari guru dan orang tua siswa. Keterangan dari guru dan orang tua berasal dari pengamatan terhadap anak yang terlihat memiliki perbedaan dengan anak-anak normal lainnya. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Esterberg mendefinisikan wawancara sebagai pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2005). Sugiyono (2005) dalam bukunya menyatakan bahwa wawancara dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.

14

Peneliti menggunakan wawancara pembicaraan informal, dimana hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai ada didalam suasana biasa dan wajar, agar dapat lebih mengungkap keterangan dari anak berkebutuhan khusus. Pertanyaan dan jawaban berjalan layaknya pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari (Moleong, 2000). Stainback menyatakan bahwa dengan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal tersebut tidak dapat ditemukan melalui observasi (Sugiyono, 2005). Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2005). Peneliti tetap menggunakan interview guide dalam pelaksanaan wawancara, namun bersifat umum dan terbuka kemungkinan untuk perkembangan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama wawancara berlangsung. Nasution (Sugiyono, 2005) menyatakan bahwa observasi adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan. Marshall (Sugiyono, 2005) menyatakan bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi moderat, dimana terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Dengan kata lain peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya (Sugiyono, 2005). Observasi lebih ditekankan pada perilaku anak sehari-hari yang merupakan indikator dari ciri-ciri anak berkebutuhan khusus (ABK). Observasi ini

15

dilakukan setiap hari selama kurang lebih dua minggu (12 hari sekolah), meliputi seluruh kegiatan sekolah (belajar, kegiatan tambahan, dan istirahat). Metode Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif dengan menggunakan model langkah analisis dari Miles dan Huberman, Poerwandari (2001) serta Sugiyono (2005). Sugiyono (2005) menyatakan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut model dari Miles dan Huberman (Sugiyono, 2005), analisis data selama di lapangan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta verifikasi (conclusion drawing). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Poerwandari (2001) memberikan tahapan-tahapan dalam menganalisis data kualitatif sebagai berikut, yaitu: data yang ada dicari kata kuncinya, kemudian dibuat tema, kemudian dipisahkan menurut kategori, dan akhirnya dicari hubungan antar kategori-kategori (pola). Hal yang harus dilakukan menurut Poerwandari (2001) adalah mengorganisasikan data, membuat koding dan analisis, kemudian menguji dugaan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sintesa dari teknik-teknik di atas, yaitu: mengorganisasikan data, mereduksi data dengan

16

membuat koding (mencari kata kunci, tema, kategori serta pola), penyajian data, penarikan kesimpulan.

Hasil Penelitian Deskripsi hasil penelitian terlebih dahulu akan menjelaskan hasil temuan observasi di lapangan. Melalui teknik pencatatan data bentuk critical insident records, peneliti kemudian mengkategorikan temuan tersebut ke dalam bentuk checklist, guna memudahkan peneliti untuk mengenal karakter masing-masing subjek. Checklist yang digunakan ada beberapa macam, yaitu checklist yang berisi karakter Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), checklist karakter Oppositional-Defiant Disorder (ODD), checklist karakter Conduct Disorder (CD), serta checklist karakter gangguan emosi. Setelah dilakukan penilaian terhadap subjek, maka bentuk checklist yang menggambarkan karakter-karakter diatas ditunjukkan sebagai berikut ini : Tabel 2 Checklist karakter Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) No. Karakter Inatensi 1. Sering gagal dalam memberikan perhatian penuh atau membuat kesalahan dalam tugas-tugas sekolah, pekerjaan, dan juga aktifitas yang lainnya 2. Mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau kegiatan bermain 3. Tidak memperhatikan ketika orang lain berbicara

secara khusus Subjek Ab F I, Ab

4.

Sering tidak dapat mengikuti perintah dan gagal dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah

5.

Memiliki kesulitan dalam mengatur tugas dan aktifitas

6.

Tidak menyukai, menghindari, bahkan terkadang menolak untuk mengerjakan tugas di sekolah dan juga tugas di rumah Sering kehilangan perlengkapan untuk belajar dan juga bermain

7.

Ab

17

8. 9.

Mudah terusik oleh stimulus yang ada di sekelilingnya Sering terlupa dalam mengerjakan aktifitas harian

Hiperaktif 1. Menunjukkan kegelisahan dengan mengerakkan tangan dan kaki saat duduk

F, I, Ab Ab I, Ab

2.

Sering meninggalkan kursi di kelas atau di segala situasi yang membutuhkan waktu duduk yang lama

3.

Sering berlari bahkan memanjat pada situasi yang tidak F, I, Ab tepat Memiliki kesulitan bermain di aktifitas bermain yang membutuhkan ketenangan

4. 5. 6.

F, I, Ab

Sering bertindak spontan atau terlihat bergerak tanpa F, Ab kendali Sering berbicara yang tidak terkendali F

Impulsif 7. Sering menjawab langsung suatu pertanyaan sebelum F, I pertanyaan tersebut selesai diungkapkan secara keseluruhan 8. Mengalami kesulitan pada saat menunggu giliran F, I, Ab 9.

Sering menginterupsi saat mengikuti percakapan

F

Berdasarkan Perilaku Sosial Positif 1. Dapat bekerja sama dalam tugas 2. Dapat menyelesaikan tugas 3. Dapat memberi bantuan 4. Dapat mengikuti perintah 5. Dapat bekerja sama dalam bermain 6. Mampu melakukan percakapan efektif 7. Mampu menunjukkan afeksi 8. Mampu tersenyum dan tertawa Negatif/Non-Agresif 9. Melanggar aturan 10. Tidak mengikuti perintah 11. Tidak mampu menyelesaikan tugas 12. Mengganggu teman Agresif 13. Suka memerintah 14. Suka mengejek teman/menggoda 15. Suka mengancam 16. Suka menolak 17. Suka menghina 18. Suka berteriak/memekik/bersorak 19. Mengganggu teman secara fisik 20. Suka bertengkar

F, F, F, F, F, F, F F,

I, I, I, I I, I

Ab Ab Ab Ab

I

Ab Ab Ab F Ab Ab Ab I Ab F, I, Ab

18

21. Suka mencuri barang teman Non-Interaksi 22. Suka menyendiri

I

Cara membaca checklist diatas, yaitu : a) Subjek dapat dikategorikan sebagai ADHD dengan tipe kombinasi, apabila memenuhi sedikitnya enam kategori dari sembilan kategori ADHD-inatensi dan sedikitnya empat dari enam kategori ADHD tipe hiperaktif-impulsif. b) Subjek dapat dikategorikan sebagai ADHD dengan tipe inatensi, apabila memenuhi sedikitnya enam kategori dari sembilan kategori ADHDinatensi, dan tidak lebih dari tiga kategori dari ADHD tipe hiperaktifimpulsif (DSM-IV APA, 1991). c) Bagian perilaku sosial memberi gambaran terhadap perilaku subjek dalam keseharian. Asesmen

dengan

alat

ukur

checklist

seperti

yang

tersebut

diatas

menunjukkan bahwa ketiga orang subjek kemungkinan besar tidak dapat dinyatakan sebagai anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), namun tetap ada kemungkinan bahwa ketiga anak didiagnosa menderita ADHD dengan tipe hiperaktif-impulsif. Berdasarkan pada bagian perilaku

sosial

menunjukkan

bahwa

ketiga

orang

subjek

masih

dapat

menunjukkan perilaku sosial yang positif. Hal ini berarti kemungkinan subjek memiliki gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) juga masih merupakan kemungkinan kecil. Bentuk checklist lain yang menggambarkan karakter Oppositional-Defiant Disorder (ODD) ditunjukkan sebagai berikut ini : Tabel 3 Checklist karakter Oppositional-Defiant Disorder (ODD)

19

No. 1.

Karakter Sering kehilangan kendali temperamen

2.

Sering memberi alasan terhadap orang yang lebih F, I dewasa Sering menantang dan menjengkelkan masyarakat -

3.

Subjek -

4.

Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya

5.

Sering mudah tersinggung atau mudah menjengkelkan orang lain

6.

Sering marah dan menunjukkan kekesalan

Ab

7.

Sering berlaku dengki atau menunjukkan dendam

-

Bentuk checklist lain yang menggambarkan karakter Conduct Disorder (CD) ditunjukkan sebagai berikut ini : Tabel 4 Checklist karakter Conduct Disorder (CD) No. Karakter 1. Suka mengancam orang lain

Subjek -

2.

Suka memulai perkelahian

Ab

3.

Suka menggunakan senjata

-

4.

Suka mengganggu orang lain dan hewan secara fisik

-

5.

Suka mencuri dan berbohong

-

6.

Suka melakukan penyerangan secara seksual

-

7.

Suka merusak barang

-

8.

Keluar rumah pada saat malam hari

-

9.

Meninggalkan rumah tanpa izin

-

10.

Menolak hadir di sekolah

-

Peneliti juga akan melihat karakter masing-masing anak dengan checklist karakter gangguan emosi, karena berdasarkan hasil observasi subjek juga memiliki kecenderungan ke arah gangguan emosi tersebut. Berikut bentuk checklist gangguan emosi :

20

Tabel 5 Checklist karakter Gangguan Emosi No. Karakter Akademik 1. Memiliki IQ di bawah rata-rata 2. Cenderung underachiever Tingkah Laku 3. Tidak patuh 4. Sering terlibat perkelahian 5. Sering melakukan perusakan 6. Sering mengucapkan kata-kata kotor dan tidak senonoh Sering memerintah 7. 8. Cenderung berlaku sekehendaknya Gangguan Kepribadian 9. Merasa rendah diri Pemalu 10. 11. Depresi 12. Kesedihan yang mendalam Menarik diri dari pergaulan 13. Immature 14. Pasif dalam bergaul 15. Kaku dalam bergaul 16. Cepat terlihat bingung 17. Perhatian terbatas 18. Senang melamun 19. Senang berkhayal 20. Senang bergaul dengan yang lebih muda Pelanggaran Sosial 21. Terlibat dalam aktivitas geng 22. Pernah terbukti melakukan pencurian 23. Suka membolos 24. Sering begadang

Subjek F, I, Ab Ab F, I, Ab -

Berdasarkan checklit diatas, kecil kemungkinan ketiga subjek mengalami gangguan emosi karena tidak memenuhi hampir keseluruhan karakter yang mencerminkan gangguan emosi, walaupun ketiga subjek terlihat sering terlibat perkelahian dan perhatian terbatas, dan hanya satu subjek yang dapat dinyatakan pemalu. Akhirnya dengan mengacu pada ketiga checklist diatas, dapat dikatakan sangat minimal anak diindikasikan memiliki gangguan, baik Oppositional-Defiant Disorder (ODD), Conduct Disorder (CD), maupun gangguan

21

emosi. Maka dalam hal ini peneliti lebih mengacu pada karakteristik Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebagai parameter utama.

Pembahasan Pembahasan dalam penelitian ini akan mengemukakan hasil temuan di lapangan yang datanya sudah dianalisa. Penelitian ini membahas karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi, serta kaitan interaksi anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan lingkungannya. Peneliti akan membahas hasil temuan lapangan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari guru khusus dan orang tua anak berkebutuhan khusus, ditambah dengan informasi yang berasal dari teman subjek. Tahap awal peneliti melakukan observasi dengan teknik penulisan data berupa critical insident records. Melalui data-data yang ada, peneliti kemudian melakukan

kroscek

dengan

tabel

karakteristik

utama

Attention

Deficit

Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional-Defiant Disorder (ODD), Conduct Disorder (CD), dan gangguan emosi. Karakteristik anak berkebutuhan khusus yang

muncul,

ternyata

lebih

mengarah

pada

ciri-ciri

Attention

Deficit

Hyperactivity Disorder (ADHD), sehingga peneliti kemudian menggunakan alat ukur checklist kriteria Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang berasal dari DSM-IV (APA, 1991) dan checklist kriteria perilaku sosial (DuPaul dan Stoner, 1994), yang menunjukkan bahwa ketiga orang subjek tidak dapat dinyatakan sebagai penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), karena tidak memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan. Hanya saja, masih ada potensi bagi ketiga subjek didiagnosa memiliki kecenderungan sebagai

22

penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam taraf ringan. Untuk

lebih

memastikan

subjek

menderita

gangguan

Attention

Deficit

Hyperactivity Disorder (ADHD) ini, perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih mendalam. Ada beberapa langkah untuk melakukan pemeriksaan pada subjek yang diprediksi memiliki kecenderungan sebagai penderita gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), antara lain dengan melihat pada riwayat hidup subjek yang mencakup faktor genetis dan neurologis (Wenar dan Kerig, 2000). Melalui wawancara informal dengan orang tua subjek, peneliti menemukan bahwa ketiga subjek tidak memiliki riwayat genetis yang mengalami gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa kecil kemungkinan subjek mengalami gangguan ADHD. Orangtua subjek merasa subjek memiliki kecenderungan hiperaktif berdasar pada perilaku yang nampak di keseharian, yang mereka perhatikan sejak subjek masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Pengetahuan yang terbatas ini kemudian lebih meyakinkan orangtua subjek hingga memilihkan sekolah inklusi untuk anak yang mereka anggap hiperaktif, tanpa sebelumnya melakukan asesmen khusus secara profesional. Disinilah letak kelemahan sekolah inklusi dalam menerima anak berkebutuhan khusus yang tidak disertai hasil asesmen khusus dari profesional. Akan

menjadi

kekhawatiran

tersendiri

pada

proses

selanjutnya

karena

memungkinkan berdampak negatif pada kepribadian subjek yang disebabkan oleh judgement yang kurang sesuai. DuPaul dan Stoner (1991) menyebutkan bahwa ada langkah-langkah asesmen khusus yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa seseorang memiliki

23

gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) secara tepat. Disebutkan bahwa ada lima tahapan asesmen yang berdasarkan model pendidikan membuat keputusan oleh Salvia dan Ysseidyke (1991 dalam DuPaul dan Stoner, 1991). Kelima tahap tersebut antara lain : 1. Tahap penyaringan 2. Tahap pemberian berbagai macam metode asesmen ADHD 3. Tahap menginterpretasi hasil 4. Tahap perancangan dalam perawatan dan pengembangan 5. Tahap asesmen dalam rancangan pemberian perawatan. Setelah melewati serangkaian asesmen bukan berarti tahap pemberian perawatan

untuk

subjek,

terlebih

pada

anak

yang

diprediksi

memiliki

kecenderungan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dapat dianggap selesai. Dukungan lingkungan dan orang-orang terdekat masih terus diperlukan oleh subjek yang didiagnosa memiliki gangguan tersebut. Lingkungan yang dimaksud antara lain lingkungan sekolah inklusi dan juga lingkungan rumah subjek. Kedua hal tersebut merupakan hal terpenting bagi anak berkebutuhan khusus karena dalam proses seumur hidup, subjek akan mengalami interaksi sosial dengan lingkungannya. Hurlock (1978) menjelaskan proses sosialisasi pada anak dilakukan dengan cara : anak-anak mempelajari perilaku yang diterima oleh lingkungan sosial, anak-anak memainkan peran sosial yang diakui banyak orang, dan anak-anak mengikuti perkembangan sikap sosial dengan berusaha menjadi bagian dari masyarakat dan aktivitas sosial yang ada. Dengan mengikuti perkembangan sikap sosial ini, maka mereka akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga diterima oleh anggota masyarakat. Hal ini semakin

24

diperkuat Smith (2006), yang menyatakan kekuatan sosial dan interpersonal penyebab berkembangnya interaksi sosial anak meliputi : suasana lingkungan keluarga, interaksi dengan guru dan teman-teman di sekolah. Peneliti menemukan hal positif dari wawancara dengan orang tua subjek, yang secara jujur menyatakan tidak malu dengan kekhususan yang dimiliki anak. Pernyataan tersebut berbeda dengan hasil penelitian Harborne dkk (2004) yang justru menyatakan adanya perasaan-perasaan negatif pada orang tua yang memiliki anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Kearney (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang tua yang memberikan struktur pengasuhan, umpan balik, konsisten dan menepati kedisiplinan dalam menghadapi perilaku-perilaku yang buruk dari anak, akan mampu mencapai bentuk kontrol yang baik terhadap segala perilaku anak. Hal ini terbukti dari pernyataan seluruh orang tua subjek, yang mengakui bahwa subjek tidak dapat diberi perlakuan keras. Bahkan Harborne dkk (2004) dalam penelitiannya

menyatakan

bahwa

salah

satu

penyebab

anak

memiliki

kecenderungan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) berasal dari kepengasuhan yang buruk. Pernyataan Harborne dkk (2004) jika dikaitkan dengan hasil temuan lapangan memiliki sedikit kesamaan, karena beberapa orang tua subjek secara tidak sadar mengakui bahwa terkadang mereka masih memberikan bentuk pengasuhan yang keras. Salah satu orang tua subjek mengakui bahwa terkadang masih memperlakukan subjek dengan keras, memiliki peran sebagai ibu sekaligus orang tua tunggal. Model struktur keluarga (family structure model) menyatakan bahwa setiap perbedaan-perbedaan yang terdapat pada anak-anak dari struktur

25

keluarga yang berbeda adalah disebabkan oleh variasi-variasi struktur keluarga, seperti tidak adanya ayah dalam suatu keluarga (Santrock, 2002). Struktur keluarga seperti ini hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penyesuaian anak-anak dalam keluarga dengan orang tua tunggal. Menjadi anak yatim tidaklah mudah, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak-anak menikmati kehidupan hanya dengan satu orang tua, antara lain : semakin banyak meluangkan waktu dengan anak, mempunyai kesempatan bermain dengan anak, lebih memperhatikan anak, dan juga menjadi lebih disiplin (Hurlock, 1978). Berbeda dengan subjek sebelumnya, salah satu subjek memiliki latar belakang sebagai anak tunggal, dengan komposisi orang tua yang masih lengkap. Kedua orang tua subjek menganggap subjek sebagai anak yang manja, dan sebenarnya pemalu. Santrock (2002) dalam bukunya menjelaskan, konsepsi yang populer pada anak tunggal merupakan “anak nakal yang manja” dengan karakteristik yang tidak diinginkan seperti sangat tergantung, kurang kendali diri dan memiliki perilaku yang mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu orang tua subjek menyatakan hal inilah yang membuat anak mereka memiliki gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Terkait dengan pengasuhan di rumah, subjek ini juga mengalami pengasuhan yang kurang tepat. Hal itu diakui oleh orang tua subjek yang dalam kesehariannya terkadang masih menerapkan pola asuh yang sedikit keras terhadap anak. Interaksi anak berkebutuhan khusus di lingkungan rumah juga tidak lepas dari peran saudara kandung, kecuali pada subjek yang memang sebagai anak tunggal. Santrock (2002) menyatakan, relasi saudara kandung anak-anak

26

meliputi menolong, berbagi, mengajarkan, bermain, serta berkelahi. Dibalik itu Shaffer (1994) menyatakan ada beberapa aspek positif dari interaksi dengan saudara kandung, yaitu : saudara kandung sebagai objek kelekatan, saudara kandung sebagai model sosial, saudara kandung sebagai guru, dan saudara kandung memberi dampak positif dalam kompetensi sosial. Perlu juga diperhatikan bahwa potensi terjadinya konflik dalam keluarga yang memiliki anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) tidak hanya terbatas pada hubungan orang tua dan anak (Barkley, 1998), namun juga dengan saudara kandung. Terkait dengan interaksi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah, guru memiliki peran penting dalam pengasuhan di lingkungan sekolah. Sebuah penelitian bahkan menyatakan bahwa guru adalah model terpenting untuk menumbuhkan perilaku empati (Liff, 2003). Hal senada juga disampaikan oleh Kearney (2003), yang menyatakan kewajiban bagi guru untuk memberikan perhatian lebih terhadap anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Besarnya peran guru terhadap perilaku anak, sesuai dengan hasil wawancara dan observasi di sekolah, yang telah mensosialisasikan secara luas terhadap seluruh guru, untuk memberikan perilaku yang sama kepada semua anak, baik yang normal maupun dengan kebutuhan khusus. Smith (2006) dalam bukunya menyebutkan ada beberapa cara manajemen diri (SelfManagement Skill) yang dapat diberikan kepada siswa-siswa di kelas inklusi, antara lain : 1. Pemantauan diri (Self-Monitoring) 2. Intervensi diri (Self-Intervention)

27

3. Pengarahan diri (Self-Instruction) Pengalaman pendidikan di kelas inklusi dapat menjadi suatu cara terbaik untuk hidup mandiri (Smith, 2006), dan hal ini juga telah diakui oleh salah satu orang tua siswa yang menyatakan bahwa anaknya telah mampu hidup mandiri. Terkait dengan lingkungan sekolah, hal lain yang juga ikut berperan dalam proses interaksi pada anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah teman sebaya (peer groups). Santrock (2002) mendefinisikan teman sebaya ialah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga, walaupun Wenar dan Kerig (2000) justru mengungkapkan bahwa status anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) di antara teman sebaya tak lepas dari peran perilaku orang tua. Hal ini juga disampaikan Smith (2006), yang menyatakan bahwa kerjasama dengan teman sebaya (peer collaboration) dapat menjadi suatu cara terbaik bagi anak untuk melibatkan diri yang sebenarnya dalam meningkatkan kualitas akademis dan sosial dalam kehidupan di kelas. Pertimbangan terpenting untuk memperbesar efektifitas dari intervensi sekolah adalah hubungan antara pola asuh di rumah dengan sekolah (Barkley, 1998). Barkley (1998) menambahkan, apabila guru dan orang tua mampu memahami tentang konsep Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), memiliki tujuan yang nyata, dan memiliki motivasi tinggi, maka kerja sama yang efektif akan berkembang dengan mudah. Bentuk kerjasama seperti ini juga telah dikembangkan

di

sekolah

inklusi

tersebut,

salah

satunya

dengan

mengkomunikasikan berbagai macam perkembangan anak dalam bentuk buku

28

penghubung antara orang tua dan guru setiap satu minggu sekali. Adanya buku penghubung ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Brown (2005), yang menyebutnya sebagai kartu laporan harian yang sangat membantu. Bentuk kerjasama antara guru dan orang tua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang lain dapat dilakukan dengan pelatihan kepengasuhan. Pelatihan ini bertujuan untuk mengubah

pola

pengasuhan

yang

sesuai

dengan

karakteristik

anak

berkebutuhan khusus (ABK), sehingga orang tua akan mendapatkan strategi dalam menghadapi anak yang berfokus pada perilaku bermasalah yang spesifik.

Kesimpulan Sekolah inklusi merupakan sekolah yang mampu menerima keadaan siswa, baik dalam keadaan normal maupun dengan kebutuhan khusus. Melihat pada fungsinya, sekolah inklusi akan memiliki berbagai macam karakteristik siswa, termasuk berbagai macam karakteristik anak berkebutuhan khusus. Dalam proses pendidikan selanjutnya, sekolah juga perlu mengenal secara mendalam karakter anak berkebutuhan khusus, untuk meminimalisasi kesalahan judgement dalam menentukan kekhususan yang dimiliki siswa. Hal ini dilakukan karena anak akan mengalami proses interaksi dalam waktu lama di sekolah, bahkan secara umum, seorang anak juga akan mengalami proses sosialisasi dengan lingkungan sepanjang kehidupannya. Saran 1. Saran untuk guru dan sekolah inklusi Saran untuk sekolah inklusi, hendaknya pada saat proses penerimaan siswa baru untuk lebih selektif dan disertai dengan surat keterangan adanya gangguan

29

khusus yang dikeluarkan secara profesional oleh seorang ahli, terutama pada anak yang memiliki kebutuhan khusus. Selain itu, hendaknya sekolah memiliki konselor/terapis

tetap

yang

khusus

mengamati

perilaku

anak.

Peran

konselor/terapis sangat penting karena dapat memantau setiap perubahan perilaku anak, terutama yang terkait dengan masalah psikologis anak. Konselor atau terapis yang bergabung hendaknya juga dapat menerima konsultasi khusus dengan orang tua murid agar kelak setiap perkembangan anak mampu teramati, baik dari pihak keluarga maupun pihak sekolah. Akan lebih baik jika sekolah memiliki guru khusus dan shadow teacher yang menangani anak berkebutuhan khusus (ABK), dengan latar belakang psikologi atau pendidikan luar biasa, atau paling tidak telah melaksanakan pendidikan infomal terkait dengan penanganan anak-anak berkebutuhan khusus. 2. Saran untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) Saran untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) hendaknya tidak berkecil hati menerima keadaan anak. Berdasarkan pengalaman responden, akan lebih baik jika orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) mampu menerima keadaan anak secara terbuka, merespon anak dengan positif, tidak memperlakukan anak dengan cara keras, dan tetap memberikan pengasuhan yang tidak membatasi ruang gerak anak namun juga tidak memberi keleluasaan yang berlebihan. Selain itu, bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK), hendaknya memilih sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak, terus berkoordinasi dengan guru khusus yang menangani, serta memantau setiap perubahan perilaku yang ada pada diri anak dengan kebutuhan khusus ini.

30

3. Saran untuk penelitian selanjutnya Karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat beragam, begitu juga dengan jenis sekolah inklusi. Maka akan lebih baik jika pada penelitian selanjutnya dilakukan proses observasi yang lebih mendalam, termasuk juga melakukan wawancara mendalam dengan orang tua ABK. Wawancara mendalam ini juga dilakukan untuk lebih mengenal riwayat masa lalu anak sehingga dapat dinyatakan sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Selain itu, pada penelitian selanjutnya juga dapat meninjau karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) yang lainnya di semua jenis perkembangan, juga sekolah inklusi dengan basis yang berbeda, misalnya yang berbasis multikultur.

31

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, M. Dr. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta Barkley, Russel A. 1998. Attention Deficit Hyperactivity Disorder : a Handbook for Diagnosis and Treatment. New York : The Guilford Press Berns, R. M. 2003. Child-Family-School-Community. Socialization and Support. 6 Edition. California : Thomson Wadsworth Brown, Thomas E. 2005. Attention Deficit Disorder. USA : Yale University Press Cunningham, C. E., Boyle, M. H. 2002. Preschoolers at Risk for Attention Deficit Hyperactivity Disorder and Oppositional Defiant Disorder : Family, Parenting, and Behavioral Correlates. Journal of Abnormal Child Psychology, Vol. 30 (6) : 555-568 DuPaul, G., Stoner, G. 1994. ADHD In The Schools. New York : The Guilford Press Dupriez, V., Dumay, X. 2006. Inequalities in School Systems : Effect of School Structure or of Society Structure? Routledge. Vol. 42 (2) : 243-260 Edwards, C. Drew. 2006. Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan Bagi Para Orang Tua untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung : Kaifa Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook, Travers. 2000. Education Psychology. USA : McGraw-Hill Companies Harborne, Alexandra, Wolpert, Miranda dan Clare, Linda. 2004. Making Sense of ADHD : a Battle for Understanding? Parent’ s Views of their Children Being Diagnosed with ADHD. Sage Publication, Vol. 9 (3) : 327-339 Hurlock, Elizabeth B. 1978. Child Development. Singapore : McGraw-Hill International Editions Kearney, Christopher A. 2003. Casebook in Child Behavior Disorder. Canada : Thomson Wadsworth

32

Liff, Suzanne B. 2003. Social and Emotional Intelligence : Applications for Developmental Education. Journal of Developmental Education. EBSCO Publishing Meyer, R., G. 2003. Case Studies in Abnormal Behavior. USA : Allyn and Bacon Miller-Johnson, S., Coie, J., Maumary-Gremaud, A., Bierman, K., & The Conduct Problems Prevention Research Group. 2002. Peer Rejection and Aggression and Early Starter Models of Conduct Disorder. Journal of Abnormal Child Psychology, Vol. 3 (3) : 217-230 Moleong, L. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan 17. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poerwandari. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Santrock, John W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga Shaffer, David R. 1994. Social and Personality Development. California : Brooks/Cole Publishing Company Smith, J. D. 2006. Inklusi : Sekolah Ramah Untuk Semua. Bandung : Penerbit Nuansa Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit CV. Alfabeta Suyanto. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta : Hikayat Publishing Waschbusch, D., Pelham Jr. W., Jennings, R., Greiner, A., Tarter, R., Moss, H. 2002. Reactive Aggression in Boys with Disruptive Behavior Disorder : Behavior, Physiology, & Affect. Journal of Abnormal Child Psychology, Vol. 30 (6) : 641-656 Wenar, C., Kerig, P. 2000. Developmental Psychopathology. From Infancy Through Adolescence. Singapore : McGraw-Hill Book Companies

33

Sumber dari internet : 2001. Integration Of Children With Pervasive Developmental Disorder Into The Preschool Classroom. http://www.jaynagirl.cwd-cragin.com, 17/09/06 Roswita, Yang. 2006. Kembangkan http://www.cbn.net.id. 17/09/06

Kepiawaian

Anak

Bersosialisasi.

Sumber dari koran : 2004. “Penanganan Autis Harus Lintas Disiplin”dalam Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2004 2005. “Penyandang Autis, Mereka Perlu Perhatian Khusus” dalam Kompas, 20 Juli 2005