DINAMIKA INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT KETURUNAN

Download Dinamika Interaksi Sosial Masyarakat Keturunan Madura di Dusun Pijetan,. Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun 1950-2012. Ole...

0 downloads 558 Views 63KB Size
Dinamika Interaksi Sosial Masyarakat Keturunan Madura di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun 1950-2012 Oleh: Qaharrudin Widyarto 1

Abstrak: Masyarakat keturunan Madura merupakan salah satu kelompok masyarakat yang hidup diantara Suku Jawa yang memiliki identitas etnik Madura di dalam kehidupannya, identitas yang berbeda saat berinteraksi dengan Suku Jawa. Dari interaksi dengan identitas etnik Jawa yang dominan tersebut menjadikan masyarakat keturunan Madura mengalami perubahan-perubahan yang mempengaruhi identitas etnik yang mereka akui. Perubahan tersebut terjadi pada bidang mata pencaharian, pendidikan, agama, tradisi, dan bahasa, yang dari perubahan ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh interaksi yang dilakukan oleh masyarakat. Penggalian data dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah (historical method). Hasil penelitian adalah (1) masyarakat kampung Madura terbentuk dan berkumpul dalam satu wilayah karena adanya ikatan kekerabatan yang kuat, serta menempati wilayah milik migran Madura pertama di wilayah ini; (2) interaksi sosial yang terjadi dipengaruhi oleh tradisi, bahasa, agama, pendidikan dan pekerjaan, yang kemudian menyebabkan pemudaran identitas etnik Madura; (3) pembelajaran sejarah yang mengedepankan pemahaman siswa terhadap lingkungan sekitarnya adalah mutlak dibutuhkan. Kata kunci: dinamika interaksi sosial, masyarakat keturunan Madura, Identitas etnik PENDAHULUAN Desa Blayu merupakan salah satu daerah di kabupaten Malang yang sebagian penduduknya memiliki hubungan etnisitas dengan Suku Madura. Leluhur mereka adalah migran dari Bangkalan dan Sampang yang menempati wilayah ini sekitar zaman perang kemerdekaan Indonesia. Keberadaan mereka di wilayah Desa Blayu dan menjadikan sebagian wilayahnya sebagai daerah masyarakat beridentitas etnik Madura, daerah ini disebut oleh penduduk dengan sebutan Kampung Madura.

1

Mahasiswa jurusan Sejarah, FIS UM Angkatan 2007

Kampung Madura yang telah ada selama hampir enam puluh tahun lebih ini menjadi saksi dinamika masyarakat Madura selama beberapa generasi, dari masyarakat migran yang hidup dalam kelompok sampai masyarakat yang membaur dengan masyarakat lain yang berbeda etnik dan menjadi masyarakat keturunan Madura. Masyarakat keturunan Madura memiliki identitas dua etnik, yaitu etnik Jawa dan etnik Madura, yang masing-masing identitas diterapkan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa identitas etnik sebagai Orang Madura kalah dominan dengan status sebagai bagian dari Etnik Jawa. Sebagian dari mereka dapat dikatakan sudah tidak memiliki identitas etnik Madura, dan sebagian lagi masih memiliki identitas tersebut dalam bentuk tradisi dan bahasa. Hal ini disebabkan oleh interaksi yang dilakukan dalam waktu yang lama dengan etnik Jawa, interaksi yang dilakukan perwujudan peran mereka sebagai masyarakat Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Perjalanan interaksi antar kedua masyarakat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat, yang di dalamnya terdapat moment perubahan pada waktu-waktu tertentu, perubahan yang menjadikan semakin dinamisnya interaksi yang harus dilakukan masyarakat tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sejarah datangnya etnik Madura ke wilayah Desa Blayu, kemudian untuk mengetahui pengaruh dinamika interaksi sejak kedatangan etnik Madura sampai dewasa ini terhadap identitas etnik sebagai keturunan Madura, sehingga dari hal tersebut dapat dirumuskan nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam pendidikan kemasyarakatan maupun pendidikan dalam bentuk formal.

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan digunakan metode penelitian sejarah (historical method) dengan alasan data yang digali adalah sejarah dan perkembangan suatu masyarakat selama beberapa periode. Adapun langkah penelitian sejarah yang digunakan peneliti sesuai dengan metode Kuntowijoyo (2005:91) yaitu melakukan pemilihan topik, kemudian dilanjutkan dengan heuristic, yaitu upaya penelitian untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah baik berupa data lisan, dokumen tertulis maupun artifact. Setelah data terkumpul dilakukan verifikasi untuk menilai dan meneliti data sejarah yang telah ditemukan, terutama menyangkut otensitas dan kredibilitas data tersebut. Setelah data dianggap sudah benar dilakukan penafsiran dan penyimpulan dari seluruh data yang didapat untuk mendapatkan keterangan yang satu, keterangan tersebut kemudian ditulis dalam bentuk karya tulis yang selaras dan kronologis.

HASIL PEMBAHASAN Keberadaan masyarakat keturunan Madura di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak tidak terlepas dari kedatangan Suku Madura yang pertama kali dan tinggal di wilayah ini yaitu Haji Idris bersama keluarganya, yang diperkirakan diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1940-an. Kedatangan mereka di daerah Malang merupakan bagian dari migrasi yang dilakukan oleh sebagian Suku Madura, khususnya daerah Turen. Berdasarkan Volkstelling 1930, daerah Turen merupakan wilayah terbesar kedua yang menjadi wilayah migrasi masyarakat Madura di wilayah Malang, dengan prosentase migrasi 56,2% dengan penduduk Jawa hanya 29,5%, dengan mayoritas masyarakat Madura pendatang berasal dari

Sampang dengan jumlah 6.832 orang, sedangkan dari Bangkalan berjumlah 6.420 orang. Pada awal tiba di daerah yang sekarang menjadi wilayah Dusun Pijetan, Desa Blayu, keadaan wialayah yang ada adalah penduduknya masih berjumlah sedikit karena pemukiman penduduk lebih terkonsentrasi pada daerah yang dekat jalan besar dan masih berbentuk bukit yang terdapat pepohonan yang lebat. Haji Idris dan keluarganya kemudian membuka lahan di daerah itu (babat alas/bedah kerawang) dan menempati wilayah tersebut dan menjadi cikal bakal terbentuknya kampung Madura di wilayah ini. Pada sekitar tahun 1950, migrasi Suku Madura ke wilayah ini semakin bertambah jumlahnya, mereka menempati wilayah Dusun Pedukuhan yang sebagian besar lahannya telah dimiliki oleh Haji Idris. Semakin banyaknya migrasi Suku Madura tersebut disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adanya kegiatan toron yang dilakukan ke daerah Sampang dan Bangkalan. Salah satu dari Suku Madura yang ikut bermigrasi adalah keluarga Haji Hasan yang kemudian menjadi tokoh agama wilayah Desa Blayu. Kehadiran Suku Madura di wilayah ini menjadi bagian dari masyarakat perintis dan pembangun Desa Blayu, hal inilah yang menjadikan interaksi antara Suku Jawa dan Suku Madura tidak mengalami konflik yang didasarkan perbedaan etnik. Setelah meninggalnya Haji Idris pada sekitar tahun 1955, masyarakat kampung Madura masih tetap melakukan tradisi toron sebagai bentuk cara menjaga hubungan keluarga dengan Suku Madura, hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat kampung Madura masih mengakui identitas etnik mereka sebagai bagian dari Suku Madura, walaupun mereka berada di wilayah Jawa dan tidak secara langsung

mengenal budaya Madura. Identitas etnik lain yang masih sering digunakan adalah dalam penggunaan bahasa Madura dalam berinteraksi dengan sesama migran dari Madura, mereka menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa kelompok dan untuk menunjukkan identitas mereka. Menurut diagram pergeseran bahasa milik Fishman (1972) (dalam Chaer & Agustina. 2004:144) dapat dikatakan bahwa pada periode ini merupakan periode bilingual bawahan atau masa bahasa ibu (daerah asal) masih mendominasi dalam komunikasi sehari-hari masyarakat. Pada awalnya, pemukiman masyarakat Madura berkumpul di wilayah Dusun Pedukuhan Lor, sedangkan Suku Jawa berada di wilayah Dusun Krajan dan ada sebagian di wilayah Dusun Pedukuhan Kidul. Pola pemukiman tersebut akhirnya memperkuat dan mempengaruhi identitas etnik masing-masing suku, sehingga masyarakat Madura masih melakukan tradisi seperti yang mereka lakukan di Pulau Madura, misalnya penyembelihan sapi saat ada hajatan dan kesenian samaan. Di sisi lain masyarakat Madura juga belajar menggunakan budaya Jawa, demikian pula dengan Suku Jawa yang belajar tentang bahasa Madura, hal ini dapat dilihat dari adanya tradisi samaan yang diadaptasi dengan menggunakan budaya Jawa. Seiring berjalannya waktu, Interaksi masyarakat kampung Madura dengan Suku Jawa sebagai bagian dari masyarakat Desa Blayu terus dilakukan sampai akhirnya kedua masyarakat tersebut membaur. Dari pembauran ini, terutama dalam bentuk pernikahan memunculkan masyarakat keturunan Madura, yaitu suatu masyarakat yang memiliki identitas etnik Madura dan hidup diantara Suku Jawa. Selain pernikahan, interaksi juga dilakukan di bidang pendidikan dan bidang mata

pencaharian. Dari interaksi ini terjadi penyesuian-penyesuaian yang dilakukan oleh kedua Suku untuk mencapai integrasi sebagai satu masyarakat. Peran masyarakat kampung Madura dalam sejarah Desa Blayu sangatlah penting, selain sebagai perintis pembangunan desa, keberadaan Haji Hasan sebagai salah satu dari masyarakat kampung Madura dan guru agama menjadikan Suku Jawa dan Suku Madura bersikap saling menghormati. Haji Hasan bisa dikatakan menjadi leader kampung Madura menggantikan peran Haji Idris sebagai “penguasa lokal” yang telah meninggal dunia, bahkan pada peristiwa 1965 beliau menjadi pemberi “kartu hijau” atau pembebasan bagi mereka yang dianggap sebagai golongan kiri. Dari hal ini dapat dikatakan integrasi kedua masyarakat terjaga oleh sebab adanya tokoh berpengaruh dan disegani oleh masyarakat, baik Suku Madura maupun Suku Jawa. Dalam perkembangan selajutnya, kehidupan masyarakat kampung Madura mulai mengalami perubahan, salah satu perubahan tersebut adalah dibukanya SD Inpres Blayu pada sebelum tahun 1975, yang semakin meningkatkan jumlah penduduk yang bersekolah dan semakin mendekatkan masyarakat kampung Madura pada kehidupan Jawa karena mayoritas teman sekolahnya dan gurunya adalah Suku Jawa. Adapun kondisi pendidikan sebelumnya, pendidikan masyarakat lebih diorientasikan pada pendidikan pondok pesantren, dan yang bisa menempuh pendidikan ini adalah mereka yang berstatus golongan atas. Selain pendidikan formal, pendidikan agama Islam masih tetap dilakukan di masjid Dusun yang dibimbing oleh Haji Hasan dan keturunannya, pendidikan pondok pesantren juga masih tetap dilakukan oleh masyarakat.

Perubahan lainnya adalah pada mata pencaharian masyarakat keturunan Madura, yaitu perubahan komoditi pertanian dari padi dan ketela menjadi mendong. Perbedaan pola pertanian mendong dengan padi menyebabkan perubahan pada interaksi antara pemilik pertanian dengan buruh tani, yang menjadi lebih sering bekerjasama karena siklus tanam panen mendong terjadi dalam waktu tiga sampai empat bulan. Selain itu, mulai banyaknya masyarakat keturunan Madura yang bekerja di sektor perdagangan dan penambang pasir. Meningkatnya perdagangan semakin banyak diminati masyarakat ketika mulai ramainya pasar Wajak pada sekitar tahun 1970. Meskipun demikian mayoritas penduduk tetap bekerja di bidang pertanian. Dengan adanya perubahan di bidang pendidikan dan ekonomi ini membuat masyarakat keturunan Madura semakin rutin dan intens dalam berinteraksi dengan Suku Jawa sehingga semakin mempercepat pembauran budaya dan mempengaruhi pemudaran identitas etnik masyarakat. Salah satu tanda terjadinya Pergeseran identitas etnik adalah pemudaran bahasa Madura yang telah mencapai tahap bilingual setara, yaitu bahasa Madura dan Bahasa Jawa digunakan secara bergantian sesuai dengan kondisi. Bahasa Madura masih cukup sering digunakan oleh penduduk, namun mulai mengalami pergeseran seiring pernikahan antara masyarakat keturunan Madura dengan masyarakat Madura yang banyak, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah yang dekat dengan Suku Jawa (Chaer & Agustina. 2004:144). Tradisi masyarakat yang dapat dikatakan identitas etnik Madura juga mulai mengalami perubahan, seperti mulai tidak diadakannya tradisi samaan, Adapun tradisi-tradisi yang bernafaskan Islam masih dipertahankan oleh masyarakat

sehingga pada masa sekarang tradisi tersebut masih tetap ada. Tradisi toron terus yang dilakukan, meskipun terjadi perubahan pada tata cara melakukan toron, yang sebelumnya toron dilakukan dengan jalan kaki dan berperahu sambil membawa bahan makanan berubah dilakukan dengan mengendari kendaraan tanpa membawa bahan makanan yang banyak. Perubahan pada tradisi toron ini menunjukkan perubahan identitas etnik, karena tradisi toron yang awalnya bentuk solidaritas atau pengakuan diri sebagai bagian dari Suku Madura menjadi acara tahunan untuk kegiatan nyelasih. Pada tahun 1988 sampai tahun 1992, kembali terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat keturunan Madura, konflik yang berakar pada masalah perbedaan pendapat tentang dukungan terhadap partai politik, yaitu antar pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dengan pendukung partai Golkar (Golongan Karya) pada era Orde Baru, Temuan penelitian berupa konflik yang terjadi ini bila dianalisis dengan menggunakan teori konflik fungsional milik Lewis Coser maka dapat dikatakan bahwa konflik tersebut dapat digolongkan kepada konflik non-realistik, karena konflik ini didasari dari masalah kepercayaan masyarakat (Susan. 2009:55). Konflik ini merupakan pemicu dinamika masyarakat sekaligus penguat identitas masyarakat sebagai pendukung partai Islam di Indonesia. Konflik antar partai ini kemudian menjadi kekuatan integrasi masyarakat sebagai in-group sehingga terbentuk suatu kesatuan pendukung partai yang berlatarkan agama (Susan. 2009:54). Hal itu bisa dilihat dari perkembangannya, yang sebagian masyarakat masih menjadi pendukung partai Islam, terutama yang dibawah naungan NU. yaitu PKB (Partai Keadilan Bangsa).

Menurut beberapa penelitian seperti yang dilakukan Mien A. Rifai (2009), Akhmad Khusyairi (1982), Hermawan N (2004), dukungan masyarakat Madura terhadap partai Islam adalah wajar adanya karena kebudayaan Madura dan ajaran Islam sudah membaur, bahkan dikatakan masyarakat Madura sendiri sampai tidak bisa membedakan mana budaya Madura dan mana ajaran Islam. Salah satu faktor pendorong bertahannya keadaan ini adalah peran pondok pesantren sebagai pengarah santrinya untuk mendukung partai Islam, terutama partai yang di bawah naungan NU karena sebagian besar pondok pesantren merupakan bagian dari NU. Dari hasil penguatan identitas sebagai umat Islam dari konflik antar partai, mendorong sebagian masyarakat (khususnya generasi muda) untuk makin giat memperkuat identitas keislaman mereka dengan belajar lagi mengenai agamanya tersebut. Dalam proses belajar agama tersebut, mereka mendapati hal yang berbeda dari yang mereka laksanakan sebelumnya sehingga mereka merasa harus menerapkan hal yang baru dan dianggapnya benar tersebut. Bagi masyarakat generasi tua yang telah mengalami penguatan identitas dan merasa yang mereka yakini adalah mutlak benar menjadikan mereka kurang bisa menerima perubahan baru dalam hal yang mereka yakini tersebut, sehingga terjadilah konflik yang didasari perbedaan pendapat tentang ajaran agama. Konflik yang terjadi mulai mengalami peredaman masalah, seiring dengan mulai masuknya penceramah-penceramah agama yang mulai masuk ke dalam lingkungan masyarakat keturunan Madura ini, dan semakin sedikitnya lulusan pondok pesantren NU yang bisa menjadi aliansi generasi tua untuk menghadapi kelompok masyarakat yang mengalami perubahan.

Terlepas dari konflik yang terjadi, pada periode tahun 1988 sampai 1998, pertanian mendong di Dusun Pijetan mengalami keberhasilan, bahkan beberapa petani atau pemilik lahan sempat menjadi juragan mendong sehingga meningkatkan interaksi masyarakat sebagai pemilik lahan dan penggarap sawah maupun sebagai penyedia bahan untuk para perajin tikar mendong. Keadaan ini menjadikan masyarakat keturunan Madura memiliki hubungan yang rutin dan semakin membaur dengan Suku Jawa, baik demi kepentingan ekonomi ataupun kebutuhan sebagai bagian dari masyarakat. Mereka mengalami suka duka dalam berusaha mengembangkan potensi daerahnya sehingga ikatan perasaan sebagai rekan berjuang menjadikan masyarakat keturunan Madura lebih dekat dengan Suku Jawa. Pada tahun 1997 dan tahun 1998 terjadi perubahan lagi yang disebabkan oleh keadaan pemerintahan Negara pada masa itu, yaitu terjadinya krisis moneter dan bergantinya pemerintahan dari orde baru menjadi revolusi. Perubahan ini mempengaruhi kehidupan masyarakat keturunan Madura, salah satunya adalah menurunnya perekonomian masyarakat Blayu seiring dengan semakin sulitnya mengelola pertanian mendong, Perubahan tingkat nasional tersebut juga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap politik, yang terwujud dalam bentuk penurunan tingkat konflik yang didasarkan oleh perbedaan partai. Masyarakat lebih memilih memikirkan keadaan ekonominya daripada kepentingan politik terhadap satu partai tertentu. Pasca orde baru, masyarakat mulai mengalami perubahan-perubahan lagi sebagai bentuk adaptasi terhadap keadaan yang dihadapinya. perubahan tersebut dapat dilihat pada bidang mata pencaharian, yaitu semakin berkembangnya

pertanian mendong di Desa Blayu dan pengembangan usaha sentra kerajinan tikar mendong. Selain itu, beberapa pemilik pertanian mendong memanfaatkan air sawah yang sebelumnya hanya untuk pertanian menjadi berfungsi juga sebagai tempat untuk melakukan budidaya ikan (program Mina mendong), Mengenai perubahan pendidikan adalah banyak anak-anak yang sudah diperkenalkan dengan pendidikan formal sampai tingkat SMA bahkan tingkat perguruan tinggi. Di lain pihak, perkembangan tingkat pendidikan formal memiliki pengaruh pada pendidikan pondok pesantren, yaitu menjadi kalah menarik dengan pendidikan umum. Hal ini disebabkan adanya pendapat bahwa sistem pendidikan pondok pesantren yang ketat menyebabkan anak-anak tidak suka dan merasa tidak kuat untuk sekolah di pondok. Dewasa ini, hanya sebagian masyarakat keturunan Madura yang masih bisa menggunakan bahasa Madura, bahasa yang digunakan cenderung ke bahasa Madura tingkat menengah (bhasa engghi-enten). Pemudaran bahasa Madura bisa disebabkan oleh beberapa faktor, pertama tidak adanya pewarisan bahasa Madura kepada generasi penerus. Kedua, tuntutan masyarakat keturunan Madura untuk menggunakan bahasa Jawa lebih besar. Pemudaran bahasa ini dapat dijadikan indikator pemudaran identitas etnik/pengakuan diri sebagai bagian dari Suku Madura, meskipun mereka tetap mengakui leluhur mereka berasal dari Madura. Dari hal ini dapat dikatakan telah terjadi pemudaran identitas etnik Madura dalam masyarakat, pernyataan ini diperkuat dengan data kependudukan yang menyatakan bahwa tidak ada penduduk di Desa Blayu yang beretnik Madura. Meskipun terjadi pemudaran identitas etnik, tetapi tetap ada beberapa tradisi yang bertahan yaitu tradisi yang berkonsepkan agama, seperti tradisi cegukan dan

tradisi ter ater. Pada beberapa keluarga kegiatan toron berubah bentuk menjadi pertemuan keluarga tahunan. Disamping itu ada penjodohan antar kedua masyarakat yang mempunyai pola, yaitu pihak laki-laki dari Madura sedangkan pihak perempuan dari daerah Blayu. Hal ini mengidentifikasikan pengakuan masyarakat terhadap hubungan keluarga antar masyarakat keturunan Madura di Dusun Pijetan dengan Suku Madura di daerah Sampang dan Bangkalan. Adapun mengenai relevansi pendidikan dari penelitian ini adalah pentingnya kemampuan yang didapatkan melalui pengalaman berinteraksi dengan masyarakat, kompetensi individu yang mampu merubah masyarakat menjadi lebih baik, dan kekuatan historis pada masyarakat bisa menjadi pengikat yang kuat dan penjaga keutuhan masyarakat. Adapun penerapannya dalam pembelajaran sejarah berupa saran bahwa seharusnya tidak hanya menyajikan materi tentang sejarah nasional maupun sejarah dunia, tetapi juga tentang fakta-fakta masa lalu dari keadaan sekitar peserta didik, terutama pada keadaan sosial budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat, selain itu perlu ditambah adanya pemformatan kembali bentuk materi sejarah yang disampaikan dalam pendidikan sejarah di sekolah.

KESIMPULAN Hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) keberadaan masyarakat keturunan Madura di Desa Blayu diawali kedatangan keluarga Haji Idris pada masa sebelum kemerdekaan. Keberhasilannya dalam membuka lahan di daerah ini menarik suku Madura dari Sampang dan Bangkalan untuk ikut bermigrasi ke wilayah Desa Blayu dan membentuk kampung Madura di wilayah

ini. (2) dinamika interaksi dalam kehidupan masyarakat keturunan Madura disebabkan oleh adanya interaksi dengan masyarakat Jawa melalui sarana-sarana pembauran berupa lahan pertanian sebagai tempat bekerja dan tempat mereka memperoleh pendidikan, hal ini kemudian berpengaruh pada pemudaran identitas etnik Madura. Pemudaran juga disebabkan oleh melemahnya interaksi antara Suku Madura dengan masyarakat keturunan Madura yang dapat dilihat dari dinamika tradisi toron. Pengaruh pemudaran identitas etnik ini dapat dilihat dari pergeseran bahasa dan masuknya aliran agama Islam yang berbeda dengan yang telah umum dianut masyarakat Madura. Meskipun demikian, masih ada tradisi kultural yang terjaga karena masih sesuai dengan kehidupan masyarakat sebagai keturunan Madura. (3) nilai pendidikan yang diperoleh adalah kompetensi individu mampu merubah masyarakat, dan kekuatan historis dalam masyarakat bisa berperan sebagai pengikat yang kuat dan penjaga keutuhan masyarakat.

Daftar Rujukan Departement van Economische Zaken. Volkstelling 1930 deel III: Inheemsche Bevolking van Oost-Java. Batavia: Landsdrukkerij, 1934 Chaer, A & Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta Jonge, H.D. 1989. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: CV. Rajawali Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka. Susan, N. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group