DINAMIKA PEMANFAATAN HUTAN OLEH SUKU ANAK DALAM BATHIN IX DI DUSUN SENAMI KABUPATEN BATANGHARI THE DYNAMICS OF FOREST USE BY SUKU ANAK DALAM BATHIN IX IN VILLAGE SENAMI OF BATANGHARI REGENCY Asnelly Ridha Daulay Balitbangda Provinsi Jambi Jalan Nur Atmadibrata No. 1A Telanaipura Jambi Telp/fax. 0741-669352 e-mail:
[email protected] Dikirim: 24 Januari 2013; direvisi: 13 Februari 2013; disetujui: 18 Maret 2013 Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui kondisi terkini Suku Anak Dalam dari kelompok Bathin IX yang menetap di tengah kawasan hutan lindung Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Senami. Penelitian bersifat deskriptif eksploratif, pemilihan lokasi secara purposif, penetapan jumlah responden secara proporsional dan tehnik pengambilan sampel dengan metode non random-purposive sampling. Dapat disimpulkan warga SAD telah meninggalkan kegiatan eksploitasi hutan dan beralih menjadi petani kebun karet dan sawit. Mereka menyadari status Tahura sebagai hutan lindung dan mematuhinya, walaupun tak sepenuhnya setuju karena status tersebut membatasi pendapatan dari jual beli hasil hutan. Ancaman terbesar terhadap Tahura saat ini berasal dari warga pendatang yang terlibat pembalakan liar dan mendirikan pemukiman di kawasan Tahura. Ke depannya warga SAD menginginkan diberi pelatihan life skill serta izin mengolah lahan hutan yang gundul untuk ditanami karet dan sawit. Kata kunci : suku anak dalam; hutan; matapencaharian; keahlian
Abstract This study aims at updating the current condition of indigenious people of Suku Anak Dalam (SAD) from the tribe of Bathin IX, that live in the protected forest of Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Senami. It is a descriptive explorative research, the location chosen purposively, the number of respondents taken proporsionally using non random-purposive sampling. It can be concluded that the SAD had transformed their ways of earning living from forest exploitation to be a rubber or oil palm farmers. They are aware of TAHURA status as a protected forest and obidient, though not fully agree with that since it prohibits them from getting more income from selling of the forrest products. The real threats toward TAHURA may come from the migrants that get involved in illegal logging and establish residency inside TAHURA. The SAD is looking forward to having life skill training and permit from government to plan rubber or oil palm in the non-productive area of TAHURA. Keywords : suku anak dalam; forest; livelihood; skills
PENDAHULUAN Suku Anak Dalam atau Orang Dalam atau kelompok Bathin IX menurut Sukmareni (2008), merupakan komunitas yang hidup menetap, memenuhi kebutuhan hidup dari petalangan dan mengambil hasil hutan. Komunitas Batin IX telah berinteraksi dengan orang luar sejak masa penjajahan Belanda. Eksplorasi minyak bumi dan dibukanya sejumlah ruas jalan menyebabkan daerah-daerah pemukiman Bathin IX terbuka bagi kedatangan orang luar sehingga terjalin interaksi diantara mereka. Dengan adanya pembentukan desa-desa baru, masyarakat Batin IX sekarang tersebar di 18 desa yaitu Naga Sari, Pelempang, Nyogan, Tanjung Pauh 39, Merkanding, Tanjung Lebar, Ladang Peris, Kilangan, Sengkawang, Pompa Air, Bungku, Jebak, Jangga Aur, Muara Singoan, Pemusiran, Lubuk
Napal, Lamban Segatal dan Sepintun. Meski telah berbaur dengan masyarakat Melayu namun adat dan budaya SAD masih dipertahankan, diantaranya ritual Basale, yakni ritual untuk menyembuhkan orang yang sakit kronis dengan bantuan dukun Basale. (Sukmareni, 2008) Seiring derasnya alihfungsi hutan menjadi kawasan perkebunan sawit dan karet serta kegiatan pembalakan liar, kehidupan warga SAD di kawasan ini semakin terjepit. Keleluasaan mereka memanfaatkan hutan tereduksi secara signifikan oleh peraturan pemerintah menyangkut konservasi hutan. Selain itu warga SAD harus berhadapan dengan pihak swasta yang memperoleh hak pengelolaan resmi hutan dari Pemerintah Provinsi Jambi dan warga non SAD atau pendatang ilegal di kawasan hutan. Kondisi ekonomi SAD jauh tertinggal dibanding suku lain. Posisi mereka juga lemah di
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin Ix di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 35
depan hukum akibat tak memiliki bukti kepemilikan lahan, pendidikan dan keterampilan yang kurang. Banyak SAD menjadi pengemis dan penderita busung lapar. (republika.co.id) Karakteristik SAD Bathin IX Jumlah penduduk SAD khusus dari kelompok Bathin IX belum diketahui secara pasti karena selama ini Pemerintah menyamakan antara Orang Rimba dengan SAD Bathin IX meskipun karakteristik hidup mereka berbeda. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, populasi SAD Bathin IX plus Orang Rimba di Provinsi Jambi mencapai 3.198 orang, meliputi 1.610 orang laki-laki dan 1.588 orang perempuan yang tersebar di lima wilayah kabupaten se-Provinsi Jambi. (berita21.com)
yang mengacu kepada teori Perubahan Ibnu Khaldun, orang Badui yang hidup nomaden memiliki kehidupan yang sukar dan sederhana. Orang Barber dan Non Badui bertani sementara Badui hidup di Padang Pasir dengan menunggang unta. Orang Badui hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup yang paling sederhana namun inilah yang menimbulkan keberanian yang besar dan tingkat menentukan nasib sendiri yang sangat tinggi serta solidaritas yang kuat. Ketika orang Badui mulai hidup menetap, kemerosotan hampir terjadi di semua aspek kecuali kehidupan kebendaan. Orang menetap sangat tertarik pada jenis-jenis kesenangan hidup, kegemaran tersebut menyebabkan mereka malas, mengikis kualitas keberanian dan kekuatan,
Tabel 1. Populasi SAD di Provinsi Jambi Tahun 2010 NO 1 2 3 4 5 6
KABUPATEN
Merangin Sarolangun Batang Hari Tanjab Barat Tebo Bungo TOTAL (orang) Sumber : http://berita21.com
POPULASI SAD (ORANG) LAKI-LAKI PEREMPUAN 439 419 537 558 40 39 31 26 420 403 143 143 1.610 1588
Generasi muda SAD kelompok Bathin IV yang lahir pasca tahun 1974, umumnya hanya mengetahui kalau mereka adalah Suku Anak Dalam, meskipun pola hidup mereka berbeda dengan Orang Rimba. Pemerintah menamakan kedua kelompok tersebut sebagai Suku Anak Dalam. Pola pendekatan pemerintah terhadap kelompok ini juga disamakan, sehingga banyak program yang diberikan tidak tepat sasaran. (Sukmareni, 2008) Menurut Purba (2005) terdapat tiga tipe masyarakat peramu; (1) Masyarakat peramu pemburu, mereka cenderung menghindari kontak dengan masyarakat lain, hidup dari hasil hutan dan berkehidupan social egaliter, (2) masyarakat peladang berotasi, mereka memanfaatkan kesuburan tanah dan potensi lingkungan hutan yang relatif luas untuk memenuhi kebutuhan hidup, ladang mereka buka dengan cara membakar. Di luar kehidupan berladang, kaum laki-lakinya masih sering berburu dan meramu di hutan, dan (3) Masyarakat peladang menetap, yaitu masyarakat yang telah mengembangkan kehidupan bertani secara menetap, biasanya hidup dari tanaman pertanian ekspor. Belasan tahun terakhir interaksi kelompok masyarakat SAD Bathin IX dengan masyarakat semakin meningkat. Interaksi dan perubahan gaya hidup menyebabkan pula perubahan persepsi mereka terhadap hutan. Menurut Lauer (2003)
TOTAL 858 1.095 79 57 823 286 3.198
solidaritas kelompok dan keagamaan semakin melemah. Yang menonjol di kehidupan menetap adalah kemajuan kerajinan dan ilmu pengetahuan. Sampai saat ini pandangan orang luar terhadap SAD Bathin IX sebagai suku terasing yang malas bekerja dan tidak dapat bersosialisi dengan mereka masih cukup kuat. Menurut Li (2002), pengelola perkebunan di Kalimantan Selatan mendeskripsikan Orang Banjar dan Orang Dayak sebagai komunitas yang kurang tekun dan kurang ulet sehingga hasil kerjanya rendah. Mereka membandingkan Orang Dayak dengan pekerja asal transmigran Jawa. Orang Bugis, Dayak dan banyak suku asli lainnya di Indonesia bekerja di luar ladang dengan motivasi untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan sumberdaya, serta resiko dan pahala. Jika tujuan bekerja itu telah terpenuhi, mereka akan berhenti. Mereka menilai kegiatan bekerja tersebut tidak sepenting sebagaimana orang luar memandangnya (Li, 2002). Pembangunan Berwawasan Lingkungan Hutan merupakan kekayaan alam yang sangat menonjol di Provinsi Jambi, meliputi 40% dari total wilayahnya. Pengelolaan hutan yang salah akan menggerus sumber daya genetik dalam hutan dan akhirnya mengakibatkan kerusakan bagi sekitarnya.
36 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
Menurut Ramly (2005), konsep pembangunan berwawasan lingkungan menekankan pada upaya mengolah sumber daya alam dengan bijaksana agar tertopang proses pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kualitas hidup penduduk dari generasi ke generasi berikutnya. Terdapat lima prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yaitu: (1) prinsip keadilan antar generasi, (2) prinsip keadilan dalam satu generasi, (3) prinsip pencegahan dini, (4) prinsip perlindungan hayati dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif. (Purba, 2005) Secara skematis komponen interaktif lingkungan hidup dapat digambarkan ke dalam tiga aspek alam (natural aspect), sosial (social aspect) dan binaan (man-made/build aspect). (Purba, 2005).
mengeksplorasi hutan, pertambangan dan lainnya, tanpa pengawasan memadai. Menurut Chambers (1993) , pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial yang merefleksikan paradigma baru pembangunan dengan sifat people centered, participatory, empowering dan sustainable. Oleh karena itu arah kebijakan ekonomi nasional lebih banyak berpihak kepada masyarakat mengingat sektor ini yang sangat besar andilnya dalam mengurangi tingkat pengangguran. Pemberdayaan masyarakat terutama peningkatan peran mereka dalam pembangunan merupakan kunci keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran mereka di desa tertinggal, sekaligus sebagai dasar untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antar penduduk.
Sumber: Purba, 2005 Gambar 1. Interaksi Tiga Aspek Lingkungan Hidup.
Menurut Ramly (2005), menanamkan sifat pembangunan yang arif terhadap lingkungan harus didasarkan pada upaya mengembangkan kesadaran individu mengenai perannya sebagai anggota masyarakat dunia, mengembangkan etika baru dalam penggunaan sumberdaya alam, mengembangkan sikap keharmonisan terhadap alam dan mengembangkan identifikasi terhadap generasi yang akan datang serta mewariskan keuntungan, bukannya malapetaka. Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Pemberlakuan UU Otonomi Daerah pada tahun 2004 memberi kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan (pasal 14 ayat 1). Pada pasal 17 ayat 1 sampai 3 diuraikan antara lain kewenangan kabupaten/kota dalam pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Sayangnya, kewenangan tersebut digunakan tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan, contohnya izin yang dikeluarkan untuk
Pada prinsipnya kesenjangan ekonomi tidak hanya ditinjau dari persoalan distribusi pendapatan saja, juga tidak dapat dipisahkan dari tinggi rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam semua kegiatan peningkatan produksi dan keikutsertaan dalam setiap proses atau tahapan pembangunan. (Chambers, 1993) Menurut Chambers (1988) , terdapat dua macam situasi kemiskinan: (1) kemiskinan kelompok masyarakat secara keseluruhan disebabkan oleh keterpencilan lokasi atau tidak memadainya sumber daya atau kedua-duanya dan (2) keadaan masyarakat dengan ketimpangan mencolok antara yang kaya dan miskin. Selanjutnya ada hubungan yang nyata dan berulang antara ketidakberdayaan dengan kemiskinan. Bentuk pemerasan kaum yang lemah oleh elite setempat yang paling menonjol adalah menjaring, merampas serta menjadi pihak yang selalu diuntungkan dalam setiap transaksi atau tawar menawar. (Chambers, 1988) Beberapa alasan yang menguatkan mengapa partisipasi masyarakat diikutsertakan dalam pembangunan berwawasan lingkungan yaitu: rakyat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil itu; partisipasi menimbulkan harga diri dan
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 37
kemampuan pribadi untuk dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masyarakat; partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. (Ramly, 2005) Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut: (1) Berapa banyakkah SAD Bathin IX di Desa Senami Kecamatan Tembesi yang terlibat jual beli kayu dan hasil hutan dilindungi (illegal aktivitas)?, (2) Berapa banyakkah SAD Bathin IX di Desa Senami Kecamatan Tembesi yang bekerja di sektor lain dan tidak lagi mengandalkan hidup dari hutan dan hasilnya?, (3) Apakah alasannya SAD Bathin IX mau bekerjasama dengan pihak lain untuk mengeksploitasi hasil hutan?, (4) Apakah persepsi masyarakat SAD Bathin IX terhadap upaya konservasi hutan di Kecamatan Tembesi?, dan (5) Apakah pilihan pekerjaan dan keterampilan yang diinginkan SAD Bathin IX untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? METODE PENELITIAN Penelitian dimulai pada bulan Mei 2012 di Dusun Senami Desa Jebak Kec. Tembesi Kabupaten Batanghari dan bersifat deskriptif eksploratif. Penelitian eksploratif bertujuan mencari hubunganhubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas dan kompleks sedangkan deskriptif bertujuan menggambarkan apa yang terjadi saat ini. (LIPI, 2011) Penentuan wilayah pengambilan sampel dilakukan secara purposif, dengan pertimbangan interaksi yang cukup intens antara SAD Bathin IX dengan masyarakat sekitar sehingga diduga telah terjadi pula interaksi budaya/gaya hidup yang cukup besar di desa tersebut. Pertimbangan lain adalah kedekatan tempat tinggal warga SAD Bathin IX dengan Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha. Dusun ini memiliki 4 Rukun Tetangga (Rt), yaitu RT 07, 08, 09 dan 10 namun yang memiliki warga keturunan SAD Bathin IX hanyalah di tiga RT (08,09,10) sedangkan RT 07 terdiri dari warga pendatang dari etnis Batak, Jawa, Bugis dan lainlain. Dari ketiga RT tersebut, warga SAD Bathin IX berjumlah sekitar 72 kepala keluarga (KK). Jumlah sampel diambil secara proporsional dari ketiga RT tersebut, dan tehnik pengambilan sample secara non prabability–purposive sampling yakni mengambil sample/responden yang dapat dijumpai di rumah masing-masing saat penelitian dilaksanakan. Tehnik ini memiliki keterbatasan karena cenderung bias, namun merupakan pilihan yag paling memungkinkan mengingat kebiasaan warga SAD kelompok Bathin IX untuk menginap di ladang di tengah hutan sehingga sulit untuk mendapati mereka di rumah
masing-masing. Secara keseluruhan terpilih 19 sampel (± ¼ populasi) untuk diwawancarai. Data primer dikumpulkan melalui observasi, menggunakan lembar pertanyaan dan foto-foto. Data sekunder diperoleh dari laporan perangkat desa dan kecamatan, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, LSM dan pihak lain terkait lainnya. Pengolahan data menggunakan program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Dusun Senami merupakan satu dari tiga dusun yang terdapat di Desa Jebak Kecamatan Tembesi Kabupaten Batanghari. Dusun ini terletak di tengah Taman hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Saifuddin dengan jarak sekitar 19 Km dari kota kecamatan (Muara Tembesi) atau sekitar 17 Km dari ibukota Kabupaten (Muaro Bulian) dan sekitar 90 Km dari ibukota provinsi (Jambi). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 94/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 Kawasan Hutan Produksi Tetap Senami telah ditetapkan menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Saifuddin. Disekitar kawasan TAHURA Sultan Thaha Syaifuddin terdapat 11 Desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian terutama tanaman karet secara tradisional dan sebagian bertani tanaman semusim. Desa Jebak memiliki 3 RW, 10 RT dan 3 Dusun. Kelembagaan pedesaan yang dimiliki antara lain 3 karang taruna, 3 kelompok PKK dan 1 Madrasah. Sedangkan satu-satunya kelembagaan penyuluhan yang dimiliki adalah Balai Penyuluh Kehutanan. Juga terdapat 3 kelompok tani perkebunan di Desa Jebak. Dilihat dari komposisi usia sebanyak 57,9 % responden berusia di bawah 45 tahun, 10,5 % berusia antara 45 – 55 tahun dan 31,6 % responden berusia di atas 55 tahun. Dilihat dari level pendidikan, sebagian besar responden (63,2%) tidak pernah bersekolah, atau pernah bersekolah namun tidak tamat SD. Keadaan tersebut menyebabkan sebagian besar kepala keluarga SAD Bathin IX ini tidak bisa membaca/menulis (63,2%). Hal ini terlihat pada Gambar 2 dan 3 berikut.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 2. Pendidikan Warga SAD Bathin IX.
38 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
Kondisi warga SAD Bathin IX yang pendidikannya rendah dan tidak maju secara ilmu pengetahuan sesuai dengan gambaran orang Badui seperti dijelaskan dalam Teori Perubahan-nya Ibnu Khaldun. Menurut Lauer (2003), suku nomaden yang kemudian hidup menetap akan cenderung malas, kurang berani/kuat serta solidaritas kelompok/ keagamaannya melemah.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 4. Lama Bekerja Warga SAD Bathin IX.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 3. Kemampuan Membaca Warga SAD Bathin IX.
Hal yang cukup menguntungkan adalah sebagian besar keluarga SAD Bathin IX tergolong keluarga kecil yaitu beranggotakan ≤ 4 orang (73,7%) dan 26,3% beranggtakan > 4 orang. Aspek Ekonomi Warga SAD Bathin IX Mayoritas warga SAD Bathin IX memiliki pekerjaan utama di sektor perkebunan (karet atau sawit) yakni sebanyak 94,7% dan hanya 5,3% yang bekerja di sektor non perkebunan. Tabel 2. Mata Pencaharian Utama dan Sampingan Responden Pekerjaan Utama
Jumlah
Perkebunan (karet/sawit) Non Perkebunan TOTAL Sumber: data diolah, 2012
18 1 19
Pekerjaan sampingan 7 0 0 7
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya memiliki satu pekerjaan saja, dan hanya tujuh responden atau 37% memiliki pekerjaan sampingan berupa membakar arang, mencari madu dan rotan di hutan. Ini menegaskan bahwa warga SAD Bathin IX di Dusun Senami tidak lagi menjadikan kegiatan eksploitasi hutan sebagai sumber penghasilan utama. Dari penelitian juga diperoleh informasi bahwa sebagian besar (52,6%) warga SAD Bathin IX mengaku telah bekerja lebih dari 10 tahun di pekerjaan sekarang, dan sisanya bekerja di bawah 10 tahun.
Dari pekerjaan yang dilakukan sekarang, 57,9% responden memperoleh penghasilan
Rp.500 ribu per minggu. Terkait dengan penghasilan tersebut di atas dan dengan menggunakan skala likert sangat tidak puas (1) hingga sangat puas sekali (5), sebanyak 5,3 responden mengatakan sangat puas dengan penghasilan sekarang, 57,9% menyatakan sedang, 15,8% mengatakan tidak puas dan 21,1% menyatakan sangat tidak puas. Persepsi Warga SAD Bathin IX terhadap Hutan Lindung Mayoritas warga SAD Bathin IX (94,7%) mengetahui bahwa TAHURA Senami merupakan hutan yang dilindungi dan hanya 5,3% warga yang tak mengetahui tentang hal tersebut. Pengetahuan tersebut diperoleh dari penyuluhan yang dilakukan oleh pihak kehutanan secara rutin, informasi dari mulut ke mulut serta terdapatnya palang pengumuman di sekitar kawasan tersebut bahkan di halaman rumah penduduk. Meskipun mayoritas masyarakat SAD Bathin IX mengetahui status TAHURA Senami sebagai hutan yang dilindungi tapi sebanyak 78,9% tidak setuju akan peraturan tersebut dan hanya 21,1% yang tak keberatan/menanggapi biasa-biasa saja terhadap peraturan tersebut. Alasan ketidaksetujuan tersebut antara lain: 1. Mereka tidak bisa memanfaatkan hutan untuk menambah penghasilan seperti membuat arang, mengambil rotan dan madu. 2. Mereka merasa diperlakukan tidak adil karena warga lain (pendatang yang non SAD Bathin IX) dibiarkan mengelola hutan. Bila ditinjau dari prinsip utama pembangunan berkelanjutan, keterbatasan yang dihadapi warga SAD Bathin IX ini melanggar prinsip keadilan dalam satu generasi, dimana mereka dipaksa untuk menerima kehidupan apa adanya, tanpa adanya alternatif sumber penghasilan lain. Sementara warga
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 39
lain (Non SAD) terkesan dibiarkan memanfaatkan/mengeksploitasi hutan Senami. Gencarnya sosialisasi tentang perlindungan TAHURA nampaknya cukup efektif untuk membatasi warga SAD Bathin IX melakukan eksploitasi hutan. Hal ini terlihat dari 78,9% mengaku tak pernah tersangkut hukum akibat aktivitas ilegal di kawasan TAHURA, dan hanya 21,1% warga yang pernah berurusan dengan polisi hutan. Kasus yang paling umum adalah warga SAD Bathin IX dipergoki membuat arang di hutan, mengambil madu dan rotan. Bila dikaitkan dengan sanksi yang diperoleh, hanya 21,1% yang mengaku menerima sanksi berupa teguran dan nasehat sementara 78,9% tidak pernah memperoleh sanksi. Sanksi berupa kurungan atau denda materi belum pernah diterima warga SAD Bathin IX. Pelatihan/Keterampilan Yang Diharapkan Warga SAD Warga SAD Bathin IX di Dusun Senami mengaku tidak pernah memperoleh pelatihan yang berhubungan dengan keterampilan untuk mencari nafkah. Penyuluhan yang mereka terima hanya berupa penyuluhan kehutanan dan penyuluhan/pelayanan kesehatan sedikitnya dua kali dalam satu tahun. Menurut narasumber dari LSM Amphal, tidak adanya pelatihan life skill diberikan kepada warga SAD karena status hutan Senami sebagai Taman Hutan Raya. Artinya, di kawasan tersebut tidak diizinkan melakukan kegiatan eksploratif apapun sehingga jika mereka diberi pelatihan, hal tersebut akan memicu kegiatan ekonomi ilegal di kawasan hutan. Tidak diberikannya pelatihan atau kegiatan pemberdayaan ekonomi kepada masyarakat sekitar merupakan bentuk kelalaian dan bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah sebelumnya (tahun 1999) melalui Dinas Sosial Provinsi Jambi yang menempatkan warga SAD Bathin IX di lokasi tersebut (di tengah hutan Senami). Tanpa pelatihan life skill dan izin untuk mengelola hutan, kehidupan warga SAD Bathin IX menjadi semakin memprihatinkan.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 5. Pelatihan Yang Diinginkan Warga SAD Bathin IX.
Gambar 5 di atas menunjukkan sebagian besar warga SAD Bathin IX menginginkan pelatihan berkebun karet atau sawit (63,2%), hal ini sesuai dengan jenis pekerjaan mayoritas warga SAD Bathin IX saat ini sebagai pekebun karet (94,7%). Meskipun pekerjaan utama mereka berkebun karet, terlihat kecendrungan warga SAD Bathin IX ingin memiliki keterampilan usaha lainnya seperti beternak dan bertani padi/sayur. Hanya 1 responden yang menginginkan lebih dari satu pelatihan yakni berkebun dan beternak dan tidak ada warga SAD Bathin IX yang menginginkan pelatihan memelihara ikan. Terkait dengan kondisi mereka saat ini yang terjepit di tengah TAHURA dengan kehidupan ekonomi yang semakin sulit, warga SAD Bathin IX mengharapkan kepada pemerintah untuk : 1. Dibantu membuka kebun baru dengan memanfaatkan lahan TAHURA yang telah gundul, dilengkapi dengan bantuan bibit karet/sawit dan buah-buahan. 2. Perbaikan jalan, rumah mereka dan sekolah 3. Bantuan bibit ternak dan modal usaha lainnya. SIMPULAN Warga SAD Bathin IX tidak lagi menjadikan hutan sebagai sumber penghasilan utama. Penelitian tidak menemukan Warga SAD Bathin IX yang terlibat jual beli hasil hutan. Warga SAD Bathin IX yang pernah berurusan dengan polisi hutan hanya karena melakukan aktivitas membuat arang, mengambil madu dan rotan (hasil hutan non kayu) yang semuanya bertujuan subsistence. Mayoritas warga SAD Bathin IX bekerja sebagai pekebun karet dan sawit, hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor non perkebunan. Mayoritas warga SAD Bathin IX mengetahui bahwa TAHURA Senami merupakan hutan yang dilindungi namun mereka tidak setuju dengan peraturan tersebut dan sebagian kecil yang tak keberatan/menanggapi biasa-biasa saja terhadap peraturan tersebut. Alasan ketidaksetujuan terkait penghasilan tambahan mereka sebagai pembuat arang, pencari rotan dan madu serta merasa diperlakukan tidak adil karena banyak warga pendatang (non SAD) bebas mengeksploitasi hutan. Sebagian besar warga SAD Bathin IX menginginkan pelatihan berkebun karet atau sawit. Terdapat beberapa hal yang menjadi saran dari peneliti kepada Pemerintah Kabupaten Batanghari, diantaranya: Pertama, tingginya kesadaran warga SAD Bathin IX untuk tidak terlibat dalam jual beli hasil hutan atau kegiatan eksploitasi hutan lainnya harus diapresiasi dengan menyediakan pilihan pekerjaan baru. Saat ini warga SAD Bathin IX berkebun dengan memanfaatkan lahan warisan orangtua mereka yang merupakan pembagian Dinas Sosial Provinsi Jambi tahun 1999 sebanyak 2 Ha/ KK, yang hasilnya tidak mencukupi. Insentif yang
40 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
diberikan dapat berupa bibit tanaman dan ternak sehingga mereka tidak tergoda merambah hutan Kedua, Pemerintah Kabupaten Batanghari perlu mengusulkan kepada Departemen Kehutanan untuk memberi izin khusus pemanfaatan hasil hutan non kayu sehingga warga SAD dapat memanfaatkan rotan/damar, tanaman obat-obatan, madu dan lainlain hasil hutan non kayu. Ketiga, meningkatkan pelatihan bersifat life skill yang cocok dengan karakter SAD Bathin IX guna menciptakan peluang kerja baru. Disarankan life skill yang diberikan tidak berbasiskan lahan, seperti beternak atau keterampilan rumahan /industri kreatif lainnya. Keempat, menanami kembali lahan hutan gundul dan memperkuat fungsi TAHURA sebagai kawasan ekowisata dan pusat pendidikan lingkungan, dimana hutan ini merupakan habitat asli pohon Bulian (Eusideroxsylon Zwageri) dan jenisjenis flora komersial diantaranya dari keluarga pohon meranti (dipterocarpaceae) serta beraneka jenis satwa langka dan dilindungi. Kelima, membenahi pendidikan formal anakanak keluarga SAD Bathin IX sehingga terbangun generasi mendatang SAD Bathin IX yang lebih mampu membangun perekonomian keluarga dan melindungi TAHURA. Keenam, Pemerintah Kabupaten Batanghari disarankan mengambil tindakan tegas terhadap warga pendatang di kawasan TAHURA karena mereka merupakan ancaman terhadap TAHURA terkait pembalakan liar dan kepemilikan tanah perumahan yang tidak sah serta memancing datangnya pemukim baru.
Ramly, N. 2005. Membangun Lingkungan Hidup Yang Harmoni dan Berperadaban. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu Sukmareni. 2008. Pembauran Yang Menyamarkan Identitas Suku Bathin IX. Majalah Alam Sumatera VII (1):23. Jambi:WARSI
DAFTAR PUSTAKA Amphal. 2010. Laporan Tahunan. Jambi. Berita21.com. Hasil SP 2010, Jumlah populasi SAD di Jambi Mencapai 3.198 orang, (http://berita21.com. Diakses 4 April 2012. Chambers, R. 1993. Challenging: Frontiers for Rural Development, London: Intermediate Technology Publication,Ltd.,1993. Chambers, R. 1988. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang. Jakarta : LP3ES Harian Republika. 2012. Belasan Balita Suku Anak Dalam Alami Gizi Buruk, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umu m/12/03/16/m0yp25-belasan-balita-suku-anakdalam-alami-gizi-buruk. Diakses 4 April 2012. Lauer, RH. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta Li, TM. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia. Jakarta : Penerbit YOI LIPI. 2007. Modul Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama. Jakarta: LIPI. Purba, J. 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 41
42 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42