DIAGNOSIS PENYAKIT BAKTERIAL PADA IKAN KERAPU MACAN

Download penyebab penyakit pada ikan kerapu macan di KJA Boneatiro di Kabupaten .... Karakter bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pengu...

0 downloads 549 Views 163KB Size
DIAGNOSIS PENYAKIT BAKTERIAL PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) PADA KERAMBA JARING APUNG BONEATIRO DI KABUPATEN BUTON Bacterial Disease Diagnosis on Grouper (Epinephelus fuscoguttatus) on Boneatiro Floating Net Culture (Keramba), at Buton Regency Herfiani, Alexander Rantetondok dan Hilal Anshary ABSTRACK The research aimed to find out pathogenic bacterium causing disease bacterium on the Grouper (Epinephelus fuscoguttatus) at Buton Regency, and to investigate bacterium pathogenicity towards the Grouper (Epinephelus fuscoguttatus). The research was carried out by taking sample of the Grouper which suffered from a phenomenon of bacterial disease in the FNC. After that, bacterial isolation, characterization test, Koch Postulate test were conducted by an intraperitoneal injection towards the Grouper of 9 – 10 cm length on the dosage 106 colony forming unit (CFU)/fish. Pathogenicity test was carried out towards Vibrio alginolyticus by the intraperitoneal injection with the dosages of 102, 104, 106, and 108 CFU/fish on the Grouper (9 – 10 cm length). The bacterium observation was based on the value of lethal Dosage 50 (LD50) using Dragstedt Behrens method. The result of the research reveals that the pathogenic bacteria causing the disease on the Grouper at Boneatiro FNK at Buton Regency are indentified as the bacteria of Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio (carchariae) harveyii, Vibrio ordalii and Micrococcus luteus. Koch Postulate test, the pathogenic bacterium causes disease attack with the average time of death starting from 18 hours to 69,71 hours with the mortality of 38- 100%. Lethal Dosage 50 (LD50), Vibrio alginolyticus in the amount of 1,47 x 104 CFU/fish, or approximately between the dosages of 7,11 x103 - 3,05 x 104 CFU/fish or (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/fish are with the average time of death 50-82 hours. Keywords : Grouper (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui bakteri patogen penyebab bakteri penyakit pada kerapu macan di kabupaten Buton serta mengetahui patogenisitas bakteri terhadap kerapu macan. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel ikan kerapu macan yang mengalami gejala penyakit bakterial di KJA. Selanjutnya dilakukan isolasi bakteri, uji karakterisasi, Uji Postulat Koch dilakukan dengan penyuntikan intraperitoneal terhadap ikan kerapu macan ukuran 9 – 10 cm pada dosis 106 colony forming unit (CFU)/ikan. Uji patogenisitas dilakukan terhadap Vibrio alginolyticus dengan penyuntikan intraperitoneal dengan dosis 102, 104 , 106, dan 108 CFU/ikan pada ikan Kerapu Macan (Ukuran 9 – 10 cm). Pengamatan bakteri didasarkan pada nilai Lethal Dosage 50 (LD50) menggunakan metode Dragstedt Behrens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri patogen penyebab penyakit pada ikan kerapu macan di KJA Boneatiro di Kabupaten Buton diidentifikasikan sebagai bakteri Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio (carchariae) harveyii, Vibrio ordalii dan Micrococcus luteus. Uji Postulat Koch, bakteri patogen menyebabkan serangan penyakit dengan rerata waktu kematian mulai 18 jam sampai dengan 69,71 jam dengan mortalitas 38 – 100%. Lethal Dosage 50 (LD50) Vibrio alginolyticus sebesar 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran antara dosis 7,11 x103 - 3,05 x 104 CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/ikan dengan rerata waktu kematian 50-82 jam. Kata Kunci : Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

1

PENDAHULUAN Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) termasuk kelompok ikan kerapu yang berharga tinggi. Jenis kerapu ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup tersebar di berbagai perairan berkarang di Nusantara. Selain di Indonesia, daerah penyebaran kerapu macan meliputi perairan di wilayah Indo-Pasifik. Keberhasilan budidaya kerapu dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain ketepatan manajemen kualitas air, manajemen pakan, maupun ketepatan pengendalian penyakit. Sampai saat ini, kendala utama yang dihadapi oleh pembudidaya ikan kerapu di Kabupaten Buton adalah berkaitan dengan adanya serangan penyakit sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Penyakit selalu muncul sebagai proses dinamis akibat tidak seimbangnya hubungan antara inang (host), jasad penyakit (patogen), serta lingkungan (Sarono et al. 1993). Keberhasilan penanggulangan penyakit sangat ditentukan oleh ketepatan diagnosis maupun pengetahuan tentang agen penyebabnya. Kordi (2004) menyatakan bahwa dalam melakukan identifikasi atau diagnosis penyakit ikan, nama penyakit dan gejala klinisnya penting diketahui karena dapat membantu dalam menentukan kepastian penyebabnya. Nama penyakit sering dihubungkan dengan gejala-gejala klinis, seperti penyakit bercak-bercak putih, penyakit bintik putih, penyakit bercak-bercak hitam, dan sebagainya. Tetapi, gejala-gejala tersebut tidak selalu merupakan tandatanda khusus penyakit tertentu. Oleh karena itu diagnosis penyebab penyakit sangat penting dilakukan untuk dapat melakukan tindakan pengendalian secara tepat dan efisien. Sampai saat ini, penanggulangan penyakit bakterial lebih banyak dilakukan melalui aplikasi antibiotik atau bahan kimia sehingga berdampak pada resistensi bakteri dan pencemaran lingkungan. Penelitian ini bertujuan melakukan karakterisasi dan identifikasi bakteri patogen, serta menguji patogenisitasnya terhadap kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), sehingga menjadi diagnosis yang tepat mengenai penyebab penyakit pada kerapu yang pada akhirnya berguna dalam upaya penanggulangannya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada 3 (tiga) Laboratorium Uji yang meliputi : bagian isolasi, pemurnian dan uji karakterisasi dilakukan di Laboratorium uji Stasiun Karantina Ikan Kelas II Bau-Bau, uji Postulat Koch dan uji patogenisitas bakteri dilakukan di Laboratorium basah Stasiun Karantina Ikan Kelas II Bau-Bau Buton. Sedangkan Uji Histopatologi dilakukan di Laboratorium Uji Balai Besar Karantina Ikan Hasanuddin Makassar. Penelitian ini berlangsung selama 2 (dua) bulan, pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Alat-alat yang digunakan antara lain : inkubator, petridisk,tabung reaksi, autoclave, kertas saring, vortex, Sentrifuge,jarum ose,jarum tusuk,erlenmeyer,beker glass,gelas ukur,lampu Bunsen,timbangan elektrik,hot stirer plate ,analytic balance,gelas obyek,mikroskop ,thermometer, pH meter ,DO meter,aluminium foil,ember plastic,spet (volume 1 ml), selang,aerator,bak penampung air (fiberglass ), mikropipet 100 μl dan 1000 μl,eppendorf . Sedangkan bahan yang digunakan adalah benih ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) Ukuran 9 -10 cm untuk uji Postulat Koch dan uji patogenisitas,media penumbuhan dan pemurnian bakteri, media untuk uji sifat fisiologis, biokimia, Reagen dan bahan pendukung uji sifat fisiologis, bahan biokimia,klorin, dan pakan ikan (pellet) Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel ikan kerapu macan yang mengalami gejala penyakit bakterial di Keramba Jaring Apung dan metode eksperimental untuk mengetahui patogenisitas penyakit bakterial terhadap kerapu macan. Penghitungan kepadatan bakteri pada Postulat Koch dan uji patogenisitas didasarkan pada metode penghitungan bakteri secara tidak langsung berdasarkan jumlah koloni sesuai Jutono et al. (1973). Pengambilan sampel dilakukan secara selektif terhadap ikan yang menunjukkan gejala serangan penyakit bakterial sesuai Zafran et al. (1998); Schaperclaus (1991); Austin and Austin (2007). Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan adanya gejala bakterial berupa pendarahan dibawa kulit (haemorhagik), luka seperti borok pada kulit, luka kemerahan pada mulut, erosi kulit, pengikisan pada sirip dan ekor (gripish), dan mata menonjol (Exoptalmiah) pada lokasi budidaya, yaitu Karamba Jaring Apung (KJA) Boneatiro. Isolasi bakteri dilakukan secara aseptis, dan mengacu pada Ligthner (1996). Pengamatan morfologi koloni dilakukan terhadap bakteri pada medium TSA 2% dan TCBS. Morfologi koloni yang diamati meliputi warna,

2

bentuk, tepi, dan elevasi. Differensiasi Family dan Genus , selanjutnya dilakukan uji Postulat Koch dengan mengkultur bakteri murni pada medium TSB trisalt kemudian diinkubasi. setelah dihitung kepadatannya, bakteri diinjeksikan pada ikan uji dengan dosis 106 CFU/ikan secara intraperitoneal dengan tiga ulangan. Ikan kontrol diinjeksi menggunakan larutan trisalt dengan dosis 0,25 ml/ikan. Ikan dipelihara dalam ember dengan perlakuan aerasi, penyiphonan, dan pemberian pakan menggunakan pellet. Reisolasi bakteri pada ikan yang mati dilakukan secara aseptis dari organ ginjal dan hati dengan Medium TCBS dan medium TSA 2%, dan selanjutnya pengujian Differensiasi Species pada Genus. Identifikasi bakteri Karakter bakteri berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pengujian sifat fisiologis maupun sifat biokimia disusun dalam bentuk tabel, kemudian dicocokkan dengan karakter bakteri yang terdapat dalam Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994), A Hand Book of Shrimps Pathology and Diagnosis Procedure for Penaeid Shrimp (Lightner 1996), Bacteria From Fish and Other Aquatic Animals: A Practical Identification Manual (Buller, 2004) dan Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish (Austin and Austin 2007). Uji Patogenisitas Bakteri Patogenisitas ditentukan berdasarkan nilai LD50 menggunakan metode Dragstedt Behrens (Hubert 1980). Bakteri dikultur pada medium TSB trisalt kemudian diinkubasi. Setelah dilakukan penghitungan kepadatan, maka bakteri disediakan dalam tingkatan konsentrasi 5x102 CFU/ml, 5x104 CFU/ml, 5x106 CFU/ml, dan 5x108 CFU/ml. Ikan uji yang digunakan untuk tiap perlakuan berjumlah tujuh ekor dengan tiga ulangan. Penyuntikan bakteri dilakukan secara intraperitoneal dengan tingkatan perlakuan dosis penyuntikan 102, 104, 106, dan 108 CFU/ikan, masing-masing sebanyak 0,2 ml (Gambar 8 dan 9). Ikan uji dipelihara dalam ember dengan perlakuan aerasi dan penyiphonan Kematian ikan Rerata waktu kematian (Mean Time to Death, MTD) ikan pada uji Postulat Koch maupun uji patogenisitas diperhitungkan (Hubert 1980) sebagai berikut: n

ab

i i

MTD 

i 1 n

b

i

i 1

Keterangan: MTD ai bi

: Mean Time to Death (rerata waktu kematian) : waktu kematian pada jam ke-i (jam) : jumlah ikan uji yang mati pada jam ke-i (ekor)

Penghitungan Lethal Dosage 50 (LD50) bakteri pada uji patogenisitas dilakukan berdasarkan metode Dragstedt Behrens (Hubert 1980) sebagai berikut:

m  x1  d

50  % x1 % x11  % x1

log LD 75  x1  d

75% x1 % x11 % x1

log LD 25  x1  d

25 % x1 % x11  % x1

SE (m) 

0, 79( h ) IR n

Lethal Dosage 50 (LD50) berada pada interval: antilog [ m  1,96SE (m) ] cfu/ikan (pada tingkat kepercayaan 95%) Keterangan:

3

m : log LD50 x1 : log dosis bakteri di bawah LD50 d : selisih log dosis di bawah LD50 dan di atas LD50 % x1 : persentase kematian kumulatif pada dosis di bawah LD50 % x1+1 : persentase kematian kumulatif pada dosis di atas LD50 SE(m) : Standard Error log LD50 h : rata-rata interval log dosis bakteri IR : selisih log LD75 dan log LD25 n : rata-rata jumlah ikan uji pada tiap dosis bakteri Kualitas air Kualitas air pada uji patogenisitas bakteri diamati setiap lima hari pada pagi dan siang hari untuk melihat fluktuasinya. Beberapa parameter kualitas air yang diamati adalah salinitas, kandungan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), suhu, dan pH. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutatus) yang diambil berukuran dewasa 25 – 45 cm. Sampel menunjukkan gejala berupa pendarahan dibawah kulit (haemoragik), luka seperti borok pada bagian tubuh, luka kemerahan pada mulut, pengikisan pada sirip dan ekor (gripish), mata yang menonjol (exoptalmiah), hati yang pucat dan ginjal yang membengkak. Tabel 1. Isolasi Bakteri dari ikan yang diambil dari Karamba Jaring Apung Boneatiro Isolasi bakteri A B C D E F G H I

Tanda klinis Lesi pada bagian ekor Lesi pada bagian badan Lesi Mulut Borok pada bagian badan Mata Menonjol (exotalmiah) Ginjal Insang Gripis pada bagian sirip punggung Hati

4

Karakter Isolat

Vibrio Alginolyticus

Vibrio anguillarum

(A) N

Gram Motility

Vibrio Alginolyticus

Micrococcus luteus

Vibrio Alginolyticus

Vibrio Ordalii

Vibrio anguillarum

Vibrio Alginolyticus

(B)

Vibrio (carchariae) Harveyii (C)

(D)

(E)

(F)

(G)

(H)

(I)

N

N

N

P

N

N

N

N

Motyl

Motyl

Motyl

Motyl

Non Motyl

Motyl

Motyl

Motyl

Motyl

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

_

+

+

_

+

_

+

+

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

R

S

S

S

S

F

O

F

F

F

F

A/A

K/K

A/A

A/A

K/A

A/A

+

+

+

+

+(KH)

+(K)

+(KH)

+(KH)

+

+

+

+

Katalase Oksidase Produksi Indol Sensitifitas : NNovobiosin 0/129

F

F

A/A

A/A

O/F TSIA

+

+

+(KH)

+(KH)

Glucosa

F K/A +

+

_

Petumbuhan : TCBS McConkey

+

+

+(KH) +

+(KH) +

_ _

Karakteristik dan Identifikasi Hasil karakteristik pada tahap awal menunjukkan bahwa isolat merupakan anggota genus Vibrio sp dan Micrococcus sp (Tabel 2).

Tabel 2. Karakter isolat bakteri yang diisolasi dari ikan kerapu macan Di KJA Boneatiro Keterangan: S : Sensitif R : Resisten

K : Kuning H : Hijau

N : Negatif P : Positif

Hasil pengujian Postulat Koch menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri menyebabkan gejala penyakit pada ikan uji seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Mortalitas (%), rerata waktu kematian, dan gejala penyakit pada uji Postulat Koch

Kode

A Vibrio Alginolyticus

Mortalitas (%)

100

Rerata Waktu Kematian (Jam)

Gejala

18

Saat awal bergerombol, sisik gelap, gerakan diam, renang kadang membalik atas bawah, Haemoragik pada rahang bawah dan seluruh tubuh, perut bengkak, hepar besar pucat, ginjal bengkak

5

B Vibrio anguillarum C Vibrio (carchariae) Harveyii D Vibrio Alginolyticus E Micrococcus luteus F Vibrio Alginolyticus G Vibrio Ordalii H Vibrio anguillarum I Vibrio Alginolyticus

Kontrol

22,86

Haemoragik pada pangkal pinna abdomen, usus bengkak, hepar pucat, cairan kuning di perut.

63,43

Haemoragik pada rahang haemoragik pada pangkal abdomen, haemoragik operculum..

100

18,57

Diam di dasar, nyembul-nyembul pusat, Haemoragik pada rahang bawah dan seluruh tubuh, perut bengkak, hepar besar pucat, ginjal bengkak, gelembung renang membesar.

38

110

Bergerombol, warna sisik gelap atau terang.

100

100

bawah, pinna pada

100

18

Haemoragik pada rahang bawah dan seluruh tubuh, perut bengkak, hepar besar pucat, ginjal bengkak, dan gelembung renang membengkak.

100

69,71

Sirip dorsal mengikis, bercak merah pada bagian insang, tubuh gelap.

100

31,14

Sisik kehitaman, haemoragik pada bagian rahang bawah, perut keras

100

19,14

0

-

Haemoragik pada rahang bawah dan seluruh tubuh, perut bengkak, hepar besar pucat, ginjal bengkak, dan gelembung renang membengkak. Bergerombol, warna sisik gelap atau terang.

Isolat A, F, D, I, B, H, C dan G merupakan kelompok bakteri patogen yang dapat menyebabkan kematian ikan uji sebanyak 100% dengan rerata waktu kematian (MeanTime to Death, MTD) berturut-turut 18 jam, 18 jam, 18.57 jam, 19.14 jam, 22.86 jam, 31.14 jam, 63.43 jam dan 69.71 jam. Sedangkan pada isolat E merupakan isolat patogen yang menyebabkan kematian pada ikan uji sebanyak 38 % dengan rerata waktu kematian 110 jam. Isolasi pada ikan kontrol menunjukan ikan dalam kondisi yang sehat. Isolat bakteri yang dapat menyebabkan kematian 100% dari penelitian ini menunjukkan gejala infeksi yang hampir sama. Ikan mempunyai gejala Insang yang pucat, permukaan tubuh yang pucat, haemoragik (bercak kemerahan) pada tubuh, hal ini karena aktifitas salah satu komponen Extacellular products (ECPs) bakteri, yaitu haemolysin yang mampu melisis sel darah merah (eritrosit) (Sudheesh and Xu 2001) sehingga pecah dan keluar dari pembuluh, kemudian menyusup pada jaringan tubuh. Selanjutnya pengikisan pada sirip dan ekor (gripis) (Gambar 1) dan lesi pada bagian sirip ekor , organ hati mengalami bercak putih dan pucat, kerusakan ginjal pucat dan membengkak, ditandai dengan adanya cairan kekuningan pada rongga perut inang. Kerusakan organ ginjal berdampak pada hilangnya kemampuan penyaringan dan pengekskresian cairan sisa metabolisme pada tubuh, sehingga

6

terakumulasi pada rongga perut. Cairan tersebut berbahaya dan bersifat racun bagi inang karena merupakan sisa metabolisme yang seharusnya dikeluarkan dari tubuh. Hasil karakteristik dan identifikasi 9 isolat bakteri patogen adalah sebagai berikut : A. Isolat A, D, F, dan I Isolat bakteri A, D, F, dan I bersifat fermentatif, motil, gram negatif, memiliki enzim katalase dan oksidase, lysine dekarboksilase, arginin dehydrolase, sensitif terhadap O/129 dan Novobiocin, tumbuh pada suhu 30oC, tidak tumbuh pada NaCL 0%, Methyl Red (+), memanfaatkan D-Mannitol sebagai sumber energi, namun tidak mampu memanfaatkan D-xylose dan Laktosa. Tidak menghasilkan gas dari glucosa, mannitol, mannosa, galaktosa, dan trehalosa. Salah satu karakter khusus pada isolat ini adalah mampu menghasilkan H2S pada media Kliger Iron Agar (KIA). Keempat isolat bakteri diidentifikasikan sebagai Vibrio alginolyticus dengan kesesuaian karakter. B. Isolat B dan H Isolat bakteri B dan H berbentuk batang pendek (Short rod), gram negatif, motil, memiliki enzim katalase, oksidase, tidak mampu menghasilkan enzim lysin decarboksilase, arginin dehydrolase, ornitin dekarboksilase, tumbuh pada suhu 30oC, NaCL 0%, bersifat methyl red (+), mendegradasi gelatin, sensitif terhadap O/129 dan Novobiocin, memanfaatkan citrate dan D-mannitol sebagai sumber energi, menfermentasi glucosa, trehalosa, galaktosa, mannitol, maltosa dan mannosa. Isolat Bakteri B dan H diidentifikasikan sebagai Vibrio anguillarum dengan kesesuaian karakter. Kedua Vibrio spp memiliki beberapa karakter yang berbeda. Stain B dan H memiliki kemampuan menghasilkan indol yang berbeda. Hal ini merupakan sesuatu yang normal karena disamping memiliki variasi spesies, bakteri Vibrio juga memilki variasi strain yang diantaranya berupa variasi sifat biokimia (Hastein and Smith 1977 cit. Kamiso 1996; Schiewe and Crosa 1981 cit. Kamiso 1996; Muroga et al.1984 dalam Kamiso 1996). Holt et al. (1994) juga mengungkapkan terdapat ketidakstabilan sifat biokimia Vibrio spp. Vibrio anguillarum menyebabkan kematian 100% ikan uji dengan rerata waktu kematian 22,86 jam dan 31,14 jam. Gejala penyakit yang ditimbulkan berupa haemoragik maupun eritema pada beberapa organ tubuh (Pangkal sirip, rahang bawah), hepar pucat, dan ginjal bengkak. Ganzhorn (1994), mengungkapkan bahwa serangan Vibrio anguillarum menyebabkan eritema dan haemoragik pada pangkal sirip, perut, sekitar mulut, bercak-bercak darah pada otot. Apabila penyakit makin menjalar maka akan terjdi lesi pada jaringan kulit. Pembengkakan dan haemoragik juga terjadi pada organ dalam. C. Isolat C Isolat bakteri C diperoleh pada lesi bagian mulut. Bakteri berbentuk batang pendek (short rod), gram negatif, bersifat motil, memiliki enzim katalase, oksidase dan ornitin dekarboksilase, fermentatif, tumbuh pada suhu 30oC, NaCL 0%, Methyl red (+), sensitif terhadap Novobiosin dan O/129, resisten terhadap ONPG, memecah gelatin, memanfaatkan D-mannitol dan citrat sebagai sumber energi, memfermentasi glucosa, sukrosa, trehalosa, maltosa dan mannosa. Isolat bakteri C diidentifikasikan sebagai bakteri Vibrio (carchariae) harvey. Bakteri Vibrio carchariae mampu menyebabkan kematian pada ikan uji sebanyak 100% dengan rerata waktu kematian 63,43 jam. Gejala penyakit yang ditimbulkan berupa haemoragik pada operculum, haemoragik pada pangkal sirip perut, dan ginjal mengalami pembengkakan. Bakteri carchariae penyebab utama kematian yang tinggi pada ikan kerapu tikus yang dipelihara di Taiwan pada tahun 1993 (Yii et al dalam Austin 2007). D. Isolat E Isolat bakteri E diperoleh pada bagian mata (exoptalmiah) pada ikan sampel. Bakteri berbentuk coccus, koloni berwarna kuning, gram positif, oksidatif, non motil, memiliki enzim katalase dan oksidase, tumbuh pada suhu 30oC, NaCL 0%, mempunyai sensitifitas terhadap novobiosin, resisten terhadap 0/129 dan ONPG, memecah gelatin, tidak memanfaatkan citrat, tidak memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi. Bakteri ini diidentifikasikan sebagai bakteri Micrococcus luteus dengan kesesuain karakter. Berdasarkan uji Postulat Koch, bakteri Micrococcus luteus mampu menyebabkan kematian 38% dengan rerata waktu kematian 110,25 jam. Gejala penyakit yang ditimbulkan antara lain ikan keliatan pucat, hepar pucat dan ada flek pada usus. Conroy (1996) dalam

7

Austin and Austin (2007), menjelaskan bahwa telah mewabah penyakit tunggal, yang disebut micrococcosis di budidaya di Argentina. Namun, identifikasi agen penyebab tidak pasti. Namun, pada tahun 1990, sebuah "Micrococcus" telah dikaitkan dengan benih ikan rainbow trout. Selanjutnya di katakan pada ikan sekarat disebuah budidaya ikan ditemukan bakteri berbentuk Cocos gram positif, menunjukkan pengaturan karakteristik micrococcus. E. Isolat G Isolat bakteri G diperoleh dari insang ikan kerapu macan. Isolat ini memiliki koloni (berbentuk circulair, tepi entire, elevasi covex, dan non swarming). Sel berbentuk batang pendek (short rod), gram negatif, fermentatif, motil, menghasilkan enzim katalase, oksidase, tumbuh pada suhu 30oC, NaCL 0%, sensitif terhadap Novobiosin dan O/129, mendegradasi gelatin, tidak memanfaatkan citrat, ornitin, memfermentasi glucosa, sukrosa, Galaktosa, Mannitol, dan maltosa. Bakteri ini diidentifikasikan sebagai Vibrio ordalii, dapat menyebabkan kematian 100% dengan rerata waktu kematian 69,71 jam. Gelaja penyakit yang ditimbulkan berupa haemoragik pada beberapa organ tubuh (pangkal sirip, rahang bawah), hepar pucat dan ginjal bengkak. Hal ini sesuai dengean Gravningen et al., 2011 yang menyatakan bahwa ikan yang terinfeksi Vibrio ordalii mempunyai tanda-tanda kelainan eksternal, pendaharan pada rahang bawah, kerusakan insang, dan pendarahan disekitar pangkal siri. Patogenisitas bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu macan Pengamatan patogenisitas dilakukan terhadap bakteri Vibrio alginolyticus (Kode A). Pada postulat koch Vibrio alginolyticus merupakan bakteri yang paling cepat menyebabkan kematian ikan uji sehingga perlu dilakukan uji patogenisitas. Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa setelah 14 hari pengamatan, ikan yang diinfeksi bakteri dengan dosis 108, 106, 104 , dan 102 CPU/ikan mengalami kematian berturut-turut 90%, 76%, 48%, dan 28%. Kerapu macan yang diinfeksi Vibrio alginolyticus mengalami gejala penyakit yang bervariasi. Infeksi dengan dosis 108 CFU/ikan menunjukkan rerata waktu kematian lebih cepat yaitu 35 jam (ratarata ulangan). Selanjutnya dosis 104 dan 106 CFU/ikan menunjukkan rerata waktu kematian rata-rata 82 jam dan 50 jam. Dosis 108, 106 dan 104 CPU/ikan menyebabkan gejala penyakit sub akut berupa haemoragik pada daerah operculum, pangkal (sirip dada, sirip perut, sirip dubur), dan pada beberapa ikan uji terdapat haemoragik yang merata pada kepala, operculum dan bagian perut akibat infeksi bakteri Vibrio dapat dilihat pada (Gambar 2). Sementara dosis penyuntikan yang lebih rendah 102 CFU/ikan menyebabkan gejala penyakit kronis yang diawali haemoragik pada pangkal sirip, berlanjut munculnya nekrosis jaringan kulit, baik pada daerah perut maupun daerah pangkal perut, pangkal dada dan pangkal dubur dengan rerata waktu kematian rata-rata 109 jam. Hal tersebut berbeda dengan kelompok ikan kontrol yang tetap pada kondisi sehat tanpa adanya gejala penyakit dan kematian sampai pada jam pengamatan 42 (14 hari setelah infeksi). Tingkat patogenisitas Vibrio alginolyticus (Kode A), ditentukan berdasarkan nilai LD50 menggunakan metode Dragstedt Behrens seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Penghitungan patogenisitas V.alginolyticus (Kode A) berdasarkan Nilai LD50

Log dosis (x)

Ikan Uji (n)

Mati (r)

n-r

Σr

Σ( n-r )

Total

Acc.% mortality (Σr)/T x 100

2

21

6

15

6

33

39

15,40

4

21

10

11

16

18

34

47,06

6

21

16

5

32

7

39

82,05

8

21

19

2

51

2

53

96,23

8

Dari hasil perhitungan LD50 infeksi bakteri Vibrio alginolyticus bersifat ganas terhadap ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dimana kematian ikan uji sebesar 50% (LD50) terjadi pada dosis infeksi 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran antara dosis 7,11 x103 - 3,05 x 104 CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/ikan selama rerata waktu kematian 50 - 82 jam (rata-rata ulangan). Hal ini lebih rendah dosis LD50 sebelumnya, sehingga harus segera dilakukan upaya penanggulangan. Mudjani (2002) melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (ukuran 4-5 cm) menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5 x 106 CFU/ikan melalui penyuntikan intramuscular (IM), intraperitoneal (IP), dan intravenal (IV). Sementara itu Rajan et al, (2001) juga melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada jevenil ikan Cobia (Rachycentron canadum) menyebabkan kematian ikan uji dengan LD50 sebesar 4,4 – 6 x 106 CFU/ikan melalui penyuntikan IM dan IP. Sementara Kamiso (1996) menyebutkan bahwa Vibrio anguillarum yang diisolasi dari Chum salmon (Oncorhynchus keta) mempunyai LD50 antara 9,0 x 104 – 3,6 x 105 sel/ml, dan menunjukkan tingkat keganasan lebih rendah pada English Sole (Parophrys vetulus) yaitu LD50 berkisar 9,0 x 106 – 2,0 x 107 sel/ml. Terjadinya penyakit sangat berkaitan dengan faktor-faktor patogenisitas bakteri, kecepatan perkembangbiakan patogen, maupun faktor pertahanan inang dalam melawan patogen. Aktifitas haemolysis maupun leukosidin yang dihasilkan oleh Extracellular produk (ECPs) bakteri menjadikan faktor pertahanan bakteri untuk melawan pertahanan darah inang karena mampu melisis sel darah. Bakteri yang mampu bertahan tersebut akan masuk kedalam aliran darah sehingga menyebar ke seluruh sel tubuh inang maupun menuju organ target. Bakteri juga memilki faktor patogenisitas berupa enzim-enzim yang terdapat pada ECPs, diantaranya caseinase, gelatinase, amylase, phospolipase, lipase, chitinase, kolagenase, hyaluronidase, elastase, maupun proteinase yang mampu menguraikan senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana sehingga bakteri dengan mudah menerobos sel inang (Sudheesh and Xu 2001). Menurut Yushimitsu et al. (1986) parameter ekologi yang sesuai untuk kerapu (Epinephelus sp) adalah temperatur 24 – 31oC, Salinitas 30 -33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm, dan pH 7,8 – 8. Al-Qodri et al. (1999) menyebutkan bahwa kualitas air yang cocok untuk ikan kerapu tikus adalah suhu 28 – 32oC, salinitas 30 – 32 ppt, pH 7-8, serta DO >5 ppm. Pada penelitian ini, kualitas air masih berada pada kisaran yang sesuai untuk ikan Kerapu Macan (Epiinephelus fuscoguttatus) (Tabel 5). Kesesuaian juga didasarkan pada kondisi ikan kontrol yang tetap sehat. Tabel 5. kualitas Air pada Uji Patogenisitas Vibrio alginolyticus (kode A) Parameter

Suhu

DO

pH

Salinitas

Kontrol

29

3,9

7,7

32

10

2

29

3,9

7,7

32

10

4

29

3,9

7,7

32

10

6

29

3,8

7,8

32

10

8

29

3,8

7,8

32

KESIMPULAN 1.

2.

Bakteri patogen yang menyebab penyakit pada ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Keramba Jaring Apung Boneatiro Di Kabupaten Buton diidentifikasikan sebagai bakteri Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio (carchariae) harveyii, Vibrio ordalii dan Micrococcus luteus. Vibrio alginolyticus (kode A) menyebabkan patogen pada ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan nilai LD50 terjadi pada dosis infeksi 1,47 x 104 CFU/ikan, atau kisaran antara dosis 7,11 x 103 - 3,05 x 104 CFU/ikan atau (1,880 ± 1,169 ) x 104 CFU/ikan selama rerata waktu kematian 50 - 82 jam (rata-rata ulangan).

9

DAFTAR PUSTAKA Al-Qodri, A. H., Sudjiharno, dan Anindiastuti. 1999. Pemilihan Lokasi. In: P.Hartono, Anindiastuti, dan Sudaryanto (Eds). Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung: 10 – 19 Anonim, 1993. Telaah Kematian Massal Udang. Techner. Ed 09. Tahun III: 38 – 40 ______, 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu. APEC. Singapore dan SEAFDEC, Illoilo, Philippine. ______, 2007. Determinasi Bakteri Pathogen Penyebab penyakit Ikan. Jurusan Perikanan. Fakultas Perikanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. ______, 2009. Laporan Pemantauan HPI/HPIK Stasiun Karantina Ikan kelas II Betoambari Bau-Bau Buton. Afrianto dan Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta . Antoro, S., E. Widiastuti, dan P.Hartono. 1999. Biologi Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). In: P. Hartono, anindiastuti, dan Sudaryanto (Eds). Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung Austin, B and D.A. Austin. 1987. Bacterial and Fish Pathogens : Disease Farmed and Wild Fish. John Wile and Sons. Chichester. ____________________, 2007. Bacterial and Fish Pathogens : Disease Farmed and Wild Fish. Praxis Publishing Ltd, Chichester, UK. Printed in Germany. Buller, N.B. 2004. Bacteria From Fish and Other Aquatic Animals: A Practical Identification Manual. CABI Publishing. CAB. Internasional. Wallingford. Oxfordshire OX10 8DE.UK Cowan, S. T. 1974. Manual for the Identification of Medical Bacteria. Second Edition. Cambridge University. Cambridge.238p Goanzhortn, J. 1994. Vibriosis, In : J.C.Thoesen (Ed). Blue Book Versioan I Sugested Procedures for the detection and Identification of Certain Finfish and Shellfish Pathogens 4th Ed. American Fisheries Society : 35 -37 Gravningen et al. 2011. http://www.linkpdf.com/ebookviewer.php?url=http://www.pharmaq.no/Presentations/Aquasur_ordalii_KG.pdf. 02/28/2011 Hubert, J.J. 1980. Bioassay. Kendall/Hunt Publishing Company. Lowa. USA. Holt, J. G., P. H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T.Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative bacteriology. 9th Ed. Williams & Wilkins. Baltimore. Inglis, V., R.J. Robert, and N. R. Bromage. 1993. Bacterial Disease of Fishes. Blackwell Scientific Pub. London. 283p Irawan, A. 2000. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Solo

CV. Aneka.

10

Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Jordan,

E.O.., and Barrows. Philadelphia. 456p

1941.

Text Book of Bacteriology

40 Ed.

Saunders Company.

Jutono, J. Soedarsono, S. hartadi, S. Kabirun, S. Suhadi, dan D. Soesanto, 1973. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Umum untuk Perguruan Tinggi. Departemen Mikrobiologi Fakultas Pertanian. Universitas Gadja mada. 153p Kamiso, H.N. 1996. Vibriosis pada Ikan dan Alternatif Penanggulangannya. Jurnal Perikanan I. (I) : 78-86 Kurniastuty, P. Hartono, dan A. Hermanan. 1999. Hama dan Penyakit. In : P. Hartono, Anindiastuti, dan Sudaryanto (Eds). Pembenihan Ikan Kerapu Tifus (Cromileptes altivelis). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung Kordi, M. Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba Di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Culture Penaied Shrimp. Sec.4: Bacteria, Vibriosis-Culture and Identification. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana. Lightner, D. V., and C. J. Sindermann. 1988. Disease Diagnosis and Control in North American Marine Aquaculture. Development in Aquaculture and Fisheries Science. 17. Macfaddin, J. F. 1980. Biochemical Test for Identifcation of Medical Bacteria. Second Ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 528p Moeljopawiro, S., Sudjadi, H. M. Ismadi, S. Sodoadisewoyo, H. Hartiko, W.Asmara, T. Yuwono, dan Sismindari. 1992. Buku Monogram Genetika Molekuler. Minjoyo, H., Sudaryanto, dan E. Widiastuti. 1999. Pemeliharaan Larva. In: P. Hartono, Anindiastuti, dan Sudaryanto (Eds). Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung: 55-61 Malley, S.M.O., S.L.Mouton, D.A. Occhino, M.T. Deanda, J.R. Rashidi, K.L.Fuson, C.E.Rashidin, M.Y.Mora, S.M. Payne, and D.P.Henderson, 1999. Comparison of Heme Iron Utylizztion System of Pathogenic Vibrios. Journal of Bacteriology. Moayeri, M., and R. A. Welch. 1998. Bacterial Exotoxins. In: P. Williams, J. Ketley, G. salmond (Eds). Methods in Microbiology Bacterial Pathogenesis. Academic Press. New York. 27: 287-300 Marsambuana, A., dan Utojo. 2001. Identifikasi Spesies Ikan Kerapu Hasil Tangkapan yang Didaratkan di Perairan Laut Sekitar Sulawesi Selatan. In: A.Susrajat, E. S. Herawati, A.Poernamo, A. Rukyani, J.Widodo, dan E. Danakusumah (Eds). Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Des Farming di Indonesia. Depaetemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Japan Internasional Cooperion Agency. Murtidjo,B. A., Budidaya Kerapu Dalam Tambak. 2002. Penerbit Kanisius.Yogyakarta.

11

Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Ringkasan Disertasi. Universitas Brawijaya Rajan, P.R., C. Lopez, J.H-Y Lin, and H-L Yang. 2001. Vibrio algynolyticus Infection in Cobia (Rachycentron canadum) Cultured in Taiwan. Bulletin of the European Association of Fish Pathologists. Plezar, Michael J. dan E.C.S. Can 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid 1. UI-Press, Jakarta. Panigoro N, Indri A, Meliya B, Prayudha DCS, dan Kunika W. 2007. Teknik Dasar Histologi dan Atlas Dasar-Dasar Histopatologi Ikan. Departeman Kelautan dan Perikanan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi. JICA Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Schaperclause, W. 1991. Fish Disease 1. AA. Balkema/Rotterdam. 588p Sarwono, A, Widodo, dan E.B. Sri Haryani. 1993. Pendederan. In: P. Hartono, Anindiasturi, dan Sudaryanto (Eds). Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Departemen Pertanian. Direktorat Jederal Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung. Sarono,A, Widodo, dan E.B.Sri Haryani. 1993. Deskripsi Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Edisi kedua. Pusat Karantina Pertanian dan Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta. Sudheesh, P. S. and H-S Xu. 2001 Pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus in Tiger Prawn Penaeus monodon Fabricius: Possible Role of Extracellular Proteases. Aquaculture. 196: 37-46 Sugama, K., dan A. Wijono. 1995 Teknologi Pembenihan dan Pengadaan Ikan laut. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Karamba Jaring Apung bagi Budidaya Laut. Jakarta Yushimitsu, T., H. Eda., and K. Hiramatsu. 1986. Grouper Final Report Marine Culture Research and Development in Indonesia. ATA-192. JICA: 103-129 Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny. 1998. Panduan untuk Diagnosa Penyakit Ikan dan Krustase Laut di Indonesia. JICA dan Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol. 44p Zoonneveld, N., E.A. Huisman dan J.K.Boar. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

12